Untitled Document

Karya Ilmiah

PENGHAPUSAN KDRT
(KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA)

Oleh :
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2007

KATA PENGANTAR
Keberadaan UU Penghapusan KDRT sungguh menggembirakan, karena sarat
dengan

janji

yang


diharapkan

dapat

meminimalisasi

keberadaan

KDRT.

Implementasi, itulah yang selalu menjadi masalah atas segala peraturan yang ada di
negeri ini, termasuk yang terkait dengan upaya mereduksi terjadinya KDRT. Keraguan
atas implementasi UU Penghapusan KDRT ini cukup beralasan karena masih kurangnya
pemahaman masyarakat bahkan aparat bahwa KDRT merupakan sebuah bentuk tindak
kriminal. Masih banyak menganggapnya sebagai masalah pribadi sehingga kurang
berempati pada korban, banyak perempuan yang karena ketidakberdayaannya menjadi
enggan melapor bila mengalami kekerasan. Tidak dipungkiri bahwa UU Penghapusan
KDRT merupakan terobosan penting dalam upaya menghapuskan kejadian kekerasan
dalam rumah tangga. Namun, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila tidak
diiringi dengan upaya serius dari kita semua untuk mengimplementasikannya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga
menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya.
Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Mei 2007
Penulis

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii


BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang

1

1.2. Tujuan Penulisan

4

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

5


2.1. Perspektif Kekerasan

5

2.2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

13

2.3. Bentuk - Bentuk KDRT

14

2.4. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB III

BAB IV

(PKDRT)


17

PEMBAHASAN

21

3.1. Implementasi UU PKDRT

21

3.2. Solusi

26

3.2.1. Konsep Pemberdayaan Perempuan

29

3.2.2. Membangun Strategi Kampanye Media


34

KESIMPULAN DAN SARAN

39

4.1. Kesimpulan

39

4.2. Saran

40

DAFTAR PUSTAKA

42

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Bulan April selalu diperingati sebagai Hari Kartini yang dikenang oleh bangsa
Indonesia sebagai pejuang hak-hak kaum perempuan. Kartini dianggap sebagai simbol
atau mitos bagi gerakan perjuangan emansipasi wanita. Kalau dulu Kartini diimpit oleh
persoalan untuk mendapatkan hak-haknya, Kartini-Kartini saat ini pun tidak lepas dari
permasalahan. Salah satu permasalahan yang mendapat perhatian besar dari para
aktivis perempuan saat ini adalah masalah kekerasan terhadap perempuan.
Tanggal 25 November adalah Hari Internasioal Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan. Sebagian masyarakat internasional sepakat menjadikan momen
ini untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan
terhadap perempuan merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, karena
kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang menghambat tercapainya
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan jika dilihat dari persepsi hak asasi,
fenomena ini merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Maraknya isu kekerasan terhadap perempuan seperti dilecehkan, diperkosa,
dibunuh, dan menjadi korban perselingkuhan beberapa tahun belakangan ini telah
memasuki wilayah paling kecil dalam tatanan yaitu keluarga. Kekerasan ini seakan
menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan
terhadap perempuan di tengah-tengah masyarakat terjadi dalam bentuk antara lain;

pelecehan seksual, pemerkosaan, penodongan, penjambretan dan pembunuhan;
perdagangan perempuan sebagai TKW ke luar negeri, sebagai penghibur di tempat-

1

tempat hiburan, atau sebagai pekerja seks; eksploitasi tubuh perempuan untuk media
cetak -- seperti majalah porno -- atau media elektronik - seperti vcd dan sebagainya.
Kekerasan perempuan di tempat kerja antara lain berupa perbedaan gaji dan tunjangan
antara laki-laki dan perempuan, tidak diberikannya cuti haid, cuti hamil, dan
melahirkan, serta pelecehan seksual yang dilakukan oleh atasan, penyiksaan, dan
pemerkosaan oleh majikan kepada pembantu dan sebagainya. Bentuk-bentuk
kekerasan ini tentu saja menjadi trauma bagi korban dan menimbulkan masalah
psikologis lainya seperti mimpi buruk, halusinasi dan psikosomatis. Apalagi pelaku
umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti
suami, ayah, kakek, paman, yang setiap hari hidup bersama.
Menurut catatan Komnas Perempuan dari 5.934 kasus kekerasan terhadap
perempuan, 2.703 (46%) adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka
ini adalah peristiwa yang berhasil dimonitor atau dilaporkan, karena angka-angka ini
bagaikan fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil
saja yang terungkap. Mengingat sebagian besar masyarakat masih melihat kekerasan

dalam lingkup domestik dianggap sebagai urusan privat dan aib yang tidak layak untuk
diungkap.
Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan mendapatkan perhatian
khusus dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UndangUndang ini tentu saja disambut baik oleh kalangan pejuang dan pembela hak-hak
perempuan, antara lain karena berdasarkan Undang-Undang tersebut posisi perempuan
di dalam rumah tangga menjadi kuat dan “bertenaga”.

2

Salah satu contohnya seorang suami bisa dikenakan sanksi pidana bagi
kekerasan seksual yang dilakukannya kepada istrinya. Akan tetapi, Undang-Undang ini
tidak akan efektif, apabila perempuan korban kekerasan masih melakukan “budaya
diam”. Dengan kata lain Undang-Undang ini mengisyaratkan kepada perempuan untuk
berani bicara dan melaporkan segala tindak kekerasan yang dialaminya, karena selama
ini “budaya diam” inilah yang menjadi kendala terbesar bagi upaya penghapusan
kekerasan terhadap perempuan. Ini menjadi semakin sulit disentuh karena struktur
sosial, persepsi masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis menyebabkan sulit
mengakui adanya masalah dalam rumah tangga (apapun resikonya). Di sisi lain,
langgengnya kekerasan terhadap perempuan juga berkaitan dengan kontruksi budaya

yang mengandung nilai-nilai yang melekat pada perempuan sehingga kekerasan yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan bisa dianggap sebagai hal yang “wajar”.
Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah
tangga adalah urusan suami-istri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh
mereka berdua, juga turut menghambat proses perlindungan terhadap perempuan.
Sebagian besar masyarakat juga berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti
keluarga, masyarakat, maupun pemerintah dianggap tidak lazim.
Selama ini, dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga
berdasarkan UU Perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan
perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa kasusnya diproses secara
pidana. Kondisi tersebut terjadi karena masih sedikit perempuan yang menyadari
bahwa kekerasan yang dialaminya merupakan kejahatan. Dan kalaupun perempuan
telah menyadarinya, perlu ada kemauan untuk membawa kasusnya diproses secara
hukum.

3

Sebagaimana luas diketahui, Kerangka Aksi Deklarasi Beijing tahun 1995
memandatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan penghapusan kekerasan
terhadap perempuan bagi negara-negara yang terlibat dalam penandatanganan

deklarasi. Pada kenyataannya, meski sudah melampaui waktu sepuluh tahun, kita
masih melihat perkembangan yang kurang menggembirakan dalam upaya-upaya yang
diharapkan ini. Bagi Indonesia, meski sudah memberlakukan UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), masih terdapat
banyak kelemahan yang harus terus dibenahi. Karena itu, masih sangat jauh dari
harapan penggunaan UU ini untuk menyentuh pada kasus-kasus kekerasan psikis,
seksual dan ekonomi sebagaimana dimandatkan oleh UU PKDRT. Dalam pengertian
yang lain, masih cukup tajam gap antara UU PKDRT sebagai gagasan ideal dan
perangkat implementasinya sehingga bisa menjadi operasional.

1.2. Tujuan Penulisan
Uraian tersebut di atas adalah salah satu bentuk dari upaya pemberdayaan kaum
perempuan di Indonesia, agar lebih kritis dan tanggap terhadap hak dan kewajibannya
baik di rumah tangga maupun di tempat kerja. Atas dasar itu maka tujuan dari
penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang kekerasan dalam rumah
tangga serta bagaimana upaya untuk mengatasinya.

4

BAB II
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2.1. Perspektif Kekerasan
Siapa pun, apakah itu laki-laki, atau perempuan, bahkan anak-anak, dapat
menjadi pelaku dari korban kekerasan. Namun demikian, kecendrungan umum dan
secara kuantitas jumlahnya cukup besar, yang menjadi pelaku kekerasan adalah lakilaki dewasa dan yang menjadi korban dari kekerasan tersebut adalah perempuan dan
anak-anak.
Kekerasan memang nampak sering dilakukan oleh orang-orang atau lembaga
yang dianggap lebih kuat, atau yang lebih tepat, dominan dan memiliki otoritas
tertentu. Umpamanya, laki-laki kepada perempuan, suami kepada istri, orang dewasa
atau orang tua kepada anak-anak, dan negara kepada warga negaranya. Mengapa
demikian? Karena pada laki-laki, suami, orang dewasa, dan negara melekat pada diri
mereka anggapan bahwa mereka memiliki wewenang tertentu yang lebih ketimbang
yang lainnya. Mereka yang memiliki wewenang lebih itu cenderung akan melakukan
kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar, tidak dipatuhi.
Para feminis menganggap bahwa banyaknya jumlah korban kekerasan terhadap
perempuan tidak lepas dari kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap perempuan.
Negara membuat sejumlah kebijakan atau hukum yang tidak menguntungkan
perempuan. Kekerasan yang dilakukan negara menggunakan berbagai perangkat
kekuasaan yang dimilikinya, yaitu kekuasaan politik, sistem, ideologi, dan yang paling
sering digunakan adalah aparat represif. Semua ini terjadi karena kekuasaan negara
didominasi oleh laki-laki. Sebab, laki-laki dengan bias kelelakiannya tidak akan

5

memahami permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh perempuan. Akibatnya
mereka tidak memiliki empati terhadap perempuan sehingga banyak membuat
kebijakan yang merugikan kaum perempuan. Hal ini terlihat misalnya dari dominasi
kaum pria dalam aspek kekuasaan terlihat dari perbandingan jumlah laki-laki dan
perempuan yang menduduki kursi di parlemen khususnya Indonesia, dimana
perempuan hanya menduduki dan terwakili sebanyak 8,8% di Dewan Perwakilan
Rakyat dan 8,6% di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sementara itu, adanya pandangan bahwa peran reproduktif dan domestik
perempuan seolah-olah tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi perempuan,
menjadikan perempuan manusia kelas dua. Hal inilah yang kemudian mendorong
kaum feminis menyerukan agar perempuan ramai-ramai terjun ke sektor publik demi
memperjuangkan kesetaraan gender. Walaupun memang pada kenyataannya tidak
semua wanita yang terjun ke sektor publik untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
Namun, terlepas dari itu semua, kenyataannya banyak perempuan yang kemudian
memasuki ke hampir semua bidang yang digeluti laki-laki, baik di pemerintahan,
kantor-kantor swasta, menjadi buruh pabrik, olah ragawan, dan sebagainya.
Selain hal tersebut, mereka juga meyerukan untuk menyelesaikan persoalan
perempuan melalui jalan birokrasi parlemen. Mereka beranggapan, hanya dengan cara
mempengaruhi atau bahkan menguasai birokrasi serta memperbanyak jumlah
perempuan yang duduk di parlemen, persoalan perempuan dapat dituntaskan. Wanita
dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga jika tidak menghasilkan uang.
Sedangkan faktor-faktor lain nonmateri seperti cinta, kasih sayang, dedikasi dan
kesetiaan, diabaikan sehingga tugas reproduktif dan domestik wanita seolah-olah tidak
mempunyai kontribusi apa-apa dalam pembangunan.

6

Dengan kata lain, sesungguhnya kekerasan itu potensial dan sudah melekat di
dalam hubungan-hubungan antara suami-istri, orang tua-anak, dan negara-warga
negara. Hal itu disebakan, pola relasi di antara kedua belah pihak menunjukan adanya
ketidakseimbangan, yang satu memiliki otoritas yang lebih besar daripada yang lain.
Kekerasan yang sudah potensial ada di dalam pola hubungan tersebut kemudian akan
terwujud bila mereka yang merasa diri mempunyai wewenang lebih, kelompok
dominan, katakanlah tidak dituruti aturan-aturan dan perintahnya. Kekerasan itu pada
dasarnya adalah semua bentuk prilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga menyebabkan efek negatif secara
fisik, emosional atau psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kekerasan adalah suatu perlakukan atau situasi yang menyebabkan realitas
aktual seseorang menjadi ada di bawah realitas potensialnya. Artinya, ada sebuah
situasi yang menyebabkan potensi individu menjadi tidak muncul. Situasi yang
menyebabkan potensi individu menjadi terhambat itu bermacam-macam, dapat berupa
teror berencana yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi
ketakutan dan tertekan; dapat berupa pengekangan terhadap anggota keluarga,
sehingga anggota keluarga itu menjadi bodoh, terbelakang, tidak punya inisiatif, dan
apatis. Kekerasan tersebut, seperti disinggung diatas, bisa dilakukan siapa pun dan
lembaga apa pun yang dianggap lebih dominan. Bisa dilakukan oleh orang asing atau
orang yang tidak dikenal; suami; pacar; tunangan; bekas suami; teman bermain;
anggota keluarga; dan teman kerja. Pelaku lainnya adalah atasan kerja/majikan;
guru/dosen/pengajar, pemberi jasa tertentu (konselor, dokter, pekerja sosial).
Disamping itu, negara pun bisa menjadi pelaku kekerasan, seperti yang dilakukan oleh
polisi/militer; dan penjabat tertentu. Pelaku-pelaku kekerasan itu dapat terdiri atas satu

7

orang individu dan dapat pula dilakukan oleh lebih dari satu orang (kelompok atau
organisasi).
Semua bentuk kekerasan, siapa pun pelaku dan korbannya, bisa berlangsung
dalam tiga wilayah. Pertama, kekerasan dalam area domestik, yakni kekerasan pelaku
dan korbannya memiliki hubungan keluarga. Termasuk disini penganiayaan terhadap
istri, pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan atas orang
tua, serangan seksual dan perkosaan oleh anggota keluarga. Kedua, kekerasan pada
area publik, yakni bentuk kekerasan yang menjadi tempat-tempat kerja, ditempattempat umum, di lembaga-lembaga pendidikan; di sini termasuk masalah pornografi.
Dan ketiga, kekerasan yang dilakukan oleh dan dalam lingkup negara, terutama dalam
hal ini menyangkut berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Juga telah disebut di atas, secara umum yang sering menjadi korban kekerasan
adalah kaum perempuan yang dilakukan oleh orang atau lembaga yang dominan,
terutama di sini kaum laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin bisa mengakibatkan
terjadinya kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau
psikologis, karena diancam, dipaksa, atau dirampas kemerdekaannya secara sewenangwenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Berdasarkan

Deklarasi

Penghapusan

Kekerasan

Terhadap

Perempuan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1993), kekerasan terhadap perempuan harus
dipahami mencakup tindakan kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di
dalam keluarga dan masyarakat, yang terbentuk pemukulan, penyalahgunaan seksual
atas perempuan dan anak-anak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin,
perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik-

8

praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan dan kekerasan yang
berhubungan dengan eksploitasi perempuan, seperti perkosaan, pelecehan dan
ancaman seksual di tempat-tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan,
perdagangan perempuan dan pelacuran secara paksa.
Ada beberapa bentuk kekerasan atas perempuan ini :
Pertama, kekerasan fisik, yakni setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera,
luka atau cacat pada tubuh, dan atau menyebabkan kematian.
Kedua, kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak.
Ketiga, kekerasan seksual yakni perbuatan pelecehan seksual sampai memaksa
seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat
korban sedang tidak menghendakinya.
Keempat, kekerasan ekonomi, yakni setiap perbuatan yang membatasi seseorang
untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang;
dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan anggota
keluarga.
Dan lima, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, yakni perbuatan yang
menyebabkan terisolasinya seseorang dari lingkungan sosialnya, umpamanya larangan
keluar rumah atau berkomunikasi dengan orang lain.
Bila ditelaah mengenai penyebab munculnya kekerasan pada perempuan,
sedikitnya ada tiga penjelasan.
Pertama, penjelasan yang mengarah pada kondisi internal, karakteristik
pribadi pelaku kekerasan. Misalnya, kekerasan dilakukan oleh orang-orang
yang terganggu, tertekan, memiliki banyak masalah, yang masalah-masalah
9

itu kemudian direspons dengan cara melakukan kekerasan pada orangorang disekitarnya yang terdekat, seperti pada istri, anak kandung atau tiri
perempuan, kerabat, pacar, tunangan, adan teman perempuannya.
Kedua, penjelasan yang mengarah ke alasan-alasan yang dilekatkan ke
karakteristik pribadi korban kekerasan. Disini kejadian kekerasan dianggap
‘diprovokasi” oleh korban sendiri, misalnya karena tingkah laku yang
menyebabkan mudah mengalami kekerasan, umpamanya penuntut, histeris,
dan masokistik. Namun dari hasil-hasil penelitian, kasus-kasus ini
jumlahnya sedikit. Artinya, bahwa kekerasan pada perempuan sebagian
besar tidak diprovokasi oleh korban itu sendiri. Hanya sering muncul
aplogia dari kaum laki-laki yang melakukan kekerasan atas perempuan,
misalnya yang memperkosa, bahwa perkosaan yang ia lakukan karena
perempuan itu sendiri memberi rangsangan, umpamanya berpakaian minim
atau berprilaku menggoda.
Ketiga, penjelasan yang melihat bahwa tindak kekarasan merupakan
produk dari lingkungan sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang
mengutamakan kepentingan laki-laki, sambil sekaligus menganggap
perempuan sebagai jenis kelamin yang kurang bernilai dibandingkan
dengan laki-laki.
Melalui penjelasan ketiga inilah sebenarnya kita bisa melihat bagaimana lakilaki dan perempuan mengembangkan karakteristik kepribadian dan respons yang
berbeda. Laki-laki yang cenderung diistimewakan dan sekaligus mendapat tugas
menjadi kepala keluarga akan menjadi pihak yang terus menerus merasa perlu
meyakinkan dirinya bahwa ia memang mampu dan dapat mengendalikan keluarga
10

(harus dituruti oleh istri dan anak), dan mesti menjadi orang nomor satu. Ia perlu terus
melakukan langkah-langkah untuk meyakinkan dirinya, bahwa ia memang penting,
istrinya mesti menghormati dan berada di bawahnya.
Disamping itu, laki-laki sejak usia sangat dini telah disosialisasikan dalam
keluarga dan dalam lingkungan masyarakatnya untuk berani dan menyukai kekerasan,
melalui berbagai bentuk permainan, olah raga yang keras, tontonan-tontonan yang
menyuguhkan kekerasan sebagai cara untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
Sementara perempuan disosialisasi untuk bersikap lemah lembut, lebih mengutamakan
pelayanan dan perawatan pada orang lain, mesti bersikap sabar, mengalah, dan
meminggirkan kepentingan-kepentingannya. Perempuan dianggap tidak pantas
melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas fisik yang keras, juga dilarang menyatakan
perasaan-perasaannya secara terbuka. Karena itu, dapat dimengerti mengapa
kecendrungan lebih besar perempuan akan menjadi korban kekerasan ketimbang lakilaki.
Dengan kata lain, mengacu pada tipologi kekerasan yang dilakukan laki-laki
atas perempuan dan anak-anak dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.
Pertama, kekerasan fisik, yang secara teknis dinamakan represi, yakni penggunaan
kekuatan fisik berupa ancaman, teror, intimidasi, sampai pada pemukulan, dalam
rangka pemaksaan kehendak laki-laki dan menekan dan membatasi kehendak pihak
perempuan dan anak-anak. Di sini yang dilanggar adalah asas otonomi setiap individu,
karena orang dipaksa melakukan suatu tindakan yang menurut pertimbangannya
sendiri tidak patut, atau bahkan tidak boleh dilakukan.
Kedua, kekerasan struktural atau dominasi. Wujudnya terdapat dalam keadaan tidak
berimbangnya antara berbagai kekuatan sosial (unequal exchange of social forces). Di

11

dalam rumah tangga misalnya, ketidakseimbangan itu nampak mencolok antara lakilaki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai anggota keluarga. Dominasi
seperti ini merupakan kekerasan, karena struktur yang ada sudah membuat pihak yang
satu lebih kuat dan lebih unggul, sementara pihak lain lebih lemah dan
terbelakang. Pihak yang terakhir dengan terpaksa oleh keadaan menerima kondisinya
yang tidak menguntungkan. Dalam konteks ini, ada selisih kekuasaan (power
differential) yang menyebabkan pihak yang lebih lemah harus terus-menerus menerima
paksaan dari pihak yang lebih kuat, tanpa dapat memberikan perlawanan atau
melakukan negosiasi untuk perbaikan keadaan. Dominasi ini telah melembagakan
ketimpangan dalam pembagian hak dan karena itu melanggar asas keadilan.
Dan ketiga, kekerasan kultural atau hegemoni. Dalam konteks ini, yang terjadi adalah
ketidakseimbangan dalam pertukaran makna (unequal exchange of meaning). Pihak
yang satu, laki-laki, dianggap yang memproduksi makna, sedangkan pihak yang lain,
perempuan dan anak, hanya menjadi konsumennya. Hegemoni adalah makna yang
diterima bukan karena adanya bobot kebenaran yang dikandung di dalamnya, tetapi
oleh bobot kekuasaan dan kewibawaan yang mendukungnya.

Hegemoni ini

mengakibatkan macetnya kebebasan berpikir dan kemungkinan berpendapat yang
kemudian menyebabkan seseorang lebih menerima pendapat orang lain yang
didanggapnya lebih berwibawa daripada mencoba mengajukan pendapat sendiri.

12

2.2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan UU No 23/2004, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan, secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Korban KDRT
umumnya adalah perempuan yang menjadi ibu, istri, anak, saudara kandung, atau
tinggal bersama pelaku.
Kasus KDRT umumnya dilakukan oleh suami. Lembaga non pemerintah Mitra
Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2005, kekerasan yang dialami perempuan
86,81 persen adalah KDRT dan 77,36 persen pelakunya adalah para suami. Selain
suami, KDRT juga dilakukan oleh pacar/teman dekat (9,01 persen), saudara (6,15
persen), mantan suami (3,08 persen), serta orangtua atau mertua dan majikan (0,22
persen). Para pelaku memiliki status sosial, ekonomi, dan latar belakang pendidikan
yang beragam. Dengan demikian, KDRT tidak melulu terjadi pada orang yang
memiliki status sosial, ekonomi, dan pendidikan, yang rendah.
Data menunjukkan, KDRT sudah mulai meresahkan. Peningkatan kasus setiap tahun
menunjukkan persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Kondisi ini sekaligus
menunjukkan penyadaran terhadap penghapusan KDRT masih belum berjalan secara
maksimal.
Dari sisi peraturan perundangan, sebetulnya perangkat hukum yang tersedia
sudah cukup memadai. Tetapi sayang, belum dimanfaatkan secara maksimal. Sebut
saja UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT, SKB Layanan Terpadu Tahun 2002,
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU Nomor 7 Tahun

13

1984 tentang Konvensi Perempuan (CEDAW), serta Peraturan Presiden Nomor 64
Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan. Aparat penegak hukum memiliki pandangan
berbeda mengenai peraturan perundangan tersebut. Akibatnya, sanksi yang dijatuhkan
kepada para pelaku relatif belum menimbulkan efek jera.
Kita berharap dengan sosialisasi yang dilakukan secara gencar mengenai
penghapusan KDRT membuat berbagai kalangan dapat memahami betapa persoalan
kekerasan terhadap perempuan harus segera dihentikan, apa pun bentuknya.

2.3. Bentuk - Bentuk KDRT
1. Financial Abuse
Ini termasuk jika pasangan sangat perhitungan dengan masalah uang, misalnya
istri cuma diberi uang sebesar Rp.10.000 sehari, dan sebelum tidur di malam harinya,
maka sang istri harus melaporkan secara detail untuk apa saja uang tersebut, jangan
sampai lupa penggunaannya walaupun cuma seribu rupiah, karena bisa jadi itu menjadi
pangkal pertengkaran. Intinya adalah orang yang sangat amat pelit sekali terhadap
masalah uang.
2. Emotional Abuse
Kalau masalah ini sangat banyak contohnya, seperti mengumpat/ mengucap kata kotor/
mencaci maki, dan sejenisnya
3. Fisik Abuse
Yang ini lebih jelas lagi, yaitu adanya tindakan pemukulan/ penganiayaan fisik baik
tanpa alat maupun dengan alat bantu, termasuk pelecehan seksual dan perkosaan.

14

4.Stalking
Ini merupakan masalah yang agak umum, jadi kalau pasangan sudah mengintimidasi
dengan cara menelpon hampir setiap detik, menit, jam, untuk sekedar menanyakan
"kamu dimana? sedang apa? sama siapa? dll". Itu termasuk yang harus diwaspadai
oleh kita Atau jika ada seseorang yang selalu menguntit kita kemanapun pergi,
mengamati dan membuat kita merasa jengah tidak nyaman, itu juga perlu diwaspadai.

Kebanyakan para ibu berpikir seperti ini :
"Ibu, kan seorang istri itu sudah selayaknya untuk bersabar dan bersabar menghadapi
jika suaminya melakukan tindak kekerasan? Karena mungkin memang kita yang salah,
jadi suami jadi marah besar begitu.."
Namun Dr. Nalini seorang psikiater menanggapi hal tersebut : "Persepsi itulah yang
harus diluruskan, bersabar itu bukanlah tanpa usaha, bersabar itu kadarnya
tawakkal, kalau ibu cuma pasrah dan nrimo itu bukan bersabar namanya, lagipula
apa ibu rela, jika anak anak sampai melihat tindak kekerasan itu? Jangan salah, anak
yang menyaksikan/ bahkan mengalami tindak kekerasan itu punya kans besar untuk
menjadi pelaku/ korban tindak kekerasan kelak di usia dewasanya, karena itu bisa
menyebabkan trauma yang hebat dan terbawa sepanjang hidupnya, dan lagi, lelaki
dan perempuan itu tercipta untuk saling menghargai, masing masing adalah makhluk
ciptaan Tuhan, bukan sansak hidup yang bisa diperlakukan semaunya seperti
binatang"
Pada intinya, pakem orang jawa yang senantiasa mengutamakan "bibit, bebet, bobot"
bukanlah isapan jempol belaka. Itu adalah benar adanya, karena orang yang sedari
kecilnya sering melihat atau lebih parahnya sering mendapat/ melakukan tindakan

15

kekerasan, maka dia punya kans besar untuk mengulanginya di masa dewasa/ telah
berumah tangga.
Kasus kekerasan terhadap istri, tentu saja memberikan dampak. Secara fisik
dapat menimbulkan luka. Ini adalah dampak yang paling transparan. Hasil penelitian
kolektif RAWCC (2001) memperlihatkan bahwa sepertiga dari istri yang mengalami
penganiayaan mendapat cedera fisik. Bahkan pemantauan Kalyanamitra di tujuh surat
kabar/majalah Jakarta memperlihatkan bahwa dari 36 kasus kekerasan terhadap istri,
enam orang (14,3%) diantaranya meninggal (1997). Jumlah ini meningkat pada tahun
1998, dari 21 kasus, 9 (42,9%) diantaranya meninggal.
Selain cedera, dampak fisik juga dapat berupa sakit kepala, asma, sakit perut,
serta gangguan kesehatan reproduksi seperti mengalami keputihan. Bahkan bagi istri
yang sedang hamil, kemungkinannya mengalami keguguran menjadi dua kali lebih
besar.
Sedangkan secara psikis, kekerasan akan membuat istri menderita kecemasan,
depresi dan sakit jiwa akut. Juga akan mereduksi kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah. Tidak tertutup kemungkinan memunculkan keinginan untuk
bunuh diri atau membunuh pelaku.
Yang sangat mengkuatirkan, kekerasan terhadap istri juga berdampak bagi
anak-anaknya. Bagi yang masih bayi, besar kemungkinan ia tidak lagi akan dapat
merasakan nikmatnya air susu ibu (ASI), sebab stress akan membuat produksi ASI
berkurang bahkan berhenti. Belum lagi dengan melemahnya kemampuan menguasai
diri, baik dari suami maupun istri akan membuka kemungkinan mereka bertindak
kejam terhadap anak. Kondisi ini tentu tidak baik bagi anak, karena akan membuat
mereka trauma baik fisik maupun psikis. Yang membuat mereka menjadi sering

16

gugup, suka menyendiri, cemas, sering ngompol, gelisah, gagap, sering menderita
gangguan perut, sakit kepala, asma, kejam pada binatang, suka memukul teman, dsb.
Yang sangat dikuatirkan adalah, tumbuhnya pemahaman pada anak (terutama
laki-laki) bahwa kekerasan adalah hal yang wajar dan timbulnya persepsi bahwa
tidaklah perlu menghormati perempuan. Kondisi ini akan membuka kemungkinan di
saat besar nanti, merekapun melakukan kekerasan. Sebuah penelitian yang
memperlihatkan bahwa 50 –80% suami yang memukul istrinya atau anak-anaknya
dibesarkan dalam rumah tangga yang ayahnya memukuli ibunya (Farha Ciciek, Iktiar
Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, 1999).

2.4. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa
Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang
tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia,
membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menjadi UU. Pertimbangan lahirnya UU 23 /2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) antara lain adalah bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus; korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan,
harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat, agar terhindar dan

17

terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT didefinisikan sebagai,
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dengan kata lain, ruang lingkup KDRT menurut UU PKDRT meliputi kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Sebelum lahir
UU PKDRT, anggota keluarga yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
hanya dapat menuntut kekerasan fisik yang diatur dalam KUHP, berdasarkan pasal
penganiayaan, dan apabila terjadi kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap
istri, istri tidak dapat menuntut karena KUHP tidak mengaturnya.
Beberapa keuntungan dari adanya UU No. 23 tahun 2004 ini adalah : Pertama,
kasus KDRT bukan lagi delik aduan dari korban. Bahkan dalam pasal 15 diungkapkan
bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib
melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya, termasuk melaporkan ke
polisi. Selama ini, adanya ketentuan aduan dari korban membuat hanya 15,2 persen
dari korban KDRT yang lapor ke polisi, sebagaimana catatan Mitra Perempuan.
Mayoritas korban memutuskan pindah dari rumah (45,2 persen). Bahkan ada 10,9
persen memilih berdiam diri (Suara Karya, 9/10/04). Dari sedikit yang melapor
tersebut, tidak semua berlanjut hingga ke pengadilan, sebab banyak yang kemudian
mencabut aduannya. Di Polda Metro Jaya misalnya, dari 118 kasus yang sampai ke
proses penyidikan antara tahun 2001-2003, hanya 19 kasus (16 persen) yang

18

dilanjutkan sampai ke tingkat penyidik umum (jaksa) dan pelaku divonis sesuai
kesalahannya (Kompas, 1/12/2003).
Kedua, syaratnya lebih ringan, cukup dengan seorang saksi ditambah satu alat
bukti sudah sah dan dapat digunakan untuk membuktikan seseorang terdakwa bersalah.
Korban KDRT bisa menjadi saksi, tidak perlu lagi saksi lain. Hal ini akan
mempermudah pembuktian mengingat peristiwa KDRT yang umumnya hanya
diketahui oleh pelaku dan korban dan terjadi di ruang domestik, yang tertutup.
Ketiga, lebih memberikan perlindungan pada korban. Bahkan bila dicermati,
masalah perlindungan korban mendapat porsi pengaturan yang besar, diatur dalam 22
pasal (dari pasal 16 – 38), 40 persen dari 55 pasal yang ada. Dalam pasal 16 misalnya
dinyatakan bahwa dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima
laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
korban tanpa diskriminasi.
Keempat, memprioritaskan penyelesaian perkara KDRT, walaupun ada
tuntutan balik yang diajukan pelaku. Hal ini penting, karena selama ini ketakutan
adanya tuntutan balik pelakulah yang membuat korban tidak mau melaporkan
kasusnya, karena umumnya korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain.
Kelima, adanya wewenang kepolisian yang lebih tinggi, sebab kepolisian dapat
menangkap pelaku untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah (surat
menyusul) terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan,
walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Terlebih
penangguhan penahanan tidak berlaku.
Keenam, adanya hukuman yang lebih berat. Untuk pelaku kekerasan seksual
misalnya dikenakan pidana penjara maksimal 12 tahun dan denda Rp 36 juta (Pasal

19

46). Untuk pelaku pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial dan atau
tujuan tertentu dikenakan pidana minimal empat tahun dan maksimal 15 tahun atau
denda minimal Rp 12 juta dan maksimal Rp 300 juta (pasal 47). Bahkan bila
mengakibatkan korban luka tak bisa sembuh, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan, atau gugur atau matinya janin dalam kandungan atau tak berfungsinya alat
reproduksi dikenakan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun atau
denda minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 500 juta (pasal 48).
Namun demikian, dalam implementasinya masih dijumpai kendala-kendala.
Kendala dalam penegakan UU PKDRT, antara lain adalah budaya patriarki masih
melekat dalam masyarakat kita; UU yang menjadi dasar pembentukan rumah tangga,
yaitu UU Perkawinan masih mengandung bias gender; UU PKDRT masih
mengandung kelemahan, yaitu tidak dimasukkannya kekerasan ekonomi dalam ruang
lingkup KDRT, padahal dalam realita ada istri yang dipaksa bekerja oleh suaminya di
luar kapasitasnya atau suami menghambur-hamburkan uang dari hasil jerih payah
istrinya. Juga tidak dimasukannya kekerasan sosial, yaitu sikap atau tindakan
membatasi pergaulan istri, misalnya untuk mengikuti organisasi sosial, mengunjungi
famili, dll. Penganiayaan ringan dalam UU PKDRT dimasukkan dalam delik aduan,
padahal dalam KUHP merupakan delik biasa. Pasal 55 mengenai sistem pembuktian
yang dianut UU PKDRT rancu, baik dalam bunyi pasalnya itu sendiri maupun dalam
penjelasannya, sehingga dalam praktik dapat merugikan pihak korban. Selain itu, UU
PKDRT belum tersosialisasi dengan baik.

20

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Implementasi UU PKDRT
Peraturan dan undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT) yang telah berlaku selama ini, ternyata belum membuat perempuan
terhindar dari kekerasan. Dari data yang dihimpun LBH APIK Medan, dan WCC
Cahaya Perempuan sejak Januari hingga Desember 2005, angka kekerasan itu justru
melonjak tajam. Setidaknya ada 1520 kasus yang dialami perempuan dan anak dengan
berbagai kasus seperti kejahatan seksual (perbuatan cabul dan pemerkosaan) sebanyak
648 kasus. Kekerasan fisik dan psikis 303 kasus, perampokan terhadap perempuan 208
kasus, kematian tidak wajar 148 kasus, penganiayaan 118 kasus, trafiking 64 kasus,
bayi dibunuh 19 kasus, kekerasan terhadap buruh, 7 dan penculikan 4 kasus.
Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan kekerasan yang
terungkap kepermukaan. Diyakini persoalan kekerasan yang tidak terungkap datanya
lebih besar lagi. Pengalaman pendamping menangani kasus kekerasan dalam rumah
tangga ( KDRT) sebelum lahirnya undang–undang khusus yang mengatur tentang
kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) Nomor 23 tahun 2004 selalu menemui
hambatan baik dari subtansi maupun aparaturnya, hal ini disebabkan di antaranya
karena tidak ada aturan yang tegas terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga,
Tetapi dengan lahirnya undang –undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
(PKDRT ) diharapkan perempuan akan lebih dihargai dan pihak penegak hukum,
pemerintah, masyarakat dan semua pihak yang dilibatkan dalam undang–undang
PKDRT dapat berpartisipasi dan menyambut baik lahirnya undang– undang tersebut.

21

Salah satu tujuan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
antara lain, mencegah segala bentuk KDRT, melindungi korban, menindak pelaku dan
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Sementara dalam ruang lingkungn rumah tangga ada suami, isteri dan
anak. Ada pula orang–orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan
darah perkawinan persusuan pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah
tangga dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga
ada yang fisik dan atau psikis serta kekerasan seksual. Kekerasan fisik di antaranya,
kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
meninju, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan perbuatan lainnya
yang mengakibatkan cedera berat tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari,
pingsan , luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit di sembuhkan atau
menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indera, mendapatkan cacat
badan, menderita lumpuh , terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih,
gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, kematian korban. Kekerasan
fisik ringan misalkan, menampar, menjambak, mendorong, dan atau perbuatan lainnya
yang mengakibatkan cedera ringan.
Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya juga, dan

22

atau penderitaan phisikis berat pada seseorang, kesewenangan, perendahan,
penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan dan atau
ucapan yang merendahkan atau menghina , kekerasan dan atau ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomi yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis berat. Penderitaan itu dapat berupa gangguan tidur atau gangguan makan atau
ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan
atau menahun, gangguan stress pasca trauma gangguan fungsi tubuh berat (seperti tibatiba lumpuh atau buta tanpa indikasi (medis). Depresi berat atau gangguan jiwa dalam
bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik
yang lain.
Sedangkan kekerasan seksual, termasuk di antaranya pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. Masalah lainnya,
tentang kasus kekerasan seksual berat, temasuk pemaksaan melakukan hubungan
seksual. Hal lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah soal penelantaran orang
dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu.
Selain membicarakan peluang-peluang dalam penanganan kepentingan korban,
disebutkan pula tentang bagaimana jalur yang bisa ditempuh serta alat bukti yang
diperlukan agar pembuktian kekerasan itu mendukung. Melihat kenyataan di atas,
undang-undang itu perlu ditegaskan kembali dan dilaksanakan secara utuh. Dalam hal
penegasan undang-undang, pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang cukup

23

besar. Pemerintah misalnya, bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan
dalam rumah tangga, mulai dari perumusan kebijakannya hingga sosialisasi dan
penyelenggaraan pendidikan sensitif jender. Sementara masyarakat semestinya
memberikan perhatian lebih serius. Misalkan, setiap orang yang mendengar, melihat,
atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana. Memberikan
perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat serta membantu proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Tentu saja peran ini sangat membantu
dalam penanganan korban serta mencegah secara dini upaya tindak kekerasan itu.
Terlebih adanya pengaturan mengenai hak-hak korban. Mereka berhak
mendapatkan, perlindungan dari pihak keluarga, Perlindungan dari pihak kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, serta adanya pelayanan bimbingan rohani.
Selain itu implementasi atas segala peraturan yang ada di negeri ini selalu
menjadi masalah, termasuk yang terkait dengan upaya mereduksi terjadinya KDRT.
Keraguan atas implementasi UU Penghapusan KDRT ini cukup beralasan.
Pertama, karena masih kurangnya pemahaman masyarakat bahkan aparat bahwa
KDRT merupakan sebuah bentuk tindak kriminal. Masih banyak menganggapnya
sebagai masalah pribadi sehingga kurang berempati pada korban. Kondisi ini akan
membuat korban merasa mendapat kekerasan untuk kedua kalinya.

24

Kedua, karena masih banyaknya perempuan yang karena ketidakberdayaannya
menjadi enggan melapor bila mengalami kekerasan. Hal ini penting untuk dicermati
karena meskipun pada umumnya tindak pidana dalam UU Penghapusan KDRT adalah
delik umum, namun ada yang bersifat delik aduan, yaitu tindak pidana kekerasan fisik
dan psikis ringan serta pemaksaaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap
istri atau sebaliknya.
Ketiga, karena hingga saat ini sosialisasi Pusat Pelayanan Terpadu untuk
korban kekerasan tidak berjalan dengan baik. Buktinya banyak anggota kepolisian di
lapangan masih belum memahami dengan benar persoalan ini, meski sudah ada surat
keputusan Kapolri tentang Pusat Pelayanan Terpadu.
Keempat, karena masih sedikitnya jumlah rumah aman bagi korban KDRT,
baru ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu (Media
Indonesia, 29/10/2004). Sarana ini diperlukan sebagai tempat pembinaan dan
pemulihan bagi korban kekerasaan dari trauma atas kejadian yang dialaminya.
Kelima, karena masih terbatasnya jumlah tenaga penyidik serta anggaran misal
untuk penyidikan, untuk keperluan visum et repertum, dan sebagainya. Di Polwiltabes
Semarang misalnya, dalam satu bulan setidaknya ada 3 sampai 6 kasus KDRT. Tetapi
hanya ada 5 Polwan yang menangani (Suara Karya, 31/7/04).
Keenam, karena masih lamanya waktu persidangan, yang bisa memakan waktu
6 bulan -1 tahun. Kondisi ini akan membuat korban enggan sebab cukup banyak
menguras waktu, energi serta biaya.
Ketujuh, karena tidak adanya sanksi bagi Pemerintah bila tidak melaksanakan
kewajiban – kewajibannya sebagaimana yang terdapat dalam UU Penghapusan KDRT.
Tidak dipungkiri bahwa UU Penghapusan KDRT merupakan terobosan penting dalam

25

upaya menghapuskan kejadian kekerasan dalam rumah tangga. Namun, hal tersebut
tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diiringi dengan upaya serius dari kita semua
untuk mengimplementasikannya. Hanya akan membuatnya sekedar menjadi ‘hal
istimewa’, yang tak lebih dari sebuah utopia semata.
3.2. Solusi
Guna menyusun langkah tepat perlindungan terhadap KDRT, perlu kiranya
mempelajari persoalan kekerasan terhadap perempuan dengan cara menyelenggarakan
lokakarya, seminar dan berbagai persoalan yang meliputi tentang kekerasan itu.
Mengajak orang berbicara mengenai persoalan KDRT. Mendukung gerakan
pembaharuan hukum. Jika kita menginginkan hasil yang rata, kita harus memasukkan
persoalan ini kedalam undang-undang. Lebih perlu mengajari anak laki-laki bahwa
memukuli perempuan adalah sebuah tindakan yang salah. Mereka perlu diingatkan
bahwa pelaku kekerasan akan mendapatkan hukuman. Memang KDRT memiliki
hambatan, karena ia merupakan fenomena yang hingga saat ini merupakan kekejaman
yang sulit untuk dipantau oleh Polri, karena seringkali terjadi dengan sangat tertutup.
Sudah pasti, dalam rangka memecahkan atau mengurangi kekerasan atas
perempuan ini, yang terpenting adalah menempatkan posisi perempuan dan laki-laki
secara lebih setara atau seimbang. Perempuan, katakanlah, mesti menjadi “mitra” lakilaki di bidang dan wilayah apapun, di tempat kerja, di rumah tangga, dan di lembagalembaga kemasyarakatan dan publik lainnya, termasuk dalam lembaga-lembaga negara.
Pertama-tama, cara untuk menempatkan perempuan sebagai mitra ini, bisa
dimulai melalui sosialisasi dalam keluarga. Kedua, melalui aturan-aturan dan hukumhukum formal yang dibuat lembaga-lembaga negara dan secara konsisten diterapkan
dan ditegakkan oleh aparat pemerintah. Kekerasan adalah kekerasan, bukan hanya
26

urusan korban atau pelaku, tapi termasuk kategori kejahatan. Selama ini persepsi yang
berkembang di masyarakat menganggap masalah kekerasan atas perempuan, apalagi
dalam rumah tangga, sebagai urusan pribadi (personal), dan karenanya pihak-pihak
lain (pihak luar, termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak sepatutnya atau
tidak boleh ikut campur di dalamnya. Tetapi untuk sementara ini kita patut bersyukur,
bahwa Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga telah menggolongkan kekerasan atas perempuan dalam rumah tangga
sebagai tindak kriminal, yang harus mendapatkan hukuman. Seterusnya yang musti
kita lakukan adalah melakukan sosialisasi undang-undang tersebut secara luas kepada
anggota masyarakat.
Dan ketiga, perlu dikembangkan institusi-institusi tertentu untuk melakukan
tindak pencegahan dan kuratif dari kekerasan laki-laki atas perempuan dan anakanak. Untuk tindak pencegahan, di sini harus diperkuat kontrol komunitas atas
warganya, yakni dengan mendorong kemampuan mereka untuk memonitor dan segera
bertindak bila terjadi kekerasan laki-laki atas perempuan dan anak di lingkungannya.
Sementara untuk tindakan kuratif, umpamanya dengan dikembangkannya
crisis center untuk perempuan dan anak yang mengalami korban kekerasan. Crisis
center ini perlu dikembangkan di banyak wilayah, tidak hanya terpusat di kota-kota
besar. Di dalam crisis ini perlu dikembangkan di banyak wilayah, tidak hanya terpusat
di kota-kota besar. Di dalam crisis center ini perlu diisi oleh orang-orang “terlatih”
dalam menangani korban kekerasan, terutama kemampuan dalam mengembangkan
emphaty. Lalu, instansi pemerintah yang bertugas di lapangan dalam manangani
persoalan hukum kekerasan ini, di antaranya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman,
mesti juga diisi oleh orang-orang yang dapat mengembangkan emphaty ini. Mungkinin

27

untuk sementara ini instansi pemerintah itu mesti melibatkan petugas perempuan, yang
dalam batas tertentu, kemampuan empathy-nya atas korban lebih besar ketimbang lakilaki, umpamanya pada setiap kantor sektor kepolisian, mesti ada satu dua orang
Polwan (Polisi Wanita) yang salah satu tugasnya memang secara khusus menangani
kekerasan atas perempuan itu.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT), pada pasal 50 disebutkan adanya
kewajiban mengikuti konseling bagi pelaku KDRT selain menerima hukuman pidana.
Dan selama ini sudah ada lembaga sosial yang menangani layanan konseling bagi
korban KDRT. Namun akan lebih baik jika pemerintah bekerja sama dengan layanan
konseling yang sudah ada untuk melakukan konseling bagi pelaku KDRT.
Tetapi, berdasarkan pendampingan yang dilakukan Mitra Perempuan dalam upaya
hukum penanganan kasus KDRT, belum ada hakim yang menjatuhkan vonis
kewajiban mengikuti konseling bagi pelaku KDRT (Media Indonesia, 30/12/2007).
Pasalnya, sampai sekarang belum ada lembaga yang ditunjuk untuk memberikan
konseling tersebut. Hal ini harus menjadi suatu perhatian, walaupun Departemen
Sosial (Depsos) memang telah memiliki pekerja sosial disebabkan yang juga ikut
menangani korban dan pelaku KDRT, yang secara tidak langsung belum memiliki
kualifikasi untuk berhadapan dengan korban dan pelaku KDRT.
Karena itu diharapkan pemerintah menyediakan dana untuk lembaga konseling
bagi korban dan pelaku KDRT. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan
kepercayaan dan saling bersinergi dengan lembaga-lembaga konseling yang sudah ada
selama ini. Sinergi yang dilakukan pemerintah dan lembaga konseling tidak hanya

28

menyangkut masalah pembagian tugas. Dengan dana masing-masing, lembaga
pemerintah dan lembaga konseling independen bisa bekerja secara bersama-sama.
Untuk itu pemerintah seharusnya lebih memastikan adanya peraturan pemerintah
(PP) yang mengatur hal teknis tentang konseling pelaku KDRT. Termasuk, PP
mengenai adanya jaminan dana bagi kegiatan konseling untuk pemulihan perilaku
pelaku.

3.2.1. Konsep Pemberdayaan Perempuan
Secara umum

pemberdayaan

perempuan didefinisikan sebagai

upaya

peningkatan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol
terhadap sumberdaya, ekonomi, politik, sosial dan budaya agar perempuan
dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk berperan dan
berpartisipasi aktif dalam memecahkan permasalahan sehingga mampu
membangun kemampuan dan konsep d