Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto Ditinjau dari Teori Mas Kawin
Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto
Ditinjau Dari Teori Mas Kawin
Abstrak
GKS Jemaat Kambaniru merupakan gereja yang jemaatnya mayoritas
berasal dari suku Sabu, masyarakat suku Sabu mempunyai salah satu adat
istiadat yang sudah mendarah daging dan harus dilakukan dalam upacara
perkawinan yaitu Kenoto. Kenoto dalam bahasa Sabu, sebenarnya berarti
tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh kaum
pria dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan. Pada dasarnya
perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang
tetap dan setiap unsur memiliki maknanya sendiri. Dalam tradisi Do
Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau harga tidak ada yang
dititik beratkan (beban) kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah
diketahui bersama syarat-syarat dalam pedai kebue (bicara harga) yaitu
harga mahar harus sesuai dengan harga mahar dari ibu mempelai wanita
dan adapun anggapan orang Sabu bahwa seberapa pun harga yang dibawa
oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau
sesuai dengan harga. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh
keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan
hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon
mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Metode penelitian kualitatif
dan dipaparkan hasilnya secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan
bahwa, di GKS Jemaat Kambaniru telah mengalami pergeseran makna
Kenoto, di mana kenyataan yang terjadi saat ini adalah, harga atau nilai
Kenoto menjadi tolak ukur harga diri dan prestise seseorang. Kenoto
bukan hanya bentuk penghargaan akan perempuan semata tetapi untuk
menunjukkan status sosial dan kebanggaan keluarga di dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan
perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan
juga bentuk penghargaan terhadap harga diri perempuan.
Kata Kunci : Gereja, Sabu, Kenoto
Ditinjau Dari Teori Mas Kawin
Abstrak
GKS Jemaat Kambaniru merupakan gereja yang jemaatnya mayoritas
berasal dari suku Sabu, masyarakat suku Sabu mempunyai salah satu adat
istiadat yang sudah mendarah daging dan harus dilakukan dalam upacara
perkawinan yaitu Kenoto. Kenoto dalam bahasa Sabu, sebenarnya berarti
tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh kaum
pria dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan. Pada dasarnya
perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang
tetap dan setiap unsur memiliki maknanya sendiri. Dalam tradisi Do
Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau harga tidak ada yang
dititik beratkan (beban) kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah
diketahui bersama syarat-syarat dalam pedai kebue (bicara harga) yaitu
harga mahar harus sesuai dengan harga mahar dari ibu mempelai wanita
dan adapun anggapan orang Sabu bahwa seberapa pun harga yang dibawa
oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau
sesuai dengan harga. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh
keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan
hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon
mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Metode penelitian kualitatif
dan dipaparkan hasilnya secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan
bahwa, di GKS Jemaat Kambaniru telah mengalami pergeseran makna
Kenoto, di mana kenyataan yang terjadi saat ini adalah, harga atau nilai
Kenoto menjadi tolak ukur harga diri dan prestise seseorang. Kenoto
bukan hanya bentuk penghargaan akan perempuan semata tetapi untuk
menunjukkan status sosial dan kebanggaan keluarga di dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan
perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan
juga bentuk penghargaan terhadap harga diri perempuan.
Kata Kunci : Gereja, Sabu, Kenoto