MEMBANGUN KESADARAN WARGA NEGARA UNTUK PELESTARIAN LINGKUNGAN.

(1)

ii

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH : PANITIA DISERTASI :

Promotor Merangkap Ketua,

Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, M.A. NIP. 195008211974121001

Kopromotor Merangkap Sekretaris,

Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed. NIP. 196308201988031001

Anggota,

Dr. Ir. H. Mubiar Purwasasmita NIP. 195102711978021001


(2)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Membangun Kesadaran Warga Negara untuk Pelestarian Lingkungan : Penelitian Grounded Theory dalam Konteks Ekologi Kewarganegaraan” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 24 September 2011 Yang membuat pernyataan,

Bambang Yuniarto NIM . 0809606


(3)

iv

!"

#$

% &

'()*

+

,-

./-0

"!

1 %

2

0

3

4 4

5 6 7 + 8


(4)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin, atas hidayah dan taufik Illahi, penelitian ini dapat terselesaikan sesuai harapan. Disertasi ini berjudul Membangun Kesadaran Warga Negara Untuk Pelestarian Lingkungan : Penelitian Grounded Theory

dalam Konteks Ekologi Kewarganegaraan, bertujuan untuk menggali, mengkaji,

dan mengorganisasikan informasi serta menemukan dan mengembangkan teori para pakar PKn dan lingkungan tentang fakta kerusakan alam dewasa ini, kenyataan kesadaran warga negara dalam pelestarian alam, konsep filosofis-sosiologis-yuridis, kebijakan pemerintah dan model pendidikan dalam membangun kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan.

Urgensi penelitian ini berawal dari suatu realitas krisis lingkungan yang secara sistemik dewasa ini menjadi penyebab pemanasan global (global

warming), perubahan iklim (climate change), hilangnya habitat, kelangkaan air

bersih, polusi, banjir, hingga ancaman kelaparan. Rendahnya kesadaran warga negara yang disebabkan selain faktor kemiskinan dan kekurangfahaman manusia dalam mengelola alam, juga arus globalisasi dan modernisasi yang menggiring cara pandang budaya Barat yang menganggap bahwa kedudukan manusia itu absolut terhadap alam. Alam diperlakukan sebagai “a dead entity”, yakni objek yang perlu ditaklukan oleh sain dan teknologi. Realitas ini memerlukan upaya pembinaan kecerdasan ekologis. Kecerdasan dalam memperlakukan alam secara seimbang, yang harus dibangun bukan hanya pada tataran individual, tetapi harus berkembang menjadi kecerdasan kolektif.


(5)

vi

Disadari dengan segala kerendahan hati bahwa penelitian ini sederhana dan banyak kelemahan. Namun demikian, harapannya semoga bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menjadi pijakan awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan disertasi ini, penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih, semoga Allah Yang Maha Memiliki Ilmu membalas segala kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda. Amiin.

Bandung, 24 September 2011

Bambang Yuniarto NIM . 0809606.


(6)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Pertama, kepada Bapak Prof.Dr.H.A.Azis Wahab, M.A., sebagai

promotor, yang menyakinkan penulis untuk memahami konsep krisis lingkungan sebagai dampak arus globalisasi dan modernisasi yang melahirkan cara pandang budaya Barat terhadap alam. Kedua, kepada Bapak Prof.Dr.H.Sapriya, M.Ed, selaku kopromotor, sekaligus Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, yang dengan kepakarannya dan komitmen akademik yang tinggi dan penuh dedikasi, dalam berbagai kesempatan baik formal maupun tidak, memberikan bimbingan dan dorongan serta meyakinkan penulis untuk mengkaji laporan penelitian ini lebih sempurna baik dari segi penulisan yang harus sesuai dengan kaidah ilmiah dan pembahasan temuan-temuan yang mengkomparasikan dengan teori-teori yang mendukung penelitian grounded theory. Ketiga, Dr.Ir.H.Mubiar Purwasasmita, selaku pembimbing, yang dengan kepakarannya selalu mengajarkan dalam kuliah dan bimbingannya tentang konsep alam cerdas dan kearifan nilai budaya lokal, sehingga sangat berarti dalam pengembangan penelitian ini.

Keempat, kepada Bapak Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si., pakar

Sosiologi Kewarganegaraan UPI, Bapak Prof.H.Nu’man Somantri, M.Sc., pakar PKn UPI, Bapak Cecep Aminudin, S.H.,M.Si., dosen dan peneliti lingkungan dari Unpad, Bapak Prof.Dr.H.M.Salim Umar,M.H., Ketua Fatwa MUI Jawa Barat,


(7)

viii

Bapak Prof.Dr.Asep Warlan Yusuf, pakar Hukum Lingkungan dan Guru Besar Unpar Bandung, Bapak Muh. Hendarsa, aktivis Walhi Jawa Barat, yang dengan kepakarannya telah memberikan kajian dan temuannya yang berkenaan dengan realitas krisis lingkungan dan kerangka konsep membangun kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan.

Kelima, kepada Bapak Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., dan Prof.

Dr.H.Fuad Abdul Hamied, M.A., masing-masing selaku Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, yang memberi kesempatan penulis dalam menimba ilmu dan pengalaman, semoga visi futuristik menjadikan UPI sebagai A

Leading and Outstanding University dapat terwujud. Juga kepada Bapak dan Ibu

dosen pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UPI, dengan kepakarannya telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menempuh pendidikan pada program doktoral ini. Terima kasih, semoga Alloh SWT memberikan keberkahan atas ilmu Bapak dan Ibu.

Keenam, limpahan doa penulis persembahkan untuk kedua orang tua,

yang sampai akhir hayatnya membisikan keshalehan dan kebermanfaatan hidup kepada penulis. Ketujuh, teman-teman prodi PKn S-3 angkatan 2008 yang selalu ada cerita dan canda menghiasi pertemuan kita. Dan terakhir kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil selama menempuh pendidikan, penulis ucapkan terima kasih.


(8)

ix ABSTRAK

BAMBANG YUNIARTO. (2011). Membangun Kesadaran Warga Negara Untuk Pelestarian Lingkungan (Penelitian Grounded Theory dalam Konteks Ekologi Kewarganegaraan).

Rendahnya kesadaran warga negara dalam melestarikan alam telah menimbulkan krisis lingkungan yang mengkhawatirkan dewasa ini. Cara pandang budaya Barat-Sekuler yang menganggap kedudukan manusia itu absolut terhadap alam, kurangnya pengetahuan lingkungan dan kemiskinan telah menggiring orang mengeksploitasi alam secara berlebihan. Pemanasan global telah berdampak pada perubahan iklim (climate change), hilangnya habitat, kelangkaan air bersih, polusi, banjir, hingga ancaman kelaparan. Mencermati hal ini, maka agenda mendesak adalah membina kecerdasan ekologis (Goleman, 2009) yang akan melahirkan kearifan lokal kolektif warga negara terhadap pelestarian lingkungan.

Penelitian ini bertujuan menggali, mengkaji dan mengembangkan konsep dan temuan para pakar tentang membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan metode

Grounded Theory, untuk mengungkapkan dan memahami suatu fenomena yang

terjadi, yang disusun secara induktif guna mengembangkan teori-teori dasar. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, wawancara, dan studi literatur dan dokumentasi.

Temuan penelitian ini adalah : (1) Kenyataan alam rusak disebabkan oleh faktor peristiwa alam dan eksploitasi manusia baik langsung maupun tidak langsung; (2) Kenyataan kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan masih rendah yang disebabkan oleh rendahnya aspek spiritual warga negara dalam mengelola alam; pendidikan lingkungan belum optimal; besarnya masyarakat miskin yang sangat tergantung pada sumber daya alam dan lingkungan; hukum dan penegakannya belum maksimal. (3) Konsep filosofis membangun kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan harus melalui: pengembangan kesadaran individual ke arah kesadaran moral dan kesadaran hukum kolektif; mendorong kesadaran anomous, heteronomous, sosionomous ke arah

autonomous; mengembangkan kesadaran Antroposentris ke arah Biosentris dan

Ekosentris; Pendidikan Lingkungan. (4) Kebijakan pemerintah dalam membangun

kesadaran lingkungan harus diarahkan pada perbaikan dan penegakan hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berbasis kelestarian lingkungan; (5) Model pendidikan lingkungan berkaitan dengan materi, metode PBM dan evaluasi. Materi (alam dan keseimbangnnya); metode (pembelajaran kontekstual,

proyek citizen/portofolio); Evaluasi (tes, no-tes). Pendekatan pembelajaran dapat

dilakukan secara infusi (terintegrasi dalam semua mata pelajaran, intra dan ekstrakurikuler); dan secara block (terpisah sebagai mata pelajaran khusus, Pendidikan Lingkungan Hidup).

Penelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah, akademisi dan praktisi pendidikan, LSM dan pemerhati lingkungan untuk membangun kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan ini secara individual dan kolektif dengan berbagai pendekatan keilmuan, agama dan sosial kultur di masyarakat.


(9)

x ABSTRACT

BAMBANG YUNIARTO. (2011). Building an Awareness of Citizens for Environmental Conservation (A Grounded Theory Study in the Context of Ecological Citizenship).

The low awareness of citizens in preserving nature has caused an alarming environmental crisis today. The worldview of secular Western culture that considers an absolute position of human nature towards nature, the lack of knowledge of the environment and poverty, have led people to exploit nature in excess. Global warming has an impact on climate change, habitat loss, water scarcity, pollution, flooding, and the threat of starvation. Observing this, the urgent agenda is to foster ecological intelligence (Goleman, 2009) which will give birth to the collective wisdom of citizens towards environmental conservation.

This study aims to explore, examine and develop concepts and findings of the experts on building an awareness of citizens towards environmental preservation. This is a qualitative research approach with the method of Grounded Theory, to express and understand a phenomenon that occurs, organized inductively in order to develop the basic theories. Techniques of data collection are conducted through literature studies, interviews, and documentation.

The findings of this study are: (1) The reality of nature damaged caused by natural events and human exploitation, whether directly or indirectly, (2) The fact of awareness of citizens in preserving the environment is still low due to lack of spiritual aspects in managing natural citizens; education environment is not optimal; too many poor people depend on natural resources; environmental law and its enforcement is not maximized. (3) The philosophical concept in building an awareness of citizens in environmental conservation must go through: the development of self-awareness towards the collective consciousness of the moral and law; encourage anomous awareness, heteronomous, sosionomous toward

autonomous; develop an anthropocentric awareness towards biocentric and

ecocentric; Environmental Education. (4) The government policy in building

environmental awareness should be directed to the improvement and enforcement of laws to support economic development based on environmental sustainability, (5) model of environmental education related to the material, PBM and evaluation methods. Materials (nature and its balance); method (contextual learning, citizen project/portfolio); Evaluation (test, no-test). Learning approach can be either

infusion (integrated in all subjects, intra-and extra-curricular) and block

(separately as a special lesson, Environmental Education).

This study provides recommendations to the government, academics and education practitioners, NGOs and environmentalists, to build awareness of citizens in environmental preservation individually and collectively with the various approaches of science, religion and social culture in the community.


(10)

xi DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 11

C. Penjelasan Istilah ... 12

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Manfaat Penelitian ... 17

F. Metode dan Subjek Penelitian ... 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Kesadaran Warga Negara Terhadap Lingkungan 1. Hakikat Kesadaran Manusia ... 20


(11)

xii

3. Konsep Warga Negara dan Isu Global Lingkungan ... 34

4. Hakikat Kesadaran Manusia Terhadap Lingkungan ... 37

B. Hubungan Manusia dan Lingkungan 1. Hakikat Lingkungan ... 41

2. Pahan-Paham Interaksi Manusia Dengan Lingkungan ... 44

3. Etika Lingkungan dan Teori Etika Lingkungan... 47

4. Prinsip Islam Tentang Lingkungan ... 53

C. Membangun Kesadaran Warga Negara Untuk Pelestarian Lingkungan 1. Gagasan Ekologi Kewarganegaraan dan Kearifan Lingkungan ... 58

2. Pendidikan Lingkungan dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan ... 64

D. Penelitian Lingkungan Terdahulu ... 70

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan, Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 1. Pendekatan Penelitian ... 74

2. Metode Penelitian ... 76

3. Teknik Pengumpulan Data ... 78

B. Unit Penelitian dan Sumber Data 1. Subjek Penelitian ... 81

2. Sumber Data ... 82


(12)

xiii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Temuan Hasil Penelitian

1. Kenyataan alam yang rusak menuju ketidakseimbangannya ... 87 2. Kenyataan kesadaran warga negara dalam pelestarian

lingkungan ... 94 3. Konsep filosofis membangun kesadaran warga negara

untuk pelestarian lingkungan ... 102 4. Kebijakan pemerintah dalam upaya membangun kesadaran

warga negara untuk pelestarian lingkungan ... 108 5. Model pendidikan lingkungan dalam membangun kesadaran

warga negara untuk pelestarian lingkungan ... 112

B. Pembahasan Temuan Hasil Penelitian

1. Kenyataan alam yang rusak menuju ketidakseimbangannya ... 120 2. Kenyataan kesadaran warga negara dalam pelestarian

lingkungan ... 143 3. Konsep filosofis membangun kesadaran warga negara

untuk pelestarian lingkungan ... 164 4. Kebijakan pemerintah dalam upaya membangun kesadaran

warga negara untuk pelestarian lingkungan ... 201 5. Model pendidikan lingkungan dalam membangun kesadaran


(13)

xiv BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ... 218 B. Rekomendasi ... 226 DAFTAR PUSTAKA ... 229 LAMPIRAN-LAMPIRAN

a. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 239 b. Hasil Wawancara Pakar ... 241 RIWAYAT HIDUP ... 273


(14)

xv

DAFTAR TABEL

1. Tabel 2.1 Teori Dua Tahap Perkembangan Moral Piaget (Crain, 2007) ... 26 2. Tabel 2.2 Elemen Kewarganegaraan Marshall (Bank, 2008) ... 33 3. Tabel 3.1 Bidang Kepakaran, Subjek dan Kode Subjek Penelitian ... 83 4. Tabel 4.1 Permasalahan Lingkungan Hidup Menurut Pakar Lingkungan


(15)

xvi

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data

(Miles and Huberman, 2007) ... 84 2. Bagan 3.2 Paradigma Penelitian ... 86


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan merupakan hal yang amat penting sekarang ini. Sebab hingga saat ini faktanya menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dalam berbagai bentuk perilaku mencerminkan ketidakpedulian terhadap lingkungan. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan ini terjadi tidak hanya pada sekelompok orang tertentu, tetapi meliputi hampir semua kalangan, baik terjadi pada tingkat individu rumah tangga, komunitas kecil perambah hutan, maupun pada tingkat organisasi seperti perusahaan. Bahkan pada tingkat intelektual, seperti cendekiawan yang melontarkan ide-ide pembangunan masa depan, tetapi tidak mengagendakan masalah lingkungan yang bisa disejajarkan dengan masalah politik, ekonomi, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia.

Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam tanpa upaya reklamasi mengakibatkan hilangnya ribuan spesies di bumi. Analisis International Union

for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (The Red List IUCN,

2010) mengingatkan ada 15.589 spesies binatang dan tumbuhan terancam punah. Sudah ada 844 mengalami kepunahan sejak tahun 1500; 129 catatan mengenai kepunahan spesies burung, 103 diantaranya terjadi sejak tahun 1800. Selain itu, laju kepunahan telah mencapai angka 100 hingga 1.000 kali dari laju kepunahan alami. Spesies hewan yang terancam punah meningkat dari angka 5.204 jenis


(17)

2 menjadi 7.266 jenis sejak tahun 1996. Sedangkan untuk jenis tumbuhan dan lumut, ada 8.323 jenis yang nyaris punah dari angka sekitar 3.000 jenis sebelumnya.

Di Indonesia, dari 6978 spesies tanaman endemik, 174 spesies di antaranya terancam punah. Laju deforestasi yang pesat (dari 1,6 juta ha dekade 1985–1997 menjadi 2,1 juta ha pada dekade 1997–2001) melalui tingginya alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman, perindustrian, perkebunan dan pertambangan, pembalakan hutan (illegal logging), dan kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat menyebabkan jutaan plasma nutfah musnah.

Selain itu, sebuah laporan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengemukakan bahwa Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. WALHI juga mengutip World Resource Institute (1997) yang menyatakan luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 %. Berdasarkan extra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta ha hutan dan lahan Indonesia yang rusak adalah 59,62 juta ha di antaranya berada di kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).

Di sisi lain, arus globalisasi, modernisme, dan perkembangan teknologi telah menghempaskan seluruh wilayah kehidupan manusia dan membawa dampak besar, dan tidak hanya pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik namun merambah secara sistemik ke seluruh aspek kehidupan lain seperti aspek budaya, lingkungan, hingga aspek psikologis. Hal yang tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan tingginya intentitas kegiatan manusia di muka bumi


(18)

3 telah menimbulkan banyak dampak destruktif terhadap jejaring kehidupan manusia dan ekosistem. Hal yang paling mencemaskan adalah terjadinya ketidakseimbangan ekosistem yang bermuara pada berbagai malapetaka alam berupa bencana bagi manusia dan kerusakan lingkungan itu sendiri. Selain itu, pembangunan kawasan perkotaan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan sehingga dalam kerangka sistemik, situasi tersebut menjadi penyebab pemanasan global (global warming), perubahan iklim (climate change), hilangnya habitat, kelangkaan air bersih, polusi, banjir, hingga ancaman kelaparan yang kini menjadi masalah krusial.

Realitas kondisi di atas, menguatkan bahwa perhatian akan kesadaran melestarikan dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup merupakan hal yang amat penting dan mendesak. Hal ini menindaklanjuti hasil-hasil konferensi lingkungan hidup sedunia pada tanggal 5 Juni 1972 yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Stockholm yang menyepakati banyak masukan mengenai pemeliharaan dan pengendalian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh maraknya industrialisasi, baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada konferensi itu pula disetujui mengenai resolusi lingkungan hidup yang dijadikan sebagai landasan bagi segenap pembangunan. Pada akhirnya, konferensi tersebut membidani lahirnya lembaga di dalam PBB yang bergerak di bidang lingkungan, yakni United Nations Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya (Hardjasoemantri, 2000:1).

Konstruksi kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan di atas, menurut Subagyo (1999:17), tidak hanya untuk menciptakan suatu yang


(19)

4 indah atau bersih saja, akan tetapi harus sudah masuk pada kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak orang, hak-hak alam dan ekosistemnya. Hak-hak orang lain tersebut adalah untuk menikmati dan merasakan keseimbangan alam secara murni, sehingga ada harmonisasi manusia dengan alam. Tata nilai budaya inilah yang diharapkan dapat dibangun melalui penyajian kembali kearifan lokal

(local wisdom) yang dapat menjamin kelestarian lingkungan.

Orientasi nilai keselarasan manusia dengan alam dan kehidupannya ini sebenarnya banyak dijumpai pada budaya etnis di Indonesia. Misalnya, suku terasing Mentawai di pulau Siberut menganggap hutan merupakan bagian dari hidupnya yang tidak semata sebagai ruang publik, tempat rekreasi, pemberi nafkah yang serba ada, tetapi juga dilambangkan sebagai sebuah sumber kekuatan hidup yang sarat dengan makna yang bersifat sakral. Di lingkungan suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, dikenal konsep “pahewan”, yakni sebuah lingkungan konservasi alam yang dikeramatkan. Kondisi ini, menurut ungkapan Schefold, dalam Lutan dan Kardjono (2009:13) digambarkan sebagai “spiritual

relationship” atau hubungan spiritual dengan alam. Hutan dalam pandangan suku

Mentawai ini sebagai sebuah “cultural space” bagi nenek moyangnya.

Sebenarnya manusia bisa mengelola alam dengan baik, yakni sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya secara secukupnya saja. Namun demikian ada sifat lain dari manusia yakni keserakahan terhadap segala sesuatu. Hal inilah yang kemudian membuat banyak terjadi eksploitasi terhadap alam sekitar, yang pada akhirnya mengganggu keseimbangan alam itu sendiri. Apalagi jika bentuk keserakahan itu sudah diwujudkan untuk mengeruk keuntungan pertumbuhan


(20)

5 ekonomi tertentu yang berbentuk industrialisasi, maka kita sudah bisa memastikan bagaimana alam tersebut akan diperlakukan. Hal itu dimulai karena sifat manusia sendiri yang cenderung untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi melalui eksploitasi alam tanpa batas.

Berkenaan dengan hal di atas dan realitas saat ini, maka para ilmuwan lingkungan mengemban misi utama yang berangkat dari kesenjangan tentang

what the world is (facts) and what the world should be (value). Dalam hal ini

menurut Persoon dan de Groot (Lutan dan Karjono, 2009:15), menganalisisnya dalam dua sudut pandang, yakni nilai yang bersifat lokal (a deep

value-consciousness), dan nilai yang bersifat universal (a more value-universalistic

point of view). Nilai inilah yang menjadi landasan etika dalam memperlakukan

lingkungan alam sekitar.

Sementara itu, cara pandang budaya Barat yang menganggap bahwa kedudukan manusia itu absolut sangat berimplikasi terhadap upaya memecahkan masalah lingkungan. Paham inilah yang menggiring ke arah posisi manusia sepenuhnya untuk menguasai alam secara mutlak (total mastery over nature) (Umehara, 1995:25). Akibatnya fungsi alam diperlakukan sebagai “a dead entity”, yakni objek yang perlu ditaklukan oleh sain dan teknologi. Padahal konsep ekologi sangat erat hubungannya dengan konsep “hidup” yang menunjukkan esensinya sebagai sistem pengaturan diri tentang kehidupan (self regulating

system of life). Hal ini berimplikasi pada konsep pembangunan dan kemajuan

tanpa batas sehingga konsep pembangunan (development) mendorong perilaku masyarakat ke arah cara hidup untuk terus menerus memenuhi kebutuhan melalui


(21)

6 upaya mengubah benda-benda menjadi sumber daya yang digunakan untuk memuaskan keinginan tak terbatas dari seseorang yang merasa memiliki (in

satisfying the boundless wants of the possessive individual) (Illich, 1995:48).

Fakta inilah yang menjadi akar krisis lingkungan hidup seperti pemanasan global sebagai akibat ketiadaannya keseimbangan hubungan antara peradaban manusia dengan lingkungan. Dalam kondisi ini, Al Gore (1992:17) menganalisis bahwa akar penyebab kerusakan alam yang paling dalam yakni lack of...spiritual atau kurang tertanamnya nilai-nilai spiritual dalam hidupnya.

Sungguh mengerikan apabila direnungkan fakta ilmiah yang diungkapkan para ilmuan berkenaan dengan dampak pemanasan global akibat krisis lingkungan ini. Prediksi yang sangat ekstrim melukiskan akibat pemanasan global dengan kenaikan suhu hingga 2 derajat C, negara-negara berkembang akan menghadapi 75 sampai 80 persen biaya kerusakan dan dapat menyebabkan pengurangan permanen pada PDB sebesar 4 sampai 5 persen untuk Asia (World Development

Report, 2010:xxiii). Peningkatan suhu itu menurut data yang ditampilkan oleh

Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorology Organization), menyebabkan

more frequent, severe growht, snowstorm and heat wave across all continents,

including Asia” (Jakarta Post, 2009). Dan studi Intergovernment Panel on Climate

Change (IPCC) mengungkap bahwa satu persen kenaikan suhu dunia akan

menimbulkan gagal panen di negara-negara berkembang (a one percent increase

in world temperature would cause harvest failure in developing countries)


(22)

7 Persoalan yang dihadapi sekarang ini adalah kesadaran warga masyarakat yang rendah terhadap pelestarian lingkungan yang menyebabkan kerusakan ekosistem. Ajakan untuk mengamankan hutan, yang rata-rata punah 1,1 juta hektar per tahun di Indonesia, tidak juga berhasil menggugah kepedulian masyarakat meskipun sudah dicoba diatasi dengan paksaan hukum sekalipun. Apa akar persoalan sebenarnya? Al Gore (1992:3) menggambarkan bahwa akar krisis ini terletak pada tumpulnya aspek spiritual manusia dalam memahami hakikat hubungan manusia dan alam sekitarnya. Untuk itu Goleman (2009:12) mengemukakan perlunya pembinaan kecerdasan ekologi dalam kaitannya dengan pemahaman akan maslahat dan potensi ancaman yang berada di balik semua produk peradaban. Golman (2009:24) menjelaskan bahwa “our brains have been finely turned to be hyper vigilant at sportting dangers in a world we no longer inhabit, while the world we live today presents us with abundant dangers we do

not see, hear, taste, or smell, atau maksudnya bahwa otak kita sudah terlatih

dengan baik untuk waspada penuh terhadap bahaya yang ada di dunia yang kini tidak lagi kita huni. Sementara dunia kita sekarang ini dipenuhi begitu banyak bahaya yang tidak kita lihat, dengar, rasa dan baui. Selanjutnya Golman (2009:24) juga menjelaskan bahwa : “the ecological changes the signal impending danger

are sub-threshold, too subtitle to register in our sensory system at all”, bahwa

perubahan ekologis yang menandai bahaya yang akan timbul itu lebih rendah dari garis ambang bawah, terlalu samar untuk dikenali oleh sistem sensor kita.

Karena dunia sekitar beserta peradaban kita begitu banyak berubah dan bahkan asing bagi sekelompok masyarakat tertinggal maka ancaman bahaya


(23)

8 lingkungan yang rusak tak dapat dideteksi hanya dengan respon instrinsik, lebih-lebih karena otak manusia terbatas. Untuk mengatasi masalah itu Golman (2009:26) menawarkan gagasan keharusan untuk dapat mempersepsikan ancaman yang berada di atas ambang (threshold for perception), dengan kata lain, kita harus mampu membuat sesuatu yang tak terlihat menjadi terlihat (we must make

the invisible visible) (Golman, 2009:26). Hal itu dapat dicapai melalui pembinaan

kecerdasan ekologis. Konsepsi kecerdasan ekologis ini tidak sekedar dimaknai oleh kemampuan penduduk pedalaman (asli) yang mahir mencermati lingkungannya tetapi mencakup pemahaman sains yang prinsip-prinsipnya diterapkan untuk memahami sistem dinamis yang berlangsung pada skala kecil hingga global. Kecerdasan ekologis ini memungkinkan kita untuk memahami sistem dalam semua kompleksitasnya, seperti halnya keterkaitan antara alam dan dunia buatan manusia. Istilah kecerdasan ekologis ini, dalam kajian Wiliam Chang (2009) diartikan dengan “kearifan lokal berwawasan ekologis”.

Kecerdasan ekologis ini menjadi penting seiring dengan penguatan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara sederhana pengertiannya adalah pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan dan kepentingan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pengertian ini merujuk pada World Commission on Environment and Development (WECD), sebuah komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan di bawah naungan PBB. Definisi tersebut memuat dua konsep utama. Pertama, tentang kebutuhan yang sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, tentang


(24)

9 keterbatasan dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Artinya pembangunan berkelanjutan berperspektif jangka panjang (a longer term perspective) yang menuntut adanya solidaritas antar generasi.

Paradigma pembangunan bekelanjutan di atas akan semakin dibutuhkan seiring dengan perkembangan globalisasi, terutama ketika diterapkan ISO 9000 (standar kualitas barang) dan ISO 14000 (standar kualitas lingkungan). Secara sederhana dalam ISO 14000 dipersyaratkan audit lingkungan, label lingkungan, sistem pengelolaan lingkungan dan analisis daur hidup (Manik, 2009:2130). Bila

ISO 14000 diberlakukan, suka atau tidak suka, para pengusaha harus

menyesuaikan produk-produknya dengan kriteria lingkungan yang dikehendaki oleh ISO (International Standardization Organization). Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meminimumkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Secara implisit mengandung arti memaksimumkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumber daya alam.

Paradigma pembangunan bekelanjutan di atas menuntut diterapkannya strategi gerakan kultural, yakni upaya membangun kesadaran pelestarian lingkungan sejak tingkat skala terkecil yaitu keluarga, lalu diharapkan mempunyai ekskalasi pemberdayaan yang melebar dan meluas. Sumberdaya alam yang meliputi hutan, perairan, dan pertambangan serta segala yang terkandung di dalamnya harus dipahamkan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi manusia, sehingga dalam pemanfaatannya harus bijak dan tanpa mengurangi


(25)

10 prospek generasi mendatang. Oleh karena itu, manusia sebagai mahluk yang terlibat menjadi subjek sekaligus objek dalam setiap tahapan pembangunan harus mampu mengambil manfaat, merencanakan dan melibatkan diri secara aktif dalam pelestarian sumber daya alam.

Untuk tujuan pembangunan itu, alam yang secara hakiki adalah representasi manusia dan harus diperlakukan secara manusiawi pula. Menurut (Keraf, 2001) ada sembilan prinsip “etika lingkungan” dalam pembangunan, yakni : (1) Hormat terhadap alam (respect for nature), (2) Bertanggungjawab kepada alam (responsibility for nature), (3) Solidaritas kosmis (cosmic solidarity), (4) Peduli kepada alam (carrying for nature), (5) Tidak merugikan (no harm), (6) Hidup selaras dengan alam (living harmony with nature), (7) Keadilan, (8) Demokrasi, dan (9) Integritas moral.

Peningkatan kualitas dan kuantitas hidup untuk mencapai yang lebih baik

(life good) adalah cita-cita setiap individu maupun masyarakat. Oleh sebab itu,

berbagai ikhtiar untuk mencapai hal tersebut harus diformulasi secara holistik dan komprehensif agar perubahan yang dilakukan tidak hanya pada tataran instrumental saja, melainkan mengakar pada tataran nilai (paradigm) sehingga manusia mampu terbebas dari berbagai ambivalensi yang terjadi selama ini. Sekarang saatnya merenungkan sejenak dan melihat secara jernih persoalan-persoalan lingkungan hidup yang telah mengemuka.

Perubahan paradigma itu perlu komitmen masyarakat dan pemerintah dalam implementasinya. Pemecahan terhadap berbagai persoalan lingkungan hidup khususnya pelestarian sumber daya alam harus dilakukan oleh semua


(26)

11 kalangan tanpa terkecuali, karena persoalan lingkungan hidup adalah persoalan universal. Upaya pelestarian lingkungan hidup merujuk pada pembangunan manusia maka yang harus dilakukan secara bertahap adalah peningkatan kesadaran, etika, dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia berwawasan lingkungan.

Hal penting yang harus dibangun adalah kecerdasan ekologis yang bukan hanya pada tingkat perseorangan tetapi harus berkembang menjadi sebuah kecerdasan yang bersifat kolektif, dan selanjutnya menjadi kesadaran kolektif. Oleh karena itu, konsep utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah kesadaran

(awareness) dalam hubungannya dengan pelestarian lingkungan. Kesadaran ini

tidak meningkat dengan sendirinya, tetapi harus dilakukan melalui pembinaan, pendidikan dan pembiasaan. Untuk alasan itu dibutuhkan formulasi dan strategi pendidikan lingkungan sehingga lebih efektif dalam membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan hidup.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas dan mendasarkan pada pendapat Creswell (1998:37) bahwa grounded theory adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya, maka dalam penelitian ini kajian ditujukan pada konsep atau fenomena yang dipahami, dipersepsi, dikaji sesuai dengan pengalaman responden sebagai subjek terfokus. Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah fenomena tentang makna dan nilai dari pengetahuan, pengalaman, sikap, persepsi, dan gagasan


(27)

12 narasumber tentang ”Bagaimana membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan?”

Agar lebih terarah, maka rumusan masalah di atas dikembangkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut, yakni:

1. Bagaimana kenyataan alam yang rusak menuju ketidakseimbangan alam? 2. Bagaimana kenyataan kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan? 3. Bagaimana konsep filosofis dalam membangun kesadaran warga negara untuk

pelestarian lingkungan?

4. Bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam upaya membangun kesadaran masyarakat untuk pelestarian lingkungan?

5. Bagaimana model pendidikan lingkungan dalam membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan?

C. Penjelasan Istilah

Konsep-konsep pokok dalam penelitian ini adalah : kesadaran, kesadaran lingkungan, warga negara dan pelestarian lingkungan, yang dapat dijelaskan berikut ini :

1. Kesadaran Lingkungan

Istilah kesadaran berasal dari bahasa Latin yaitu “concentia” yang artinya “mengerti dengan”. Dalam bahasa Inggris terdapat kata “consciousness” yaitu kesadaran (Allen, Eds., 1991). Kesadaran ini berasal dari kata “sadar” yang berarti “insyaf, merasa, tahu dan mengerti”. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:975) kesadaran diartikan sebagai keinsyafan atau keadaan


(28)

13 mengerti dan merupakan hal yang dirasakan atau dialami seseorang. Berdasarkan pengertian itu, maka kesadaran lingkungan adalah kesadaran mental yang mendalam, yang berawal dari pengetahuan dan pemahaman tentang hakikat lingkungan sebagai sebuah sistem, dan kedudukan manusia sebagai pengelola yang bertanggung jawab.

2. Warga Negara

Turner (Sapriya, 2006) mendefinisikan bahwa warga negara adalah “a

citizen is a member of a group living under certain laws” atau anggota dari

sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum negara tertentu. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, pasal 26 ayat 1, dijelaskan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, dijelaskan secara rinci bahwa yang dimaksud Warga Negara Indonesia dalam pasal 4 adalah :

a) setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang- undangan dan atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga

Negara Indonesia;

c) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;


(29)

14 d) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara

asing dan ibu Warga Negara Indonesia;

e) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

f) anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;

g) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;

h) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;

i) anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

j) anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

k) anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;


(30)

15 l) anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;

m) anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai warga negara adalah sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri yang berdasarkan perundang-undangan atau perjanjian-perjanjian dan mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik.

3. Pelestarian Lingkungan

Pelestraian lingkungan dimaknai sebagai upaya mencintai, memelihara, menjaga dan memanfaatkan keberlangsungannya untuk generasi mendatang. Ada prinsip-prinsip menurut Leonardo Boff (Buru, 2009), pertama, prinsip keberlanjutan (Sustainability). Dalam hubungan dengan etika ekologi, prinsip ini menjadi pedoman untuk memakai atau merambah alam secara rasional sesuai kebutuhan kita tanpa merusaknya. Semua organisme hidup (binatang dan tanaman) harus diberikan kesempatan untuk beregenerasi, sehingga keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem akan terjamin. Prinsip ini selalu berkaitan erat dengan prinsip toleransi (tolerance) yang memotivasi kita untuk secara bersama berjuang demi keberlanjutan kehidupan semua organisme, termasuk kelangsungan


(31)

16 hidup generasi mendatang. Kedua, prinsip penghargaan dan perhatian terhadap lingkungan/alam (Respect and Mindfulness). Prinsip ini membantu manusia untuk pemperlakukan organisme lain secara hati-hati dan penuh cinta serta dapat membantu melihat dan memahami nilai yang ada dalam semua ciptaan dan membawa kita pada sikap penuh penghargaan dalam berrelasi dengan ciptaan lain. Ketiga, prinsip tanggung jawab (resposibility). Prinsip ini memotivasi kita untuk memperlakukan ciptaan lain secara baik dan wajar. Tanggung jawab merupakan indikasi dari karakter etis manusia.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji data, menemukan dan mengembangkan teori tentang upaya membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengkaji, mengorganisasikan informasi, menemukan dan mengembangkan teori tentang :

1. kenyataan alam yang rusak menuju ketidakseimbangan alam. 2. kenyataan kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan.

3. konsep filosofis dalam membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan.

4. kebijakan pemerintah dalam membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan.

5. model pendidikan lingkungan hidup dalam membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan.


(32)

17 E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis).

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini akan menggali, mengkaji data, menemukan dan atau mengembangkan teori-teori dalam membangun kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan. Sehingga akan diperoleh informasi, data, fakta dan pengembangan teori-teori yang telah ada yang dapat diterapkan dan dikembangkan baik secara individual maupun melalui kebijakan pemerintah dalam membangun kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan. 2. Manfaat Praktis

Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak, yakni:

a) Para akademisi, praktisi pendidikan, ulama, aktivitis lingkungan, sebagai bahan kontribusi konsep dan pemikiran ke arah pengembangan konsep dan paradigma dan pendekatan pengembangan dan peningkatan kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan. Konsep-konsep dan pengembangan teoretis ini dapat melengkapi informasi kuliah, penyuluhan dan ceramah-ceramah hal umum dan agama bagi pihak-pihak terkait di atas.

b) Para pengembang kurikulum pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan lingkungan, sebagai sumbangan konsepsi dan kerangka praksis-kurikuler dan sosio kultural pembangunan kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan melalui ranah pendidikan dengan pengembangan muatan isi


(33)

18 kurikulum, nilai-nilai dan strategi pembelajaran pendidikan lingkungan bagi peserta didik.

c) Para pengambil kebijakan (pemerintah) di pusat dan daerah bahwa temuan-temuan data, konsep-konsep dan pengembangan teori dari penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi program pembangunan kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan. Sehingga substansi, materi hukum dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan secara filosofis dan sosiologis hukumnya harus memihak pada pelestarian lingkungan.

d) Peneliti lanjutan, dapat menjadi bahan untuk mengembangkan penelitian sejenis dalam upaya menemukan dan mengembangkan konsep dan teori lain untuk pelestarian lingkungan yang berkesinergi dengan pembangunan berkelanjutan.

F. Metode dan Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni proses penelitian untuk memahami dan menyelidiki masalah sosial atau manusia berdasarkan tradisi metodologi penelitian Grounded Theory. Tadisi penelitian Grounded Theory adalah teori dasar yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena kesadaran warga negara dalam upaya pelestarian lingkungan. Strauss dan Corbin (2003:10-11) menjelaskan bahwa dalam tradisi penelitian ini, peneliti tidak memulai penyelidikan dengan pegangan pada suatu teori tertentu, melainkan berpegang pada suatu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut.


(34)

19 Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara yang dilakukan kepada narasumber ahli bidang Sosiologi Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan, Hukum Lingkungan, Aktivis Lingkungan, Tokoh Agama; Studi Literatur untuk mengungkapkan berbagai teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti; dan Studi Dokumentasi berupa catatan dan dokumen (non human resources) untuk pengembangan analisis penelitian.

Subjek penelitian yang menjadi sumber data untuk kepentingan analisis dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yakni : pertama, sumber bahan cetak (kepustakaan) meliputi buku teks, dokumen-dokumen kurikulum, makalah, klipping, jurnal, surat kabar, situs internet, dan lain-lain, yang menganalisis tentang konstruksi kesadaran warga negara untuk pelestarian lingkungan. Kedua, sumber responden (human resources), dipilih secara purposive sampling, yang didasarkan pada kepakaran bidang sosiologi/antropologi, agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan lingkungan, aktivis lingkungan dan birokrasi.


(35)

74 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengumpulan Data 1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni pendekatan yang dalam pengolahan data, sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi serta menyimpulkan data, tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif. Penelitian ini untuk memahami dan menyelidiki masalah sosial atau manusia berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu. Untuk tujuan itu, peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Creswell (1998:15) memaparkan bahwa penelitian kualitatif ini adalah : Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the

study in a natural setting.

Memaknai paparan di atas, bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan


(36)

75 pandangan-pandangan para informan secara rinci dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Pemahaman lain tentang pendekatan kualitatif, Nasution (1996:18) menyebutnya sebagai penelitian naturalistik. Sebab situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi atau diatur dengan eksperimen atau tes. Oleh karena itu, informasi yang diperoleh adalah peristiwa dari situasi yang alamiah tentang kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable

development).

Untuk memahami makna dari fenomena yang terjadi secara alamiah yang berkaitan dengan kajian di atas, maka peneliti berperan sebagai key instrumen, yang harus mengumpulkan data dengan mendatangi langsung sumber data (Bogdan dan Biklen, 1982:27); perspektif emic berperan sebagai instrumen untuk memahami dan menjelaskan situasi dan perilaku kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan.

Penguatan argumentasi di atas disampaikan oleh Lincoln dan Guba (1985:199) yang menyatakan bahwa “...the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening,

speaing, reading, and the like“. Maksudnya bahwa hanya manusia sebagai

instrumen yang dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden.


(37)

76 2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode atau tradisi grounded theory. Tradisi ini menurutCreswell (1998:56) adalah:

a grounded theory is to generate or discover a theory, an abstract analytical schema of a phenomenon, that relates to a particular situation. This situation is one which individuals interact, take actions, or engage in a process in a response to a phenomenon. To study how people act and react to this phenomenon, the researcher collects primarily interview data, makes multiple visits to the field, develops and interrelates categories of information, and writes theoretical propositions or hyphoteses or presents a visual picture of the theory.

Makna yang terkandung dalam grounded theory adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya.

Grounded theory memberikan peluang sangat besar untuk menemukan teori baru,

disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis, dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Pengumpulan data, analisis data, dan teori saling terkait dalam hubungan timbal balik. Seperti yang dikemukakan oleh Strauss dan Corbin (2003:10-11) bahwa peneliti tidak memulai penyelidikan dengan pegangan pada suatu teori tertentu, melainkan dengan pegangan pada suatu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut.

Sementara itu, Strauss dan Corbin (2009:12) memberikan penjelasan tentang grounded theory ini sebagai berikut:

Grounded theory adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan

sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori grounded, yang disusun secara induktif, tentang suatu fenomena. Temuan penelitiannya merupakan rumusan teori tentang realitas yang diteliti, bukan sekedar sederet angka atau sejumlah tema yang kurang berkaitan. Melalui metodologi ini, tidak hanya dihasilkan konsep-konsep dan hubungan antar konsep, namun juga dilakukan pengujian sementara terhadap konsep ini. Tujuan metode grounded theory adalah menyusun teori yang sesuai dengan dan menjelaskan tentang bidang yang diteliti.


(38)

77 Beberapa alasan yang mendasari penggunaan metode grounded theory dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan permasalahan bagaimana membangun kesadaran warga negara dalam upaya pelestarian lingkungan. Kajian ini bersifat konseptual teoretik tentang filsafat keilmuan khususnya menyangkut epistimologi.

Kedua, setelah dibahas melalui analisis data yang peneliti lakukan,

diharapkan peneliti dapat menemukan teori-teori grounded atas penelitian yang peneliti lakukan secara epistimologi tersebut. Penelitian ini memerlukan kepekaan yang dalam untuk menyingkap makna yang dituangkan melalui interaksi peneliti dengan subjek penelitian ataupun informan.

Penelitian grounded theory memiliki tiga macam sistem pengodean, yakni pengodean terbuka (open coding), pengodean berporos (axial coding), dan pengodean selektif (selective coding) (Straus dan Corbin, 2009:51-54; Creswell, 1998:57). Dalam konteks penelitian ini, sistem pengodean yang digunakan adalah pengodean terbuka (open coding) dengan urutan langkah-langkah sebagaimana dikemukakan Straus dan Corbin (2003:57-71) sebagai berikut: pelabelan fenomena, penemuan kategori, penamaan kategori, penyusunan kategori, memilih

pengodean yang digunakan, menyajikan data, dan membuat interpretasi.

Dalam langkah pelabelan fenomena sebagai langkah awal analisis data, peneliti dituntut untuk peka dengan pengenalan konsep-konsep atau konseptualisasi data dengan memberi nama kegiatan/aktivitas informan yang dilakukan selama diamati, ditanya, ataupun diwawancarai. Setelah konseptualisasi data, selanjutnya adalah penemuan kategori. Pada langkah ini, konsep-konsep


(39)

78 dikategorikan, dikelompokkan berdasarkan persamaan-persamaannya. Oleh karena itu, langkah ini sering pula disebut ”pengkategorian” berdasarkan jumlah pengelompokkannya. Setelah pengkategorian konsep, penulis memberikan nama terhadap kategori-kategori yang relevan dengan data yang diperoleh, dan menyusun kategori yang ada berdasarkan sifat masing-masing kategori sebagai atribut dari suatu kategori.

Langkah selanjutnya adalah memilih pengodean yang digunakan. Dalam hal ini, peneliti memilih pengodean terbuka, artinya semua fenomena diidentifikasi terlebih dahulu tanpa memandang jenis, sifat, dan substansinya. Setelah itu peneliti dapat memulai menganalisis data baik dengan analisis baris perbaris yang memerlukan pengujian frase per-frase bahkan kata demi kata secara rinci. Cara kedua dapat dilakukan dengan paragraf, dimana tujuannya untuk memahami makna yang terkandung dari paragrafi itu.

Langkah terakhir adalah menyajikan data dan membuat interpretasi. Pada langkah ini peneliti menyajikan data yang sedapat mungkin mudah dipahami oleh pembaca, sehingga alur berpikir peneliti dapat diikuti pembaca. Akhirnya, peneliti berusaha menemukan suatu jawaban dari interpretasi yang peneliti lakukan sebagai temuan lapangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah studi literatur, wawancara, dan studi dokumentasi.


(40)

79 a. Studi Literatur

Studi literatur ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur tentang konstruksi kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan.

Pengkajian literatur untuk kepentingan penelitian ini adalah berupa lietratur teknis dan literatur non-teknis (Straus dan Corbin, 2009:39). Literatur teknis, seperti laporan tentang kajian penelitian dan karya tulis profesional atau disipliner dalam bentuk makalah teoretik atau filosofis. Sedangkan literatur non-teknis seperti : biografi, buku harian, dokumen, naskah, catatan, katalog, dan materi lainnya yang dapat digunakan sebagai data utama atau sebagai pendukung wawancara. Faisal (2008:30) mengemukakan bahwa hasil studi literatur bisa dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti; termasuk juga memberi latar belakang mengapa masalah tadi penting diteliti.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk tujuan menggali konsepsi, persepsi, ide/gagasan, perasaan, motivasi, tuntutan, harapan dan kepedulian para subjek penelitian untuk membangun kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan.

Bersandar pada klasifikasi Patton (1990:280) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(41)

80

Pertama, wawancara percakapan informal (the informal conversation

interview), ialah wawancara yang sepenuhnya didasarkan pada susunan

pertanyaan spontan ketika interaksi berlangsung khususnya pada proses observasi partisipatif di lapangan - terkadang orang yang diwawancarai tidak diberitahu bahwa mereka sedang diwawancarai.

Kedua, wawancara umum dengan pendekatan terarah (the general

interview guide approach), ialah jenis wawancara yang menggariskan sejumlah

isu yang harus digali dari setiap responden sebelum wawancara dimulai. Pertanyaan yang diajukan tidak perlu dalam urutan yang diatur terlebih dahulu atau dengan kata-kata yang dipersiapkan. Panduan wawancara memberikan checklist selama wawancara untuk meyakinkan bahwa topik-topik yang sesuai telah terakomodasi. Peneliti menyesuaikan baik urutan pertanyaan maupun kata-kata untuk responden tertentu.

Ketiga, wawancara terbuka yang baku (the standardized open-ended

interview), meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan

maksud untuk menjaring informasi mengenai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kata yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Jenis wawancara yang dijelaskan di atas digunakan oleh peneliti untuk memperoleh informasi dari subjek penelitian, sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan. Seringkali peneliti sendiri melakukan intervensi dan mendesakkan pendapat para narasumber agar informasi yang diperoleh terjamin reliabilitasnya.


(42)

81 c. Studi Dokumentasi

Peneliti memanfaatkan sumber-sumber berupa catatan dan dokumen (non

human resources) untuk pengembangan analisis kajian. Sebagaimana Lincoln dan

Guba (1985:276-277) menjelaskan bahwa catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Untuk keperluan penelitian ini, peneliti mengumpulkan catatan dan dokuman yang dipandang perlu untuk membantu analisis dengan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa buku teks, makalah, jurnal, dokumen kurikulum, hasil penelitian, dokumen negara. Kajian dokumen difokuskan pada aspek materi atau substansi yang ada kaitannya dengan pembangunan kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan.

B. Subjek Penelitian dan Sumber Data 1. Subjek Penelitian

Penentuan subjek penelitian dalam penelitian dimaksudkan agar peneliti dapat sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala kompleksitas yang berkaitan dengan pembangunan kesadaran warga negara dalam pelestarian lingkungan. Sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba, (1985:201) bahwa penentuan subjek penelitian adalah untuk mengembangkan informasi yang diperlukan sebagai landasan dan desain yang timbul dari teori yang mendasar


(43)

82 Beberapa kriteria yang digunakan dalam penetapan subjek penelitian, yakni latar (setting), para pelaku (actors), peristiwa-peristiwa (events), dan proses

(process) (Miles dan Huberman, 2007:56; Alwasilah, 2003:145-146).

Pertama adalah latar, yakni situasi dan tempat berlangsungnya proses

pengumpulan data, yakni di dalam dan di luar forum seminar dan lokakarya, wawancara di rumah, wawancara di kantor, wawancara formal dan informal, berkomunikasi resmi, dan berkomunikasi tidak resmi.

Kedua, pelaku, yang dimaksud adalah pakar yang berlatar keilmuan terkait

dengan dimensi pendidikan kewarganegaraan, sosiologi dan antropologi, agama, hukum lingkungan dan pendidikan lingkungan.

Ketiga adalah peristiwa, yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan

penilaian tentang upaya membangun kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan, melalui berbagai forum ilmiah, seminar, worshop dan lain-lain.

Keempat adalah proses, yakni kegiatan peneliti dengan subjek penelitian

dalam memperoleh informasi berkenaan dengan pendapat dan pandangannya terhadap fokus masalah dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data untuk kepentingan analisis dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yakni : pertama, sumber bahan cetak (kepustakaan), meliputi buku teks, dokumen-dokumen kurikulum, makalah, klipping, jurnal, surat kabar, situs internet, dan lain-lain, yang berkaitan dengan pembangunan warga negara dalam pelestarian lingkungan. Kedua, sumber responden (human resources), dipilih secara purposive sampling, yang terdiri dari pakar pendidikan


(44)

83 kewarganegaraan, pakar kemasyarakatan (sosiolog), pakar budaya, ulama, dan pakar hukum lingkungan, serta pakar pendidikan lingkungan.

Berikut ini disajikan bidang kepakaran dan kode subjek penelitian yang dalam laporan penelitian ini, yakni :

No Bidang Kepakaran Subjek Terfokus Kode Subjek

1 Pakar Lingkungan A STA

2 Pakar Pendidikan Lingkungan B STB

3 Pakar Pendidikan Kewarganegaraan

C STC

4 Pakar Sosiologi Kewargangeraan D STD

5 Pakar Agama (Ulama) E STE

6 Aktivis Lingkungan (Walhi) F STF

Tabel 3.1

Bidang Kepakaran, Subjek dan Kode Subjek

C. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis induktif, artinya bahwa proses pembahasannya meliputi pola-pola, tema-tema dan kategori-kategori yang berasal dari data, bukan ditentukan sebelum pengumpulan dan analisis data. Analisis senada dikemukakan oleh Goetz dan LeCompte (1984:4) bahwa : “…inductive research starts with examination of a phenomena and then, from successive examinations of similar and dissimilar phenomena, develops a theory to explain

what was studied. Maksudnya bahwa penelitian induktif dimulai dengan

pengujian fenomena dan kemudian dari pengujian fenomena yang sama dan berbeda mengembangkan teori untuk menjelaskan apa yang telah dipelajari.

Sementara menurut Patton (1990:390), yang juga dikutif Sapriya (2006) bahwa “Inductive analysis means that the patterns, themes, and categories of


(45)

84 analysis come from the data; they emerge out of the data rather than being

imposed on them prior to data collection and analysis”. Maksudnya bahwa

analisis induktif meliputi pola-pola, tema-tema dan kategorikategori analisis yang berasal dari data; pola, tema dan kategori ini berasal dari data bukan ditentukan sebelum pengumpulan dan analisis data. Kegiatan dalam analisis data ini antara lain adalah menyusun data, memasukkannya ke dalam unit-unit secara teratur, mensintesiskannya, mencari pola-pola, menemukan apa yang penting dan apayang harus dipelajari, dan memutuskan apa yang akan dikemukakan kepada orang lain.

Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah yang dipakai oleh Miles dan Huberman (2007:20) yang terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan/vervikasi. Kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul atau suatu proses siklus interaktif. Berikut adalah bagan dari sikluler teknik analisis data tersebut.

Bagan 3.1 Komponen-komponen Analisis Data (Miles dan Huberman, 2007:20)

Pengumpulan data

Reduksi data

Kesimpulan: Penarikan/verifikasi

Penyajian data


(46)

85 Bagan di atas dapat dijelaskan bahwa tiga jenis kegiatan utama pengumpulan data (reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verivikasi) merupakan proses siklus interaktif yang harus dilalui peneliti.

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya yang cukup banyak, memerlukan pencatatan secara teliti dan rinci. 2. Penyajian Data (Data Display)

Dalam tahap ini, peneliti menyajikan data-data dalam bentuk deskripsi berdasarkan aspek-aspek yang diteliti sesuai rumusan penelitian.

3. Pengambilan Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion/Verification)

Kesimpulan diambil secara bertahap, diawali dengan pengambilan kesimpulan sementara. Namun dengan bertambahnya data kemudian dilakukan verifikasi data yaitu dengan mempelajari kembali data-data yang ada (yang direduksi maupun disajikan). Untuk penguatan keputuan yang dibuat, peneliti juga meminta pertimbangan dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Setelah hal itu dilakukan, peneliti mengambil keputusan akhir.


(47)

86 Paradigma penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 3.2. Paradigma Penelitian

•Wawancara

•Studi literatur

•Studi dokumentasi

Analisis filosofis, sosiologis, ekologis, teologis, praksis ekologi kewarganegaraan

Hipotesis Sementara

Teoritis, Temuan Penelitian Terdahulu,

Dokumen Pembangunan

kesadaran warga negara terhadap

pelestarian lingkungan Pakar Pendidikan

Lingkungan Pakar PKn Pakar Sosiologi Kewarganegaraan Pakar Agama (Ulama)

Aktivis Lingkungan Pakar Lingkungan


(48)

229

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Abdillah, M. (2005). Fikih Lingkungan Panduan Spiritual Hidup Berwawasan

Lingkungan. (Yogyakarta: UPP AMP YKPN).

Abidin, Z. (2003). Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Adisendjaja, Y.H. (2003). Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup: Belajar

dari Pengalaman dan Belajar dari Alam. Bandung : Jurusan Pendidikan

Biologi UPI Bandung.

Allen, R.,E., (Eds) (1991). The Concise Oxford Dictionary of Current English. Oxford University Press.

Alwasilah, A.C. (2006). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Amos, N.(2008). Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Armanto, D. et al. (2007). Bersahabat dengan Ancaman: Buku Bantu Pendidikan

Pengelolaan Bencana untuk Anak Sekolah Dasar. Grasindo & Walhi.

Jakarta.

Arne, N. (1993). Ecology, Community and Lifestyle. Cambridge: Cambridge University Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Attfied, R.(2010). The Ethics of the Global Environment, terjemahan Etika Lingkungan Global. Jakarta: Kreasi Wacana Opset.

Barbier, E.B. (1993). Economics and Ecology: New Frontiers and Sustainable

Development. Chapman & Hall, London

Bertens, K. (2002). Etika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1990). Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar

ke Teori dan Metode. Alih bahasa oleh Munandir dari judul Qualitative

Research for Education: An introduction to Theory and Methods. Jakarta: PAU PPAI Universitas Terbuka.


(49)

230 Budimansyah, D. (2007). Model Pembelajaran Berbasis Portofolio : Mata

Pelajaran PKn. Bandung : PT Genesindo.

Cogan, J.J. dan Derricot, R. (1998). Citizenship for the 21st Century: An

International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Cogan, J.J. (1998). Developing the Civic Society: The Role of Civic Education. Bandung: CICED.

Chang, W. (2009). Kecerdasan Ekologi. Jakarta : Kompas.

Crain, W. (2007). Teori Perkembangan : Konsep dan Aplikasi. Alih bahasa oleh Yudi Santoso dari judul Theories of Development, Conceps and

Application. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Creswell, J.W. (1998). Research Design Qualitative & Quantitative Approach. London: Publications.

Curtin, D. (2002). Ecological Citizenship. Dalam Isin, E.F. dan Turner, B.S. (eds).

Handbook of Citizenship Studies. New Delhi : SAGE Publications.

Depdiknas. (1993). Kurikulum Sekolah Menengah Umum, Landasan Program, dan Pengembangan, Proyek Peningkatan SMA, Tenaga Edukatif, dan

BPG Jawa Barat.

Depdiknas. (2006). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Dikdasmen.

Dietz, T. (1996). Entitlements to Natural Resources Countours of Political.

Environmental Geography, International Books, Utrecht. Diterjemahkan

Roem Topatimasang (1998). Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Kontur Geografi Lingkungan Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Djahiri, A.K. (1985). Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral VCT dan Games

terhadap VCT. Bandung: Jurusan PMPKn FPIPS IKIP Bandung.

Eitzen, S.,D., (1986). Sosial Problems. Sydney, Toronto: Allyn and Bacon inc, Boston.

Farhati, F., (1995). Sikap Ekosentrik dan Antroposentrik Terhadap Lingkungan.

Laporan Studi Kasus Sosial. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


(50)

231 Freire, P. (1999). Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan.

Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Goetz, J.P. & LeCompte, M.D. (1984). Ethnography and Qualitative Design in

Educational Research. San Diego: Academic Press.

Goleman, D. (2009). Ecological Intellegence. New York : Broadway Books. Gore, A. (1992). Earth in The Balance Ecology and The Human Spirit. New

York: Rodale.

Hadi, S.P. (1999). Manajemen Lingkungan Berbasis Kerakyatan dan Kemitraan, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP, Semarang 12 Oktober 1999. Hamzah, S. (2010). Revitalisasi Pendidikan Lingkungan sebagai Sebuah

Keharusan yang Tak Terelakan. Pidato pada Upacara Pengukuhan

Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu. Tidak diterbitkan.

Hardjasoemantri, K. (2000). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Heywood, A. (1994). Political Ideas and Concepts: An Introduction. New York: St. Martin’s Press.

Hidayat, R.T.,dkk, (2005). Peperenian Urang Sunda. Bandung:Kiblat. Hilmanto, R. (2010). Etnoekologi. Lampung:Universitas Lampung.

Illich, I. (1996). The Shadow Our Future Throws. California, USA : ALTI Publishing.

Judy, A.B,. & D. Wood. (1993). Enviromental Education in The Schools.

Creating a Program that Works! Peace Corps Information Collection and

Exchange M0044.

Judistira K., G. (1993). Orang Badui di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli Terhadap Pembangunan, di dalam Suku Asli dan

Pembangunan di Asia Tenggara (Penyunting Lim Teck Ghee, dkk),

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jung, C.G., (1987). Menjadi Diri Sendiri, Pendekatan Psikologi Analitis Terjemahan A. Cremers. Jakarta : PT. Gramedia.

Kalidjernih, F.K. (2007). Cakrawala Baru Kewarganegaraan: Refleksi Sosiologi


(51)

232 Karim, S.A. (2003). Program PKLH Jalur Sekolah: Kajian dari perspektif

kurikulum dan hakekat belajar mengajar (http://depdiknas.go.id/).

Diakses tanggal 9 Februari 2011.

Keraf, A.S. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta : PT Kompas.

Koentjaraningrat, dkk, (1993). Membangun Masyarakat Terasing di dalam

Masyarakat terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Koswara, E. (1991). Teori-teori Kepribadian. Eresco, Bandung.

Lincoln, Y.S. dan Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publications.

Lutan, R., Kardjono, Carsiwan. (2009). Pengaruh Outdoor Education Terhadap

Peningkatan Kesadaran Kelestarian Lingkungan alam. Bandung : Prodi

Olah Raga UPI Bandung.

Manik, K.E.S. (2009). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta : Djambatan. Mastur, Z. (2004). Model Pembelajaran Lingkungan. Terdapat dalam

http://www.suaramerdeka.com/harian/0402/16/kha1.htm. Diakses tanggal 17 Juli 2011.

Miles, M.B. dan Huberman, A.M. (2007). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mitchell, B., B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi. (2003). Pengelolaan

Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Munasinghe, M. (1993). Environmental Economics and Sustainable Development.

The World Bank, Washington, D.C.

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Parlan, H. dan Maha, A. I.G.G. (2010). Walhi : Arus Utama Gerakan Lingkungan.

Terdapat dalam Website Walhi : Friends of the earth Indonesia http://www.walhi.or.id/id/home/sejarah-kami. diakses tanggal 9 februari 2011.

Pearce, D.W. and Turner, R.K. (1990). Economics of Natural Resources and the

Environment. Harvester Wheatsheaf, London.

Phenix, P.H. (1962) The Discipline as Curriculum Content, dalam Harry Passow (Ed), Curriculum Crossroads, New York: Teachers College Press.


(1)

Ridwan, E. dan Malihah, E. (2006). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Robbins, K. (2003). Environmental Awareness: Overcoming Ignorance and Apathy by Getting People 'Outside'. Salt Lake City : Macalester College Environmental Studies Programe.

Ross, H. (1991). The Fingerprint of God: Recent Scientific Discoveries Reval the Unmistakable Identity of the Creator. Oranga, California: Promise Publishing.

Sapriya dan Winataputra, U.S. (2004). Pendidikan Kewarganegaraan : Model Pengembangan Materi dan Pembelajaran. Bandung : Lab. PKn FPIPS UPI.

Sapriya. (2006). “Warganegara dan Teori Kewarganegaraan”. Dalam Budimansyah, Dasim dan Syaifullah Syam (Ed). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan: Menyambut 70 Tahun Prof. Drs. H. A. Kosasih Djahiri. Bandung: Lab. PKn FPIPS UPI.

Sapriya. (2006). Perspektif Pemikiran Pakar Tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa (Sebuah Kajian Konseptual-Filosofis PKn dalam Konteks Pendidikan IPS). Disertasi SPs UPI: tidak diterbitkan.

Schefold, R. And Persoon, G. (1985). Pulau Siberut : Pembangunan Sosio-Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.

Simpson, J.A. & Weiner, E.S.C (Eds). (1989). The Oxford English Dictionary (2nd ed., vol. 3). New York: Oxford University Press.

Said Aqiel Siroj, S.,A. (2006). Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi bukan Aspirasi. Bandung: Mizan dan Yayasan Khas.

Soedjatmoko (1976). Sistem Nilai dan Pendidikan tentang Lingkungan Hidup Manusia. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.

Soemarwoto, O. (1994). Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:PT Jambatan.

Soetoprawiro, K. (1996). Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.


(2)

Straus, A. & Corbin, J. (2009). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Terjemahan oleh Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien dari judul Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subagyo, P.J. (1999). Hukum Lingkungan dan Perannya Dalam Pembangunan. Jakarta : Rineka Cipta.

Sudriyanto, J. (1992). Filsafat Organisme Whitehead dan Etika Lingkungan Hidup. Jakarta : Majalah Filsafat Driyarkara.

Suganda, H. (2006). Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Bandung: Kiblat. Sugandhy, A., dan Hakim, R. (2007). Prinsip Dasar Kebijakan: Pembangunan

Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara.

Sukmadinata, Syaodih, N. dan Surya, M., (1978). Pengantar Psikologi Publikasi Perumusan Bimbingan dan Penyuluhan. IKIP.

Sundalana (2007). Menyelamatkan Alam Sunda dan Kajian lainnya mengenai Kebudayaan Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.

Suseno, F.M. (1991). Etika Sosial. Jakarta: PT.Gramedia

Suseno, F.M. (1987). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral Yogyakarta: Kanisius.

The Red List International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources (IUCN) http:

/cms.iucn.org/about/work/programmes/species/red_list/review/.

Tilaar, H.A.R. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Turner, Long, Bowes and Lott. (1990). Civics: Citizens in Action. Columbus, Ohio: Merril Publishing Company.

Umehara, T. (1995) The Civilization of Forest : Ancient Japan Show Post Modernism The Way. California, USA : ALTI Publishing.

Utomo, Erry (1997), Pokok-Pokok Pengertian dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Vandana, S. (1995). Keragaman Hayati : Dari Imperialisme ke Bio-Demokrasi. Terjemahan oleh Sri Nurhayati. Jakarta : PT Gramedia.


(3)

Velazquez, M. G. (2005). Etika Bisnis, Konsep dan Kasus – Edisi 5. Diterjemahkan dari judul asli Business Ethics, Concepts and Cases (2002) oleh Ana Purwaningsih, dkk. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Wahab, A.A. (2006). “Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia bagi Terbinanya Warga Negara Multidimensional Indonesia”, dalam Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Lab. PMPKn FPIPS UPI.

Widjaya, A.W. (1984). Kesadaran Hukum manusia dan manusia Pancasila. Jakarta : Era Swasta.

Wikantika, K. (ed.) (2010). World Development Report 2010 : Development and Climate Change. Jakarta : Salemba Empat.

Zubair, A.C. (1995). Kuliag Etika. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada.

Jurnal dan Makalah

Badan Planologi Dephut (2003). Hutan Indonesia Menuju Kepunahan. Tersedia di http://Mevow.wordpress.com/2009/03/09/hutan-indonesia-menuju-kepunahan. Diakses tanggal 17 Juli 2010.

Baharudin, E. (2010). Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi

Lingkungan. Terdapat dalam :

http://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=content.detail&id=215&title =Kearifan%20Lokal,%20Pengetahuan%20Lokal%20dan%20Degradasi %20Lingkungan. Diakses pada tanggal 25 Januari 2011.

Banks, J.A. (2001). “Citizenhsip Education and Diversity: Implication for Teacher Education”. Journal of Teacher Education, Vol. 52, No. 1, January/Februari 2001, pp 5-16

Buru, P.M. (2009). Merumuskan Sebuah Model Etika Baru Untuk Menyelamatkan Dunia Dari Krisis Ekologi. Tersdia di

http://manuamanlakaan.over-blog.com/article-model-baru-etika-lingkungan-hidup-39940909.html. Diakses tanggal 17 Juli 2010.

Gyallay, P. (2004). Environment: PAP-ETAP Reference Guide Book, Chapter 13. (Online). Terdapat dalam http//www.un.org.kh/fae/pdfs/ section4/chapterxxx3/33.pdf. Diakses tanggal 13 Juli 2011.

Galtung, J. (1967), “Violence, Peace, and Peace Research”, dalam Journal of Peace Research (JPS), No.3, Vol. 6, hal. (167-191) dalam terjemahan


(4)

Kebebasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian dalam Mochtar Lubis (Penyunting) (1988). Menggapai Dunia Damai. Jakarta : Yayasan Obor.

Halim, M.,A. (2007). Pentingnya Kesadaran, Dari Kesadaran kritis ke Kesadaran

Profetis. Terdapat dalam :

http://halimsani.wordpress.com/2007/09/12/pentingnya-kesadarandari-kesadaran-kritis-ke-kesadaran-profetis/. Diakses tanggal 20 Januari 2011. Hanif, H. (2008). “Mencari Wajah Politik Masyarakat Resiko (Risk Society):Sub Politik, Demokrasi Diskursif dan Proses Kebijakan Deliberatif”, dalam Jurnal Mandatory Edisi 4, Tahun 4, halaman 74-86.

Isin, E.F., Turner, B.S. (ed).(2002). Handbook of Citizenship Studies. London:

Sage Publication. (Online) terdapat dalam

http://www.google.com/books?id=-GHFadUhp_AC&pg=PR3&lr=&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad =3#v=onepage&q&f=false. Diakses pada tanggal 29 Juli 2011.

Isnita, E. (2006). Mengenalkan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah, dalam Majalah Suara Satwa, Volume X No.4/Oktober-Desember 2006.

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. http://www.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=art icle&id=4235&Itemid=67&lang=id#. Diakses tanggal 9 Februari 2011. Kahan, A.,B. (2009). Aspek Sosial Politik dalam Krisis Pengelolaan Lingkungan.

Terdapat dalam http://fasilitator-masyarakat.org/aspek-sosial-politik-krisis-pengelolaan-lingkungan/. Diakses tanggal 26 Januari 2011.

Kymlicka, W. (2003). “Multicultural States and Intercultural Citizens”. In Theory and Research in Education 2003; 1; 147.

Leksono, S.M. (2008). Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Konservasi, Lingkungan Hidup dan Mitigasi Bencana Alam (Sebagai Upaya Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup dan Mengatasi Bencana Secara Global). Banten : Program Pendidikan Biologi FKIP Untirta. Oskamp, S. & Schultz, P. W. (2005). Attitudes and Opinions. Mahwah, NJ:

Lawrence Erlbaum Associates. Terdapat dalam http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/0805847693/understandi0d-20. Diakses tanggal 6 September 2011.

Pocock J. G. A. (1992). “The Ideal of Citizenship Since Classical Time”. Queen’s Quarterly, Vol. 99, No. 1, 33-35.


(5)

Purwasasmita, M. (2010). Memaknai konsep alam cerdas dan kearifan nilai budaya lokal. pemanfaatan lahan pekarangan untuk ketahanan pangan dan kesehatan keluarga, kerjasama dewan pemerhati kehutanan dan lingkungan tatar sunda dan badan ketahanan pangan Jawa Barat. Makalah Seminar Nasional, Bandung, 28 Juni 2010.

Santoso, H. (2004). Refleksi Etika Lingkungan. Jurnal Filsafat, Edisi Agustus 2004, Jilid 37, No. 2, 132-140.

Sindhunata, (2000). “Menuju Masyarakat Resiko”. Jurnal BASIS, Januari – Februari 2000, No. 01–02, Tahun ke-49.

Stern, LW (2000), “Environmental determinants of decision making uncertainty in marketing channels”, Journal of Marketing Research, Vol. 25 No. 1,

pp. 36-50.

http://jmo.e-contentmanagement.com/archives/vol/15/issue/2/article/2753/determinan ts-of-importer-commitment-in. Diakses tanggal 8 September 2011. Sularto, St. (2009).Pemanasan Global Asketisme Lingkungan Vs Musuh Besarnya

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/06/03131421/asketisme.lingk ungan.vs.musuh.besarnya. Diakses tanggal 6 Nopember 2010.

Syaifullah. (2010) Paradigma pembangunan lingkunga hidup di Indonesia.

Terdapat dalam :

http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1629:pa radigma-pembangunan-lingkungan-hidup&catid=36:kolom-pr2. Diakses tanggal 26 Januari 2011.

Tucker, M.,E. (2003), Dikutip dari Chairul Muslimna Upaya Penanggulangan Krisis Lingkungan dengan Fiqhul Bi’ah Terdapat dalam http://74.125.153.132/search?q=cache:LLoCjwDdB14J:chairulmuslimna. blogspot.com/2009/06/tulisanilmiah.html+fiqh+lingkungan&cd=9&hl=id &ct=clnk&gl=id. Diakses tanggal 10 Nop 2009.

Zahara, T. Dj. (2003). Perilaku berwawasan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan dilihat dari keinovatifan dan pengetahuan tentang lingkungan (http://depdiknas.go.id/). Diakses tanggal 9 Februari 2011.

Peraturan Perundang-Undangan RI:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Amandemennya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indoensia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010 – 2014.

Sumber Lain :

Al Qur’an dan Terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta : CV Putra Semarang.