Sandhi Yudha S.501002010

(1)

PERBANDINGAN PREMEDIKASI KLONIDIN DAN DIAZEPAM PERORAL TERHADAP LEVEL SEDASI DAN

RESPONS HEMODINAMIK PEDIATRIK

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama Ilmu Biomedik

Oleh :

Sandhi Yudha S.501002010

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012


(2)

commit to user

PERBANDINGAN PREMEDIKASI KLONIDIN DAN DIAZEPAM PERORAL TERHADAP LEVEL SEDASI DAN

RESPONS HEMODINAMIK PEDIATRIK

TESIS

Oleh : Sandhi Yudha

S501002010

Komisi Pembimbing

Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, MSc, PhD NIP. 19551021 199412 1 001

Pembimbing II Sugeng Budi Santosa, dr., Sp.An., KMN NIP. 19590620 198701 1 001

Telah dinyatakan memenuhi syarat

Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana UNS

Dr. Hari Wujoso, dr., Sp.F., MM NIP 19621022 199503 1 001


(3)

PERBANDINGAN PREMEDIKASI KLONIDIN DAN DIAZEPAM PERORAL TERHADAP LEVEL SEDASI DAN

RESPONS HEMODINAMIK PEDIATRIK

TESIS

Oleh Sandhi Yudha

S501002010

Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Hari Wujoso, dr., Sp.F., MM NIP 19621022 199503 1 001

Sekretaris Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A (K) NIP 19441226 197310 1 001

Anggota Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D NIP. 19551021 199412 1 001

Sugeng Budi Santosa, dr., Sp.An., KMN NIP. 19590620 198701 1 001

Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat

Direktur Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS NIP 19610717 198601 1 001

Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga

Dr. Hari Wujoso, dr., Sp.F., MM NIP 19621022 199503 1 001


(4)

commit to user

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa : 1.

DIAZEPAM PERORAL TERHADAP LEVEL SEDASI DAN RESPONS

plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang undangan (Permendiknas No. 17, tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus

seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis), saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Program Studi Kedokteran Keluarga UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan Program Studi Kedokteran Keluarga UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 24 April 2012

Sandhi Yudha S501002010


(5)

Sandhi Yudha, 2012. Perbandingan Premedikasi Klonidin dan Diazepam peroral terhadap Level Sedasi dan Respons Hemodinamik Pediatrik. TESIS. Pembimbing I : Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, PhD. Pembimbing II : Sugeng Budi Santoso, dr, SpAn, KMN. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran. Magister Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

ABSTRAK

Latar belakang : Kecemasan dan nyeri adalah dua factor yang menyebabkan stress emosi yang hebat pada pediatrik. Pemilihan obat premedikasi peroral pada pasien pediatrik penting untuk memberikan level sedasi yang adekuat dan stabilitas hemodinamik selama tindakan anestesi dan pembedahan. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan premedikasi klonidin dan diazepam peroral terhadap level sedasi dan respons hemodinamik pediatrik.

Metode : Penelitian ini merupakan ujiklinis tahap III, double blind r andomized controlled tria l. Sejumlah 18 pasien pediatrik umur 2-12 tahun dengan status fisik ASA I dan II dibagi secara acak kedalam 2 kelompok, masing-masing mendapatkan premedikasi klonidin 4 g/kgBB (n=9) atau diazepam 0,2mg/kgBB (n=9) peroral. Dilakukan pencatatan level sedasi dan respons hemodinamik (detak jantung) pada saat sebelum pemberian obat, setelah pemberian obat, sesaat setelah laringoskopi intubasi, menit ke 3 dan ke 5 pasca tindakan laringoskopi intubasi dan sesaat setelah incisi kulit/mulai operasi.

Hasil : Level sedasi pada kelompok klonidin (3,11 ± 0,60) lebih tinggi dibanding kelompok diazepam (2,33 ± 0,50) dengan nilai p=0,013. Respons hemodinamik (detak jantung/HR) setelah pemberian premedikasi peroral (HR1) kelompok klonidin (100,44 ± 11,38 kali/menit) dan kelompok diazepam (110,22 ± 12,29 kali/menit) berbeda tidak bermakna (p=0,099). Sedangkan respons hemodinamik HR2, HR3, HR4 dan HR5 pada kelompok klonidin dan diazepam berbeda bermakna (p<0,05). Efek samping bradikardi terjadi pada 2 pasien pada kelompok klonidin dan tidak terjadi pada kelompok diazepam.

Kesimpulan : Premedikasi klonidin 4 g/kgBB peroral memberikan level sedasi yang lebih tinggi dibanding premedikasi diazepam 0,2mg/kgBB peroral. Respons hemodinamik (detak jantung) pada kelompok klonidin lebih stabil dibanding kelompok diazepam.

Kata Kunci : Premedikasi peroral, Klonidin, Diazepam, Level Sedasi, Respons hemodinamik, Pediatrik.


(6)

commit to user

Sandhi Yudha, 2012. Comparison of oral clonidine and oral diazepam as premedication on sedation level and haemodymanic response on pediatric. THESIS. Supervisor I : Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, PhD., II : Sugeng Budi Santoso, dr, SpAn, KMN. Department of Anesthesiology and Intensive Therapy Medical Faculty. Program study of Family Medicine, Post-Graduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta.

ABSTRACT

Background : Anxiety and pain are two factors causing considerable emotional stress in pediatric. The purpose of the study is to compare the sedation level and haemodynamic response of oral klonidin and oral diazepam premedication on pediaric surgery.

Metods : A prospective randomized double blind study on 18 ASA I-II patients between 2-12 years old received either clonidine 4 g/kg or diazepam 0,2 mg/kg. The sedation level and haemodynamic response were recorded, before and after oral premedication, during intubation and in the third and fifth minutes after laryngoscopy and after first incision.

Results : In both study groups, basic hemodynamic variables were not significantly different (p > 0.05). The sedation level was significantly better in clonidine group (3.11 ± 0.60) as compared to diazepam group (2.33 ± 0.50) (p= 0.013). Haemodynamic respons (Heart rate/HR) was significantly decreased after anesthesia procedure (HR2, HR3, HR4) and after first surgery incision (HR5) in clonidine group as compared to diazepam group (p<0,05).

Conclusions : Oral premedication of clonidine produce sedation level better than diazepam in pediatric surgery. In operating theatre, haemodynamic response (heart rate) on clonidine group better than diazepam group.

Key words : Oral Premedication, Clonidine, Diazepam, Sedation Level, Haemodynamic Response, Pediatric Surgery.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN Yang Maha Esa atas petunjuk dan rahmat serta karunia yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul

Tesis ini untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan. Selesainya Tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak atas kesempatan, bantuan, motivasi dan bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs., MS, selaku Rektor UNS.

2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, Ir., MS, selaku Direktur Program Pascasarjana UNS. 3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD KR FINASIM., selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Dr. Hari Wujoso, dr., Sp.F., MM, selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Afiono Agung Prasetyo, dr., Ph.D., selaku Ketua Minat Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D, selaku Pembimbing Metodologi. 7. Sugeng Budi Santosa, dr., Sp.An, KMN, selaku Pembimbing Substansi. 8. Prof. DR. Harsono Salimo, dr., Sp.A (K), selaku Sekretaris Ujian Tesis. 9. H. Marthunus Judin, dr., Sp.An, KAP., selaku Kepala SMF Ilmu

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

10. M. H. Sudjito, dr., Sp.An, KNA., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta.


(8)

commit to user

11. Seluruh staf pengajar PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah mendidik kami menjadi anestesiolog yang baik.

12. Ke empat orang tua yang selalu menuntun penulis untuk menjadi orang yang lebih baik.

13. Keluarga kecilku : Dwi Ari Wulandari, SE serta Bayi dalam kandungannya, Filia DSA Tarigan, Danny BA Tarigan dan Vanessa NA Tarigan.

14. Pasien bangsal Mawar, Melati, dan Anggrek, karena mereka penelitian ada. 15. Semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam setiap

tahap proses penyusunan Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu besar harapan Penulis untuk mendapatkan kritik dan saran demi perbaikan sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif serta Kedokteran Keluarga.

Surakarta, 24 April 2012 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. ... 1

B.Rumusan Masalah ... 3

C.Tujuan Penelitian ... 3

1. Tujuan Umum ... 3

2. Tujuan Khusus ... 3

D.Manfaat Penelitian ... 4

1. Aspek Teoritik ... 4

2. Aspek Aplikatif ... 4


(10)

commit to user

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A.Landasan Teori ... 5

1. ... 5

2. 7 3. Respons Hemodinamik ... 8

4. 10 5. B.Kerangka Konsep ... 17

C.Hipotesis Penelitian ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN ... 19

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

B.Jenis Penelitian ... 19

C.Subjek Penelitian ... 19

D.Data dan Sampel Penelitian ... 19

1. Kriteria Inklusi ... 19

2. Kriteria Eksklusi ... 20

3. E. Variabel Penelitian ... 21

1. Variabel Bebas ... 21

2. Variabel Tergantung ... 21

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 21

1. 21 2. Pemberian Diazepam Peroral ... 21


(11)

3. ... 22

4. Respons Hemodinamik ... 22

G.Alur Penelitian ... 23

H.Alat dan Obat ... 24

1. Peralatan ... 24

2. Obat ... 24

I. Etika Penelitian ... 24

J. Analisa Data ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A.Hasil Penelitian ... 26

1. Karakteristik Umum Variabel Penelitian ... 26

2. Hasil Analisis Penelitian ... 28

B.Pembahasan ... 30

BAB V. PENUTUP ... 35

A.Kesimpulan ... 35

B.Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36 LAMPIRAN


(12)

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik 26

Tabel 4.2 27

Tabel 4.3 Uji Mann- 28

Tabel 4.4 Uji t tentang perbedaan rerata respons hemodinamik pada

berbagai waktu 29

Tabel 4.5 30

Tabel 4.6 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding

HR- 32

Tabel 4.7 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding

HR- 33

Tabel 4.8 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Kimia 11

Gambar 2.2 17

Gambar 3.1 23

Gambar 4.1 Jumlah sampel menurut umur kelompok klonidin dan 27 Gambar 4.1 Perbedaan rerata detak jantung kelompok klonidin dan


(14)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penelitian

Lampiran 2. Penjelasan Alur Penelitian Lampiran 3. Cara Pembuatan Syrup Lampiran 4. Jadwal Kegiatan

Lampiran 5. Perhitungan Besar Sampel Lampiran 6. Organisasi Penelitian

Lampiran 7. Ethical Clea ra nce RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 8. Pengolahan Data Penelitian


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan pemberian premedikasi adalah menghilangkan kecemasan dan ketakutan. Pasien yang akan menjalani pembedahan mempunyai insidensi kecemasan yang tinggi dan ada hubungan antara kecemasan dan kelancaran saat dilakukan induksi anestesi. Untuk mengatasi kecemasan dan ketakutan, dilakukan pemberian obat sedasi dan ansiolisis secara intra vena. Tetapi cara ini telah memberikan trauma pada penderita akibat pemasangan cateter intravena, terutama pada pasien pediatrik. Terapi dengan preparat peroral dan psikoterapi merupakan alternatif penanganan masalah ini (Soenarjo dkk, 2010).

Pasien pediatrik sulit untuk diberikan penjelasan tentang segala hal yang akan dilakukan selama tindakan bedah dan anestesi. Selain itu psikoterapi kurang efektif menghilangkan kecemasan secara cepat. Pada beberapa pasien, meskipun telah diberikan penjelasan tetapi kecemasan dan ketakutan tetap saja terjadi. Pada kondisi ini, pasien memerlukan obat-obatan peroral untuk menghilangkan kecemasan dan ketakutan sebelum operasi (Soenarjo dkk, 2010).

Kecemasan pada pediatrik yang akan menjalani operasi ditandai dengan perasaantakut, tidak kooperatif, periopera tive crying dan berbagai bentuk ekspresi kekawatiran. Pediatrik dalam kondisi kecemasan yang tinggi


(16)

commit to user

jika menjalani operasi, pada fase setelah operasi ma l-a dl-a ptif

studi menunjukkan lebih dari 60% anak yang menjalani operasi menunjukkan sikap negatif selama 2 minggu atau lebih setelah operasi. Kecemasan yang sangat tinggi saat induksi anestesi berhubungan erat dengan peningkatan dan lama munculnya sikap negatif setelah operasi (McCann dkk, 2001).

Penatalaksanaan anestesi pre-operasi untuk meminimalkan respons stres adalah dengan pemberian obat premedikasi yang menghambat atau menumpulkan respons stres tersebut. Premedikasi peroral pasien pediatrik yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepine yaitu diazepam (terutama midazolam). Golongan alpha-2 agonis (klonidin) juga sering digunakan sebagai premedikasi peroral pada pediatrik di beberapa negara (Fazi dkk,2001), di Indonesia preparat klonidin masih jarang digunakan.

Diazepam sebagai premedikasi peroral pada pediatrik mulai jarang digunakan karena dikhawatirkan memiliki efek depresi nafas. Walaupun diazepam memiliki efek sedasi yang adekuat, tetapi tidak dapat mencegah respons hemodinamik selama tindakan anestesi dan pembedahan.

Nascimento dkk, 2007 dalam penelitiannya menyimpulkan klonidin

dan diazepam sebagai premedikasi memiliki efek yang sama terhadap tekanan darah, denyut jantung dan level sedasi. Sedangkan Malde dkk, 2006 menyimpulkan premedikasi oral klonidin lebih baik dalam level sedasi, stabilitas tekanan darah dan detak jantung, dan penurunan kebutuhan obat analgetik/opioid setelah operasi, dibandingkan dengan premedikasi oral


(17)

diazepam. Menurut Hackmann dkk, 2003 klonidin peroral sangat baik digunakan sebagai obat tambahan/premedikasi dalam tehnik hipotensi kendali pada operasi oromaxillofacia l pada anak-anak.

Dari penelitian diatas, terdapat perbedaan hasil antara klonidin dan diazepam sebagai premedikasi pada operasi pediatrik. Penelitian ini mencoba membandingkan efek sedasi/anti-cemas pr-eoperasi dan stabilitas respons hemodinamik selama operasi antara klonidin dan diazepam peroral sebagai premedikasi pada pediatrik yang akan menjalani operasi.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan level sedasi dan stabilitas respons hemodinamik (fluktuasi denyut jantung) pada pemberian premedikasi klonidin 4 g/kgBB dan diazepam 0.2mg/kgBB peroral pada pediatrik yang menjalani operasi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Membandingkan perbedaan level sedasi dan stabilitas respons hemodinamik pada pemberian premedikasi klonidin dan diazepam peroral pada pediatrik yang menjalani operasi.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisa perbedaan efek premedikasi klonidin dan diazepam peroral terhadap level sedasi dan respons hemodinamik pada pediatrik yang menjalani operasi.


(18)

commit to user

b. Memberikan alternatif obat premedikasi peroral pada pediatrik.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritik

Sebagai bukti ilmiah perbedaan premedikasi klonidin dan diazepam peroral terhadap level sedasi dan stabilitas hemodinamik pada pediatrik yang menjalani operasi.

2. Aspek Aplikatif

Sebagai alternatif obat-obat yang dapat digunakan sebagai premedikasi pada pediatrik untuk mendapatkan level sedasi yang adekuat dan stabilitas hemodinamik selama operasi pada pediatrik.

3. Aspek Kedokteran Keluarga

Memberikan wacana mengenai perbedaan efek premedikasi clonidine dan diazepam peroral terhadap level sedasi dan stabilitas hemodinamik pada pediatrik yang menjalani operasi.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Premedikasi

Premedikasi merujuk pada pemberian obat-obatan pada periode 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan. Hal ini bukan sesuatu yang rutin dilakukan pada persiapan preoperasi, tetapi pemberian premedikasi harus dipertimbangkan setelah faktor-faktor yang berhubungan untuk diberikan premedikasi dapat diidentifikasi (Soenarjo dkk, 2010).

Secara umum tujuan dari premedikasi adalah sebagai berikut :

a. Menghilangkan kecemasan dan ketakutan. Pasien yang akan dilakukan pembedahan mempunyai insidensi kecemasan yang tinggi dan kecemasan berhubungan dengan kelancaran saat dilakukan induksi anestesi. Penghilangan kecemasan yang efektif dilakukan dengan cara non farmakologis yaitu dengan psikoterapi. Penderita diberikan penjelasan tentang segala hal yang akan dilakukan selama tindakan anestesi dan bedah. Pada beberapa pasien, meskipun telah diberikan penjelasan tetapi kecemasan dan ketakutan tetap saja terjadi. Pada kondisi ini, pasien memerlukan obat-obatan ansiolitik seperti benzodiazepin yang terbukti efektif untuk menghilangkan kecemasan.

b. Untuk mengurangi sekresi glandula yang ada di faring dan bronkial, dengan memberikan obat antikolinergik. Pemberian obat antikolinergik


(20)

commit to user

disarankan pada pasien yang akan dilakukan intubasi fiberoptik secara sadar atau sebelum pemberian ketamin.

c. Memperkuat efek hipnotik dari agen-agen anestesi umum. Beberapa obat-obatan seperti barbiturat atau opioid menghasilkan sedasi dan dapat mengurangi dosis obat anestesi umum dan obat inhalasi.

d. Mengurangi mual muntah pasca operasi. Mual muntah sering terjadi setelah dilakukan tindakan anestesi. Hal ini disebabkan oleh pemberian obat opioid selama dan setelah tindakan anestesi dan bedah. Biasanya obat anti mual-muntah diberikan sebagai premedikasi. Tetapi lebih efektif jika diberikan intravena selama penderita teranestesi.

e. Menimbulkan amnesia. Pada beberapa keadaan, terutama pada pasien pediatrik, perlu dibuat suatu keadaan amnesia selama periode perioperasi oleh karena pengalaman yang tidak menyenangkan selama tindakan anestesi dan pembedahan. Anterograde amnesia (hilangnya ingatan dari segala kejadian setelah pemberian obat) dapat dihasilkan oleh obat golongan benzodiazepin seperti midazolam, lorazepam atau diazepam. f. Mengurangi volume dan meningkatkan keasaman isi lambung. Pasien

yang beresiko untuk terjadinya muntah dan regurgitasi (misalnya pada pasien darurat dengan lambung penuh, atau pasien elektif dengan hernia hiatus), perlu dipertimbangkan untuk pengosongan lambung dan peningkatan pH isi lambung. Pengosongan lambung dapat diperkuat dengan pemberian metoklorpramid yang juga mempunyai efek anti


(21)

muntah. Peningkatan pH dapat diberikan obat H2 antagonis dan proton pump inhibitor.

g. Menghindari terjadinya refleks vagal. Premedikasi dengan menggunakan antikolinergik dapat dipertimbangkan pada keadaan khusus yang memicu terjadinya vagal refleks.

h. Membatasi respons simpatoadrenal. Saat induksi anestesi dan tindakan laringoscopi intubasi merangsang peningkatan aktifitas simpatoadrenal, yang ditandai dengan takhikardi, hipertensi dan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma. Keadaan ini berbahaya pada pasien sehat dan dapat berakibat fatal bagi penderita terutama dengan kelainan jantung. Untuk mencegahnya diberikan premedikasi -bloker atau klonidin. (Soenarjo dkk, 2010)(Barash dkk, 2006)

2. Level Sedasi

Mekanisme tidur/sedasi belum diketahui secara pasti. Beberapa teori yang diduga berhubungan dengan tidur adalah kadar serotonin, tetapi belum dapat menjelaskan secara pasti mekanisme sedasi. Penjelasan yang mungkin tentang sedasi adalah siklus penguatan dan penekanan eksitabilitas saraf yang menyertai siklus siaga dan tidur. Saat siaga terjadi peningkatan aktivitas impuls simpatis, sebaliknya saat tidur aktivitas simpatis menurun dan aktivitas parasimpatisnya meningkat. Aktivitas parasimpatis yang meningkat berhubungan dengan tidur yang


(22)

commit to user

Klonidin mempunyai efek menurunkan aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis, hal ini yang menjelaskan klonidin dapat menyebabkan sedasi (Nascimento dkk, 2007).

Diazepam bekerja meningkatkan kemampuan reseptor untuk mengikat GABA, sehingga reseptor GABA (neurotransmitter inhibitor) akan meningkat dan membuka chanel klorida, yang akan meningkatkan konduksi dari ion klor. Hal ini menyebabkan terjadinya hyperpolarisasi dari membran sel pascasinaps dan menyebabkan neuron semakin resisten terhadap rangsang eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi inilah yang menyebabkan terjadinya sedasi (Stoelting dkk, 2006).

Untuk mengukur level sedasi sering digunakan skala sedasi dari Ramsay dkk, 1974. (Ramsay score) sebagai berikut :

1. Cemas, gelisah, restless

2. Kooperatif, tenang, menerima bantuan nafas 3. Mengantuk, tapi respon terhadap perintah

4. Tidur, respons cepat terhadap suara atau ketukan glabella 5. Tidur, respons lambat terhadap suara atau ketukan glabella 3. Respons Hemodinamik

Respons hemodinamik yang berlebih akibat tindakan anestesi (laringoskopi intubasi) dan tindakan pembedahan harus dihindari terutama pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler yang telah ada sebelumnya (Marquez dkk, 2009).


(23)

Intubasi endotrakeal merupakan salah satu prosedur rutin pada anestesi umum, namun tidak semua anestesi umum harus dilakukan intubasi sebelumnya karena tindakan ini memiliki resiko yang sangat tinggi (Henderson, 2010). Intubasi dilakukan dengan tujuan memberikan proteksi dan menjadi akses jalan nafas. Secara umum, intubasi diindikasikan pada pasien dengan resiko aspirasi, operasi pada tubuh bagian atas (kepala dan leher) dan pada pasien pediatrik yang tidak kooperatif (Morgan dkk, 2006).

Tindakan laringoskopi intubasi oleh tubuh diterjemahkan sebagai stimulus nyeri yang memicu respons pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan sistem fisiologis lainnya. Tindakan laringoskopi intubasi dalam waktu yang lama harus dihindari serta pengawasan hemodinamik selama tindakan harus dilakukan secara ketat (Atlee dkk, 2007).

Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung dimulai pada 5 detik setelah laringoskopi, mencapai puncak pada 1 2 menit kemudian, dan kembali pada tekanan darah awal dalam 5 menit. Perubahan hemodinamik ini dapat memicu timbulnya iskemia dan infark miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung (Clancy dkk, 2002).

Pendekatan teknik yang digunakan untuk menurunkan respons kardiovaskuler terhadap intubasi salah satunya adalah pendekatan obat, yaitu dengan melakukan pemilihan obat yang memiliki mekanisme kerja pada sistem kardiovaskuler. Obat kardiovaskuler yang poten menurunkan


(24)

commit to user

tekanan darah dan denyut jantung dapat membatasi peningkatan tekanan darah akibat laringoskopi intubasi (Clancy dkk, 2002).

Stimulus nyeri, tindakan laringoskopi intubasi memberikan sinyal neuronal (neuroendokrin) dan sitokin (sistem imun) untuk mengaktivasi nukleus paraventrikuler hipotalamus yang kemudian memproduksi hypotha la mic relea sing fa ctor (HRF ). Peningkatan HRF menstimulasi pituitari sehingga melepaskan vasopresin, hormon pertumbuhan, prolaktin dan propiomelanokortin. Propiomelanokortin dimetabolisme menjadi hormon adrenokortikotropin (ACTH), yang akan menstimulasi sekresi kortikosteroid dan endorfin. Perubahan pada keseimbangan saraf autonom menjelaskan terjadinya peningkatan tekanan darah dan denyut jantung saat laringoskopi intubasi (Frinzen dkk, 2006).

4. Klonidin

Kl -2 parsial dengan tempat

kerja di sentral sebagai simpatolitik dan di cornu dorsalis medula spinalis bekerja sebagai analgetik tetapi tidak sekuat opioid. Klonidin -2 di batang otak, dengan efek menurunkan outflow simpatis dan terjadi penurunan tahanan perifer, tahanan pembuluh ginjal, nadi, dan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus sedikit terpengaruh (Stoelting, 2006).

Pada penelitian Nader dkk, 2001 menyatakan bahwa pemberian


(25)

-umpan balik negatif norepinfrin dan epinefrin plasma yang timbul saat terjadi stres.

Gambar 2.1 Struktur kimia molekul klonidin

Klonidin menghasilkan stabilitas kardiovaskuler melalui aktivitas simpatolitiknya. Klonidin mendepresi respons stres yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis dengan menurunkan respons simpatoadrenal dan mencegah gejolak kardiovaskuler yang ditimbulkan oleh trauma pembedahan (Golubovska, 2008).

Klonidin menekan secara sentral aktivitas saraf simpatis dan mengurangi respons hemodinamik dan katekolamin plasma (norepinefrin dan epinefrin) akibat stres. Penekanan respons stres simpatoadrenal merupakan tujuan penting bagi anestesiolog untuk mengurangi efek samping tindakan operasi (Yazbek Karam dan Aouad, 2006).

2 berdasarkan anatomi sangat kompleks. 2 dibagi ke dalam 3 sub tipe, dan masing masing menghasilkan efek yang berbeda (Kaymak dkk, 2008).

1. Sub tipe A, ditemukan pada sistem saraf pusat, bertanggung jawab terhadap efek sedatif, analgesia dan simpatolitik dan merupakan inhibitor terhadap saluran kalsium pada lokus ceruleus batang otak.


(26)

commit to user

2. Sub tipe B, ditemukan pada pembuluh darah perifer, bertanggung jawab terhadap respons hipertensif sesaat melalui mekanisme efektor yang sama dengan sub tipe A.

3. Sub tipe C, ditemukan pada sistem saraf pusat, bertanggung jawab terhadap efek ansiolitik (Yazbek Karam dan Aouad, 2006).

Alfa 2 adrenoseptor banyak ditemukan pada sistem saraf pusat, dengan konsentrasi tertinggi didapatkan pada lokus ceruleus, nuklei noradrenergik predominan di batang otak dan merupakan modulator penting dari tingkat kewaspadaan. Aktivasi presinaps reseptor sub tipe 2A di lokus ceruleus akan menyebabkan penghambatan pelepasan norepinefrin dan menghasilkan efek sedatif dan hipnotik. Lokus ceruleus merupakan asal dari jalur descenden noradrenergik medullospinal yang diketahui sebagai modulator penting neurotransmiter nosiseptif. Stimulasi pada area ini akan menghentikan sinyal nyeri dan menghasilkan analgesia. Pada level medulla spinalis, stimulasi reseptor 2 pada substansia gelatinosa cornu dorsalis menyebabkan terjadinya penghambatan neuron nosiseptif dan menghambat pelepasan substansi P. Pada akhiran saraf, mekanisme analgesia melalui pencegahan pelepasan 2 yang terdapat di pembuluh darah memediasi terjadinya vasokonstriksi, dan pada terminal simpatis, menghambat pelepasan norepinefrin (Kaymak dkk, 2008).

Sebagai premedikasi per oral klonidin dapat menurunkan aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis, hal ini menjelaskan


(27)

klonidin dapat menurunkan detak jantung, tekanan darah, metabolisme sistemik, kontraktilitas otot jantung, dan tahanan pembuluh darah sistemik. Semua efek tersebut menghasilkan penurunan konsumsi oksigen oleh otot jantung yang berpengaruh terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (Nascimento dkk, 2007).

Klonidin selain sebagai obat anti hipertensi, digunakan juga sebagai obat anti cemas dan sedatif, penggunaan bersama opioid dan obat-obat anestesi, dan mengurangi respons hemodinamik saat tindakan anestesi dan pembedahan. Karena efek tersebut klonidin mulai sering digunakan dalam praktek klinis anestesi sebagai obat tambahan yang memberikan efek klinis yang lebih baik dengan obat-obat anestesi. Efek klonidin terhadap stabilitas respons hemodinamik mencakup stabilisasi rata-rata tekanan darah, fluktuasi detak jantung dan menurunkan konsumsi oksigen. Kondisi stabilitas respons hemodinamik akan menurunkan resiko buruk akibat tindakan anestesi dan pembedahan. Premedikasi klonidine peroral memberikan efek sedasi yang adekuat tanpa menyebabkan depresi nafas (Gregoretti dkk, 2009).

Dosis klonidin sebagai premedikasi oral adalah 4 mcg/kgBB dan untuk pemberian perectal 5 mcg/kgBB memberikan efek sedasi yang adekuat. Onset sedasi klonidin 38-90 menit (Basker dkk, 2009).

5. Diazepam

Diazepam merupakan salah satu obat yang termasuk dalam golongan benzodiazepin. Benzodiazepin adalah obat yang memilki efek


(28)

commit to user

farmakologis, yaitu anxiolitik, sedasi, anti konvulsan, relaksasi otot yang dimediasi sumsum tulang belakang, dan anterograde amnesia. Efek amnesia dari benzodiazepine lebih besar dari efek sedasinya. Memori tidak akan dihapus oleh benzodiazepine. Penggunaan benzodiazepines sangat penting terutama untuk mengatasi anxietas dan pengobatan insomnia. Karena efek tersebut benzodiazepin/diazepam sering dipakai untuk mengganti barbiturat untuk preoperatif dan menghasilkan sedasi dalam pada rumatan anestesi (Barash dkk, 2006).

Benzodiazepin menghasilkan efek farmakologis melalui gamma-aminobutirat (GABA), salah satu penghambat neurotransmitter di sistem saraf pusat. Benzodiazepin tidak mengaktivasi reseptor GABA namun meningkatkan kemampuan reseptor untuk mengikat GABA. Sebagai hasilnya, reseptor GABA akan meningkat kemampuannya untuk neurotransmitter inhibitor, sehingga akan membuka chanel dari klorida, yang akan meningkatkan konduksi dari ion klor, sehingga akan menyebabkan hyperpolarisasi dari membrane sel pascasinaps dan menyebabkan neuron semakin resisten terhadap rangsang eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi inilah yang menyebabkan terjadinya anxyolitik, sedasi, anterograde amnesia, potensiasi alcohol, anti konvulsan serta efek pelemas otot (Stoelting dkk, 2006).

Sepertinya efek sedasi dari benzodiazepin disebabkan karena aktifasi subunit alpha-1 oleh reseptor GABA dimana efek anxiolitis disebabkan karena subunit alpha-2. Alpha-1 mengandung reseptor


(29)

GABAa sebagai subtipe reseptor yang paling banyak (korteks serebral, cortex cerebelum, dan thalamus) dengan jumlah kira-kira 60% dari reseptor GABA. Subunit alpha-2 lebih sedikit jumlahnya dan terdapat terutama pada hipokampus, dan nucleus amygdale. Distribusi anatomi ini menggambarkan efek minimal dari obat ini di luar SSP (efek sirkulasi yang minimal) (Stoelting dkk, 2006).

Diazepam diabsorpsi cepat dari saluran pencernaan setelah pemberian peroral, yang akan mencapai konsentrasi puncak setelah 1 jam pada orang dewasa namun pada pediatrik dapat mencapai 15-30 menit. Pengambilan kembali secara cepat pada otak akan diikuti dengan distribusi kembali pada jaringan yang tidak aktif seperti lemak, hal ini karena diazepam sangat tidak larut dalam lemak (Stoelting dkk, 2006).

Diazepam terutama akan dimetabolisir oleh enzim mikrosomal hepar dengan jalur oksidatif dari N-dimethilasi. Dua hasil metabolit utama dari diazepam adalah desmethyldiazepam dan oxasepam dan juga sedikit hasil temazepam. Desmethyldiazepam dimetabolis lebih lambat daripada oxazepam dan hanya sedikit kurang poten dibanding dengan diazepam. Oleh karena itu hasil metabolit ini akan berkontribusi pada efek ngantuk 6-8 jam pasca pemberian diazepam (Stoelting dkk, 2006).

Sirosis hepatis akan menyebabkan waktu paruh eliminasi dari diazepam menjadi 5 kali lebih lama. Selain itu waktu paruh eliminasi juga akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, yang juga akan meningkatkan sensitifitas pasien tesebut terhadap efek sedasi.


(30)

commit to user

Perpanjangan waktu paruh eliminasi dari diazaepam pada pasien sirosis hepatis dikarenakan terjadinya pengurangan dari ikatan proten dengan obat yang akan menyebabkan volume distribusi akan semakin meningkat. Selain itu klirens hepar terhadap diazepam juga akan berkurang yang mencerminkan menurunnya arus darah pada hepar sebagai karakteristik dari sirosis hepatis (Stoelting dkk, 2006).

Diazepam seperti benzodiazepine lain menghasilkan efek minimal pada ventilasi dan juga sirkulasi sistemik. Fungsi hepar dan ginjal tidak akan terganggu. Diazepam tidak akan meningkatkan efek nausea dan muntah. Tidak ada perubahan pada konestrasi plasma oleh hormon yang dilepaskan akibat stress seperti katekolamin, kortisol dan arginin (Stoelting dkk, 2006).

Diazepam yang diberikan dengan dosis 0,5-1 mg/kg IV untuk induksi anestesi akan menghasilkan penurunan dari tekanan darah sistemik, kardiak output dan tahanan pembuluh darah perifer yang sama besarnya pada pasien yang tidur secara alami. Ada depresi pada respon denyut jantung yang dikaitkan dengan baroreseptor lebih rendah dibandingkan dengan depresi yang disebabkan oleh zat inhalasi anestesi. Pada pasien dengan peningkatan tekanan akhir diastolic, diazepam dosis ringan akan menybabkan penurunan tekanan ini. Diazepam sepertinya tidak memberikan efek langsung pada sistem saraf simpatis, dan tidak menyebabkan hipotensi ortostatik (Barash dkk, 2006).


(31)

Insidens dan besar dari penurunan tekanan darah yang dihasilkan diazepam, sepertinya lebih rendah dibandingkan dengan pemberian barbitruat yang diberikan secara intravena pada induksi anesthesia. Sehingga terkadang pasien akan mengalami hipotensi yang tidak terduga bahkan dengan pemberian diazepam dosis rendah (Barash dkk, 2006).

Diazepam sebagai premedikasi peroral pada pasien pediatrik digunakan dosis 0,2-0,3 mg/kgBB, dapat memberikan efek sedasi dan ansiolitik yang adekuat (Barash dkk, 2006).

B. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep PEDIATRIK PREOPERASI

Stres Operasi : Laringoskopi Intubasi ETT

Tindakan Bedah

PREMED. KLONIDIN

Hipnotik-sedatif Anxiolitik Simpatolitik Stabilitas hemodinamik

Ansietas Trauma Psikis Berpisah dari orangtua

P reoper a tive Crying

PREMED. DIAZEPAM

Hipnotik-sedatif Anxiolitik Anti konvulsan Anterograde amnesia

RESPON HEMODINAMIK (HR) LEVEL SEDASI


(32)

commit to user

C. Hipotesis Penelitian

Pemberian premedikasi oral klonidin 4 µ g/kgBB memiliki efek sedasi dan respon hemodinamik yang lebih baik dibanding dengan oral diazepam 0,2 mg/ kgBB.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Februari-Maret 2012.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan uji klinik tahap III dengan ra ndomized controlled tria l, double blind, membandingkan pemberian premedikasi peroral klonidin 4 mcg/kgBB dan diazepam 0,2 mg/kgBB pada operasi pasien pediatrik.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien bedah pediatrik usia 2 12 tahun dengan status fisik ASA I II, yang menjalani operasi dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan setuju dilakukan tindakan anestesi dan pembedahan.

D. Data dan Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data didapat dari wawancara langsung dengan pasien dan atau orang tua pasien, catatan medis dan hasil pemeriksaan langsung.

1. Kriteria Inklusi


(34)

commit to user

b. Status fisik ASA I II dengan kelas Mallampati I II.

c. Jenis operasi elektif dengan anestesi umum intubasi endotrakeal. d. Setuju dilakukan tindakan anestesi dan pembedahan.

2. Kriteria Eksklusi

a. Riwayat hipersensitif dengan pengobatan klonidin atau diazepam. b. Tindakan laringoskopi intubasi lebih dari 60 detik.

c. Terjadi efek samping yang memerlukan intervensi lain. 3. Besar Sampel

Open Epi dengan dasar hasil penelitian Malde dkk, 2006 dengan judul Ora l Clonidine in Children : Effica cy a s Pr emedica nt a nd P ost Ana lgesic a s Compa red to Diazepam, didapatkan mea n level sedasi kelompok clonidine adalah 2.77 ± 0.42 dan kelompok diazepam 2.08 ± 0.57 berbeda signifikan, dengan interval kepercayaan 95%, kuasa penelitian 80%, didapatkan hasil besar sampel untuk masing masing kelompok adalah 9 pasien (Lampiran.5).

Rumus ukuran sampel lain yang sering digunakan adalah dengan menguji hipotesis satu sisi tentang beda mea n dari dua populasi :

n =

2 merupakan varians populasi yang tidak diketahui nilai nya,

tetapi dapat diperkirakan dari studi awal menggunakan sp2. Sedang µ 1 µ 2 merupakan beda mea n yang diperkirakan.


(35)

s

p2

=

(Murti, 2010)

Dari hasil perhitungan tersebut, didapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 9 sampel tiap kelompok.

Dari perhitungan ukuran sampel, diambil kesimpulan bahwa jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 18 sampel.

E. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Klonidin 4 g/kgBB Diazepam 0.2 mg/KgBB 2. Variabel Tergantung

Level Sedasi

Respons Hemodinamik (HR-0, HR-1, HR-2, HR-3, HR-4,RH5)

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Pemberian Klonidin Peroral

Klonidin dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan berat badan dengan dosis 4 µ g/kgBB peroral.

Skala pengukuran : kontinu 2. Pemberian Diazepam Peroral

Diazepam dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan berat badan dengan dosis 0,2 mg/kgBB peroral.


(36)

commit to user

Skala pengukuran : kontinu

3. Level Sedasi

Level sedasi dinilai dengan skala Ramsay. Level sedasi dinilai 30-60 menit setelah minum obat, sesaat sebelum masuk ruang operasi.

Skala pengukuran : kategorikal 4. Respons Hemodinamik

Respons hemodinamik yang diukur :

1. Detak jantung awal sebelum minum obat (HR-0) 2. Detak jantung 30-60 menit setelah minum obat (HR-1) 3. Detak jantung sesaat setelah laringoskopi intubasi (HR-2)

4. Detak jantung 2 dan 5 menit setelah laringoskopi intubasi (HR-3, HR-4)

5. Detak jantung 1 menit setelah incisi kulit/mulai operasi. (HR-5) Alat ukur : monitor EKG


(37)

G. Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian Populasi

Sampel

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Randomisasi

Kelompok Diazepam Kelompok Klonidin

Data Dasar Denyut jantung

(HR0)

Klonidin 4 µ g/ kg BB Diazepam 0.2 mg/kgBB

Level Sedasi (LS) (HR1)

Induksi

Laringoskopi dan Intubasi

Menit ke 3 (HR3)

Uji Hipotesis

Kesimpulan

Menit ke 5 Menit ke 1

(HR2) (HR4)

Menit 1-Incisi (HR5)


(38)

commit to user

H. Alat dan Obat

1. Peralatan

a. Laringoskop dan tabung endotrakeal yang sesuai ukuran masing masing pasien.

b. Tabung oropharyngeal yang sesuai ukuran masing masing pasien. c. Mesin anestesi dengan vaporizer halotan.

d. Bedside monitor (Non invasif : tekanan darah, denyut jantung, saturasi O2, elektrokardiografi).

e. Infus set transfusi.

f. Kateter intravena 22-20 Gauge. g. Klep tiga jalur dan tabung pemanjang. h. Timbangan berat badan.

2. Obat

a. Cairan infus NaCl 0,9%, dan Dextrosa 1/2NS, Ringer Laktat. b. Anestesi inhalasi halotan.

c. ValisanbeTM tablet 5 mg, dibuat puyer untuk sirup. d. CattapresTM tablet 100 mg, dibuat puyer untuk sirup. e. Ketamin 1% injeksi.

f. Atrakurium injeksi, kemasan ampul 50mg 5 ml. g. Sulfas atropin injeksi, 0,25 mg 1 ml.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan ijin dari Komite Etik RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Komite Etik melakukan pengkajian dan


(39)

setuju untuk dilakukan penelitian dengan prinsip tidak melanggar etika praktek kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada manusia.

Penelitian dilakukan dengan persetujuan dari pasien atau keluarga dengan cara menandatangani surat persetujuan operasi yang diajukan oleh peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan, risiko, alternatif tindakan yang akan dilakukan, prognosis, dan manfaat dari prosedur yang akan dilakukan.

J. Analisis Data

Data yang didapat dilakukan analisis dengan program SPSS 17 for Windows. Dilakukan pencarian nilai rerata dari data demografi variabel. Perbandingan variabel pada masing masing kelompok akan dianalisa menggunakan uji Mann-Whitney untuk data peringkat atau ordinal, sedangkan untuk data kontinu menggunakan uji t-independen.


(40)

commit to user

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini membandingkan penggunaan premedikasi peroral antara klonidin 4 g/kgBB dan diazepam 0,2 mg/kgBB terhadap level sedasi dan respons hemodinamik (detak jantung) pada pasien pediatrik. Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik RS Dr Moewardi Surakarta, terhadap 18 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok klonidin dan kelompok diazepam, yang mendapatkan terapi standar anestesi bedah pediatrik ditambah premedikasi peroral klonidin dan diazepam.

1. Karakteristik Umum Variabel Penelitian

Karakteristik sampel penelitian meliputi jenis kelamin, umur (tahun), berat badan (kg), status fisik ASA, diagnosa, malampati dan data hea rt ra te awal/HR-0 (baseline). Data sampel dibedakan menurut skala kontinu dan skala kategorik. Skala kontinu dilakukan uji Mann-Whitney dan skala kategorik dilakukan uji Chi-Square. Deskripsi sampel berdasarkan kelompok klonidin dan kelompok diazepam digambarkan pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Tabel 4.1 Karakteristik sampel (data kontinu)

Variabel Klonidin Diazepam

Mann-Whitney P n Mean SD n Mean SD

Umur (tahun) Berat Badan (kg) HR awal (x/mnt)

9 9 9

7,56 ± 3,43 23,44 ± 8,72 115,00 ± 8,21

9 9 9

7,72 ± 2,95 24,11 ± 7,85 113,00 ± 8,26

37.500 39.500 30.000 0,790 0,929 0,353 Sumber : data primer, 2012, diolah


(41)

Gambar 4.1 Jumlah sampel menurut umur kelompok klonidin dan diazepam

Tabel 4.2 Karakteristik sampel (data kategorikal)

Variabel Klonidin Diazepam X2 P

n % n %

Jenis Kelamin L P Total 4 5 9 44,40 55,60 100,00 5 4 9 55,60 44,40 100,00

0,22 0,637 Status ASA 1 2 Total 4 5 9 44,40 55,60 100,00 3 6 9 33,30 66,70 100,00

0,23 0,629 Malampati 1 2 Total 5 4 9 55,60 44,40 100,00 4 5 9 44,40 55,60 100,00

0,22 0,637 Diagnosa 1 2 3 4 Total 6 2 0 1 9 66,70 22,20 0,00 11,10 100,00 4 4 1 0 9 44,40 44,40 11,10 0,00 100,00

3,07 0,381

Sumber : data primer, 2012, diolah

Data demorafi di uji statistik untuk melihat perbedaan antara kedua kelompok. Pada uji Mann-Whitney dan Chi-Square menunjukkan sebaran data awal penelitian berbeda tidak bermakna (p>0,05) atau sebaran data kedua kelompok homogen sehingga data penelitian layak diperbandingkan.


(42)

commit to user

2. Hasil Analisis Perbandingan

Perbandingan variabel pada masing masing kelompok dianalisa menggunakan uji Mann-Whitney untuk data peringkat atau ordinal, untuk data kontinu menggunakan uji t-independen, dan untuk mengetahui perbedaan respons hemodinamik antar waktu pengamatan kedua kelompok digunakan uji t berpasangan.

Data variabel level sedasi kedua kelompok dilakukan uji Mann-Whitney seperti pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Uji Mann-Whitney tentang perbedaan rerata level sedasi

Kelompok n Mean SD Median

Mann-Whitney P

KLONIDIN 9 3,11 ± 0,60 3,00

15.000 0,013

DIAZEPAM 9 2,33 ± 0,50 2,00

Sumber : data primer, 2012 diolah.

Hasil uji Mann-Whitney terhadap data peringkat level sedasi antara kelompok klonidin dan kelompok diazepam didapatkan hasil nilai p=0,013. Terdapat perbedaan level sedasi yang bermakna antar kedua kelompok perlakuan. Kelompok klonidin memberikan level sedasi yang lebih dalam dibandingkan dengan kelompok diazepam.

Hasil uji t independen terhadap data respons hemodinamik (detak jantung) pada kelompok klonidin dan diazepam sebelum premedikasi (HR-0), setelah pemberian premedikasi (HR-1), sesaat setelah laringoskopi intubasi (HR-2), dua dan lima menit setelah intubasi (HR-3 dan HR-4), dan sesaat setelah insisi/mulai operasi (HR-5) seperti Tabel. 4.5.


(43)

Tabel. 4.4 Uji t tentang perbedaan rerata respons hemodinamik pada berbagai waktu pengamatan

KELOMPOK N Mean Std. Deviation P

HR_0 KLONIDIN 9 115,89 8,207 0,468

DIAZEPAM 9 113,00 8,261 0,468

HR_1 KLONIDIN 9 100,44 11,381 0,099

DIAZEPAM 9 110,22 12,286 0,099

HR_2 KLONIDIN 9 109,44 9,964 0,023

DIAZEPAM 9 121,00 9,513 0,023

HR_3 KLONIDIN 9 107,89 10,006 0,013

DIAZEPAM 9 125,11 15,471 0,014

HR_4 KLONIDIN 9 108,33 10,210 0,001

DIAZEPAM 9 128,33 10,356 0,001

HR_5 KLONIDIN 9 109,11 10,529 0,039

DIAZEPAM 9 125,67 19,468 0,044

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Hasil uji t-independen terhadap HR-0 sebelum diberikan obat menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p=0,468) antar kedua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukan sebelum perlakuan (pemberian premedikasi klonidin atau diazepam) data HR-0 (baseline) berbeda tidak bermakna pada kedua kelompok perlakuan.

Setelah pemberian obat juga didapatkan perbedaan tidak bermakna (p=0,099) pada rata-rata HR-1 kedua kelompok perlakuan. Sehingga secara statistik respons hemodinamik kedua kelompok setelah pemberian premedikasi (klonidin dan diazepam), berbeda tidak bermakna. Tidak ada perubahan respons hemodinamik setelah pemberian premedikasi.

Data HR-2, HR-3, HR-4 dan HR-5 menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada kedua kelompok perlakuan. Perbedaan rata-rata kedua kelompok perlakuan seperti Gambar 4.1.


(44)

commit to user

Gambar 4.2 Perbedaaan rerata detak jantung kelompok klonidin dan diazepam menurut waktu pengamatan

Dari Gambar 4.1 didapatkan rerata HR lebih stabil pada kelompok klonidin dibanding kelompok diazepam.

Efek samping yang diobservasi pada kedua kelompok perlakuan muncul pada kelompok klonidin, yaitu bradikardi seperti pada Tabel 4.4.

Tabel. 4.5 Efek samping premedikasi klonidin dan diazepam peroral

Efek samping Klonidin Diazepam

Bradikardi Depresi nafas Desaturasi Reaksi Alergi 2 0 0 0 0 0 0 0 Sumber : data primer, 2012 diolah

B. Pembahasan

Klonidin bekerja secara sentral menghasilkan efek sedasi dengan menekan aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis (Nacimento dkk, 2007) sedangkan diazepam bekerja dengan meningkatkan kemampuan reseptor untuk mengikat GABA, sehingga reseptor GABA (neurotransmitter inhibitor)

115.89

100.44 109.44 107.89

108.33 109.11 113

110.22

121 125.11

128.33 125.67

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

HR-0 HR-1 HR-2 HR-3 HR-4 HR-5

H e a rt r a te k a li / m e n it Waktu pengamatan klonidin diazepam


(45)

akan meningkat dan membuka saluran klorida, yang akan meningkatkan konduksi dari ion klor. Hal ini menyebabkan terjadinya hyperpolarisasi dari membran sel pascasinaps dan menyebabkan neuron semakin resisten terhadap rangsang eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi ini menyebabkan efek sedasi dari diazepam (Stoelting dkk, 2006). Dari patofisiologi efek sedasi klonidin dan diazepam, pada penelitian ini, level sedasi lebih dalam dihasilkan oleh klonidin (3,11 ± 0,60) dibanding diazepam (2,33 ± 0,50) dengan nilai p=0,013 (Tabel 4.3). Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian Malde dkk, 2006 dimana rerata level sedasi kelompok klonidin lebih tinggi dibanding kelompok diazepam (p<0,05).

Setelah pemberian premedikasi klonidin dan diazepam peroral, terdapat perbedaan respons hemodinamik (HR-1) pada kedua kelompok, tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna dengan nilai p=0,099. (Tabel 4.4). Klonidin sebagai alpha-2 adrenoseptor agonis yang beinteraksi dengan system saraf katekolaminergik yang memodulasi tonus dan refleks kontrol detak jantung serta menurunkan pelepasan norephineprin dari saraf sentral dan perifir sehingga menyebabkan penurunan detak jantung (Raval DL, dkk, 2002). Penurunan detak jantung yang mencolok terjadi pada 2 pasien dalam penelitian ini, dimana penurunan tersebut tidak menyebabkan gangguan hemodinamik lain dan tidak memerlukan tindakan khusus. Tetapi secara statistik penurunan rerata detak jantung antar kedua kelompok secara statistik berbeda tidak bermakna (p>0,05).

Hubungan antara HR-1 dibandingkan dengan HR-0 (baseline) pada masing-masing kelompok seperti pada Tabel 4.6.


(46)

commit to user

Tabel. 4.6 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding HR-1 kelompok klonidin dan diazepam

KELOMPOK N Mean Std. Deviation P

Klonidin HR-0 9 115,89 8,21

0,005

HR-1 9 100,44 11,38

Diazepam HR-0 9 113,00 8,26

0,249

HR-1 9 110,22 12,29

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Pada kelompok klonidin hubungan antara HR-0 (sebelum pemberian premedikasi) dan HR-1 (30-60 menit setelah premedikasi) memberikan beda rerata yang bermakna dengan p=0,005. Sedangkan pada kelompok diazepam antara HR-0 dan HR-1 terdapat perbedaan tidak bermakna dengan nilai p=0,249. Hal ini menjelaskan bahwa efek samping premedikasi klonidin adalah terjadi bradikardi, tetapi kondisi ini tidak memerlukan terapi khusus, tetapi beberapa peneliti menganjurkan pemberian preparat atropin peroral sebelum premedikasi klonidin (Mikawa K dkk,1996).

Tindakan laringoskopi intubasi oleh tubuh diterjemahkan sebagai stimulus nyeri yang kemudian memicu respons merugikan pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan sistem fisiologis lainnya (Atlee dkk, 2007). Respons hemodinamik yang berlebih harus dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler yang telah ada sebelumnya (Marquez dkk, 2009). Pada penelitian ini respons hemodinamik setelah tindakan laringoskopi intubasi (HR-2) menunjukkan perbedaan rerata antara kelompok klonidin (109,44 ± 9,964) dan kelompok diazepam (121,00 ± 9,513) yang secara statistik berbeda bermakna dengan nilai p=0,023. Kondisi ini menjelaskan efek klonidin dalam menekan respons hemodinamik lebih baik dibanding diazepam.


(47)

Hubungan antara HR-2 dibandingkan dengan HR-0 (baseline) pada masing-masing kelompok seperti pada Tabel 4.7.

Tabel. 4.7 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding HR-2 kelompok klonidin dan diazepam

KELOMPOK n Mean Std. Deviation P

Klonidin HR-0 9 115,89 8,21

0,086

HR-2 9 109,44 9,96

Diazepam HR-0 9 113,00 8,26

0,001

HR-2 9 121,00 9,51

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Pada kelompok klonidin hubungan antara HR-0 (sebelum pemberian premedikasi) (115,89 ± 8,21) dan HR-2 (sesaat setelah laringoskopi intubasi) (109,44 ± 9,96) memberikan beda rerata yang tidak bermakna dengan p=0,086. Sedangkan pada kelompok diazepam antara HR-0 (113,00 ± 8,26) dan HR-2 (121,00 ± 9,51) terdapat perbedaan secara statistik bermakna dengan nilai p=0,001. Kondisi ini menjelaskan pada kelompok klonidin detak jantung awal/HR-0 sebelum perlakuan dibanding dengan sesaat setelah laringoskopi intubasi/HR-2, ada perbedaan rerata detak jantung yang tidak bermakna, atau respons hemodinamik setelah dilakukan laringoskopi intubasi relatif tetap/stabil. Sementara pada kelompok diazepam terdapat beda rerata yang secara statistik bermakna atau terjadi perubahan respons hemodinamik setelah dilakukan tindakan laringoskopi intubasi.

Hubungan antara rerata HR-5 (sesaat setelah incisi kulit/mulai operasi) dibandingkan dengan rerata HR-0 (baseline) pada masing-masing kelompok seperti pada Tabel 4.8.


(48)

commit to user

Tabel. 4.8 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding HR-5 kelompok klonidin dan diazepam

KELOMPOK n Mean Std. Deviation P

Klonidin HR-0 9 115,89 8,21

0,034

HR-5 9 109,11 10,53

Diazepam HR-0 9 113,00 8,26

0,019

HR-5 9 125,67 19,47

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Pada kelompok klonidin hubungan antara HR-0 (sebelum pemberian premedikasi) (115,89 ± 8,21) dan HR-5 (sesaat setelah incisi/mulai operasi) (109,11 ± 10,53) memberikan beda rerata yang secara statistik bermakna dengan p=0,034. Sedangkan pada kelompok diazepam antara HR-0 (113,00 ± 8,26) dan HR-5 (125± 19,47) terdapat beda rerata yang secara statistik bermakna dengan nilai p=0,019. Kondisi ini menjelaskan pada kelompok klonidin, detak jantung awal (HR-0) sebelum perlakuan dibanding dengan sesaat setelah incisi kulit/mulai operasi ada perbedaan rerata detak jantung, demikian juga pada kelompok diazepam terdapat beda rerata yang secara statistik bermakna.

Secara keseluruhan selama tindakan anestesi dan bedah menunjukkan respons hemodinamik (HR-2, HR-3, HR-4, HR-5) kelompok klonidin lebih stabil atau respons hemodinamik yang terjadi akibat tindakan anestesi dan bedah lebih minimal dibanding dengan kelompok diazepam (Tabel.4.4 ).

Efek samping yang terjadi adalah bradikardi yang terjadi pada 2 pasien kelompok klonidin dan tidak ada efek samping yang muncul pada kelompok diazepam (Tabel 4.5). Bradikardi yang terjadi pada kelompok klonidin tidak memerlukan terapi atau tindakan khusus. Bradikardi yang terjadi juga tidak menyebabkan gangguan perfusi organ dan kembali normal dalam beberapa menit.


(49)

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Kelompok klonidin memberikan level sedasi yang lebih dalam dibanding kelompok diazepam dan perbedaan tersebut secara statistik berbeda signifikan (p=0,013).

2. Kelompok klonidin memberikan respons hemodinamik sesaat setelah tindakan laringoskopi intubasi (HR-2), 3 dan 5 menit setelah laringoskopi intubasi (HR-3 dan HR-4) dan sesaat setelah tindakan incisi bedah/mulai operasi (HR-5) yang lebih stabil dibanding kelompok diazepam dan secara statistik berbeda signifikan (p<0,05).

B.Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penentuan dosis ekuivalen dan dosis ekuipoten antara klonidin dan diazepem.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kardiovaskuler (hipertensi, takikardi, atau penyakit jantung koroner) dan penyulit intubasi.


(1)

Gambar 4.2 Perbedaaan rerata detak jantung kelompok klonidin dan diazepam menurut waktu pengamatan

Dari Gambar 4.1 didapatkan rerata HR lebih stabil pada kelompok klonidin dibanding kelompok diazepam.

Efek samping yang diobservasi pada kedua kelompok perlakuan muncul pada kelompok klonidin, yaitu bradikardi seperti pada Tabel 4.4.

Tabel. 4.5 Efek samping premedikasi klonidin dan diazepam peroral

Efek samping Klonidin Diazepam

Bradikardi Depresi nafas Desaturasi Reaksi Alergi 2 0 0 0 0 0 0 0

Sumber : data primer, 2012 diolah

B. Pembahasan

Klonidin bekerja secara sentral menghasilkan efek sedasi dengan menekan aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis (Nacimento dkk, 2007) sedangkan diazepam bekerja dengan meningkatkan kemampuan reseptor

115.89

100.44 109.44 107.89

108.33 109.11 113

110.22

121 125.11

128.33 125.67

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

HR-0 HR-1 HR-2 HR-3 HR-4 HR-5

H e a rt r a te k a li / m e n it Waktu pengamatan klonidin diazepam


(2)

commit to user

dari ion klor. Hal ini menyebabkan terjadinya hyperpolarisasi dari membran sel pascasinaps dan menyebabkan neuron semakin resisten terhadap rangsang eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi ini menyebabkan efek sedasi dari diazepam (Stoelting dkk, 2006). Dari patofisiologi efek sedasi klonidin dan diazepam, pada penelitian ini, level sedasi lebih dalam dihasilkan oleh klonidin (3,11 ± 0,60) dibanding diazepam (2,33 ± 0,50) dengan nilai p=0,013 (Tabel 4.3). Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian Malde dkk, 2006 dimana rerata level sedasi kelompok klonidin lebih tinggi dibanding kelompok diazepam (p<0,05).

Setelah pemberian premedikasi klonidin dan diazepam peroral, terdapat perbedaan respons hemodinamik (HR-1) pada kedua kelompok, tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna dengan nilai p=0,099. (Tabel 4.4). Klonidin sebagai alpha-2 adrenoseptor agonis yang beinteraksi dengan system saraf katekolaminergik yang memodulasi tonus dan refleks kontrol detak jantung serta menurunkan pelepasan norephineprin dari saraf sentral dan perifir sehingga menyebabkan penurunan detak jantung (Raval DL, dkk, 2002). Penurunan detak jantung yang mencolok terjadi pada 2 pasien dalam penelitian ini, dimana penurunan tersebut tidak menyebabkan gangguan hemodinamik lain dan tidak memerlukan tindakan khusus. Tetapi secara statistik penurunan rerata detak jantung antar kedua kelompok secara statistik berbeda tidak bermakna (p>0,05).

Hubungan antara HR-1 dibandingkan dengan HR-0 (baseline) pada masing-masing kelompok seperti pada Tabel 4.6.


(3)

Tabel. 4.6 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding HR-1 kelompok klonidin dan diazepam

KELOMPOK N Mean Std. Deviation P

Klonidin HR-0 9 115,89 8,21

0,005

HR-1 9 100,44 11,38

Diazepam HR-0 9 113,00 8,26

0,249

HR-1 9 110,22 12,29

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Pada kelompok klonidin hubungan antara HR-0 (sebelum pemberian premedikasi) dan HR-1 (30-60 menit setelah premedikasi) memberikan beda rerata yang bermakna dengan p=0,005. Sedangkan pada kelompok diazepam antara HR-0 dan HR-1 terdapat perbedaan tidak bermakna dengan nilai p=0,249. Hal ini menjelaskan bahwa efek samping premedikasi klonidin adalah terjadi bradikardi, tetapi kondisi ini tidak memerlukan terapi khusus, tetapi beberapa peneliti menganjurkan pemberian preparat atropin peroral sebelum premedikasi klonidin (Mikawa K dkk,1996).

Tindakan laringoskopi intubasi oleh tubuh diterjemahkan sebagai stimulus nyeri yang kemudian memicu respons merugikan pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan sistem fisiologis lainnya (Atlee dkk, 2007). Respons hemodinamik yang berlebih harus dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler yang telah ada sebelumnya (Marquez dkk, 2009). Pada penelitian ini respons hemodinamik setelah tindakan laringoskopi intubasi (HR-2) menunjukkan perbedaan rerata antara kelompok klonidin (109,44 ± 9,964) dan kelompok diazepam (121,00 ± 9,513) yang secara statistik berbeda bermakna dengan nilai p=0,023. Kondisi ini menjelaskan efek klonidin dalam menekan respons


(4)

commit to user

masing-masing kelompok seperti pada Tabel 4.7.

Tabel. 4.7 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding HR-2 kelompok klonidin dan diazepam

KELOMPOK n Mean Std. Deviation P

Klonidin HR-0 9 115,89 8,21

0,086

HR-2 9 109,44 9,96

Diazepam HR-0 9 113,00 8,26

0,001

HR-2 9 121,00 9,51

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Pada kelompok klonidin hubungan antara HR-0 (sebelum pemberian premedikasi) (115,89 ± 8,21) dan HR-2 (sesaat setelah laringoskopi intubasi) (109,44 ± 9,96) memberikan beda rerata yang tidak bermakna dengan p=0,086. Sedangkan pada kelompok diazepam antara HR-0 (113,00 ± 8,26) dan HR-2 (121,00 ± 9,51) terdapat perbedaan secara statistik bermakna dengan nilai p=0,001. Kondisi ini menjelaskan pada kelompok klonidin detak jantung awal/HR-0 sebelum perlakuan dibanding dengan sesaat setelah laringoskopi intubasi/HR-2, ada perbedaan rerata detak jantung yang tidak bermakna, atau respons hemodinamik setelah dilakukan laringoskopi intubasi relatif tetap/stabil. Sementara pada kelompok diazepam terdapat beda rerata yang secara statistik bermakna atau terjadi perubahan respons hemodinamik setelah dilakukan tindakan laringoskopi intubasi.

Hubungan antara rerata HR-5 (sesaat setelah incisi kulit/mulai operasi) dibandingkan dengan rerata HR-0 (baseline) pada masing-masing kelompok seperti pada Tabel 4.8.


(5)

Tabel. 4.8 Uji t tentang rerata respons hemodinamik HR-0 dibanding HR-5 kelompok klonidin dan diazepam

KELOMPOK n Mean Std. Deviation P

Klonidin HR-0 9 115,89 8,21

0,034

HR-5 9 109,11 10,53

Diazepam HR-0 9 113,00 8,26

0,019

HR-5 9 125,67 19,47

Sumber : data primer, 2012, diolah.

Pada kelompok klonidin hubungan antara HR-0 (sebelum pemberian premedikasi) (115,89 ± 8,21) dan HR-5 (sesaat setelah incisi/mulai operasi) (109,11 ± 10,53) memberikan beda rerata yang secara statistik bermakna dengan p=0,034. Sedangkan pada kelompok diazepam antara HR-0 (113,00 ± 8,26) dan HR-5 (125± 19,47) terdapat beda rerata yang secara statistik bermakna dengan nilai p=0,019. Kondisi ini menjelaskan pada kelompok klonidin, detak jantung awal (HR-0) sebelum perlakuan dibanding dengan sesaat setelah incisi kulit/mulai operasi ada perbedaan rerata detak jantung, demikian juga pada kelompok diazepam terdapat beda rerata yang secara statistik bermakna.

Secara keseluruhan selama tindakan anestesi dan bedah menunjukkan respons hemodinamik (HR-2, HR-3, HR-4, HR-5) kelompok klonidin lebih stabil atau respons hemodinamik yang terjadi akibat tindakan anestesi dan bedah lebih minimal dibanding dengan kelompok diazepam (Tabel.4.4 ).

Efek samping yang terjadi adalah bradikardi yang terjadi pada 2 pasien kelompok klonidin dan tidak ada efek samping yang muncul pada kelompok diazepam (Tabel 4.5). Bradikardi yang terjadi pada kelompok klonidin tidak memerlukan terapi atau tindakan khusus. Bradikardi yang terjadi juga tidak


(6)

commit to user

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Kelompok klonidin memberikan level sedasi yang lebih dalam dibanding kelompok diazepam dan perbedaan tersebut secara statistik berbeda signifikan (p=0,013).

2. Kelompok klonidin memberikan respons hemodinamik sesaat setelah tindakan laringoskopi intubasi (HR-2), 3 dan 5 menit setelah laringoskopi intubasi (HR-3 dan HR-4) dan sesaat setelah tindakan incisi bedah/mulai operasi (HR-5) yang lebih stabil dibanding kelompok diazepam dan secara statistik berbeda signifikan (p<0,05).

B.Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penentuan dosis ekuivalen dan dosis ekuipoten antara klonidin dan diazepem.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kardiovaskuler (hipertensi, takikardi, atau penyakit jantung koroner) dan penyulit intubasi.