Untitled Document

Karya Ilmiah

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

Oleh :
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2006

KATA PENGANTAR

Konsep gender merupakan konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka
membahas masalah kaum perempuan. Pemahaman ini sangatlah diperlukan dalam
melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang
menimpa kaum perempuan. Sehingga diharapkan pembaca tidak lagi mengartikan
gender sebagai seks (jenis kelamin) melainkan sebagai suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Dalam tulisan ini penulis berusaha untuk memaparkan pengertian kepada pembaca,

untuk memahami masalah-masalah emansipasi kaum perempuan dalam kaitannya
dengan masalah ketidakadilan dan perubahan sosial dalam konteks yang lebih luas.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga
menerima kritikan yang membangun bagi penyempurnaan karya ilmiah ini
kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Desember 2006
Penulis

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos, MSP.

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i


DAFTAR ISI

ii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang

1

1.2. Tujuan Penulisan

4


KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

6

2.1. Pengertian Gender

6

2.2. Sosok Perempuan Indonesia

8

2.2.1. Pendidikan

10

2.2.2. Kesehatan

10


2.2.3. Ekonomi

11

2.3. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender
2.3.1. Permasalahan ketidakadilan gender

12
13

2.3.2. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender 15
BAB III

PEMBAHASAN

18

3.1. Beberapa Faktor Penyebab Situasi Dilematis
Perempuan Indonesia


18

3.2. Problem Khusus Perempuan Miskin Indonesia

20

3.3. Peran Perempuan

21

3.3.1. Perempuan di Sektor Domestik

21

3.3.2 Perempuan di Sektor Publik

22

ii


3.4. Gender dan Pendekatan Pembangunan

24

3.4.1. Pendekatan Kebijakan Perempuan dan
Pembangunan
3.4.2. Pengarusutamaan Gender

24
27

3.5. Upaya-Upaya dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah
Dalam Rangka Kesetaraan dan Keadilan Gender
3.6. Tiga Strategi Untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender

28
33

3.6.1. Mereformasi institusi untuk menetapkan hak-hak dan
kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki


34

3.6.2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk
memantapkan insentif demi kesetaraan sumber
daya dan partisipasi

36

3.6.3. Mengambil langkah kebijakan pro aktif untuk
mengatasi ketidaksetaraan gender dalam penguasaan
sumber daya dan partisipasi politik
BAB IV

40

KESIMPULAN DAN SARAN

47


4.1. Kesimpulan

47

4.2. Saran

48

DAFTAR PUSTAKA

49

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sasaran utama dari pembangunan nasional negara Indonesia adalah perbaikan
kualitas hidup masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Dari pernyataan tersebut

dapat kita artikan bahwa di dalam proses pembangunan tersebut dibutuhkan adanya
keterlibatan masyarakat; laki-laki dan perempuan secara serasi, selaras dan seimbang
atau dengan kata lain dibutuhkan adanya emansipasi dalam bidang kesempatan kerja.
Selama ini pendekatan pembangunan yang dilaksanakan belum secara khusus
mempertimbangkan manfaatnya secara adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Pembangunan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih belum
menempatkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender. Padahal
secara teoritik pemerintah telah berupaya meningkatkan status dan kedudukan
perempuan dalam semua aspek pembangunan, yang dicantumkan dalam arahan
GBHN 1999, UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, serta
dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional.
Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa seluruh departemen maupun lembaga
pemerintah non-departemen di pemerintah nasional, provinsi maupun kabupaten/kota
harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pada kebijakan dan program pembangunan. Kesetaraan dan
Keadilan Gender sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen

1


bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat
dan harus melaksanakan komitmen tersebut.
Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat
key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan pengarusutamaan gender
diinstruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non
departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk
melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan
pada pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa
keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki
dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada
pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan.
Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan
memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk

wanita

yang


jumlahnya

49.9%

(102.847.415)

dari

total

(206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya
pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses
pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang
berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan
perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Namun selama ini
pendekatan pembangunan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat
pembangunan secara adil terhadap laki-laki dan perempuan, sehingga hal tersebut
turut memberi kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan

2

gender. Emansipasi dalam bidang kesempatan kerja tersebut berarti perempuan diberi
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berperan serta di dalam pembangunan
dan dalam mengembangkan keberadaan kehidupan pribadinya.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat
berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang
menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas
dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang
merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat
pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki,
ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki.
Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini
menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum
terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena
masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat,
umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki);
peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan
kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; penafsiran ajaran agama yang
kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung
dipahami parsial kurang kholistik; kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan
sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; rendahnya

3

pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti,
tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.
Masalah umum yang dihadapi perempuan bekerja adalah kecenderungan
perempuan terpinggirkan pada jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja
yang buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi
perempuan berpendidikan rendah; untuk kasus urban sebagai buruh pabrik. Hal yang
perlu digarisbawahi di sini adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada
pekerjaan marginal tersebut adalah tidak semata-mata hanya disebabkan oleh faktor
pendidikan. Perempuan memperoleh penghasilan 30% sampai 40% lebih kecil dari
penghasilan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan yang sama.
Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan
menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam
mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada
pemerataan

pembangunan.

Selain

itu

rendahnya

kualitas

perempuan

turut

mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran
reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa
depan.

1.2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini penting untuk dilakukan, terutama
bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan kaum perempuan dalam pembangunan
khususnya dalam bidang pendidikan. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini
adalah untuk mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan pengarusutamaan

4

gender di Indonesia, serta untuk mengetahui secara jelas peran pengarusutamaan
gender didalam menyukseskan pembangunan nasional di Indonesia.

5

BAB II
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

2.1. Pengertian Gender
Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu Genus yang berarti tipe atau jenis. Kata
gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris : Gender berarti jenis
kelamin (John M.Echols, Hasan Shadily, 1995, hal. 265). Arti yang diberikan tidak
secara jelas dibedakan pengertian jenis kelamin dan gender. Untuk memahami konsep
gender harus dibedakan pengertian kata gender dengan jenis kelamin (seks).
Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,
jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi
seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan
mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia
jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut
tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan
perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau
ketentuan Tuhan atau juga kodrat.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun cultural. Misalnya, bahwa
perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara lakilaki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan
sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah

6

lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa
(Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 7-8).
Sementara itu Oakley dalam Mansour Fakih menjelaskan bahwa gender berarti
perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan
jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan, karenanya secara permanen dan
universal berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki
dan perempuan yang social constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau
bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan, baik oleh kaum laki-laki maupun oleh
kaum perempuan, melalui proses sosial budaya yang panjang.1
Beberapa ungkapan tentang gender berikut akan lebih memberikan pemahan
mengenai konsep gender, yaitu :
1. Laki-laki dan perempuan sesuai dengan peranan dan fungsinya di dalam
keluarga, sosial juga ditambahkan bahwa gender adalah perbedaan status
antara laki-laki dan perempuan (Depnakertrans).
2. Gender pada dasarnya merupakan konsep yang membedakan antara lakilaki dan perempuan bukan berdasarkan biologisnya, melainkan dikaitkan
dengan peran, fungsi, hak, sifat, perilaku yang direkayasa sosial. Oleh
karena itu, pemahaman tentang gender dapat berubah dan sangat
tergantung pada budaya setempat yang mendukung (Depag).
3. Penerapan keadilan dan kesetaraan gender (Depdagri).
4. Kemitrasejajaran pria dan wanita untuk ikut serta dalam setiap aspek
pembangunan.

7

5. Persamaan kesempatan kerja antara laki-laki dan perempuan, persamaan
status sosial dalam kesempatan kerja dengan memperhatikan perbedaan
kodrat perempuan seperti hamil, melahirkan dan menyusui (Rahmadewi,
dkk, 2000).
Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap
memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi laki-laki dan
perempuan yang dinamis, yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada
dalam masyarakat. Hubungan gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya, serta memiliki banyak
perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu dan
antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain akibat perbedaan suku, agama,
status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut). Perbedaan konsep gender
secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam
masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran,
tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.

2.2. Sosok Perempuan Indonesia
Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan
yang tersedia pada abad ke-21 perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap
mandiri, disamping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia
sesuai dengan bakat yang dimilikinya.
Profil perempuan Indonesia pada saat ini digambarkan sebagai manusia yang
harus hidup dalam situasi dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia dituntut untuk
berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar

8

perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan. Contohnya situasi
tersebut dialami oleh perempuan Indonesia yang berkarir. Di satu sisi perempuan karir
merasa

terpanggil

untuk

mendarmabaktikan

bakat

dan

keahliannya

bagi

perkembangan bangsa dan Negara mereka; namun di sisi lain mereka dihantui oleh
opini yang ada dalam masyarakat yang melihat bahwa perempuan karir/ibu karir
sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan pendidikan anak-anak mereka.
Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks
Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat
ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998
dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun
2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI
Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara
ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan
59, 70 dan 77.
Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat
ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92
(1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara
GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti
Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63.
Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk
Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak
dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan).
Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat dri tiga aspek

9

yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3
(tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut:

2.2.1. Pendidikan
Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan lakilaki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang
mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada
perempuan.
Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase
perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki
(6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada
tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka
buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala
rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara
nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan
12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik
Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki
5,84%.

2.2.2. Kesehatan
Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang
kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per
1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta

10

meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8 tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000),
Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka
harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup
(life expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun
berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998).
Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian
bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi
dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber:
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka
kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan,
namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian
anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah
utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI)
390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000
(SDKI 2002).]

2.2.3. Ekonomi
Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah,
kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah,
demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan
dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah

11

dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS,
Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki
lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS,
Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).

2.3. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan
dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban
ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun lakilaki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki
akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti
memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber
daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil

12

keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat
yang sama dari pembangunan.

2.3.1. Permasalahan ketidakadilan gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan
ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari
gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan
pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.
Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan
antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan
dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan
berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur
masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.
Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang
peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi
demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga
terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan,
diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan
alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara
laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi,

13

budaya dan lain-lain. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan
struktur dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam sistem
tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki
baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung
berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya
keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam
berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh
laki-laki. Ketidakadilan gender ini dapat bersifat :
-

Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung,
baik disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

-

Tidak

langsung,

seperti

peraturan

sama,

tapi

pelaksanaannya

menguntungkan jenis kelamin tertentu.
-

Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau
struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membedabedakan.

Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidakadilan gender adalah suatu
sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban
dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada
perempuan;

misalnya

marginalisasi,

subordinasi,

stereotipe/pelabelan

negatif

sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap
perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang
(Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa

14

dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33,
2001).

2.3.2. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender
Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:
a. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan
Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis
kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan
gender. Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat
terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber
keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu
pengetahuan (teknologi).
Contoh-contoh marginalisasi:


Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang
dikerjakan laki-laki



Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya
membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan
perempuan dengan alat panen ani-ani





Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan
Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti
“guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.

b. Subordinasi (penomorduaan)
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah

15

sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan
lebih rendah dari pada laki-laki. Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada
nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan di
berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu
memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor
dua setelah laki-laki.
Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau
hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami
yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

c. Stereotip (citra buruk)
Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu
melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan
dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan
atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan
terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan
yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagi
akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau
kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah
merupakan perpanjangan peran domestiknya.

d. Violence (kekerasan)
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul
dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan terhadap

16

fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan
tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman
dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang
mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber
karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam
rumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat.
Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait
dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di atas.

e. Beban kerja berlebihan
Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja
yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan
beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan
perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga,
sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik
mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

17

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Beberapa Faktor Penyebab Situasi Dilematis Perempuan Indonesia
Untuk mengkaji profil dan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan
Indonesia ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu :
Pertama, Indonesia adalah suatu negara yang pluralistic dari segi etnik dan
kebudayanya.
Kedua, adanya pluralisme etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin kita
membuat suatu pendapat yang menggeneralisasikan bahwa perempuan Indonesia
sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa mempelajari kedudukan
perempuan dalam konteks kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang hidup di bumi
nusantara ini.
Ketiga, situasi dilematis yang dihadapi oleh perempuan Indonesia merupakan hasil
dari suatu proses interaksi dari berbagai faktor sosial dan politik yang berkembang di
negara kita (Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, 2001,
hal. 62).
Misalnya pada tahun 1925 terjadi satu perdebatan yang sengit antara
sekelompok anggota Volksraad dan wakil pemilik perkebunan di Indonesia, yakni
memperdebatkan apakah perempuan Indonesia diizinkan untuk bekerja pada malam
hari atau tidak (Elisabeth Locher-Scholten dalam Loekman Soetrisno, hal. 62).

Hal

ini memberikan gambaran kepada kita bahwa perempuan Indonesia harus selalu
berada di tengah-tengah keluarganya, bahwa dia adalah makhluk yang lemah, dan
hanya diizinkan mencari pekerjaan di luar rumah apabila memang keluarga

18

membutuhkan. Ini adalah suatu konsep tentang perempuan yang berasal dari barat
yang disosialisasikan kepada Indonesia khususnya kaum elite Indonesia melalui
proses pendidikan. Padahal bekerja di luar rumah bukanlah hal yang baru bagi
perempuan Indonesia, mereka bekerja karena alasan ekonomi dan karena memang
telah terbiasa untuk bekerja.
Selain hal tersebut, pengaruh agama juga dapat membentuk persepsi
masyarakat terhadap perempuan. Dari ajaran agama tersebut dapat tersimpul bahwa
perempuan itu bukan hanya lemah fisik, tetapi juga lemah iman. Cerita tersebut
melalui berbagai cara disosialisasikan dalam masyarakat Indonesia sehingga para
pejabat Indonesia selalu dalam kesempatan timbang terima jabatan, misalnya,
mengingatkan istri pejabat baru agar selalu menjaga tingkah lakunya dan tidak
mendorong suaminya melakukan korupsi.
Ideologi barat abad ke-19 tentang perempuan dapat merugikan kaum
perempuan dalam dua hal :
a. Karena perempuan Indonesia tugas utamanya adalah dalam rumah tangga
maka mreka dapat saja diabaikan dalam program-program pembangunan yang
tidak menyangkut kesejahteraan keluarga.
b. Karena perempuan Indonesia tugas utamanya adalah sebagai ibu rumah tangga
maka apabila mereka harus bekerja, para majikan mereka akan memberikan
upah yang lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Sebab pada kenyataannya
suamilah yang menjadi provider dalam keluarga, dan upah perempuan dengan
demikian hanya dianggap sebagai supplement dari upah yang diterima suami
mereka.

19

3.2. Problem Khusus Perempuan Miskin Indonesia
Kelompok perempuan Indonesia, khususnya perempuan miskin mempunyai
problem khusus dalam menyongsong era industrialisasi ini, antara lain:
1. Kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan yang menghinggapi mereka ini membuat
mereka tidak banyak memiliki alternatif dalam mencari pekerjaan. Kemiskinan
menyebabkan mereka tidak dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam
pendidikan yang memadai termasuk penguasaan keterampilan yang rendah.
Situasi seperti ini ditambah kemiskinan yang melilit hidup mereka akan
menyebabkan mereka tidak dapat berbuat banyak dalam memilih pekerjaan
dan menuntut haknya.
2. Persaingan yang dihadapi oleh buruh perempuan dan buruh laki-laki.
Keterampilan yang relatif rendah yang dimiliki oleh buruh perempuan miskin
akan membuat mereka ada dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi
persaingan dengan buruh laki-laki dalam memperoleh suatu pekerjaan. Kecuali
apabila buruh perempuan itu mau menerima fasilitas yang lebih sedikit dari
fasilitas yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya gaji yang lebih rendah
dari gaji yang diterima oleh buruh laki-laki dengan beban kerja yang sama
berat.
3. Dilema yang mereka hadapi antara keinginan mereka untuk bekerja guna
memperoleh pendapatan yang mandiri dan tugas mereka sebagai ibu rumah
tangga. Apabila mereka harus menjadi buruh industri dan bekerja penuh
selama delapan jam, siapa yang akan memelihara anak-anak mereka yang
masih kecil-kecil. Mereka tidak mungkin menyewa pembantu untuk
membantu memelihara anak-anak mereka seperti halnya kelompok kaya.

20

3.3. Peran Perempuan
3.3.1. Perempuan di Sektor Domestik
Selama beratus-ratus tahun pekerjaan domestik mengasuh anak, mencuci,
membersihkan rumah, memasak, merupakan tanggung jawab perempuan. Masyarakat
Indonesia, dengan struktur patriarkis menempatkan perempuan di wilayah rumah
dengan tanggung jawabnya sebagai pengelola rumah tangga yang meliputi tiga hal
yaitu makanan, kesehatan dan pendidikan anak (Andria dan Raychman, Dampak
Krisis Terhadap Perempuan Miskin Perkotaan di Bandung – Perempuan Sebagai
Pengelola Rumah Tangga Miskin, 1999, hal. 8.). Perempuan juga bertanggung jawab
mengatur pemasukan dan pengeluaran keluarga, sementara laki-laki bertanggung
jawab mencari uang dengan bekerja di luar rumah.
Beberapa permasalahan yang dihadapi perempuan di sektor domestik antara
lain :
1. Pelecehan pekerjaan rumah tangga
Meskipun secara riil seorang ibu mencurahkan banyak waktu dan energi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga, namun penghargaan yang diterima minim
sekali. Yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah tangga dianggap “bukan
pekerjaan”, tidak produktif, dan dipandang sebelah mata. Akibat selanjutnya
mudah ditebak, banyak perempuan yang sepenuhnya berprofesi sebagai ibu
rumah tangga merasa rendah diri, yang seringkali diungkapkan dengan ekspresi
“saya hanya ibu rumah tangga biasa”.

2. Labelisasi pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan wajib bagi perempuan (ibu
rumah tangga) dan bahwa ia dituntut untuk berperilaku sebagaimana umumnya

21

yang dikehendaki masyarakat (Andria dan Raychman, Dampak Krisis Terhadap
Perempuan Miskin Perkotaan di Bandung – Perempuan Sebagai Pengelola
Rumah Tangga Miskin, 1999, hal. 25.). Artinya ia harus memenuhi kriteria
“keibuannya”, patuh pada suami, menjaga anak dengan baik dan menganggap
bahwa pekerjaan yang tidak dibayar ini adalah pekerjaan yang paling mulia.
Mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap “menyimpang” dan
bukan ibu yang baik.
Pekerjaan rumah tangga yang nyaris 100% dibebankan kepada perempuan,
mengakibatkan perempuan terisolasi dari kehidupan sosial dan menghambat
pengembangan diri perempuan. Domestikasi (housewifisation) perempuan
menggambarkan bagaimana perempuan diberi tanggung jawab mulia untuk
membuat rumah menjadi tempat yang nyaman bagi generasi berikutnya,
memberikan batasan ruang gerak perempuan hanya di arena domestik saja.

3.3.2 Perempuan di Sektor Publik
Meskipun di tingkat ideologis, sektor publik merupakan domain laki-laki,
namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukkkan
kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Perempuan bekerja mencari nafkah
karena tuntutan ekonomi lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah
menunjukkan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi
perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah.
Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di
perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan.

22

Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan
perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa sektor pertanian
adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, lalu
diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%.
Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di
sektor manapun dicirikan oleh skala bawah dari pekerjaan perempuan. Perempuan di
sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di
sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen,
sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat
dalam perdagangan skala kecil. Pedagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha
warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan.
Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, terjun ke sektor publik
dengan pendorong utamanya adalah faktor ekonomi, maka bagi perempuan di kelas
menengah ke atas, keterlibatan mereka di sektor publik – selain karena dorongan
ekonomi – banyak pula merupakan kombinasi antara faktor ekonomi dan keinginan
untuk mengamalkan bekal pendidikan yang dimiliki, selain juga makin terbukanya
peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya
diperuntukkan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan
yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari
pembukaan peluang yang lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah.
Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah
kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah
rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Dengan kata lain

23

telah terjadi marginalisasi pada pasar tenaga kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi
perempuan berpendidikan menengah ke bawah.
Paling tidak telah terjadi feminisation dan segregation. Feminisation adalah
penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu.
Segregation adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin.
Bagi perempuan di kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta
maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar.
Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi
membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih
terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama,
namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara
pegawai perempuan dan laki-laki.

3.4. Gender dan Pendekatan Pembangunan
3.4.1. Pendekatan Kebijakan Perempuan dan Pembangunan
Sejak tahun 1950an telah terjadi pergeseran dalam melihat peran perempuan
dalam pembangunan. Peran tersebut dapat diidentifikasikan ke dalam lima pendekatan
sebagai berikut (Training package Gender Issues in the World of Work, ILO, Geneva
dalam Workshop Pengarusutamaan Gender dalam Program Terikat Waktu, Maret
2003) :
a. Pendekatan Kesejahteraan
Pada fase awal kerja sama pembangunan dilancarkan, selama tahun 1950an dan
1960an, perempuan dilihat sebagai penerima manfaat yang pasif pada proses
pembangunan. Perempuan ditekankan pada peran mereka sebagai ibu dan isteri.

24

Pendekatan ini didasarkan pada stereotype barat mengenai keluarga inti yang
mana perempuan dilihat sebagai pihak yang tergantung secara ekonomi pada lakilaki yang dilihat sebagai pencari nafkah utama.

b. Pendekatan Persamaan
Pendekatan ini adalah pendekatan Woman in Development (WID) yang pertama
yang muncul selama dasawarsa tahun perempuan sebagai reaksi terhadap
kegagalan kebijakan modernisasi. Dasar filosofi pendekatan ini, melihat
perempuan terlalu tertinggal dalam masyarakat dan kesenjangan antara laki-laki
dan perempuan dapat dijembatani dengan menciptakan alat pengukur perbaikan
berdasarkan struktur yang ada. Perempuan dilihat sebagai partisipan aktif dalam
pembangunan. Analisa spesifik pada relasi laki-laki dan perempuan sebagaimana
juga pemahaman perbedaan kuasa yang dimiliki perempuan dan laki-laki kurang
diperhatikan.

c. Pendekatan Anti Kemiskinan
Pendekatan WID yang kedua mengaitkan ketimpangan ekonomi perempuan dan
laki-laki bukan pada subordinasi, tetapi pada kemiskinan. Oleh karena itu upaya
yang dilihat adalah meningkatkan kesempatan perempuan untuk memperoleh
program peningkatan pendapatan bagi perempuan miskin. Pendekatan ini
berkaitan dengan kebutuhan dasar strategi pembangunan umum pada akhir tahun
1970an. Fokus capaian pendekatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian, rumah, bahan baker dan pendidikan. Pendekatan anti

25

kemiskinan ini menekankan pada peran produktif perempuan dan kerja guna
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan perempuan.
d. Pendekatan Efisiensi atau Instrumental
Pandangan

dasarnya

adalah

diintegrasikannya

perempuan

dalam

proses

pembangunan guna memanfaatkan secara penuh semua sumber daya manusia dan
memastikan bahwa pembangunan menjadi lebih efisien dan efektif. Perempuan
dilihat sebagai pihak berpotensi yang kurang dimanfaatkan oleh pembangunan.
Pendekatan ini mengabaikan pola-pola peran perempuan dan laki-laki dalam
masyarakat, dan percaya bahwa perempuan tanpa kesulitan dapat melakukan kerja
tambahan, sehingga kerja perempuan sejauh ini belum dimanfaatkan oleh
pembangunan nasional.

e. Pendekatan Pemberdayaan atau Otonomi
Ke empat pendekatan yang diuraikan sebelumnya memiliki kesamaan, yaitu
kurang memperhatikan sejarah ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat. Pendekatan ini muncul pada pertengahan 1970an berdasarkan
pengalaman kelompok perempuan dunia ke tiga. Dikenali bahwa feminisme bukan
sekedar sesuatu yang diimpor dari barat, fenomena perkotaan dan kelas menengah,
tetapi juga memiliki sejarah yang mandiri. Feminisme dunia ketiga memiliki
akarnya dalam partisipasi perempuan dalam perjuangan nasional, gerakan
perburuhan dan kaum petani dan diketahui sebagai kekuatan penting dalam proses
perubahan di dunia ketiga. Berdasarkan hal itu, perempuan-perempuan bersatu
untuk membentuk organisasi-organisasi perempuan yang otonom. Pendekatan ini

26

bertujuan untuk menguatkan dan memperluas basis kuasa perempuan guna
mencapai kemandirian yang lebih besar.

3.4.2. Pengarusutamaan Gender
Pada Konferensi Wanita Sedunia keempat yang diselenggarakan di Beijing
1995, istilah Gender Mainstreaming tercantum di Beijing Platform of Action. Semua
negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi itu,
secara

eksplisit

menerima

mandat

untuk

mengimplementasikan

Gender

Mainstreaming di negara dan tempat masing-masing.
Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki
menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian
kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai
Kesetaraan dan Keadilan Gender maka pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999
menyatakan bahwa pengarusutamaan gender merupakan kebijakan nasional yang
harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender. Meskipun begitu, usaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat pada umumnya dan khususnya oleh perempuan.
Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau
keseluruhan instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi
tersebut dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender. Strategi ini sangat penting
sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal
dengan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam
pembangunan. Dengan pengarusutamaan gender ini pemerintah dapat bekerja lebih

27

efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan
responsif gender kepada rakyatnya, perempuan dan laki-laki.
Pengarusutamaan gender sebagai strategi merupakan upaya untuk menegakkan
hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama
dan

penghargaan

yang

sama

di

masyarakat.

Keberhasilan

pelaksanaan

pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial, politik dan ekonomi suatu
bangsa. Kesetaraan dan keadilan gender menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses
yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang
seimbang.
Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan
laki-laki memperoleh akses kepada, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas,
dan memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Dengan melakukan
pengarusutamaan gender, dapat diidentifikasi kesenjangan gender yang pada
gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Dengan demikian, tujian akhir dari
pengarusutamaan gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan
gender.

Upaya-Upaya dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Rangka
Kesetaraan dan Keadilan Gender
Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian
Pemberdayaan

Perempuan

RI

sebenarnya

merupakan

bentuk

pembaruan

pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah
memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan

28

perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai
aspek , meskipun masih belum optimal.
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan
namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan
belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak,
pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang
belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman,
aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan
kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.
Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan
para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender
yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya
hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga
yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah
industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun
internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga,
masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan
pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai
dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran
masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).
Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering
dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh

29

peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan
manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural
utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama)
agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 1718, 2001).
Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan
perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh
lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan
perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG
merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung
jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan
masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah
bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan
di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan
pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk
butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming

30

kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya
Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana
Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).
Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 20012004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan
pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan
upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian
Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup
Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan
Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan
Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut
merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender
harus menjadi komitmen bersama.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program
yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah
bekerjasama

dengan

UNFPA

dalam

melaksanakan

serangkaian

kegiatan

Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and
Programmes.
Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi
kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan
kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas
nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep
gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan
reproduksi dan kependudukan.

31

Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di
sektor strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan
juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain :


Program Pengembangan dan keserasian kebij