KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SANTRI PUTRI PONDOK PESANTREN AN-NURIYAH SURABAYA.

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I. Kom)

Oleh :

Nur Arina Manasikana NIM. B96212121

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

SANTRI PUTRI PONDOK PESANTREN AN-NURIYAH SURABAYA Kata kunci : Komunikasi Antarbudaya, Suku, Pondok Pesantren

Kehidupan antar budaya yang terjadi pada santri putri Pondok Pesantren An- nuriyah Surabaya terjadi hampir setiap hari, perbedaan suku pada mereka menimbulkan perbedaan pula dalam perilaku komunikasi. Dimana Santri yang berasal dari etnis Madura dan Minangkabau merupakan entis pendatang yang memberikan warna baru yang dibawa dari kebudayaan keseharian mereka.

Terdapat dua fokus penelitian yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu Bagaimana prilaku komunikasi antarbudaya yang terjadi pada santri suku Jawa, Madura dan Minangkabau di pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya dan Apa hambatan komunikasi antarbudaya pada santri suku Jawa, Madura dan Minangkabau di pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya.

Mengungkap fokus penelitian tersebut secara menyeluruh dan mendalam, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif pendekatan deskriptif untuk mengartikan perilaku dan hambatan yang dipelajari. Data yang didapat kemudian dianalisis dan dikonfirmasikan dengan teori yang digunakan.

Dari data hasil penemuan ini ditemukan bahwa perilaku komunikasi antarbudaya pada santri putri pondok pesantren dalam berkomunikasi menggunakan bahasa verbal dan non verbal. Hambatan bahasa komunikasi antarbudaya menjadi penghalang utama dalam berinteraksi karena bahasa merupakan sarana utama terjadinya komunikasi.

Rekomendasi: Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya jika melakukan penelitian yang sejenis dan sebaiknya lebih mendalami pengetahuan akan komunikasi pergaulan pada santri dan gap komunikasi santri beda budaya, sehingga kajian penelitian dapat terfokus dan tidak melebar.


(7)

HALAMAN JUDUL... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR BAGAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ... 6

F. Definisi Konsep ... 9

G. Kerangka Pikir Penelitian ... 12

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan... 24

BAB II KERANGKA TEORITIK A. Kajian Pustaka... 26

1. Komunikasi Antarbudaya... 26

a. Pengertian Komunikasi ... 26

b. pengertian Budaya ... 28

c. Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 29

d. Hubungan Komunikasi Antarbudaya ... 30

e. Fungsi Komunikasi Antarbudaya ... 30

f. Unsur dan Sistem Kebudayaan... 32

g. Komunikasi Antarbudaya yang Efektif ... 34

h. Hambatan Komunikasi Antarbudaya... 34

i. Komunikasi Verbal dan Non Verbal ... 39

2. Santri Putri Pondok Pesantren Putri An-Nuriyah Surabaya ... 39

a. Pola Komunikasi di Pesantren... 39

b. Kehidupan di Pesantren ... 45

c. Konflik di Pesantren ... 46

d. Daerah Asal Santri di Pesantren ... 46

3. Komunikasi Antarbudaya Santri Putri An Nuriyah Surabaya 48

a. Perilaku Komunikasi ... 48

b. Hambatan Komunikasi ... 50

B. Kajian Teoritik ... 53


(8)

A. Deskripsi Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian ... 63

1. Subyek Penelitian... 63

2. Obyek Penelitian ... 67

3. Lokasi Penelitia ... 67

a. Sejarah Pondok Pesantren ... 67

b. Visi- Misi Pondok Pesantren ... 72

c. Kegiatan Rutin Pondok Pesantren... 73

d. Jadwal Pengajian Pondok Pesantren ... 74

e. Struktur Pengurus Pondok Pesantren ... 76

B. Deskripsi Data Penelitian ... 77

1. Perilaku Komunikasi Antarbudaya Santri Putri ... 78

2. Hambatan Komunikasi Antarbudaya Santri Putri ... 88

BAB IV ANALISIS DATA PENELITIAN A. Temuan Hasil Penelitian ... 93

B. Konfirmasi Temuan dengan Teori... 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 114

1. Perilaku Komunikasi antarbudaya pada Santri ... 114

2. Hambatan Komunikasi antarbudaya pada Santri ... 115

B. Rekomendasi ... 115

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL


(10)

Gambar 1.1 Ekspresi benci ... 97

Gambar 1.2 Bahagia ... 97

Gambar 1.3 Sedih ... 98

Gambar 1.4 Merangkul ... 99

Gambar 1.5 berjabatan tangan... 99

Gambar 1.6 ciika – cipiki ... 99

Gambar 1.7 minta tolong... 100


(11)

Bagan 1.1 kerangka pikir ... 13 Bagan 1.2 struktur pengurus ... 76


(12)

PENDAHULUAN

A. Latar Penelitian

Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia yang tanpa komunikasi maka akan terisolasi.1

Komunikasi adalah suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. Komunikasi adalah proses yang melibatkan seseorang untuk memakai tanda-tanda alamiah yang universal atau simbol-simbol dari hasil konvensi manusia. Simbol-simbol itu dalam bentuk verbal maupun non verbal yang secara sadar atau tidak sadar digunakan demi tujuan menerangkan makna tertentu terhadap orang lain, juga dapat mempengaruhi orang lain untuk berubah2. Komunikasi bisa diartikan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (verbal) ataupun tidak langsung (non verbal) melalui media.

1 Ahmad sihabudin, komunikasi antar budaya (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2011), hlm 14 2 Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 37.


(13)

Kehidupan sosial dalam bermasyarakat tentunya tidak selalu berjalan lancar seperti yang diinginkan. Sering terjadi masalah-masalah sosial di sekitar kita, banyak faktor yang dapat memicu terjadinya masalah sosial salah satunya adalah perbedaan budaya. Setiap masyarakat pasti mempunyai budaya, adat kebiasaan di mana antara budaya masyarakat yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan. Masalah-masalah sosial tersebut tentunya dapat berdampak buruk pada tingkat kesejahteraan masyarakat karena hubungan sosial tidak dapat berjalan dengan baik.

Masalah-masalah sosial selalu ada kaitanya dengan nilai budaya. Di mana nilai itu biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan pedoman kepada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan prilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Kebudayaan juga sebagai bantuan atau pertolongan yang besar bagi masalah-masalah dimasa yang akan datang, karena kebudayaan adalah sebuah upaya untuk mengejar kesempurnaan total dengan cara berusaha mengenal dan mengetahui tentang hal baru tentang kebiasaan dan pandangan kita. 3Manusia belajar berpikir, merasa


(14)

mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap dan diwariskan dari generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Kehidupan di pondok pesantren tidak bisa lepas dari pola hubungan sosial yang terjadi antara anggota-anggota masyarakat pesantren. Hubungan sosial merupakan interaksi yang menyangkut individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Interaksi merupakan kegiatan yang memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara satu orang dengan orang lain.

Kehidupan antar budaya yang terjadi di Pondok Pesantren An-nuriyah Surabaya terjadi hampir setiap hari, perbedaan suku pada mereka menimbulkan perbedaan pula dalam perilaku komunikasi. Dimana Santri yang berasal dari etnis Madura dan Jawa merupakan entis pendatang yang memberikan warna baru yang dibawa dari kebudayaan keseharian mereka.

Beberapa factor yang menghambat komunikasi antar budaya di pondok pesantren An-nuriyah adalah perbedaan bahasa, adat-istiadat maupun norma- norma masing-masing. Dalam hal aktifitas keseharian, tentu saja masing- masing melaksanakannya sesuai dengan nilai-nilai dan patokan-patokan yang mencerminkan budayanya sendiri, keadaan tersebut terkadang berakhir dengan terjadinya disintegrasi.


(15)

Pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya juga merupakan pondok pesantren mahasiswi yang santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, di pondok pesantren An-Nuriyah juga terdapat berbagai kegiatan yang bersifat sosial keagamaan seperti kajian Al-qur’an dan Iqra’ setiap sesudah melaksanakan sholat subuh, asyar dan isya’, kegiatan walimah seperti diba’an, haul disetiap tahunnya, peringatan Hari-hari Besar Islam, dan anjangsana kerumah teman kamar dan lain-lain.

Berdasarkan pengamatan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang komunikasi antar santri di pondok pesantren putri An-nuriyah Surabaya. Dengan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan judul sebagai berikut:

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA SANTRI PONDOK PESANTREN PUTRI AN-NURIYAH SURABAYA.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan fenomena di lapangan seperti yang sudah dijelaskan di atas maka peneliti menentukan fokus penelitian berdasarkan hal yang dipandang dominan dalam fenomena masalah di lapangan:

1. Bagaimana perilaku komunikasi antar budaya yang terjadi pada santri putri di pondok pesantren An nuriyah Surabaya?

2. Apa saja hambatan komunikasi antar budaya pada santri pondok pesantren putri An nuriyah Surabaya


(16)

1. Untuk mendeskripsikan dan memahami komunikasi yang terjadi antar santri putri yang ada di Pondok Pesantren An nuriyah Surabaya.

2. Mendeskripsikan hambatan komunikasi antar santri putri yang ada di Pondok Pesantren An-nuriyah Surabaya.

D. Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian :

Pengajuan Proposal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk mengembangkan pengetahuan pemikiran yang bermanfaat dibidang ilmu komunikasi antar budaya.

2. Manfaat Praktis Penelitian : a. Bagi program studi.

Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang telah ada untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi khususnya dalam mengadakan penelitian masalah Multikultural dan penelitian komunikasi antar budaya.


(17)

b. Bagi Institusi terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi santri An-nuriyah dan masyarakat pada umumnya dalam melakukan Kehidupan antar budaya. Dan juga dapat menambah informasi dan refrensi yang kelak bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu 1

Nama peneliti Moh. Rokhanidin

Jenis karya Skripsi

Komunikasi Antar Budaya dalam Bertetangga Masyarakat Rumah Susun Penjaringan Surabaya

Tahun penelitian 2012

Metode penelitian Kualitatif

Hasil temuan penelitian Lingkup kehidupan bertetangga beda budaya di rumah susun penjaringan Surabaya meliputi interaksi sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakan rumah susun dengan tetangga mereka, dimana mereka saling berbincang untuk yang laki-laki

biasanya berkumpul dan

berbincang saat di warung kopi, saat jaga malam atau saat kerja


(18)

bakti, sedangkan yang ibu-ibu

biasanya bertemu saat

berangkat belanja, saat ngobrol sore hari di waktu senggang, saat pertemuan ibu-ibu PKK.

Tujuan penelitian Mendeskripsikan Komunikasi

Antar Budaya dalam

Bertetangga Masyarakat Rumah Susun Penjaringan Surabaya

Perbedaan Dalam penelitian Moh.

Rokhanidin subyek yang diteliti

adalah Komunikasi Antar

Budaya dalam Bertetangga

Masyarakat Rumah Susun

Penjaringan Surabaya

sedangkan peneliti disini mengkaji masalah yang lebih fokus yakni komunikasi antar budaya etnis Jawa dan Madura dipondok pesantren putri Wonocolo Surabaya.

2 Jenis karya Skripsi

Komunikasi Antar Budaya Umat Beda Agama Di RT 04 RW 03 kelurahan Jemur Wonosari Surabaya


(19)

Metode penelitian Kualitatif

Hasil Temuan Penelitian Kerukunan antar umat beda agama dikalangan masyarakat jemur wonosari RT 04 RW 03 berjalan lancar karena latar

belakang dan sejarah

kemajemukan agama

Tujuan Penelitian a. Memahami proses komunikasi antar budaya pada umat beda agama di Di RT 04 RW 03 kelurahan Jemur Wonosari Surabaya b. Mamahami factor-faktor

yang mendukung proses komunikasi antar budaya Di RT 04 RW 03 kelurahan Jemur Wonosari Surabaya c. Mamahami faktor-faktor

yang menghambat proses komunikasi antar budaya di RT 04 RW 03 Kelurahan Jemur Wonosari Surabaya

Perbedaan Dalam penelitian Siti Zainab

subyek yang diteliti adalah Komunikasi Antar Budaya dari

segi perbedaan agama

sedangkan peneliti disini mengkaji masalah komunikasi


(20)

antar budaya dari segi perbedaan etnis Jawa dan Madura.

Tabel 1.1 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu

F. Definisi Konsep 1. Komunikasi.

Komunikasi mengandung makna bersama-sama (common). Istilah komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin yaitu communication, yang bermakna bersama-sama4 atau sama maknanya atau pengertian bersama, dengan maksud untuk mengubah pikiran, sikap, prilaku, penerima dan melaksanakan apa yang diinginkan komunikator.5

Para ahli mendefisinikan komunikasi menurut sudut pandang mereka masing-masing.6 Sarah Trenholm dan Arthur Jensen (1996:4) mendefinisikan komunikasi demikian : “ A procces by which a source transmits a massage to a receiver through some channel.” (Komunikasi adalah suatu proses di mana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran). Hoveland (1948: 371) mendefinisikan komunikasi demikian : The procces by which an individual (the communicator) transmit stimuli (usually verbal symbols) to modify, the behavior of other individuals.(komunikasi adalah proses dimana individu

4 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Grafindo Anggota, 2008), hlm. 5 5

AW, Widjaja, Komunikasi dan hubungan masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm 9 6


(21)

mentransmisikan stimulus untuk mengubah prilaku individu yang lain). Menurut Harold D. Lasswel cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut: who says what in which channel to whom with what effect? ( siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dan efek bagaimana?).

Komunikasi adalah proses yang melibatkan seseorang untuk memakai tanda-tanda alamiah yang universal atau simbol-simbol dari hasil konvensi manusia. Simbol-simbol itu dalam bentuk verbal maupun non verbal yang secara sadar atau tidak sadar digunakan demi tujuan menerangkan makna tertentu terhadap orang lain, juga dapat mempengaruhi orang lain untuk berubah7. Komunikasi bisa diartikan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (verbal) ataupun tidak langsung (non verbal) melalui media.

2. Budaya.

Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individual dan kelompok.8 Kebudayaan adalah keseluruhan keseluruhan

7


(22)

system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kebutuhanya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.9

3. Komunikasi Antar Budaya.

Komunikasi antar budaya adalah sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesanya adalah anggota suatu buadaya lainya.10 Proses komunikasi antar budaya merupakan

interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.11

4. Santri Pondok Pesantren Putri An_Nuriyah Surabaya.

Menurut pandangan Nurcholis Madjid, kata santri dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, santri berasal dari kata “sastri” yang berarti melek huruf. disisi lain Zamkhasyari Dhofier berpendapat bahwa dalam bahasa india santri diartikan sebagai orang yang tahu buku-buku suci agama hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, yaitu dari kata “cantrik” berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru itu pergi

9 Sudikin et.al., Pengantar Ilmu Budaya (Surabaya: Insan Cendekia, 2003), hlm. 5

10 Dedy Mulyana, Jalaluddin Rahmat, komunikasi Antar Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),hlm. 20.


(23)

untuk menetap.12 Jadi santri dapat diartikan sebagai seseorang yang belajar agama islam di pondok pesantren yang mana pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang bersifat tradisional untuk mendalami ilu tentangagama islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Dalam penelitian ini santri merupakan Mahasiswi yang mendalami ilmu agama yang tinggal dipondok pesantren An_Nuriyah Surabaya.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan penyiaran agama islam, tempat pelaksanaan kewajiban belajar dan mengajar dan pusat pengembangan jamaah (masyarakat) yang diselenggarakan dalam kesatuan tempat pemukiman dengan masjid sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama islam.13

Pondok pesantren putri An-Nuriyah Surabaya merupakan pondok pesantren Mahasiswi yang santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, di pondok ini juga terdapat berbagai kegiatan yang bersifat sosial keagamaan seperti kajian Al-qur’an dan Iqra’ setiap sesudah melaksanakan sholat subuh, asyar dan isya’, kegiatan walimah seperti diba’an, haul disetiap tahunnya, peringatan Hari-hari Besar Islam, dan anjangsana kerumah teman kamar dan lain-lain.

12

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Cet; Ii: Jakarta: Paramadina, 999), hlm. 19

13


(24)

G. Kerangka Pikir Penelitian.

Dalam kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebuah alur atau ilustrasi dalam kerangka pikir penelitian. Bahasa komunikasi merupakan pola ucapan manusia, sistem yang mengatur bagaimana orang berbicara dan mendengarkan dalam proses komunikasi. Dalam komunikasi terdapat bahasa verbal dan non verbal yang mana bahasa verbal merupakan bahasa atau komunikasi yang dilakukan secara langsung seperti lisan maupun tulisan, sedangkan non verbal secara tidak langsung, misalkan menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara


(25)

Suku Jawa

Suku

Minangkabau

Suku Madura

Komunikasi Antar

Budaya

Komunikasi Verbal

Komunikasi Non

Verbal

Perilaku dan

hambatan

komunikasi


(26)

Berdasarkan bagan di atas, terjadi proses komunikasi antar budaya pada santri dari Suku Jawa, Madura dan Minagkabau, dari proses komunikasi antar budaya masing-masing individu santri menggunakan bahasa verbal dan non verbal, komunikasi yang terjadi yakni interaksi-interaksi antara santri-santri yang berbeda budaya, dalam proses komunikasi tersebut terdapat hambatan komunikasi.

H. Metode penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang pemecahan masalahnya dengan menggunakan data empiris.14 Dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif adalah pengumpulan data berupa teks, kata-kata, simbol dan gambar. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.15 Dengan demikian laporan penelitian akan berisi data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari hasil pengamatan.

Alasan peneliti menggunakan metode ini adalah karena penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan proses daripada hasil.16 Begitu juga dalam penelitian ini dimana peneliti melakukan penelitian komunikasi antar budaya dalam kehidupan pesantren, peneliti mengamatinya dalam pola dan

14 Masyhuri, Zainudin, metodologi penelitian (Bandung: PT Refika Aditama, 2008) hlm 13. 15 Kaelan, metode penelitian kualitatif (Yogyakarta: Paradigma, 2012) hlm 12

16 Nusa putra, metode penelitian kualitatif pendidikan (Jakarta: Raja grafindo persada, 2012)hlm 59


(27)

prilaku kehidupannya, kemudian menjelaskan tentang sikap yang diteliti. Dengan kata lain, peranan proses penelitian kualitatif ini sangat cocok digunakan dalam penelitian ini.

a. Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian.

Subyek dalam penelitian ini adalah santri pondok pesantren An- Nuriyah Surabaya yang beretnis Jawa, Madura dan Minangkabau dengan jumlah informan enam santri, tiga berasal dari suku jawa dan dua berasal dari suku Madura dan satu berasal dari Suku Minangkabau. Obyeknya adalah ilmu komunikasi terkait proses komunikasi antar budaya pada santri pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya dan Lokasi Penelitian dilakukan di pondok pesantren An-nuriyah Wonocolo Utara gang V/18 Surabaya karena santri dipondok tersebut tidak hanya berasal dari Suku Jawa dan Madura saja melainkan ada yang berasal dari Suku Minangkabau .

b. Jenis dan Sumber Data.

Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni:

1) Data Primer yaitudata inti dari penelitian ini adalah tentang focus penelitian.

2) Data Sekundar yaitu data pelengkap atau penunjang data primer yang berupa pola kehidupan santri dan jumlah santri. Sedangkan sumber datanya dari orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian. Informan adalah orang yang memberi informasi


(28)

seputar focus penelitian dan merupakan representasi tarhadap realita atau fenomena social.17 Dalam penelitian ini informanya adalah santri yang beretnis Jawa, Madura dan Minangkabau.

c. Tahap-tahap Penelitian.

Dalam penelitian ini ada tiga tahapan yang dilalui oleh peneliti: 1) Tahap Pra-lapangan.

Ada enam tahap kegiatan18 yang dilakukan oleh peneliti yakni: a) menyusun rancangan penelitian.

b) memilih lapangan penelitian, dalam memilih lapangan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu melihat fenomena pada santri yang ada di pondok pesantren putri Wonocolo Surabaya yakni tentang komunikasi antar budaya yang ada di dalamnya kemudian peneliti menyesuaikan antara kenyataan yang ada di lapangan dengan teori-teori yang substantif, dan karena peneliti melihat adanya kesesuaian tersebut maka peneliti memilih pondok pesantren putri An-nuriyah sebagai lapangan penelitian.

c) Mengurus Perizinan, setelah peneliti menentukan lapangan penelitian, peneliti meminta izin penelitian di pondok pesantren An-nuriyah kepada pihak yang berwenang memberikan izin

17 Ali Nurdin, “Metode Penelitian Kualitatif Komunikasi” , bahan kuliah hlm. 18 . 18 Ibid


(29)

pelaksanaan penelitian yakni kepada pengasuh pondok pesantren.

d) menjajaki dan menilai lapangan, dalam tahap ini peneliti melakukannya dengan masuk kedalam pesantren untuk mengetahui situasi dan kondisi tempat penelitian dilakukan. e) memilih dan memanfaatkan informan, pada tahap ini peneliti

memilih dan memanfaatkan informan santri yang berasal dari Suku Jawa, Madura dan Minangkabau yang sesuai dengan judul yang diangkat.

f) menyiapkan perlengkapan penelitian, selain perlengkapan fisik peneliti juga menyiapkan segala macam perlengkapan penelitian yang diperlukan seperti alat tulis dan alat perekam selain itu peneliti juga mempersiapkan jadwal penelitian serta biaya yang diperlukan selama penelitian.

Selain enam tahap tersebut ditambah dengan satu pertimbangan yang perlu dipahami yaitu etika penelitian lapangan dengan cara menerima seluruh nilai dan norma yang ada pada pesantren.


(30)

3) Tahap Pekerjaan Lapangan.

Dalam tahapan ini ada tiga tahap yang dilalui oleh peneliti yakni :

a) memahami latar penelitian dan persiapan diri, pada tahap ini peneliti terlebih dahulu memahami latar penelitian yang dilakukan di pondok pesantren putri Wnocolo Surabya serta mempersiapkan diri secara fisik dan mental.

b) memasuki lapangan, sebelum memasuki lapangan penelitian peneliti sudah terlebih dahulu menjalin keakraban hubungan dengan para santri agar subyek bersedia memberikan semua informasi yang diperlukan peneliti.

c) Berperan-serta sambil mengumpulkan data, pada tahap ini peneliti mencatat semua data yang sudah didapat dari para informan.

d. Tahap Analisis Data

Setelah semua data diperoleh dari penelitian maka tahap selanjutnya peneliti menganalisis data tersebut dengan cara memilah- milahnya, mengklasifikasikan dan berpikir agar data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan dan pola hubungan-hubungan serta membuat temuan-temuan umum.

e. Teknik Pengumpulan Data


(31)

1) Data Primer.

Penelitian ini menggunakan teknik pengumulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, dan yang kerap digunakan dalam penelitian etnografis. Teknik yang lazim digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah :

a) Wawancara.

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara kualitatif atau yang juga dikenal sebagai wawancara mendalam. Berbeda dengan wawancara formal yang biasanya sangat terstruktur dan relatif terbatas atau tertutup. Wawancara bertujuan menggali fokus penelitian secara mendalam, karena itu dilakukan secara berkelanjutan, dan pada partisipan tertentu mungkin dilakukan berulang-ulang.

b) Pengamatan.

Dalam penelitian kualitatif, pengamatan dilakukan dengan beragam jenis pengamatan yaitu pengamatan biasa atau berjarak, pengamatan terlibat.

Dalam proses penelitian, para peneliti akan menentukan kapan waktunya melakukan pengamatan untuk menggali fokus lebih dalam dan rinci.


(32)

c) Analisis dokumen.

Untuk mendapatkan deskripsi dan pemahaman mendalam atas fokus penelitian, para peneliti akan mengumpulkan sejumlah dokumen seperti silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan berbagai dokumen yang terkait lainnya. Dokumen-dokumen itu dianalisis untuk memperdalam dan memperinci temuan penelitian.19

2) Data sekunder.

Pengumpulan data jenis ini dilakukan dengan menelusuri bahan bacaan berupa jurnal-jurnal, buku, internet dan berbagai hasil penelitian terkait komunikasi antar budaya.

f. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancari. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuasskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, sampai diperoleh data yang dianggap kredibel.20

19 Putra Nusa, metode penelitian kualitatif pendidikan hlm. 225-226 20 Sugiono, metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D hlm. 246


(33)

1) Data reduction (reduksi data).

proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Proses reduksi berlangsung secara terus-menerus selama penelitian berlangsung.

Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan dalam wawasan tinggi.21 2) Data display (penyajian data).

Penyajian data yaitu penyusunan sekumpulan informasi menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data disajikan dalam bentuk teks naratif yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang dianalisis dalam bentuk

komponen-komponen sebagaimana yang ditemukan dalam

penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam uraian singkat , bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami.22


(34)

3). Conclusion Drawin (verification).

Verifikasi/ Menarik kesimpulan yaitu mencari arti dari data- data yang dikumpulkan, menyimpulkan dan menverifikasi data yang ada. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan massalah dalam penelitian kualitatifmasih bersifat sementara dan akan berkembng setelah penelitian berada dilapangan.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.23 g. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data.

Untuk mendapatkan kevalidan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data sebagai berikut:

1) Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian yakni di pondok pesantren An-nuriyah Surabaya sampai pengumpulan data tercapai. Perpanjangan keikutsertaan peniliti ini


(35)

akan memungkinkan peningkatan derajat data yang dikumpulkan kepercayaan karena akan banyak mempelajari kebudayaan, dapat menguji ketidakbenaran informasi, dan membangun kepercayaan subjek.

2) Keajekan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentative. Keajekan pengamatan ini bertujuan menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan pada santri pondok pesanten An-Nuriyah Surabaya sebagai subjek yang diteliti.

3) Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang sudah didapat, disini peneliti menggunakan teori sebagai pembandingya. I. Sistematika Pembahasan.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sistematika pembahasan dalam skripsi ini penulis membagi menjadi 5 bab yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Memuat bahasan tentang Konteks Penelitian, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Hasil Penelitian Terdahulu, Definisi Konsep, Kerangka Pikir Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.


(36)

BAB II : KAJIAN TEORITIS

Dalam bab ini peneliti menyajikan dua poin yang menyangkut pembahasan. Poin pertama adalah kajian pustaka dan poin ke dua adalah kajian teori.

BAB III : PENYAJIAN DATA

Penyajian data dalam bab ini mencakup deskripsi suyek, obyek dan lokasi penelitian serta deskripsi data penelitian.

BAB IV : ANALISIS DATA

Analisis data dalam bab ini membahas tentang temuan penelitian dan konfirmasi temuan dengan teori.

BAB V : PENUTUP

Pada bagian bab ini diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan dari semua bab-bab sebelumya dan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan.


(37)

KAJIAN TEORI

A. Kajian Pustaka.

1. Komunikasi Antar Budaya. a. Pengertian Komunikasi.

Komunikasi merupakan salah satu istilah populer dalam kehidupan manusia. Jika manusia normal maka merupakan makhluk sosial yang selalu membangun interaksi antar sesamannya, maka komunikasi adalah sarana utamanya. Banyak alasan kenapa manusia berkomunikasi. Thomas M. Scheidel mengatakan, orang berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang disekitarnya dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berfikir, atau berperilaku sebagaimana yang diinginkan. Namun tujuan utama komunikasi sejatinya adalah untuk mengendalikan fisik dan sikologis.24

Secara kodrati manusia senantiasa terlibat dalam komunikasi. Manusia paling sedikit terdiri dari dua orang yang saling berhubungan satu sama lainnya, karena berhubungan menimbulkan interaksi sosial. Terjadinya interaksi sosial

24


(38)

disebabkan interkomunikasi. Komunikasi adalah suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.25

Pengertian komunikasi secara luas komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun non verbal yang ditanggapi oleh orang lain. Setiap tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga merupakan bentuk komunikasi. Sedangkan komunikasi secara sempit merupakan pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku penerima. Dalam setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang-lambang yang memiliki makna tertentu, lambang-lambang tersebut bisa bersifat verbal maupun kata-kata,atau bersifat nonverbal berupa ekspresi atau ungkapan tertentu dan gerak tubuh.26 Jadi komunikasi bisa di artikan sebagai proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media).

25

Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi Perspektif, Proses, Dan Konteks (Padjajaran: Widya, 2009), hlm. 73.

26


(39)

b. Pengertian Budaya.

Pengertian dari kebudayaan, yaitu yang berasal dari kata sansekerta Buddhayah sebagai bentuk dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Bahasa inggrisnya adalah Culture yang berasal dari kata latin Colere, yang berarti mengolah, mengerjakan atau sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Dalam ensiklopedia umum, budaya diartikan sebagai keseluruahan warisan social yang dapat dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri daripada kebendaan, kemahiran tehnik, pikiran dan gagasan, kebiasaan dan nilai-nilai tertentu, organisasi social tertentu, dan sebagainya.27

Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.28

Sedangkan menurut Samovar kebudayaan adalah “suatu teladan bagi kehidupan”, kebudayaan mengkondisikan manusia secara tidak sadar menuju cara-cara khusus bertingkah laku dan berkomunikasi.29

27

Tasmuji et.al. IAD-ISD-IBD (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 152.

28


(40)

c. Pengertian komunikasi Antar Budaya.

Charley H. Dood mengungkapkan komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi atau kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi prilaku komunikasi para peserta.30 Samovar dan Porter juga menyatakan

bahwa komunikasi antarbudaya terjadi diantara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaanya berbeda. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa menyatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda kebudayaanya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras dan kelas social. Menurut Young Yung Kim komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung.

d. Hubungan komunikasi dan budaya.

Dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi. Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan

30 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yaogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2009), hlm. 12.


(41)

pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya, dengan kata lain budaya dan komunikasi ibarat dua sisi mata uang yan tidak terpisah dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan.31

e. Fungsi komunikasi antarbudaya

Fungsi komunikasi antarbudaya dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seseorang individu.

a) Menyatakan identitas sosial

Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas social. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan non verbal. Dari perilaku bahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun social, misalnya dapat diketahui asal-usul agama, maupun tingkat pendidikan seseorang.


(42)

b) Menyatakan integrasi social

Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antar kelompok namun tetap mengakui perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikan dan komunikator maka integrase social merupakan tujuan utama komunikasi.

c) Menambah pengetahuan

Komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya dapat menambah wawasan dan pengetahuan bersama karena saling mempelajari budaya masing-masing. Sehingga kita tidak hanya mengetahui satu budaya melainkan dapat mengetahui budaya lain.

d) Melepaskan diri atau jalan keluar

Berkomunikasi dengan orang lain terkadang kita melepas diri atas masalah yang kita hadapi. Pilihan komunikasi seperti itu berfungsi menciptakan hubungan yang komplementer dan simetris.

2) Fungsi Sosial a) Pengawasan

Praktek komunikasi antarbudaya diantara komunikan dan komunikator yang berbeda budaya


(43)

berfungsi saling mengawasi.

Fungsi ini biasanya kebanyakan digunakan oleh media massa dalam menyebar luaskan peristiwa yang terjadi disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks budaya yang berbeda.

b) Menjembatani

Fungsi menjembatani itu dapat mengkontrol melalui pesan-pesan yang mereka tukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.

c) Sosialisasi nilai.

Fungsi sosialisasi merupakan untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.

d) Menghibur

Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya menonton tarian hula- hula dan “Hawaian” ditaman kota. Hiburan tersebut termasuk kategori hiburan antarbudaya.


(44)

f. Unsur dan system kebudayaan

Tiap kebudayaan mempunyai ciri khas masing-masing yang membedakan antara yang satu dengan yang lainya adalah ciri khas tersebut kemudian digolongkan menjadi unsur-unsur kebudayaan.

Harris dan Morran (1979) mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai model sederhana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara sistematik.32

1) Komunikasi dan budaya 2) Pakaian dan penampilan 3) Makanan dan cara makan

4) Konsep dan kesadaran tentang waktu 5) Pemberian imbalan dan pengakuan 6) Hubungan-hubungan

7) Nilai-nilai dan norma-norma

8) Konsep kesadaran diri dan jarak ruang 9) Proses mental belajar

10) Keyakinan (kepercayaan) dan sikap.

Pendididkan, bahasa, interaksi, dan konteks langsung lingkungan sejak lahir mempengaruhi seseorang individu. Prilaku manusia pada pokoknya merupakan hasil dari proses belajarnya. Kebudayaan menegaskan nilai-nilai dasar tentang

32


(45)

kehidupan. Apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan.33 Sepanjang

hidupnya orang mempelajari aturan-aturan kebudayaanya. Bahkan tidak sedikit yang dilakukan diluar kesadaranya agar ia dapat diterima dan tidak dikucilkan alam lingkunganya. Karena sebagian terbesar waktu hidupnya dihabiskan untuk kebudayaan, tidaklah mengherankan jika kebudayaan itu digunakan sebagai ukuran untuk penilaian.34

g. Komunikasi Antarbudaya yang Efektif.

Seluruh proses komunikasi pada akhirnya menggantungkan keberhasilan pada tingakat ketercapaian tujuan komunikasi , yakni sejauh mana para partisipan memberikan makna yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Kata Gudykunts, jika dua orang atau lebih berkomunkasi antarbudaya secara efektif maka mereka akan berurusan dengan satu atau lebih pesan yang ditukar (dikirim dan diterima) mereka harus bisa memberikan makana yang sama atas pesan. Singkat kata komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang dihasilkan oleh kemampuan para partisipan komunikasi lantaran mereka berhasil menekan sekecil mungkin kesalah pahaman.35

33 Ibid hlm. 287 34 Ibid hlm288


(46)

Lebih lanjut Schramm mengemukakan, komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:36

1) Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia.

2) Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki.

3) Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.

4) Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.

Yang paling penting sebagai hasil komunikasi adalah kebersamaan dalam makna itu. Bukan sekedar hanya komunikatornya, isi pesanya, media atau saluranya. Maka, agar maksud komunikasi dipahami dan diterima serta dilaksankan bersama, harus dimungkinkan adanya peran serta untuk mempertukarkan dan merundingkan makna diantara semua pihak dan unsur dalam komunikasi yang pada akhinya akan menghasilkan keselarasan dan keserasian.

36 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm. 171.


(47)

h. Hambatan komunikasi antarbudaya.

1) Hambatan semantik atau hambatan bahasa.

Hambatan bahasa menjadi penghalang utama karena bahasa merupakan sarana utama terjadinya komunikasi. Gagasan, pikiran, dan perasaan dapat diketahui maksudnya ketika disampaikan lewat bahasa. Bahasa biasanya dibagi menjadi dua sifat, yaitu bahasa verbal dan bahasa non verbal. Bahasa menjembatani antar individu dikaji secara kontekstual. Fokus kajian bahasa selalu dihubungkan dengan perbedaan budaya (kelas, ras, etnik, norma, nilai, agama).37

Cara manusia menggunakan bahasa sebagai media komunikasi sangat bermacam-macam antara suatu budaya dengan budaya lain, bahkan dalam satu budaya sekalipun. Salah satu aspek penting yang berpengaruh dalam komunikasi adalah pemakaian bahasa non verbal.

2) Sikap Etnosentresme.

Konsep ini mewakili suatu pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat dan iodeologi untuk menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior dari pada kelompok etnis atau ras yang lain. Akibat ideologi ini maka


(48)

setiap entik atau ras akan memiliki sikap etnosentrisme atau rasisme yang tinggi.38 Sikap etnosentresme dan rasisme itu

berbentuk prasangka, streotip, diskriminasi dan jarak sosial terhadap kelompok lain.

Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat dalam kegiatan komunikasi, karaena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasngka, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu sudah mencekam, orang tidak akan dapat berpikir objektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai negatif.39

Stereotip. “ Stereotip adalah pandangan umum dari suatu kelompok masyarakat lain. Pandangan umum ini biasanya bersifat negatif. Stereotip biasanya merupakan refrensi pertama (penilaian umum) ketika seseorang atau kelompok melihat orang atau kelompok lain”40

Diskriminasi diartikan sebagai tindakan yang berbeda dan kurang bersahabat dari kelompok dominan atau para anggotanya

38 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam…hlm. 15

39 Alo, LIliweri, Prasangka&Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural (Yogyakarta: PT LKiS, 2005), hlm. 199.

40


(49)

terhadap kelompok subordinasinya dalam artian ras atau etnis.41 Diskriminasi mengarah pada tindakan nyata, tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki sikap prasangka yang sangat kuat akibat tekakan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Menurut Zastrow diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antarmanusia atau komunikasi diantara para peserta komunikasi.42

Jarak sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi diantara mereka. Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu.43

i. Komunikasi Verbal dan Nonverbal.

Dalam kebanyakan kegiatan komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. Bahasa non verbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Selain itu lambang non verbal juga dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan, bahkan

41 Alo, LIliweri, Prasangka&Konflik Komunikasi hlm. 21 42 Ibid hlm…218


(50)

pengganti ungkapan-ungkapan verbal, misalnya ketika seseorang mengucapkan terima kasih (bahasa verbal) maka biasanya orang tersebut akan melengkapinya dengan tersenyum (bahasa non verbal), seseorang mengatakan iya atau setuju dengan pesan yang diterima dari orang lain biasanya disertai dengan anggukan kepala (bahasa non verbal). Dua komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan non verbal bekerja bersama-sama dalam menciptakan makna suatu prilaku komunikasi.

2. Santri putri pondok pesantren An-nuriyah Surabaya a. Pola komunikasi di pesantren

1) Pola komunikasi internal (kedalam)

Pola komunikasi ini di bagi menjadi dua yaitu: a) Komunikasi vertical.

Pola komunikasi yang diterapkan ini adalah komunikasi dari pimpinan pondok pesantren atau bu nyai kepada bawahan atau santrinya dan dari bawah atau santri kepada pimpinan atau bu nyai secara timbal balik. Dalam komunikasi vertikal, pimpinan/bu nyai memberikan instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, penjelasan-penjelasan, dan lain-lain kepada bawahannya atau santrinya, maka dari itu bawahannya/santrinya memberikan laporan-laporan, saran-saran, pengaduan,


(51)

pertanyaan - pertanyaan dan sebagainya kepada pimpinan/bu nyai.

Komunikasi dua arah secara timbal balik tersebut sangat penting sekali, karena jika hanya satu arah saja dari pimpinan kepada bawahan (kiai kepada santri), roda organisasi tidak akan berjalan dengan baik. Komunikasi vertikal dapat dilakukan secara lansung antara pimpinan/kiai tertinggi dengan seluruh santrinya. Komunikasi vertikal yang lancar, terbuka dan saling mengisi merupakan pencerminan kepemimpinan yang demokratis, yakni jenis kepemimpinan yang paling baik diantara jenis-jenis kepemimpinan lainnya. Karena komunikasi menyangkut masalah hubungan manusia dengan manusia.

b) Komunikasi horizontal

Komunikasi horizontal adalah komunikasi secara mendatar, antara ustazah dengan ustazah lain, sampai jajaran kebawahnya (pengurus/pengasuh), dan sebaliknya. Berbeda dengan komunikasi vertikal yang sifatnya lebih formal, komunikasi horizontal sering kali berlansung tidak formal. Mereka berkomunikasi satu sama lain bukan pada waktu mereka sedang belajar, melainkan pada saat istirahat, sedang makan, atau bekerja bakti. Dalam situasi komunikasi


(52)

seperti ini, desus-desus cepat sekali menyebar dan menjalar. Dalam komunikasi horizontal dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni:

1. Komunikasi personal.

Komunikasi personal ialah komunikasi antara dua orang dan dapat berlangsung dengan dua cara yaitu : a. Komunikasi tatap muka

Komunikasi personal tatap muka berlangsung secara dialogis dengan menatap sehingga terjadi kontak pribadi antara bu nyai pengurus atau pengasuh dengan santrinya. Seperti yang biasa kita ketahui bahwa kehidupan di dalam pondok pesantren kebanyakan baik dalam sikap maupun perilaku adalah sebisa mungkin selalu sesuai dengan Al-Quran dan Hadist. Di pondok pesantren juga seharusnya tidak jauh dengan keadaan yang demikian. Adanya komunikasi personal antara pengasuh, pengurus dan santri, bagaimana sikap santri terhadap pengasuh dan keluarga ndalem, sikap santri terhadap para pengurus atau ustadz ustadzah secara tradisi santri memang harus bersikap hormat


(53)

dan ngawulo (tunduk) terhadap guru dan keturunannya.

Hal ini menunjukkan bahwa tutur kata dan perilaku para santri memang diatur sedemikian rupa seperti yang diungkap dalam kitab Ta’limul Muta’alim tersebut. Antara santri dan pengasuh terdapat sekat atau batasan dalam hal bertutur kata, perilaku, cara duduk dan berjalan dan lain sebagainya. Dan apabila tidak ada sikap ngawulo atau ngabdi kepada guru maka boleh jadi ilmu yang sudah diperoleh dari guru tersebut tidak akan manfaat.

Komunikasi personal sangat berpengaruh pada kehidupan mereka sehari-hari, baik antara pengasuh dan santri, pengasuh dan pengurus, pengurus dan santri juga antara santri dan santri. Karena aktifitas komunikasi seperti ini lebih cepat berjalan dengan efektif dan terjadi secara lansung. b. Komunikasi bermedia.

komunikasi personal bermedia adalah komunikasi yang menggunakan alat komunikasi, di pondok pesantren sekarang ini sudah tidak


(54)

mengandalkan komunikasi secara face to face saja,tetapi sudah menggunakan alat komunikasi yang modern, karena cara berkomunikasi pada era ini sudah lebih instan dan mudah maka dari itulah Pondok Pesantren juga menggunakan alat sebagai sarana komunikasi seperti telepon atau computer (leptop) dalam berkomunikasi.

2. komunikasi kelompok.

Komunikasi kelompok adalah komunikasi dengan kelompok orang, dalam situasi tatap muka. Kelompok ini bisa kecil dapat juga besar, dalam komunikasi kelompok ini Pondok pesantren juga tidak terlepas dari komunikasi kelompok, karena Pondok pesantren bisa dikatakan sebuah unit atau kelompok yang selalu membutuhkan komunikasi sebagai penjalinnya dengan orang-orang didalam Pondok pesantren maupun diluar Pondok pesantren. Dalam pola komunikasi internal (ke dalam) Pondok pesantren, komunikasi antara pimpinan Pondok Pesantren untuk meningkatkan hubungan emosional yang terjadi antara Santri, Ustaz-ustaz dan Pimpinan Ponpes seperti yang dijelaskan diatas bahwa dalam komunikasi internal ada komunikasi vertikal dan


(55)

horizontal yang melatar belakangi terjadinya komunikasi yang efektif antara Santri, pengasuh, Ustaz-ustaz dan Pimpinan Pondok Pesantren, sehingga pengetahuan santri pada masyarakat baik di bidang ilmu Agama dan ilmu umum lainnya dengan kata lain (pembinaan diri sendiri) tentang Tauhid yang sesungguhnya berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah, sehingga ketika keluar dari Pondok Pesantren dan terjun di masyarakat umum dapat diandalkan dalam memainkan peran sebagai santri dalam menanamkan ilmu agama dan pengetahuan umum yang baik benar dan di tengah masyarakat, baik yang bersifat formal maupun non formal.

2) Komunikasi eksternal (ke luar)

Pola komunikasi eksternal Pondok pesantren yaitu membentuk forum-forum Mudzakarah atau pengajian untuk tingkat dewasa dalam meningkatkan pengetahuan ilmu agama. Tempat pengajian untuk tingkat dewasa ini dilakukan di rumah- rumah sekitar atau di dalam pondok. Dalam forum mudzakarah ini suasana pengajiannya sangat bagus sekali dan bisa dikatakan komunikatif karena terjadi interaksi komunikasi secara lansung antara komunikan dengan komunikator atau ustaz dengan jama’ahnya jadi bukan hanya pembicaranya saja yang aktif


(56)

berkomunikasi, tetapi di sini terjadi tanya jawab, memberikan komentar dan pendapat dalam menyampaikan pesan-pesan tentang kajian Islam

c. Kehidupan dipesantren

Pola kehidupan sehari-hari pesantren sebagai proses dialektika dan interaksi antara Kyai dengan santri, santri dengan santri, serta dengan masyarakat di lingkungan sekitar memberikan sikap hidup baru. Dialektika itu diterima sebagai keniscayaan, utamanya karena kepercayaan penuh kepada pesantren yang dapat memberikan keteladanan tentang bagaimana hidup sesuai dengan norma agama. Sikap hidup yang berkembang di pesantren yang dicontohkan Kyai kemudian berpengaruh kepada santri dan masyarakat di lingkungan pesantren.44 Pola kehidupan pesantren

yang juga terkadang berbeda dengan lingkungan masyarakat sekitar akhirnya juga memberikan subkultural baru yang berkembang. Dari lingkungan yang berbeda ini dapat diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan cirri sendir, dimulai dari jadwal kegiatan yang memang keluar dari kebiasaan rutin masyarakat.45

Pesantren telah memberikan corak kehidupan yang unik dan beda dibandingkan dengan kehidupan yang bekembang dalam

44 Abdul Chayyi Fanany, Pesantren Anak Jalanan (Alpha: Surabaya 2007), hlm. 28. 45 Ibid hlm 28


(57)

lingkungan masyarakat di sekitarnya. Terkadang pesantren juga berpengaruh cukup signifikan membentuk pola kehidupan dalam masyarakat. Apa yang menjadi ciri spesifik pesantren kemudian diikuti masyarakat sekitarnnya. Pola kehidupan yang demikian itu memberikan kategori subkultural pesantren dalam lingkungan kebudayaan masyarakat yang lebih luas.46

d. Konflik dipesantren.

Konflik akan selalu mewarnai semua pengalaman manusia dapat terjadi bahkan dalam diri seseorang yang biasa disebut sebagai konflik intra-personal (intrapersonal conflict). Lebih-lebih konflik dapat terjadi di dalam (within) banyak orang atau satuan sosial, baik berupa konflik intra-personal dan intra-kelompok atau bahkan lebih besar berupa konflik intra-nasional. Dari sini dapat dipahami bahwa konflik tidak lain merupakan keadaan pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan, yang ada sekaligus bersama-sama dalam diri seseorang. Dalam bentuk lain, konflik dapat diartikan sebagai suatu benturan, atau ketidak setujuan, suatu konfrontasi, pertentangan, pertengkaran, dan lain-lain yang dapat terjadi secara perorangan atau kelompok.47

46 Ibid hlm 30


(58)

e. Daerah asal santri dipesantren

Komunikasi antar daerah terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku komunikasi antar budaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa berbeda yang dapat dipelajari dan difahami, khususnya komunikasi non verbal yang sangat rumit dan biasanya proses ini secara spontan. Pentingnya komunikasi antar daerah dikarenakan interaksi sosial keseharian kita adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak.

Para santri yang menimba ilmu di pondok pesantren An- Nuriyah tidak berasal dari Suku Jawa saja melainkan dari berbagai macam Suku di Indonesia yaitu Suku Minangkabau dan Suku Madura. Jumlah santri yang berasal dari suku Jawa sebanyak 235 santri, dari suku Minangkabau sebanyak 1 santri dan dari suku Madura sebanyak 44 santri.

Setiap daerah asal santri mempunyai budaya dan adat kebiasaan yang berbeda, setiap santri pasti merasa aneh dengan kehidupan budaya yang baru dengan tinggal di pondok pesantren. Setiap santri pasti memiliki pemikiran yang berbeda, jika seorang santri berbuat salah maka tidak perlu bertengkar siapa yang benar siapa yang salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena


(59)

masalah ini kebanyakan timbul dari perbedaan budaya untuk memecah kesalah fahaman maka santri harus mengenal adat kebiasaan daerah lain.

3. Komunikasi antarbudaya santri putri pondok pesantren An- nuriyah Surabaya.

a. Perilaku komunikasi.

Perilaku komunikasi merupakan suatu tindakan atau respon seseorang dalam lingkungan dan situasi komunikasinya. Perilaku komunikasi dapat diamati melalui kebiasaan komunikasi seseorang, sehingga perilaku komunikasi seseorang akan menjadi kebiasaan pelakunya. Definisi perilaku komunikasi tidak akan lepas dari pengertian perilaku dan komunikasi.

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan yaitu perilaku atau kebiasaan seseorang umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu dan untuk memperoleh tujuan tertentu. Hasil dari perilaku komunikasi tersebut yang mengharuskan seseorang tersebut untuk mendapat titik temu tindakannya. Perilaku komunikasi akan menampilkan teknik dan keterampilan dari seseorang untuk mencapai tujuan komunikasinya, dalam hal ini dapat diterapkan pada seseorang yang mengatur teknik komunikasinya baik secara verbal maupun secara non verbal. Salah satu contoh dari perilaku komunikasi dapat dilihat dari


(60)

berbagai sudut pandang yang ada dalam lingkungan kita sehari-hari. Mulai dari fenomena-fenomena yang ada di sekeliling kita hingga segala apapun yang ada dalam aspek kehidupan kita seperti halnya tinggal dipondok pesantren.

Setiap perilaku manusia mempunyai potensi komunikasi, namun tidak berarti semua perilaku adalah komunikasi, komunikasi terjadi bila seseorang memberi makna pada perilaku orang lain atau perilakunya sendiri. Kebiasaan merupakan aspek prilaku manusia yang menetap berlangsung secara otomatis tidak direncanakan. Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda berdasarkan kebudayaanya masing-masing dalam menanggapi stimulus tertentu. Kebiasaan ini juga akan mempengaruhi prilaku manusia termasuk prilaku komunikasi.

Secara kodrati manusa senantiasa terlibat dalam komunikasi. Manusia paling sedikit terdiri dari dua orang yang saling berhubungan satu sama lainnya, begitu juga yang terlihat didalam lingkungan pondok pesantren putri An nuriyah.

Dalam kegiatan sehari-hari, terutama dalam praktik komunikasi multikulturalisme para santri berjalan hampir setiap saat karena setiap hari mereka bertemu dan tinggal dalam satu atap. Hasil pengamatan yang diperoleh peneliti di lapangan, bahwa prilaku komunikasi antarbudaya santri di pondok pesantren putri An


(61)

nuriyah Surabaya sangat beragam mulai dari bahasa verbal dan non verbal.

b. Hambatan komunikasi

Suatu proses komunikasi memang sering kali tidak dapat berjalan dengan mulus karena adanya gangguan atau hambatan. Tiadanya kesadaran dari salah satu pihak partisipan merupakan satu hambatan. Gangguan atau hambatan lain, misalnya daya pendengaran salah satu partisipan yang kurang baik, suara bising atau juga kemampuan pengguna bahasa yang kurang. Proses komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain,komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan bagi komunikator dan komunikan.48

Hambatan komunikasi (communication barrier) dalam komunikasi antar budaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk

48


(62)

perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan.

Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules),jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group). Sedangkan terdapat 9 (sembilan) jenis hambatan komunikasi antar budaya yang berada diatas air (above waterline). Hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan tersebut adalah

1) Fisik (Physical)

Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.

2) Budaya(Cultural).

Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.

3) Persepsi(Perceptual).

Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.


(63)

4) Motivasi(Motivational).

Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.

5) Pengalaman(Experiantial).

Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.

6) Emosi(Emotional).

Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.

7) Bahasa (Linguistic).

Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.


(64)

8) Nonverbal

Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan.

9) Kompetisi(Competition)

Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.

B. Kajian Teoritik

Dalam penelitian komunikasi antarbudaya santri putri pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya ini, peneliti mengacu pada Teori Interaksionalisme Simbolik. Setiap orang menggunakan suatu bahasa dalam berkomunikasi karena salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Lambang atau simbol


(65)

adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati

bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal

memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antar manusia dan objek (baik nyata ataupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.49

1. Teori Interaksionalisme Simbolik.

Teori Interaksionalisme Simbolik merupakan perspektif teoritis Amerika yang nyata dikembangkan oleh para ilmuan psikologi sosial di universitas Cicago, ini merupakan perspektif yang luas dari pada teori yang spesifik dan berpendapat bahwa komunikasi manusia terjadi melalui pertukaran lambang-lambang beserta maknanya perilaku manusia dapat dimengerti dengan mempelajari bagaimana para individu memberi makna pada informasi simbolik yang mereka pertukarkan dengan pihak lain.50

George Herbert Mead, yang dikenal sebagai pencetus awal Teori Interaksionisme simbolik, sangat mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak

49

Mulyana Dedy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Pt Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 92.

50


(66)

berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi tertentu. Interaksionisme simbolik membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.

Sebagaimana diamati oleh Kenneth J. Smith dan Linda Liska Belgrave (1984), Interaksionisme simbolik beragumen bahwa masyarakat dibuat menjadi “nyata” oleh interaksi individu-individu, yang “hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial mereka bermakna” (Hlm. 253). Selanjutnya, pada argumentasi ini dapat dilihat meyakinan Mead bahwa individu merupakan partisipan yang aktif dan reflektif terhadap konteks sosialnya.51

George Herbert Mead lebih menekankan pada bahasa atau simbol signifikasi. Simbol signifikasi adalah suatu makna yang dimengerti bersama. Hal itu dikembangkan melalui interaksi yang pada dirinya merupakan persoalan manusia yang berusaha untuk mencapai hasil- hasil praktis dalam kerja samanya satu sama lain.52

Interaksionisme simbolik selalu didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Asumsi-asumsi dalam teori ini ialah sebagai berikut:

51

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi

(Jakarta: Salemba Humanika, 2009), Hlm. 96-97.

52


(67)

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.53

Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Contohnya, ketika seseorang berada pada lingkungan baru dengan budaya yang berbeda, dia akan memberikan makna dengan menerapkan interpretasi yang diterima secara umum pada hal-hal yang dilihatnya.

Makna yang diberikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Contohnya, Budaya masaa yang menghubungkan cincin perkawinan dengan cinta dan komitmen.

b. Makna diciptakan dari interaksi antar manusia.54

Makna dapat ada, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Interaksionisme simbolik melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian

53

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi

(Jakarta: Salemba Humanika, 2009), Hlm. 99. 54


(68)

aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi”. Ketika dua individu yang berbeda budaya sedang berinteraksi, sangat penting bagi kedua individu tersebut untuk berbagi bahasa yang sama dan sepakat pada denotasi dan konotasi dari simbol-simbol yang mereka pertukarkan, guna mendapatkan makna yang sama dari pembicaraan tersebut. c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretatif.55

Terdapat dua langkah dalam proses interpretatif. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. Kedua, melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada. Setiap orang berhak untuk memberikan makna sesuatu akan tetapi, ketika berada pada lingkungan baru yang berbeda budayanya, maka seseorang dituntut untuk memberikan makna sosial yang sama dan relevan sekaligus dapat diterima secara budaya.

d. Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.56

Dalam membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri, mereka belajar tentang diri mereka melalui

55

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Hlm. 100.

56

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi Hlm. 102


(69)

interaksi. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka konsep mengenai dirinya akan terbentuk.

e. Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku.57

Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian- penilaian mengenai diri memengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini juga digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Ketika seseorang mendapat pujian mengenai kemampuannya, maka orang tersebut akan melakukan pemenuhan diri terkait kemampuannya.

f. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.58 Asumsi yang mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang dianggap penting dalam konsep diri. Di Amerika misalnya, terdapat suatu budaya yang individualis yang menghargai ketegasan dan individualitas, sehingga orang sering kali bangga jika melihat dirinya sebagai orang yang tegas.

57

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Hlm. 102


(70)

g. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.59

Interaksionisme simbolik percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Sehingga asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Padahal sebenarnya manusia sebagai pembuat pilihan tidaklah dibatasi oleh budaya atau situasi.

Teori interaksionalisme simbolik sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi. lebih dari itu, teori interaksionalisme simbolik juga memberikan inspirasi bagi kecenderungan semakin menguatnya pendekatan kualitatif dalam studi komunikasi. pengaruh itu terutama dalam hal cara pandang holistik terhadap gejala komunikasi sebagai konsekuensi dari prinsip berpikir sistemik yang menjadi prinsip dan teori interaksionalisme simbolik. Prinsip ini menempatkan komunikasi sebagai suatu proses menuju kondisi-kondisi interaksional yang bersifat konvergensif untuk mencapai pengertian bersama diantara para partisipan komunikasi. informasi dan pengertian bersama menjadi konsep kunci dalam pandangan konvergensif terhadap komunikasi (Rogers dan Kincaid,

59

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Hlm. 104


(71)

1980: 56). Informasi daam hubungan ini pada dasarnya berupa simbol atau lambang-lambang yang saling dipertukarkan oleh atau diantara partisipan komunikasi.

Teori interaksionalisme simbolik memandang bahwa makna-makna diciptakan dan dilanggengkan melalui interaksi dalam kelompok- kelompok sosial. Interaksi sosial memberikan, melanggengkan, dan mengubah aneka konvensi, seperti peran, norma, aturan, dan makna- makna yang ada dalam suatu kelompok sosial.

Konvensi-konvensi yang ada pada giliranya mendefinisikan realitas kebudayaan dari masyarakat itu sendiri. Bahasa dalam hubungan ini dipandang sebagai pengangkat realita (informasi) yang karenannya menduduki posisi sangat penting. Interaksionalisme simbolik merupakan gerakan cara pandang terhadap komunikasi dan masyarakat yang pada intinya berpendirian bahwa struktur sosial dan makna-makna dicipta dan dilanggengkan melalui interaksi sosial.

Barbara Ballis Lal mengidentifikasi cara pandang interaksionalisme simbolik sebagai berikut :

1) Orang mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif tentang situasi yang dihadapi.

2) Kehidupan sosial lebih merupakan proses-proses interaksi daripada struktur-struktur yang karenannya senantiasa berubah.


(72)

3) Orang memahami pengalamannya melalui makna-makna yang ia ketahui dari kelompok-kelompok primer, dan bahasa merupakan suatu hal yang esensial dalam kehidupan sosial.

4) Dunia ini terbangun atas objek-objek sosial yang disebut dengan sebutan tertentu dan menentukan makna-makna sosial.

5) Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran-penafsiran dimana objek-objek yang relevan serta tindakan-tindakan tertentu diperhitungkan dan didefinisikan.

6) Kesadaran tentang diri sendiri seseorang merupakan suatu objek yang signifikan, dan seperti objek sosial lainnya, ia didefinisikan melalui iteraksi sosial dengan orang lain.

Interkasionaisme simbolik, dengan melihat kecenderungan- kecenderungan di atas, dapat dikatakan berupaya membahas totalitas perilaku manusia dari sudut pandang sosio-psikologis. Artinya, perilaku manusia dipahami melalui proses interaksi yang terjadi. Struktur sosial dan makna-makna dicipta dan dipelihara melalui ineraksi sosial. Dari perspektif ini, komunikasi didefinisikan sebagai perilaku simbolik yang menghasilkan saling berbagi makna dan nilai-nilai diantara partisipan


(73)

PENYAJIAN DATA

A. Deskripsi Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian 1. Subyek Penelitian.

Subyek atau informan adalah orang yang benar-benar tahu dan terlibat dalam subyek penelitian tersebut, peneliti pastikan dan memutuskan siapa orang yang dapat memberi informasi yang relevan yang dapat membantu menjewab pertanyaan penelitian.

Subyek dalam penelitian ini adalah santri pondok pesantren putri An nuriyah Surabaya yang beretnis Jawa, Madura dan Minangkabau dengan total informan sebanyak 6 santri, 3 santri beretnis Jawa, 2 beretnis Madura dan 1 beretnis Minangkabau. Jumlah seluruh santri di pondok pesantren ini adalah sebanyak 280 mahasiswi yang kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

a. Informan pertama

Nama : Ida Muhshonah

Alamat :Gedongan, Wadungasri, Waru, Sidoarjo Etnis :Jawa

Semester :delapan (8) Jurusan :Sastra Arab

Alasan peneliti memilih sebagai informan karena sudah lama tinggal di pondok dan pasti sudah mengerti bagaimana


(74)

kehidupan dilingkungan pondok putri dan bahasa- bahasa yang digunakan dalam lingkungan pondok yang digunakan para santri dalam berinteraksi dengan santri lainnya dalam berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya. Karakter dari informan yang tinggal dipondok selama 4 tahun ini sangat menarik, informan memiliki karakter yang apa adanya dan bersahabat, sehingga peneliti sangat mudah untuk mendapatkan informasi darinya.

b. Informan ke dua

Nama :Nur Aida Ambiyatul Ulfah

Alamat :Ds. Keben Kec Turi Kab Lamongan Etnis :Jawa

Semester :enam (6)

Jurusan :Bimbingan Konseling Islam (BKI)

Alasan peneliti memilih aida sebagai informan karena berbeda dengan yang lainnya, aida merupakan santri terlihat cuek dan ngomongnya juga asal ceplos yang membuat peneliti mudah mendapatkan informasi yang sesuai dengan studi kasus yang dilakukan peneliti.


(1)

112 113

glue of society. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya bahwa komunikasi antarbudaya yang terjadi dapat menjadi alat perekat para santri termasuk juga dengan pengasuh karena dengan perbedaan bahasa menjalin komunikasi antarbudaya.


(2)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Identifikasi masalah terkait komunikasi antarbudaya santri putri pondok pesantren An-Nuriyah Surabaya. Penulis menyimpulkan dari penelitan yang diperoleh selama 1 bulan untuk mendapatkan hasil pada rumusan masalah tersebut yaitu peneliti ingin mendeskripsikan bagaimana perilaku komunikasi antarbudaya pada santri di pondok pesantren An- Nuriyah dan apa hambatan dalam komunikasi antarbudaya di pondok pesantren. Dalam penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa:

1. Perilaku komunikasi antarbudaya santri putrri An-Nuriyah Surabaya. a. Konteks sosial para santri tidak banyak menunjukkan adanya

perbedaan atau diskriminasi antara santri yang beretnis Jawa, Madura maupun Minangkabau, mereka sama-sama saling menghargai atau menghormati budaya satu sama lain.

b. Konteks kemanusia santri yang berbeda budaya tetap bisa menjaga kerukunan meskipun terkadang terjadi kesalah pahaman akibat perbedaan budaya, mereka bisa menyelesaikan dengan kesadaran mereka masing-masing bahwa harus adanya sikap menghargai budaya lain dan mengkomunikasikannya dengan jalan baik-baik. c. Komunikasi antarbudaya para santri gunakan adalah komunikasi


(3)

2. Hambatan komunikasi antarbudaya pada santri yang mencolok dalam proses komunikasi di pondok pesantren An-Nuriyah tersebut adalah hambatan semantik atau bahasa. Hambatan bahasa menjadi penghalang utama karena bahasa merupakan sarana utama terjadinya komunikasi. Gagasan, pikiran, dan perasaan dapat diketahui maksudnya ketika disampaikan lewat bahasa. Gangguan bahasa ini bisa menimbulkan salah dalam mengartikan suatu pesan sedangkan faktor pendukungnya adalah pebedaan bahasa yang dapat menimbulkan daya tarik tersendiri bagi para santri untuk melakukan komunikasi antarbudaya.

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, maka peneliti memberikan beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi beberapa pihak :

1. Peneliti selanjutnya.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya jika melakukan penelitian yang sejenis dan sebaiknya lebih mendalami pengetahuan akan komunikasi pergaulan pada santri dan gap komunikasi santri beda budaya sehingga kajian penelitian dapat terfokus dan tidak melebar.


(4)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2. Fakultas dan program studi.

Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman mengenai bahasa verbal dan non verbal dalam pondok pesantren. 3. Santri putri pondok pesantren An-Nuriyah.

Diharapkan dalam penerapan kehidupan sehari-hari di lingkungan pondok, untuk dapat bekomunikasi secara efektif dengan santri lain yang memiliki latar belakang daerah yang berbeda. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mudah dimengerti oleh santri lain seprti bahasa Indonesia. Serta dapat menggunakan bahasa non verbal sebagai penguat dalam pemahaman ketika sedang berkomunikasi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A.Supratiknya. 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta, Kanisius. A.Supratiknya. 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: PT Kanisius Agus Salim. 2006.Stratifikasi etnik. YogyakartaTiara Wacana

Ahmad Sihabuddin. 2003. Komunikasi Antar Budaya Satu Perspektif

Multidimensi. Jakarta: PT Bina Ilmu

Ahmad sihabudin. 20011. komunikasi antar budaya. Jakarta:PT Bumi Aksara

Ali Nurdin, “Metode Penelitian Kualitatif Komunikasi” , bahan kuliah

Alo Liliweri,2009. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yagyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang

Alo Liliweri. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Craib Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta : Rajawali Pers

Dedy Mulyana, Jalaluddin Rahmat. 1996. komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya

Djaelani, Qadir, Abdul. 1994. Peran Ulama dan Santri. Surabaya: PT Bina Ilmu. Edi Santoso. 2010. Teori Kounikasi.Yogyakarta: Graha Ilmu

Hardjana, Andre. 2000. System komunikasi Indonesia baru. Jakarta: PT. BIKN Imam Suprayoga, Tabrani. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung:

Remaja Rosdakarya

Jenks chris. 1993. culture studi kebudayaan. Yogyakarta: PT Pustaka belajar Koentjaraningrat,1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Lukiati Komala. 2009. Ilmu Komunikasi Perspektif, Proses, Dan Konteks


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Mulyana Dedy. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Nurcholis Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:Paramadina

Onong Uchajana Effendy. 2006. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung : PT Remaja

Ph.D Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : Pt Lkis Pelangi Aksara

Richard West dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis

dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika Rosdakarya

S. Djuarsa Sendjaja,1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka Stephen w. Littlejohn. 2008. Teori komunikasi. Jakarta Selatan: PT Bina Bangsa Syafrudin, Mariam. 2010. Sosial budaya dasar. Jakarta Timur: Cv Trans Info Tasmuji et.al. 2011. IAD-ISD-IBD. Surabaya: IAIN Sunan Ampel

Widagho djoko. 2008. ilmu budaya dasar. Jakarta: Bumi aksara