FAMILY THERAPY DALAM MENANGANI DISHARMONIS KELUARGA UNTUK MENGEMBALIKAN SISTEM KELUARGA DI PERUMNAS SUKOMULYO LAMONGAN.

(1)

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Hamidah Fatmawati (B03212038)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Hamidah Fatmawati (B03212038), 2016, Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga Untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan

Ada dua persoalan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu: 1). Bagaimana proses family

therapy dalam menangani disharmonis keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan?

2). Bagaimana hasil proses family therapy dalam menangani disharmonis keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, peneliti menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Dalam menganalisis family therapy dalam menangani disharmonis keluarga data yang digunakan meliputi hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi yang disajikan pada penyajian data dan analisis data. Penulis menggunakan analisis deskripstif kualitatif dengan cara mendeskripsikan data kualitatif dengan cara menyusun dan mengelompokan data yang ada sehingga memberikan data yang nyata kepada peneliti dan pembaca.

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan family therapy dalam menangani disharmonis keluarga dilakukan hanya dengan keluarga inti antara ayah, ibu dan anak. Dan hasil akhir dari proses konseling ini dikatakan cukup berhasil, dari gejala yang sudah mulai ada perubahan dalam kehidupan sehari-hari.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Definisi Konsep ... 6

F. Metode Penelitian ... 12

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 12

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian ... 13

3. Jenis dan Sumber Data ... 14

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 16

5. Teknik Pengumpulan Data ... 18

6. Teknik Analisis Data ... 20

7. Teknik pemeriksaan Keabsahan data ... 21

G. Sistematika Pembahasan ... 26

BAB II: Family Therapy, Disharmonis Keluarga, Sistem Keluarga A. Family Therapy ... 28

1. Pengertian Family Therapy ... 28

2. Tujuan Family Therapy ... 29

3. Peran Konselor dalam Family Therapy ... 30

4. Bentuk-bentuk Family Therapy ... 32

5. Proses dan Tahapan Family Therapy ... 33

6. Kesalahan umum dalam Family Therapy ... 35

B. Disharmonis Keluarga ... 37

1. Pengertian Disharmonis Keluarga ... 37

2. Bentuk-bentuk Disharmonis Keluarga ... 41


(8)

C. Sistem Keluarga ... 46

1. Pengertian Sistem Keluarga ... 46

2. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 49

3. Peran dan Fungsi sebagai Anggota Krluarga ... 56

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan... 59

BAB III: Family Therapy dalam Menangani Disarmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan A. Disharmonis Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan (Deskripsi Umum Obyek Penelitian) ... 62

1. Deskripsi Lokasi penelitian ... 62

2. Deskripsi Konselor ... 65

3. Deskripsi Klien / Konseli ... 66

4. Deskripsi Masalah ... 70

B. Family Therapy dengan Pendekatan Sistem Keluarga ... 72

1. Deskripsi Proses Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 72

a. Identifikasi Masalah ... 73

b. Diagnosa... 80

c. Prognosa ... 81

d. Treatment (Terapi) ... 82

e. Evaluasi (follow up) ... 90

2. Deskripsi Hasil Akhir Proses Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 91

BAB IV : ANALISIS DATA A. Analisis Proses Pelaksanaan Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 94

B. Analisis Hasil Akhir Pelaksanaan Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 99


(9)

BAB V: PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 104 B. SARAN ... 105 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Teknik Pengumpulan Data ... 20

Table 1.2 Jadwal Penelitian ... 24

Table 1.3 Pedoman Wawancara ... 24

Table 1.4 Pedoman Observasi ... 25

Table 3.1 Batas Wilayah Kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 63

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Sukomulyo Lamongan ... 64

Tabel 3.3 Kondisi Keluarga sebelum Dilakukan Konseling dengan family Therapy ... 80

Tabel 3.4 Kondisi Klien Sesudah Dilakukan Konseling dengan Family Therapy ... 92


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga sangat berperan penting dalam pewarisan nilai-nilai

kehidupan yang mulia kepada generasi penerusnya. Keluarga yang sehat akan

menyumbang terbinanya masyarakat yang sehat. Keluarga akan berjalan sesuai

dengan peran dan fungsinya, jika anggota keluarga didalamnya berperan

menurut fungsinya masing-masing serta mampu menyikapi problema yang

kerap kali menghampiri. Kebahagiaan di dalam keluarga tentulah menjadi salah

satu tujuan yang ingin diperoleh mereka yang mendirikannya.

Dengan terpenuhinya tujuan-tujuan tersebut maka akan terbentuklah

keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, aman (terlepas dari segala

gangguan, kesukaran dalam rumah tangga). Keluarga merupakan suatu

kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan

hubungan darah.1

Tidak sulit kita menemukan di zaman sekarang ini keluarga-keluarga

yang broken home, keluarga yang sebagian besar isinya beda pendapat,

perselisihan, pertentangan, dan pertengkaran. Tidak ada keharmonisan,

ketenangan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Banyak tanda menunjukan

1

Yulia Singgih D. Gunarsa, Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), Cet.3, Hal.43.


(12)

situasi keluarga semacam itu. Kadang terbuka lewat perkataan dan perbuatan

yang saling menyerang diantara sesama anggota keluarga, dan kadang tersirat

melalui aksi diam dan mendiamkan satu sama lain. Dalam situasi seperti itu,

tidak ada komunikasi yang efektif. Sebagian besar pesan yang disampaikan

tidak mendapat sambutan pemaknaan yang obyektif.2

Gejala-gejala perpecahan dan gejolak keluarga akhir-akhir ini makin

terasa. Berbagai indikator mudah dilihat. Misalnya perceraian, pertengkaran

suami-istri, kenakalan anak (menentang orang tua, mencuri berjudi, melanggra

aturan nilai yang berlaku) semua ini yang mengakibatkan ketidakharmonisan

keluarga.

Keluarga disharmonis sering terjadi perselisihan antara anggota

keluarga yang mana dengan tidak berjalanya fungsi sebagai anggota keluarga.

ciri dari keluarga disharmonis yang paling menonjol adalah pudarnya berbagai

fungsi keluarga dalam keluarga tersebut. Misalkan, keluarga tersebut

kehilangan fungsi sosialisasi. Tidak ada komunikasi antar anggota keluarga

menyebabkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga yang pada

akhirnya dapat menimbulkan kesalah pahaman yang berujung pada

konflik. Setiap anggota keluarga akan merasa kurang dikasihi oleh anggota

keluarga lainya yang dapat mengakibatkan rusaknya hubungan kasih sayang

antar anggota keluarga.

2


(13)

Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota merasa

bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan

dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial), keluarga

disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.

Freud mengemukakan pendapat bahwa ketidakharmonisan keluarga

akibat karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan

masyarakat dan aturan, sehingga menimbulkan perselisihan didalam keluarga.

Thomas (1992) mendefinisikan bahwa ketidakharmonisan sebagai proses yang

bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain menggagalkan

kepentinganya.3

Seperti halnya situasi salah satu keluarga yang bertempat tinggal di

Perumnas Sukomulyo Lamongan. Sebut saja keluarga Bapak Sabar, yang mana

keluarga ini sering terjadi perselisihan di dalam keluarganya. Meskipun hanya

perselisihan kecil dan terjadi hampir setiap hari sudah menunjukan adanya

ketidakharmonisan keluarga. Sering terdengar pertengkaran-pertengkaran yang

terjadi disetiap harinya dalam keluarga ini. Teriakan istri sebut saja ibu Imah

yang sering terdengar bahkan menurut peneliti hampir setiap waktu suara

teriakan keras dari Bu Imah terdengar, ibu Imah seorang ibu rumah tangga.

Anak Ibu Imah merasa sedih gelisa bahwa ibunya seperti itu. Bahkan suami

3

Sri Lestari, Psikologi keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga,


(14)

tidak pernah hentinya untuk mengingatkan istri akan keseharianya didepan

anak-anak itu harus seperti apa.

Ketidakharmonisanpun terlihat dalam keluarga ini, dari bagaimana

keseharian komunikasi terhadap anggota keluarga yang kurang efektif, kurang

adanya keterbukaan yang sering mengakibtakan perselisihan, pertengkaran, dan

salah faham dan tidak berjalanya peran sebagai anggota keluarga yang baik.

Banyak juga pengakuan dari tetangga akan keseharian keluarga ini yang sering

terjadi pertengkaran perselisihan. Rasa iri satu sama lain untuk melakukan suatu

tugas keluarga juga terjadi dalam keluarga ini.4

Melihat kejadian tersebut peneliti merasa terpanggil untuk meneliti,

mengarahkan agar menjadi keluarga harmonis. Dalam keluarga ini perlu

adanya introspeksi diri akan masing-masing diri anggota keluarga. Kesadaran

diri sangat dibutuhkan dalam membina keluarga yang harmonis dan sejahtera.

Untuk mempermudah penelitian, peneliti menggunakan family therapy

untuk membantu anggota keluarga mengaktualisasikan potensinya atau

mengantisipasi masalah yang dialaminya, melalui sistem keluarga dan

mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri individu

yang akan memberikan dampak positif terhadap anggota keluarga lainya.

Ganjaran interaksi yang positif mendorong keluarga untuk menjadi lebih akrab

dengan anggota satu sama lain. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini

adalah ketika sudah terjadi komunikasi dan berjalanya peran sebagai anggota

4


(15)

keluarga yang baik antara anggota keluarga agar saling mengerti keinginan

masing-masing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang konteks penelitian di atas, maka peneliti

memfokuskan permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses family therapy dalam menangani keluarga disharmonis

untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas Sukomulyo

Lamongan?

2. Bagaimana hasil akhir dari proses family therapy dalam menangani

keluarga disharmoni untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas

Sukomulyo Lamongan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini

adalah :

1. Untuk mengetahui proses konseling keluarga dengan family therapy dalam

menangani keluarga disharmoni untuk mengembalikan sistem keluarga di

Perumnas Sukomulyo Lamongan.

2. Untuk mengetahui hasil family therapy dalam menangani keluarga

disharmoni untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas Sukomulyo


(16)

D. Manfaat

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap akan munculnya

pemanfaatan dari hasil penelitian ini secara teoritis dan praktis bagi para

pembacanya. Diantara manfaat penelitian ini baik secara teoritis dan praktis

dapat peneliti uraikan sebagai berikut:

1. Segi teoritis

a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain tentang

family therapy dalam menangani keluarga disharmoni untuk

mengembalikan sistem keluarga.

b. Untuk x memperkuat teori-teori bahwa family therapy mempunyai

peranan dalam menangani masalah atau persoalan keluarga.

2. Segi praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menangani masalah

disharmonis keluarga.

b. Bagi konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

salah satu teknik pendekatan yang efektif dalam menangani masalah

disharmonis keluarga.

E. Definisi Konsep

Dalam pembahasan ini perlulah kiranya peneliti membatasi dari

sejumlah konsep yang diajukan dalam penelitian dengan judul “Family Therapy dalam manangani Keluarga Disharmonis Untuk Mengembalikan Sistem


(17)

Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan” adapun definisi konsep dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Family Therapy

Family Therapy adalah model terapi yang bertujuan untuk mengubah

pola interaksi keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam

keluarga. Perez (1979: 25) mengungkapkan pengertian family therapy adalah

salah satu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai

keseimbangan dimana setiap anggota keluarga merasakan kebahagiaan.5

Alfred Adler merupakan seorang psikolog pertama dari era modern

yang menggunakan family therapy melalui pendekatan sistematis. Adler

memperkenalkan kelompok-kelompok keluarga dalam klinik bimbingan

anak di Vienna. Pendekatan Adler adalah unik dalam memberikan perhatian

khusus terhadap hubungan-hubungan antara saudara kandung dan posisi

seseorang di dalam keluarga. Adler beranggapan bahwa problem seorang

pada hakekatnya adalah bersifat sosial. Karena itu diberi kepentingan yang

besar terhadap hubungan-hubungan antara manusia, yang terjadi sebagai

dinamika psikis dari individu-individu, yang biasanya merupakan kasus

dalam keluarga.6.

5 Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga “suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan masalah komunikasi didalam sistem keluarga, (Bandung: PT. Afabeta, 2013), hal.87

6

Christine kerr, Janice Hoshino, family Art Therapy (foundations Of Theory and Practice),


(18)

Berdasarkan beberapa pandangan diatas, maka dapat dipahami peneliti

bahwa pendekatan tersebut dapat meningkatkan perilaku komunikasi dan

interaksi anggota-anggota keluarga sebagai suatu sistem. Sampai akhirnya

memberikan penyadaran kepada anggota keluarga dalam menjalakan peran

dan fungsi sebagai anggota keluarga untuk mengebalikan sistem keluarga

yang rusak karena akibat ketidakharmonisan keluarga.

Maka dalam penelitian ini family therapy merupakan salah satu cara

untuk memberikan arti penting menajdi keluarga harmonis dengan

memperbaiki sistem keluarga yang mana konselor memberikan arahan ke

pada anggota keluarga untuk mengubah kebiasan-kebiasaan yang bisa

mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga. Dalam hal ini sistem keluarga

menggambarkan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan pada proses

konseling, konselor berperan untuk menekankan kepada bagaimana anggota

keluarga Pak Sabar menjalankan peran dan fungsi sebagai anggota keluarga

yang dapat membantu menjalankan kewajiban sebagai anggota keluarga.

2. Disharmonis Keluarga

Keluarga merupakan rumah tangga yang memiliki hubungan darah

atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi

instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para

anggotanya yang berada dalam suatu jaringan. Firman Allah SWT dalam


(19)

“Dan diantara tanda-tanda kuasanya ialah dia yang menciptkan untukmu istri/pasanagn dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum 30:21)”

Ayat di atas mengingatkan berpasangan (suami-istri) untuk mendapatkan rasa tenang, aman tentram dan nyaman. Manusia sebagai makhluk yang berakal akan berfikir sehat bahwa membina rumah tangga dengan semangat ibadah yaitu ciptakan keluarga sakinah, mawadah, warahmah.7 Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial), keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.

Keluarga disharmonis adalah kondisi retaknya struktur peran sosial

dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota

keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka sebagaimana

mestinya.8

Freud mengemukakan pedapat bahwa ketidakharmonisan keluarga

akibat karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan

7

Agus riyadi, Bimbingan Konseling perkawinan (dalam membentuk keluarga sakinah),

(Yogyakarta: Ombak, 2003), hal.9

8


(20)

masyarakat dan aturan, sehingga menimbulakan perselisihan didalam

keluarga.

Berdasarakan beberapa pandangan diatas, bahwa disharmonis keluarga

sebagai proses yang bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain

menggagalkan atau berupaya menggagalkan kepentinganya, dan ketidak

berfungsian peran dan fungsi sebagai anggota keluarga sehingga terjadi

disharmonis keluarga.

Disharmonis pada penelitian ini, dimana dalam kehidupan keluarga

Pak Sabar sering terjadi pertengkaran, perselisihan, kurang memahami peran

dan fungsi sebagai anggota keluarga, contohnya Putri yang setiap kali

diminta untuk membantu otang tua sering menolak, dan Bu Imah kurang

sadar diri karena kurang memahami peran sebagai seorang ibu dan ibu

rumah tangga. Dari sinilah yang akan terciptanya ketidakharmonisan dalam

rumah tangga Pak Sabar, yang mana kalau terjadi setiap hari dan

terus-menerus akan mengalami kesenjangan dan keretakan dalam menjalani

kehidupan sosial.

3. Sistem Keluarga

Keluarga sebagai suatu sistem menurut Minuchin adalah

multibodied organism” (organisme yang terdiri dari banyak badan).

Keluarga adalah satu kesatuan atau organisme. Ia bukanlah merupak


(21)

membantu dan memungkinkan kemandirian dari anggota keluarga.9 Murray

Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem, menurutnya keluarga itu

bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi. Keadaan ini terjadi karena

anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan

yang mengatur dalam hubungan mereka.

Adapun yang dikaji dalam sistem keluarga ini diantaranya adalah

bagaimana peran dan fungsi sebagai anggota keluarga dengan menjalanka

kewajiban sebagai anggota keluarga untuk mengembalikan keharmonisan

keluarga mengarahkan kepada tujuan awal untuk membangun sebuah

keluarga yang harmonis.

Secara umum kehidupan rumah tangga tidak akan pernah lepas dari

kemelut dan perselisihan, baik besar maupun kecil. Dan bentuk perselisihan

itu sangat beragam, baik dalam kedudukan, kekayaan, jabatan, dan juga

pendidikan. Keluarga akan berjalan sesuai dengan peran dan fungsinya, jika

anggota keluarga didalamnya berperan menurut fungsinya masing-masing

serta mampu menyikapi problema yang kerap kali menghampiri.

Kebahagiaan di dalam keluarga tentulah menjadi salah satu tujuan yang

ingin diperoleh dari mereka yang mendirikannya.

Dari kasus yang terjadi pada keluarga Pak Sabar bahwa sistem

keluarga merupaka kesatuan sistem yang menyatukan seluruh anggota

9 Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga “suatu upaya membantu anggota keluarga


(22)

keluarga dari peran dan fungsi sebagai anggota keluarga sampai interkasi

dan komunikasi terhadap anggota keluarga sehingga mampu memberikan

pemahaman antara satu sama lain untuk menciptakan keluarga yang

harmonis yang semulanya mengalami ketidakharmonisan keluarga.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Didalam metode penelitian ini konselor

atau peneliti melakukan pendekatan-pendekatan terhadap konseli atau objek

yang akan diteliti, yang mana pada awal onservasi konselor melakukan

pengamatan terhadap situasi kondisi lapangan, seperti pengamatan terhadap

lingkungan tempat tinggal objek, melakukan wawancara dengan keluarga dan

tetangga sekitar agar konselor dapat membandingkan antara pengamatan dan

hasil wawancara dengan informan yang dipercaya. Seperti halnya keseharian

objek yang akan diteliti yang menyangkut tingkah laku, interaksi, serta

mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

Adapun langkah-langkah dalam metode penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami


(23)

perilaku, perspesi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya. Secara holistik

dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.10 Jadi pendekatan yang penulis gunakan pada penelitian ini

digunakan untuk memahami fenomena yang dihadapi oleh konseli secara

menyeluruh yang di deskripsikan melalui kata-kata, bahasa, konsep, teori

dan definisi secara umum.

Pada jenis penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus (case

study), yaitu penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan

dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.11 Jadi

pada penelitian ini, penulis menggunakan penelitian studi kasus. Karena

peneliti ingin melakukan penelitian secara rinci dan mendalam dalam

kurun waktu tertentu untuk membantu konseli mengubah perilaku positif

serta mampu menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini terdapat tiga subyek yang menjadi

sasaran oleh peneliti, antara lain:

a. Konseli

Konseli adalah keluarga Bapak Sabar dan Bu Ima yang

mengalami disharmonis keluarga. Yang sering terjadi perselisihan

10

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hal. 9

11


(24)

dalam keluarga akibat suatu hal yang menyebabkan timbulya sebuah

konflik.

b. Konselor

Konselor adalah Hamidah Fatmawati seorang mahasiswa

Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas

Dakwah dan Komunikasi.

c. Informan

Informan dalam penelitian ini adalah tetangga, keluarga pak

Sabar.

Lokasi penelitian ini bertempat di Perumnas Sukomulyo

Lamongan. Alasan dipilihnya lokasi ini karena adanya permasalahan

yang dianggap perlu ditangani dan memerlukan bantuan.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang

bersifat non statistik, dimana data yang diperoleh nantinya dalam bentuk

kata verbal (diskripsi) bukan dalam bentuk angka. Adapun jenis data

dalam penelitian ini adalah:

1) Data primer yaitu data yang langsung diambil dari sumber pertama di

lapangan. Sumber pertama peneliti mencari tahu atau melakukan


(25)

Dalam data primer ini dapat diperoleh keterangan kegiatan

keseharian, tingkah laku, latar belakang dan masalah konseli,

pandangan konseli tentang keadaan yang telah dialami, dampak

dengan adanya masalah yang dialami konseli, proses serta hasil

dengan adanya konseling keluarga.

2) Data sekunder yaitu data yang diambil dari sumber kedua atau

berbagai sumber guna melengkapi data primer.12 Diperoleh dari

gambaran lokasi penelitian, keadaan lingkungan konseli, riwayat

pendidikan konseli, dan perilaku keseharian konseli.

b. Sumber data

Yang dimaksud sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh.

Adapun sumber datanya :

1) Sumber Data Primer yaitu sumber data yang langsung diperoleh

penulis dilapangan yaitu informasi dari klien yang diberikan

konseling dan konselor yang memberikan konseling.

2) Sumber Data Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari orang

lain sebagai pendukung guna melengkapi data yang penulis peroleh

dari data primer.13 Sumber ini bisa diperoleh dari keluarga klien,

kerabat klien, tetangga klien, dan teman klien.

12

Burhan Bungin, metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Universitas Airlangga, 2001), hal. 128

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), hal. 129.


(26)

4. Tahap-tahap Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tahapan dalam

penelitian, sebagaimana yang ditulis oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya

“Metode Penelitian Kualitatif”. Tiga tahapan tersebut antara lain:

1) Tahap Pra Lapangan

Tahapan ini digunakan untuk menyusun rancangan penelitian,

memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan

menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informasi,

menyiapkan perlengkapan dan persoalan lapangan, semua itu digunakan

peneliti untuk memperoleh deskripsi secara global tentang obyek

penelitian, yang akhirnya menghasilkan rencana penelitian bagi peneliti

selanjutnya.

Seperti halnya yang dilakukan peneliti dengan mendatangi

kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan untuk melakukan perizinan

bahwa konselor akan melakukan penelitian terhadap salah satu

penduduk Perumnas Sukomulyo Lamongan yakni tepatnya keluarga Pak

Sabar dan mencari informasi tentang lingkungan sekitar Perumnas

Sukomulyo untuk memperoleh data yang akurat yang akhirnya

menghasilkan rencana penelitian dalam kasus ini.

2) Tahap Persiapan Lapangan

Pada tahap ini peneliti memahami penelitian, persiapan diri


(27)

ada di lapangan. Di sini peneliti menindaklanjuti serta memperdalam

pokok permasalahan yang diteliti dengan cara mengumpulkan data-data

hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan.

Pada tahap selanjutnya konselor melakukan wawancara kepada

informan-informan yang deket dengan obyek yang diteliti. Informan

tersebut tidak lain adalah keluarga dan tetangga keluarga Pak Sabar.

Konselor awalnya mencari informasi atau observasi dengan mendatangi

rumah Bu Anti selaku tetangga dari Pak Sabar, dengan bertatap muka

dengan Bu Anti konselor banyak mendapatkan informasi yang siap

untuk ditindak lanjuti dalam penelitian ini. Dan yang kedua konselor

menggali informasi dari Mbah Uti selaku keluarga dari Pak Sabar, dari

hasil observasi dengan Mbah Uti Konselor mendaptkan informasi yang

tidak jauh berbeda dengan hasil observasi antara konselor dengan Bu

Anti tetangga Pak Sabar.

3) Tahap Pekerjaan Lapangan

Dalam tahap ini, peneliti menganalisa data yang telah didapatkan

dari lapangan, yakni dengan menggambarkan dan menguraikan masalah

yang ada sesuai kenyataan.14

Setelah mendapatkan informasi hasil observasi, konselor

melakukan analisa dari dengan menggabarkan dan menguraikan yang

14

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) hal. 127-148.


(28)

terjadi dalam rumah tangga Pak Sabar dan dari hasil itu memang sering

terhadi pertengkaran kecil yang memicu terjadinya ketidakharmonisan

keluarga dari obyek yang diteliti.

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah

sebagai berikut:

a. Observasi (pengamatan)

Observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan

yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang

dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung, dan

dapat diukur. Pada dasarnya, tujuan dari observasi adalah untuk

mendiskripsikan lingkungan (site) yang diamati, aktifitas-aktifitas yang

berlangsung, individu-individu yang terlibat dalam lingkungan tersebut

beserta aktifitas dan perilaku yang dimunculkan, serta makna kejadian

berdasarkan perspektif individu yang terlibat tersebut.15

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak,

yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

15

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika 2011), hal. 131-132


(29)

terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut.16

c.Dokumentasi

Dokumentasi merupakan fakta dan data yang tersimpan dalam

berbagai macam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar

data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, peraturan,

catatatan harian, biografi, simbol, dan data lain yang tersimpan.17 Dari

data dokumentasi peneliti dapat melihat kembali sumber data yang ada

seperti catatan pribadi, hasil wawancara dan lain sebagainya.

melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang tertulis

atau dibuat langsung oleh subyek yang bersangkutan.18

Pada tabel dibawa ini peneliti memaparkan rencana yang akan

dilakukan dalam observasi dan penelitian selama dilapangan yang mana

berhubungan dengan jenis data, sumber data, dan teknik pengumpilan

data, yang akan disajikan pada tabel sebagai berikut:

16

Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 186

17

Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati, Metode Penelitian.., hal. 139. 18

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika 2011), hal. 143


(30)

Tabel 1.1

Jenis Data, Sumber Data, dan Tehnik Pengumpulan Data

NO. JENIS DATA SUMBER

DATA TPD

1

a. Identitas Klien

b. Tempat tanggal lahir klien c. Usia klien

d. Pendidikan klien

e. Masalah yang dihadapi klien

Klien

W + O

2

a. Identitas Konselor b. Pendidikan konselor c. Usia konselor

d. Pengalaman dan proses konseling yang dilakukan

Konselor W+O

3

a. Kebiasaan klien

b. Kondisi keluarga dan lingkungan sekitar klien

Informan (keluarga atau

teman klien)

W+O 4 a. Luas wilayah penelitian

b. Batas wilayah

Gambaran

lokasi penelitian O+W+D Keterangan :

TPD : Teknik Pengumpulan Data O : Observasis

W : Wawancara 6. Analisis Data

Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis

secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di

lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data

agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi

teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbngkan menghasilkan

pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan

universal. Gambaran dan informasi tentang peristiwa atas obyek yang dikaji


(31)

berhubungan dengan peristiwa faktual dan realistik. Dengan cara melakukan

komparasi hasil temuan hasil dan pendalaman makna, maka diperoleh suatu

analisis data yang terus menerus secara simultan sepanjang proses

penelitian.19 Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan

yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukannya pola,

dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan

apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.20 Teknik analisis data ini

dilakukan setelah proses pengumpulan data yang telah diperoleh.

Penelitian ini bersifat studi kasus, untuk itu, analisis data yang

digunakan adalah deskriptif-komparatif yaitu setelah terkumpul dan diolah

maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Selanjutnya

analisa proses serta hasil pelaksanaan family therapy dalam menangani

disharmonis keluarga untuk mengembalikan sistem keluarga yang dilakukan

dengan analisis deskriptif komparatif, yakni membandingkan kondisi konseli

sebelum dan sesudah dilaksanakannya proses konseling.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Agar data ini benar-benar bisa dipertanggung jawabkan maka dalam

penelitian kualitatif dibutuhkan teknik pengecekan keabsahan data, sehingga

19

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), hal. 106

20

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2009), hal. 248.


(32)

memperoleh tingkat keabsahan data. Teknik untuk memeriksa keabsahan

data antara lain:

a. Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.

Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat,

tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian.

Dengan demikian, penting sekali arti perpanjangan keikutsertaan

peneliti guna berorientasi dengan situasi, juga guna memastikan apakah

konteks itu dipahami dan dihayati.21

b. Meningkatkan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara

lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka

kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan

sistematis. Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah

dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian

atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.

c. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

21

Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 327-328


(33)

Dalam triangulasi data atau sumber, peneliti menggunakan

beberapa sumber untuk mengumpulakan data dengan permasalahan

yang sama. Artinya bahwa data yang ada dilapangan diambil dari

beberapa sumber penelitian yang berbeda-beda dan dapat dilakukan

dengan:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara.

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

d. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang

berpendidikan dan orang berada.

Penelitian menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik

observasi, penerapan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda ini sedapat

mungkin untuk menutupi kelemahan atau kekurangan sehingga data yang

diperoleh benar-benar akurat.22

22

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2011), hal. 269.


(34)

Dalam observasi dan kelancaran penelitian, konselor atau peneliti telah

membuat rancangan yang berupa jadwal penelitian, pedoman wawancara,

pedoman onservasi yang ditunjukan dalam masing-masing tabel dibawah ini:

Untuk penelitian dan observasi selama proses konseling peneliti atau

konselor menyiapkan jadwal yang direncanakan untuk kegiatan dilapangan

yang mana sebagai berikut:

Tabel 1.2 Jadwal Penelitian

No. Tanggal Kegiatan Penelitian

1. 15 November 2015 Penyerahan surat izin penellitian

2. 18 Novembr 2015 Membaca fenomena yang ada dilapangan 3. 22 November 2015 Mengambil data konseli dan data lapangan 4. 25 November s/d 5

Desember 2015 Melakukan proses konseling 5. 15 Desember 2015 Evaluasi Konseling

6 17 Desember 2015 Hasil dari proses zkonseling 7. 22 Desember 2015 Laporan

Pada tabel 1.3 menyajikan tabel tentang pedoman wawancara yang

akan digunakan konselor selama penelitian dilapangan, sebagai berikut:

Tabel 1.3 Pedoman Wawancara

No Informasi Data Yang Diperoleh Pedoman Wawancara

1 Klien a. Identitas klien

b. Latar belakang masalah yang dihadapi klien

- Siapa nama klien?

- Tempat tanggal lahir klien? - Pendidikan klien?

- Berapa usia klien?

- Dimana tempat tinggal klien? Sejak kapan masalah itu muncul? Bagaimana masalah itu bisa terjadi? 2 Informan a. Kebiasaan klien Bagaimana keseharian klien?


(35)

b. Kondisi

lingkungan klien

keluarga klien?

- Bagaimana kondisi lingkungan klien?

c. Profil kelurahan

- Bagaimana profil kelurahan tempat tinggal?

- Apa saja kegiatan yang ada di Kelurahan Sukomulyo Lamongan?

- Bagaimana lingkungan

Kelurahan Perumnas Lamongan? 3 Konselor

a. Identitas Konselor b. Proses konseling

yang dilakukan

- Siapa nama konselor?

- Tempat tanggal lahir konselor? - Berapa usia konselor?

- Riwayat pendidikan konselor? - Bagaimana proses konseling

yang dilakukan oleh konselor? - Bagaimana hasil proses

Konseling

Tabel 1.4 menjelaskan pedoman onservasi yang akan digunakan

konselor atau peneliti selama observasi dilapangan, sebagai berikut:

Table 1.4 Pedoman Observasi

No Obyek Data yang diperoleh Pedoman observasi

1 Konseli Data konseli

- Mengamati ruang konseling. - Mencatat apa saja yang

dikatakan oleh klien. - Mencatat semua sikap yang

ditunjukkan oleh klien.. - Mengamati mimik wajah dan

gesture klien.

2 Kelurahan

Letak geografis

Letak Demografis

- Mengamati letak kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan.

- Mengamati keadaan lingkungan di sekitar kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan

Mengamati fasilitas yang ada di kelurahan Sukomulyo Lamongan.


(36)

3 Klien Keadaan Lingkungan Klien

- Mengamati klien dengan lingkungan sekitar klien. - Mengamati latar belakang

keluarga klien

- Mengamati kegiatan keseharian klien

- Mengamati hubungan anggota kelurga antara satu sama lain.

G. Sistematika Pembahasan

Agar penulisan skripsi ini dapat dipahami secara utuh dan

berkesinambungan, maka perlu adanya penyusunan sistematika pembahasan,

yaitu sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan yaitu: gambaran umum yang membuat pola dasar

dan kerangka pembahasan skripsi. Bab ini meliputi Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konsep, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka: merupakan kajian pustaka sebagai landasan

teori dalam penelitian dan penulisan skripsi. pada bab ini berisi pembahasan

yang berkaitan dengan menjelaskan tentang family therapy, yang terdiri dari :

pengertian family therapy, tujuan family therapy, peran konselor dalam family

therapy, proses dan tahapan family therapy, kesalahan umum pelaksanaan

family therapy. dalam bab ini juga membahas tentang, pengertian keluarga,

Pengertian disharmoni keluarga, Bentuk-bentuk perilaku yang disharmoni,

Faktor-faktor penyebab terjadinya disharmoni keluarga, Macam-macam


(37)

dengan penelitian yang hendak dilakukan. Berisi hasil penelitian terdahulu yang

didapat dari berbagai sumber, tujuannya agar didapat karakter atau ciri khas

yang membedakan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian

sebelumnya.

BAB III Penyajian Data: Dalam bab ini berisi tentang penyajian data

yang terdiri dari Setting penelitian, yang meliputi: deskripsi lokasi penelitian,

deskripsi konselor, deskripsi konseli, deskripsi masalah dan selanjutnya yaitu

tentang deskripsi hasil penelitian yang berisi: Deskripsi data tentang

faktor-faktor yang menyebabkan Disharmoni Keluarga konseli, deskripsi proses

pelaksanaan family therapy dalam menangani disharmoni keluarga untuk

mengembalikan sistem keluarga, serta deskripsi hasil akhir yang diperoleh

dilapangan mengenai family therapy dalam menangani disharmonis keluarga

untuk mengembalikan sistem keluarga.

BAB IV Analisis Data: Menjelaskan tentang analisis proses

pelaksanaan Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk

Mengembalikan Sistem Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan dan

analisis hasil akhir Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga

untuk Mengembalikan Sistem Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan

BAB V Penutup: Bab ini berisi tentang kesimpulan dari kajian ini dan


(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. 1. Family Therapy (Terapi Keluarga) 1. Pengertian Family Therapy

Family (keluarga) adalah satu kelompok individu yang terkait oleh

ikatan perkawinan atau darah, secara khusus mencakup seorang ayah, ibu dan

anak. Sedangkan Therapy (terapi) adalah suatu perlakuan dan pengobatan

yang ditujukan kepada penyembuhan satu kondisi patologi.23

Menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam kamus Psikologi,

family therapy (terapi keluarga) adalah suatu bentuk terapi kelompok dimana

masalah pokoknya adalah hubungan antara pasien dengan anggota-anggota

keluarganya. Oleh sebab itu seluruh anggota keluarga dilibatkan dalam usaha

penyembuhannya. Terapi ini secara khusus memfokuskan pada

masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraanya

melibatkan anggota keluarga.

Menurut D. Stanton dapat dikatakan sebagai terapi khusus karena

sebagaimana yang selalu dipandang oleh konselor, yang di dalam proses

terapi atau konseling melibatkan keluarga inti.24

23

.Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Teknik Bimbingan Praktis, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985) hal. 42-45

24


(39)

Perez (1979: 25), mengemukakan pengertian terapi famili (family

therapy), terapi famili adalah suatu proses interaktif untuk membantu

keluarga dalam mencapai keseimbangan dimana setiap anggota keluarga

merasakan kebahagiaan.25

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan

bahwa family therapy atau terapi famili merupakan suatu bentuk bantuan

untuk menangani suatu masalah dalam keluarga yang melibatkan keluarga

inti untuk mencapai keseimbangan dan merasakan kebahagian dalam

rumah tangga.

2. Tujuan Family Therapy

Tujuan family therapy oleh para ahli dirumuskan secara berbeda.

Bowen menegaskan bahwa tujuan family therapy adalah membantu klien

(anggota keluarga) untuk mencapai individualitas, membuat dirinya menjadi

hal yang berbeda dari sistem keluarga.

Menurut Glick dan Kessler (Goldenberg, 1983) mengemukakan tujuan

umum konseling keluarga adalah untuk:

1. Memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota keluarga.

2. Mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi.

25

. Prof. DR. H. Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (family counseling), (Bandung: Penerbit Alfabeta. 2013), hal. 87-88.


(40)

3. Memberi pelayanan sebagai model dan pendidikan peran tertentu yang

ditunjukan kepada anggota lainnya.26

Berikut ini dikemukakan tujuan family therapy secara umum:

1. Membantu anggota-anggota keluarga belajar dan menghargai secara

emosional bahwa dinamika keluarga adalah kait-mengkait di antara

anggota keluarga.

2. Untuk membantu anggota keluarga agar menyadari tentang fakta jika satu

anggota keluarga bermasalah, maka akan mempengaruhi kepada persepsi,

ekspektasi, dan interaksi anggota-anggota lain.

3. Agar tercapai keseimbangan yang membuat pertumbuhan dan

peningkatan setiap anggota.

4. Untuk mengembangkan penghargaan penuh sebagai pengaruh dari

hubungan parental.

3. Peran Konselor dalam Family Therapy

Peran konselor dalam membantu konseli dalam family therapy dan perkawinan dikemukakan Haley (dalam Weld dan Eriksen, 2006). Diantaranya sebagai berikut:

a. Menciptakan kerja sama antar anggota keluarga,

b. Memberikan kepercayaan dan mendorong klien bahwa setiap orang dalam keluarga memiliki kemampuan dan mengetahui fungsi dan peran serta dapat melakukan yang terbaik buat dirinya dan keluarganya.

26


(41)

c. Membantu klien untuk ikut serta dalam setiap proses konseling agar setiap anggota keluarganya dapat melaksanakan peranya.

d. Membantu keluarga agar memiliki kemampuan dalam mengolah emosi dan mengembangkan kematangan diri setiap anggota keluarga.

e. Membantu memberikan pemahaman sebagai pribadi dan juga sebagai bagian

dari keluarga.

Konselor pada konseling keluarga diharapkan mempunyai kemampuan

profesional untuk mengantisipasi perilaku keseluruhan anggota keluarga yang

terdiri dari berbagai kualitas emosional dan kepribadian. Konselor diharapkan

mampu: mengembangkan komunikasi antara anggota keluarga yang tadinya

terhambat oleh emosi-emosi tertentu; membantu mengembangkan

penghargaan anggota keluarga terhadap potensi anggota lain sesuai dengan

realitas yang ada pada diri dan lingkungannya; membantu konseli agar

berhasil menemukan dan memahami potensi, keunggulan, kelebihan yang ada

pada dirinya dan mempunyai wawasan serta alternatif rencana untuk

pengembangannya atas bantuan semua anggota keluarga.27

27

Fatchiah E. Kertamuda, Konseling Pernikahan Untuk Keluarga Indonesia, (Jakarta: Selemba Humanika, 2009), hal.180.


(42)

4. Bentuk-bentuk Family Therapy

Kecenderungan pelaksanaan konseling keluarga adalah sebagai

berikut:

Memandang klien sebagai pribadi dalam konteks sistem keluarga.

Klien merupakan bagian dari system keluarga, sehingga masalah yang dialami

dan pemecahanya tidak dapat mengesampingkan peran keluarga.

Berfokus pada saat ini, yaitu apa yang diatasi dalam family therapy

adalah masalah-masalah yang dihadapi klien pada kehidupan saat ini, buakan

kehidupan yang masa lampaunya. Oleh karena itu, masalah yang diselesaikan

bukan pertumbuhan personal yang bersifat jangka panjang.

Dalam kaitanya dengan bentuknya, family therapy dikembangkan

dalam berbagai bentuk sebagai pengembangan dari konseling kelompok.

Bentuk terapi keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagai bentuk

konvensionalnya.

Bentuk family therapy disesuaikan dengan keperluanya, namun banyak

ahli yang menganjurkan agar anggota keluarga dapat ikut serta dalam

konseling. Perubahan pada sistem keluarga dapat dengan mudah diubah jika

seluruh anggota keluarga terlibat dalam konseling. Karena mereka tidak hanya

berbicara tentang keluarganya tetapi terlibat dalam penyusunan rencana.28

28


(43)

5. Proses dan Tahapan Family Therapy

Pada mulanya seorang Konseli datang ke konselor untuk

mengkonsolidasikan masalahnya. Biasanya datang pertama kali ini lebih

bersifat “identifikasi pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan (treatment) diperlukan kehadiran anggota keluarga yang lain. Menurut Satir, tidak

mungkin mendengarkan peran, status, nilai, dan norma keluarga atau

kelompok jika tidak ada kehadiran anggota keluarga yang lain. Jadi dalam

pandangan ini, anggota keluarga yang lain harus datang ke konselor

(Brammer dan Shortromm, 1982).

Tahapan family therapy secara garis besar proses dalam konseling

keluarga adalah:

1) Pengembangan Rapport, merupakan suasana hubungan konseling yang

akrab, jujur, saling percaya, sehingga menimbulkan keterbukaan dari

konseli. Upaya pengembangan rapport ini ditentukan oleh aspek-aspek diri

konselor yakni kontak mata; perilaku nonverbal (perilaku attending,

bersahabat atau akrab, hangat, luwes, ramah, jujur atau asli, penuh

perhatian); dan bahas lisan atau verbal yang baik.

2) Pengembangan apresiasi emosional, dimana munculnya kemampuan untuk

menghargai perasaan masing-masing anggota keluarga, dan keinginan

mereka agar masalah yang mereka hadapi dapat terselesaikan semakin

besar. Muncul dinamika interaksi dari semua individu yang terlibat dalam


(44)

3) Pengembangan alternatif modus perilaku. Dalam tahap ini, baik konseli

maupun anggota keluarga mengembangkan dan melatihkan

perilaku-perilaku baru yang disepakati berdasarkan hasil diskusi dalam konseling.

Pada tahap ini muncul home assignment, yaitu mempraktikan perilaku baru

selama masa 1 minggu (misalnya) di rumah, kemudian akan dilaporkan

pada sesi berikutnya untuk dibahas, dievaluasi, dan dilakukan tindakan

selanjutnya.

4) Fase membina hubungan konseling. Adanya acceptance, unconditional

positive regard, understanding, genuine, empathy. Memperlancar tidakan

positif. Terdiri dari eksplorasi, perencanaan atau mengembangkan

perencanaan bagi konseli sesuai dengan tujuan untuk memecahkan

masalah, kemudian penutup untuk mengevaluasi hasil konseling sampai

menutup hubungan konseling.29

Menurut Conjoint Family Therapy, proses konseling yang dapat

ditempuh adalah:

a. Intake interview, building working alliance. bertujuan untuk

mengeksplorasi dinamika perkembangan konseli dan anggota keluarga

lainnya (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan

dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku

penyesuaian, dan area masalahnya).

29


(45)

b. Case conceptualization and Treatment Planning, mengenal masalah

atau memperjelas masalah, kemudian fokus pada rencana intervensi apa

yang akan dilakukan untuk penanganan masalah.

c. Implementation, menerapkan intervensi yang disertai dengan

tugas-tugas yang dilakukan bersama antara konseli dan keluarga, contohnya:

free drawing art task (menggambar bebas yang mewakili keberadaan

mereka baik secara kognitif, emosi, dan peran yang mereka mainkan),

homework,

d. Evaluation termination, melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan

konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai

dengan tujuan konseling.

e. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk

memperbaiki dan meingkatkan proses konseling

6. Kesalahan umum dalam family therapy

Dalam terapi family atau famili, therapy atau konseling keluarga

banyak dijumpai kesalahan-kesalahan yang dilakukan konselor, sehingga

hasilnya tidak efetif. Crane (1995) mengemukakan sejumlah kesalahan umum

dalam penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya sebagai berikut:

a. Tidak berjumpa dengan seluruh anggota keluarga, untuk mendiskusikan

masalah-masalah yang dihadapi. Yang baik jika seluruh anggota keluarga


(46)

b. Pertama kali orang tua dan anak datang kekonselor bersama-sama,

konselornya suatu saat berkata hanya orang tua dan anak tidak perlu turut

dalam proses sehingga menampakkan ketidakpedulianya terhadap apa yang

menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah mengajak anak untuk

berbicara, memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan

memprosesnya secara cepat.

c. Mendiskusikan masalah, atau menjelaskan pandangan kepada orang tua

dan bukan menunjukan cara penanganan masalah yang dihadapi dalam

situasi kehidupan yang nyata.

d. Melihat untuk menjelaskan perilaku anak dan orang tua, bukan

mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-masalah yang terjadi. jadi

penekanannya adalah mengubah sistem interaksi dengan jalan mengubah

perilaku orang tua dan mengajarkan mereka bagaimana cara mengubah

perilaku anak-anak mereka.

e. Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu

otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orang tua

perlu belajar cara membiarkan dorongan dan afeksi kepada anak meraka,

bukan mengendalikan perilaku anak. Konselor perlu mengajarkan anak

dengan penuh afeksi pula.

Kesalahan-kesalahan dalam konseling keluarga semacam diatas


(47)

tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus-menerus terhadap apa

yang dilakukan dan bagaimana hasil yang dicapai dari usahanya.30

2. Disharmonnnis Keluarga a. Disharmonis Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan “keluarga” yaitu meliputi: ibu, Bapak, dan anak-anaknya. Satuan kekerabatan yang sangat

mendasar di masyarakat31. Menurut Ainur Rahim, keluarga adalah unit

terkecil masyarakat yang anggotanya terdiri dari seorang laki-laki yang

berstatus sebagai suami dan seorang perempuan yang berstatus sebagai istri

dan ditambah dengan anak-anak32.

Firman allah SWT dalam Surah Ar-Rum ayat 21, sebagai berikut :

Artinya:

Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia yang menciptakan

untukmu isteri atau pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadnya, dan dijadikannya diantaramu

30

. Latipun, Psikologi konseling, (Malang: UMM PRESS 2013), hal 157-158

31

. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Kedua (Jakarta : Balai Pustaka, 1991) hal. 471.

32

. Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Yogyakarta : UII Press, 2001), hal. 67


(48)

rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Qs. Ar-Rum, 30:21).

Ayat diatas mengingatkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia

berpasangan (suami-istri) untuk mendapatkan rasa tenang, aman, tentram dan

nyaman. Manusia sebagai makhluk yang berakal dan berfikir sehat bahwa

membina rumah tangga dengan ibadah yaitu menciptakan keluarga sakinah,

mawaddah, warahmah. Keluarga harmonis bisa disebut juga keluarga sakinah

yang mana dalam keluarga itu terciptanya keluarga yang tenang atau keluarga

yang tentram. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir batin, hidup

cinta-mencintai dan kasih-mengasihi, dimana suami bisa membahagiakan istri dan

begitu sebaliknya istri bisa membahagiakan suami, dan keduanya mampu

mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, yaitu

anak-anak yang berbakti kepada orang tua, agama, masyarakat dan bangsa.

Selain itu keluarga harmonis atau sakinah juga mampu menjalin persaudaraan

yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun dan bertetangga,

bermasyarakat dan bernegara.33

Untuk membahas pengertian disharmoni keluarga, dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia disebutkan bahwa disharmoni adalah kejanggalan dan

ketidakjelasan.34

33

. Prof. Dr. Dadang Hawari, Psikiater, penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga,

(Jakarta: UI Fakultas kedokteran, 2009), hal. 15

34


(49)

Keluarga disharmonis sering terjadi perselisihan antara anggota

keluarga yang mana dengan tidak berjalanya fungsi sebagai anggota keluarga.

ciri dari keluarga disharmonis yang paling menonjol adalah pudarnya berbagai

fungsi keluarga dalam keluarga tersebut. Misalkan, keluarga tersebut

kehilangan fungsi sosialisasi. Tidak ada komunikasi antar anggota keluarga

menyebabkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga yang pada

akhirnya dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada

konflik. Apabila keluarga kehilangan fungsi, setiap anggota keluarga akan

merasa kurang dikasihi oleh anggota keluarga lainya yang dapat

mengakibatkan rusaknya hubungan kasih antar anggota keluarga.

Menurut Minuchin (1980) keluarga adalah satu kesatuan suatu sistem

atau suatu organisme. Apabila ada satu kesatuan komponen keluarga

terganggu atau tak berfungsi, maka sistem keluarga akan terganggu pula.

Sebab jika kehidupan keluarga diwarnai dengan emosional akan terjadi

disharmonis.35

Adapun yang menjadi penyebab ketidakharmonisan keluarga

timbulnya suatu konflik yang ada dalam keluarga tersebut. Dalam prespektif

materialisme terdapat kekuatan dari perkembangan individu dan sosial yang

dapat mendorong terjadinya konflik dalam proses kehidupan.

35

Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga “suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan masalah komunikasi didalam system keluarga, PT. Afabeta Bandung :2013, hal.148


(50)

Freud mengemukakan pendapat bahwa ketidakharmonisan keluarga

akibat karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan serta

aturan, sehingga menimbulakan perselisihan didalam keluarga. Thomas

(1992) mendefinisikan bahwa ketidakharmonisan sebagai proses yang

bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain berupaya menggagalkan

kepentinganya.36

Menurut B. Simanjuntak dalam bukunya yang berjudul “Beberapa

Aspek Patologi Sosial”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keretakan

keluarga (family disorganization) adalah situasi yang dapat mempengaruhi

kelancaran fungsi keluarga (hubungan suami istri sebagai ayah, ibu, dan

anak), yang akibatnya menyimpang dari norma yang berlaku serta

menimbulkan reaksi dalam masyarakat.37

Dengan kata lain disharmonis keluarga adalah suatu kondisi yang

sangat labil di keluarga, dimana komunikasi dua arah dalam kondisi

demokratis sudah tidak ada.38

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa

disharmonis keluarga merupakan suatu kondisi yang rusak yang

mempengaruhi fungsi sebagai anggota keluarga yang berhubungan dengan

36

Sri Lestari, Psikologi keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga,

(Kencana Prenada Media Group, Jakarta): 2012, hal.99

37

. Simanjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial (Bandung : Alumni, 1981), Hal. 10.

38

. Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, konseling Keluarga (Family counseling), (Alfabeta Bandung 2013), hal.13


(51)

hubungan antara anggota keluarga inti sebagai penyebab timbul konflik dan

menjadi keluarga yang tidak harmonis.

Ketidakharmonisanpun terlihat dalam keluarga klien, dari bagaimana

keseharian komunikasi terhadap anggota keluarga yang kurang efektif, kurang

adanya keterbukaan yang sering mengakibatkan perselisihan, pertengkaran,

dan salah faham dan tidak berjalanya peran sebagai anggota keluarga yang

baik. Banyak juga pengakuan dari tetangga akan keseharian keluarga ini yang

sering terjadi pertengkaran perselisihan. Rasa iri satu sama lain untuk

melakukan suatu tugas keluarga juga terjadi dalam keluarga klien.

b. Bentuk –bentuk Disharmonis Keluarga

Menurut William J. Goode dalam bukunya “Sosiologi Keluarga” menerangkan bahwa bentuk-bentuk disharmoni keluarga itu sebagai berikut:

1) Ketidaksahan (kegagalan peran)

Merupakan unit keluarga yang tak lengkap. Dapat dianggap sama

dengan kegagalan peran lainnya dalam keluarga karena sang ayah atau

suami tidak ada dan karena tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang

ditentukan oleh masyarakat atau sang ibu. Tambahan pula setidak-tidaknya

ada satu sumber keluarga baik ibu maupun bapak untuk menjalankan


(52)

2) Pembekalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan

Terputusnya keluarga disini disebabkan karena salah satu atau kedua

pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian

berhenti melaksanakan kewajiban perannya.

3) Keluarga selaput kosong

Disini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama, tetapi tidak

saling menyapa atau bekerja sama satu dengan yang lain dan terutama

gagal memberikan dukungan emosional satu kepada yang lain.

4) Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan

Beberapa keluarga terpecah karena sang suami atau istri telah

meninggal, dipenjarakan atau terpisah dari keluarga karena peperangan,

depresi atau malapetaka yang lain.

5) Kegagalan peran penting yang tidak diinginkan

Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental,

emosional, mungkin juga penyebab kegagalan dalam menjalankan peran

utama.39

c. Faktor-Faktor penyebab Disharmonis Keluarga

Salah satu penyebab konflik adalah karena kedekatan, baik kedekatan

fisik maupun jiwa atau emosional. Dalam hal ini konflik sebagai sesuatu yang

39. Faizatur Rofi’ah, “BKI dalam Mengatasi diharmonis keluarga di Desa Mojorejo Pungging


(53)

tidak bisa dihindarkan, mulai dari rasa keangkuhan, atau merasa kuat dan

gengsi hingga didukung oleh faktor-faktor pendukung lainya.

Tujuan utama dalam menguraikan berbagai sebab-sebab

ketidakharmonisan dalam rumah tangga adalah agar suami istri menghormati

dan menyayangi pasangannya, mengetahui peran setiap anggota keluarga dan

dapat mengambil hikmah dari semua cobaan yang terjadi dan senantiasa

menjaga agar jangan sampai masalah itu terjadi lagi, serta selalu bersabar

dalam menghadapi berbagai problem dalam keluarga.

Adapun faktor penyebab terjadinya disharmonis keluarga antara lain :

1. Faktor Internal

Yang dimaksud faktor internal adalah sebab-sebab yang timbul dari

dalam diri masing-masing pasangan hidup dan anggota keluarga. Antara

lain faktor internal :

a. Krisis Ruhiyah, bagi seorang muslim krisis ruhiyah adalah penyebab utama

lemahnya semangat keagamaan. Imanlah yang senantiasa mendorongnya

untuk melakukan amal-amal kebijakan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Iman yang kuat akan mengantarkan kepuncak kebijakan, sebaliknya

imanya yang lemah akan mengahambat pemiliknya dari melakukan

amal-amal saleh. Sembilan puluh persen krisis rumah tangga muslim bermula

dari krisis ruhiyah, awalnya hanya salah satu pasangan atau bisa juga


(54)

b. Minimnya Pengetahuan kerumahtanggan, Kematangan naluri seksual

sering kali tidak diimbangi dengan kematangan pengetahuan keislaman,

khususnya mengenai kerumahtanggaan. Masalah yang kerap datang

menjadi tidak terantisipasi dan tidak tahu juga bagaimana cara

mengatasinya. Tak ayal lagi perselisihan keluarga menyeruak menjadi

menu harian. Sementara itu, psikologi masing-masing juga labil. Akibatnya

pertengkaran yang terjadi dan berujung pada hilangnya keharmonisan

rumah tangga.40

c. Sikap egosentrisme, masing-masing suami istri merupakan penyebab pula

terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran terus

menerus. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan

dirinya sendiri.

2. Faktor Eksternal

Penyebab keretakan rumah tangga terkadang muncul dari luar anggota

keluarga. Meskipun mereka sehat secara fisik atau mental, dari rumah

tangga itu bisa muncul dari aspek eksternal. Faktor ini meliputi :

a. Masalah ekonomi, Dalam hal ini ada dua jenis penyebab krisis keluarga

yaitu, kemiskinan dan gaya hidup. Dalam hal ini ekonomi bisa menjadi

penyebab ketidakharmonisan keluarga. Jika kehidupan emosional suami

40

. Irfan Supardi, Alhamdulillah Bunga Cintaku Bersemi Kembali, (Solo: Tinta Medina, 2012) hal.21-24


(55)

istri tidak dewasa, maka akan timbul pertengkaran. Sebab istri banyak

menuntut sedangkan suami berpenghasilan tidak seberapa.

b. Masalah kesibukan, kesibukan adalah salah satu kata yang telah melekat

pada masyarakat modern kota-kota besar. Kesibukan terfokus pada

pencarian sumber materi yaitu harta dan uang. Kesibukan orang tua

khususnya yang mengakibatkan kurangnya perhatian untuk anak. Yang

mana bisa menjadikan anak merasa haus kasih sayang dan sering

melakukan hal-hal negatif.

c. Masalah pendidikan, masalah pendidikan sering merupakan penyebab

terjadinya disharmonis keluarga. Jika pendidikan agak lumayan pada

suami istri, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami

oleh mereka. Sebaliknya jika pada suami istri yang pendidikanya agak

lumayan rendah sering tidak dapat memahami liku-liku keluarga.41

3. Faktor Umum atau global

Adapun faktor umum dan secara global antara lain sebagai berikut :

a. Suami istri dan anggota keluarga tidak pernah atau jarang duduk

bersama membahas keberlangsungan rumah tangga.

b. Urusan agama serta hak dan kewajiban setiap anggota keluarga jarang

dimusyawarahkan.42

41

Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, konseling Keluarga (Family counseling), (Bandung : Alfabeta 2013), hal. 15-18

42

. Irfan Supardi, Alhamdulillah Bunga Cintaku Bersemi Kembali, (Solo: Tinta Medina, 2012) hal.52


(56)

c. Tidak adanya rasa tanggung jawab dari masing-masing anggota

keluarga dan tidak saling terbuka atau tidak jujur.

d. Adanya campur tangan dari pihak luar anggota keluarga dan pilih kasih

terhadap anak.43

Untuk menghindari adanya suatu ketidakharmonisan dalam keluarga

sebagai pasangan suami istri mempunyai kewajiban yang harus dijalankan.

Keharmonisan dan cinta kasih suami-istri dalam hidup berumah tangga

merupakan tujuan setiap pasangan suami istri. hal ini akan terwujud apabila

suami istri saling pengertian dengan landasan iman dan takwa, untuk

bersama-sama memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, baik berupa cinta kasih

sayang, nafkah lahir batin maupun hak yang berupa kebendaan atau sandang

pangan.

3. Sistem Keluarga

Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem.

Menurutnya keluarga itu bermaslah jika keluarga itu tidak berfungsi

(disfinctioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat

membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan

mereka.

43

. Majid Muhammad As-Sahawi, Bahagia Bersamamu Mewujudkan Sakinah, Mawaddah, Warahmah secara Nyata, (Solo: Pusataka Arafah, 2013), hal.177


(57)

Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat

membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat

anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu

yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika

hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus

memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia harus membuat

pilihan berdasarakan rasionalitasnya bukan emosionalnya.44

Kerr dan Bowen (1988) menjelaskan tentang berbagai evaluasi dalam

teori sistem keluarga, ia mendiskripsikan dua tujuan utama tipe intervensi ini,

yaitu:

a. Mengurangi tingkat kecemasan keluarga secara keseluruhan, sehingga

memungkinkan anggota-anggotanya untuk berfungsi secara independen dan

mengubah perilaku-perilaku bermasalahnya.

b. Meningkatkan tingkat difrensiasi dasar masing-masing anggota dari

kebersamaan emosional keluarga. Proses yang memungkinkan

anggota-anggotanya untuk memberikan respon terhadap berbagai situasi emosional

secara lebih efektif.45

Inti dari sistem keluarga ini adalah penekankan pada perbedaan antara

emosi dan proses intelektual serta kemampuan seseorang dalam mengatur dirinya

dan kebersamaanya dalam hubungan interpersonal (Kok-Mun dan Smith, 2006).

44

. Latipun, Psikologi konseling, (Malang: UMM PERSS, 2003), hal. 152

45

. Norman D. Sundberg, Ellen A. winebarger, Julian R. Taplin, Psikologi Klinis (Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), hal 390


(58)

Terdapat beberapa elemen dasar pada sistem keluarga, diantaranya

adalah sebagai berikut :

1. Keluarga adalah suatu bentuk hubungan bagian-bagian atau subsistem. Setiap

aksi atau perubahan memberikan dampak pada setiap orang yang ada dalam

keluarga.

2. Bentuk keluarga memiliki elemen yang hanya dapat terlihat dalam interaksi.

Setiap orang membentuk sistem dalam keluarga, sistem keluarga adalah

kompleks dan sebagai satu kesatuan mereka tidak terlepas satu dengan yang

lainya.

3. Peran keluarga, bentuk interaksi yang dapat membangun kebiasaan yang

membuat perubahan manjadi sulit.

4. Aturan keluarga, setiap keluarga mempeunyai aturan yang jelas dalam

pengaturan dirinya. Keluarga adalah sistem yang memiliki tujuan, tujuan

tersebut dapat menghindari keluarga dari perpecahan dan dapat menjadi satu

kesatuan yang integral.

5. Batasan-batasan, keluarga memiliki fungsi yang baik, sistem yang kuat harus

dapat menjaga batasan-batasan.

6. Penyesuaian, walaupun penolakan perubahan sistem dalam keluarga terjadi

secara konstan, setiap anggota keluarga harus menyesuaikan diri serta


(59)

7. Perubahan sistem dalam kehidupan keluaraga, perubahan yang terjadi

disebabkan oleh hal-hal normatif (norma dalam tujuan perubahan kehidupan)

dan non-normatif (krisis dan tekanan-tekanan).46

Dari pemaparan pernyataan diatas yang patut diperhatikan adalah

bagaimana pola asuh orang tua terhadap anak dan kewajiban peran sebagai

anggota keluarga, antara lain sebagai berikut :

a) Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah

atau ibu, dalam memimpin, mengasuh dalam arti menjaga dengan merawat

dan mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih, dan

sebagainya. Menurut Ahmad Tafsir pola asuh berarti pendidik dengan

demikian, pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dan

persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga

remaja. Pola asuh orang tua adalah pola prilaku yang diterapkan pada anak

dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola prilaku ini dapat

dirasakan oleh anak dan bisa memberi efek negatif maupun positif.

Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan

memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadia dan hukuman, serta

tanggapan keinginan anaknya. Sikap, prilaku dan kebiasaan orang tua selalu

dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar

46

. Fatchiah E. kertamuda, Konseling pernikahan Untuk Keluarga Indonesia, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 130


(60)

atau tidak sadar akan diresap, kemudian menjadi kebiasaan bagi

anak-anaknya. Watak juga ditentukan oleh cara-cara anak sewaktu ia masih kecil,

bagaimana diajarkan cara makan, bagaimana cara menjaga kebersihan,

berdisiplin, diajar cara main dan bergaul dengan baik. (Koentjaraningrat:

1997) itulah sebabnya, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat

dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak kecil hingga dewasa.

Kepribadian itu sendiri, menurut Koentjaraningrat 2011, terbentuk dari

pengetahuan yang dimiliki anak maupun oleh berbagai perasaan, emosi,

kehendak dan keinginan yang ditujukan kepada berbagai macam hal dalam

lingkungnya.

Pola asuh orang tua juga sangat berpengaruh dalam pembentukan

karakter anak dalam sistem keluarga. Pendidikan dalam keluarga memliki

nilai strategis dalam pembentukan karakter kepribadian anak. Sejak kecil anak

sudah mendapat pendidikan dari orang tua melalui keteladanan dan kebiasaan

hidup sehari-hari dalam keluarga. Baik tindaknya keteladanan yang diberikan

dan bagaimana kebiasaan orang tua sehari-hari dalam keluarga akan

mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keteladanan dan kebiasaan yang

orang tua tampilkan dalam bersikap dan berprilaku tidak terlepas dari

perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan hidup orang tua adalah

suatu hal yang sering anak laukakan, karena memang pada masa


(61)

Semua sikap dan prilaku anak yang telah dipolesi dengan sifat-sifat

tersebut dipengaruhi oleh pola pendidikan dalam keluarga. Dengan kata lain,

pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

Pola asuh orang tua dalam keluarga tampil dalam berbagai tipe.

Adapun beberapa tipe –tipe pola asuh orang tua didalam keluarga, yaitu sebagai berikut:

1. Gaya Otoriter, dalam tipe ini pola asuh yang memaksakan kehendak

orang tau. Dengan tipe orang tua ini cenderung sebagai pengendali atau

pengawas. Selalu memaksakan kehendak terhadap anaknya, tidak terbuka

terhadap pendapat anak, sangat sulit menerima saran dan cenderung

memaksakan kehendak dalam perbedaan

2. Gaya Demokratis, tipe pola asuh yang terbaik dari semua tipe pola asuh

yang ada. Hal ini disebabkan tipe pola asuh ini selalu mendahulukan

kepentingan bersama diatas kepentingan individu anak. Tipe ini adalah

tipe pola asuh orang tua yang tidak banyak menggunakan control

terhadap anak. Ciri tipe pola asuh ini adalah, pertama dalam proses

pendidikan terhadap anak selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa

manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia. Kedua orang tua

selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan

kepentingan anak. Ketiga orang tua senang menerima saran, pendapat,


(1)

103

namun dengan saling terbuka dan bisa mengontrol diri semuanya dapat teratasi tanpa memperpanjang masalah itu.

Dari sinilah sistem keluarga dapat diperbaiki dan family therapy sangat berperan dalam memberikan arahan terhadap masalah dalam keluarga. Berikut adalah hasil pelaksanaan konseling Family Therapy dalam menangani disharmonis keluarga untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan :

Berdasarkan dari hasil proses konseling, maka dapat diketahui bahwa hasil akhir pelaksanaan family therapy dalam menangani disharmonis keluarga untuk mengembalikan Sistem Keluarga di Kel. Perumnas Sukomulyo Kec. Lamongan Kab. Lamongan tergolong cukup berhasil, Hal ini sesuai dengan proses yang telah dilakukan antara konselor dengan klien (keluarga Pak Sabar) yang kadang-kadang nampak atau kadang-kadang dirasakan adalah tergolong dalam kategori dikategorikan cukup berhasil. Kerena sudah Nampak perubahan sedikit-demisedikit yang ditunjukan oleh keluarga Pak Sabar dalam keseharian, dari tanggagung jawab sebagai anggota hingga sampai peran sebagai anggota keluarga.


(2)

104 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peneliti mengambil beberapa kesimpulan dari penelitian yang dilaksanakan di Perumnas Sukomulyo Lamongan yang dipaparkan sebagai berikut:

Proses pelaksanaan family therapy dalam menangani disharmonis keluarga untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan dengan menggunakan langkah-langkah konseling yaitu Identifikasi Masalah, Diagnosa, Prognosa, Treatment atau terapi, dan Evaluasi-follow up,

yang dimana dalam tahapanini memulai dengan Pengembangan a) listening atau mendengarkan, pada proses konseling ini konselor mempertemukan suami istri agar bias mendengar unek-unek apa yang dirasakan, b) pengembangan alternatif modus prilaku, dalam masing-masing anggota keluarga mereka sepakat untuk melatih prilaku-prilaku yang baru dibentuk atau disepakati untuk menunjang teciptanya keharmonisan keluarga, seperti halnya menjalankan kewajiban sehari-hari sebagai anggota keluarga, mematuhi peraturan yang baru dibuat dan memperaktiakan semua ini selama 1 minggu.

Hasil akhir family therapy dalam menangani keluarga disharmonis untuk mengembalikan sistem keluarga dikategorikan cukup berhasil, karena dari gejala


(3)

105

yang tidak nampak. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya perubahan yang cukup baik dalam keseharian keluarga ini. Seperti halnya berkurangnya pertengakaran, keributan dalam keseharianya meskipun kadang masih terjadi, dan terlihat lebih harmonis, peran dan fungsi keluarga mulai berjalan sesuai rencana yang telah dibuat sebelumnya.

B. Saran 1. Keluarga

Dapat saling menghargai satu sama lain, mau mendengarkan keluhkesah anggota keluarga, melaksanakan peran dan fungsi keluarga dengan semustinya agar tercipta keluarga yang harmonis, sakinah mawwadah dan warahmah.

2. Konselor

Dapat memantau serta memberikan motivasi agar klien lebih semangat dalam menghadapi masa depan dan konselor diharapkan untuk menambah pengetahuan dan wawasannya terutama dalam bidang konseling, agar dalam memberikan bantuan terhadap klien baik remaja atau pun dewasa dapat terlaksana dengan lebih baik lagi.

3. Bagi Pembaca dan Peneliti Selanjutnya

Diharapkan kepada para pembaca yang budiman, untuk mengembangkan proses pelaksanaan konseling dengan terapi yang sesuai, tepat, dan spesifik dalam menangani disharmonis keluarga atau pun masalah


(4)

106

yang lain. Dan untuk para pembaca pada umumnya jangan biarkan sebuah masalah menjadi sebuah beban yang merugikan diri sendiri atau pun orang lain, cobalah untuk mengkomunikasikan beban anda kepada orang yang ada disekitar anda, yang anda kira sanggup untuk berbagi dengan anda. Dan sebaliknya jangan menjadikan masalah orang lain sebagai sebuah beban untuk kita. Karena sesungguhnya berbagi adalah hal yang indah dan dapat membuka pintu kebahagiaan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Akk, Syeh Khalid Bin Abdurrahman. 2006. Cara Islam Mendidik Anak.

Jakarta: Ad-Dawa’.

Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

As-Sahwi, Majid Muhmmad. 2013. Bahagia BersamMu Mewujudkan Sakinah, Mawadah, Warahmah Secara Nyata. Solo: Pustaka Arofah.

Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian. Surabaya: Univ. Airlangg.

Christine Kerr.; Jani Hoshino. 2008. Family Art Therapy (Foundations Of Theory And Practice). Taylor & Francis Group, LL.C.

Dagum, Save M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: Renika Cipta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Djamarah, Syaiful. 2014. Pola Asuh Orang Tua Dan Komunikasih Dalam Keluarga. Jakarta: Renika Cipta.

Faqih, Ainur Rahim. 2001. Bimbingan Konseling islam. Yogyakarta: UII.

Fuad, Ferdinan M. 2005. Menjadi Orang Tua Bijaksana. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Gunarasa, Yulia Singgih D. 2002. Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: Gunung Mulia.

Hardiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Harwani, Dadang. 2009. Psikiater (Penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga). Jakarta: UI. Fakultas Kedokteran.

Ibnu Hasan Najafi & Mohammad A. Khalifan. 2006. Pendidikan dan Psikologi Anak. Jakarta: Pena Cahaya.

Kartini, Karton. 1985. Bimbingan Konseling dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Teknik Bimbingan Praktis. Jakarta: CV. Rajawali.

Kertamuda, Fatchiach E. 2009. Konseling Perkawinan Untuk Keluarga Indonesia.


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga Penanaman Nilai Dan Penanganan Konflik Dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Moleng, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosada Karya.

Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghaliz Indonesia

Norman D. Sundbeng.; Ellen A. Wineburger.; Julian R. Taplin. 2007. Psikologi Klinis (Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rofi’ah, Faizatur. 2013. Bimbingan Konseling Islam dalam Mengatasi

Disharmonis Keluarga di Desa Mojorejo Pungging Mojokerto. Surabaya: FDK IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Riyadi, Agus. 2003. Bimbingan Konseling Perkawinan (Dalam Membentuk Keluarga Sakinah). Yogyakarta: Ombak.

Simanjutak. 1981. Beberapa Aspek Patologi Sosial. Bandung: Alumni.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualtitatif, R&D. Bandung: Alfabeta.

Supandi, Irfan. 2012. Alhamdulillah Bunga Cintaku Bersemi Kembali. Solo: Tinta Medina.

Willi. S. Sofyan. 2009. Konseling Keluarga. (Family Counseling). Bandung: Alfabeta.

Willis, S Sofyan. 2013. Keluarga “Suatu Upaya Membantu Keluarga Memecahkan Masalah Komunikasi Didalam Keluarga Sistem Keluarga.