ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TEHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI

(1)

commit to user

i

PENULISAN HUKUM (SKRIPSI)

ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TEHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN

FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI (STUDI PUTUSAN MA NO. 1256 K./Pid/2000).

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

INTAN ARISTA AYU WIDYA SARI NIM : E1107167

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TERHADAP

WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI

(Studi Putusan MA No. 1256.K/Pid/2000)

Oleh

Intan Arista Ayu Widya Sari E1107167

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Maret 2011 Dosen Pembimbing Skripsi

BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum. NIP.19620209198903100


(3)

commit to user

iii

Moh. Jamin, S.H.,M.Hum NIP : 196109301986011001


(4)

commit to user

MOTTO

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”

(Filipi 4 : 6)

”Apapun yang Anda bisa lakukan, atau yang Anda mimpi bisa lakukan, mulailah melakukannya. Keberanian mengandung jenius, kekuatan dan keajaiban di dalamnya”

(Goethe)

“Bila kita benar- benar mencintai dan menerima serta mengakui diri kita apa adanya, maka semua dalam kehidupan ini akan berhasil”

(Louise Hay)

“Tidak ada kesalahan, tidak ada kebetulan. Semua peristiwa adalah berkat yang diberikan kepada kita agar kita bisa belajar darinya”

(Elisabeth Kubler-Ross)

“Yang kita sebut hasil adalah awal mula sesuatu” (Ralph Waldo Emerson)


(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada :

1. Allah SWT Sang Pencipta Alam Semesta atas segala karunia, rahmat, dan nikmat yang telah diberikan-Nya

2.Kedua orang tuaku tercinta Bapak Joko Triantoro Soekarno dan Ibu Yuni Harwati atas segala doa, bimbingan, nasehat, kehangatan cinta dan kasih sayang yang senantiasa tercurahkan untukku.

3. Bapak Suratno dan Ibu Gayatri selaku orang tua yang memberikan bimbingan dan segala kasih sayang sehingga dapat terselesaikan tanggungjawab ini..

4. Souki Aditya Pratama Kesdu atas segala cinta, kasih sayang, doa, semangat, dan pengorbanan yang senantiasa diberikan untukku.

5. Adikku tercinta Michael Risky Saputro dan Bagus Ilham atas semangat dan keceriaannya. 6. Seluruh keluarga besar Soekarno dan Keluarga Besar Soeyoto atas dukungan dan


(6)

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Intan Arista Ayu Widya Sari NIM : E1107167

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul ANALISIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI (Studi Putusan MA No. 1256.K/Pid/2000) adalah betul- betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 17 Maret 2011 Yang membuat pernyataan

Intan Arista Ayu Widyasari NIM. E1107167


(7)

commit to user

vii ABSTRAK

Intan Arista Ayu Widya Sari, E 1107167. ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TEHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI (STUDI PUTUSAN MA NO. 1256 K./Pid/2000)., FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET. SURAKARTA. PENULISAN HUKUM (SKRIPSI).2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengajuan Upaya hukum Kasasi terhadap putusan praperadilan, bagaimana penangkapan yang sah menurut KUHAP apabila terdakwa berada di luar wilayah Republik Indonesia, dan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan Pengajuan Kasasi terhadap putusan praperadilan tentang legalitas penangkapan tersebut dan cara penyelesainnya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum doktrinal atau normatif. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer, data sekunder dan data tersier. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu studi kepustakaan baik berupa putusan, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan dokumen-dokumen. Analisis data menggunakan analisis data deduktif.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Pengajuan kasasi yang dilakukan oleh Pemohon kasasi (Kepolisian Republik Indonesia Cq. KORPS Reserse Polri Direktorat Reserse Ekonomi) terhadap putusan Praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan di tingkat Mahkamah Agung adalah sesuatu hal yang keliru. Karena melanggar ketentuan pasal 83 ayat (1) KUHAP. Namun dalam kenyataannya pengawasan horizontal tidak dilaksanakan dengan baik, maka menimbulkan kerancuan karena tidak adanya kepastian hukum. Bahwa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan adalah didasarkan pada ketentuan pasal 88 dan pasal 244 KUHAP. Sehingga dalam perkara a quo ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi meskipun harus mennyimpang dari ketentuan perundang- undangan yang mengatur mengenai tidak dapat diajukannya kasasi.


(8)

commit to user

ABSTRACT

Intan Arista Ayu Widya Sari, E1107167. A JURIDICAL ANALYSIS ON THE APPEAL TO SUPREME COURT on the pre-trial verdict about the legality of arrest against Indonesian citizen by Australian federal police officer on the behalf of Indonesian police officer (A STUDY ON Supreme court’s VERDICT No. 1256 K/Pid/2000). Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Surakarta. Law Writing (Thesis). 2011.

This research aims to find out the appeal to Supreme Court on the pre-trial verdict, what the legal arrest is according to KUHAP when the defendant is outside Republic of Indonesia’s area, and to find out the problems arising relating to the appeal to Supreme Court on the pre-trial verdict about the legality of arrest and the way of coping with them.

This study belongs to a descriptive research and viewed from the objective, belongs to a doctrinal or normative law research. The data type used included primary, secondary, and tertiary data. Technique of collecting data used was library study in the form of verdicts, books, legislation and documents. The data analysis was done using deductive data analysis.

Considering the research, it can be found that the appeal to Supreme Court by the Applicant (Republic of Indonesia’s Public Officer Cq. Economic Detective Directorate of Detective KORPS of Republic of Indonesia’s Public Officer) on the pretrial verdict about whether or not the arrest at the Supreme Court level is legal is something work. It is because it strikes the provision of Article 83 clause (1) of KUHAP. However, in fact, the horizontal supervision is not implemented well, thereby resulting in confusing because there is no law certainty. The Supreme Court Judge’s rationale in hearing and sentencing the appeal to Supreme Court on the pretrial verdict about whether or not the arrest is legal is the provision of Articles 88 and 244 of KUHAP. Thus in this a quo case the Supreme Court grants the appeal to Supreme Court from the applicant despite violation of legislation governing the appeal to Supreme Court application.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT, atas limpahan berupa ilmu pengetahuan dan ijin-Nya, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan penulisan hukum dengan judul ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI (Studi Putusan MA No. 1256.K/Pid/2000) ini tepat sesuai waktu yang telah direncanakan.

Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta..

Tentunya selama penyusunan penulisan hukum ini, maupun selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, tidak sedikit bantuan yang penulis terima baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini ijinkan penulis menghaturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

2. Bapak Edy Herdyanto, SH.MH., selaku Ketua Bagian Hukum Acara. 3. Bapak Bambang Santosa, S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing Penulisan

Hukum penulis. Terima kasih atas kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan sehingga penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

4. Ibu Th. Kussunaryatun, S.H., MH. selaku pembimbing akademik penulis. 5. Bapak Harjono, S.H.,M.H., selaku ketua Program Nonreguler Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis


(10)

commit to user

selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta.

8. Bapak Joko Triantoro dan Ibu Yuni Harwati, orang tuaku yang telah memberikanku doa, cinta, kasih sayang dan ridho yang menjadi kekuatan dan bekal dalam menjalankan kehidupan ini.

9. Michael Rizky Saputro, adikku yang membuat hidup penulis berarti. 10. Souki Aditya, yang telah memberikan motivasi dan menemani penulis

dalam menyelesaikan kewajiban.

11. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis.

12. Teman-teman Angkatan 2007 Non Reguler, teman-teman kuliah (Ninik, Sry, Dewi, Lulu, Pondra, Reshan, Ucil, Dimas) terimakasih atas setiap waktu yang kita habiskan bersama, dan semua pihak yang membantu dalam penulisan huku

Penulis sadari bahwa penulisan hukum ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat terbuka akan segala sumbang saran dan kritik yang bersifat membangun.

Semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.

Surakarta, 17 Maret 2011


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Sistematika Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritik ... 10

1. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan ... 10

a) Tinjauan Umum Tentang Pengertian Praperadilan ... 10

b) Tinjauan Umum Tentang wewenang praperadilan ... 13

c) Tinjauan Umum Tentang alasan dan pihak yang mengajukan praperadilan ... 16

d) Tinjauan tentang acara praperadilan ... 18

2. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan ... 20

a) Tinjauan Umum Tentang pengertian penangkapan ... 20

b) Tinjauan Umum Tentang tata cara penangkapan ... 21

3. Tinjauan Umum Tentang Kasasi ... 22


(12)

commit to user

b) Tinjauan Umum Tentang alasan mengajukan kasasi ... 23

c) Tinjauan Umum Tentang Tata Cara Mengajukan Kasasi .. 24

B. Kerangka Pemikiran ... 27

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Pengajuan Kasasi Terhadap Putusa Praperadilan Tentang Legalitas Penangkapan yang Dilakukan Oleh Kepolisian Federal Australia atas Permintaann Polri ... 29

1. Kasus Posisi ... 29

2. Identitas Permohon dan Termohon Praperadilan ... 30

3. Alasan Permohonan Praperadilan ... 30

4. Isi Permohonan Praperadilan ... 32

5. Eksepsi Termohon Praperadilan ... 33

6. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 35

7. Alasan Pengajuan Kasasi ... 37

8. Pembahasan... 46

B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung terhadap Alasan Pengajuan Kasasi Terhadap Putusa Praperadilan Tentang Legalitas Penangkapan yang Dilakukan Oleh Kepolisian Federal Australia atas Permintaan Polri ... 56

1. Pertimbangan ... 56

2. Amar Putusan Kasasi ... 59

3. Pembahasan... 60

BAB IV. PENUTUP A. Simpulan ... 62

B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan, yang dipertegas di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara hukum bertujuan menciptakan adanya keamanan dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta menghendaki agar hukum ditegakkan, dalam artian hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa kecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum, maupun oleh penguasa negara, sehingga segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum. Etika dan moral yang baik juga harus dijunjung tinggi baik oleh masyarakat maupun penegak hukum. Hal itu untuk menghindarkan nada yang sinis atau meremehkan aparat penegak hukum, khusus lembaganya karena lembaga tersebut juga miliknya.

Penegakan hukum di Indonesia haruslah sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945, Pancasila dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana supaya tercapai keadilan dalam menjalankannya. Oleh karena itu, dalam pengungkapan suatu tindak pidana tidak secara langsung memberikan kesimpulan mengenai tindak pidana yang terjadi tetapi tahap yang harus dilakukan adalah pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.

Dalam pemeriksaan suatu tindak pidana yang menjadi tujuan pokok dari pemeriksaan tersebut adalah mencari kebenaran materiil dari suatu tindak pidana untuk menemukan siapa pelakunya, bagaimana motifnya, alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dengan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana akan terwujud suatu ketertiban dan kepastian hukum. Untuk kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana tersebut, undang-undang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan

tindakan-tindakan yang dianggap dapat membantu dalam melakukan


(14)

yang dilakukan mengurangi pelaksanaan hak asasi manusia yang kemudian dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bentuk dari tindakan tersebut adalah upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.

Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga pra peradilan yang diatur dalam KUHAP. Pra peradilan merupakan lembaga baru yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR, lahir dari pemikiran untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Pra peradilan dilakukan dengan maksud dan tujuan yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, demi terlaksananya pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya.

Tindakan upaya paksa yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang, karena melanggar hak asasi yang dimiliki oleh seseorang sekalipun dia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana (Yahya Harahap 2002:3). Untuk itu diperlukan lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada tersangka. Pra peradilan dibentuk sebagai sarana pengontrol tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dengan adanya pra peradilan, aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa terhadap seorang tersangka tetap berdasarkan undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum.

Di dalam pra peradilan, pejabat yang melakukan penahanan atas diri tersangka ataupun terdakwa baik polisi maupun jaksa harus bisa membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya


(15)

benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal inilah yang membedakan KUHAP dengan masa berlakunya HIR dimana pada waktu itu tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik terhadap seorang tersangka tidak terawasi secara maksimal sehingga dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari aparat penyidik. Untuk itu dibentuk lembaga pra peradilan yang berwenang melakukan penilaian dan pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik.

Hal ini sangat berkaitan erat dengan adanya penangakapan yang dilakukan oleh seorang penyidik terhadap pelaku tindak pidana. Penangkapan dilakukan dalam waktu yang tidak panjang dimana penangkapan berakhir pada saat seorang pelaku tindak pidana tersebut telah dibawa ke kantor polisi atau penyidikan. Sehingga perlunya lembaga pra peradilan untuk mengurangi adanya penyalah gunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memeriksa, melakukan upaya paksa terhadap pelaku tindak pidana.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dalam rangka penulisan skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS

PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TEHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA DALAM ATAS PERMINTAAN POLRI (STUDI PUTUSAN MA NO. 1256 K./Pid/2000).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi alasan pengajuan kasasi terhadap putusan pra peradilan tentang legalitas penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia atas permintaan Polri.

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap pengajuan kasasi terhadap putusan pra peradilan tentang legalitas penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia atas permintaan Polri.


(16)

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui implementasi penerapan praperadilan didalam proses penegakan hukum di Indonesia.

b. Untuk mengetahui kemungkinan diajukannya upaya hukum biasa bagi putusan pra peradilan.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan

hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

b. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti

penting ilmu hukum dalam teori dan praktek.

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum. Memberikan masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan pra peradilan.

b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta

menambah pengetahuan tentang Hukum Acara pidana

c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya, disamping itu sebagai pedoman bagi penelitian yang lain.


(17)

a. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian.

b. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.

E. METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Berdasarkan pada masalah yang diajukan, maka penulis di dalam penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian doktrinal atau normatif, yaitu jenis penelitian yang bertumpu pada sumber data sekunder sebagai rujukan utama untuk merumuskan hasil penelitian serta menarik kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. “Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru.” (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47)

Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini, Penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang pengajuan kasasi terhadap putusan praperadilan.


(18)

c. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-undangan, seperti KUHAP dan peraturan perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti putusan, dan tulisan-tulisan ilmiah dan sumber-sumber tertulis lainnya,buku-buku, literatur, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang.

d. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian normatif yaitu sumber data sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Data Primer

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah dasar (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13), meliputi :

a. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

b. Putusan Mahkamah Agung NO. 1256 K./Pid/2000

2. Data Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan penelitian atau


(19)

membahas tentang lembaga pra peradilan beserta upaya paksa yang dilakukan sebagai tugas dari lembaga praperadilan.

3. Data Tersier

Bahan- bahan hukum yang menunjang bahan hukum primr dan bahan hukum sekunder yang berupa pengertian-pengertian yang diperoleh dari bahan dari internet.

e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan klasifikasi golongannya. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah: Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet.

f. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, lembaga praperadilan akan dianalisis dengan dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui alasan pengajuan kasasi terhadap putusan lembaga praperadilan itu sendiri.


(20)

Metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai tinjauan umum tentang Pra Peradilan meliputi, pengertian, wewenang, alasan Pra peradilan. Kedua, tinjauan umum tentang penangkapan yang meliputi alasan dan tata cara penangkapan. Ketiga, tinjauan umum tentang upaya hukum kasasi yang meliputi alasan pengajuan kasasi dan tata cara pengajuan kasasi .


(21)

Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang . alasan alasan hukum pengajuan kasasi terhadap putusan lembaga pra peradilan atas upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pengajuan kasasi tersebut sesuai dengan asas penyelesaian perkara dipengadilan yaitu sederhana,cepat, dan biaya murah.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teori

a. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan 1) Pengertian Praperadilan

Istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “pra peradilan'' maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “pra peradilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. )

Di negeri Belanda disebut dengan hakim komisaris (Rechter

commissaris) dan Judge d' Instruction di Francis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.

Di dalam KUHAP sendiri terdapat beberapa pasal yang memberikan definisi tentang praperadilan, antara lain menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.


(23)

Tugas pra peradilan di Indonesia terbatas dalam Pasal 78 yang berhubungan dengan Pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut :

(1) Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

(2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan adalah praperadilan. Pra peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Dalam Pasal 79, 80. 81 diperinci tugas pra peradilan itu yang meliputi tiga hal pokok. yaitu sebagai berikut :

(a)Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

(b)Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

(c)Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Dalam penjelasan undang-undang, hanya Pasal 80 yang diberi komentar, yaitu bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

Pra peradilan merupakan tugas tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus


(24)

perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik (Yahya Harahap, 2002:2).

Tujuan utama pelembagaan pra peradilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang

Sehingga dapat disimpulkan bahwa praperadilan dibentuk dengan tujuan sebagai sarana pengontrol tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dengan adanya pra peradilan, aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa terhadap seorang tersangka tetap berdasarkan undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum.

Tujuan pra peradilan seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.

Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.


(25)

Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun. HIR tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan koreksi.

Bertahun-tahun pun tersangka ditahan, dianggap lumrah dan tersangka tidak mempunyai daya untuk mengadukan nasibnya kepada siapapun, karena HIR tidak memiliki lembaga yang berwenang untuk menguji sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka. Berpijak dari pengalaman suram di masa HIR, pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian dan pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama pemeriksaan berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan.

2) Wewenang Pra Peradilan

Lembaga praperadilan ini diberi wewenang berdasarkan undang-undang, antara lain sebagai berikut:

a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan.

Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada praperadilan. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada lembaga pra peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Kriteria suatu penangkapan dianggap tidak sah antara lain:


(26)

i. Apabila dalam melakukan penangkapan, seorang penyidik tidak menyertakan surat tugas dan surat perintah penangkapan untuk diperlihatkan kepada tersangka, selain itu jika tembusan surat penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarganya.

ii. Apabila batas waktu penangkapan lewat satu hari maka dapat dimintakan pemeriksaan kepada praperadilan.

Seperti halnya penangkapan dan penahanan, penggeledahan dan penyitaan juga termasuk tindakan upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dalam melaksanakan fungsi pra peradilan dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik harus dilaksanakan menurut aturan undang-undang yang berlaku agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat yang berujung pelanggaran hak asasi dari seseorang. Menurut Pasal 37 dan Pasal 38 KUHAP, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Menurut ketentuan Pasal 80 KUHAP, penyidik atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan. Penyidik maupun penuntut umum memiliki wewenang untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan

dilakukannya penghentian penyidikan dan penghentian

penuntutan:

(1) Tidak terdapat cukup bukti,

(2) Peristiwa tersebut tidak termasuk kejahatan atau pelanggaran tindak pidana


(27)

(3) Nebis in idem karena ternyata apa yang disangkakankepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Kadaluarsa untuk menuntut

c. Memeriksa tuntutan ganti kerugian

Ganti kerugian menurut Andi Hamzah, merupakan hak keperdataan yang dilanggar dalam rangka melaksanakan hukum acara pidana oleh pejabat negara. Pelaksanaan yang salah itu berupa salah menangkap, menahan, mengadili dan tindakan lain, kekeliruan mengenai orang dan kekeliruan dalam menerapkan hukum

Berdasarkan pada Pasal 95 ayat (1) dan (2) KUHAP lembaga pra peradilan memiliki wewenang untuk memeriksa tuntutan ganti kerugian yang antara lain :

i). Tersangka ataupun terdakwa berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan :

1) Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah; 2) Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang

bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;

3) Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.

ii). Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana


(28)

dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputuskan di sidang pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

d. Memeriksa permintaan rehabilitasi

Pra peradilan berwenang memeriksa dan memutus

permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.

Dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP dijelaskan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputuskan bebas atau diputuskan lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang kemudian dicantumkan dalam putusan pengadilan tersebut di atas. Dengan adanya rehabilitasi, diharapkan dapat membersihkan nama baik, harkat dan martabat tersangka atau terdakwa dan keluarganya di mata masyarakat.

3) Alasan dan Pihak Yang Mengajukan Pra Peradilan

Dalam mengajukan permohonan praperadilan tentang sah tidaknya tindakan dari aparat penegak hukum kepada pra peradilan, tentunya harus memiliki alasan-alasan yang kuat dari pihak yang memohon. Untuk itu dalam KUHAP telah mengatur siapa-siapa saja yang berhak mengajukan permohonan kepada pra peradilan serta alasan-alasannya, yaitu:

(a) Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya

Dalam Pasal 79 KUHAP disebutkan bahwa tersangka, keluarga dan kuasa hukumnya berhak mengajukan pemeriksaan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan kepada Ketua


(29)

Pengadilan Negeri. Menurut pasal ini yang dapat diajukan kepada pra peradilan hanyalah masalah penangkapan dan penahanan sedangkan upaya lain seperti penggeledahan dan penyitaan tidak disebutkan secara langsung.

(b) Penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Seperti dijelaskan sebelumnya salah satu wewenang praperadilan adalah memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum.

Apabila dalam suatu perkara pidana seorang penyidik

menghentikan penyidikan tanpa alasan yang dibenarkan oleh undang-undang, maka penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan berhak melaporkan kepada pra peradilan. Hal ini telah sesuai dengan prinsip saling mengawasi antar instansi penegak hukum, tetapi timbul masalah bagaimana seandainya penuntut umum tetap menerima alasan yang diberikan penyidik terhadap penghentian penyidikan ini walaupun sebenarnya alasan yang diberikan tidak sesuai undang-undang.

(c) Tersangka, ahli warisnya dan kuasa hukumnya

Ahli waris dari tersangka pun dapat mengajukan permohonan pra peradilan dalam hal ini mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pra peradilan selain permohonan yang dapat diajukan oleh tersangka dan/atau kuasa hukumnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 95 ayat (2) KUHAP: Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.


(30)

(d) Tersangka atau pihak yang berkepentingan menuntut ganti rugi Dijelaskan dalam Pasal 81 KUHAP yaitu permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.

Putusan pengadilan menganggap penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan sah maka hal tersebut dapat menjadi alasan diajukannya tuntutan ganti kerugian kepada pra peradilan oleh tersangka atau pihak yang berkepentingan (Yahya Harahap, 2002:10).

4) Acara Pra Peradilan

Acara pra peradilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut :

a) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;

b) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat


(31)

pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;

c) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

d) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur; e) Putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup

kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Pra Peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP); f) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam

ketiga hal tersebut di atas harus memuat harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP). Oleh karena itu putusan hakim haruslah memuat;

(i) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu

penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.

(ii) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu

penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.

(iii) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan


(32)

tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.

(iv) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantukan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

b. Tinjauan Umum tentang Penangkapan 1) Pengertian Penangkapan

Sering dikacaukan pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris), sedangkan penahanan sejajar dengan detention (Inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.

Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi “penangkapan” sebagai berikut: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Kalau definisi ini dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur tentang penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16 mengatakan sebagai berikut :

1. Untuk kepentingan penyelidikan. penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.


(33)

pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Tidak cocok karena ternyata bukan saja penyidik (menurut definisi) tetapi juga penyelidik dapat melakukan penangkapan. Bahkan setiap orang dalam hal tertangkap tangan dapat melakukan penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk kepentingan penyidikan tetapi juga untuk kepentingan penyelidikan.

2) Tata Cara Penangkapan

Aspek pembahasan mengenai penangkapan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang haruslah sesuai dengan syarat- syarat yang telah diatur dalam Pasal 18 KUHAP tentang penangkapan yang antara lain:

a) Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh kepolisian negara RI Dari ketentuan ini, sudah jelas petugas mana yang boleh melakukan penangkapan, kecuali berdasar Pasal 284 ayat (2) jaksa penuntut umum yang berkedudukan sebagai penyidik dapat melakukan penangkapan. Selain itu, berdasarkan Pasal 111 dalam hal tertangkap tangan ”setiap orang berhak” melakukan penangkapan, dan bagi orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan ”wajib” menangkap tersangka.

b) Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa ”surat tugas penangkapan”

Dalam suatu penangkapan, surat tugas merupakan syarat yang formal yang bersifat ”imperatif” sehingga harus dipenuhi oleh petugas yang melakukan penangkapan agar tidak terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, demi tegaknya kepastian serta menghindari penyalahgunaan jabatan ataupun untuk menjaga ketertiban masyarakat dari pihak yang beritikad buruk,


(34)

penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati.

c) Petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan

Surat perintah penangkapan tersebut memberi penjelasan dan penegasan tentang :

i. Identitas tersangka, nama, umur dan tempat tinggal

Jika ternyata identitas yang diterangkan dalam surat perintah penangkapan tidak sesuai bisa dianggap surat perintah itu ”tidak berlaku” terhadap orang yang didatangi petugas.

ii. Menjelaskan atau menyebut secara singkat alasan

penangkapan

iii. Menjelaskan uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka

iv. Selanjutnya menyebut dengan terang di tempat mana pemeriksaan dilakukan.

Selain itu, diingatkan kembali Pasal 18 ayat (2) dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakuakn terhadap tersangka ”tanpa surat perintah” penangkapan, dengan syarat harus segera menyerahkan yang tertangkap tangan kepada penyidik maupun penyidik pembantu yang terdekat. Berdasarkan Pasal 18 ayat 3, pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga haruslah diberikan secara tertulis, apabila diberikan secara lisan maka pemberitahuan itu dianggap tidak sah dan pihak keluarga dapat mengajukan pemeriksaan kepada lembaga pra peradilan tentang ketidakabsahan penangkapan tersebut serta sekaligus dapat menuntut ganti kerugian.

c. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi 1) Pengertian Kasasi

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Francis. Kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan


(35)

demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Francis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.

Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simons yang mengatakan jika hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim

pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah

membebaskan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

2) Alasan Mengajukan Kasasi

Dalam UUPKK pada Pasal 23 ayat (I) dikatakan sebagai berikut : “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu. juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Sehingga sesuai undang- undang tersebut terdapat tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu :

(a) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);

(b) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;


(36)

(c) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Berdasarkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar suatu putusan pengadilan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Menurut Oemar Seno Adji, berhubung dengan inilah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 25 November 1974, No. M.A/Pemb/1154/74, yang mulai dengan suatu konstatasi, bahwa putusan-putusan pengadilan negeri/ pengadilan tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang-undang (dalam hal ini khususnya Pasal 23 ayat (I) UUPKK) tidak atau kurang adanya pertimbangan/alasan-alasan ataupun pertimbangan/alasan-alasan-pertimbangan/alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzu). Oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.

3) Tata Cara Mengajukan Kasasi

Dalam KUHAP tidak diperinci mengenai bagaimana tatacara pengajuan kasasi. Pada umumnya hanya diatur tentang tata cara mengajukan kasasi, dan pada. Pasal 253 ayat (1) KUHAP diatur secara singkat alasan mengajukan kasasi sebagai berikut : “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan :

i. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

ii. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;


(37)

wewenangnya.”

Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, misalnya pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang-undang. Mengenai hal hakim melampaui wewenangnya, lihat uraian di muka tentang pengertian luas dan sempit.

Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika :

a) putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP). Senada dengan ini putusan Mahkamah Agung tanggal 19 September 1956 No. 70/Kr/1956. Mengenai putusan bebas tidak murni, lihat uraian di muka pada bagian banding;

b) melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu empat belas had sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP). Senada dengan itu, putusan Mahkamah Agung tanggal 12 September 1974 No. 521/K/Kr/1975;

c) sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP);

d) pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari sesudah mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan (4) KUHAP);


(38)

Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.

Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh KUHAP tersebut, juga perlu ditinjau yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan kasasi seperti :

1. permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus

(putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958 No. 117 K/Kr/1958);

2. permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir pengadilan tinggi (putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1958 No. 66K/Kr/1958);

3. permohonan kasasi terhadap putusan sela (putusan

Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1958 No. 320 K/Kr/1957);

4. permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat berwenang (putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 1961 No. 137 K/Kr/1961).

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan kasasi ini ialah tidak diaturnya oleh KUHAP peranan Jaksa Agung di dalamnya. Padahal menurut tujuan. kasasi itu untuk mencapai kesatuan peradilan dan untuk penerapan undang-undang setepat-tepatnya, dan oleh karena itu posisi penuntut umum sangat penting pula dalam kasasi.Di negeri Belanda peranan Jaksa Agung (Procureur Generaal) sangat penting dalam pemeriksaan kasasi melalui jalur konklusi yang diajukannya. Dialah yang terakhir didengar, dan terdakwa (terpidana) atau penasihat hukumnya tidak lagi didengar pendapatnya. Di dalam pemeriksaan kasasi Jaksa Agung tidak merupakan pihak. Oemar Seno Adji pun mengusulkan agar posisi Jaksa Agung dalam pemeriksaan kasasi diperhatikan, terutama dalam menyusun peraturan pelaksanaan KUHAP.


(39)

2. Kerangka Pemikiran

Keterangan Kerangka Pemikiran :

Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) merupakan norma hukum tertulis yang dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum. Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberiksan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada prinsipnya merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia. Bentuk dari tindakan tersebut adalah upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Dalam menjalankan tugasnya, aparat penegak hukum tidak

Penangkapan yang dilakukan oleh lembaga

praperadilan Penegakan Hukum

Penggunaan Upaya Paksa

Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Pra

Peradilan Pengawasan

Horizontal

Abuse of power Pemeriksaan oleh Lembaga Pra

Peradilan UU No.8 Tahun 1981

(Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)


(40)

terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga pra peradilan yang diatur dalam KUHAP. Pra Peradilan merupakan lembaga baru yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR, lahir dari pemikiran untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Untuk itu selain adanya pengawasan yang bersifat internal dalam perangkat aparat itu sendiri (vertikal), juga dibutuhkan suatu pengawasan silang antara sesama penegak hukum (horizontal.

Setiap putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan haruslah mencantumkan keterangan dan alasan- alasan dijatuhkannya putusan tersebut apabila salah satu pihak merasa tidak dipuaskan dengan putusan tersebut maka pihak itu dapat mengajukan upaya hukum dari banding hingga ke peninjauan kembali yang diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya hingga ahli warisnya sekalipun.


(41)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Legalitas Penangkapan yang Dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia Atas Permintaan Polri.

1. Kasus Posisi

Seorang bernama Hendra Rahardja dilaporkan oleh Drs. Mustaharai Sembiring selaku anggota Polri dalam kasus tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang- Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Tetapi bukti- bukti yang diajukan oleh Pelapor kurang jelas. Tersangka kemudian ditangkap oleh Kepolisian Federal Australia dimana Tersangka merasa tidak pernah mendapatkan surat pemanggilan untuk

penangkapan tersebut sehingga Tersangka mengajukan permohonan

praperadilan tentang legalitas penangkapan dan penahanannya. Kemudian

berdasar keterangan tersangka, lembaga praperadilan mengabulkan

permohonan tersebut yang menyatakan bahwa Termohon Pra Peradilan harus membebaskan Pemohon Pra Peradilan dan melakukan ganti rugi serta rehabilitasi kepada Pemohon Pra Peradilan.

Termohon Pra Peradilan merasakan ada kejanggalan dalam putusan yang dijatuhkan oleh Pegadilan Negeri Jakarta Selatan. Tentang amar putusan yang dibacakan dan dijatuhkan tidak ada kesesuaian, dalam menjatuhkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menyebutkan dasar alasan yang jelas sehingga hal tersebut mendorong Termohon Praperadilan untuk mengajukan upaya hukum kasasi. Dalam putusan tingkat kasasi Pemohon kasasi/ Termohon Praperadilan dikuatkan posisinya oleh Mahkamah Agung dimana dalam amar putusannya mengabulkan pengajuan kasasi tersebut, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tingkat pertama serta membebankan Termohon Kasasi/ Pemohon Praperadilan untuk membayar biaya perkara.


(42)

2. Identitas Pemohon dan Termohon Pra Peradilan

a. Identitas Pemohon

Nama : Hendra Rahardja

Pekerjaan : Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa

b. Identitas Termohon

Nama : Drs. Mustaharai Sembiring

Selaku penyidik dari kepolisian, yaitu :

KEPOLISIAN NEGARA RI Cq. KORPS RESERSE POLRI

DIREKTORAT RESERSE EKONOMI

3. Alasan Permohonan Pra Peradilan

Pemohon/ Tersangka mengajukan permohonan pemeriksaan

Praperadilan terhadap Termohon dengan alasan sebagai berikut:

Bahwa pada tanggal 3 Juli 1998, Drs. Mustahari Sembiring, pekerjaan:

Anggota Polri, telah membuat laporan Polisi No.Pol.

LP/182/VII/1998/Serse.Ek, dengan tindak pidana yang dilaporkan adalah tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang- Undang No. 7 Tahun 1982 tentang perbankan jo. Pasal 55 dan 86 KUHP :

Bahwa laporan Polisi tersebut menyatakan nama- nama tersangka adalah : 1) Hendra Rahardja (Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa) 2) Eko Edi Putranto ( Komisaris Bank Harapan Sentosa) 3) Andre Widijanto (Pemilik Perusahaan terkait)

4) Ny. Sherly Kojonglan ( Pemilik Perusahaan terkait)

5) Hendro Suweno (Direksi Perusahaan Group) (bukti PR-1) :

Bahwa laporan pidana tersebut dibuat oleh Anggota Polri sendiri, saksi korban dalam dugaan tindak pidana tersebut tidak jelas;

Bahwa Pemohon tidak pernah menerima maupun diberitahukan tentang adanya laporan Polisi dengan tersangka Pemohon, serta panggilan untuk diminta keterangan atas adanya laporan Polisi tersebut;


(43)

Bahwa dengan demikian dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan No.Pol.SPP/R/69-M/VIII/Ditserse.Ek, pada tanggal 10 Agustus 1998 terhadap Pemohon, sangat tidak berdasar hukum dan karenanya surat perintah penangkapan tersebut tidak sah ;

Bahwa pada tanggal 23 Ferbruari 1999, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menyatakan berkas perkara atas nama tersangka Drs. Andre Widijanti dan kawan- kawan yang dilimpahkan oleh Mabes Polri dinyatakan belum lengkap (bukti P.2);

Bahwa pada tanggal 13 April 1999, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyampaikan Surat kepada Dankorserse Polri, mengenai pemeriksaan optimal oleh Mabes Polri dan perintah untuk menyerahkan berkas perkara dan tersangka agar Kejati dapat melakukan pemeriksaan tambahan (bukti P.3);

Bahwa Pemohon pada tanggal 1 Juni 1999, telah ditangkap dan dibawa ke Police Station di Sydney dengan didasarkan pada foto copy dari Interpol Red Notice dengan tanda “A1” yang isinya mengenai pemberitahuan telah dikeluarkannya surat penangkapan terhadap Pemohon oleh anggota Polisi Federal Australia. Salah seorang anggota Polisi Federal Australia bernama Rod Wissam pada tanggal 1 Juni 1999 membuat affidavit yang isinya meminta dikeluarkannya surat penahanan sementara terhadap Pemohon Affidavit oleh anggota Polisi Federal Australia jelas tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, karenanya affidavit tersebut mohon dinyatakan tidak sah ;

Berdasarkan uraian di atas, terbukti penangkapan Pemohon pada tanggal 1 Juni 1999 tidak berdasar hukum, demikian pula penahanan terhadap Pemohon juga tidak berdasar hukum, karenanya penahanan tersebut haruslah dinyatakan tidak sah ;

Bahwa berdasarkan pasal 20 KUHAP, jangka waktu untuk penangkapan adalah 24jam, akan tetapi terbukti Pemohon sampai dengan tanggal 3 Juni 1999 masih ditahan di Police Station di Sydney dan pada tanggal 4 Juni 1999 baru dipindahkan dari Police Station di Sydney ke penjara Silverwater di Sydney sampai dengan sekarang tanpa dasar dan alasan yang sah. Sesuai


(44)

dengan pasal 20 jo pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Penyidik hanya berwenang untuk melakukan penahanan untuk waktu 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk selama 40 hari. Sesuai dengan pasal 24 ayat (4) KUHAP, maka setelah enam puluh hari tersebut. Penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum ;

Bahwa berdasarkan fakta di atas, terbukti bahwa Surat Perintah Penangkapan No.Pol. SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse.Ek. tertanggal 18 Juni 1999 atas nama Pemohon tidak berdasar hukum, sehingga surat penangkapan tersebut tidak sah, karenanya Pemohon harus segera dikeluarkan dari penjara Silverwater ;

Terbukti baik keluarga Pemohon maupun kuasanya, tidak pernah menerima pemberitahuan tentang penangkapan terhadap diri Pemohon dari Termohon sebagaimana disyaratkan pasal 21 ayat (3) jo pasal 18 ayat (3) KUHAP. Berdasarkan dalil di atas maka Pemohon harus segera dikeluarkan dari tahanan demi hukum ;

Bahwa adalah fakta Pemohon sudah berada di luar Negeri untuk berobat,

jauh hari sebelumnya adanya laporan Polisi No.Pol.

LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tanggal 3 Juli 1998 ;

Bahwa berdasarkan pasal 81 KUHAP, terhadap tidak sahnya penangkapan dan penahanan dapat dimintakan ganti rugi dan rehabilitasi. Oleh karena itu, dengan adanya surat perintah penangkapan yang tidak sah dan sampai saat ini Pemohon harus berada di tahanan Silverwater, Sydney telah sangat merugikan Pemohon. Untuk itu Pemohon minta agar Termohon membayar ganti rugi sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) segera setelah putusan dalam perkara ini dibacakan dan termohon dihukum merehabilitasi nama baik Pemohon ;

4. Isi Permohonan Pra peradilan

Bahwa berdasarkan uraian kasus diatas, Pemohon mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan putusan sebagai berikut :


(45)

a. Menerima permohonan untuk seluruhnya;

b.Menyatakan Surat Perintah Penangkapan No.Pol.

SPP/R/69-M/VIII/1998/Ditserse.Ek. tertanggal 10 Agustus 1998, Surat Perintah Penangkapan No.LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tertanggal 18 Juni 1999, copy Interpol Red Notice dengan tanda “Al” atas nama Hendra Rahardja dan affidavit dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1998 tidak sah;

c. Menyatakan penangkapan dan penahan terhadap Pemohon/Hendra Rahardja tidak sah dan karenanya membebaskan dengan segera Hendra Rahardja dari tahanan;

d. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada pemohon sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) segera setelah putusan dalam perkara ini dibacakan;

e Menghukum Termohon untuk merehabilitir Pemohon Hendra Rahardja; f. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara;

5. Eksepsi Termohon Pra Peradilan

Menimbang, bahwa terhadap pemohonan Pemohon praperadilan tersebut, Termohon Praperadilan telah mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut :

Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 77 KUHAP, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan menuntut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini tentang:

a). Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan atau rehabilitasi bagi seseorang;

b). Ganti kerugian dan atau reabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat peyidikan atau penuntutan;

Bahwa petitum Pemohon pada angka 1 yang meminta praperadilan agar menyatakan tidak sah terhadap:

(a). Surat Perintah Penangkapan No. SPP/R/69-M/VIII/1998? Ditserse.Ek. tertanggal 10 Agustus 1998;


(46)

(b). Surat Perintah Penangkapan No. LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tertanggal 18 Juni 1999;

(c). Copy Interpol Red Notice dengan tanda “Al” atas nama Hendra Rahardja dan Affidavit dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1998;

Bahwa kewenangan praperadilan adalah memeriksa, mengenai prosedur dilakukannya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan bukan mengenai administrasi dari penerapan upaya paksa sebagaimana tersebut di atas, Pemohon secara tegas memohon agar praperadilan menyatakan tidak sah surat perintah penangkapannya bukan penangkapan/ prosedur penangkapannya, hal ini jelas- jelas bukan merupakan kewenangan Pengadilan:

Bahwa secara limitatif kewenangan praperadilan telah dituangkan dalam pasal 77 KUHAP sebagaimana tersebut di atas, dengan demikian petitum Pemohon yang meminta agar praperadilan menyatakan tidak sahnya copy Interpol Red Notice dan affidavit dari Red Wissam tertanggal 1 Juni 1998 yang jelas- jelas bukan produk dari Termohon adalah bukan kewenangan praperadilan, karena praperadilan tidak boleh mengabulkan petitum di luar ketentuan yang diatu dalam KUHAP;

Bahwa demikian halnya terhadap Pemohon pada angka 5 jelas- jelas bukan kewenangan praperadilan untuk menghukum Termohon merehabilitasi nama baik Hendra Rahadrja, karena kewenangan untuk melakukan rehabilitasi adalah merupakan kewenangan praperadilan yang sifatnya melekat dalam putusan nantinya sebagaimana diatur dalam pasal 82 ayat (3) huruf c KUHAP, sehingga praperadilan tidak mempunyai kewenangan untuk memerintahkan Termohon untuk melakukan rehabilitasi;

Bahwa petitum Pemohon angka 4 yang memohon agar Termohon membayar ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) segera setelah putusan dalam perkara ini dibacakan adalah bukan merupakan kewenangan praperadilan karena praperadilan tidak dapat menghukum Termohon untuk memenuhi tuntutan dan tuntutan ganti rugi seharusnya ditujukan kepada Negara Republik Indonesia;


(47)

Bahwa dalam penahanannya secara tegas Pemohon telah menyatakan bahwa yang melakukan penangkapan dan penahanan adalah Polisi Federal Australia, namun dalam positum maupun petitumnya Pemohon mendalilkan bahwa yang melakukan penangkapan dan penahanan adalah Termohon. Hal ini jelas sangat membingungkan dan menyebabkan gugatan menjadi kabur. Selain dari pada itu petitum Pemohon tentang penahanan tidak didukung dengan dalil- dalil dalam positumnya, sehingga tidak ada kesesuaian antara positum dengan petitumnya yang menyebabkan gugatan menjadi kabur;

Bahwa Termohon tidak pernah menerbitkan Surat Perintah Penangkapan No.Pol. LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tanggal 18 Juni 1998 sebagaimana tertuang dalam petitum Pemohon pada angka 1, hal tersebut mengakibatkan ketidak jelasan tentang apa yang dituntut Pemohon dalam Petitumnya sehingga berakibat permohonan Pemohon kabur;

Bahwa Pemohon mendudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Korps Reserse Polri Direktorat Reserse Ekonomi yang jelas- jelas merupakan suatu Lembaga bukan Penyidiknya, padahal proses praperadilan sesungguhnya adalah keabsahan tindakan dari Penyidik. Hal tersebut mengakibatkan ketidakpastian tentang siapa yang digugat;

Bahwa berdasarkan hal- hal tersebut di atas, cukup beralasan bagi Hakim untuk menyatakan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon ditolak atau setidak- tidaknya tidak dapat diterima;

6. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Menimbang bahwa dengan memperhatikan pasa 77 dan pasal- pasal lainnya dari Undang- Undang No. 8 Tahun 1981, permohonan praperadilan dari Pemohon tersebut telah dikabulkan seperti tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut yang amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon;

b. Menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Hendra Rahardja tidak sah;


(48)

c. Memerintahkan Termohon untuk segera membebaskan Pemohon (Hendra Rahardja) dari tahanan;

d. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);

e. Memulihkan hak Pemohon dalam kedudukan dan harkat serta martabatnya;

f. Menyatakan permohonan selain dan selebihnya tidak dapat diterima;

7. Alasan Pengajuan Kasasi

Menimbang, bahwa keberatan- keberatan yang diajukan oleh Pemohon kasasi pada pokoknya adalah sebagai berikut :

1) Bahwa Pemohon kasasi keberatan terhadap bunyi putusan yang diucapkan oleh judex facti yang tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam diktum. Bahwa pada tanggal 23 Juni 2000, judex facti membacakan putusannya pada butir 1 berbunyi : “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebahagian”, sedangkan dalam diktum tertulis yang diserahkan kepada Pemohon kasasi kata- kata “Untuk Sebagian” termaksud tidak tercantum sama sekali ;

Dengan demikian terdapat ketidakjelasan terhadap bunyi putusan yang sebenarnya yang dibacakan oleh judex facti dan kondisi ini menimbulkan kebingungan bagi Pemohon kasasi. Untuk itu Pemohon kasasi mohon keadilan yang seadil- adilnya ;

2) Bahwa dalam butir 2 diktum putusan judex facti menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Pemohonan kasasi/ Termohon praperadilan tidak sah ;

Tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat diperiksa ;

Bahwa dalam bunyi pasal 18 ayat (1) KUHAP termaksud tegas- tegas disebutkan bahwa penangkapan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh petugas Polri dan dilakukan secara langsung melalui perlakuan fisik terhadap tersangka berupa pengekangan kebebasannya. Dengan demikian


(49)

dapat disimpulkan bahwa penerbitan surat perintah penangkapan semata tidak berarti upaya paksa penangkapan telah dilakukan. Karena yang dimaksud oleh KUHAP sebagai penangkapan adalah perlakuan fisik berupa pengekangan kebebasan tersangka. Oleh karena itu di dalam perkara ini belum ada hak- hak Termohon kasasi yang terlanggar untuk dimintakan praperadilan ;

Bahwa penangkapan Termohon kasasi dilakukan oleh kepolisian Australia, maka berdasarkan bunyi pasal 18 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan bahwa Pemohon kasasi belum melakukan upaya paksa berupa penangkapan terhadap Termohon kasasi, hal mana sesuai dengan masih diberlakukannya surat perintah penangkapan dan daftar pencarian orang (DPO) terhadap Termohon kasasi ;

Bahwa dalam hal ekstradisi maka penangkapan baru dapat dikatakan telah dilakukan petugas Polri setelah diadakannya serah terima tersangka dari negara yang diminta mengekstradisi kepada Negara Peminta. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pengiriman anggota Polri ke negara yang diminta dengan membawa surat perintah penangkapan tersangka. Hal mana juga terbukti dari ketentuan pasal 14 ayat (2) Undang- Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia (bukti TA-2), yang berbunyi “Jika permintaan disetuji, Negara Peminta wajib diberitahu mengenai tempat dan tanggal penyerahan” ;

3) Bahwa dalam pertimbangan hukumnya judex facti menyatakan perlu dipertanyakan apakah penangkapan Termohon kasasi oleh Kepolisian Australia adalah atas permintaan Pemohon kasasi ataukah karena dugaan money laundering yang dilakukan Termohon kasasi yang berdasarkan Hukum Australia merupakan tindak pidana, sedangkan di dalam pertimbangan selanjutnya judex facti menyatakan bahwa Pemohon kasasi membantah telah menangkap Termohon kasasi, tetapi penangkapan tersebut dilakukan karena Termohon kasasi diduga melakukan money laundering di Australia (halaman 17 dan 18 putusan) ;


(1)

b) Permintaan ekstradisi dari Pemerintah Indonesia tersebut masih dalam

proses sesuai dengan ketentuan hukum di Australia ;

c) Bukti PR-9 dan 9a bukan merupakan persetujuan dari Pemerintah

Australia tetapi hanya merupakan pernyataan tentang adanya

permintaan ekstradisi atas nama Hendra Rahardja dari Pemerintah

Indonesia ;

d) Pemerintah Australia belum memberitahu disetujui atau ditolaknya

permintaan ekstradisi tersebut dan juga belum ada penyerahan orang

yang bersangkutan (Hendra Rahardja) kepada Pemerintah Indonesia,

sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang- Undang No. 8 Tahun 1994;

(3) Perbuatan Pemohon kasasi yang belum memberikan tembusan Surat

Perintah Penangkapan adalah sesuai dengan ketentuan pasal 18 (3)

KUHAP, sebab pemberian tembusan tersebut harus diberikan segera

setelah penangkapan dilakukan, sedangkan ternyata penangkapan belum

dilakukan oleh Pemohon kasasi ;

(4) Bukti PR-2 dan 3 bukan mengenai perkara Termohon kasasi (Pemohon

Praperadilan) dan tidak ada relevansinya dengan perkara ini ;

(5) Bahwa dalam perkara a quo, Pemohon ditangkap dan ditahan atas perintah

dan oleh Polisi Federal Australia bukan dilakukan oleh Petugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Sedangkan praperadilan mengenai sah atau

tidaknya penangkapan dan penahanan hanya berlaku bagi penangkapan

dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Indonesia sebagaimana

ditentukan dan diatur dalam pasal 17, 18, dan 20 KUHAP ;

Bahwa berdasarkan alasan- alasan tersebut, maka permohonan

praperadilan dari Termohon kasasi harus ditolak ;

Menimbang, bahwa oleh karena keberatan- keberatan tersebut dapat

dibenarkan, maka keberatan- keberatan lainnya tidak perlu dipertimbangkan

lagi ;

Menimbang, bahwa berdasarkan alasan- alasan yang diuraikan di atas

Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan tanggal 23 Juni 2000 No. 07/Pid/Prap/2000/PN. Jak.Sel, tidak dapat


(2)

commit to user

dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung

akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera dibawah ini ;

Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/

Termohon praperadilan dikabulkan, maka Termohon kasasi/ Tersangka

dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;

Memperhatikan Undang- Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang- Undang

No. 35 Tahun 1999, Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985

2.

Amar Putusan Kasasi

Mengadili :

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/ Termohon Pra

peradilan : KEPOLISIAN NEGARA R.I. Cq. KORPS RESERSE POLRI

DIREKTORAT RESERSE EKONOMI tersebut ;

Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 23 Juni

2000 No. 07/Pid/Prap/2000/PN. Jak. Sel. ;

Mengadili Sendiri :

Menolak permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya ;

Menghukum Termohon kasasi/ Pemohon Praperadilan untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah) ;

3.

Pembahasan

Kasasi merupakan upaya terakhir bagi semua lingkungan peradilan atau

dengan kata lain Mahkamah Agung adalah peradilan tingkat kasasi bagi

semua lingkungan peradilan. Permohonan kasasi yang diajukan bukan

menjadi wewenang dari Pengadilan lagi namun sudah menjadi wewenang

Mahkamah Agung oleh karena itu yang berwenang sepenuhnya untuk menilai

sah atau tidaknya permohonan kasasi hanyalah Mahkamah Agung.

Bahwa terhadap permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi

tersebut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yaitu Pasal


(3)

45 ayat 1 dan 2 huruf a Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung disebutkan bahwa dalam perkara Pra peradilan tidak bisa diajukan

permohonan

kasasi.

Namun

untuk

kasus

ini

Mahkamah

Agung

mengesampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada

tersebut.

Mahkamah Agung memiliki pertimbangan dengan berdasarkan pada

ketentuan Pasal 88 dan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap

putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan

lain, selain Mahkamah Agung, dapat diajukan pemohon kasasi kepada

Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Selain itu sesuai dengan

ketentuan Pasal 83 ayat 1 KUHAP tidak mengatur secara eksplisit suatu

putusan pra peradilan dapat dimintakan kasasi Dimana pertimbangan lainnya

yang membahas mengenai penerbitan surat penangkapan serta pelaksanaan

dari isi surat tesebut membuat Mahkamah Agung mengabulkan permohonan

kasasi dari Pemohon Kasasi sebab surat perintah penangkapan tersebut telah

sesuai dengan ketentuan dalam Bab V, bagian Kesatu tentang penangkapan

pasal 16,17, 18 dan 19 KUHAP. Serta dalam perkara ini, kepolisian Indonesia

belum melakukan upaya paksa dalam hal ini penangkapan karena

penangkapan terhadap Termohon Kasasi dilakukan oleh Kepolisian Federal

Australia dan Kepolisian Republik Indonesia telah mengajukan surat

pelaksanaan ekstradisi terhadap Termohon Kasasi namun belum disetujui oleh

Pemerintah Australia sehingga pelaksanaan ekstradisi tidak segera dapat

dilaksanakan keadaan ini ditambah dengan perlawanan ekstradisi yang

diajukan oleh Termohon Kasasi kepada Pemerintah Australia.

Oleh karena itu, dalam perkara ini menurut pengamatan penulis

Mahkamah Agung dengan pertimbangan hukumnya lebih mengutamakan

kepentingan Pemohon Kasasi karena dirasakan adanya pelanggnara ketentuan

yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melanggar ketentuan

Pasal 79, Pasal 81, Pasal 82 ayat (2) dimana dalam amar putusannya tidak

disertakan alasan yang jelas dalam penjatuhan putusan tersebut yang


(4)

commit to user

menimbulkan multitafsir putusan dan dirasakan kurang memenuhi rasa

keadilan salah satu pihak yang kemudian diperkuat dengan adanya bukti-

bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi. Walaupun pada kenyataannya

Mahkamah Agung harus melanggar beberapa ketentuan perundang- undangan

yang mengatur mengenai tidak dapat diajukannya kasasi terhadap putusan pra

peradilan.


(5)

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan yang penulis

kaji, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Alasan pengajuan kasasi terhadap putusan pra peradilan tentang legalitas

penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia atas permintaan

Polri adalah mengenai putusan praperadilan yang menyatakan penangkapan dan

penahanan terhadap Pemohon Praperadilan/ Termohon Kasasi adalah tidak sah.

Menurut bukti- bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Termohon

Praperadilan bahwa penangkapan Termohon kasasi dilakukan oleh kepolisian

Australia, maka berdasarkan bunyi pasal 18 ayat (1) KUHAP dapat dikatakan

bahwa Pemohon kasasi belum melakukan upaya paksa berupa penangkapan

terhadap Termohon kasasi, hal mana sesuai dengan masih diberlakukannya surat

perintah penangkapan dan daftar pencarian orang (DPO) terhadap Termohon

kasasi. Sehingga Termohon Kasasi/ Pemohon Praperadilan mengajukan

perlawanan terhadap sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan

ditujukan kepada Kepolisian Federal Australia bukan Kepolisian Republik

Indonesia.

2. Pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap pengajuan kasasi terhadap

putusan pra peradilan tentang legalitas penangkapan yang dilakukan oleh

Kepolisian Federal Australia atas permintaan Polri adalah didasarkan pada

ketentuan Pasal 88 dan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap

putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain,

selain Mahkamah Agung, dapat diajukan pemohon kasasi kepada Mahkamah

Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal

83 ayat 1 KUHAP tidak mengatur secara eksplisit suatu putusan pra peradilan

dapat dimintakan kasasi. Sehingga dalam perkara a quo ini, Mahkamah Agung

mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi meskipun harus


(6)

commit to user

mennyimpang dari ketentuan perundang- undangan yang mengatur mengenai

tidak dapat diajukannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Praperadilan

tentang sah atau tidaknya penangkapan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa saran- saran yang

ingin penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang penulis kaji. Adapun

saran- saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengimplementasian peraturan perundang- undangan dan penerapan hukum yang

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di dalam kenyataannya dalam upaya

untuk menciptakan keadilan bagi para pihak yang bersengketa lebih bisa

memperhatikan fakta- fakta hukum yang ada sehingga aparat penegak hukum

tidak adanya kesewenang- wenangan dalam melaksanakan tanggung jawab

tersebut.

2. Sebaiknya para pembentuk undang- undang dalam membuat undang- undang lebih

teliti dan cermat dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang

lain serta dalam membentuk undang- undang, seharusnya memberikan batasan-

batasan yang jelas sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir

yang akan menjamin adanya suatu kepastian hukum demi tercapainya keadilan.