PEMBINAAN KESADARAN WARGA NEGARA DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP (THE LIVING ENVIRONMENT) PADA MASYARAKAT ADAT KUTA.

(1)

PEMBINAAN KESADARAN WARGA NEGARA DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP

(THE LIVING ENVIRONMENT) PADA MASYARAKAT ADAT KUTA

(Studi Kasus di Kampung Adat Kuta Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh

WINA NURHAYATI PRAJA (1302237)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015

LEMBAR HAK CIPTA

PEMBINAAN KESADARAN WARGA NEGARA DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP

(THE LIVING ENVIRONMENT) PADA MASYARAKAT ADAT KUTA


(2)

(Studi Kasus di Kampung Adat Kuta Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis)

Oleh

Wina Nurhayati Praja (1302237)

Sebuah Tesis yang diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected] Universitas Pendidikan Indonesia

Maret 2015

Hak cipta dilindungi undang-undang

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruh atau sebagian,


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul "Pembinaan

Kesadaran Warga Negara Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pada Masyarakat Adat Kuta (Studi Kasus Di Kampung

Adat Kuta Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis)" ini beserta seluruh isinya adalah benar - benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 20 Maret 2015 Yang Membuat Pernyataan

Wina Nurhayati Praja NIM. 1302237


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

PEMBINAAN KESADARAN WARGA NEGARA DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP

(THE LIVING ENVIRONMENT) PADA MASYARAKAT ADAT KUTA

(Studi Kasus di Kampung Adat Kuta Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis)

Mengesahkan dan Menyetujui, Pembimbing,

Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si. NIP: 196203161988031003

Mengetahui,

Ketua Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed. NIP: 196308201988031001


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Permasalahan mengenai lingkungan hidup, seperti pencemaran, kerusakan, dan bencana dari tahun ke tahun masih terus berlangsung dan semakin meluas. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan tetapi juga memberikan dampak yang sangat serius pada kesehatan dan jiwa manusia. Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, yang berbunyi bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Salah satu bukti nyata Pemerintah Indonesia dalam menciptakan kesejahteraan warga negaranya terutama dalam memperoleh lingkungan hidup yang layak yakni telah ikut berpartisipasi dalam menandatangani Deklarasi Millenium pada KTT Millenium PBB yang dilaksanakan pada bulan September 2000. Deklarasi ini kemudian menyepakati tujuan-tujuan pembangunan global yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Program Millenium

Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh 189 negara termasuk Indonesia,

merumuskan delapan target pembangunan yang harus tercapai pada tahun 2015. Adapun target tersebut meliputi penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan terhadap penyakit, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerjasama global. Saat ini sudah separuh perjalanan (mid point) pelaksanaan MDGs. Tercapainya MDGs sangat dipengaruhi oleh adanya sinergisitas antara pemerintah (eksekutif dan legislatif), masyarakat, media, dan kelompok bisnis. (Taylor, 2010).


(6)

Begitupun dengan kondisi di Indonesia, sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat ini masih belum terlihat dan sulit dilakukan, karena setiap elemen masyarakat masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini terlihat pada pengalokasian anggaran maupun pembuatan kebijakan yang belum searah dengan pelaksanaan MDGs (Anna, 2012). Selain itu bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, media atau kelompok bisnis dalam penentuan kebijakan anggaran maupun peraturan belum banyak diakomodir oleh pemerintah. Salah satu akibatnya membuat arah pembangunan tidak jelas dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability).

Persoalan lainnya adalah sudah sekian lama MDGs berlangsung, namun pelestarian penyelamatan lingkungan belum menjadi perhatian semua pihak. Alhasil terjadi kecenderungan menurunnya proporsi luas kawasan hutan di beberapa daerah yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya konversi lahan hutan menjadi perkebunan (kelapa sawit), menjadi industri pabrik, pertambangan, illegal loging, dan sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh Andisi (2012) bahwa Indonesia saat ini lebih cocok dikenal sebagai negara bencana. Barangkali itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini.

Berbagai bencana alam selalu menimpa Indonesia, dan persoalan itu semata-mata tidak dipahami secara sosial, ekonomi dan politik (human error,

management error). Penebangan hutan yang dilakukan tanpa memperdulikan

keseimbangan ekosistem sehingga menimbulkan kerusakan alam seperti banjir bandang, eksploitasi kandungan bumi tanpa memperhitungkan harkat dan masa depan masyarakat. Bahkan kasus semburan lumpur panas Lapindo akibat pengemboran gas di Sidoarjo, kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan, banjir, menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya berbagai jenis penyakit yang terkait yang sudah dan akan terjadi di Indonesia. Kondisi tersebut dibenarkan oleh Marita (2014), bahwa Indonesia sebagai negara yang kondisi iklim dan alamnya rentan terhadap perubahan iklim global yang dipicu oleh pemanasan global, maka Indonesia harus menyiapkan masyarakatnya untuk menghadapi kemungkinan yang dapat ditimbulkan oleh fenomena tersebut.


(7)

Kelestarian lingkungan hidup lebih memprihatinkan karena semakin terasa turunnya selain kualitas hidup juga kualitas habitat yang diperlukan untuk menopang kehidupan. Sebagai akibatnya semakin tercemarnya udara, tanah, dan air, hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan mengalami disparitas karena rendahnya nilai terhadap masalah ekologi sosial, manusia, kebudayaan, fisik dan biologi.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Anna (2014) dengan judul “Dilema Inovasi Sadar Lingkungan” (Kompas, 10/06/2014), mengungkapkan bahwa krisis lingkungan bukan disebabkan oleh kerusakan alam atau disebabkan salah arah terhadap aktivitas biologis dan bukan karena adanya anggapan manusia tidak ubahnya sebagai hewan yang kotor, dan bukan pula oleh sejumlah penduduk, akan tetapi semuanya ini disebabkan oleh perilaku sebagian masyarakat yang selalu ingin menang dan ingin menguasai kekayaan alam demi keuntungan yang sebesar mungkin.

Interaksi manusia dengan lingkungannya tidak lagi berpola sebagai komponen biosfer akan tetapi sebaliknya, tumbuhnya dan keberadaban manusia dikatakan sebagai penyebab rusaknya lingkungan. Lebih parah lagi muncul kesan pemerintah Indonesia telah mengorbankan kelestarian lingkungan demi dan mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya bencana alam berupa tanah longsor dan banjir di beberapa daerah menjadi bukti nyata kurangnnya perhatian pemerintah pada kelestarian lingkungan ini. Seperti terlihat pada kasus tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia (Jakarta, Bogor, Jatim, Jabar, Palembang, Aceh, NTT, Tangerang, dll). Padahal akar persoalannya terletak pada rusaknya ekosistem hutan. Melihat kekhawatiran tentang kerusakan alam, maka PBB melakukan konferensi. Konferensi PBB ini disebut Konferensi Bumi (The Earth Summit)/ tentang Lingkungan dan Pembangunan yang memberikan prioritas tinggi dalam Agenda 21 kepada peranan pendidikan. Pertemuan ini berfokus pada proses orientasi dan re-orientasi pendidikan dalam rangka membantu perkembangan nilai-nilai dan tingkah laku yang bertanggung jawab bagi lingkungan, juga untuk menggambarkan jalan dan cara melakukannya. (Bart, 1994).


(8)

Sejalan dengan pemikiran Bart, dalam penelitiannya Hartati (2012) mengungkapkan bahwa Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Rights) dan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk

Semua (World Education on Education for All), Forum Pendidikan Dunia (World

Education Forum) menjadikan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang

mendasar dan pendidikan ini merupakan kunci bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, perdamaian dan stabilitas, pertumbuhan sosial ekonomi, dan pembangunan bangsa. Sehingga tujuan masyarakat Indonesia untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan dalam bidang pendidikan dapat terwujud dengan baik sesuai dengan program yang didukung oleh pemerintah.

Pada pertemuan ke-57 bulan Desember 2002, Sidang Umum PBB menyatakan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan untuk periode 2005-2014, telah menekankan bahwa pendidikan adalah unsur yang sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Terdapat tiga kajian yang saling terkait dan paling sering dikenali dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. (Syahri, 2013).

Tiga unsur ini, ditegaskan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg sebagai tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Dasar dan fondasi untuk keterkaitan tiga unsur ini dengan pembangunan berkelanjutan terdapat dalam dimensi budaya. Kebudayaan dan cara hidup, berhubungan, berperilaku, berkeyakinan dan bertindak yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, sejarah dan tradisi, yang didalamnya umat manusia menjalani kehidupan mereka.

Kaitan proses dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan untuk pembangunan berkelanjutan ESD (Education for Sustainable Development), penekanan pada aspek kebudayaan akan menggaris bawahi pentingnya ESD (Education for

Sustainable Development) merupakan konsep dinamis yang mencakup sebuah visi

baru pendidikan yang mengusahakan pemberdayaan manusia segala usia untuk turut bertanggungjawab dalam menciptakan sebuah masa depan berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan dalam sebuah penelitian Taylor (2010, hlm. 121) Held and McGrew mengungkapkan pentingnya sebuah “environmental citizens the central paradox is that governance is becoming increasingly a multilevel,


(9)

intricately institutionalised and spatially di verse activity, while representation, loyalty and identity remain stubbornly rooted in traditional ethnic, regional and national communities”.

Sheller (2003) menjelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan bersifat dinamis dan terus berkembang. Para pelaku utama pembangunan berkelanjutan haruslah menempatkan peran mereka dalam pendidikan anak-anak, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal dan dalam kegiatan pembelajaran berbasis masyarakat. Ini berarti pendidikan haruslah berubah sehingga mampu menanggapi masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup yang kita hadapi dalam Abad ke-21. Sebagian besar masalah lingkungan hidup kita berakar dari kurangnya pendidikan kita tentang lingkungan hidup dan tentang cara-cara menuju perikehidupan yang berkelanjutan. Budaya memiliki peranan penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Budaya lahir karena muncul dari kebiasaan masyarakat yang membangun suatu komunitas. Budaya merupakan kekayaan luhur suatu bangsa, bangsa tercipta karena didorong oleh pertumbuhan dan perkembangan budaya.

Budaya lokal memiliki peranan penting dalam menjabarkan dan membina nilai-nilai karakter terutama yang sudah membudaya dalam lingkungan budaya lokal. Karakter budaya masyarakat tumbuh dan berkembang seiring perkembangan zaman. Kebiasaan-kebiasaan yang senantiasa dilakukan dalam kehidupan nyata di lingkungan budaya sudah menjadi kekayaan khazanah budaya bangsa. Unsur-unsur budaya terdiri dari bahasa, ras, etnis, rumah adat, pakaian adat, kebiasaan, upacara adat, lingkungan/ kampung adat, makanan khas, dan senjata adat. Budaya lokal merupakan modal besar bagi pembangunan Bangsa Indonesia. Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi sebuah negara yang maju, makmur, adil, berdaulat, bermartabat, dan beradab. Adapun modal besar yang sudah dimiliki bangsa Indonesia sebetulnya sudah nampak pada diri bangsa Indonesia secara tidak disadari, sebagaimana ditegaskan oleh Keraf (2012, hlm. 2-3) adalah:

a). Posisi geopolitik yang sangat strategis; b). Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati; c).Jumlah penduduk yang besar; dan d).


(10)

Kemajemukan sosial budaya, namun modal dasar dan potensi yang besar itu tidak dikelola dengan optimal dan sering disia-siakan, sehingga bangsa ini kehilangan banyak momentum untuk maju dengan cepat, sekaligus menimbulkan masalah yang kompleks.

Pendapat senada dikemukakan oleh Sultan Hamengku Buwono X dalam Rachmad (2008, hlm. 12) bahwa:

Indonesia berpotensi menjadi negara besar, bila ditinjau dari jumlah penduduk, luas wilayah, dan kekayaan sumberdaya alam, keanekaragaman budaya dan etnis, namun perjalanan bangsa ini ibarat mendaki sebuah gunung yang terjal, bahaya selalu mengancam, yang tidak saja diperlukan sikap kehati-hatian, tetapi juga kesabaran dan kewaspadaan.

Mengkaji kedua pendapat tersebut, Indonesia sangat berpotensi menjadi negara yang sangat diperhitungkan di dunia internasional. Indonesia memiliki kemajemukan masyarakat dan kemajemukan budaya. Kemajemukannya itu ditandai dengan beragamnya etnik, suku, ras, bahasa, kesenian, agama atau kepercayaan, cara berpakaian, perilaku/pola hidup masyarakat, dan sebagainya. Keragaman budaya itu merupakan suatu kenyataan dan sekaligus merupakan kekayaan bangsa, yang ciri khas/ keunikannya menjadi kebanggaan kita.

Selain keberagaman etnik, keanekaragaman budaya yang lain dapat kita lihat pada kehidupan masyarakatnya terutama masyarakat perkampungan. Dimana kebudayaan tersebut berakar dari tradisi yang tertanam di masa lampau atau nenek moyangnya. Masyarakat yang masih mempertahankan tradisi dan budaya masa lampau itu dikenal dengan masyarakat adat. Masyarakat adat yang berdiam dengan sederet keunikannya merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa. Masyarakat adat berasal dari sejumlah individu, yang berada di suatu tempat tertentu dengan sistem nilai, norma, adat istiadat/kebiasaan, yang mengatur pola interaksi antara individu anggota masyarakat.

Dipertegas oleh Soekanto (2006, hlm. 76) bahwa “Kebudayaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai

anggota masyarakat”. Keunikan dan keeksotisan adat istidat dari sekumpulan


(11)

Setiap anggota masyarakat terkait harus memiliki kesadaran untuk selalu mempertahankan eksistensinya sebagai pemilik budaya yang khas atau unik. Setiap anggota masyarakat dengan kesadarannya harus mempertahankan nilai dan norma adat istiadat lingkungan masyarakatnya. Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai berdasarkan pembangunan nasional yang hakikatnya dilaksanakan oleh bangsa meliputi seluruh bidang kehidupan. Salah satu bidang pendidikan yang diajarkan di sekolah adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Perspektif mengenai mata pelajaran PKn yang membosankan dapat semakin kuat apabila guru kurang menerapkan pembelajaran yang membangkitkan motivasi belajar. Dalam PKn salah satunya kita dibelajarkan makna kesadaran, begitupun dengan sadar mencintai lingkungan.

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran interdisipliner yang memiliki leading kord political science yang terintegratif terhadap leading sector

antropologi science sebagai pendidikan non-formal/ learning service, yang

dilandasi nilai-nilai Pancasila serta terorganisir dengan baik melalui tujuan pendidikan secara ilmiah. Tujuan pendidikan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 yakni:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sesuai dengan tujuan pendidikan diatas, jelas terlihat bahwa tidak hanya pendidikan formal yang menjadi tanggung jawab keberlangsungan pendidikan, tetapi juga pendidikan non-formal (learning service) dibutuhkan dalam menopang keberlanjutan pendidikan bangsa Indonesia. Sesuai dengan UU Sisdiknas Pasal 8


(12)

disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Ini artinya learning service Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan non-formal harus senantiasa diperhatikan terutama dalam berbagai aktivitas dan kegiatan yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat. Salah satu objek dari learning service yakni the living environment. Secara akademik the

living environment ini bermuara dari Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai action dari PKn. Sebagai antropologi science, the living environment bagian

didalamnya terutama dalam misi antropologi menciptakan masyarakat dalam beberapa kategori, yakni; transmisif, moderatif, dan inovatif. Sehingga masyarakat memiliki rasa kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup.

Kesadaran warga negara dalam menjaga kelestarian lingkungan didasari karena manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri. Kerusakan pada lingkungan hidup pada dasarnya juga merusak pada diri manusia itu sendiri. Prinsip-prinsip deep ecology (Arne Naess dalam Mudhofir, 2010, hlm. 197) adalah:

1. Kesejahteraan dan perkembangan manusia dan non manusia di muka bumi memiliki nilai di dalam dirinya sendiri (seperti nilai intrinsik atau nilai inheren). Nilai-nilai tersebut tidak tergantung dari nilai non-manusia untuk tujuan-tujuan manusia.

2. Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan berkontribusi pada kesadaran nilai-nilai mereka sendiri dan juga nilai-nilai inherennya (dalam dirinya sendiri).

3. Manusia tak memiliki hak untuk mengurangi kekayaan dan keragamannya kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.

4. Perkembangan hidup dan budaya manusia sepadan dengan pengurangan substansial populasi manusia. Perkembangan kehidupan non manusia memerlukan pengurangan semacam ini.

5. Intervensi manusia modern atas dunia non manusia terlalu berlebihan, dan kondisi ini makin memburuk.


(13)

mempengaruhi struktur dasar ekonomi, teknologi, dan juga ideologi. Keadaan yang dihasilkannya akan berbeda dari keadaannya semula.

7. Perubahan ideologi yang utama adalah penghormatan pada kualitas hidup (yakni berada dalam kondisi nilai inheren) bukanya mempertahankan standar hidup yang makin tinggi. Selanjutnya akan muncul kesadaran mendalam standar hidup yang makin tinggi. Selanjutnya akan muncul kesadaran mendalam terhadap perbedaan antara yang besar dan besar sekali (the different between big and great).

8. Mereka yang mendukung poin-poin diatas memiliki kewajiban untuk menerapkan perubahan-perubahan mendesak tersebut, langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan pengetahuan dan pemahaman konteks tersebut, diharapkan akan membangun rasa kesadaran dan perasaan memiliki sebagai bagian dari suatu bangsa. Namun pada kenyataannya kesadaran warga negara dalam melestarikan lingkungan hidup perlu ditingkatkan, mengingat bukan hanya di Indonesia melainkan dunia saat ini sedang mengalami krisis lingkungan yang berakar pada kesalahan perilaku manusia yang berakar pada kesalahan perspektif manusia tentang manusia, sendiri, alam, dan hubungan antar manusia dengan seluruh alam semesta (Keraf, 2012, hlm. 123).

Begitupun Cogan dalam Sapriya (2004, hlm. 9) menambahkan delapan karakteristik yang perlu dimiliki warga negara sehubungan dengan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi dimasa mendatang. Karakteristik warga negara tersebut meliputi :

1. Kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga negara masyarakat global;

2. Kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat;

3. Kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya;


(14)

5. Kemauan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan;

6. Kemauan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah bisa, guna melindungi lingkungan hidup;

7. Memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak azasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb);

8. Kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional

Oleh karena itu, kesadaran warga negara sangat dibutuhkan dalam proses pelaksanaan program atau proyek tetapi memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi masalah, memecahkannya, membuat keputusan, memonitoring, dan mengevaluasi. Nilai-nilai budaya dan pola hidup masyarakat yang ada harus diaktualisasikan, dipertahankan, dan dikembangkan. Pendidikan karakter bagi masyarakat adat perlu didesain, diformulasikan dan dioperasionalkan melalui transformasi budaya dalam lingkungan masyarakat adat. Sehubungan dengan pentingnya pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah menggelar Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa pada beberapa waktu yang lalu, dan pencanangan tentang Pendidikan Karakter bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2014.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar peduli dan menginginkan generasi penerus bangsa Indonesia memiliki karakter dan jati diri yang sesungguhnya, kreatif, inovatif serta memiliki daya saing yang cukup tangguh serta unggul dan memiliki karakter yang berakhlakul karimah. Akan tetapi kenyataannya sampai saat ini masyarakat bangsa kita masih dihiasi oleh suatu gejala kelemahkarsaan, suatu mentalitas yang sangat tidak cocok untuk pembangunan (Budimansyah, 2006, hlm. 305). Hal ini akan bepengaruh terhadap kesadaran warga negara dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Pendidikan kewarganegaraan mempunyai peran penting dalam penanaman nilai, karena koridornya value based, nilai tersebut harus diajarkan dalam pendidikan formal seperti PKn kemasyarakatan (community civics). Objek studi


(15)

civics dalam Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) adalah warga negara

dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, sosial, ekonomi, agama, dan negara. Sebagaimana dipaparkan oleh Somantri (2001, hlm. 276) dalam lokakarya metodologi pendidikan kewarganegaraan (1973, hlm. 214) yang termasuk ke dalam objek studi civics ialah:

a) Tingkah laku

b) Tipe pertumbuhan berfikir

c) Potensi yang ada dalam setiap diri warga negara d) Hak dan kewajiban

e) Cita-cita dan aspirasi

f) Kesadaran (patriotism, nasionalisme, pengertian internasional, dan moral Pancasila)

g) Usaha, kegiatan, partisipasi, dan tanggung jawab.

Penanaman nilai-nilai lingkungan hidup sudah diintergrasikan kepada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di dalam pendidikan formal meskipun pada proses pembelajaran belum sebagian guru PKn hanya sebatas memberikan materi saja belum sampai pada pengamalan nilai-nilai dan melestarikan lingkungan hidup. Berbicara tentang pendidikan kewarganegaraan selain di persekolahan pendidikan kewarganegaraan juga dapat kita pelajari di masyarakat. Terutama pada komunitas adat yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Sebagaimana dikemukakan Cogan dalam Budimansyah dan Suryadi (2008, hlm. 5) :

citizenshipeducation or education for citizenship…..The more inclusive term

and encompasses both these in-school esperiences as well as out-of-school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media etc, which help to shape the totality of the citizen.

Kampung Kuta adalah masyarakat adat yang masih bertahan di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan memegang budaya pamali (tabu), untuk menjaga keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan


(16)

hidup bermasyarakat. Ada beberapa keunikan di kampung adat ini yang tidak dimiliki oleh kampung adat lainnya. Salah satunya terdapat ritual upacara yang selalu dilaksanakan setiap tahunnya yaitu upacara adat nyuguh. Manusia itu adalah bagian dari masyarakat yang mendiami sebuah lingkungan, baik lingkungan umum maupun lingkungan yang memiliki adat khusus. Lingkungan sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Namun, tidak sedikit masyarakat yang tidak menyadari bahwa lingkungan sangat berguna bagian terpenting dari hidupnya. Sebagaimana diungkap oleh Sumaatmadja (2010, hlm. 4) bahwa “manusia sebagai suatu fenomena, termasuk manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk budaya, dan manusia dalam konteks lingkungan hidupnya.” Dalam sistem alam, manusia merupakan bagian dari alam yang berinteraksi dengan alam sebagai lingkungannya. Dengan kata lain, pada sistem alam ini manusia ada dan hidup dalam lingkungan alam. Manusia dituntut tanggung jawab terhadap lingkungannya.

Dewasa ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa dirinya adalah penguasa alam, sehingga mereka bertindak sewenang-wenang tanpa tanggung jawab dalam menggunakan dan memanfaatkan alam. Ini dapat terlihat dengan banyaknya terjadi bencana. Terutama bencana di lingkungan hidup manusia seperti longsor, banjir, erosi, hutan kebakaran, kekeringan, pencemaran, dan sebagainya. Oleh karena itu manusia wajib menyadari sebagai khalifah, bahwa kenikmatan berupa sumber daya alam yang ada di lingkungan itu bukan merupakan ajang keserakahan. Melainkan, merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dalam pemanfaatannya secara rasional.

Sebagaimana diungkap oleh Keraf (2012, hlm. 14), dalam bukunya yang berjudul Etika Lingkungan bahwa:

Krisis lingkungan hidup yang kita alami dewasa ini tidak hanya akibat dari meledaknya populasi dan perkembangan teknologi eksploitasi, tetapi secara mendasar bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia di dalam keseluruhan ekosistem.


(17)

Dari pendapat diatas dapat kita ketahui bahwa kerusakan dan bencana lingkungan itu disebabkan karena ulah atau perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan alam sekitar. Kepribadian individu dari setiap masyarakat, cara pandang, dan paradigma berpikir masyarakat itu sendiri sangat berpengaruh pada kelestarian dan keseimbangan lingkungan alam.

Keraf menegaskan kembali dalam tulisannya (2012, hlm. 45), bahwa:

Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.

Bertolak dari kondisi tersebut, jelas bahwa perlunya suatu perilaku baru yang tidak hanya berlaku untuk interaksi antarmanusia, tetapi juga interaksi manusia dengan semua kehidupan di bumi termasuk lingkungan alam. Oleh karena itu, dominasi manusia terhadap lingkungan, bukan tanpa etika dan tanggung jawab, melainkan dilandasi oleh IMTAK yang menjadi kendali dari keserakahan manusia. Seperti ditegaskan oleh Sumaatmadja (2010, hlm. 96)

bahwa “alam dan lingkungan dengan segala tantangannya memiliki hukum

(sunatullah) yang mengatur keserasian, keseimbangan, dan kelestariannya.” Dalam hal pewarisan juga diperlukan kepribadian dari manusia itu sendiri, sebagaimana Sumaatmadja (2010, hlm. 21) bahwa: “Kepribadian itu merupakan

resultante dari potensi warisan biologis dengan pengaruh lingkungan, yang

mekanismenya tercermin dari dinamika individual dalam ungkapan perilaku seluas-luasnya sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Hal utama yang tentu harus dilakukan oleh manusia adalah merubah paradigma tentang pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu sendiri adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Sebagaimana diungkap Keraf


(18)

(2012, hlm. 176) bahwa :

Tujuan perubahan paradigma sedemikian itu adalah penting, agar sikap dan perilaku manusia menjadi lebih arif dalam memberi makna atas alam. Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati alam, juga menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan demikian, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan. Atas dasar itu, kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan harus terus tertanam dalam diri manusia.

Seperti yang dijelaskan diatas, sikap arif dan bijaksana itu sangat diperlukan oleh individu dalam masyarakat. Begitupun di kampung Kuta ini masih mempertahankan dan menjunjung tinggi adat istiadat para leluhurnya. Bagaimana leluhurnya sangat menjaga nilai budaya adat dalam melestarikan dan menjaga lingkungan hidupnya secara arif dan bijak. Ditengah-tengah zaman modern seperti sekarang, yang cenderung manusianya tidak menghiraukan kelestarian lingkungan alam, di Kampung Kuta masih ada nilai-nilai yang dipertahankan ini.

Masyarakat adat menjadi salah satu bagian yang penting dalam berkontribusi terhadap kemajuan bangsa dan perubahan bangsa Indonesia yang berkarakter mulia. Begitu pentingnya nilai-nilai peduli terhadap lingkungan hidup dimiliki oleh setiap individu sebagai modal pemangunan bangsa Indonesia guna tercipta bangsa yang beradab, bermartabat, dan berakhlakul karimah. Untuk itu maka dalam penelitian ini penulis mengangkat judul ”Pembinaan Kesadaran Warga Negara Untuk Melestarikan Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pada Masyarakat Adat Kuta” (Studi Kasus di Kampung Kuta

Ds.Karangpaningal Kec.Tambaksari Kab.Ciamis).

B. Identifikasi Masalah

Berdasar latar belakang masalah diatas, maka untuk membatasi penelitian ini maka peneliti memiliki indetifikasi masalah yang dapat dikemukakan, diantaranya sebagai berikut :

1. Berbagai bencana saat ini muncul di Indonesia seperti longsor, banjir, kebakaran hutan, illegal logging, pencemaran limbah, pencemaran polusi udara, dan lain-lain.


(19)

2. Kurangnya sinergi antara berbagai pihak dalam usaha penyelamatan lingkungan, baik antara warga negara (masyarakat) dengan pemerintah, ataupun antara pemerintah dan pemilik kebijakan.

3. Kerpibadian, sikap, karakter, cara pandang dan paradigma warga negara yang belum memiliki kesadaran dalam menyelamatkan lingkungan, masyarakat masih memposisikan diri sebagai penguasa alam bukan sebagai pelestari/ pengelola alam.

4. Munculnya gejala kelemahkarsaan manusia/ ketidakkuatan mentalitas masyarakat dalam mengelola lingkungan.

5. Sebagian besar masalah lingkungan hidup kita berakar dari kurangnya pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal.

6. Objek studi civics/ Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, social, ekonomi, agama, dan negara yang belum optimal diaplikasikan dalam berbagai lini kehidupan.

7. Konsep ESD (Education for Sustainable Development) di Indonesia masih dalam konsep perkembangan (proses), belum semuanya memahami akan pentingnya konsep pendidikan untuk pembangunan bangsa karena belum semua lini mensupportnya terutama dalam hal lingkungan hidup dan belum semua berkontribusi dalam pelaksanaan ESD ini terutama di Indonesia.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka peneliti rumuskan suatu

masalah pokok didalam penelitian ini yaitu: “bagaimana pembinaan kesadaran warga negara untuk melestarikan lingkungan hidup (the living environment) yang dikembangakan oleh masyarakat adat Kuta Desa Karangpaningal Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis?” Berdasarkan masalah pokok tersebut, untuk mempermudah pembahasan penelitian, penulis menjabarkan masalah pokok kedalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut:


(20)

1. Apa saja indikator kompetensi kewarganegaraan warga masyarakat Kuta untuk melestarikan lingkungan hidup yang dijabarkan dalam bentuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (disposition)? 2. Bagaimana proses internalisasi nilai-nilai kompetensi kewarganegaraan

diteruskan melalui pelestarian lingkungan hidup?

3. Bagaimana strategi/ pola/ cara yang dilakukan oleh masyarakat adat Kuta untuk melestarikan lingkungan hidup berdasar pada pembangunan berkelanjutan?

4. Apa faktor-faktor determinan baik pendorong atau penghambat dalam membangun kesadaran masyarakat adat Kuta dalam pelestarian lingkungan hidup?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan tentang pentingnya membina kesadaran melestarikan lingkungan alam yang masih dilaksanakan/dipertahankan oleh masyarakat Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis.

2. Tujuan khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan:

1. Kesadaran masyarakat adat Kuta dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk melestarikan lingkungan hidup.

2. Proses penginternalisasian nilai-nilai pelestarian lingkungan hidup di masyarakat adat kuta.

3. Strategi/ pola/ cara yang dilakukan oleh masyarakat adat Kuta dalam melestarikan lingkungan hidup berdasar pada pembangunan berkelanjutan. 4. Faktor-faktor determinan baik pendorong atau penghambat dalam membangun kesadaran masyarakat adat Kuta dalam pelestarian lingkungan hidup.

E. Penjelasan Istilah


(21)

dalam tesis ini. Pengertian-pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesadaran manusia berkaitan dengan alam yaitu mengenai pikiran, sikap dan perilaku manusia dalam menyikapi realitas kehidupan yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran baik secara formal ataupun informal serta melalui proses pembiasaan (habituasi). Diperkuat oleh pendapat Bertens (2011), abdul hakam (2011), dan Sumaatmadja (2010) mempunyai kesamaan pandangan bahwa ada dua komponen penting dalam sikap dan jiwa yang memiliki peranan penting. Fungsi jiwa meliputi pikiran, perasaan, penginderaan, dan intuisi. Sedangkan sikap jiwa adalah arah dari energy psikis umum yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya.

2. Manusia hidup di dalam lingkungan tidak hanya sebagai makhluk individu, melainkan sebagai makhluk sosial, makhluk berbudaya, serta makhluk beragama yang senantiasa berkontribusi dalam lingkungan hidupnya (Sumaatmadja, 2010).

3. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka yang kondisi sosial, kultural, dan ekonominya berbeda dari kelompok masyarakat alin di negara tersebut, dan statusnya diatur baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan pengaturan hukum (Mariane, 2014, hlm. 57). 4. Nilai merupakan keyakinan yang menjadi pedoman bagi seseorang untuk

bertindak atas dasar pilihannya mana yang dianggap benar, dan mana yang menurutnya salah. Diperjelas oleh Mulyana (2006), dan Budimansyah, dkk (2004) menyatakan bahwa nilai (value) sebagai suatu ukuran, patokan, anggapan, keyakinan yang dianut oleh orang banyak (masyarakat) dalam suatu kebudayaan tertentu, sehingga muncul apa yang benar, pantas, luhur, dan baik untuk dikerjakan, dilaksanakan, atau diperhatikan. Sehingga seseorang mampu menampilkan dalam sikap, tindakan, dan pikiran.

5. Internalisasi adalah sebuah proses yang dialami seseorang dalam menerima dan menjadikan bagian milik dirinya sebagai sikap, cara mengungkapkan perasaan atau emosi, pemenuhan hasrat, nafsu,


(22)

keyakinan, norma-norma, nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki individu dalam kelompoknya (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989, hlm. 196-197).

6. Kearifan Lokal adalah pandangan dan pengetahuan lokal yang berasal dari budaya masyarakat, unik, memiliki hubungan dengan aklam dan sejarah yang panjang beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan terbuka berdasarkan nilai-nilai ideal, dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi (Ruyadi, 2010).

7. ESD (Education for Sustainable Development). Arti pembangunan berkelanjutan berasal dari bahasa Inggris yaitu sustainability.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi. Kebutuhan hayati yang paling esensial adalah udara, air, sinar matahari, pangan yang harus selalu tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk kebutuhan hidup sehat. (Brundtland dalam Supardi, 2003)

8. Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang terjadi (Kemendiknas 2010, hlm. 10). Dipertegas oleh Keraf (2012) mengemukakan bahwa alam dan seluruh isinya mempunyai harkat derajat dan nilai di tengah dan di dalam komunitas kehidupan di bumi.

F. Manfaat Penelitian 1. Segi Teori

Sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi pengembang PKn khususnya pengembang kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan hidup. Penelitian ini dapat memberikan informasi bagaimana proses pembinaan


(23)

nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal pembangunan bangsa yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis.

2. Segi Kebijakan

Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan yang ada kaitannya dengan pelestarian lingkungan hidup.

3. Segi Praktik

Dapat meningkatkan kesadaran warga untuk ikut melestarikan lingkungan hidup.

4. Segi Isu Serta Aksi Sosial

Dapat menjadi panutan bagi lembaga lain untuk melakukan gerakan peduli lingkungan.

G. Struktur Organisasi Tesis

Pada penelitian yang penulis lakukan, agar alur penulisan lebih mudah dipahami dan jelas, maka tesis yang akan disusun memiliki sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, manfaat/ signifikansi penelitian, metode dan teknik penelitian, teknik pengumpulan data, tahap penelitian, teknik pengolahan dan analisis data, lokasi dan subjek penelitian, dan sistematika penelitian. Bab kedua, memuat dan mengkaji tentang kajian pustaka mengenai kesadaran warga negara terhadap lingkungan, budaya/ kearifan lokal, lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan Education Sustainable of

Development (ESD).

Bab ketiga, adalah metode penelitian yang memuat desain penelitian, partisipan dan tempat penelitian, instrumen penelitian, validitas data, Prosedur Penelitian, analisis data, teknik penelitian. Bab keempat, merupakan hasil temuan dan pembahasan penelitian meliputi deskripsi penelitian, bentuk kesadaran warga masyarakat, proses internalisasi nilai peduli lingkungan hidup, upaya pelestarian lingkungan hidup berwawasan pembangunan berkelanjutan, serta faktor pendorong dan penghambat dari keberhasilan pembinaan kesadaran masyarakat.


(24)

Bab kelima dari bab ini adalah penutup yakni mengenai simpulan baik umum dan khusus, implikasi serta rekomendasi.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pembinaan kesadaran warga negara dalam melestarikan/mempertahankan etika lingkungan alam (green moral). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kasus dengan pendekatan kualitatif. Analisis kasus pada penelitian ini menggambarkan segala sesuatu yang menjadi kebiasaan di kampung adat Kuta Ciamis tersebut.

Di dalam penelitian ini masalah yang dihadapi adalah mengenai manusia atau masyarakat. Oleh karena itu, secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hakikat penelitian kualitatif adalah untuk mengamati orang dalam lingkunan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tenyang dunia sekitarnya (Nasution, 2003, hlm. 5). Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode etnografi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.


(26)

Nasution (1996, hlm. 5) mengemukakan bahwa: "Penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha untuk memahatni bahasa mereka dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya". Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti sebagai instrument utama (key instrument) harus turun ke lapangan dan berada di lapangan dalam waktu yang cukup lama. Peneliti terjun ke lapangan untuk meneliti aktivitas manusia tertentu dengan mengumpulkan data-data dari hasil interaksi peneliti dengan mereka. Nasution (1996, hlm. 5), mengungkapkan bahwa:

"Peneliti harus mampu memahami dan berusaha mengerti bahasa dan tafsiran mereka, untuk itu penelitian kualitatif ini tidak dilakukan dalam waktu yang singkat".

Desain penelitian kualitatif tidak didasarkan pada suatu kebenaran yang mutlak, tetapi kebenaran itu sangat kompleks karena selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, historis, serta nilai-nilai. Menurut Nasution (1996, hlm. 17), “penelitian kualitatif sebenarnya meliputi sejumlah metode penelitian antara

kerja lapangan, penelitian lapangan, studi kasus dan lain-lain”. Menurut Hadari Nawawi (1991, hlm. 63), mengemukakan mengenai metode studi kasus sebagai berikut:

Metode kasus adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagai mana mestinya.

Mengadopsi Maxwell, Alwasilah (2009, hlm. 107) mengemukakan enam keistimewaan yang melekat pada pendekatan kualitatif sebagai berikut:

a. Pemahaman makna, mencakup kognisi, afeksi, intense, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah „perspektif partisipan‟

b. Pemahaman konteks tertentu, di mana perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu. Peneliti membedah kejadian, situasi, dan perilaku dan bagaimana semua ini dipengaruhi oleh situasi tertentu.


(27)

c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru berpotensi sebagai data untuk membeking hipotesis kerja.

d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory)

e. Pemahaman proses (daripada produk) kejadian atau kegiatan yang diamatai

f. Penjelasan sababiyah. Dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan peran sehingga menyebabkan Y? Penelitian pendekatan kualitatif merupakan suatu paradigma penelitian yang bersifat naturalistic dengan ciri-ciri sebagaimana yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (2010, hlm. 78-79) sebagai berikut:

a. Latar tempat dan waktu penelitian yang alamiah

b. Manusia atau peneliti sendiri sebagai instrument pengumpul data primer c. Penggunaan pengetahuan yang tidak eksplisit

d. Metode kualitatif

e. Pemilihan sampel penelitian secara purposif f. Analisis data secara induktif atau bottom-up

g. Teori dari dasar yang dilandaskan pada data secara terus menerus h. Cetak biru penelitian yang mencuat dengan sendirinya

i. Hasil penelitian yang disepakati oleh peneliti dan responden

Secara paradigmatik, Alwasilah (2009, hlm. 92) menggambarkan karakteristik penelitian kualitatif ini sebagai berikut :

Tabel 3.1

Karakteristik Penelitian Kualitatif

Aspek Ciri Khas Dalam Penelitian Kualitatif

 Fokus penelitian

 Akar filsafat

 Frase terkait

 Tujuan

 Desain

 Latar

 Sampel

 Pengumpulan data

 Modus analisis

 Kualitas

 Fenomenologi, interaksi simbolik

 Kerja lapangan, etnografi naturalistic, grounded, subyektif

 Pemahaman, deskripsi, temuan, pemunculan hipotesis

 Kenyal, berevolusi dan mencuat

 Alami, akrab

 Kecil, tidak acak, teoritis

 Peneliti sebagai instrument inti

 Induktif oleh peneliti


(28)

Dalam penelitian ini, peneliti mengungkap fenomena tentang proses pembinaan nilai kesadaran di masyarakat adat kampung kuta ciamis. Peneliti yang bertindak sebagai instrument penelitian, mengumpulkan, mendeskripsikan, dan menganalisis data yang diperoleh mengenai rancangan, proses pelaksanaan, sistem evaluasi penananam nilai karakter sesuai dengan langkah-langkah penelitian kualitatif. Bogdan dan Biklen (1982, hlm. 28) menambahkan ciri lain dari penelitian kualitatif ini adalah bersifat deskriptif-analitik, karenanya data yang diperoleh dari lapangan tidak dituangkan dalam bentuk angka-angka statistik, tetapi dalam bentuk narasi deskriptif.

Merujuk pada pendapat diatas, penulis menganggap bahwa metode studi kasus dengan fokus penelitian ini yaitu pembinaan kesadaran warga negara dalam melestarikan lingkungan (green moral) yang dilakukan dan terjadi di masyarakat pada saat sekarang dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam masyarakat tersebut. Bentuk penelitian ini adalah merupakan studi kasus, yang terjadi di Kampung Kuta Ds. Karangpaningal Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis. Penelitian ini memfokuskan pada pembinaan kesadaran warga negara dalam melestarikan lingkungan hidup (green moral) yang terjadi dalam suatu masyarakat, yang masih dilaksanakan, dan telah berlangsung sejak lama.

Ada berbagai metode dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, yaitu historis, etnografis, atau studi kasus (Moleong, 2010, hlm. 33). Sementara itu, Spradley dalam Sugiono (2009, hlm. 20), mengemukakan bahwa penelitian kualitatif dapat dilakukan pada lingkup-lingkup satuan situasi sosial, institusi sosial, kelompok sosial ataupun pada suatu masyarakat yang kompleks, baik satu maupun beberapa satuan (single atau multiple). Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan pada Bab I, penelitian ini secara fokus mengkaji pembinaan kesadaran warga masyarakat adat kampung kuta ciamis. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dalam lingkup satuan kelembagaan sosial tunggal (single-social-institution). Adapun untuk merumuskan konsep teoritis dan praktis tentang interaksi edukatif tersebut digunakan jenis grounded research.


(29)

a. Studi Kasus

Bogdan & Biklen (1982: hlm. 58) mengatakan: “A case study is a detailed

examination of one setting or one single subject or one single depository of

document or one particular event.” Selanjutnya, Bogdan & Biklen (1982, hlm. 59) menggambarkan rancangan umum dari sebuah studi kasus itu sebagai berikut: (1) peneliti mencari tempat dan orang yang akan dijadikan sebagai subjek atau sumber data, (2) menemukan lokasi yang diinginkan untuk dikaji kemudian mencoba mempertimbangkan kelayakan tempat tersebut atau sumber data untuk mencapai tujuannya, (3) mencari kunci-kunci tentang bagaimana ia dapat melangkah dan apa yang semestinya dilakukan, (4) memulai mengumpulkan data, mereviu, dan mengeksplorasinya, (5) membuat keputusan tentang arah yang akan dituju dengan penelitiannya, (6) membuat keputusan tentang bagaimana mengatur waktu, siapa yang akan diinterviuw dan apa yang akan digali secara mendalam, (7) memodifikasi desain secara terus menerus dan memilih prosedur yang lebih sesuai dengan topic kaian, (8) membuat keputusan berkenaan dengan aspek apa di antara setting, subjek, atau sumber data yang akan dikaji, dan (9) mengembangkan fokus.

Dalam studi kasus proses pengumpulan data dan kegiatan penelitian akan mempersempit wilayah, subjek, bahan, topik, dan tema. Dari permulaan pencarian yang luas, peneliti bergerak menuju pengumpulan data dan analisis yang lebih terarah. Dalam penelitian ini kasus yang dikaji adalah proses pembinaan kesadaran warga masyarakat adat yang memelihara “tradisi” pendidikan budaya nenek moyang, pendidikan tradisi leluhur. Oleh karena itu studi kasus ini bersifat observasional, situasional, dan aktivitas, suatu tipe studi kasus kualitatif yang oleh Bogdan & Biklen disebut Observational Case Studies.

B. Partisipan dan Tempat Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung atau berlokasi di Kampung Kuta Ds.Karangpaningal Kec.Tambaksari Kab.Ciamis. Alasan pemilihan tempat ini, karena peneliti menemukan suatu kondisi yang unik dan di tempat lain tidak ada, yaitu pembinaan kesadaran warga negara dalam melestarikan lingkungan dengan strategi-strategi tertentu yang tidak dimiliki daerah lain. Dari dulu sampai


(30)

sekarang ini selalu dilaksanakan oleh masyarakatnya.

2. Partisipan

Hal ini dilakukan supaya ada perbandingan antara pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain. Selain itu juga penulis memperoleh informasi dari informan lain yang dapat menambah dan memperkuat data. Adapun yang menjadi subjek penelitian untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ketua Adat Kampung Kuta Ciamis 2. Kepala Desa Kuta Ciamis

3. Sesepuh/Tokoh agama Kampung Kuta Ciamis 4. Tokoh Masyarakat Adat Kampung Kuta

5. Masyarakat sekitar di luar Kampung Adat Kuta 6. Dinas Sosial Kabupaten Ciamis

7. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ciamis

C. Instrument Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama (key

instrument) dalam mengumpulkan data dan menginterpretasi data dengan

dibimbing oleh pedoman wawancara dan pedoman observasi. Dengan demikian dalam penelitian tentang pembinaan kesadaran warga negara dalam melestarikan lingkungan hidup, peneliti mengadakan observasi dan wawancara mendalam, dengan asumsi bahwa hanya manusia yang dapat memahami makna interaksi sosial, menyelami perasaan dan nilai-nilai yang terekam dalam ucapan dan perilaku responden. Peneliti sendiri adalah sebagai pengkonstruksi realitas atas dasar pengamatan dan pengalamannya di lapangan.

Sebagai suatu penelitian kualitatif, maka instrument utama pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, sebagai human instrument yang berfungsi juga dalam menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, menafsirkan data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2010, hlm. 60).


(31)

Peneliti sebagai human instrument terjun sendiri ke lapangan yaitu ke lingkungan kampung adat kuta, baik untuk melakukan ground tour question, membuat fokus dan memilih sumber data yang relevan, pengumpulan data yang diperlukan, maupun menganalisis data dan membuat kesimpulan.

1. Sumber Data: Primer dan Sekunder

Geertz dalam Walsham (2011, hlm. 182) mengatakan “What we call our data are really our own constructions of other people’s constructions of what they and their compatriots are up tp’. Dalam penelitian interpretatif yang disebut data itu sebenarnya adalah apa yang dikonstruksi oleh peneliti berkenaan dengan konstruksi orang lain terhadap apa yang dilakukannya dalam interaksinya bersama orang lain. Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong (2010, hlm. 157) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan yang lainnya. Jadi ada dua jenis data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini sumber data primer adalah kata-kata dan tindakan dari orang yang diwawancarai dan diamati, yaitu ketua adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat luar kampung kuta, dinas social, dan dinas lingkungan hidup. Adapun sumber data utama ini dicatat dalam catatan lapangan dan direkam melalui video, audio tapes, dan fotografi.

Sumber data sekunder berupa segala informasi tertulis berkenaan dengan sistem dan proses pembinaan kesadaran warga masyarakat adat kuta di ciamis, baik berupa dokumen formal, dokumen pribadi, selebaran yang diterbitkan oleh kampung adat kuta.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian tentang budaya upacara hajat laut ini sejak awal sampai akhir dilakukan secara sirkuler dengan peneliti sebagai instrumen penelitian. Menurut Nasution (2003, hlm. 33), tahap-tahap penelitian dalam penelitian kualitatif tidak memiliki batas-batas yang tegas sebab fokus penelitian dapat mengalami perubahan, jadi bersifat emergent. Namun demikian, menurut Nasution (2003, hlm. 33) tahap-tahap penelitian dapat dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap


(32)

1. Tahap Orientasi

Melalui tahapan ini, peneliti melakukan studi dokumentasi dan studi hasil penelitian terdahulu untuk memperkaya wawasan dan mempertajam masalah penelitian. Langkah seianjutnya adalah melakukan studi lapangan sebagai studi pendahuluan, melakukan pendekatan awal dengan responden, melakukan observasi untuk mengumpulkan informasi awal yang sesuai dengan masalah penelitian.

2. Tahap Eksplorasi

Tahapan eksplorasi memusatkan untuk mempelajari dimensi-dimensi penting dari masalah penelitian, semua teknik penelitian seperti yang telah ditetapkan akan digunakan untuk mengamati semua data sehingga terjaring informasi yang lebih mendalam.

3. Tahap Member Check

Transkripsi dan tafsiran data hasil penelitian yang telah disusun oleh peneliti kemudian diperlihatkan kembali kepada para responden untuk mendapatkan konfirmasi bahwa transkripsi itu sesuai dengan pandangan mereka. Responden melakukan koreksi, mengubah atau bahkan menambahkan informasi.

Proses member check tersebut dapat menghindari salah tafsir terhadap jawaban responden sewaktu diwawancara, menghindari salah tafsir terhadap perilaku responden sewaktu diobservasi, dan dapat mengkonfirmasi perspektif emik responden terhadap suatu proses yang sedang berlangsung.

Sedangkan menurut Alwasilah (2010, hlm. 85) ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menentukan prosedur penelitian, yaitu (a) Apa yang sebenarnya akan dilakukan dengan penelitian ini? (b) Data apakah yang dicari dalam penelitian ini? (c) Pendekatan dan teknik apakah yang akan digunakan untuk mengumpulkan data? (d) Teknik apakah yang akan dipakai untuk menganlisis data? Oleh karena itu, dalam prosedur penelitian ini akan dikemukakan empat hal, yaitu tahap-tahap penelitian, langkah-langkah pengumpulan data, teknik pengumpulan data, dan teknik menganalisis data.


(33)

1. Tahap-Tahap Penelitian

Penelitian ini berkenaan dengan pembinaan kesadaran warga masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup di kawasan kampung adat di kampung kuta kabupaten ciamis. Oleh karena itu, penelitian ini menapaki tiga tahap.

a. Tahap pertama, yaitu tahap penelitian untuk memahami struktur fenomenologis dengan cara mengumpulkan data-data teramati dan terungkapkan, kemudian mendeksripsikannya secara apa adanya.

b. Tahap kedua, yaitu tahap penelitian untuk memahami realitas di balik fenomena interaksi dengan cara menganalisis secara interpretative. c. Tahap ketiga, yaitu tahap penelitian untuk memahmi hubungan antara

satu fenomena dengan fenomena yang lainnya setelah mendapatkan sentuhan penafsiran oleh peneliti sendiri, untuk membangun konsep teoritis.

Menurut Alwasilah (2010, hlm. 137) tiga tahapan pertama cocok untuk penelitian kualitatif, yaitu:

a. Deskripsi mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi ihwal tingkah laku atau kejaian sebagaimana terobservasi

b. Interpretasi mempertanyakan makna (meaning) tingkah laku atau kejadian tersebut bagi manusia pelakunya; pendapatnya, perasaannya, dan maksudnya

c. Teorisasi mempertanykan aspek mengapa dari semua tingkah laku dan kejadian itu dan bagaimana semua itu harus dijelaskan.

E. Analisis Data

Data yang telah terjaring dan terkumpul selanjutnya diolah, dianalisis, dan diinterpretasi sehingga data tersebut memiliki makna untuk menjawab


(34)

pertanyaan-pertanyaan dalam masalah penelitian. Proses tersebut dilakukan secara terus menerus sejak awal perolehan data hingga akhir penelitian. Dengan hasil analisis dan interpretasi data tersebut maka dapat dilakukan penarikan kesimpulan serta rekomendasi yang perlu. Menurut Nasution (2003, hlm. 129) menyatakan bahwa:

Tidak ada satu cara tertentu yang dapat dijadikan pegangan bagi semua penelitian. Salah satu cara yang dapat dianjurkan ialah mengikuti langkah-langkah berikut, yaitu: reduksi data, penyajian (display) data, dan pengambilan kesimpulan Reduksi Data.

Dalam pandangan S. Nasution dalam Rizal (2012, hlm. 187), analisis data kualitatif adalah proses menyusun data ke dalam tema dan kategori agar dapat ditafsirkan dan diinterpretasikan. Sementara itu, Moleong (2010, hlm. 247) mengemukakan bahwa:

urutan proses analisis dan penafsiran data dalam penelitian kualitatif tersebut dimulai dengan menalaah seluruh data yang terkumpul melalui wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Setelah itu dilakukan reduksi data dengan melakukan abstraksi, menyusunnya menjadi satuan-satuan informasi, untuk kemudian dikategorisasikan, dan diakhiri dengan pemeriksaaan keabsahan data. Setelah itu dilakukan penafsiran data yang dilakukan dengan mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu.

Data yang terkumpul dan terekam dalam catatan-catatan lapangan kemudian dirangkum dan diseleksi. Merangkum dan menseleksi data didasarkan pada pokok permasalahan yang telah ditetapkan dan dirumuskan sebelumnya. Kegiatan ini sekaligus juga mencakup proses penyusunan data ke dalam berbagai fokus, kategori atau pokok permasalahan yang sesuai. Pada akhir tahap ini semua data yang relevan diharapkan telah tersusun dan terorganisir sesuai kebutuhan. Tiga hal utama dalam analisis data kualitatif dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3.1 Proses Analisis Data

Pengumpulan


(35)

Sumber: Miles dan Huberman (2009:20)

1. Reduksi Data

Reduksi data pada penelitian ini bertujuan untuk mempemudah pemahaman peneliti terhadap data yang telah tekumpul dari hasil penelitian. Dalam hal ini peneliti akan mengumpulkan informasi dan data-data dari narasumber dan dari informasi lain untuk dapat mengkaji secara detail.

Reduksi dan kategorisasi data dilakaukan secara berbarengan. Reduksi data diartikan oleh Moleong sebagai abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, sedangkan oleh Sugiyono (2009, hlm. 92) diartikan sebagai

“merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang

penting untuk dicari tema, dan polanya.”

Dalam penelitian ini, data-data yang dikumpulkan baik dari dokumen, catatan hasil observasi, maupun transkrip wawancara kemudian ditelaah untuk dilakukan reduksi data, yaitu mencari hal-hal yang inti dari data yang terkumpul, difokuskan pada permasalahan, dan disusun secara sistematis dalam lembaran-lembaran rangkuman.

Dalam proses ini, data-data yang digunakan hanyalah yang berakaitan langsung dengan kepentingan penelitian ini, yaitu menyangkut pembinaan nilai kesadaran warga masyarakat adat kampung kuta di kabupaten ciamis. Satuan-satuan data yang berwujud kalimat faktual sederhana atau paragraph diklasifikasikan berdasarkan kategori-kategori yang relevan dengan permasalahn penelitian. Kategorisasi menggunakan teknik koding. Koding dimaksudkan untuk mengiris-iris temuan dan mengelompokannya dalam kategori-kategori untuk memudahkan peneiti melakukan perbandingan temuan dalam satu kategori atau silang kategori (Alwasilah, 2009, hlm. 160).

Dua langkah proses analisis ini (reduksi dan kategorisasi) merujuk pada pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan. Koding atas satuan-satuan data


(36)

dan kategorisasi tidak dibuat dalam bentuk kartu-kartu satuan analisis, tetapi pada

fieldnote observasi dan rangkuman hasil wawancara. Oleh karena itu, proses

koding langsung diberikan pada keduanya dengan membubuhkan kode-kode yang telah ditetapkan di samping setiap satuan informasi.

a. Pra-Lapangan

Analisis data pada tingkat awal dilakukan dengan cara melakukan telaah dan analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis tentang suasana dan kondisi kampung adat kuta. Juga mengkaji hasil penelitian terdahulu, dan menganalisis informasi-informasi lain yang diperoleh dari wawancara bebas dengan ketua adat dan masyarakat. Kegitan ini dilakukan mulai bulan Oktober 2014 sampai November 2014. Dari data yang diperoleh dalam studi awal ini, kemudian dilakukan reduksi data, membangun dan memilih kerangka konseptual, membuat pertanyaan penelitian, memilih dan menentukan narasumber, kemudian menentukan kasus yang akan dieksplorasi dan instrumentasi.

b. Selama Pengumpulan Data di Lapangan

Analisis pada saat pengumpulan data lapangan dilakukan selama masa pengumpulan data tersebut secara terus menerus. Pengumpulan data di lapangan ini dimulai sejak bulan Desember 2014 sampai Januari 2014 (dan sekarang masih berlangsung). Dalam waktu tersebut terhadap data-data yang terkumpul dilakukan reduksi, dikategorisasikan, dan dianalisis kebermaknaannya, serta diklasifikasikan sesuai dengan fokus dan pertanyaan penelitian. Dalam hal ini, data-data yang berkaitan dengan pembinaan kesadaran warga masyarakat adat kuta dalam melestarikan lingkungan hidup digunakan, sedangkan data yang tidak relevan dibuang. Mulai kegiatan awal mengumpukan data melalui observasi, observasi partisipan, wawancara, studi dokumentasi, dan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Data yang diperoleh diidentifikasi dan dikategorikan, selanjutnya analisis kategori diuji keabsahannya melalui


(37)

triangulasi, bila data yang diperoleh dipandang sudah jenuh disimpan pada

kartu satuan analisis (2012, hlm. 187). c. Setelah Pengumpulan Data

Setelah pengumpulan data selesai, analisis dilakukan terhadap keseluruhan data yang diperoleh melalui berbagai teknik yang digunakan. Dalam tahap ini reduksi data juga dilakukan, sehingga data yang disimpan hanyalah data-data yang memamng relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini. Display atas keseluruhan data dilakukan dalam bentuk teks naratif yang mendeskripsikan proses pembinaan nilai kesadaran warga masyarakat adat kuta dalam melestarikan lingkungan hidup.

2. Penyajian (Display) Data

Setelah proses reduksi data, selanjutnya data diolah lagi dengan menyusun atau menyajikannya ke dalam matriks-matriks, tabel, peta konsep, dan berbagai bentuk representasi visual lainnya yang sesuai dengan keadaan data. Dalam analisis data, menurut Alwasilah (2002, hlm. 164) display ini memiliki tiga fungsi, yaitu mereduksi data dari yang kompleks menjadi nampak sederhana, menyimpulkan interpretasi peneliti terhadap data dan menyajikan data sehingga tampil secara menyeluruh. Display data pada penelitian ini dipergunakan untuk menyusun informasi mengenai kebiasaan kampung adat Kuta Ciamis untuk menghasilkan suatu gambaran dan hasil penelitian secara tersusun.

3. Pengambilan Kesimpulan

Dari proses reduksi dan penyajian data dihasilkan pemahaman dan pengertian yang mendalam tentang keseluruhan data yang diolah. Berdasarkan hasil pemahaman dan pengertian ini, peneliti menarik kesimpulan-kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan penelitian yang diajukan. Kesimpulan/ Verifikasi dalam penelitian ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan sehingga dapat menyimpulkan apa yang terjadi dan bagaimana tata kebiasaan pendidikan tradisi atau pembinaan kesadaran melestarikan lingkungan yang sudah menjadi kebiasaan dilakukan di masyarakat kampung adat Kuta Ciamis tersebut.


(38)

F. Teknik Penelitian

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik penelitian, yaitu teknik wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan.

1. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan dialog, tanya jawab antara peneliti dan responden secara sungguh-sungguh. Pada dasamya wawancara dalam penelitian merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh informasi langsung dari responden, dalam hal ini yang menjadi responden dengan mengungkapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti. Wawancara dilakukan dengan cara tatap muka antara pewawancara (peneliti) dengan responden (masyarakat, ketua adat, tokoh agama, perwakilan dinas sosial dan lingkungan hidup) dan kegiatannya dilakukan secara lisan.

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan pedoman yang terstruktur secara terperinci mengenai permasalahan yang akan diteliti yang ditujukan kepada ketua adat dan sesepuh kampung kuta ds.karangpaningal kec.tambaksari kab.ciamis. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil (Sugiyono, 2007, hlm. 137).

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2002, hlm. 180). Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain, bagaimana pandangannya tentang dunia, yaitu hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui observasi (Nasution, 2003, hlm. 73).


(39)

Dengan wawancara mendalam ini diharapkan dapat diperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua responden dengan susunan kata dan urutan yang disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Hal tersebut dimungkinkan sebagaimana dikemukakan Mulyana (2002, hlm. 181), bahwa:

Wawancara mendalam bersifat luwes, susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya (agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya) responden yang dihadapi.

Wawancara dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak mungkin diperoleh lewat observasi. Melalui wawancara ini peneliti bisa mendapatkan informasi yang mendalam, sebagaimana Alwasilah (2002, hlm. 54) mengemukakan bahwa melalui wawancara, peneliti bisa mendapatkan informasi yang mendalam (in depth information) karena beberapa hal, antara lain:

1. peneliti dapat menjelaskan atau memparafrase pertanyaan yang tidak dimengerti.

2. peneliti dapat mengajukan pertanyaan susulan (follow up questions). 3. responden cenderung menjawab apabila diberi pertanyaan.

4. responden dapat menceritakan sesuatu yang terjadi di masa silam dan masa mendatang.

Interviuew dilakukan untuk memperoleh data dan mengumpulkan informasi yang tidak diperoleh lewat observasi atau tidak terdapat pada dokumen (Alwasilah, 2009, hlm. 159). Melihat kenyataan bahwa dokumen yang tersedia berkenaan dengan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti jarang diperoleh, maka wawancara menjadi tumpuan untuk memperoleh data secukupnya. Wawancara dilakukan dalam berbagai bentuk sebagaimana disebutkan oleh Patton dalam Moleong (2010, hlm. 186) yiatu (a) wawancara pembicaraan informal, (b) wawancara menggunakan petunjuk umum, dan (c) wawancara baku terbuka.

Dalam memilih bentuk wawancara tersebut, peneliti mempertimbangkan situasi, keadaan responden, serta informasi yang dibutuhkan juga persitiwa incidental yang mencuat tiba-tiba. Untuk kepentingan itu, peneliti menyiapkan seperangkat pertanyaan wawancara, baik pertanyaan pokok (utama) untuk


(40)

wawancara terbuka, maupun pertanyaa spesifik dan bersifat teknis untuk wawancara terstruktur. Salah satu maksud yang terkandung dalam teknik wawancara adalah untuk mengetahui apa yang ada dalam fikiran dan hati responden. Wawancara dilakukan untuk menggali cara/ strategi yang dilakukan masyarakat adat kuta dalam membina kesadaran melestarikan lingkungan hidup yang dijadikan sumber utama atau elite-respondent.

Penelitian tentang pembinaan kesadaran warga negara dalam melestarikan lingkungan hidup pada masyarakat kampung kuta kab.ciamis, wawancara mendalam dilakukan kepada:

a. Ketua adat Kampung Kuta

b. Tokoh masyarakat Desa Karangpaningal c. Masyarakat Desa Kampung Kuta

d. Masyarakat sekitar di luar Kampung Kuta

e. Aparat pemerintah Desa Karangpaningal Kampung Kuta f. Dinas Lingkungan Hidup Kecamatan Tambaksari Kab.Ciamis

2. Observasi

Observasi dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah pengamatan. Alat ini digunakan untuk mengamati; dengan melihat, mendengarkan, merasakan, mencium, mengikuti, segala hal yang terjadi dengan cara mencatat/merekam segala sesuatunya tentang orang atau kondisi suatu fenomena tertentu. Sutrisno Hadi (Sugiyono, 2007, hlm. 145) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis.

Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Dipertegas oleh Marshall (1995) (dalam Sugiyono, 2008, hlm, 310) mengemukakan bahwa “through observation, the researcher learn about

behavior and the meaning attached to house behavior”. Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah pengamatan. Alat ini digunakan untuk mengamati; dengan melihat, mendengarkan, merasakan, mencium, mengikuti,


(1)

Masyarakat adat Kampung Kuta dengan kearifan tradisionalnya telah berhasil mempertahankan kelestarian lingkungan hidupnya dan budaya adat Kampung Kuta. Keberhasilan tersebut telah menghantarkan masyarakat Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru Tingkat Nasional pada tahun 2002 (kategori penyelamat lingkungan).Keberhasilan proses pembinaan kesadaran warga dalam melestarikan lingkungan tentu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Baik secara intern atau ekstern. Tanpa adanya kerjasama yang baik antara masyarakat, tokoh adat, serta pemerintah proses pembinaan ini tidak akan berjalan dengan baik. Untuk hambatannya sampai saat ini masih bisa diatasi sehingga tidak mengganggu proses pembinaan tersebut.

Pendidikan Kewarganegaraan menjembatani the living environment untuk diaplikasikan dalam kehidupan. The living environment merupakan salah satu konteks kajian PKn yang merupakan turunan dari antropologi science. Sebagai learning service, the living environment sangat memberikan kontribusi untuk menciptakan partisipasi warga negara demi terwujudnya rasa kesadaran warga dalam melestarikan lingkungan hidup melalui pendidikan tradisi budaya. Kajian PKn tidak hanya political science, tetapi terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya seperti hukum, sosiologi, ekonomi, antropologi, seni, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis mengintegrasikan PKn dengan ilmu antropologi sosiologi, dimana menggambarkan kehidupan sosial masyarakat adat dalam mengelola dan melestarikan lingkungan alam.

Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal yang mempunyai kearifan tradisional mampu melahirkan kearifan lingkungan yang ternyata seiring dan sejalan, bahkan sangat menunjang kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam pada kerangka pembangunan nasional. Karena merupakan salah satu cirri kebudayaan nasional, kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat lokal yang telah melibur dalam sistem kehidupannya, patut digali dan dikembangkan lebih lanjut. Namun demikian kita harus menyadari, tentunya sistem ini tidak serta merta dapat menggantikan sistem pengelolaan hutan modern yang sudah ada. Tapi paling tidak, bisa menunjukkan bahwa ada sistem pengelolaan sumberdaya yang


(2)

dilakukan oleh masyarakat lokal yang secara sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi bisa dipertanggungjwabkan dan menguntungkan semua pihak. Hal ini akan menjadi lebih maksimal apababila didukung dan ada keterlibatan semua pihak (stake holder). Merenungkan kearifan lokal bukan berarti kembali ke masa lalu atau menjadi masyarakat tradisional lagi, namun mencari mutiara-mutiara para leluhur dan menjadikannya sebagai pegangan setiap langkah ke depan. Dengan kata lain, kearifan lokal dapat berfungsi sebagai "penyubur" nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tatanan kehidupan kehidupan masyarakat untuk melindungi serta mengelola lingkungan hidup. Interaksi masyarakat local dengan alam ibarat dua sisi mata uang, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Masyarakat adat memandang lingkungannya bukan sekedar pemberi keuntungan atau memberikan pendapatan (benefit). Akan tetapi mereka memandang alam sebagai satu kesatuan dengan diri mereka, mereka sadar bahwa ketika alam atau lingkungan rusak, maka tempat mereka hidup pun akan terganggu. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kelestarian alam atau lingkungannya. Artinya ada rasa tanggung jawab yang besar dalam diri mereka untuk menjaga keseimbangan lingkungannya.

B. Simpulan Khusus

1. Pembinaan kesadaran mampu mensinergikan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (action) warga masyarakat dalam menjaga eksistensi lingkungan hidup dan budaya.

2. Estafet kebudayaan dalam mengembangkan strategi dan transformasi kearifan lokal mampu mengkokohkan internalisasi nilai pendidikan tradisi. 3. Kesadaran diri dan tanggung jawab merupakan modal sosial dalam menciptakan harmoni alam demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) baik dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (environment).

4. Keberhasilan proses pembinaan kesadaran didukung oleh beberapa indikator penting diantaranya dari sikap/ perilaku masyarakat yang


(3)

memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap alam, serta dari dukungan pemerintah setempat dalam mengelola lingkungan hidup.

C. Implikasi

Pendidikan Kewarganegaraan memberikan kontribusi untuk pembangunan berkelanjutan (ESD), penekanan pada aspek kebudayaan akan menggaris bawahi pentingnya ESD (Education for Sustainable Development) merupakan konsep dinamis yang mencakup sebuah visi baru pendidikan yang mengusahakan pemberdayaan orang segala usia untuk turut bertanggungjawab dalam menciptakan sebuah masa depan berkelanjutan. Bukan sekedar transfer pengetahuan, para pelaku utama pembangunan berkelanjutan haruslah menempatkan peran mereka dalam pendidikan anak-anak, pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal dan dalam kegiatan pembelajaran berbasis masyarakat. Ini berarti pendidikan harus berubah sehingga ia mampu menanggapi masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup yang kita hadapi dalam Abad ke-21.

Begitupun Cogan menambahkan delapan karakteristik yang perlu dimiliki warga negara sehubungan dengan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi dimasa mendatang. Karakteristik warga negara tersebut meliputi : 1)

Kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga negara masyarakat global;

2) Kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; 3) Kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; 4) Kemampuan berfikir kritis dan sistematis;

5) Kemauan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; 6) Kemauan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah bisa, guna melindungi lingkungan hidup; 6) Memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak azasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb); 7) Kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional (Sapriya, 2004, hlm. 9). Oleh karena itu, kesadaran warga negara sangat dibutuhkan dalam proses pelaksanaan pelestarian lingkungan alam. Karena dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kita tidak hanya dituntut untuk mengetahui


(4)

teori dan dalil, tetapi yang paling penting kita mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kenyataannya sampai saat ini masyarakat bangsa kita masih dihiasi oleh suatu gejala kelemahkarsaan, suatu mentalitas yang sangat tidak cocok untuk pembangunan (Budimansyah, 2006, hlm. 305). Hal ini akan bepengaruh terhadap kesadaran warga negara dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Pendidikan tradisi merupakan bagian dari proses pendidikan kewarganegaraan yang diaplikasikan dalam PKn kemasyarakatan, yang memiliki core values menciptakan perilaku dan sikap warga negara yang baik. Dalam proses pembelajaran formal mata pelajaran PKn senantiasa disisipkan ritus-ritus khusus agar siswa lebih menjiwai dengan apa perilaku yang ditampilkannya.

Seperti halnya ritus reflektif, ikrar, do’a, serta aksi nyata melalui berbagai

kegiatan kunjungan ke masyarakat ataupun kegiatan lainnya. Dengan mengikuti aktifitas dan gerakan-gerakan kemasyarakatan secara langsung, maka siswa tidak hanya memahami teorinya saja, melainkan mampu melaksanakannya dalam aksi nyata di masyarakat.

Disinilah Pendidikan kewarganegaraan (PKn) mempunyai peran penting dalam penanaman nilai, karena koridornya value based, nilai tersebut harus diajarkan dalam pendidikan formal seperti PKn kemasyarakatan (community civics). Sedangkan objek studi civics dan Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) adalah warga negara dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, social, ekonomi, agama, dan negara. Sebagaimana dipaparkan oleh Somantri (2001, hlm. 276) dalam lokakarya metodologi pendidikan kewarganegaraan (1973, hlm. 214) yang termasuk ke dalam objek studi civics ialah: a) Tingkah laku, b) Tipe pertumbuhan berfikir, c) Potensi yang ada dalam setiap diri warga negara, d) Hak dan kewajiban, e) Cita-cita dan aspirasi, f) Kesadaran (patriotism, nasionalisme, pengertian internasional, dan moral Pancasila), g) Usaha, kegiatan, partisipasi, dan tanggung jawab. Penanaman nilai-nilai lingkungan hidup harus diintergrasikan kepada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di dalam pendidikan formal meskipun pada proses pembelajaran. Dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan di lingkungan masyarakat.


(5)

D. Rekomendasi

Dengan memperhatikan hasil analisis dan simpulan penelitian sebagaimana dijelaskan terdahulu, maka penulis sampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Kepada masyarakat

Dari hasil penelitian ditemukan pendidikan nilai tradisi, dalam melestarikan alam harus dijaga keseimbangannya. Sebaiknya masyarakat harus mampu bersikap dengan baik, etika mana yang harus dipertahankan untuk menghargai alam dan etika mana yang harus dihilangkan. Agar keberlangsungan alam kita selalu terjamin.

2. Kepada sesepuh Kampung Kuta (Ketua Adat)

Dari hasil penelitian yang ditemukan, diharapkan para sesepuh adat selalu mempertahankan proses pembinaan tradisi tersebut demi menjaga keseimbangan lingkungan alam.

3. Kepada aparat pemerintah

Harus menjaga lingkungan alam sekitar, jangan sampai ada oknum aparat pemerintahan yang menebang pohon, memberikan izin bangunan di tempat yang menjadi resapan air, merusak pohon-pohon yang ada di hutan lindung, dan sebagainya. Hendaknya peran pemerintah juga turut memberi perhatian lebih terhadap program pelestarian lingkungan kampung adat seperti kampung Adat kuta sebagai aset pemerintah daerah.

4. Kepada akademisi

Dengan adanya tradisi-tradisi khas di suatu daerah itu dijadikan sebagai bahan untuk etnopedagogic. Sehingga murid tidak akan mengalami kejenuhan mengalami pembelajaran hanya di dalam kelas. Sehingga siswa mampu memberikan solusi dari hasil pengamatannya. Begitupun dengan pembelajaran di perkuliahan, dengan adanya matakuliah Hukum Islam dan Hukum Adat itu bisa mengetahui dan memahami tanggung jawab sebagai warga negara yang baik itu


(6)

salah satunya memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan hidup.

6. Kepada Dinas Lingkungan Hidup

Sebaiknya pihak Dinas Lingkungan Hidup memberikan banyak bantuan terutama dalam pembinihan dan penanaman pohon-pohon yang memang dibutuhkan dan diperlukan oleh masyarakat Kuta itu sendiri. Sehingga masyarakat Kuta akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan bagi bangsa khususnya dalam pelestarian lingkungan alam yang semakin jarang dilirik oleh berbagai pihak.

7. Kepada Peneliti Selanjutnya

Layaknya sebuah penelitian selalu menghasilkan data penelitian yang masih bisa dikembangkan kembali atau penelitian lanjutan. Hal ini merupakan karakteristik ilmu pengetahuan yang dinamis selalu dapat dikembangkan kembali. Demikian pula dengan hasil penelitian ini, tentu masih ada saja peluang bagi penelitian selanjutnya. Untuk itu, disarankan agar peneliti dapat melakukan kajian mendalam tentang peran pemerintah dalam melestarikan kembali permainan tradisional.