Desentralisasi dan Prospek Partisipasi Warga dalam Pengambilan Keputusan Publik - HETIFAH

DESENTRALISASI DAN PROSPEK PARTISIPASI WARGA DALAM
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PUBLIK
Oleh: Hetifah Sjaifudian1

Tantangan menuju participatory governance
Bagi mereka yang memiliki persepsi bahwa keterlibatan komunitas dalam penyelenggaraan
urusan publik adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan, desentralisasi tentunya akan dilihat
sebagai peluang. Pada masa lalu, gagasan untuk menerapkan metode penyelenggaraan urusan
publik yang partisipatif sangat sulit untuk direalisasikan. Struktur politik serta tradisi
perencanaan maupun pengambilan keputusan yang sangat otoriter dan bersifat paternalistik,
membuat gagasan serupa ini kurang bisa diterima. Hal ini mengingatkan saya pada Prof.
Hasan Poerbo, seorang tokoh yang sejak tahun 1970-an telah berupaya tanpa henti
mensosialisasikan pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku dan subyek
dalam proses perancangan dan pelaksanaan sampai pemanfaatan hasil pembangunan. 2 Pada
masa itu, banyak pemikiran beliau yang dirasa muskil bahkan oleh rekan-rekannya sendiri.
Selain itu, tidak jarang beliau menghadapi tentangan dari aparat pemerintah daerah ketika
berupaya menerapkan konsepnya di suatu wilayah.
Implikasi yang signifikan dari desentralisasi adalah dibukanya ruang politik untuk
mereformasi proses perencanaan dan pengambilan keputusan dari yang sebelumnya sangat
sentralistik dan top-down, menjadi lebih demokratis dan berorientasi pada kebutuhan warga.
Konsep partisipasi warga dan konsep desentralisasi yang demokratis sangat erat terkait. Hal

ini dibuktikan oleh pengalaman di beberapa negara seperti Filipina dan India yang
merasakan desentralisasi yang telah dijalankan merupakan enabling factor untuk memperkuat
partisipasi warga. Di era desentralisasi nanti, hendaknya pemikiran „aneh‟ seorang Prof.
Hasan Poerbo-- yang menuntut adanya partisipasi warga dalam bidang-bidang yang secara
tradisional merupakan public sphere, akan lebih dimengerti dan lebih dapat diterima.
Bahwa desentralisasi akan memberikan peluang yang lebih besar pada partisipasi warga,
mungkin tidak mengejutkan. Yang patut disadari, dalam proses menuju desentralisasi
sekarang ini, jangan berharap semua orang akan secara otomatis mendukung ide-ide pelibatan
warga dalam pengambilan keputusan. Kelompok yang antusias untuk mendorong pelibatan
warga sangat yakin bahwa tanpa input dari warga, keputusan publik yang diambil tidak akan
efektif. Melalui konsultasi yang baik dengan warga yang relevan, keputusan menjadi lebih
aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan mereka yang menjadi sasaran atau yang terkena
dampak program. Pada gilirannya, hal ini akan mempermudah proses implementasinya.
Untuk mendukung pandangan ini, cukup banyak literatur yang memperlihatkan potensi dari
pelibatan warga, terutama teori-teori kontemporer tentang governance.

1

Peneliti AKATIGA dan Presidium Sarasehan Warga Bandung (Sawarung) - Civil Society Network on Local
Governance.

2
Beberapa gagasan beliau yang menarik antara lain ide Perancang Kota Sebagai Fungsi Keperantaraan dan
Konsultan Pembangunan , konsep Masyarakat Sebagai Mitra Pembangunan Kota , gagasan Membangun
Permukiman Melalui Koperasi, serta gagasan bagaimana Menempatkan Sektor Informal dalam Pembangunan
Kota.

Sementara itu, tidak sedikit kelompok yang merasa skeptis dengan terlibatnya masyarakat
kebanyakan dalam pengambilan keputusan. Disamping khawatir akan kompleksitas dan
kesulitan dalam prosesnya (yang biasanya akan makan waktu lebih panjang), juga karena
khawatir partisipasi akan mempengaruhi kualitas dari kebijakan publik yang akan diambil.
Mereka percaya, banyak sekali program yang menyangkut urusan publik yang membutuhkan
keahlian khusus, mulai dari soal jalan layang hingga masalah air bersih, sehingga hanya para
ahli saja yang dianggap kompeten untuk membuat keputusan.
Lepas dari pro-kontra ini, kita tentunya tidak bisa melepaskan diri dari kecenderungan global
yang menuntut terwujudnya proses demokratisasi di tingkat lokal. Model pengambilan
keputusan yang top-down dan ditentukan oleh sekelompok kecil orang saja sudah tidak sesuai
lagi dengan era desentralisasi. Namun kalaupun kita semua sepakat untuk memulai penerapan
proses pengambilan keputusan yang partisipatif, pada kenyataannya kita akan dihadapkan
pada sejumlah masalah.
Pertama , ketidaksiapan aparat pemerintah dan para planner yang selama ini terbiasa

menyusun perencanaan dengan nature yang tidak partisipatif. Perencanaan adalah wilayah
kerja para ahli yang terdidik, dan pelaku lain dalam pembangunan adalah obyek yang diatur.
Oleh sebab itu mereka tidak punya cukup pengalaman berkomunikasi dua arah dengan
masyarakat dan tidak terbiasa mendengarkan keluhan warga. Pengetahuan mengenai berbagai
pendekatan untuk partisipasi publik juga sangat terbatas. Akibatnya, keterlibatan warga lebih
banyak dimanipulasi dan keputusan penting pada akhirnya diambil oleh mereka sendiri.
Berbagai kasus menunjukkan metode partisipatif dalam pembangunan diterapkan hanya
karena merupakan persyaratan dari lembaga donor dan dijalankan dengan setengah hati.
Kedua , ketidaksiapan dari warga sendiri untuk berpartisipasi secara cerdas dan genuine. Hasil
pengamatan terhadap proses partisipasi warga menunjukkan bahwa level partisipasi
seringkali terbatas pada kehadiran, bukan peran aktif. Pengetahuan dan wawasan untuk
memahami korelasi antara situasi yang mereka hadapi sehari-hari dengan realitas sosial yang
lebih luas, sangat terbatas. Apalagi sebagian besar warga saat ini tidak terorganisir, sehingga
mempersulit proses partisipasi yang betul-betul representatif. Banyak pengalaman
menunjukkan bahwa partisipan yang relevan justru tidak tertarik untuk terlibat mengingat
waktu dan sumber daya lain yang harus mereka korbankan untuk itu. Sebaliknya, mereka
yang aktif melibatkan diri justru bukan representasi dari populasi warga yang lebih luas.
Kebanyakan mereka datang mewakili kelompok interest tertentu bukan mewakili kalangan
warga pada umumnya. Patisipasi mereka bisa jadi justru bertentangan dengan kepentingan
kelompok yang lebih luas. Hal ini dapat ditemui pada berbagai program anti kemiskinan

dimana kelompok yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan biasanya justru
datang dari kelompok elit yang terpelajar, bukan dari kelompok termiskin itu sendiri.
Ketiga , ketidaksiapan dari civil society organizations (CSOs), termasuk diantaranya Lembaga
Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi untuk menjadi partner pemerintah dalam
pembangunan, melakukan analisis kritis dan memberikan alternatif pemikiran yang
independen dan konstruktif. Konsep partnership dalam penyelenggaraaan urusan publik
adalah konsep baru bagi CSOs, yang membutuhkan kemandirian dan rasa saling percaya
sebagai landasan. Padahal CSOs, khususnya yang telah memiliki pengalaman menerapkan
pendekatan pembangunan yang partisipatif, justru diharapkan dapat menjalankan peran
penting dalam masa transisi menuju demokratisasi seperti sekarang ini. Di Filipina dan India,
pada masa transisi di awal penerapan kebijakan desentralisasi, CSOs sangat aktif berperan
dalam proses peningkatan kapasitas pemerintah lokal dan kapasitas warga untuk menerapkan

participatory governance. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain pelatihan untuk
meningkatkan visi partisipasi dan mengembangkan modul-modul untuk menjalankan
perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif. 3

Kualitas Partisipasi Warga di Indonesia Saat Ini
Berdasarkan kenyataan di lapangan, ada berbagai level partisipasi warga, dari partisipasi
pasif, dimana warga hanya diberi tahu apa yang harus dilakukan, hingga mobilisasi diri

sendiri, dimana warga sendiri yang menginisiasi proses perubahan di dalam komunitasnya
serta membangun hubungan dengan pihak luar untuk memperoleh sumber daya dan nasihat
teknis. Di antara keduanya ada beberapa kualitas partisipasi antara lain partisipasi dalam
pemberian informasi, partisipasi melalui konsultasi dimana warga dikonsultasikan oleh pihak
luar namun keputusan tetap diambil oleh pihak luar itu sendiri, partisipasi dalam rangka
pertukaran material—yang biasanya akan terhenti ketika insentif material habis (kasus
program padat karya), partisipasi fungsional dimana warga berpartisipasi melalui
pembentukan kelompok yang akan bekerja untuk mencapai tujuan proyek tertentu, dan
partisipasi interaktif dimana masyarakat bekerjasama untuk membuat rencana dan
mengontrol pelaksanaannya.4
Sebetulnya sudah cukup banyak program pembangunan di Indonesia yang berlabelkan
“partisipatif”. Namun situasi yang paling sering terjadi di Indonesia di masa lalu adalah,
publik dikonsultasikan setelah keputusan dibuat. Dalam kasus ini, tindakan tersebut lebih
tepat disebut sebagai proses pemberitahuan, bukan pelibatan. Kasus lain yang sering dijumpai
adalah publik yang dikonsultasikan adalah mereka yang mudah dikooptasi oleh pemerintah,
sehingga kehilangan kemampuannya untuk mengadvokasikan kepentingan populasi yang
lebih luas. Dalam hal ini, partisipasi yang terjadi bukannya mendorong proses demokratisasi,
justru sebaliknya, akan menghambat upaya menuju partisipasi yang murni dan berkelanjutan.
Hal lain yang menarik untuk ditelaah adalah bagaimana proses perencanaan wilayah yang
diterapkan selama ini, yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri 9/82 tentang

Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D).
Sesungguhnya di atas kertas proses penyusunan rencana melalui proses P5D ini sudah sangat
partisipatif dan bottom-up.
Badan Perencanaan Pembangunan di tingkat desa yang disebut Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD), dengan didahului suatu proses Musyawarah Pembangunan Desa
(Musbangdes), menyusun rencana desa yang akan dikirimkan ke tingkat Kecamatan setelah
terlebih dahulu disetujui oleh Lembaga Musayawarah Desa (LMD). Prioritas kegiatan akan
dibahas dalam forum Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Proposal yang
diprioritaskan dalam forum UDKP dikirimkan ke tingkat kota/kabupaten untuk dibahas
dalam Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang TK II). Pada pertemuan ini proposal dari
3

Sebagai ilustrasi, di Filipina, 29 LSM yang tergabung dalam BATMAN Consortium telah memformulasikan
program pelatihan tentang Governance di tingkat Desa dan telah mengimplementasikannya di 654 desa.
Program ini menawarkan paradigma governance yang partisipatif dan dialogis yang tercermin dalam setiap
modulnya, baik secara metodologi maupun isi aktualnya. Sementara itu di India, Society for Participatory
Research in Asia (PRIA) dan Network of Collaborating Regional Support Organisation (NCRSOs) telah
melakukan intervensi strategis di desa-desa di 9 negara bagian untuk meningkatkan kapasitas desa melakukan
Local Self Governance dan mendorong partisipasi aktif perempuan dan kelompok lemah lain dalam
pengambilan keputusan di tingkat lokal.

4
Lihat BALANGAY: An Introductory Course on Barangay Governance, IPG & FES, The Philippines. Kategori
partisipasi yang digunakan dapat mencerminkan situasi yang terjadi pula di Indonesia.

level UDKP diseleksi dan proposal yang diprioritaskan akan dikirim ke pertemuan
perencanaan pembangunan di tingkat propinsi (Rakorbang TK I). Dari sana, prioritas akan di
kirim ke pertemuan konsultasi di tingkat regional (Konregbang), dan pada akhirnya ke
pertemuan konsultasi perencanaan pembangunan ke tingkat nasional (Konas). Seperti dapat
dilihat dari proses tersebut, sejumlah besar dana ditentukan dalam proses pengambilan
keputusan yang top-down dengan peran kuat dari Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) serta berbagai kementrian. Kenyataannya, hanya 5-10% dari semua
proposal yang dihasilkan di tingkat desa dan diajukan ke UDKP dan level pertemuan yang
lebih tinggi lainnya, yang direalisasikan dalam bentuk dana proyek. Oleh sebab itu, kaitan
antara proses perencanaan yang partisipatif dengan penyiapan maupun penentuan anggaran
sangat lemah. Proses alokasi anggaran sama sekali tidak transparan. Bahkan di daerah dimana
prosedur yang partisipatif dilakukan, penduduk desa tidak tahu berapa anggaran maupun
desain dari program yang mereka rencanakan. Penduduk desa juga biasanya tidak menerima
umpan balik tentang keputusan yang dibuat terhadap proposal yang mereka ajukan (Buentjen,
1999)
Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan proses perencanaan yang partisipatif di

Indonesia terkait dengan aspek institusi lokal. Institusi partisipasi yang ada saat ini (misalnya
Musbangdes) tidak selalu berjalan, atau tidak mewakili komunitas yang ada. Kualitas
partisipasi dalam Musbangdes bisa dipertanyakan mengingat proses pengambilan keputusan
seringkali didominasi oleh kepala desa atau kelompok elit lainnya. LKMD sendiri
keanggotaannya dipilih secara tidak demokratis, sehingga kebanyakan penduduk tidak
merasa terwakili oleh LKMD selain banyak LKMD yang tidak menjalankan fungsinya. Di
era desentralisasi saat ini, proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang bersifat topdown, jelas akan dikurangi, dan pada saatnya nanti akan diterapkan mekanisme baru yang
akan menggantikan P5D.
Di sisi lain, kita bisa merasakan keinginan publik untuk ikut terlibat dalam proses
pengambilan keputusan jauh meningkat. Keputusan yang dibuat tanpa konsultasi dengan
publik belakangan ini sangat mudah dipertanyakan. Di Bandung, misalnya, baru-baru ini
Walikota membatalkan keputusannya untuk menggunakan alun-alun sebagai lokasi café
karena adanya komentar negatif publik terhadap ide ini. Kasus ini menyusul berbagai kasus
lain yang masih mengambang seperti pembangunan jalan layang Paspati serta pemindahan
lokasi pedagang kaki lima di Cibadak dan Kebon Kelapa. Keinginan publik untuk berbicara
dan melibatkan diri dalam urusan publik dan politik lokal yang sangat tinggi ini tentu secara
serius perlu direspons. Namun karena ketidaksiapan pemerintah, partisipasi yang bersifat
instant melalui prosedur yang kurang terinstitusionalisasi seperti yang banyak terjadi
belakangan ini justru bisa berpengaruh negatif terhadap jalannya fungsi pemerintahan.
Konstruksi alternatif dari proses perencanaan kota yang selama ini dijalankan perlu mulai

disusun, tentunya yang lebih sesuai dengan nafas desentralisasi. Selain pengalaman
penerapan P5D, kita pun bisa banyak belajar dari berbagai inisiatif yang telah dijalankan di
berbagai wilayah/ kota seperti penyusunan City Development Stategy, Program
Pengembangan Kecamatan, Proyek Kemiskinan Perkotaan, yang telah berupaya menerapkan
konsep pelibatan warga dalam pengambilan keputusan. Pengalaman berbagai inisiatif ini
perlu direkam dan dijadikan feedback untuk terus menyempurnakan proses pelibatan warga
dalam pengambilan keputusan publik di Indonesia.

Bagaimana mengkatalis partisipasi di era desentralisasi?
Menyadari kurangnya pengetahuan dan ketrampilan pihak aparatus pemerintah maupun
warga dalam menjalankan metode pembangungan yang partisipatif, untuk jangka pendek
penekanan bisa saja diarahkan pada program pelatihan. Namun yang dibutuhkan lebih dari
sekedar pelatihan, tetapi adalah policy environment yang lebih mendukung yang dapat
dicapai hanya apabila ada political will yang lebih jelas dari pemimpin di tingkat lokal,
tersedianya mekanisme yang memfasilitasi partisipasi warga, serta adanya perubahan dalam
tata cara mengelola kegiatan pemerintahan di daerah.
Pengalaman Filipina yang telah menjalankan proses desentralisasi sejak tahun 1991
menunjukkan hasil yang berbeda-beda untuk setiap wilayah dalam aspek kualitas partisipasi
warganya.5 Satu faktor penting adalah kemauan politik dari local leader itu sendiri. Mayor
Robredo, mantan walikota di Naga City, misalnya, sangat populer atas keberhasilannya

mendorong partisipasi warganya antara lain ditandai dengan keluarnya Peraturan Daerah
yang berjudul People’s Empowerment Ordinance di masa kepemimpinannya. Perda ini
merupakan hasil dari seri konsultasi yang dilakukan dengan berbagai stake holders di kota
tersebut untuk menjamin adanya partisipasi aktif warga dalam perumusan, pelaksanaan dan
evaluasi berbagai kebijakan, proyek dan kegiatan pemerintah daerah.
Mekanisme dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang memungkinkan
individu maupun kelompok warga yang relevan ikut terlibat perlu diciptakan untuk
memungkinkan partisipasi yang sehat terjadi. Persiapan untuk menciptakan mekanisme
partisipasi warga dalam perencanaan perlu segera dilakukan karena partisipasi publik yang
tidak terinstitusionalisasi justru dapat menjadi ancaman terhadap manajemen publik dan
demokrasi itu sendiri. Tentunya kita bisa banyak belajar dari berbagai negara yang telah
memiliki pengalaman menjalankan desentralisasi. Kembali kepada pengalaman Filipina,
Undang-undang yang mereka miliki yang mengatur proses desentralisasi (Local Government
Code of 1991) secara esensial telah merestrukturisasi pemerintah untuk menjamin adanya
partisipasi warga dalam governance di tingkat lokal. Spirit dari LGC 1991 adalah demokrasi
dan partisipasi. Mekanisme partisipasi diatur sedemikian rupa dalam undang-undang ini
untuk memberi ruang keterlibatan warga. Apabila kita bandingkan dengan UU Pemerintah
Daerah yang kita miliki maupun Peraturan Pelaksanaannya, nampaknya apa yang kita miliki
belum dapat dijadikan basis legal untuk mendorong partisipasi aktif warga dalam
penyelenggaraan urusan publik seperti halnya yang dimiliki Filipina.

Beberapa ruang partisipasi yang dituangkan dalam LGC 1991 antara lain:
Satu bab dalam undang-undang ini (Ch.4) mengemukakan hal Hubungan dengan
Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Pasal-pasal dalam dalam bab ini
mengemukakan kewajiban dari Pemerintah Lokal untuk mendorong keterlibatan
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
sebagai mitra aktif dalam menjalankan otonomi lokal. Pemda juga bisa memberikan
bantuan baik dalam bentuk finansial maupun bantuan lain bagi KSM dan LSM di
wilayahnya.
Berbagai pasal dalam bab-bab lainnya mengemukakan setidaknya 25% dari anggota
badan-badan khusus di daerah (seperti badan untuk kesehatan, pendidikan, keamanan dan
5

Penulis baru-baru ini berkesempatan melakukan Study Mission ke Filipina yang diorganisir oleh Ford
Foundation untuk melihat pengalaman negara tersebut menjalankan desentralisasi, serta mempelajari peran civil
society dalam proses desentralisasi di negara tersebut.

ketertiban, penegakan hukum), termasuk Panitia Lelang dan Prakualifikasi serta Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah adalah berasal dari KSM dan LSM setempat.
Selain wakil dari kelompok pemuda/i, diwajibkan adanya perwakilan dari berbagai sektor
di DPRD untuk menjamin bahwa buruh, perempuan dan sektor lain (kelompok miskin
kota, manula, masyarakat adat, dll.) akan terwakili, karena adanya keyakinan bahwa
anggota DPRD terpilih dan anggota badan yang ada seringkali tidak memasukkan wakilwakil dari kelompok tersebut.
Diwajibkan adanya konsultasi dengan publik untuk semua proyek infrastruktur.
Selain adanya political will serta mekanisme partisipasi yang lebih jelas, hal lain yang
penting untuk mendorong partisipasi warga adalah perubahan dalam tata cara pengelolaan
daerah itu sendiri. Peran perguruan tinggi, terutama yang bergerak di bidang Perencanaan
Kota & Wilayah serta Administrasi Publik sangat besar, tidak saja untuk mengembangkan
konsep manajemen daerah yang lebih partisipatif, yang diaplikasikan antara lain melalui
kurikulum mata kuliahnya.
Tentu saja mewajibkan adanya keterlibatan LSM, Perguruan Tinggi dan organisasi
masyarakat lainnya bisa berbalik menjadi mara bahaya apabila tidak ada kesiapan dari sisi
civil society itu sendiri. Praktek-praktek pembentukan LSM plat merah, atau tumbuhnya
LSM instant yang tidak memiliki misi yang jelas pun terjadi di beberapa wilayah di Filipina.
Proses akreditasi yang diatur dalam LGC 1991 yang berupaya untuk mengurangi resiko
terjadinya penyalahgunaan aturan ini pun tidak memecahkan semua masalah. Kursi yang
telah didapat LSM di berbagai badan di daerah tidak ada artinya bila orang-orang yang duduk
di atasnya tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan yang diambil agar
lebih memihak pada warga kebanyakan.
Sebagai kesimpulan, proses desentralisasi bukan hanya membuka peluang, tetapi sekaligus
menuntut keterlibatan warga yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan publik.
Berbagai strategi yang inovatif perlu diciptakan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam
menerapkan konsep participatory governance. Basis legal untuk menjamin bentuk-bentuk
penyaluran partisipasi perlu dibenahi dan disempurnakan. Selain itu, secara serempak upaya
penguatan warga melalui penyediaan informasi maupun peningkatan kapasitas untuk
berpartisipasi serta penyadaran terhadap aparatus pemerintah untuk lebih banyak menerapkan
pendekatan partisipatif juga harus intensif dilakukan. Dalam hal ini, peran aktif dari civil
society sangat diharapkan untuk mempercepat tercapainya proses desentralisasi yang
demokratis seperti yang kita inginkan.
Daftar Pustaka:
Buentjen, Claudia, Participation and Transparency in the Indonesian Budget Process-The
IMF transparency code- a major contribution to the ongoing reforms?, paper in the
conference on “Transparency and Participation in Budget Processes, 21-25 February, 1999,
Cape Town.
Gaventa, John and Valderrama Camilo, Participation, Citizenship and Local Governance,
Background note prepared for workshop on ‘Strengthening participation in local
governance’, IDS, June 21-24, 1999, Brighton.
IPG and FNS, BALANGAY: An introductory Course on Barangay Governance, The
Phillipines.

Kuswartojo, Tjuk, Gelar Nalar Prof.Hasan Poerbo: Lingkungan Binaan untuk Rakyat ,
PPLH-ITB dan AKATIGA, 1999, Bandung.
M.Santos, JR Soliman (ed), The Theory and Practice of People’s Councils: Focus on the
Naga City Model, Institute of Politics and Governance, The Phillipines.
Thomas, John Clayton, Public Participation in Public Decisions: New Skills and Strategies
for Public Managers, Jossey-Bass Inc., California, 1995.