TRANSFORMASI KADER.doc 29KB Jun 13 2011 06:28:06 AM

TRANSFORMASI KADER
MUHAMMADIYAH
Oleh Haedar Nashir
Di beberapa forum masih sering dipertanyakan bagaimana menempatkan atau
mentransformasikan kader Muhammadiyah di lingkungan. Termasuk di amal usaha
Muhammadiyah. Di kalangan orang-orang Muhammadiyah sendiri masih berkembang
tiga pandangan soal tersebut. Pandangan pertama, secara posisi-posisi di struktur
kelembagaan Muhammadiyah baik dalam kepemimpinan Persyarikatan maupun di
lingkungan amal usahanya haruslah diisi oleh kader Muhammadiyah yang jelas, lebih
spesifik lagi berasal dari kader Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) atau mereka
yang mengalami kaderisasi di Muhammadiyah.
Pandangan kedua menyatakan, struktur kepemimpinan atau pengelolaan di
lingkungan Persyarikatan maupun amal usahanya tidak harus dari AMM atau yang
pernah mengalami kaderisasi di Muhammadiyah, tetapi dari luar pun sejauh alam
pikirannya sama dengan Muhammadiyah maka dapat diterima dan dimasukkan ke
dalam struktur kelembagaan Muhammadiyah tersebut. Konsekuensinya, proporsi kader
Muhammadiyah yang menempati kepemimpinan Persyarikatan jauh lebih besar
ketimbang di amal usahanya.
Ada pula pendapat ketiga yang menyatakan bahwa kader itu tidak harus atau
tidak selalu harus masuk ke struktur kepemimpinan baik di Persyarikatan maupun di
amal usaha, yang paling utama ialag wujud pengabdiannya. Jika logika ini dipakai,

maka boleh jadi kepemimpinan strategis tidak akan dikuasai kader, dengan logika
bahwa “pengabdian” di mana pun jauh lebih utama daripada “berebut posisi”, sedang
posisi penting di Muhammadiyah dikuasai oleh mereka yang bukan kader. Padahal
sesungguhnya, harus sebanyak mungkin kader Muhammadiyah yang menguasai posisi
penting dan strategis di seluruh lingkungan struktur kelembagaan Persyarikatan,
termasuk di amal usaha, dengan catatan bahwa para kader itu sendiri dimobilisasi agar
memiliki kualitas yang standar bahkan unggul. Memang kadang muncul pencitraan
yang negatif tentang kader Muhammadiyah di amal usaha, seolah bebas hambatan,
padahal kenyataannya mereka pun berjuang dan bekerja secara objektif.

Transformasi kader ke struktur kelembagaan Persyarikatan tidak terlepas dari
proses penyiapan dan keberadaan kader itu sendiri. Jika kader Muhammadiyah
khususnya yang berasal dari AMM memiliki keunggulan standar, maka dengan
sendirinya akan berbanding lurus dengan proses transformasi kader di kepemimpinan
maupun amal usaha Muhammadiyah. Sebaliknya, tidak mungkin transformasi kader itu
berlangsung sukses manakala potensi dan keberadaan kader Muhammadiyah sendiri di
bawah standar, baik kuantitas lebih-lebih kualitas. Maka, sejak saat ini institusi-institusi
AMM dan kelembagaan lainnya di tubuh Persyarikatan –di bawah koordinasi MPKSDI
—harus melakukan usaha mobilisasi potensi secara tersistem dan serius untuk
kepentingan transformasi kader tersebut. Berbagai langkah dan jaringan kerja harus

ditempuh secara optimal. Manakala hal itu tidak dilakukan pada periode ini maka
masalah dan tantangan yang dihadapi baik dalam hal kaderisasi maupun transformasi
kader akan semakin berat. Dua sasaran perlu difokuskan, yaitu (a) penyiapan kader
kepemimpinan di lingkungan Persyarikatan, dan (2) penyiapan kader amal usaha dari
AMM secara terprogram. Dua agenda tersebut harus dibicarakan dan ditindak-lanjuti
secara sungguh-sungguh.
Transformasi kader di samping terkait dengan penyiapan potensi kader, pada saat
yang sama harus disertai dengan adanya political will dari seluruh lingkup
kepemimpinan Muhammadiyah baik di Persyarikatan maupun di lingkungan amal
usaha Muhammadiyah. Bahwa masa depan Muhammadiyah tergantung pada kadernya
yang harus memikul amanat dengan berbagai daya dukung yang optimal. Itikad politik
yang serius itu harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebijakan organisasi secara
sistemik, bukan sekadar kebaikan orang perorang yang kebetulan sedang memimpin
baik di kepemimpinan Persyarikatan maupun di amal usaha Muhammadiyah.
Kepentingan transformasi kader tersebut juga bukan dianggap sebagai beban tetapi
melekat sebagai kewajiban kepemimpinan dan organisasi. Namun, seringkali proses ke
arah penciptaan itikad politik itu tidaklah mudah dan datang dengan sendirinya, karena
itu harus selalu didorong dan dikritisi oleh seluruh komponen yang ada di lingkungan
Muhammadiyah. Bahwa siapapun yang diberi amanat memimpin Persyarikatan dan
amal usahanya, memiliki amanat atau kewajiban yang melekat untuk membuka dan

menjalankan transformasi kader.
Khusus di kalangan organisasi otonom AMM sendiri, yang dibutuhkan saat ini ialah
melakukan berbagai usaha serius untuk penyiapan kader-kader yang memiliki standar
bagi kepentingan Muhammadiyah. Diperlukan pula keteladanan dan bukti konkret dari
para kader dan elit AMM untuk menunjukkan diri bahwa mereka memang pantas
sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Slogan
tersebut bukan sesuatu yang klise, tetapi sebagai suatu komitmen kaderisasi bagi
kelangsungan Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya revitalisasi di tubuh AMM
sebagai basis penyiapan diri. Selain itu, tidak kalah pentingnya membangun kesadaran
dan solidaritas kolektif yang lebih solid, bukan berjalan sendiri-sendiri dengan saling
menegasikan hanya karena ingin serba bertindak “rasional-objektif” sebagaimana
“watak” orang Muhammadiyah.
Beberapa model dapat dikembangkan dalam proses transformasi kader di tubuh
Persyarikatan termasuk di amal usaha yaitu antara lain: (a) model otoritas, yaitu
penempatan kader secara legal-institusional berdasarkan kebijakan organisasi secara

tersistem, (b) model penokohan, yaitu secara berproses menaikkan reputasi kader
sehingga memperoleh percepatan dalam menempati posisi dan peran penting di struktur
organisasi, (c) model pelibatan aktivitas, yaitu menempatkan kader dalam berbagai
kegiatan dan jalur kelembagaan sehingga secara berproses menjadi lebih siap dalam

menempati posisi tertentu, (d) model informal, yaitu melibatkan kader melalui “dzawil
qurba” yang tentu harus terkait dengan sistem kelembagaan.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002