HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALRUISME PADA RELAWAN SSC (SAVE STREET CHILD) SURABAYA.

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME

PADA RELAWAN SSCS (SAVE STREET CHILD) SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Resta Cahyani B07212027

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Altruisme adalah tindakan menolong orang lain secara sukarela. Empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan orang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara empati dengan perilaku altruisme pada relawan save street child Surabaya. Empati merupakan salah satu factor penggerak atau pendorong seseorang untuk melakukan pertolongan altruisme. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah empati dan variabel terikat pada penelitian ini yaitu altruism. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Jenis penelitiannya adalah penelitian korelasional dengan pengujian hipotesis. Subyek diambil sebanyak 48 orang yang tergabung dalam komunitas save street child Surabaya. Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala empati dan altruism. Teknik pengumpulan data ini menggunakan angket yang telah di uji cobakan terlebih dahulu dan di uji validitas serta reliabilitas. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment dengan bantuan SPSS 16.00 for windows. Hasil yang di dapat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara empati dengan perilaku altruisme pada relawan save street child Surabaa, dimana tingkat signifikansinya sebesar 0.000 < 0.05, berarti hipotesis yang di ajukan diterima. Hal ini berarti semakin tinggi empati maka semakin tinggi altruismenya demikian pula sebaliknya semakin rendah empati semakin rendah pula altruismenya.


(7)

xi

ABSTRACT

Altruism is the act of helping others voluntarily. Empathy is a tendency to understand the condition or circumstances of others. The purpose of this study was to determine the relationship between empathy and altruism behaviors in volunteers save street child Surabaya. Empathy is one factor driving or driving someone to help altruism. The independent variables in this study is empathy and the dependent variable in this research that altruism. This study includes quantitative research. Type of research is correlational research with hypothesis testing. Subjects taken as many as 48 people who are members of the community save street child Surabaya. There are two scales used in this study is the scale of empathy and altruism. This data collection technique using a questionnaire that had been tested in advance and on test validity and reliability. Data analysis technique used is the product moment correlation with SPSS 16.00 for windows. The results can show there is a significant relationship between empathy and altruism behaviors in volunteers save street child Surabaya, where the level of significance 0.000 <0.05 means that the proposed hypothesis is accepted. This means that the higher of empathy the higher of altruisme otherwise, the lower of altruism the lower of empathy.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Daftar Gambar ... ix

Intisari ... x

Abstract ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

BAB II :KAJIAN PUSTAKA ... 15

A.Altruisme ... 15

1. Pengertian Altruisme ... 15

2. Aspek-Aspek Altruisme ... 16

3. Faktor-faktor Altruisme ... 17

4. Teori-teori Altruisme ... 23

B.Empati ... 28

1. Pengertian Empati ... 28

2. Fungsi Empati ... 29

3. Aspek-aspek Empati ... 31

4. Faktor-faktor Empati ... 32

C.Hubungan Empati dengan Perilaku Altruisme ... 34

D.Kerangka teoritis ... 37

E.Hipotesis ... 39

BAB III: METODE PENELITIAN ... 40

A.Variabel dan Definisi Operasional ... 40

1. Variabel Penelitian ... 40

2. Definisi Operasional ... 40

B.Populasi ... 41

C.Pengumpulan Data ... 43

1. Skala Pengukuran ... 43

a. Skala Altruisme ... 44

b. Skala Empati ... 45

D.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47


(9)

v

2. Realibilitas ... 48

a. Skala Altruisme ... 49

b. Skala Empati ... 53

E.Analisis Data ... 58

1. Uji Normalitas ... 59

2. Uji Linearitas ... 60

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A.Hasil Penelitian ... 61

1. Deskripsi Subyek ... 61

2. Deskripsi Data Subyek ... 65

B.Analisis Data ... 69

1. Uji Normalitas Data ... 69

2. Uji Linearitas Data ... 71

3. Uji Hipotesis ... 71

C.Pembahasan ... 73

BAB V: PENUTUP ... 77

A.Simpulan ... 77

B.Saran ... 77

Daftar Pustaka ... 79


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Penilaian Pertanyaan Favorable dan Unfavorable ... 44

Tabel 2 : Blue Print Skala Altruisme ... 45

Tabel 3 : Blue Print Skala Empati ... 46

Tabel 4 : Uji Daya Diskriminasi Item altruisme ... 51

Tabel 5 : Reliabilitas Instrumen Altruisme ... 52

Tabel 6 : Blue Print Baru Skala Altruisme ... 53

Tabel 7 : Uji Daya Diskriminasi Item Empati ... 55

Tabel 8 : Reliabilitas Instrumen Empati ... 56

Tabel 9 : Blue Print Baru Skala Empati ... 57

Tabel 10 : Jumlah Responden Berdasarkan Lokasi ... 62

Tabel 11 : Data Responden Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 12 : Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

Tabel 13 : Data Responden Berdasarkan Status ... 64

Tabel 14 : Data Responden Berdasarkan Lama Mengajar ... 65

Tabel 15 : Deskriptif Data ... 66

Tabel 16 : Deskripsi Data Subyek Berdasarkan usia ... 66

Tabel 17 : Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67

Tabel 18 : Data Responden Berdasarkan Status ... 68

Tabel 19 : Data Responden Berdasarkan Lama Mengajar ... 69

Tabel 20 : Hasil Uji Normalitas ... 70

Tabel 21 : Hasil Uji Linearitas ... 71


(11)

vii DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Empati Subyek Try Out ... 81

2. Tabulasi Jawaban Skala Empati Subyek Try Out ... 84

3. Tabulasi Skor Subyek Try Out ... 85

4. Output Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Empati Subyek Try Out ... 86

5. Skala Altruisme Subyek Try Out ... 89

6. Tabulasi Jawaban Skala Altruisme Subyek Try Out ... 92

7. Tabulasi Skor Subyek Try Out ... 93

8. Output Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Altruisme Subyek Try Out ... 94

9. Skala Empati Subyek Penelitian ... 97

10.Tabulasi Jawaban Skala Empati Subyek Penelitian... 99

11.Tabulasi Skor Skala Empati Subyek Penelitian... 100

12.Skala Altruisme Subyek Penelitian ... 101

13.Tabulasi Jawaban Skala Altruisme Subyek Penelitian ... 103

14.Tabulasi Skor Skala Altruisme Subyek Penelitian ... 104

15.Data Subyek Penelitian ... 105

16.Output Hasil Uji Normalitas ... 106

17.Output Hasil Uji Linearitas ... 108

18.Output Hasil Uji Deskriptif ... 110


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Bagan Konseptual Teori ... 38 Gambar 2 : Grafik Uji Normalitas ... 70


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena anak jalanan merupakan masalah yang biasa terjadi di jalanan. Di Surabaya pada tahun 2014 tercatat sekitar 76 anak jalanan yang terpencar di 9 kecamatan. Masalah anak jalanan dapat menyebabkan dampak bagi anak jalanan diantaranya yaitu anak jalanan sangat rentan terhadap situasi yang buruk seperti menjadi korban eksploitasi, korban kekerasan fisik, tindakan kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, objek seksual dan perilaku buruk lainnya. Pada studi pendataan anak jalanan ditemukan adanya 30,9% anak jalanan di Surabaya mengaku pernah terlibat dalam kebiasaan minum-minuman keras. Permasalahan tentang anak jalanan merupakan permasalahan sosial yang kompleks. Terbukti bahwa fenomena anak jalanan belum bisa diatasi secara maksimal hingga saat ini (Fadilah & Suyanto, 2013).

Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Anaka jalanan ini melakukan kegiatan-kegiatan di jalanan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya. Tekanan ekonomi yang semakin keras menyebabkan banyaknya anak jalanan di Indonesia (Paramitha, 2012).


(14)

2

Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat (1) dijelaskan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Maksud dari pasal tersebut ialah bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap anak-anak yang terlantar seperti anak jalanan untuk dipelihara dan dibina sebagaimana mestinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tentang anak jalanan telah melakukan berbagai upaya agar jumlah anak jalanan dapat berkurang. Upaya untuk mengatasi permasalahan anak jalanan sebenarnya bukan hanya tugas pemerintah saja melainkan merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat diantaranya orang tua, pemerintah dan masyarakat.

Firman Allah dalam Al’-qur’an :

                                                                                             

Artinya: “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Baqorah, 177).


(15)

3

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwasannya kita dianjurkan untuk menyantuni anak yatim dan memeliharanya, dan bersedekah pada orang miskin. Jika para anak jalanan itu seorang yang yatim miskin dan terlantar secara ekonomi dan sosial maka sebagai umat muslim dianjurkan untuk menyantuninya. Namun, jika mengemis ini dijadikan sebuah profesi yang mendukung hidupnya sedangkan pada usianya ia masih bisa melakukan hal-hal lain tentunya itu tidak di anjurkan. Maka yang benar-benar harus disantuni adalah mereka yang benar-benar dalam kondisi yang miskin pada sesungguhnya (Fauziah, 2015).

Kehidupan di jalanan yang tak menentu, suram, bahkan keras secara tidak langsung menempa watak anak jalanan menjadi keras dan liar. Hal-hal negatif seperti mencuri, mabuk-mabukan, penggunaan narkotika, dan berbagai potensi berbau kriminal dengan mudah mereka ikuti. Fakta-fakta ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan bagi kita tentunya, generasi muda penerus bangsa. Kita tak mau melihat terjadi ketimpang tindihan sosial yang timbul di masyarakat Indonesia. Apalagi mengingat jumlah anak jalanan dan angka kriminalitas di jalanan yang dari tahun ke tahun tak pernah mengalami penurunan, justru peningkatan yang terus terjadi.

Anak adalah investasi masa depan bangsa. Majunya suatu Negara salah satunya ditentukan oleh kualitas generasi mudanya, yang dapat dilihat dari kondisi anak-anak hari ini. Dengan demikian anak jalanan juga merupakan asset berharga Negara yang seharusnya diberdayakan, dirawat dan dididik agar nilai gunanya semakin tinggi.


(16)

4

Komunitas Save Street Child Surabaya merupakan komunitas yang muncul akibat dari keperdulian dan keprihatinan terhadap kondisi anak jalanan yang tidak memiliki waktu untuk bermain, belajar seperti selayaknya anak-anak seumurannya yang telah mendapatkan pendidikan yang layak dan waktu bermain yang cukup. Tujuan dasar terbentuknya komunitas Save Street

Child Surabaya dibentuk adalah berdasarkan semagat kepedulian anak-anak

muda Surabaya terhadap kaum minoritas di Kota Surabaya. Selanjutnya, gerakan ini dikemas dalam tindakan nyata. Selain menyebarkan semangat kepedulian dan semangat berbagi, Komunitas Save Street Child Surabaya juga sebagai wadah informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan anak jalanan dan marjinal di Kota Surabaya (Paramitha, 2012).

Relawan yang tergabung dalam komunitas Save Street Child Surabaya adalah anak-anak muda yang mayoritas adalah mahasiswa yang memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama khususnya anak-anak jalanan mereka biasa menyebutnya “Pengajar Keren”. Di tengah gaya hidup anak muda saat ini yang hanya berkeinginan untuk bersenang-senang, menghambur-hamburkan uang orang tua, berpacaran, dan memiliki geng. Jarang anak muda yang punya visi akan masa depan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi pada saat ini semakin banyak individu yang mementingkan dirinya sendiri atau berkurangnya rasa tolong menolong anatara sesama terutama pada generasi muda. Semakin berkembangnya aktivitas pada setiap orang, maka akan semakin sibuk dengan urusannya sendiri, yang memunculkan sifat atau sikap individualisme yang menjadi ciri manusia modern.


(17)

5

Mereka para relawan Save Street Child Surabaya mampu meluangkan waktu dan tenaganya demi untuk memberikan pendidikan ataupun hiburan tanpa mendapat suatu imbalan apapun untuk anak-anak jalanan dengan harapan agar bisa menjadi anak pintar dan terampil untuk masa depan yang lebih baik. Dengan visi "Memenuhi Kebutuhan Pendidikan dan Bermain Anak", mereka fokus dalam memberikan pendidikan bagi anak jalanan di Surabaya. Tak hanya itu saja namun juga memberikan fasilitas bermain yang secara tidak langsung dapat menghilangkan trauma anak jalanan saat hidup di jalanan. Hingga sekarang telah ada 6 titik lokasi yang digunakan rutinitas belajar-mengajar dengan cara belajar yang berbeda pula. Mengingat permasalahan di tiap-tiap wilayah tak menentu sama. Keenam titik tersebut diantaranya: Stren Kali JMP, Makam Rangkah, Taman Bungkul, Traffic Light Jalan Ambengan, Wilayah halaman Delta Plaza dan Traffic Light Jalan Kertajaya.

Kegiatan belajar-mengajar di masing-masing wilayah biasanya dilaksanakan pada sore hari dengan materi tematik. Pada bulan-bulan pertama mereka diajarkan materi bertemakan keluarga, dilanjutkan tema lingkungan, dan secara bertahap terus meningkat. Kegigihan mereka untuk mengajar pun mereka tunjukkan dengan kesabaran dalam memberikan materi. Khususnya di wilayah Traffic Light Jalan Ambengan, para 'Pengajar Keren' antusias menunggu anak jalanan berjualan terlebih dahulu, setelah pembelajaran baru dimulai.


(18)

6

Hasil wawancara tanggal 2 Desember 2015 kepada salah satu pengajar keren Komunitas Save Street Child Surabaya bahwa mengajar adalah salah satu bentuk syukur agar bisa bermanfaat untuk orang lain. Seorang yang memutuskan untuk menjadi pengajar keren harus memilki sifat tulus ikhlas dalam dirinya karena bagaimanapun juga anak-anak jalanan membutuhkan generasi muda agar dapat bermanfaat bagi Negara melalui pendidikan ataupun bakat yang dimilikinya yang pastinya generasi mudalah yang dapat membimbing anak-anak jalanan menuju hal tersebut.

Relawan adalah orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau sedikit latihan khusus tetapi dapat pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu untuk bekerja sukarela membantu tenaga profesional (Khoirun & Anugriaty, 2015). Beberapa sikap relawan tersebut menunjukkan karakteristik seorang altruis, Batson (dalam Bierhoff, 2002) menyatakan bahwa altruisme merupakan perasaan yang berorientasi pada perhatian, kasih sayang, kelembutan, yang terjadi sebagai akibat dari menyaksikan penderitaan orang lain.

Altruisme dapat muncul ketika seseorang melihat kondisi orang lain yang kurang menguntungkan dan berusaha menolong individu lain tersebut tanpa memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang di alami oleh orang lain yang meliputi saling membantu, saling menghibur, persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi. Perilaku altruisme juga merupakan perilaku yang muncul


(19)

7

dalam kontak sosial, sehingga perilaku altruisme adalah tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa mempedulikan motif-motif si penolong.

Firman Allah:                                                                                         

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah, 2)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwasannya sebagai makhluk sosial kita dianjurkan untuk saling tolong menolong dan memiliki rasa cinta terhadap orang lain. Kata cinta yang ada dalam diri kita, kita berharap bahwa orang-orang yang ada di sekitar kita berada dalam keadaan sebaik-baiknya. Jika mereka menginginkan kebaikan dari kita, maka kita akan memberikan sesuatu yang menjadikan kebaikan itu mereka miliki. Saat memberikan sesuatu, baik


(20)

8

dalam bentuk materi, perhatian, dan semua jenis kebaikan, kita tidak menharapkan apapun, kecuali kebaikan untuk diri mereka.

Allah mengajak untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai. Barang siapa memadukan antara ridha Allah dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah. Adapun hikmah dari tolong menolong (Ta’awun) antara lain yaitu, Menciptakan hidup yang tentram dan harmonis dan jugaMenumbuhkan rasa gotong-royong antar sesama.

Apabila seseorang bersedia menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan bagi dirinya sendiri, maka para ahli psikologi sosial menyebut perilaku ini sebagai perilaku altruisme. Menurut David O. Sears (1991), altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan apapun kecuali mungkin perasaan melakukan kebaikan (Nashori, 2008).

Perilaku menolong yang mungkin diberikan kepada orang lain sangat bermacam-macam jenisnya. Ada yang disebut dengan Altruisme yaitu tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekedar beramal baik, dimana tindakan yang akan digolongkan sebagai tindakan altruistik ini tergantung dari niat si penolong. Ada juga tindakan


(21)

9

Prososial yaitu tindakan menolong orang lain yang terlepas dari motif si penolong.

Menurut Wortman dkk (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku altruisme antara lain: (a) Suasana hati, jika suasana hati sedang enak, orang juga akan terdorong untuk memberikan pertolongan lebih banyak. (b) Empati, menolong orang lain membuat kita merasa nyaman, tapi bisakah kita menolong orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri sendiri? Menurut Danil Batson bisa, yaitu dengan empati. Empati inilah yang akan mendorong seseorang untuk melakukan pertolongan altruisme. (c) Faktor Sosio-Biologis. (d) Faktor Situasional.

Baron dan Byrne (2005) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi altruisme, salah satunya adalah empati. Faturochman (2006) mengungkapkan bahwa altruisme erat kaitannya dengan empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan menolong. Empati berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengekspresikan emosinya, oleh karena itu empati seseorang dapat diukur melalui wawasan emosionalnya, ekspresi emosional, dan kemampuan seseorang dalam mengambil peran dari individu lainnya. Karakteristik individu yang altruistik adalah memiliki kosep diri yang empati, meyakini dunia sebagai mana adanya, memiliki rasa tanggung jawab sosial, memiliki egosentrisme yang rendah dan memiliki internsal locus of control (Laila & Asmarani, 2015).


(22)

10

Berbagai penelitian dalam psikologi sosial telah memberikan jawaban mengenai faktor-faktor yang mendasari munculnya perilaku yang mempunyai implikasi positif bagi orang lain, prososial, membantu, dan juga altruisme. Diantaranya adalah Stephan (dalam Gusti & Margaretha, 2010) menunjukkan bahwa orang yang memiliki rasa empati akan berusaha menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan dan merasa kasihan atau iba terhadap penderitaan orang lain. Rehberg 2015 (Fatimah & Siti, 2015) melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa 118 responden yang diteliti, 64% laki-laki dan 36% perempuan dengan rata-rata usia 24 tahun berdasarkan kombinasi motif sukarela pada organisasi internasional hanya 11% dari responden menunjukkan refleksi perilaku altruisme. Hasi; penelitian dari Agustin dan Pujianti dari 70 siswa SMAN 1 Setu dari kelas satu dan kelas dua yang berusia 14 sampai 17 tahun di dapat hasil 50,4% yang menunjukan bahwa empati memberikan kontribusi terhadap altruisme dan 49,6% dipengaruhi oleh faktor lain.

Perilaku altruisme akan muncul karena adanya proses adaptasi dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini adalah keluarga. Dalam diri setiap manusia ketika melihat orang lain dalam keadaan susah, rasa empati ingin menolong orang tersebut pasti ada. Dengan adanya rasa empati, orang akan membantu meskipun mereka percaya bahwa tidak akan ada satu orang pun yang tahu mengenai perilaku menolong yang mereka lakukan (David, 2012). Menurut Davis (1983) (dalam Sari & Eliza, 2003) aspek dari empati adalah perspektif taking, fantasi, emphatic concern dan personal distress.


(23)

11

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah

“Apakah ada hubungan antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada

Relawan SSCS (Save Street Child) Surabaya?. Dengan rumusan masalah tersebut maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Relawan SSCS (Save Street Child) Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan masalahnya adalah :

Apakah ada Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Relawan Save Street Child Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang ingin didapat adalah:

Untuk mengetahui Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Relawan Save Street Child Surabaya.


(24)

12

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu :

1. Manfaat teoritis, penelitian ini memberikan sumbangan pada ilmu psikologi terutama psikologi sosial dalam ranah empati dan altruisme pada relawan Save Street Child Surabaya.

2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan tentang pentingnya pengembangan rasa empati yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme disertai kesadaran untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar demi terciptanya hubungan sosial yang lebih manusiawi.

E. Keaslian Penelitian

Pentingnya memahami hubungan empati dan altruisme menjadikan cukup banyak peneliti yang tertarik melakukan penelitian. Jurnal penelitian yang terpublikasi menunjukan bahwa ada hubungan diantara keduanya merupakan topik yang menarik untuk diteliti.

Penelitian terpublikasi diantaranya; R. Toni Ikhsan P dan Desy Arisandy (2014) yang berjudul “Hubungan Antara Enpati Dengan Perilaku

Altruisme Pada Komunitas Punk Food Not Bombs Di Kota Palembang”,

menemukan hubungan signifikan antara empati dengan perilaku altruisme pada komunitas punk food not bombs di Kota Palembang.

Penelitian lain dilakukan oleh Agustin Pujianti (2008) yang berjudul


(25)

13

Negeri 1 Setu Bekasi”, menemukan bahwasannya empati memiliki kontribusi terhadap altruisme sebesar 50,4 %. Adapun 49,6 % altruisme kemunkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti suasana hati, meyakini keadilan dunia, dan faktor sosiobiologis.

Fatimah dan Siti (2015) yang berjudul “Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Mahasiswa Psikologi Universitas

Muhammadiyah Surakarta”, menemukan adanya hubungan positif yang

sangat signifikan antara empati dan altruisme. Semakin tinggi empati yang dimiliki maka semakin tinggi pula perilaku altruisme pada mahasiwa, sebaliknya semakin rendah empati maka semakin rendah pula perulaku altruisme pada mahasiswa. Empati mempengaruhi perilaku altruisme sebesar 43,8% dan sisanya di pengaruhi oleh variabel lainnya.

Satria Andromeda dan Nanik Prihartanti (2014) yang berjudul

Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Karang Taruna

Desa Pakang”, menemukan bahwa ada hubungan positif yang sangat

signifikan antara empati dengan altruisme pada karang taruna di Desa Pakang. Sumbangan efektif empati 34,1%, hal ini masih terdapat 65,9 % variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme.

Penelitian terpublikasi di luar negeri di antaranya: Eisenberg dkk. (1987) yang berjudul “The relation of empathy to prososial and related

behaviours”, jurnal artikel tersebut menunjukkan adanya hubungan yang


(26)

14

Penelitian lainnya, penelitian yang dilakukan oleh Brian Harrington, dkk (2015) yang berjudul “The developmental course of the empathy-altruism hypothesis: the relationship between the development of children’s empathic

concern and altruistic behaviours” menunjukkan adanya korelasi positif yang

signifikan antara empati dan altruisme.

Penelitian ini dirasa penting mengingat topik yang dipilih sangat relevan dengan fenomena yang terjadi saat ini khususnya pada generasi muda yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan anak jalanan. Ditengah perkembangan zaman yang semakin modern, gaya hidup anak muda yang foya-foya tidak menjadikan mereka acuh terhadap sesama, namun menjadikan mereka anak muda yang bermanfaat bagi sesama.

Dari berbagai macam hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam penelitian yang dilakukan peneliti. Perbedaan itu terdapat di lokasi penelitian, obyek penelitian, subyek penelitian dan juga metode yang digunakan. Sedangkan persaman terdapat pada variabel X dan Y, yaitu sama- sama mengkaji aspek empati dan perilaku altruisme.


(27)

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Altruisme

1. Pengertian Altruisme

Altruisme berasal dari kata “alter” yang artinya “orang lain”. Secara bahasa altruism adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain. Comte membedakan antara perilaku menolong dengan altruism dengan perilaku menolong yang egois. Menurutnya dalam memberikan pertolongan, manusia memiliki dua motif (dorongan), yaitu altruis dan egois. Kedua dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk memberikan pertolongan. Perilaku menolong yang egois tujuannya justru mencari manfaat untuk diri si penolong atau dia mengambil manfaat dari orang yang ditolong. Sedangkan perilaku menolong altruis yaitu perilaku menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Selanjutnya Comte menyebut perilaku ini dengan altruisme (Taufik, 2012).

Menurut David O. Sears (1991), altruism adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan apapun kecuali mungkin perasaan melakukan kebaikan (Fuad, 2008). Dalam artikel berjudul Altruisme dan Filantropis (Borrong, 2006), altruism diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Suatu tindakan altruistic adalah tindakan kasih yang


(28)

16

dalam bahasa Yunani disebut agape. Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesama dengan baik untuk tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi.

Menurut Glasman (2009) altruism adalah konsep perilaku menolong seseorang yang didasari oleh keuntungan atau manfaat yang akan diterima pada kemudian hari dan dibandingkan dengan pengorbanan yang ia lakukan saat ini untuk menolong orang tersebut. Manfaat yang didapat dari menolong orang lain harus lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan untuk menolong orang tersebut (Bambang, 2015).

Berdasarkan pengertian beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa altruisme merupakan tindakan menolong orang lain secara sukarela tanpa mengharap balasan apapun demi mensejahterakan orang lain yang ditolongnya.

2. Aspek-aspek Altruisme

Menurut Einsbreg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniyah, 2003) hal-hal yang termasuk dalam aspek altruisme adalah sebagai berikut :

a. Cooperative (kerja sama)

Individu yang memiliki sifat altruis lebig senang melakukan pekerjaan secara bersama-sama, karena mereka berfikir dengan bekerja sama tersebut mereka dapat lebih bersolsialisasi dengan sesame manusia dan dapat mempercepat menyelesaikan pekerjaannya.


(29)

17

b. Helping (menolong)

Individu yang memiliki sifat altruis senang membantu orang lain dan memberikan sesuatu yang berguna ketika orang lain sedang membutuhkan pertolongan karena hal tersebut dapat menimbulkan perasaan positif dalam diri si penolong.

c. Honesty (kejujuran)

Individu yang memiliki sifat altruis memiliki suatu sikap yang lurus hati, tulus serta tidak curang karena mereka mengutamakan nilai kejujuran dalam dirinya.

d. Gonerosity (kedermawanan)

Individu yang memiliki sifat altruis memiliki sikap suka beramal dan murah hati terhadap orang lain.

3. Faktor-faktor Altruisme

Beberapa penelitian psikologi sosial melihat bahwa pemberian bantuan dapat dipengaruhi oleh factor-faktor sebagai berikut (Sarwono, 1999) :

1. Kehadiran orang lain

Menurut Sarwono (1999), factor utama dan pertama yang berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong adalah orang lain yang kebetulan ada di tempat kejadian. Latane dan Darley (dalam Sears et.al., 1985) mengemukakan bahwa kehadiran penonton yang begitu banyak mungkin memungkinkan tidak adanya usaha untuk memberikan pertolongan. Semakin banyak


(30)

18

oranglain, makin kecil kemungkinan orang untuk menolong. Latane dan Nida (dalam Sarwono, 1999) orang-orang yang menyaksikan suatu kejadian seperti peristiwa pembunuhan, kecelakaan, perampokan dan peristiwa-peristiwa lainnya mungkin menduga bahwa sudah ada orang lain yang menghubungi pihak berwajib sehingga kurang mempunyai tanggung jawab pribadi untuk turun tangan. Mengapa kehadiran orang lain kadang menghambat usaha untuk menolong. Analisis pengambilan keputusan tentang perilaku sosial memberikan beberapa penjelasan. Baumiter (dalam Sears et.al., 1985) adalah penyebaran tanggung jawab yang timbul karena kehadiran orang lain.bila hanya satu orang yang menyaksikan korban yang mengalami kesulitan maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi tersebut dan akan menimbulkan rasa salah dan sesal bila tidak bertindak.

Bila orang lain juga hadir, pertolongan juga bisa muncul dari beberapa orang. Kedua tentang efek penonton menyangkut ambiguitas dalam mengintepretasi situasi. Analisis pengambilan keputusan menyatakan bahwa kadang-kadang penolong tidak yakin apakah situasi tertentu dapat benar-benar merupakan situasi darurat. Perilaku penontonyang lain dapat mempengaruhi bagaimana reaksi seseorang.


(31)

19

2. Kondisi lingkungan

Keadaan fisik juga mempengaruhi orang untuk memberi bantuan. Sejumlah penelitian membuktikan pengaruh kondisi lingkungan seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan terhadap pemberian bantuan. Efek cuaca terhadap pemberian bantuan diteliti dalam dua penelitian lapangan yang dilakukan oleh Conmingham (dalam Sears et.al., 1985). Dalam penelitian pertama, para pejalan kaki dihampiri diluar rumah dan diminta untuk membantu peneliti dengan mengisi kuisioner. Orang lebih cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu udara relative menyenangkan relative hangat di musim dingin dan relative sejuk di musim panas.

Dalam penelitian kedua yang mengamati bahwa para pelanggan memberi tip yang lebih banyak bila hari cukup cerah. Menurut Ahmed (dalam Sears, et.al., 1985), bahwa orang lebih cenderung menolong pengendara motor yang mogok dalam cuaca cerah daripada dalam cuacamendung dalam siang hari. Factor lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi tindakan menolong adalah kebisingan. Methews dan canon (dalam Sears, et.al., 1985), bahwa suara bising yang keras menyebabkan orang lain mengabaikan orang lain di sekitarnya dan memotivasi mereka untuk meinggalkan situasi tersebut secepatnya sehingga menciptakan penonton yang tidak begitu suka menolong.


(32)

20

3. Tekanan waktu

Menyatakan bahwa orang kadang berada dalam keadaan tergesa-gesa untuk menolong. Orang yang sibuk cenderung untuk tidak menolong sedangkan orang yang santai lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan pada yang memerlukannya. Bukti nyata efek ini berasal dari eksperimen yang dilakukan oleh Darley dan Botson (dalam Aears, et.al., 1985) dimana ditemukan 10 % subyek yang diberikan tekanan waktu memberikan bantuan dan 63 % subyek yang tidak diberikan tekanan waktu dapat memberikan pertolongan. Dari hasil tersebut peneliti menyatakan bahwa tekanan waktu menyebabkan seseorang dapat mengabaikan kebutuhan korban sehingga tindakan pertolongan tidak terjadi.

4. Faktor kepribadian

Tampaknya cirri kepribadian tertentu mendorong orang untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi yang lain. Satow (dalam Sears, et.al., 1985), mengamati bahwa orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial lebih cenderung untuk menyumbangkan uang bagi kepentingan amal daripada orang yang mempunyai tingkat yang rendah untuk diterima secara sosia, tetapi hanya bila orang menyaksikannya. Orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, tetapi hanya bila orang menyaksikannya. Orang yang


(33)

21

mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga bertindak lebih prososial agar mereka lebih diperhatikan. 5. Suasana hati

Ada sejumlah bukti bahwa orang cenderung untuk memeberikan bantuan bila mereka ada dalam Susana yang baik hati. Suasana perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk membantu. Efek suasana hati tidak berlangsung lama hanya 20 menit, suasana hati yang positif bisa menurunkan kesediaan untuk menolong bila pemberian bantuan akan mengurangi suasana hati yang baik (Sears, et.al., 1985). Rupanya orang yang berada dalam suasana hati yang baik ingin mempertahankan perasaan mereka. Efek suasana hati yang buruk, seperti depresi. Suasana hati yang buruk menurut Thompson (dalam Seart, et.al., 1985), menyebabkan individu memusatkan perhatian pada diri individu sendiri dan kebutuhan diri sendiri maka suasana ini akan mengurangi suasana untuk membantu orang lain. Di lain pihak, bila individu berpikir bahwa menolong orang lain bisa membuat individu merasa lebih baik sehingga mengurangi suasana hati yang buruk, maka individu akan mudah memberikan bantuan.

6. Distress diri dan rasa empatik

Distress diri (personal distress) adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin,


(34)

22

tidak berdaya atau perasaan apapun yang dialami. Sebaliknya yang dimaksud rasa atau empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan utamanya adalah bahwa penderitaan diri terfokus pada diri sendiri, sedangkan rasa empatik terfokus pada orang lain.

Distress diri memotivasi seseorang untuk mengurangi kegelisahan yang dialami. Orang bisa melakukan dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi orang juga dapat melakukannya dengan menghindari situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan orang lain, jelas bahwa rasa empatik merupakan sumber altruistic (Sears et.al., 1985). Meskipun orang-orang kadang merasa terganggu, sedih dan marah oleh cacat atau kekurangan umat manusia, namun individu mangalami ikatan perasaan yang mendalam bagi sesamanya. Konsekwensinya adalah mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu sesamanya. 7. Menolong orang yang disukai

Rasa suka pada oramg lain dipengaruhi oleh beberapa factor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Penelitian tentang perilaku sosial menyimpulkan bahwa kerakteristik yang sama juga


(35)

23

mempengaruhi pemberian bantuan. Menurut Feldman (1985), kesedian untuk membantu akan lebih besar terhadap orang yang berasal dari daerah yang sama daripada terhadap orang lai. Bar-Tal (dalam Sears et.al., 1985) mengemukakan bahwa perilaku membantu dipengaruhi oleh jenis hubungan antar orang lain, seperti terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Tidak peduli apakah karena merasa suka, kewajiban sosial, kepentingan diri, orang lebih suka menolong teman dekat daripada orang asing 8. Menolong orang yang pantas di tolong

Apakah seseorang akan mendapatkan bantuan atau tidak sebagian bergantung pada manfaat kasus tersebut. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa factor sebab akibat yang utama adalah pengendalian diri, individu lebih cenderung menolong bila individu yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut. Mungkin seseorang merasa simpati dan prihatin terhadap mereka yang mengalami penderitaan karena kesalahan mereka sendiri.

4. Teori-teori Perilaku Altruisme

Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan motivasi seseorang untuk berperilaku altruisme. Diantaranya yakni :

1. Teori pertukaran sosial

Konsep teori ini dikemukakan oleh Foa dan Foa (dalam Taufik, 2012) dimana teori ini lebih dikenal dengan sebutan sosial exchange


(36)

24

theory. Menurut Foa dan Foa, setiap tindakan dilakukan orang dengan mempertimbangkan untung ruginya. Bukan hanya dalam arti materi atau financial, melainkan juga dalam bentuk psikologis, seperti memperoleh informasi, pelayanan status, penghargaan perhatian, kasih sayang dan sebagainya. Dimaksud dengan keuntungan adalah hasil yang diperoleh lebih besar dari pada usaha yang dikeluarkan, sedangkan yang dimaksud dengan rugi ialah jika hasil yang diperoleh lebih kecil dari usaha yang dikeluarkan.

Perilaku menolong menurut teori ini tidak terlepas dari strategi minimal, yaitu meminimalkan usaha (cost atau ongkos) dan memaksimalkan hasil agar diperoleh keuntungan atau laba yang sebesar-besarnya. Perilaku menolong biasanya mengikuti pola tertentu, seperti orang lebih suka menolong orang yang menarik dan disukai penolong sendiri. Pillavin dan Pillavin (Sarwono, dalam Ginintasasi, 2008) orang lebih suka menolong orang lain agar ia sendiri tidak terganggu dan mendapat kepuasan untuk diri sendiri.

2. Teori Behaviorisme

Menurut pendapat kaum behaviorisme, orang menolong karena dibiasakan oleh masyarakat untuk menolong dan perbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran yang positif, jadi orang melakukan perilaku menolong sesuai dengan teori conditioning classic dari Ivan Pavlov (Taufik, 2012).


(37)

25

3. Teori norma sosial

Menurut teori ini, orang menolong karena diharuskan oleh norma-norma masyarakat. Ada tiga macam norma-norma sosial yang biasanya dijadikan pedoman untuk berperilaku menolong yaitu :

a. Norma timbal balik (reciprocity norm) intinya adalah pertolongan harus dibalas dengan pertolongan. Jika sekarang menolong orang lain, diwaktu lain akan ditolong oleh orang lain atau karena pada masa yang lalu pernah menolong orang lain, jadi masa sekarang orang lain yang memberi pertolongan.

b. Norma tanggung jawab sosial (sosial rersponsibility norm) intinya adalah bahwa orang menolong tanpa mengharapkan balasan apapun di masa depan. Oleh karena itu, orang mau menolong orang yang buta menyeberang jalan, menunjukkan jalan pada orang menanyakan jalan.

c. Norma keseimbangan, norma keseimbangan ini beraku di bagian timur. Intinya adalah bahwa seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan seimbang, serasi dan selaras. Orang harus membantu untuk mempertahankan keseimbangan antara lain dalam bentuk perilaku menolong (altruisme). Menurut penelitian pada keluarga-keluarga di Hongkong yang menerapkan norma keseimbangan ini lebih banyak pada anak-anak yang altruis (Sarwono, dalam Taufik, 2012).

4. Teori Empati

Menurut Baston (Sarwono, dalam Taufik, 2012) egoisme dan simpati berfungsi bersama-sama dalam perilaku menolong. Dari segi egoisme,


(38)

26

perilaku menolong dapat mengurangi ketegangan diri sendiri. Sedangkan dari segi simpati, perilaku menolong itu dapat mengurangi penderitaan orang lain. Gabungan dari egoisme dan simpati ini dapat menjadi empati, yaitu ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Dalam empati, fokus usaha menolong terletak pada penderitaan orang lain, bukan pada penderitaan sendiri karena dengan terbebasnya orang lain dari penderitaan itulah, orang yang menolong dapat terlepas dari penderitaanya sendiri. Ada juga hubungan empati yang melihat dari segi hubungan empati warga negara dan bangsanya, akan timbullah nasionalisme yang menyebabkan orang mau mengorbankan apa saja dan dirinya demi kepentingan bangsa. Akan tetapi hubungan empati pada suatu titik tertentu dapat juga melanggar prinsip moral atau keadilan, yaitu jika demi empati perbuatan menolong seseorang sampai mengorbankan hak atau kepentingan orang lain.

5. Teori Evolusi

Teori ini intinya beranggapan bahwa altruisme adalah demi survival (mempertahankan jenis dalam proses evolusi), dimana dalam teori evolusi melihat beberapa faktor antara lain :

a. Perlindungan kerabat (kin protection). Dalam hal ini orang-orang yang mempunyai hubungan darah selalu merasa bangga terhadap kerabatnya karena ada yang dapat meneruskan keturunannya sehingga orang lebih cenderung memberikan pertolongan pada orang-orang


(39)

27

yang dianggap mempunyai hubungan kerabat. Perlindungan bukan hanya dari orang tua ke anak-anaknya, dapat juga sebaliknya. Secara alamiah orang dapat membantu orang lain yang ada pertalian darah dan orang yang dekat dengan dirinya sendiri (Sarwono, dalam Taufik, 2012).

b. Timbal balik biologik (biological reciprocity) sebagaimana halnya norma sosial, dalam teori evolusi pun ada prinsip timbal balik, yaitu menolong untuk memperoleh pertolongan kembali. Ini dikemukakan oleh Robert Trivers (Sarwono, dalam Taufik, 2012). Dalam teori biologik juga ada prinsip keseimbangan antara altruisme dan egoisme, pada manusia perwujudan teori ini adalah dalam bentuk pertolongan yang diberikan kepada orang yang suka membeikan pertolongan. Orang-orang penghianat, orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak suka berkawan, biasanya tidak diberi pertolongan dikala membutuhkan bantuan. Menurut Campell (Sarwono, dalam Taufik, 2012) manusia melakukan pertolongan karena cirri khas manusia yaitu beragam dan beretika sehingga pelakunya tidak semata-mata dikendalikan oleh naluri bilogik yang mempunyai agentic disposition dalam dirinya yaitu sifat atau bakat yang terkandung dalam kepribadiannya yang khusus dutujukan untuk menolong orang lain.

c. Orientasi seksual, ada kecenderungan orang-orang untuk memberikan pertolongan kepada individu lain yang memiliki orientasi seksual yang sama. dalam penelitian Salai dan Fischer (Sarwono,


(40)

28

dalam Taufik 2012) pada kaum homo seksual mempenyai kecenderungan altruisme dari pada orang-orang heteroseksual, hal ini karena kaum homoseksual yang selalu merupakan minoritas dalam masyarakat lebih memerlukan pertoongan dalam mempertahankan jenisnya (sesama homoseksual).

B. Empati

1. Pengertian Empati

Menurut Kartini Kartono & Dali Gulo (1987), empati dapat diartikan sebagai pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologis orang tersebut (Fuad, 2008). Allport mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain (Taufik, 2012). Menurut Carl Roger (1951) empati adalah memahami orang lain seolah-olah individu masuk ke dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain (Taufik, 2012).

Hoffman (1998) mengartikan empati sebagai perasaan yang lebih mendekati pada kondisi diri sendiri, dia juga menambahkan bahwa feeling seseorang barangkali sesuai pada feeling orang lain, tetapi tidak selalu (Taufik, 2012). Titchner (dalam Goleman, 2003) menyatakan bahwa empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang. Menurut Johnson (dalam Sari & Eliza, 2003) empati adalah


(41)

29

kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang yang berempati digambarkan sebagai individu yang toleran, ramah, mampu mengendalikan diri, dan bersifat humanistik.

Menurut Kohut (Taufik, 2012) menyatakan bahwa empati adalah anugrah yang paling mendasar buat manusia yang dapat membuat seseorang menjadi tahu kondisi psikologis orang lain sehingga seseorang dapat memahami apa yang dipikirkan dan dirasakannya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menempatkan diri dalam memahami kondisi atau keadaan pikiran, sifat serta perasaan orang lain, mampu merasakan dan memahami keadaan emosional orang lain sehingga timbul perasaan toleransi serta menghargai perasaan orang lain.

2. Fungsi empati

Empati memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut: 1. Menyesuaikan diri

Menurut Dymon (dalam Spica, 2008) seseorang yang tingkat empatinya tinggi akan memiliki tingkat penyesuaian diri yang baik. Dengan kemampuan empati yang dimilikinya, sesorang dapat memahami sudut pandang orang lain dan menyadari bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda.


(42)

30

2. Mempererat hubungan dengan orang lain

Menurut Lauster (Spica, 2008) jika seseorang berusaha saling menempatkan dirinya dalam kedudukan orang lain (berempati) maka salah paham atau ketidaksepahaman antara individu dapat dihindari. Dengan demikian, empati dapat mempererat hubungan dengan orang lain.

3. Meningkatkan harga diri

Kemampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain, seseorang mampu menciptakan hubungan interpersonal yang hangat. Dengan adanya hubungan yang berkualitas seseorang dapat berinteraksi dan menyatakan identitas diri yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan rasa harga diri seseorang. 4. Menigkatkan pemahaman diri

Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, membuat sesorang menyadari bahwa orang lain pun dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Hal ini akan membuat individu lebih menyadari dan memperhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya. Melalui proses ini akhirnya akan terbentuk suatu konsep diri melalui perbandingan sosial, yaitu dengan mengamati dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

5. Mendukung munculnya perilaku altruistik

Teori perkembangan kognitif mengemukakan bahwa salah satu dasar untuk mempunyai sikap penerimaan orang lain adalah


(43)

31

dimilikinya kemampuan empati. reaksi empati yan muncul akan membuat sesorang orang mempunyai gagasan tentang sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu Mussen (1989) (Spica, 2008).

3. Aspek-Aspek Empati

Davis (1983) (dalam Sari & Eliza, 2003) menjelaskan bahwa secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu : Komponen afektig yang terdiri dari Perspektif Taking (PT) dan Fantasy (FS), sedangkan komponen afektif meliputi Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD).

Keempat aspek tersebut memili arti sebagai berikut :

a. Perspective tacking (Pengambilan perspektif)

Merupakan kecenderungan individu untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain secara spontan. Mead (dalam Davis, 1983) menekankan pentingnya kemampuan dalam perspective taking untuk perilaku yang non-egosentrik, yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri sendiri, tetapi perilaku yang berorientasi pada kepentingan orang lain. Coke (dalam Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa.

b. Fantasy (Imajinasi)

Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film atau cerita yang dibaca atau ditontonnya. Stotland (dalam


(44)

32

Davis, 1983) mengemukakan bahwa fantasy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan meimbulkan perilaku menolong.

c. Empathic concern (Perhatian Empatik)

Merupakan orientasi seseorang terhadap orang lain berupa simpati, kasihan, dan peduli terhadap orang lain yang mengalami kesulitan. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.

d. Personal distress (Distress Pribadi)

Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi seseorang menjadi rendah. Agar seseorang dapat berempati, ia harus mengamati dan mengintepretasikan perilaku orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam mengintepretasikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka.

4. Faktor-faktor Empati

Dikemukakan oleh Hoffman (dalam Golleman, 1999) factor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memberi empati adalah sebagai berikut :


(45)

33

a. Sosialisasi

Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain, serta lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain sehingga akan meningkatkan kemampuan berempati.

b. Mood and feeling

Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.

c. Situasi dan tempat

Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi yang lain.

d. Proses belajar dan identifikasi

Dalam proses belajar, anak belajar membetulkan respon-respon khas, yang disesuaikan dengan peraturan yang dibuat oleh orangtua atau penguasa lainnya. Apa yang telah dipelajari anak dirumah atau pada situasi tertentu, diharapkan anak dapat menerapkannya pada lain waktu yang lebih luas.

e. Komunikasi dan bahasa

Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.


(46)

34

f. Pengasuhan

Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu anak dalam menumbuhkan empati dalam dirinya.

C. Hubungan Empati dengan Perilaku Altruisme

Altruisme merupakan perilaku menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun. Manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya. Menjadi seorang relawan akan mengorbankan sesuatu dalam diri seseorang misalnya waktu, tenaga dan dana demi menyejahterahkan kehidupan orang lain yang ditolong. Individu yang menjadi seorang relawan pasti memiliki sifat altruisme dalam dirinya. Alasan seseorang untuk menolong orang lain sangatlah bermacam-macam salah satunya adalah empati terhadap orang yang membutuhkan pertolongan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakakn oleh Batson (1991) yang menjelaskan bahwa empati dapat menimbulkan dorongan untuk menolong dan tujuan dari menolong itu untuk memberikan kesejahteraan bagi target empati.

Timbulnya altruisme berawal dari reaksi emosi seseorang terhadap masalah orang lain. Ketika seseorang berada dalam keadaan sedang membutuhkan pertolongan akan menimbulkan kesedihan atau kesukaran pada diri orang yang melihatnya seperti kecewa dan khawatir,meskipun kesedihan dan kekhawatiran ketika melihat orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan itu menimbulkan dorongan egoistik. Menurut Batson (1991), sebagian besar perilaku menolong bersifat egois, namun dia juga berpendapat


(47)

35

bahwa altruisme yang murni juga ada, meskipun tidak begitu banyak yang melakukan. Salah satu penjelasan mengapa empati membangkitkan perilaku menolong, karena menolong di anggap sebagai cara yang efisien untuk mengurangi penderitaan orang lain.

Empati dapat membangkitkan seseorang untuk memberikan pertolongan secara tulus yang berorientasi pada kesejahteraan, kebaikan, kemaslahatan orang yang ditolong. Pertolongan yang diberikan dengan dorongan altruistik ini tidak menimbang keuntungan dan kerugian, kalaupun dari hasil menolong itu menghasilkankerugian (baik materi maupun nonmateri) tidak akan mempengaruhi niat seseorang untuk menolong. Hoffman menemukan bukti-bukti yang mendukung bahwa empati sebagai sebuah mediator dapat mencocokkan kebutuhan-kebutuhan penyesuaian, yaitu membangkitkan sifat potensial manusia dalam menanggapi ketidakberuntungan pada orang lain. Empati sebagai sarana untuk membangkitkan altruisme (Taufik, 2012).

Dalam penelitian ini juga menyajikan konsep tentang empati yang berkaitan langsung dengan perilaku menolong, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoffman (2001) yang menyatakan bahwa empati berkaitan langsung dengan perilaku menolong. Ada juga bukti-bukti eksperimental bahwa empati akan membangkitkan individu untuk menolong orang lain, dan observer yang memberikan pertolongan secara cepat kepada korban yang mengalami kesakitan. Sementara itu, jika mereka tidak melakukan suatu


(48)

36

pertolongan maka observer akan merasa lebih baik jika sudah memberikan pertolongan.

Selaras dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada salah satu responden penelitian menyatakan bahwa seorang yang memutuskan untuk menjadi relawan yang tidak dibayar harus memilki sifat tulus ikhlas dalam dirinya karena mereka tau bagaimana peran mereka yakni sebagai generasi penerus bangsa anak jalanan berhak mendapatkan pendidikan yang layak hal ini dijawab oleh para relawan SSC Surabaya dengan memberikan pendidikan, hiburan, serta motivasi kepada anak jalanan karena adanya kekhawatiran jika anak jalanan tidak mendapatkan pendidikan yang layak ataupun kebutuhan bermainnya mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang tidak bermanfaa. Tindakan altruis yang dilakukan relwan SSC Surabaya diwujudkan dalam bentuk membantu, saling menghibur, persahabatan,, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling berbagi.

Agar hal tersebut dapat dilihat lebih jelas hubungannya, maka sesuai dengan pengertian masing-masing variabel di atas, peneliti pun mengembangkan kedua variabel itu menjadi masing-masing veriabel. Variabel empati dikembangkan menjadi empat aspek yakni Perspektif Taking (PT),

Fantasy (FS), Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD). Variabel

altruisme dikembangkan menjadi tujuh aspek meliputi Cooperative (kerja sama), Helping (menolong), Honesty (kejujuran), dan Gonerosity (kedermawanan).


(49)

37

D. Kerangka Teoritis

Landasan teori adalah suatu model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah penelitian.

Relawan adalah orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau sedikit latihan khusus tetapi dapat pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu untuk bekerja sukarela membantu tenaga profesional (Khoirun & Anugriaty, 2015). Beberapa sikap relawan tersebut menunjukkan karakteristik seorang altruis, Batson (dalam Bierhoff, 2002) menyatakan bahwa altruisme merupakan perasaan yang berorientasi pada perhatian, kasih sayang, kelembutan, yang terjadi sebagai akibat dari menyaksikan penderitaan orang lain.

Altruisme dapat muncul ketika seseorang melihat kondisi orang lain yang kurang menguntungkan dan berusaha menolong individu lain tersebut tanpa memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang di alami oleh orang lain yang meliputi saling membantu, saling menghibur, persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi. Perilaku altruisme juga merupakan perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku altruisme adalah tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa mempedulikan motif-motif si penolong.


(50)

38

Baron dan Byrne (2005) menjelaskan beberapa factor yang mempengaruhi altruisme, salah satunya adalah empati. Faturochman (2006) mengungkapkan bahwa altruisme erat kaitannya dengan empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan menolong. Empati berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengekspresikan emosinya, oleh karena itu empati seseorang dapat diukur melalui wawasan emosionalnya, ekspresi emosional, dan kemampuan seseorang dalam mengambil peran dari individu lainnya.

Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoffman (2001) yang menyatakan bahwa empati berkaitan langsunh dengan perilaku menolong. Ada juga bukti-bukti eksperimental bahwa empati akan membangkitkan individu untuk menolong orang lain, dan observer yang memberikan pertolongan secara cepat kepada korban yang mengalami kesakitan. Sementara itu, jika mereka tidak melakukan suatu pertolongan maka observer akan merasa lebih baik jika sudah memberikan pertolongan.

Dengan demikian variabel bebas (dependent variable) yaitu empati, sedangkan variabel terikat (independent variable) yaitu altruisme.

H1

Variabel X Variabel Y

H2 Gambar 1. Bagan Konseptual Teori

Altruisme Empati


(51)

39

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesis alternative

Terdapat hubungan antara empati dengan perilaku altruisme pada relawan SSCS (Save Street Child) Surabaya.

2. Hipotesis nol

Tidak terdapat hubungan antara empati dengan perilaku altruisme pada relawan SSCS (Save Street Child) Surabaya.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerik dan diolah dengan metode statistika serta dilakukan pada penelitian inferensial atau dalam rangka pengujian hipotesis, sehingga diperoleh signifikansi antar variabel yang diteliti (Azwar, 2004).

Jenis penelitian ini merupakan penelitian korelasional untuk mencari hubungan antara empati dengan perilaku altruisme pada Relawan Save Street Child Surabaya.

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu: 1. Variabel bebas (X) adalah empati

2. Variabel terikat (Y) adalah perilaku altruisme

2. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat di amati (Azwar, 2014). Definisi operasional merujuk


(53)

41

pada peneliti atas caranya dalam mengukur suatu variabel alat ukur. Pada penelitian ini, peneliti mengoperasionalkan altruisme dan empati sebagai alat ukur. Kedua variabel operasional ini diukur menggunakan dua skala dengan pemberian skor bergerak dari yang terendah 1 hingga tertinggi 5 disetiap pilihan jawaban per aitem. Skor tersebut digunakan untuk mengetahui respon dari subyek penelitian terhadap suatu pernyataan.

Altruisme adalah tindakan yang diberikankan atau ditujukan pada orang lain yang dapat memberikan manfaat secara positif bagi orang yang dikenai tindakan tersebut dan dilakukan sukarela tanpa mengharapkan imbalan apa pun, yang diwujudkan dengan cara menghibur, mengajar, dan membantu.

Empati merupakan keadaan psikologis seseorang yang dapat menempatkan dirinya kedalam pikiran dan perasaan orang lain secara tulus, sehingga timbul perasaan toleransi serta menghargai perasaan orang lain.

B. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013).


(54)

42

Penelitian ini adalah penelitian populatif dimana populasi dalam penelitian ini adalah relawan komunitas Save Street Child yang ikut mengajar anak-anak jalanan atau biasa disebut “pengajar keren” yang terbagi di beberapa wilayah di Surabaya. Titik-titik lokasi tersebut diantaranya Stren Kali JMP, Makam Rangkah, Taman Bungkul, Traffic Light Jalan Ambengan, wilayah halaman Delta Plaza dan Traffic Light Jalan Kertajaya. Jumlah populasi pengajar keren sebanyak 48 orang dimana relawan tersebut memiliki karakteristik populasi sebagai berikut:

1. Anggota komunitas Save Street Child Surabaya 2. Aktif rutin mengajar minimal 3 bulan

Oleh karena itu penelitian ini mengambil sampel secara populatif. Teknik pengambilan sampel menurut Arikunto (2002) bahwa jumlah responden kurang dari 100 maka sampel diambil semua atau sampel populatif. Sedangkan jika responden lebih dari 100, maka pengambilan sampel 10% - 15% atau 20% - 25% atau lebih, atau keadaan yang setidaknya:

a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.

b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data.

c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung peneliti. Untuk penelitian yang resikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.


(55)

43

Sehingga dari kaidah tersebut, dirasa perlu mengambil seluruh populasi sebagai subyek penelitian. Dimana cara pengambilan subyek penelitian tanpa adanya karakteristik tertentu.

C. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner dimana sejumlah pertanyaan/pernyataan tertutup atau terbuka tertulis untuk memperoleh informasi dari responden.

1. Skala Pengukuran

Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu empati dan altruisme dengan menggunakan model likert. Model skala likert yang digunakan dalam pengembangan alat ukur dengan 5 pilihan jawaban; yaitu : sangat sesuai (SS), sesuai (S), netral (N) tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS).

Skala likert ini juga menjabarkan kategori jawaban yang ditengah Netral (N) berdasarkan tiga alasan:

1. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep aslinya bisa diartikan netral, setuju tidak, tidak setujupun tidak, atau bahkan ragu-ragu).

2. Tersedianya jawaban yang di tengah itu menimbulkan kecenderungan jawaban ke tengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu atas arah jawabannya ke arah sesuai ataukah ke arah tidak sesuai.


(56)

44

3. Maksud kategorisasi jawaban tengah netral (N) adalah terutama untuk melihat kecenderungan pendapat responden ke arah sesuai atau kearah tidak sesuai.

Oleh karena itu peneliti menjabarkan pilihan jawaban netral (N) agar responden yang belum bisa memutuskan untuk memberikan jawaban dan cenderung memberi jawaban netral dapat menentukan jawabannya sendiri (Azwar, 2008).

Penyusunan item dalam skala ini dikelompokan menjadi item

favorable dan item unfavorable yang dibuat dalam lima alternative

jawaban. Cara penyekorannya adalah sebagai berikut : Tabel 1.

Penilaian pertanyaan favorable dan unfavorable

Kategori Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 5 1

Sesuai (S) 4 2

Netral (N) 3 3

Tidak Sesuai (TS) 2 4

Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 5

a. Skala Altruisme

Skala altruisme ini menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Einsbreg dan Mussen (Pujianti, 2009) yang meliputi Cooperative (kerja sama), Helping (menolong), Honesty (kejujuran), Gonerosity (kedermawanan). Skala tersebut terdiri dari item favorable dan item

unfavorable yang masing-masing terdiri atas lima alternatif jawaban.


(57)

45

mendukung secara positif terhadap suatu pernyataan tertentu. Sedangkan item unfavorable adalah item yang mengandung nilai-nilai yang mendukung secara negatif terhadap suatu pernyataan tertentu.

Tabel 2.

Blue Print Skala Altruisme

NO DIMENSI INDIKATOR JENIS ITEM JUMLAH %

F UF

1 Generosity

(Kedermawanan)

Suka memberi sesuatu secara sukarela

9, 25,

23, 2 26, 24 6 17%

Memberi sebagian hartanya untuk orang yang membutuhkan

14, 10 15, 21 4 11%

2 Cooperative

(Kerja Sama)

Menghargai kepentingan orang lain

22, 3 13, 8 4 11%

Tidak acuh terhadap orang lain

16, 7, 1

32,

34, 36 6 17%

3 Honesty

(Kejujuran)

Rela mengorbankan nilai kejujuran pada dirinya

35, 33 17, 11 4 11%

Berkata sesuai dengan apa yang terjadi pada orang lain

31, 20 4, 6 4 11%

4 Helping

(Menolong)

Bersedia memberikan pertolongan pada orang yang kesulitan

5, 12 19, 30 4 11%

Membantu orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain

18, 29 28, 27 4 11%

JUMLAH 36 100%

b. Skala Empati

Skala empati dalam penelitian ini menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Davis (1983) yang terdiri dari Perspektif Taking (PT)


(58)

46

Skala tersebut terdiri dari item favorable dan item unfavorable yang masing-masing terdiri atas enam alternatif jawaban. Item favorable adalah item yang mengandung nilai-nilai yang mendukung secara positif terhadap suatu pernyataan tertentu. Sedangkan item unfavorable adalah item yang mengandung nilai-nilai yang mendukung secara negatif terhadap suatu pernyataan tertentu.

Tabel 3.

Blue Print Skala Empati

NO DIMENSI INDIKATOR JENIS ITEM JUMLAH %

F UF

1 Perspektif

Taking

Berusaha memahami apa yang dipikirkan atau di utarakan orang lain

13, 25 31, 9 4 12 %

Lebih berorientasi pada kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri

27, 1 18, 26 4 12 %

2 Fantasi

Dapat membayangkan bagaimana orang lain sedang merasa

21, 15 7, 4 4 12 %

Meminta orang lain untuk menceritakan runut permasalahannya untuk membantu mencari solusi

22, 2 16, 10 4 12 %

3 Empatic

Concern

Adanya perhatian kepada orang lain serta

mempertimbangkan apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain tersebut

8, 11, 32

28,

12, 3 6 16 %

Terdapat pengertian untuk

memberi pemakluman 5, 24 33, 20 4 12 %

4 Distress

Pribadi

Merasa gelisah ketika

melihat penderitaan orang 34, 30 14, 23 4 12 % Fokus pada perasaan diri

sendiri 17, 19 29, 6 4 12 %


(59)

47

D. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas

Validitas penelitian mempersoalkan derajat kesesuaian hasil penelitian dengan keadaan yang sebenarnya, sejauh mana hasil penelitian mencerminkan keadaan yang sebenernya. Validitas penelitian mengandung dua sisi, yaitu: validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal mempersoalkan kesesuaian antara data hasil penelitian dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk mendapatkan validitas internal penelitian yang memadai peneliti menggarapnya lewat penggunaan instrumen pengambil data yang memenuhi persyaratan ilmiah tertentu. Validitas eksternal penelitian mempersoalkan derajat kesesuaian antara generalisasi hasil penelitian dengan keadaan yang sebenarnya, sejauh mana generalisasi hasil penelitian sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk menjamin validitas eksternal hasil penelitian peneliti menggarapnya lewat penyusunan rancangan sampling yang cermat (Suryabrata, 2005).

Azwar, (2004), juga menyatakan bahwa uji validitas dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat. Syarat bahwa item-item tersebut valid adalah nilai korelasi r hitung harus positif dan lebih besar atau sama dengan r tabel dimana menggunakan ketentuan df= N-2 dan pada penelitian ini karena responden N= 48, berarti 48-2= 46 dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05%, maka diperoleh r tabel = 0,284 menunjukan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara empati dengan perilaku altruisme pada relawan Save Street Child Surabaya dengan taraf signifikansi 0.000.

B. Saran

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam penelitian ini. Dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan serta kesimpulan yang ada, peneliti mengajukan beberapa saran yang kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait, di antaranya adalah:

1. Bagi Komunitas

Agar mendata jumlah relawan yang menjadi pengajar keren di setiap titik tempat mengajar agar komunitas memiliki data yang kongkrit mengenai


(2)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

78

2. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini jauh dari sempurna, bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk melanjutkan atau meneliti kembali mohon diperhatikan hambatan-hambatan yang dialami peneliti, hal ini guna memaksimalkan penelitian kembali yang akan dilakukan. Terutama pada skala pengukuran dan populasi dalam penelitian, diharapkan untuk memperhatikan alat ukur yang digunakan, agar penelitian selanjutnya lebih mendapatkan hasil yang maksimal. Kemudian, memperhatikan variabel lain yang mempengaruhi variabel independent selain variabel bebas yang telah diteliti saat ini.


(3)

79

DAFTAR PUSTAKA

Andromeda, Prihartanti. (2014). Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Karang Taruna Desa Pakang. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Asih, Gusti Yuli & Margaretha. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol.I. No 1. 33-43.

Azwar, Saifuddin. (2004). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Dayaksini, T & Hudaiyah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Einsenberg, Nancy, Paul, M.A,. (1987). The Relation of Empathy To Prososial And Related Behaviours. Psycilogycal Bulletin, Vol.101, 91-119.

Fadilah, M.M, Suyanto, T. (2013). Peranan Sanggar Alang-alang Dalam Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan.Vol.01, No.01, 101-115.

Fatimah, Siti. (2015). Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Faturochman. (2006). Pengantar Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pinus.

Fauziah, Cika. (2015). Peran Komunitas Save Street Child Dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Jalanan Di Malioboro Jogjakarta. Skripsi.

Ghozali, Imam. (2001). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Diponegoro.

Harrington, B., Bramham, J., Connel, O. (2015). The Developmental Course of the Empathy-altruism Hypothesis: the Relationship Between the Development of Children’s Empathic Concern and Altruistic Behaviours. Journal Of Applied Psychology, 14-26.


(4)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

80

Ikhsan, P.T, Itruyah, Arisandy, D. (2014). Hubungan Antara EMpati Dengan Perilaku Altruisme Pada Komunitas Punk Food Not Bombs Di Kota Palembang. Skripsi. Pelembang: Universitas Bina Darma

Khoirun, Laila & Anugriaty Asmarany. (2015). Altruisme Pada Relawan Perempuan Yang Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus Di Yayasan Anak Jalanan Bina Insan Mandiri. Jurnal Psikologi, Vol.08, No.01, 1 7.

Muhid, Abdul. (2012). Analisis Statistik. Sidoarji: Zifatama Publishing. Nashori, Fuad. (2008). Psikologi Sosial Islam. Bandung: Refika Aditama.

Nurhidayati. (2012). Empati dan Munculnya Perilaku Altruistik Pada Masa Remaja. Edu Islamika, Vol 04, No.01, 103-122

Paramitha, Anisa Dyah. (2012). Pola Komunikasi Komunitas Save Street Child Surabaya Dalam Menarik Minat Anjal Untuk Terlibat Sebagai Anak Didik Pada Program Pengajar Keren. Skripsi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Pujiyanti, A. (2008). Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi. Jurnal Psikologi, Vol 4, 132-149. Sari, Rahmadhani & Eliza. (2013). Empati dan Perilaku Merokok Di Tempat

Umum. Jurnal Psikologi. No 2. 81-90.

Sarwono, Sarlito. (1999). Teori-teori psikologi Sosial. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.Septioni & Setyowati. (2015). Makna Komunitas Save Street Child Surabaya Bagi Anak Jalanan di Kota Surabaya. Kajian Moral dan Kewarganegaraan,Vol 2, No 3, 11-22

Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung.

Suryabrata, Sumadi. (2005). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andromeda, Prihartanti. (2014). Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Karang Taruna Desa Pakang. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Asih, Gusti Yuli & Margaretha. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol.I. No 1. 33-43.

Azwar, Saifuddin. (2004). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Dayaksini, T & Hudaiyah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Einsenberg, Nancy, Paul, M.A,. (1987). The Relation of Empathy To Prososial And Related Behaviours. Psycilogycal Bulletin, Vol.101, 91-119.

Fadilah, M.M, Suyanto, T. (2013). Peranan Sanggar Alang-alang Dalam Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan.Vol.01, No.01, 101-115.

Fatimah, Siti. (2015). Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Faturochman. (2006). Pengantar Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pinus.

Fauziah, Cika. (2015). Peran Komunitas Save Street Child Dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Jalanan Di Malioboro Jogjakarta. Skripsi.

Ghozali, Imam. (2001). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Diponegoro.

Harrington, B., Bramham, J., Connel, O. (2015). The Developmental Course of the Empathy-altruism Hypothesis: the Relationship Between the Development of Children’s Empathic Concern and Altruistic Behaviours.


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

78

Ikhsan, P.T, Itruyah, Arisandy, D. (2014). Hubungan Antara EMpati Dengan Perilaku Altruisme Pada Komunitas Punk Food Not Bombs Di Kota Palembang. Skripsi. Pelembang: Universitas Bina Darma

Khoirun, Laila & Anugriaty Asmarany. (2015). Altruisme Pada Relawan Perempuan Yang Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus Di Yayasan Anak Jalanan Bina Insan Mandiri. Jurnal Psikologi, Vol.08, No.01, 1 7.

Muhid, Abdul. (2012). Analisis Statistik. Sidoarji: Zifatama Publishing. Nashori, Fuad. (2008). Psikologi Sosial Islam. Bandung: Refika Aditama.

Nurhidayati. (2012). Empati dan Munculnya Perilaku Altruistik Pada Masa Remaja. Edu Islamika, Vol 04, No.01, 103-122

Paramitha, Anisa Dyah. (2012). Pola Komunikasi Komunitas Save Street Child Surabaya Dalam Menarik Minat Anjal Untuk Terlibat Sebagai Anak Didik Pada Program Pengajar Keren. Skripsi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Pujiyanti, A. (2008). Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi. Jurnal Psikologi, Vol 4, 132-149. Sari, Rahmadhani & Eliza. (2013). Empati dan Perilaku Merokok Di Tempat

Umum. Jurnal Psikologi. No 2. 81-90.

Sarwono, Sarlito. (1999). Teori-teori psikologi Sosial. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.Septioni & Setyowati. (2015). Makna Komunitas Save Street Child Surabaya Bagi Anak Jalanan di Kota Surabaya. Kajian Moral dan Kewarganegaraan,Vol 2, No 3, 11-22

Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung.

Suryabrata, Sumadi. (2005). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.