PENERAPAN AKTIVITAS SCRAMBLED GROUPS DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTS.

(1)

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTS

(Studi Eksperimen pada Siswa MTs Atta’zhimiyah di Bandung)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Oleh:

SRI PURWANTI NASUTION NIM. 1007337

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA(S2) SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

PENERAPAN AKTIVITAS SCRAMBLED GROUPS DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN

DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTS

Oleh :

SRI PURWANTI NASUTION NIM.1007337

Disetujui dan Disahkan oleh:

Pembimbing I,

Prof. Dr. H. Tatang Herman, M.Ed.

Pembimbing II,

Dr. Jarnawi Afgani Dahlan, M.Kes.

Mengetahui:

Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI

Prof. H. Yaya Sukjaya Kusumah, M.Sc.,Ph.D

PENERAPAN AKTIVITAS SCRAMBLED GROUPS DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF


(3)

(Penelitian terhadap Siswa MTs Atta’zhimiyah di Bandung Tahun Akademik 2012/2013)

Oleh:

Sri Purwanti Nasution, S.Pd. Universitas Lampung, 2008

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Matematika

Sri Purwanti Nasution, M.Pd. Universitas Pendidikan Indonesia

April 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian


(4)

Dengan ini, saya Sri Purwanti Nasution menyatakan bahwa karya tulis dengan judul “Penerapan Aktivitas Scrambled Groups dalam Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa MTs” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, disusun dari suatu penelitian dan bebas dari unsur-unsur plagiat yang tidak dibenarkan dalam kegiatan karya ilmiah.

Atas pernyataan ini, saya siap menerima segala sangsi yang berlaku, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya pelanggaran atas keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya.

Bandung, April 2013 Yang Membuat Pernyataan,


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesisini dengan judul Penerapan Aktivitas Scrambled Groups dalam Model Pembelajaran Kooperatif untukMeningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Matematika (S2) Sekolah PascasarjanaUniversitas Pendidikan Indonesia.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang terkait yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis sudah seoptimal mungkin dalam melakukan penulisantesis ini. Jika pembaca menemukan kelemahan dan kesalahan dalam penulisan, penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bandung, April 2013


(6)

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat terwujud tanpa adanya ridho Allah SWT serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis sampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Tatang Herman, M.Ed., selaku pembimbing I yang ditengah-tengah kesibukannya, telah memberikan bimbingan dan masukan dengan sabar dan kritis terhadap berbagai permasalahan dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Bapak Dr. Jarnawi Afgani Dahlan, M.Kes., selaku pembimbing II yang

ditengah-tengah kesibukannya, telah menyempatkan waktu memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan, dan motivasi dengan sabar, kritis, dan teliti terhadap berbagai permasalahan dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Bapak Prof. H. Yaya S. Kusumah, M.Sc., Ph.D., selaku Penguji I dan Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memberikan bimbingan, bantuan, dan arahan, motivasi, petunjuk, serta semangat kepada penulis demi baiknya tesis ini. 4. Ibu Dr. Elah Nurlaelah, M.Si., selaku Penguji II yang telah memberikan

petunjuk dan saran kepada penulis demi baiknya tesis ini.

5. Direktur Sekolah Pascasarjana beserta staf atas layanan terbaiknya selama penulis mengikuti studi di Universitas Pendidikan Indonesia.

6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Pendidikan Matematika yang telah memberikan bimbingan dan bekal ilmu yang sangat berharga bagi pengembangan wawasan keilmuan dan kemajuan berpikir untuk berbuat sesuatu yang lebih baik bagi penulis selama mengikuti studi.


(7)

rektor yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk belajar bagi penulis dalam mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

8. Bapak Tubagus Hidayatulloh,S.H., selaku Kepala Sekolah MTs. Atta’zimiyah Bandung yang telah memberikan izin dan banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian di sekolah yang beliau pimpin.

9. Bapak Muhammad Halim Nasution, S.Pd., selaku Guru Bidang Studi Matematika MTs Atta’zimiyah Bandung yang telah membantu dalam penelitian untuk keperluan penulisan tesis ini.

10. Bapak dan Mamak tercinta yang telah mendidik, membimbing, menasehati, dan mendukung dengan seluruh cinta dan kasih sayangnya kepada penulis dan tak henti-hentinya memberikan do’a, bimbingan serta dorongan kepada penulis. Untuk kakakku Kak Sri, kak Yanti, kak Imah, kak Pipin, dan adikku Wanda dan Izal, terima kasih atas cinta, bantuan, dukungan serta do’anya. 11. Suamiku tercinta Edy Santoso dan anakku tersayang Syadza Syifa Nadia

Prameswari yang senantiasa melimpahkan cinta, kasih sayang, kesabaran, danpengorbanan, serta tak henti-hentinya memberikan do’a dansemangat kepada penulis.

12. Rekan-rekan S2 Sekolah Pascasarjana yang selalu memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

13. Siswa-siswi kelas VIII A dan VIII B MTs Atta’zimiyah Bandung yang telah mendukung penulis baik di kelas maupun di luar kelas.

14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini baik secara langsung maupun tidak langsung.


(8)

dorongan yang telah diberikan kepada penulis semoga Allah SWT selalu melimpahkan dengan rahmat dan berkahnya dalam setiap aktivitas.Amin.


(9)

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTS

Sri Purwanti Nasution ABSTRAK

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan rendahnya kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang mempunyai hubungan dengan keberhasilan seseorang dalam mengerjakan tugas akademik. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan penelitian dengan menggunakan pembelajaran melalui aktivtas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif. Penelitian ini menganalisis masalah peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensional ditinjau dari keseluruhan siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MTs Atta’zhimiyah di Bandung Tahun Pelajaran 2012/2013. Sedangkan sampel penelitiannya adalah Siswa Kelas VIII MTs Atta’zhimiyah di Bandung. Data diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji Independent Sample T-test dan uji Mann-Whitney U. Pengolahan data ini menggunakan bantuan SPSS 16 dan Ms. Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, (1) Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dalam pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional; (2) Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui penerapan aktivitas scrambled groups dalam pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional; (3) Secara keseluruhan siswa menunjukkan sikap positif terhadap pelajaran matematika. Demikian halnya dengan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dalam pembelajaran kooperatif, sikap siswa terhadap soal-soal kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang menunjukkan sikap positif.

Kata kunci: Pembelajaran aktivitas scrambled groups, pembelajaran kooperatif, pemahaman matematis,dan komunikasi matematis.


(10)

i

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

HAK CIPTA ... iii

PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMAKASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 22

C. Tujuan Penelitian ... 23

D. Manfaat Penelitian ... 24

E. Definisi Operasional ... 25

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Kemampuan Pemahaman Matematis ... 27

B. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 32

C. Model Pembelajaran Kooperatif ... 37


(11)

ii

E. Aktivitas Scrambled Groups dalam Model

Pembelajaran Kooperatif ... 47

F. Pembelajaran Konvensional ... 51

G. SikapSiswa ... 52

H. Penelitian yang Relevan ... 54

I. Hipotesis ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 58

B. Lokasi, Populasi danSampel Penelitian ... 60

C. Instrumen Penelitian ... 60

D. Teknik Pengumpulan Data ... 73

E. Teknik Analisis Data ... 73

F. Prosedur Penelitian ... 77

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 79

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 135

B. Saran ... 135


(12)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif ... 44

Tabel 3.1 Desain pretest-postest kelompok tanpa acak ... 59

Tabel 3.2 Penskoran Kemampuan Pemahaman ... 61

Tabel 3.3 Penskoran Kemampuan Komunikasi ... 62

Tabel 3.4 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ... 63

Tabel 3.5 Validitas Soal Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis ... 64

Tabel 3.6 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 65

Tabel 3.7 Reliabilitas Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi ... 65

Tabel 3.8 Klasifikasi Daya Pembeda ... 66

Tabel 3.9 Daya Pembeda Soal Tes ... 67

Tabel 3.10 Kriteria Tingkat Kesukaran Soal Tes ... 68

Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Instrumen Tes ... 68

Tabel 3.12 Kesimpulan Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis ... 69

Tabel 3.13 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi ... 74

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa ... 81

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 83 Tabel 4.3 Nomalitas Kemampuan Awal Pemahaman


(13)

iv

dan Komunikasi Matematis ... 86 Tabel 4.4 Kesamaan Kemampuan Awal Pemahaman

dan Komunikasi Matematis ... 89 Tabel 4.5 Uji Mann-Whitney U Skor Pretes Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 89 Tabel 4.6 Nomalitas Skor Postes Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematis ... 91 Tabel 4.7 Homogenitas Variansi Skor Postes Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 92 Tabel 4.8 Uji Mann-Whitney U Skor Pretes Kemampuan

Pemahaman Matematis ... 93 Tabel 4.9 Uji t’ Skor Postes Kemampuan Komunikasi ... 95 Tabel 4.10 Statistik Deskriptif N-gain Kemampuan Pemahaman

Matematis ... 97 Tabel 4.11 Nomalitas Skor N-gain Kemampuan Pemahaman

Matematis ... 98 Tabel 4.12 Uji Kesamaan Rataan Skor N-gain

Kemampuan Pemahaman Matematis ... 99 Tabel 4.13 Statistik Deskriptif N-gain Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 100 Tabel 4.14 Nomalitas Skor N-gain Kemampuan Komunikasi Matematis ... 101 Tabel 4.15 Homogenitas Peningkatan Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 102 Tabel 4.16 Uji Perbedaan Rataan Skor N-gain Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 104 Tabel 4.17 Sikap Siswa Terhadap Pelajaran Matematika ... 105 Tabel 4.18 Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Dengan Aktivitas Scrambled Groups Dalam Model Pembelajaran Kooperatif ... 108


(14)

v

Tabel 4.19 Sikap Siswa terhadap Soal-soal Pemahaman dan

Komunikasi Matematis Siswa ... 110 Tabel 4.20 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa ... 113

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1.1 Contoh Soal Pemahaman TIMSS Tahun 2007 ... 11 Gambar 1.2 Contoh Soal Komunikasi TIMSS Tahun 2007 ... 12 Gambar 4.1 Diagram Mean dan Deviasi Standar N-gain

Kemampuan Pemahaman Matematis ... 82 Gambar 4.2 Diagram Mean dan Deviasi Standar N-gain

Kemampuan Pemahaman Matematis ... 84 Gambar 4.3 Perkembangan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran ASGPK ... 115 Gambar 4.4 Contoh Jawaban Siswa pada

Kemampuan Pemahaman Matematis ... 124 Gambar 4.5 Contoh Jawaban Siswa pada

Kemampuan Pemahaman Matematis ... 124 Gambar 4.6 Contoh Jawaban Siswa pada

Kemampuan Komunikasi Matematis ... 130 Gambar 4.7 Contoh Jawaban Siswa pada


(15)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran A.1 Silabus Bahan Ajar ... 144 Lampiran A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Bahan Ajar, dan LKS ... 146 Lampiran A.3 Kisi-kisi Soal dan Tes Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematis Siswa ... 224 Lampiran A.4 Kisi-kisi Skala Sikap ... 237 Lampiran A.5 Lembar Observasi Siswa ... 240 Lampiran B.1 Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan

Pemahaman Matematis ... 243 Lampiran B.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan Pemahaman Matematis dengan

Program Excel... 244 Lampiran B.3 Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan Komunikasi

Matematis... 249 Lampiran B.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Komunikasi Matematis ... 250 Lampiran C.1 Data Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Pemahaman Kelas Eksperimen ... 256 Lampiran C.2 Data Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Pemahaman Kelas Kontrol ... 258 Lampiran C.3 Pengolahan Data dan Uji Statistik Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Pemahaman Kelas Eksperimen ... 260 Lampiran C.4 Data Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Komunikasi Kelas Eksperimen ... 265 Lampiran C.5 Data Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Komunikasi Kelas Kontrol ... 267 Lampiran C.6 Pengolahan Data dan Uji Statistik Pretes, Postes, dan Gain


(16)

vii

Kemampuan Komunikasi Kelas Kontrol ... 269

Lampiran D.1 Data Skala Sikap Siswa Kelas Eksperimen ... 276

Lampiran D.2 Frekuensi dan Persentase Skala Sikap Siswa ... 280

Lampiran D.3 Hasil Observasi Kegiatan Siswa ... 282

Lampiran E.1 Surat Keterangan ... 285

Lampiran E.2 Foto Pembelajaran kelas eksperimen dan kelas kontrol ... 288


(17)

(18)

BAB I PENDAHULUAN

Bab I menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan dalam bentuk subbab-subbab berikut:

A.Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern yang mempunyai peran penting dalam berbagai bidang ilmu dan dapat mengembangkan daya pikir manusia. Matematika bukanlah pelajaran yang hanya memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai bagaimana cara berhitung dan mengajarkan berbagai rumus, lebih dari itu matematika adalah pelajaran yang mengasah cara berpikir siswa agar siswa mampu berpikir secara logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif.

Depdiknas (2006: 345) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Oleh karena itu, untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika sejak dini.

Ada dua visi pembelajaran matematika, yaitu: (1) mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep-konsep yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah dan ilmu pengetahuan lainnya, dan (2)


(19)

mengarahkan ke-masa depan yang lebih luas yaitu matematika memberikan kemampuan pemecahan masalah, sistematis, kritis, cermat, bersifat objektif dan terbuka. Kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah (Sumarmo, 2007: 679).

Tujuan pemberian mata pelajaran matematika dirinci sesuai dengan jenjang pendidikan. Mata pelajaran matematika untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006: 346).

Romberg (1995: 90) menyatakan bahwa National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan beberapa tujuan umum siswa belajar matematika, yaitu: (1) belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan peranannya dalam masyarakat dan sains, (2) percaya diri pada kemampuan yang


(20)

dimiliki, percaya pada kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah, (3) menjadi seorang problem solver, menjadi warga negara yang produktif dan berpengalaman dalam memecahkan berbagai permasalahan, (4) belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang simbol, lambang dan kaidah matematis, (5) belajar bernalar secara matematis yaitu membuat konjektur, bukti dan membangun argumen secara matematis.

Dari tujuan pembelajaran matematika yang tercantum di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dapat membantu siswa memahami konsep, menyelesaikan masalah matematis, mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, dan dapat mengungkapkan ide-ide matematisnya baik secara lisan maupun tulisan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Namun fakta di lapangan, penguasaan siswa terhadap matematika masih tergolong rendah dan belum memuaskan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wahyudin (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat penguasaan siswa dalam mata pelajaran matematika adalah 19,4% dan simpangan baku 9,8% dengan model kurva positif (miring ke kiri) yang berarti bahwa sebaran tingkat penguasaan siswa terhadap matematika cenderung rendah. Kondisi hasil belajar yang masih rendah ini merupakan tantangan bagi para pendidik untuk mencari upaya dalam memperbaiki pembelajaran agar hasil belajar matematika siswa lebih baik. Selanjutnya Ruseffendi (1991: 156) menyatakan ”terdapat anak-anak yang setelah belajar matematika yang sederhanapun banyak yang tidak dipahami, banyak konsep yang dipahami secara keliru”. Dari tahun ke tahun prestasi


(21)

matematika siswa diberbagai tingkatan sekolah selalu sulit untuk dikatakan meningkat secara signifikan.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar matematika siswa rendah, terutama pada siswa dengan kemampuan sedang dan rendah, salah satunya adalah ketidaktepatan penggunaan model pembelajaran yang digunakan oleh guru di kelas. Sebagian besar guru cenderung menggunakan model pembelajaran biasa yang bersifat konvensional, yaitu model pembelajaran yang lebih terfokus pada guru sedangkan siswanya cenderung pasif. Siswa lebih banyak menerima saja apa yang disampaikan oleh guru. Guru masih menekankan pada latihan mengerjakan soal atau drill. Pembelajaran seperti ini membuat siswa menjadi kurang aktif dan kurang mengundang siswa untuk bersikap kritis.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Ruseffendi (1991: 328) bahwa selama ini dalam proses pembelajaran matematika di kelas, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya dan bukan melalui kegiatan eksplorasi matematika. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Rif’at (2001: 25) bahwa kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung belajar menghafal tanpa memahami atau tanpa mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya. Selanjutnya Sumarmo (1999: 67) mengungkapkan bahwa konsekwensi dari pola pembelajaran konvensional dan latihan soal (drill), mengakibatkan siswa kurang aktif dan kurang menanamkan pemahaman konsep, dan kurang mengundang sikap kritis.

Mettes (1979: 82) menyatakan bahwa siswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh gurunya. Jika


(22)

mereka diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka bingung karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Turmudi (2008: 1) bahwa pendidik dan ahli pendidikan matematika telah mengupayakan agar matematika dapat dikuasai dengan baik oleh siswa, namun pada kenyataannya banyak siswa yang tidak menyukai matematika. Ketidaksenangan siswa terhadap pelajaran matematika kemungkinan disebabkan oleh sulitnya memahami pelajaran matematika dan juga desain pembelajaran yang disampaikan oleh guru terhadap mata pelajaran matematika dapat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar matematika siswa.

Selain itu proses pembelajaran yang diterapkan saat ini kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal. Dengan demikian diprediksi bahwa siswa akan lemah dalam memecahkan masalah yang disajikan oleh guru. Turmudi (2008: 11) menyatakan bahwa “pembelajaran matematika selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan oleh gurunya. Akibat lanjutannya siswa tidak dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun ujian nasional. Sebagaimana dikemukakan Wahyudin (1999: 22) bahwa salah satu penyebab siswa lemah dalam matematika adalah


(23)

kurang memiliki kemampuan untuk memahami (pemahaman) untuk menggali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi, kaidah, dan teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan.

Pendapat lain yang dikemukakan Soedjadi (2000: 4) tentang kualitas hasil belajar siswa di sekolah banyak ditentukan oleh proses pembelajaran yang ditangani oleh para guru. Kegagalan memahami topik-topik matematika bisa jadi karena guru mengajar terlalu cepat sehingga siswa tidak cukup waktu untuk mengembangkan kemampuan pemahamannya. Kurangnya kemampuan pemahaman matematika, sangat mempengaruhi kemampuan dalam matematika itu sendiri.

Kemampuan pemahaman matematis penting untuk dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Siswa dalam belajar matematika bukan hanya sekedar hafalan, tetapi harus disertai dengan pemahaman, karena dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti konsep materi pelajaran itu sendiri. Markaban (2006: 3) menyatakan tingkat pemahaman matematis seorang siswa lebih dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri. Hal ini berarti pemahaman seorang siswa dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selain itu, pemahaman matematis juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru yang merupakan pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan.

Alfeld (2004: 4) menyatakan bahwa seorang siswa dikatakan sudah memiliki kemampuan pemahaman matematis jika ia sudah mampu menjelaskan konsep-konsep dan fakta matematika dalam bentuk konsep-konsep dan fakta yang


(24)

lebih sederhana. Selanjutnya, siswa dapat dengan mudah membuat interaksi logis diantara fakta dan konsep yang berbeda. Selain itu siswa juga dapat mengenali keterkaitan antara konsep yang baru dengan konsep sebelumnya yang sudah dipahami, dan yang terakhir, siswa dapat mengidentifikasi prinsip yang ada dalam matematika. Bila keempat hal tersebut dapat dikuasai dengan baik, maka ia dikatakan mempunyai kemampuan pemahaman matematis dengan baik.

Selanjutnya Anderson, et al. (2001: 70) menyatakan bahwa siswa dikatakan memiliki kemampuan pemahaman jika siswa tersebut mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pengajaran seperti komunikasi lisan, tulisan, dan grafik. Siswa memahami suatu masalah ketika mereka membangun hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dari pengetahuan sebelumnya. Pemahaman terhadap suatu masalah merupakan bagian dari komunikasi. Hal ini sesuai dengan Nurlaelah (2009: 24) bahwa komunikasi merupakan sarana untuk bertukar ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi ide-ide menjadi objek untuk melakukan refleksi, diskusi, dan perbaikan pemahaman.

Wahyudin (2008: 527) menyatakan bahwa komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Komunikasi merupakan cara berbagi gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Proses komunikasi membantu membangun makna dan kelanggengan gagasan-gagasan serta agar gagasan-gagasan tersebut dapat diketahui publik. Saat para siswa ditantang untuk berpikir dan bernalar tentang matematika serta untuk mengkomunikasikan hasil-hasil pemikiran mereka itu pada orang lain secara lisan atau tertulis, mereka belajar untuk menjadi jelas dan meyakinkan.


(25)

Office of Superintendent of Public Instruction (OSPI) (Shadiq, 2009: 6) menyatakan bahwa:”Communication is defined as a process by which we assign and convey meaning in an attempt to create shared understanding”. Artinya, komunikasi adalah proses untuk memberi dan menyampaikan arti dalam usaha untuk menciptakan pemahaman bersama.

Pentingnya kemampuan komunikasi dimiliki siswa juga diungkapkan Baroody (Ansari, 2003: 4) menyatakan paling tidak ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu dikembangkan. Pertama, matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, akan tetapi matematika juga merupakan suatu alat yang tidak ternilai, karena dapat mengkomunikasikan berbagai jenis ide secara jelas, dengan tepat dan ringkas tapi jelas. Kedua, pembelajaran matematika merupakan kegiatan sosial; artinya, sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika sehingga tercipta wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa.

Upaya yang dapat dilakukan diantaranya dengan menerapkan kegiatan pembelajaran yang dapat mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri serta meningkatkan komunikasi dan interaksi di lingkungan sekolahnya, baik antara sesama siswa atau siswa dengan guru melalui kegiatan diskusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosko dan Wilkins (2010: 79) mengatakan bahwa diskusi antarsiswa adalah kesempatan lain dalam memperdalam pemahaman konsep selain interaksi sosial. Hal ini memancing siswa untuk merefleksi konsep selain melakukan interaksi dengan tautan lain dalam aktivitas yang sama,


(26)

misalnya siswa dibiasakan akrab dengan cara bagaimana mereka menggambarkan matematika ketika mereka melakukan matematika, sehingga dapat meningkatkan kesempatan mereka untuk mengetahui lebih banyak lagi.

Berdasarkan penjelasan beberapa pendapat di atas, komunikasi matematis merupakan suatu cara untuk bertukar pendapat atau ide-ide dan mengklarifikasi pemahaman siswa. Melalui komunikasi matematis ide-ide menjadi objek yang direfleksikan untuk didiskusikan dapat diubah. Proses komunikasi membantu membangun makna dan ketetapan ide-ide dan membuatnya menjadi sesuatu yang umum. Dalam mengeksplor kemampuan komunikasi matematis siswa, guru perlu menghadapkan siswa pada berbagai masalah yang merupakan situasi nyata untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengkomunikasikan ide-idenya untuk memecahkan permasalahan yang ada.

Sumarmo (1987: 297) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa dalam pemahaman matematis masih rendah. Siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman relasional. Wahyudin (1999: 251-252) menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa antara lain: kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, kurang memiliki kemampuan untuk memahami, serta mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi, kaidah, teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau mengenali sebuah persoalan atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dipelajari.

Demikian pula dengan hasil studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) (2007: 38) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa


(27)

nilai matematika siswa Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 56 negara pada tahun 2007. Hal serupa juga disampaikan oleh Programme for International Student Assesment (PISA) (2009: 135) melalui hasil studinya menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda yaitu prestasi Indonesia pada bidang matematika berada pada peringkat ke-61 dari 65 negara yang ikut ambil bagian. Walaupun peringkat-peringkat tersebut bukan hal mutlak pengukur tingkat keberhasilan pembelajaran matematika di Indonesia, namun dapat dijadikan salah satu evaluasi dari berhasil tidaknya pelaksanaan pembelajaran matematika di Indonesia, selain sebagai alat kompetisi yang memotivasi guru dan semua pihak dalam dunia pendidikan untuk lebih meningkatkan prestasinya.

Dari hasil serta TIMSS dan PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMP kelas VIII di Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal matematika, khususnya yang tidak rutin dan mengukur kemampuan literasi matematis yang meliputi kemampuan merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, penalaran matematis dan penggunaan konsep, prosedur dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan kejadian yang dimiliki siswa SMP sangat lemah. Wardhani dan Rumiati (2011: 55) penyebab rendahnya prestasi matematika siswa Indonesia pada hasil TIMSS disebabkan oleh lemahnya siswa Indonesia dalam mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah, pemahaman, penalaran, berargumentasi, dan berkomunikasi. Berikut ini adalah contoh soal terkait rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia di ajang TIMSS tahun 2007 (Wardhani, 2011: 40) yaitu pada salah satu soal tahun 2007 (setelah diterjemahkan):


(28)

Manakah di antara lingkaran-lingkaran berikut yang menggambarkan pecahan yang

bernilai hampir sama dengan pecahan yang digambarkan pada bagan di samping?”

Gambar 1.1 Contoh Soal TIMSS 2007

Soal ini berada dalam domain konten bilangan dan domain kognitif pengetahuan (pemahaman). Dalam soal ini siswa diminta untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep pecahan. Kompetensi dasar yang dibutuhkan untuk menjawab soal ini telah dipelajari siswa di kelas III SD Semester 2, yaitu pada kompetensi dasar “mengenal pecahan sederhana” (KD 3.1), “membandingkan pecahan sederhana” (3.2). Di SMP, melakukan operasi hitung pecahan. Menurut laporan hasil studi tersebut, secara internasional siswa yang mampu menjawab dengan benar hanya 63%, sedangkan siswa Indonesia hanya mampu menjawab dengan benar sebesar 52%. Sebenarnya soal ini tergolong tidak terlalu sulit, pada hakekatnya kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tidak hanya sekedar memahami pengertian pecahan, juga mampu menganalisis suatu situasi atau keadaan dengan mengacu pada keadaan tertentu. Dalam hal ini siswa perlu melakukan analisis


(29)

terhadap nilai pecahan yang diwakili oleh gambar berbentuk lingkaran dengan mengacu pada nilai pecahan yang diwakili oleh gambar berbentuk persegi. Siswa Indonesia yang tidak mampu menjawab dengan benar soal tersebut kemungkinan karena tidak terbiasa menyelesaikan soal dengan melakukan analisis masalah terlebih dahulu. Hal tersebut merupakan suatu gambaran keadaan, bahwa siswa Indonesia belum mampu mengembangkan kemampuan pemahaman matematis secara maksimal.

Selain itu, berdasarkan hasil yang diperoleh siswa Indonesia di ajang TIMSS tahun 2007 (Wardhani, 2011: 44) menyatakan bahwa siswa Indonesia masih lemah dalam hal komunikasi matematis, sebagaimana yang terjadi dengan jawaban siswa pada soal berikut (setelah diterjemahkan):

Gambar 1.2 Contoh Soal TIMSS Tahun 2007

“Diagram diatas menunjukkan hasil survey dari 400 orang siswa tentang ketertarikannya pada grup music rock: Dreadlocks, Red Hot Peppers, dan Stone Cold. Buatlah sebuah diagram batang yang menggambarkan data yang tersaji pada diagram lingkaran diatas!”

Soal ini berada dalam domain konten data atau peluang, serta domain kognitif penerapan, yaitu menyatakan situasi matematis secara tertulis ke dalam


(30)

bentuk diagram (komunikasi). Kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tersebut semestinya telah dipelajari di Kelas VI SD Semester 2 yaitu “menyajikan data ke bentuk tabel dan diagram gambar, batang, dan lingkaran” (KD 7.1). Materi itu kembali diperdalam di kelas IX, padahal peserta TIMSS adalah kelas VIII, akibatnya mereka belum memperdalam lebih lanjut. Soal tersebut cukup sederhana, mestinya jika kompetensi yang diperlukan benar-benar telah dikuasai di SD, maka hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi pada kenyataannya, masih banyak siswa Indonesia mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Secara internasional, hasil persentase siswa yang menjawab benar sebesar 27%, sedangkan siswa peserta Indonesia yang mampu menjawab benar hanya 14%. Banyaknya siswa yang tidak berhasil menjawab dengan benar kemungkinan disebabkan soal tersebut membutuhkan dua kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan membaca data pada diagram lingkaran dan kemampuan untuk menyajikan data tersebut ke dalam diagram batang, sehingga ada dua langkah yang diperlukan. Guru di Indonesia sering sekali hanya memberikan persoalan seperti ini dalam satu langkah saja, misalnya hanya meminta siswa membuat diagram batang atau membuat diagram lingkaran saja.

Berdasarkan hasil yang diperoleh siswa Indonesia di ajang PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun 2003, maka dapat diketahui bahwa dibandingkan membaca soal yang disajikan dalam bentuk tabel, siswa Indonesia lebih mengalami kesulitan dalam membaca soal yang disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dapat dilihat dari persentase siswa menjawab benar. Untuk soal yang disajikan dalam bentuk tabel, siswa Indonesia yang menjawab benar sekitar 4%. Sementara itu, siswa Indonesia


(31)

yang menjawab benar untuk soal yang disajikan dalam bentuk grafis jauh lebih rendah, yaitu hanya 1,15% saja.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP di Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu diadakannya suatu upaya untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut. Upaya-upaya peningkatan tersebut erat kaitannya dengan proses pembelajaran, seperti cara guru mengajar, kaitan materi dengan kehidupan sehari-hari, jenis soal yang biasa diberikan kepada siswa untuk diselesaikan, sejauhmana keterlibatan siswa dalam pembelajaran.

Menyadari kenyataan di lapangan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa masih tergolong rendah, maka betapa pentingnya suatu teknik pembelajaran yang mampu memberikan rangsangan kepada siswa agar siswa menjadi lebih aktif dalam proses konstruksi pengetahuan peserta didik melalui diskusi kelompok ataupun diskusi kelas sehingga kecakapan berpikir dan kecakapan siswa dalam berkomunikasi dapat terbentuk. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa serta berpusat pada siswa adalah pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang memacu kemajuan individu melalui kelompok. Slavin (1994: 287) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerjasama dengan kelompok kecil saling membantu untuk mempelajari suatu materi.


(32)

Sanjaya (2007: 242) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran-pembelajaran lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran lebih menekankan kepada proses kerjasama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerjasama untuk penguasaan materi tersebut. Kerjasama dalam kelompok dan saling membantu satu sama lain merupakan ciri dari pembelajaran kooperatif.

Suherman, Turmudi, Suryadi, Herman, Suhendra, Prabawanto, Nurjanah, dan Rohayati (2003: 221) menyatakan dalam pembelajaran kooperatif, para siswa terlibat konflik-konflik verbal yang berkenaan dengan pendapat-pendapat anggota-anggota kelompoknya. Para siswa akan terbiasa merasa senang meskipun ada konflik-konflik verbal itu, karena mereka menyadari konflik semacam itu akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang dihadapi atau didiskusikan.

Terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, yaitu prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka, serta partisipasi dan komunikasi. Lie (2007: 31) bahwa terdapat lima unsur dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan positif (keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya); (2) tanggung jawab perseorangan (merupakan dampak dari hubungan saling ketergantungan positif); (3) tatap muka (setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi); (4) komunikasi antar anggota (keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan


(33)

kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat); dan (5) evaluasi kerja kelompok (penjadwalan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif). Kelima unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan hasil belajarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, diperoleh bermacam-macam keutamaan disetiap unsur pelaksanaan model pembelajaran kooperatif yang diharapkan terdapat peningkatan prestasi belajar siswa. Berdasarkan hasil studi Puspitasari (2010: 91) menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Dengan demikian perlu diterapkan model pembelajaran kooperatif yang berbeda. Salah satu caranya adalah dengan mengkombinasikan pembelajaran kooperatif dengan metode lain yang dianggap sesuai dan memiliki harapan peningkatan prestasi belajar yang lebih baik.

Penerapan model pembelajaran kooperatif nampaknya sesuai bila dipadukan dengan aktivitas scrambled groups. Hal ini karena terdapat kesesuaian antara keduanya. Unsur-unsur yang terdapat pada model pembelajaran kooperatif juga terdapat di dalam aktivitas scrambled groups sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan terjadi tumpang tindih kegiatan pembelajaran atau bahkan saling kontras.

Ginnis (2008: 168-170) mengemukakan bahwa scrambled groups merupakan suatu aktivitas yang dapat mendorong kerjasama siswa, melatih


(34)

keterampilan lisan, mendengarkan dan menerima gagasan orang lain serta mendorong siswa bekerja secara produktif. Tujuannya adalah dapat memacu kemampuan berpikir yang lebih tinggi, seperti menganalisis, membuat sintesis dan mengevaluasi. Kegiatan pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dapat memberikan pengalaman mengenai jenis-jenis keterampilan berbicara, kejelasan dalam artikulasi, mendengarkan, membaca, dan menulis, didorong oleh kecepatan aktivitas, ditambah kerja kelompok yang saling ketergantungan, mendorong kerjasama, melatih keterampilan lisan dan mendengarkan, melatih kecakapan berdebat dan membuat keputusan. Hal ini memperkuat kecerdasan interpersonal, linguistik dan logika, sehingga diharapkan kegiatan pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan.

Aktivitas scrambled groups dapat diterapkan berbagai variasi, yaitu: dapat memperkuat kecakapan mendengar dan menerima gagasan orang lain, dapat memperkuat ide bahwa belajar memerlukan bertanya dan mengecek pemahaman, dapat mempraktikkan kecakapan belajar dalam mengenali poin penting, mencatat, merangkum, dan mempresentasikan, mendorong kerjasama, melatih keterampilan lisan dan mendengarkan, melatih kecakapan berdebat dan membuat keputusan.

Selain itu, aktivitas scrambled groups dapat mendorong siswa agar dapat bekerja secara produktif dan dapat menjamin bahwa belajar benar-benar terjadi, serta dapat mendemonstrasikan bahwa dalam suatu kerja kelompok yang baik tidak ada penumpang, semuanya terus-menerus terlibat sehingga dengan partisipasi aktif siswa dapat membantu mengembangkan harapan dan kebiasaan untuk memulai sesuatu dengan benar. Maka perlu adanya saling ketergantungan


(35)

positif dan komunikasi yang baik antar anggota kelompok. Setiap anggota kelompok harus aktif dan bertanggung jawab pada tugas masing-masing, dan bertemu langsung untuk berdiskusi menjelaskan materi yang diperolehnya. Sementara itu, agar aktivitas dalam kelompok dapat berlangsung maksimal, maka perlu diadakan evaluasi atas kerja kelompok. Unsur-unsur seperti ketergantungan positif, komunikasi, bertemu langsung, tanggung jawab masing-masing, serta evaluasi atas kerja kelompok juga merupakan unsur-unsur dalam model pembelajaran kooperatif. Dengan demikian, terdapat benang merah antara model pembelajaran kooperatif dengan aktivitas scrambled groups. Oleh karena itu, tidaklah sembarangan jika peneliti mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif sesuai bila dipadukan dengan aktivitas scrambled groups.

Berdasarkan uraian di atas, model pembelajaran kooperatif dan aktivitas scrambled groups merupakan kegiatan pembelajaran dalam setting kelompok yang lebih mengutamakan keberhasilan kelompok mengerjakan tugas yang diberikan, sehingga dalam pelaksanaannya pasti memerlukan kerjasama dan aktivitas bertukar pendapat yang disertai dengan usaha individu dalam mempertahankan pendapatnya dengan memberikan alasan-alasan yang logis. Oleh karena itu, hal ini pasti memerlukan komunikasi yang baik dari setiap anggota kelompok, baik berupa komunikasi lisan dalam menyampaikan ide dan gagasan mereka, maupun komunikasi tertulis dalam mengkonversikan ide dan gagasan tersebut dalam bentuk tulisan.

Dengan kata lain, kegiatan diskusi yang melibatkan aktivitas bertanya, menjawab, dan mengemukakan pendapat dengan disertai alasan-alasan yang


(36)

mendukung kebenaran jawaban masing-masing siswa, baik secara lisan maupun tertulis, tentu membutuhkan kemampuan pemahaman matematis siswa dalam mengaitkan setiap ide yang ada, menerapkannya, dan mengembangkan serta menggunakannya dalam bentuk sebuah penyelesaian yang diinginkan. Oleh karena itu, dengan sering dilatihnya kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa dalam interaksi kegiatan kelompok pada aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif diharapkan dapat meningkatkan kedua kemampuan tersebut, yaitu kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

Selain kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis juga diperlukan sikap yang harus dimiliki oleh siswa, diantaranya adalah menyenangi matematika, memiliki keingintahuan yang tinggi, menghargai keindahan matematika, dan senang belajar matematika. Dengan sikap tersebut, siswa diharapkan dapat terus mengembangkan matematika, menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan serta dapat mengembangkan sikap matematisnya.

Sikap siswa terhadap matematika dapat terlihat ketika siswa menyelesaikan tugas matematika, apakah dikerjakan dengan percaya diri, tanggungjawab, tekun, pantang menyerah, merasa tertantang, memiliki kemauan untuk mencari cara lain dan melakukan refleksi terhadap cara berfikir yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan Depdiknas (2006: 346) bahwa peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,


(37)

dan minat dalam mempelajari matematika, 3 serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Ruseffendi (2006: 234) siswa yang mengikuti pelajaran dengan sungguh-sunguh menyelesaikan tugas dengan baik, berpartispasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya, dan merespon dengan baik tantangan dari bidang studi menunjukkan bahwa siswa itu berjiwa atau bersikap positif. Lebih jauh Ruseffendi (2006: 234) menyatakan bahwa sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siskandar (2008: 444) mengenai sikap siswa, diperoleh hubungan positif antara sikap siswa terhadap matematika dengan hasil belajar matematika. Setiap ada penambahan positif atas sikap siswa terhadap matematika, maka terjadi peningkatan hasil belajar matematika. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Akinsola dan Olowojaiye (2008: 10) bahwa metode pengajaran yang diterapkan dalam kelas matematika memegang peranan penting dalam perkembangan sikap positif siswa terhadap pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran kelas matematika, domain sikap sangat erat kaitannya dengan persepsi matematis siswa. Pengalaman menyenangkan yang diperoleh dari pengajaran yang dilakukan guru benar-benar akan memfasilitasi peningkatan sikap positif siswa terhadap matematika.

Dengan adanya korelasi positif sikap siswa dengan pembelajaran matematika dan prestasi belajar, dapat diketahui betapa pentingnya peningkatan sikap siswa dalam proses mengajar matematika. Dalam proses belajar-mengajar, sikap siswa terhadap matematika dapat dilihat dari keinginan siswa


(38)

untuk merubah strategi, melakukan refleksi, dan melakukan analisis sampai memperoleh suatu solusi. Sikap siswa dapat diamati melalui diskusi kelas. Misalnya, keinginan siswa untuk menjelaskan solusi yang diperolehnya dan mempertahankan penjelasannya. Namun demikian, perhatian guru dalam proses belajar-mengajar terhadap sikap siswa terhadap matematika masih kurang. Hal ini sesuai dengan Polla (2001: 48) bahwa “Pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya. Saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat sulit dan merupakan momok, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan mendasar dalam pendidikan matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan pendekatannya”. Ini berarti, perlu melakukan perubahan dalam pendekatan pembelajaran matematika dari biasanya kegiatan terpusat pada guru ke situasi yang menjadikan pusat perhatian adalah siswa. Guru sebagai fasilitator dan pembimbing sedangkan siswa sebagai yang dibimbing tidak hanya menyalin mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya.

Oleh karena itu, sikap siswa merasa perlu untuk dikaji dalam penelitian ini. Informasi yang lebih rinci tentang hal tersebut akan dapat diperoleh melalui skala sikap dan pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk melihat kesesuaian rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun dengan realisasinya dalam kegiatan pembelajaran serta aktivitas apa saja yang terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung, sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk setiap pertemuan. Dengan demikian, peneliti merasa perlu untuk


(39)

meneliti aktivitas siswa dan guru di dalam kelas yang dapat ditunjukkan melalui lembar observasi.

Berkaitan dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti mencoba menerapkan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif untuk melihat apakah terjadi peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP. Selain melihat aspek kognitif (kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis), peneliti juga ingin melihat aspek afektifnya yaitu sikap siswa. Penelitian ini terfokus pada aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran matematika, kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Sikap siswa yang akan diteliti terfokus pada sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif, dan soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka secara umum dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: “Apakah penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa sekolah menengah pertama?”

Penjabaran rumusan masalah di atas dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(40)

1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif serta sikap siswa terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis yang digunakan?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

2. Menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model


(41)

pembelajaran kooperatif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

3. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif serta sikap siswa terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis yang digunakan.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Siswa

Siswa mampu mengembangkan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis untuk meningkatkan prestasi belajarnya dalam matematika melalui penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif.

2. Bagi Guru

Penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran matematika untuk variasi yang lebih menarik dalam pembelajaran matematika.

3. Bagi Sekolah

Tindakan yang dilakukan dengan menerapkan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dapat menjadi salah satu alternatif yang


(42)

dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

4. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk menindaklanjuti suatu penelitian dalam ruang lingkup yang lebih luas.

E.Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam penelitian ini, maka beberapa istilah yang terkait didefinisikan sebagai berikut:

1. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan dan menarik kesimpulan dari informasi yang didapatkan. Adapun indikator-indikator yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan pemahaman konsep dari Skemp yaitu : (1) Pemahaman Instrumental adalah pemahaman konsep yang masih saling terpisah antara satu konsep dengan konsep lainnya dan baru mampu menerapkan konsep tersebut pada perhitungan sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmis; dan (2) Pemahaman relasional adalah kemampuan mengaitkan beberapa konsep yang saling berhubungan.

2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan untuk berbagi gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Kemampuan komunikasi yang akan diteliti adalah kemampuan komunikasi tulisan. Adapun indikator yang dipakai dalam penelitian ini adalah yaitu: (1) memodelkan situasi-situasi dengan menggunakan tulisan, baik secara konkret, gambar, grafik, atau metode-metode aljabar; (2) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika


(43)

tertulis; (3) menjelaskan ide atau situasi matematis secara tertulis; dan (4) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dalam bahasa sendiri.

3. Aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif adalah sebuah kegiatan pembelajaran yang menggunakan sistem pengelompokan (tim kecil), yaitu antara empat sampai enam orang yang heterogen. Fase pembelajarannya, yaitu: Fase 1 (Menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa, dan mengecek pengetahuan awal siswa; Fase 2 (Menyajikan informasi yang berupa petunjuk riset atau diskusi); Fase 3 (Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar); Fase 4 (Membimbing kelompok bekerja dan belajar: pelaksanaan aktivitas scrambled groups disusun berdasarkan indikator kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang ingin ditingkatkan. Fase 5 (evaluasi); dan Fase 6 (Memberikan penghargaan).

4. Pembelajaran konvensional adalah kegiatan pembelajaran yang biasa digunakan pada saat ini, seperti ceramah dan penugasan, dimana kegiatan pembelajaran yang berlangsung lebih didominasi oleh guru dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran.

5. Sikap adalah suatu tanggapan/respon untuk bertindak atau bereaksi secara sadar sebagai dampak dari pandangan atau keyakinan tentang suatu objek. Tanggapan/respon dapat mendorong seseorang untuk menerima atau menolak objek atau gagasan sehingga berdampak pada perilakunya terhadap objek tersebut. Sikap siswa yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sikap siswa terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan aktivitas scrambled


(44)

groups dalam model pembelajaran kooperatif, serta sikap siswa terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab III menjelaskan tentang hal-hal yang terkait dengan metode penelitian, desain penelitian, lokasi, populasi, dan sampel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan prosedur penelitian. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan dalam bentuk subbab-subbab berikut:

A.Desain Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Metode penelitian yang digunakan termasuk metode kuasi eksperimen, karena dalam penelitian ini terdapat unsur manipulasi perlakuan, yaitu pembelajaran matematika dengan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran konvensional.

Sudjana dan Ibrahim (2009: 44) menyatakan bahwa penelitian kuasi eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang tidak terkontrol secara ketat atau penuh, pengontrolan disesuaikan dengan kondisi yang ada (situasional). Ada dua variabel dalam penelitian ini yaitu, variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah


(46)

aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis siswa sebagai variabel terikat.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang aktivitas dan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Desain kuasi eksperimen yang digunakan berlandaskan pada Sudjana dan Ibrahim (2010: 44), yaitu desain pretest-postest kelompok tanpa acak. Desain rencana penelitian untuk eksperimen sebagai berikut:

Tabel 3.1

Desain Pretest-Posttest Kelompok Tanpa Acak Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

Eksperimen O X O

Kontrol O - O

Keterangan:

O : Pretest dan posttest (tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis)

X : Pembelajaran dengan menerapkan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif


(47)

B.Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian ini di MTs Atta’zhimiyah Bandung yang beralamat di Jalan Holis Blk No. 448 Kelurahan Cigondewah Kidul Kecamatan Bandung Kulon. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Madrasah Tsanawiyah Atta’zhimiyah Bandung tahun pelajaran 2012/2013. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan sampling acak. Dari seluruh kelas di Madrasah Tsanawiyah Atta’zhimiyah Bandung, terpilih kelas VIII sebagai sampel. Dari kelas VIII dipilih secara acak untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kemudian terpilih kelas VIII-A sebagai kelas eksperimen (kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif) dan kelas VIII-B sebagai kelas kontrol (kelas yang mendapatkan pembelajaran konvensional).

C.Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Instrumen Tes Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Tes pemahaman dan komunikasi matematis dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data kuantitatif berupa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberikan perlakuan. Tes disusun dalam bentuk uraian. Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman matematis siswa


(48)

sebanyak 4 soal dan tes yang digunakan untuk kemampuan komunikasi matematis siswa sebanyak 8 soal.

Penyusunan soal diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal, yang dilanjutkan dengan penyusunan soal-soal, pembuatan kunci jawaban, dan pedoman penskoran tiap butir soal. Untuk memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan pemahaman berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang diadaptasi dari Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996). Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2

Penskoran untuk Perangkat

Skor Respon siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah 2 Jawaban kurang lengkap (sebagian petunjuk diikuti) penggunaan

algoritma lengkap, namun mengandung perhitungan yang salah 3 Jawaban hampir lengkap (sebagian petunjuk diikuti),

penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, namun mengandung sedikit kesalahan

4 Jawaban lengkap (hampir semua petunjuk soal diikuti),

penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan dengan benar


(49)

Kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan komunikasi diadaptasi dari Maryland Math Communication Rubric dalam Maryland State Department Education. Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada Tabel 3.3 di berikut:

Tabel 3.3

Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi

Respon Siswa Terhadap Soal Skor

Tidak ada jawaban, jawaban tidak terbaca 0

Mencoba menjawab namun respon salah 1

Penjelasan yang ada menggunakan bahasa matematis dalam mendeskripsikan operasi, konsep, dan prosedur, namun hanya sedikit yang benar.

2

Semua penjelasan lengkap menggunakan bahasa matematis yang benar namun terdapat sedikit kesalahan pada tingkat kefektivan, keakuratan, ketelitiannya dalam mendeskripsikan operasi, konsep, dan prosedur.

3

Semua penjelasan lengkap menggunakan bahasa matematis yang benar dan tingkat kefektivan, keakuratan, ketelitiannya sangat tinggi dalam mendeskripsikan operasi, konsep, dan prosedur.

4

Untuk memperoleh soal tes yang baik maka soal tersebut harus diuji kelayakan terlebih dahulu meliputi uji validitas, reliabilitas, tingkat daya pembeda, dan tingkat kesukaran. Sebelum diujicobakan, soal tes dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dua orang dosen pembimbing. Selanjutnya peneliti melakukan uji coba instrumen tes ini kepada siswa kelas IX di SMP Negeri 29 Bandung. Kemudian data tes dianalisis validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukarannya untuk memperoleh instrumen tes yang baik. Berikut


(50)

perhitungan tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal tes:

1) Validitas

Instrumen yang valid adalah instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2010: 121). Anderson (Arikunto, 2010: 65) menyatakan bahwa sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Untuk menguji validitas tiap butir soal, skor-skor yang ada pada item tes dikorelasikan dengan skor total. Interpretasi yang berkenaan dengan validitas butir soal dalam penelitian ini dinyatakan dalam Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4.

Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas

Koefisien Interpretasi

00 , 1 80

,

0 rxy  Sangat tinggi

80 , 0 60

,

0 rxy  Tinggi

60 , 0 40

,

0 rxy  Cukup

40 , 0 20

,

0 rxyRendah

20 , 0 00

,

0 rxy  Sangat rendah

Sumber : Arikunto (2010: 75)

Perhitungan validitas butir soal pada uji coba dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel 2007. Hasil perhitungan uji validitas soal tes dapat dilihat pada lampiran B. Berdasarkan interpretasi validitas butir soal, rangkuman hasil


(51)

perhitungan validitas soal yang telah diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5

Validitas Soal Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Kemampuan No Soal

Koefisien (rxy)

Kategori Kriteria

Pemahaman 1 0,756 Tinggi Valid

2 0,822 Sangat Tinggi Valid

3 0,655 Tinggi Valid

4 0,764 Tinggi Valid

Komunikasi 5a 0,622 Tinggi Valid

5b 0,640 Tinggi Valid

6 0,686 Tinggi Valid

7a 0,686 Tinggi Valid

7b 0,722 Tinggi Valid

7c 0,642 Tinggi Valid

8a 0,615 Tinggi Valid

8b 0,692 Tinggi Valid

2) Reliabilitas

Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Arikunto, 2010: 86). Jadi, reliabilitas harus mampu


(52)

menghasilkan informasi yang sebenarnya. Reliabilitas soal merupakan ukuran yang menyatakan tingkat keajegan suatu soal tes.

Sebagai patokan dalam menginterpretasikan derajat reliabilitas digunakan kriteria menurut Guilford (Suherman, 2003: 139) dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut.

Tabel 3.6.

Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Besarnya r Tingkat Reliabilitas

r

11

0,20 Sangat Rendah 0,20

r

11

0,40 Rendah

0,40

r

11

0,70 Sedang 0,70

r

11

0,90 Tinggi 0,90

r

11

1,00 Sangat tinggi

Perhitungan besarnya reliabilitas soal uji coba dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007. Dari hasil uji coba diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,875. Hal ini menunjukkan bahwa reliabilitas tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang digunakan tergolong ke dalam kategori tinggi. Korelasi antara skor setiap soal dan skor yang diperoleh memiliki reliabilitas yang tinggi. Dapat dikatakan bahwa soal yang akan dijadikan sebagai alat ukur dalam penelitian memiliki keajegan yang tinggi. Dengan kata lain, soal yang akan digunakan dalam penelitian memiliki kekonsistenan yang dapat dipergunakan untuk beberapa kali tes. Rangkuman hasil perhitungan tingkat


(53)

reliabilitas instrumen tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7

Reliabilitas Tes Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis

No Besar r Interpretasi Kemampuan

1. 0,868 Tinggi Pemahaman Matematis 2. 0,883 Tinggi Komunikasi Matematis 3) Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2010: 211). Jika suatu soal yang dapat dijawab benar oleh siswa berkemampuan tinggi maupun siswa berkemampuan rendah, maka soal itu tidak baik karena tidak mempunyai daya pembeda. Demikian pula jika semua siswa baik siswa yang berkemampuan tinggi maupun siswa yang berkemampuan rendah tidak dapat menjawab dengan benar, maka soal tersebut tidak baik juga karena tidak mempunyai daya pembeda (Arikunto, 2010: 211).

Soal yang baik adalah soal yang dapat dijawab benar oleh siswa-siswa yang berkemampuan tinggi saja (Arikunto, 2010:211). Untuk memperoleh kelompok atas dan kelompok bawah maka dari seluruh siswa diambil 27% yang mewakili kelompok atas dan 27% yang mewakili kelompok bawah (Sudjana, 2009: 139). Selanjutnya koefisien daya pembeda yang diperoleh dari perhitungan diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria berikut (Suherman, 2003: 161).

Tabel 3.8.


(54)

Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal DP < 0,00 Sangat jelek

0,00 < DP < 0,20 Jelek 0,20 < DP < 0,40 Cukup 0,40 < DP < 0,70 Baik 0,70 < DP < 1,00 Sangat baik

Berdasarkan kriteria dan perhitungan daya pembeda soal uji coba yang dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel 2007, maka diperoleh indeks daya pembeda untuk setiap butir soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.9

Daya Pembeda Soal Tes

Kemampuan No Soal Daya Pembeda Interpretasi

Pemahaman

1 0,42 Baik

2 0,54 Baik

3 0,21 Cukup

4 0,50 Baik

Komunikasi

5a 0,63 Baik

5b 0,50 Baik

6 0,38 Cukup

7a 0,71 Sangat Baik

7b 0,92 Sangat Baik

7c 0,54 Baik

8a 0,54 Baik

8b 0,71 Sangat Baik

4) Analisis Tingkat Kesukaran Soal

Perhitungan tingkat kesukaran soal adalah pengukuran seberapa besar derajat kesukaran suatu soal. Jika suatu soal memiliki tingkat kesukaran seimbang


(55)

(proporsional), maka dapat dikatakan bahwa soal tersebut baik. Suatu soal tes hendaknya tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah (Arifin, 2009: 266). Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan menggunakan kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan oleh Suherman (2003: 170) seperti Tabel 3.10 berikut.

Tabel 3.10.

Kriteria Tingkat Kesukaran

Indeks Kesukaran Interpretasi

IK = 0,00 Terlalu sukar 30

, 0 00

,

0 IK Sukar

70 , 0 30

,

0 IK Sedang

00 , 1 70

,

0 IK Mudah

IK = 1,00 Terlalu Mudah

Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, diperoleh tingkat kesukaran untuk setiap butir soal kemampuan pemahaman dan komunikasi mamtematis. Adapun rangkuman hasil perhitungan tingkat kesukaran instrumen tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.11 berikut.

Tabel 3.11

Tingkat Kesukaran Instrumen Tes

Kemampuan No Soal Tingkat

Kesukaran


(56)

Pemahaman

1 0,75 Mudah

2 0,59 Sedang

3 0,11 Sukar

4 0,81 Mudah

Komunikasi

5a 0,54 Sedang

5b 0,83 Mudah

6 0,73 Mudah

7a 0,26 Sukar

7b 0,52 Sedang

7c 0,25 Sukar

8a 0,64 Sedang

8b 0,63 Sedang

Berdasarkan Tabel 3.11 diperoleh hasil bahwa tingkat kesukaran soal berada pada level mudah, sedang, dan sukar. Dapat disimpulkan bahwa instrumen tes cukup memberikan toleransi kesukaran untuk digunakan dalam penelitian.

Berdasarkan tabel validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran instrumen tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, maka diperoleh kesimpulan yang dapat dilihat pada Tabel 3.12 di bawah. Berdasarkan Tabel 3.12, dapat disimpulkan bahwa instrumen tes tersebut layak dipakai untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa kelas VIII yang merupakan sampel dalam penelitian ini.

Tabel 3.12

Kesimpulan Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Kemampuan No Soal Asli Keterangan Perlakuan

Pemahaman Matematis

1, 2, 3, dan 4

Layak Digunakan

tanpa perbaikan Komunikasi

Matematis

5a, 5b, 6, 7a, 7b, 7c, 8a, dan 8b

Layak Digunakan


(57)

2. Lembar observasi siswa

Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data aktivitas siswa dalam menerapkan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif. Lembar observasi yang digunakan adalah lembaran observasi terfokus yang ditujukan untuk melihat kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh peneliti selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi diisi oleh observer sesuai dengan keadaan pada saat penelitian berlangsung. Lembar observasi dapat dilihat pada lampiran A.

3. Angket skala sikap

Angket skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dalam aspek pemahaman dan komunikasi matematis. Oleh karena itu, angket skala sikap ini hanya ditujukan kepada siswa yang berada pada kelas eksperimen saja, sedangkan siswa yang berada pada kelas kontrol tidak diberikan angket skala sikap. Model skala yang digunakan adalah model skala Likert.

Arikunto (2010: 180) mengemukakan bahwa skala Likert disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respon yang menunjukkan tingkatan, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak berpendapat (TB), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Dalam penelitian ini, kelima respon tersebut digunakan semuanya. Dalam menganalisis hasil skala sikap ini, skala kualitatif tersebut ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Pemberian nilainya dibedakan antara pernyataan yang bersifat negatif dengan pernyataan yang bersifat positif. Untuk pernyataan yang bersifat positif, pemberian skornya adalah


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adinawan, M. C., Sugijono. (2010) Mathematics for Junior High School Grade VIII 1ݏݐSemester. Penerbit: Erlangga.

Akinsola, M. K., Olowojaiye. (2008). “Teacher Instructional Methods and

Students Attitiudes toward Mathematics”.International Electronic Journal of Mathematics Education. 3, (1), 10.

Alfeld, P. (2004). Understanding Mathematics. [Online]. Tersedia:

http://www.des.emory.edu/mfp/Bandura1989.pdf. [10Juli 2012].

Anderson, et al. (2001). A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing. New York: Longman.

Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi. UPI Bandung: tidak dipublikasikan.

Arifin, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Astuty, W.W. (2000). Penerapan Strategi Kooperatif Tipe STAD pada

Pembelajaran Matematika Kelas II MAN Magelang. Tesis. UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Baxter, J. A. (2008). “Writing in Mathematics: Alternative Form of Discourse for Academically Low-Achieving Students”. ProQuest Education Journals. 34, (2), 37-40.

Brenner, M. E. (1998). Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Language Minority Students. Santa Barbara: University of California.

Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). The Role of Open-Ended Tasks and Holistic

Scoring Rubrics: Assessing Students’ Mathematical Reasoning and

Communication. Dalam Portia C. Elliot (Eds). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Clark, K. K. (2005). Strategies for Building Mathematical Communication in the Middle School Classroom: Modeled in Professional Development, Implementedin the Classroom. [Online]. Tersedia:


(2)

http://209.85.175.104/search?q=cache:4Ygu7uwVgMJ:www.kennesaw.ed u/education/mge/napomle/cimle/fall2005/clark_fa05.pdf+mathematical+co mmunication&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id&client=firefox-a.

Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Menengah Lanjutan Pertama melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.

Driver, R., Leach, J. (1993). A Constructivist view of Learning: Children’s conceptions and nature of science. In what research says to science teacher. 7, 103-112. Washington: National Science Teachers Assosiation. Ester, R. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik TPS

Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa SMK (Studi Eksperimen di SMK Negeri 2 Cimahi). Tesis Pada PPS UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

Firdaus. (2005). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa melalui Pembelajaran dalam Kelompok Kecil Tipe Team-Assisted-Individualization dengan Pendekatan Berbasis Masalah. Tesis Pada PPS UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

Ginnis, P. (2008). Trik dan Taktik Mengajar. Jakarta: PT. Indeks. Hendra. (2007). Komunikasi. [Online]. Tersedia:

http://indonesia.siutao.com/tetesan/komunikasi.php. [ 15 Desember 2011].

Hidayat. (2011). Penerapan Strategi Pembelajaran Kelompok Acak untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII MTs Bahrul Ulum Bontorea Kabupaten Gowa. [Online]. Tersedia: http://wieztha.blogspot.com//2011/11/draft-skripsi-kakakqu.html.

[2September 2011].

Huang, J., Bruce, N. (2009). “Students’ Perceptions on Communicating

Mathematically: A Case Study of a Secondary Mathematics Classroom”.

The International Journal of Learning. 16, (5), 1-22.

Hudoyo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Isjoni. (2007). Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Kelompok. Bandung: Alfabeta.


(3)

Kadir, A. (2000). Penerapan Model Cooperative Learning tipe STAD dalam Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Kinach, M., B. (2002). Understanding and Learning to Explain by Representing Mathematics: Epistemological Dillemmas Facing Teacher Educators in the

Secondary Mathematics “Method”. Journal of Mathematics Teacher Education, 5, 153-186.

Kosko, K. W. dan Jesse, L. M, W. (2010). “Mathematical Communication and Its

Relation to the Frequency of Manipulative Use”. International Electronic Journal of Mathematics Education. 5, (2), 79-90.

Lie, A. (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.

Lundgren, L. (1994). Cooperative Learning in the Science Classroom. New York: Glencoe. Mc. Graw-Hill.

Mahmudi, A. (2009). Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal MIPMIPA UNHALU. 8, (1), 1-9.

Majid, A. (2008). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Markaban. (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Meltzer, D.E. (2002). Addendum to: The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a possible “hidden variable” in diagnostic pretest score. [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/addendum on normalized gain. Pdf.[7 Agustus 2012].

Mettes, C. T. W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science A General Strategy. International Journal of Science Education, 57 (3), 882-885.

Nasution, S. (2008). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. USA: Reston, V.A.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, V.A: NCTM.


(4)

Nurlaelah, E. (2009). Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematis Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori Apos. Disertasi Doktor PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Perkins , D. N., Simmons, R. (1988). Patterns of Understanding: An Integrative Model for Science, Math, and Programming. Review of Educational Research, Vol. 58, No. 3 (Autumn, 1988), 303-326.

Programme for International Student Assessment. (2010). PISA 2009 Result: What Students Know and Can Do – Student Performance in Reading, Mathematics and Science (Volume I). OECD.

http://dx.doi.org/10.1787/9789264091450-en. (7 Februari 2011).

Polla, G. (2001). Upaya Menciptakan Pengajaran yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan. 4(2).

Puspitasari, N. (2010). Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa SMP. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rif’at, M. (2001). Pengaruh Pola-Pola Pembelajaran Visual dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah-Masalah Matematika. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Romberg, T. (1995). Reformin School Mathematics and Authentic Assessment. USA: New York Press.

Ruseffendi, H. E. T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, H. E. T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Ruseffendi, H. E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, H. E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2007). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.


(5)

Santrock, W. J. (2008). Psikologi Pendidikan. (EdisiKedua). Jakarta: Kencana Premada Media Group.

Shadiq, F. (2009). Kemahiran Matematika. Yogyakarta. P4TK Matematika. Shepardson, D.P. (1997). The Nature of Student Thinking in Life Science

Laboratories. School Science and Mathematics. 97, (1), 37-44.

Siskandar. (2008). “Sikap dan Motivasi Siswa dalam Kaitan dengan Hasil Belajar Matematika”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 14, (072), 444.

Slavin, R. E. (1994). Educational Psychology: Theories and Practice. Fourth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher.

Slavin, R. E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Second Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dikti. Sponsel. (2003). Mathematical Understanding. [Online]. Tersedia:

http://209.85.175.104/search?q=cache:WS7hu4ibvjIJ:www.math.ksu.edu/ math791/midterms03/barbaracomment.pdf+mathematical+understanding&

hl=id&ct=clnk$cd=5&gl=id&client=firefox-a. [2 Mei 2012].

Stahl, R. (1994). Cooperative Learning in Social Studies. California, USA: Arizona State University.

Subiyanto. (1988). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti Depdikbud.

Sudjana, N. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudjana N. dan Ibrahim. (2010). Penelitian dan Penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E., Turmudi, Suryadi, D., Herman, T., Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah, dan Rohayati, A. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.


(6)

Sumarmo, U.(1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum Matematika 1993 pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Bandung: Laporan Penelitian tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan pada Seminar Nasional FPMIPA UPI: tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2007). “Pembelajaran Matematika”, dalam Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: UPI Press.

Sumarmo,U. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik. [Online]. Tersedia: http://math.sps.upi.edu/wp-content/upload/2010/02/ BERPIKIR-DAN-DISPOSISI-MATEMATIK-SPS-2010.pdf. [10 Mei 2011]

Trends in International Mathematics and Science Study. (2008). TIMSS 2007 International Mathematics Report. Boston: IEA.

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Jakarta: Prestasi Pustaka.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.

UPI. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi.

UPI: Tidak diterbitkan.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI Press.

Wardhani,S., Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta : Kementrian Pendidikan Nasional : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.