PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA.

(1)

SISWA SMA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

FIKI ALGHADARI 1102623

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

SISWA SMA

TESIS

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING

Pembimbing I

Prof. Dr. Utari Sumarmo.

Pembimbing II

Dr. Dadang Juandi, M.Si.

Diketahui oleh

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia


(3)

KEMAMPUAN DAN DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA

Oleh Fiki Alghadari

Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika

© Fiki Alghadari, 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematik Siswa SMA” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juli 2013 Yang Membuat Pernyataan


(5)

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, karena atas kehendak-Nyalah Penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematik Siswa SMA” tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Ujian Sidang Magister Pendidikan Jurusan Matematika FPMIPA UPI.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu para pembaca diharapkan menanggapi dan memberikan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Akhirnya kepada Allah jugalah penulis mohon taufik hidayah, semoga usaha penulis ini mendapat manfaat yang baik. Serta mendapat ridho dari Allah SWT. Amin ya rabbal alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Juni 2013


(6)

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, sumbangan pikiran, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, selaku dosen pembimbing I yang senantiasa memberikan bimbingan ditengah kesibukannya. Terima kasih atas segala bentuk bimbingan dan koreksinya sehingga membuat Penulis menjadi lebih baik lagi.

2. Bapak Dr. Dadang Juandi, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika sekaligus pembimbing II dan pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan di tengah kesibukannya. Terima kasih atas segala bentuk bimbingan dan koreksinya sehingga membuat Penulis menjadi lebih baik lagi.

3. Bapak Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI.

4. Bapak Juanda serta staf jurusan dan fakultas yang senantiasa memotivasi mahasiswa dan membantu menyelesaikan setiap urusan administrasi.

5. Bapak Basri, S.Pd, selaku Kepala Sekolah SMAN 2 Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah memberikan izin penelitian untuk penulisan tesis ini. 6. Bapak Suas, S.Pd, selaku guru bidang studi matematika SMAN 2

Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah membantu dalam penelitian untuk keperluan penulisan tesis ini.

7. Bapak Ardianto, S.Pd, selaku guru di SMAN 2 Tanjungpandan Bangka Belitung yang juga membantu dalam proses izin untuk melakukan penelitian. 8. Seluruh siswa SMAN 2 Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah

menerima dengan baik, selama penulis mengadakan penelitian.

9. Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan motivasi, dukungan dan bantuan berupa materil, moral dan spiritual dalam penulisan tesis ini.


(7)

11.Semua teman-teman mahasiswa S2 angkatan 2011 di Sekolah Pascasarjana UPI Program Studi Matematika yang sama-sama berjuang dan memberikan bantuan, sumbangan pemikiran serta dorongan dan motivasi.

12.Seluruh guru dan dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas seluruh ilmu bermanfaat yang telah diberikan semoga setiap titik ilmu yang menyebar dari para siswa dan mahasiswanya menjadi titik-titik ilmu yang lebih banyak dan berlipat sehingga bermanfaat dan menjadi ladang kebaikan di akhirat nanti.

13.Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Bandung, Juni 2013


(8)

SISWA SMA

Fiki Alghadari (1102623)

ABSTRAK

Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain kelompok kontrol non-ekivalen menggunakan teknik purposive

sampling. Kelas eksperimen mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah

dan kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis, dan skala disposisi berpikir kritis. Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah menengah atas. Populasi penelitian ini adalah siswa SMA dengan sampel penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri di Tanjungpandan Bangka Belitung, dengan responden penelitiannya adalah siswa kelas X sebanyak dua kelas, yaitu 23 siswa untuk kelas eksperimen dan 23 siswa untuk kelas kotrol, yang dipilih secara acak dari enam kelas yang ada. Analisis data kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Analisis data skala disposisi berpikir kritis matematis memperlihatkan bahwa peningkatan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah tidak berbeda dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hasil uji kontingensi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis menunjukan derajat asosiasi yang sangat rendah, dan uji hipotesis menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah memungkinkan menjadi alternatif untuk implementasik pembelajaran di SMA.

Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Kemampuan Berpikir Kritis Matematis, Disposisi Berpikir Kritis Matematis.


(9)

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C.Tujuan Penelitian... 12

D.Manfaat Penelitian... 13

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 13

F. Hipotesis Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Masalah dan Pemecahan-Masalah ... 15

B. Pembelajaran Berbasis-Masalah (PBM) ... 17

C.Konstruktivisme sebagai Landasan PBM ... 23

D.Teori Belajar Bermakna dan PBM ... 26

E. Kemampuan Berpikir Kritis ... 28

F. Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 34

G.Hubungan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 39

H.Penelitian yang Relevan ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 44

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

C.Instrumen Penelitian ... 46

1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 46

a. Uji Validitas Tes ... 48

b. Uji Reliabilitas Tes ... 50

c. Uji Tingkat Kesukaran Tes ... 51

d. Uji Daya Pembeda Tes ... 52

2. Skala Disposisi Berpikir kritis Matematik... 54

a. Uji Validitas Skala ... 55

b. Uji Reliabilitas Skala ... 56

3. Lembar Observasi ... 57

D.Analisis Data ... 58

1. Perhitungan Statistik Deskriptif... 58

2. Perhitungan N-Gain ... 58


(10)

6. Uji Asosiasi... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 65

1. Analisis Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis... 65

a. Uji Normalitas Distribusi ... 67

b. Uji Homogenitas Varians ... 69

c. Uji Perbedaan Rata-rata ... 71

2. Analisis Peningkatan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis . 73 a. Uji Normalitas Distribusi ... 75

b. Uji Homogenitas Varians ... 76

c. Uji Perbedaan Rata-rata ... 78

3. Asosiasi antara Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 80

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 82

1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis... 82

2. Peningkatan Disposisi Berpikir Kritis ... 86

3. Asosiasi antara Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 88

C.Aktivitas Guru dan Siswa ... 90

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan... 83

B. Implikasi ... 94

C.Rekomendasi ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 98

LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN ... 104

LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN ... 177

LAMPIRAN C: ANALISIS DATA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS ... 182


(11)

Tabel

3.1 Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 47

3.2 Interpretasi Koefisien Validitas ... 49

3.3 Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 49

3.4 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 50

3.5 Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran... 52

3.6 Hasil Analisis Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 52

3.7 Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda ... 53

3.8 Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 54

3.9 Kriteria Kategori Disposisi Berpikir Kritis ... 55

3.10 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 55

3.11 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 56

3.12 Kriteria Indeks Gain ... 58

3.13 Klasifikasi Koefisien Kontingensi ... 63

4.1 Rata-rata dan Standar Deviasi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 65

4.2 Hasil Uji Normalitas Distribusi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis . 68 4.3 Hasil Uji Homogenitas Varians Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis 70 4.4 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 72

4.5 Hasil Uji Normalitas Distribusi N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 76

4.6 Hasil Uji Homogenitas Varians N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 77

4.7 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 79

4.8 Kontingensi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 81


(12)

LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN

A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Bahan Ajar ... 104

A.2 Lembar Observasi Proses Pembelajaran Berbasis Masalah ... 147

A.3 Kisi-kisi Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 170

A.4 Tes Kemampuan Berpikir Kritis... 171

A.5 Jawaban Alternatif dan Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis... 172

A.6 Kisi-kisi Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 174

A.7 Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 175

LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN B.1 Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 177

B.2 Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 178

B.3 Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 179

B.4 Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 179

B.5 Hasil Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 180

B.6 Reliabilitas Disposisi Berpikir Kritis Matematik... 181

LAMPIRAN C: ANALISIS DATA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS C.1 Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kelompok Eksperimen ... 182

C.2 Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kelompok Kontrol ... 183

C.3 Statistik Deskriptif Pretes, Postes, dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 184

C.4 Uji Normalitas Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 185

C.5 Uji Hipotesis Skor Pretes, Postes, dan N-Gain ... 186

LAMPIRAN D: ANALISIS DATA DISPOSISI BERPIKIR KRITIS D.1 Data Preskala dan Posskala Kelas Eksperimen ... 187

D.2 Data Preskala dan Posskala Kelas Kontrol ... 188

D.3 Rekapitulasi Skor Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 189

D.4 Statistik Deskriptif Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 190

D.5 Uji Normalitas Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 191

D.6 Uji Hipotesis Preskala, Posskala dan N-Gain ... 192


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Matematika merupakan mata pelajaran pokok mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, baik di sekolah yang berbasis agama maupun berbasis umum. Matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang mempunyai kekhususan dibanding dengan ilmu pengetahuan lain. Untuk mengetahui kekhususan bidang ilmu ini, haruslah memahami hakikatnya, dan kemampuan belajar yang menjadi penentu dalam pemahaman. Tanpa memperhatikan faktor penentu tersebut tujuan belajar menjadi sulit tercapai. Seorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam diri orang itu ada kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan pada tingkah lakunya. Perubahan tingkah laku dapat diamati dari seorang melalui penilaian pada kemampuan masing-masing. Proses belajar-mengajar akan mengakibatkan perubahan pada tingkah laku. Proses belajar-mengajar juga dipengaruhi oleh faktor yang akan menentukan keberhasilan siswa.

Menurut teori yang dikemukakan oleh Bruner (Suherman, dkk., 2001), belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam materi yang diajarkan. Jadi belajar merupakan proses untuk menemukan pola dan struktur materi, kemudian memahami konsep yang termuat dalam pola-pola dan struktur itu. Konsentrasi siswa pada materi pembelajaran akan membantu mereka mengembangkan fakta-fakta, selanjutnya dari fakta tersebut siswa menemukan sendiri pola dan struktur dari konsep-konsep materi.

Matematika merupakan pelajaran yang dapat menumbuhkembangkan berbagai kemampuan siswa. Kemampuan siswa untuk menemukan struktur konsep-konsep materi belajar, sehingga dengan kemampuan tersebut siswa akan mampu untuk berpikir matematis dan meningkatkan kemampuan lainya seperti yang termuat dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) yaitu diantaranya adalah problem solving, reasoning and proof, communication,


(14)

Lebih lanjut, siswa diharapkan memiliki kemampuan matematis seperti yang termuat dalam permendiknas No.22 tahun 2006, bahwa pelajaran matematika SMA bertujuan agar: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan-masalah; (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan-masalah (Shadiq, 2009).

Secara umum ada dua macam objek yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran matematika, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsung berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip, dan skill matematika. Objek tidak langsung berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, alih belajar (transfer of learning), menyelidiki, kreatif, bersifat kritis, teliti, dan pengembangan sikap positif lainnya (Krismanto, 2003; Peter, 2012). Sesuai dengan tujuan tersebut, maka setelah dilakukan proses pembelajaran kepada siswa diharapkan dapat memahami dan bersifat kritis (berpikir kritis), sehingga dapat menggunakan kemampuan tersebut dalam menghadapi masalah-masalah matematis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan bagian kemampuan yang penting dalam belajar matematika.

Dalam proses belajar, prinsip harus terlebih dahulu dipilih, sehingga sewaktu mempelajari matematika dapat berlangsung dengan lancar. Ini berarti mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan pada pengalaman belajar yang terdahulu. Untuk mencapai pemahaman belajar, siswa menempuh sejumlah proses pemodelan, atau penyusunan skema, proses pengenalan symbol, dan diakhiri dengan pengujian model di tingkat matematika


(15)

formal. Dengan kata lain, belajar matematika didasarkan pada penggunaan dan penerapan konsep matematis sebelumnya. Menerapkan konsep-konsep matematis yang telah dipelajari sebelumnya dengan jalan yang terstruktur secara sistematis, yaitu suatu proses pembelajaran untuk membangun pemahaman baru. Ini melandaskan pada paham konstruktivisme.

Pembelajaran matematika akan membantu siswa untuk membangun konsep-konsep matematis dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kembali. Tranformasi pengetahuan yang diperoleh akan membentuk konsep-konsep baru. Dengan demikian pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang membangun pemahaman, yaitu pemahaman untuk memecahkan/menyelesaikan berbagai masalah-masalah matematis baik yang rutin maupun yang non-rutin.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin (Dahlan, 2003), ditemukan bahwa siswa kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, kurang memiliki kemampuan untuk memahami serta mengenali konsep-konsep dasar matematika, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau mengenali sebuah persoalan matematika, kurang memiliki kemampuan menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin/tidak), kurang memiliki kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika.

Lebih lanjut, Sumarmo (2006) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan perkembangan daya matematis siswa, yaitu meliputi: kemampuan menggali konsep matematika, menyusun konjektur dan nalar secara logis, menyelesaikan soal non-rutin, menyelesaikan masalah, berkomunikasi secara matematika, dan mengaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.

Sesuai hasil penelitian tersebut, mengindikasikan kelemahan siswa pada kemampuan matematis, yaitu ditandai dengan adanya kekeliruan pada penyelesaian masalah matematis. Beberapa ahli menggolongkan jenis kesalahan yang sering dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal diantaranya; salah dalam menggunakan kaidah komputasi atau salah pemahaman konsep, kesalahan


(16)

penggunaan operasi hitung, algoritma yang tidak sempurna, serta mengerjakan dengan serampangan (Widdiharto, 2008). Semua jenis kesalahan tersebut berawal dari pemahaman siswa terhadap konsep matematis yang kurang mereka kuasai saat memecahkan masalah. Padahal dengan mengerjakan soal-soal latihan maka pemahaman konsep/prinsip akan semakin mantap (Krismanto, 2003). Akan tetapi, tetap saja menjadi percuma apabila siswa hanya berlatih mengerjakan soal tanpa memiliki pengetahuan dan pemahaman pada konsep–konsep matematis sebagai fondasi atau dasar untuk memecahkan masalah.

Siswa mengalami kesulitan memecahkan masalah matematis karena siswa kurang memahami pelajaran, dan kadang-kadang bahkan seringkali dialami bahwa konsep yang disampaikan guru tidak sampai kepada pemahaman siswa. Karena tidak paham pada konsep pelajaran, maka siswa akan tetap terus mengalami kesulitan dan sampai pada akhirnya mengalami ketinggalan serta kehilangan informasi ketika pelajaran dilanjutkan pada pembahasan berikutnya. Padahal pemahaman sangat penting dalam belajar karena pemahaman merupakan kemampuan syarat untuk siswa berpikir kritis. Berdasarkan temuan dari hasil penelitian, Bransford, et al. (NCTM, 2000) menyimpulkan bahwa pemahaman merupakan komponen penting dari kemampuan yang dimiliki siswa.

Dalam diskusi dari hasil penelitian disertasi yang dilakukan oleh Attorps (2006), menyebutkan bahwa dengan siswa memahami konsep, menggunakan rumus dan persamaan matematis sebagai alat untuk memecahan masalah, maka siswa akan mampu mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka. Jadi, adanya rumus matematis bukan hanya sebagai penyedia kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah saja, akan tetapi rumus matematis juga digunakan untuk mengembangkan kemampuan pemahaman pada konsep dasar matematis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shadiq (2009), bahwa pemahaman merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami konsep dan dalam melakukan prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien, dan tepat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip dalam kegiatan pembelajaran tidak cukup hanya dengan memecahkan masalah rutin, dan menggunakan rumus-rumus matematis, sehingga sering dijumpai


(17)

adanya siswa yang mengalami masalah dalam mencapai indikator keberhasilan dan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, juga dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan dan pencapaian tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan, tentu banyak cara yang perlu ditempuh setiap guru mata pelajaran. Salah satu diantaranya yaitu dengan guru mengajukan masalah kontekstual yang relevan dengan materi yang akan dipelajari, kemudian siswa memperoleh pemahaman dari pemecahan masalah yang ditemukan. Teknik pembelajaran seperti ini dinamakan dengan pembelajaran berbasis masalah.

Penelitian yang dilakukannya Sugandi (2010) menyimpulkan bahwa, faktor pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada faktor tingkat kemampuan awal siswa, dan peringkat sekolah dalam menghasilkan kemampuan matematis tingkat tinggi siswa. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang diimplementasikan dalam penelitian tersebut. Pembelajaran berbasis masalah adalah siswa belajar dari masalah, siswa menemukan pemecahan masalah, dan siswa memperoleh pemahaman. Siswa memahami materi belajar melalui konstruksi pengetahuan sendiri sehingga menjadi belajar bemakna.

Walaupun kemampuan matematis tingkat tinggi tidak setara dengan kemampuan berpikir kritis, akan tetapi semua komponen berpikir tingkat tinggi termuat dalam berpikir kritis (Sumarmo, dkk., 2012). Bercermin dari kesimpulan hasil penelitian Sugandi (2010), jika siswa belajar berdasarkan masalah akan meningkatkan pemahaman pada materi belajar, maka akan terlihat perbedaan pada tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang diperoleh akan dipahami secara mendalam karena PBM mendorong siswa sendiri yang melakukannya untuk: memperoleh pengetahuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir kritis, memiliki kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja kelompok, dan kemampuan pemecahan masalah (Sumarmo, dkk., 2012).

Bukan berarti pembelajaran tradisional atau konvensional tidak mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berpikir mereka. Tetapi, akan lebih baik apabila guru melakukan terobosan untuk berinovasi dalam pengajaran


(18)

matematika seperti menerapkan pembelajaran berbasis masalah, maka diharapkan siswa mampu memecahkan masalah nonrutin yang sebelumnya dirasakan sulit. Masalah yang sulit akan menjadi lebih sederhana dan memudahkan siswa dalam mengingat kembali, ketika menghadapi masalah yang sama tetapi dalam bentuk yang berbeda. Dikarenakan masalah yang diajukan dibuat dalam bentuk kontekstual, maka akan menghadirkan pengalaman bermakna bagi siswa dengan belajar berlandaskan paham konstruktivisme.

Ketika siswa berusaha memecahkan masalah, dibutuhkan kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan gairah dan perhatian yang serius, tekun dalam mengerjakannya, rasa ingin tahu, dan percaya diri. Fleksibel dalam menggunakan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, dan mencari metode penyelesaian alternatif juga tidak kalah penting dalam usaha menemukan penyelesaian masalah. Semua kebutuhan pereti tersebut dalam usaha memecahkan masalah merupakan bagian indikator disposisi matematis yang dikemukakan Polking (Sumarmo, 2011). Lebih lanjut, juga merupakan karakteristik atau ciri disposisi berpikir kritis yang ditelaah Ennis (Sumarmo, 2011), yaitu mencari berbagai alternatif, bersikap terbuka, dan bertindak cepat. Dengan demikian, pentingnya memiliki disposisi matematis sekaligus disposisi berpikir kritis merupakan keutamaan dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan masalah (Saurino, 2008).

Sumarmo, (2011) mendefinisikan disposisi yaitu keinginan, kesadaran, dedikasi, dan kecenderungan yang kuat pada siswa untuk merefleksi pemikiran secara fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis untuk menyelesaikan masalah, serta berperilaku secara positif, sadar, dan teratur. Kilpatrick, et al. (2001) mengistilahkan sikap ini sebagai productive disposition (sikap disposisi). Disposisi berpikir kritis adalah penggunaan kemampuan/strategi untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang diinginkan (Halpern, 1998). Dalam hal ini, matematika sebagai sarana untuk siswa menumbuhkan sikap tersebut. Pentingnya mengembangkan sikap positif terhadap matematika termuat dalam tujuan pembelajaran KTSP butir kelima, yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam


(19)

mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan-masalah (Dewanti, 2011; Shadiq, 2008; Sumarmo, 2011).

Menyelesaikan masalah dibutuhkan pula kemampuan yang bisa mengatasi secara efektif situasi sulit, tidak nyaman, bahkan berbahaya. Kemampuan tersebut merupakan karakter dari siswa itu sendiri. Karakter menuntut kecerdasan otak, dan indikator kecerdasan otak diantaranya yaitu berilmu, berpikir logis dan kritis (Dewanti, 2011). Oleh karena bermanfaat supaya siswa mampu dalam memecahkan masalah-masalah matematis, maka dari itu perlunya dikembangkan kemampuan berpikir kritis mereka. Selain itu, pentingnya siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis karena merupakan salah satu objek tidak langsung dari tujuan pembelajaran matematika (Krismanto, 2003; Peter, 2012).

Pada pembelajaran matematika di kelas, tidak sedikit siswa yang ditemukan tidak berdaya dalam usaha memecahkan masalah-masalah matematis. Sebagai contoh, seperti soal-soal pembuktian yaitu khususnya pada materi identitas trigonometri. Langkah pengerjaan dan penyelesaian untuk soal-soal pembuktian dilakukan melalui proses analisis dan evaluasi asumsi. Pola penyelesaian yang dikembangkan matematika seperti dijelaskan di atas, merupakan kemampuan yang memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis (Shadiq, 2004).

Banyaknya masalah-masalah matematis yang memerlukan pemecahan dengan cara atau teknik baru menuntut adanya kehadiran inovasi pembelajaran. Pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih menekankan pada hafalan dan mencari jawaban dari soal-soal yang sifatnya rutin atau prosedural (Ibrahim, 2011). Fakta seperti ini memberikan petunjuk untuk segera melakukan perbaikan atas kelemahan pembelajaran, sehingga pengembangan kemampuan berpikir kritis sangat mungkin untuk dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Apalagi diwaktu sekarang ini, yaitu pada era global dan era perdagangan bebas, kemampuan berpikir kritis, kreatif, logis, dan rasional semakin dibutuhkan (Shadiq, 2004).

Semakin banyak materi pelajaran yang harus dipahami siswa untuk suatu pelajaran maka akan ada pula yang terlupakan. Tetapi, apabila siswa memiliki


(20)

pemikiran yang kritis dengan pemahaman konsep yang baik dari materi yang telah disampaikan guru, maka siswa akan mudah untuk menyelesaikan masalah atau soal-soal matematika sekalipun disajikan dalam bentuk yang berbeda, sehingga kemampuan matematis dan hasil belajar siswa juga akan mengalami peningkatan yang lebih baik.

Hasil belajar seorang atau sekelompok siswa kadang-kadang di bawah rata-rata bila dibandingkan dengan hasil belajar teman-teman sekelasnya. Hasil belajar matematika siswa juga dipengaruhi kemampuan berpikir dan pemahaman matematis siswa terhadap materi pelajaran. Hal seperti inilah yang perlu mendapat perhatian guru untuk memberikan pembelajaran berbasis masalah kepada siswa. Seperti yang dikemukakan Peled (2008) bahwa pentingnya pemecahan-masalah dalam rangka meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir siswa khususnya berpikir kritis, dan juga mengembangkan pemahaman pada konsep-konsep matematis. Lebih lanjut, siswa diharapkan memiliki sikap positif dalam memecahkan masalah-masalah matematis (Dewanti, 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut, juga merupakan sebagian dari alasan penelitian, maka pembelajaran berbasis masalah sangat perlu untuk diterapkan.

Dalam praktek pembelajaran di sekolah yang memakai sistem klasikal, seluruh siswa dipandang sebagai suatu kelompok besar yang diharapkan dapat mengembangkan diri dan mencapai tujuan pelajaran secara bersama-sama, dan dianggap memiliki kemampuan atau potensial yang sama pula. Padahal kenyataannya siswa itu mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda, seperti halnya dalam mencapai tujuan pembelajaran, ada siswa yang dapat menguasai pelajaran secara mudah, namun ada pula siswa yang lambat dalam menguasai pelajaran dan akan berakibat mengalami hambatan atau kesulitan dalam memecahkan masalah, kemudian berikutnya akan menghambat pula terhadap pencapaian tujuan dari proses tujuan belajarnya.

Kesulitan belajar sebagai masalah adalah terletak dalam hal hambatan ini, yaitu akibat-akibat yang mungkin akan timbul baik terhadap dirinya maupun lingkungan bila hambatan ini tidak segera diatasi. Oleh karena itu, adanya hambatan atau kesulitan ini menuntut usaha-usaha untuk mengatasinya. Juga


(21)

menuntut adanya suatu rencana demi meningkatkan kemampuan dan sikap positif siswa untuk berprestasi dalam matematika.

Dalam rencana mengatasi kesulitan siswa memecahkan masalah, meningkatkan mutu pendidikan matematika yang selama ini boleh dikatakan masih rendah, menimbulkan kebiasaan berpikir untuk mengkritisi, juga untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai ataupun memberdayakan kualitas kemampuan guru agar memiliki dasar yang mantap sehingga dapat mentransfer ilmu dalam mempersiapkan mutu sumber daya manusia. Melakukan transfer ilmu dengan memodelkan matematika yang mungkin dari konteks yang ada, dengan cara menghubungkan variabel-variabel untuk menemukan kembali konsep-konsep matematis terdahulu dan mendapatkan rumusan (formula) ataupun mendapatkan suatu prosedur merupakan salah satu contoh teknis dalam melaksanakan pembelajaran.

Sebagai studi literatur, implementasi pemecahan-masalah dalam kurikulum matematika telah direalisasikan di Singapura sejak tahun 1992. Singapura telah menjadikan pemecahan-masalah sebagai pusat kerangka pembelajaran matematika. Hasil positif telah ditunjukan Singapura dengan konsisten menempati peringkat satu pada penilaian Trends in International

Mathematics and Science Study (TIMSS) selama tiga tahun berturut-turut yaitu

1995, 1999, dan 2003 (Rudder, 2006). TIMSS mengukur kemampuan literasi matematis, yaitu kemampuan merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks; kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian (Wardhani dan Rumiati, 2011). Melihat indikator kemampuan literasi matematis tersebut, maka erat kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis.

Bergulirnya pemecahan-masalah dalam kurikulum matematika maka akan tergerak dan berkembangnya kemampuan siswa, sehingga pemecahan-masalah dipandang sangat penting untuk diterapkan sebagai focus kurikulum matematika untuk menjelaskan konsep. Sesuai dengan pendapat diungkapkan Mgombelo dan


(22)

Jaipal-Jamani (2011) bahwa pemecahan-masalah merupakan salah satu pembaruan yang efektif dalam belajar dan mengajar matematika. Maka, pemecahan-masalah dalam matematika merupakan kunci untuk menjadikan pembelajaran menjadi efektif dalam rangka mengatasi kesulitan siswa menyelesaikan masalah-masalah matematis.

Dalam menjelaskan konsep baru atau membuat kaitan antara materi yang telah dikuasai siswa dengan bahan yang disajikan dalam pelajaran matematika, akan membuat siswa siap mental untuk memasuki persoalan-persoalan yang akan dibicarakan dan juga dapat meningkatkan minat dan prestasi siswa terhadap materi pelajaran matematika. Sehubungan dengan itu, kegiatan belajar-mengajar matematika yang terputus-putus dapat mengganggu proses belajar-mengajar ini berarti proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinu. Dari keterangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang akan lebih mudah untuk mempelajari sesuatu apabila belajar didasari pada apa yang telah diketahui sebelumnya karena dalam mempelajari materi matematika yang baru, pengalaman sebelumnya akan mempengaruhi kelancaran proses belajar matematika.

Untuk keberhasilan dalam proses belajar-mengajar penting bagi siswa memiliki pemahaman. Pemahaman merupakan kemampuan menghubungkan ide-ide matematis dalam berbagai bentuk representasi yang disajikan. Pemahaman merupakan kemampuan awal untuk mengembangkan berpikir kritis. Dengan menghubungkan ide-ide matematis tersebut, maka terjadi aktivitas pada otak dan secara bersamaan pula akan meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya. Lebih lanjut, hasil penelitian Prabawati (2011) menunjukan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pemahaman matematis dengan kemampuan berpikir kritis siswa. Artinya, jika kemampuan berpikir kritis siswa meningkat, maka kemampuan pemahaman siswa juga demikian. Sabandar (2007) juga mengutarakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan hasil cerminan dari pemecahan masalah. Jika disimpulkan, maka penting adanya inovasi pendidikan yaitu dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, salah satunya pembelajaran berbasis masalah.


(23)

Pada saat sekarang ini terlihat seakan-akan pembelajaran untuk meningkatkan berpikir kritis matematis siswa masih kurang mendapat perhatian yang serius. Padahal jika diperhatikan dengan mempertimbangkan konsekuensi yang timbul akibat ketidakmengertian dalam belajar matematika, maka diperlukan upaya untuk mengatasi masalah belajar yaitu dengan berpikir kritis. Sesuai pernyataan Sumarmo (2000) mengatakan agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif berdiskusi dalam kelompok ataupun berpasangan, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan.

Pada kenyataannya, kebutuhan pendidikan masyarakat Indonesia sangatlah tinggi, siswa sangat membutuhkan pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran yang memberi mereka pengalaman dalam memecahkan masalah. Untuk itu, pembelajaran berbasis masalah yang guru kembangkan sangat berarti untuk membantu masing-masing siswa meningkatkan potensi dirinya melalui penemuan solusi dari masalah-masalah kontekstual yang diajukan. Di samping itu, juga membantu pihak sekolah dalam rangka menciptakan lulusan pendidikan yang berkualitas.

Dalam perkembangan menurut pengamatan sementara, tidak sedikit sekolah menengah yang masih kurang memberi perhatiannya dalam hal membantu siswa membiasakan untuk berpikir kritis. Padahal, mencapai tingkat kemampuan ini sangat penting untuk mereka miliki. Bukan karena keterbatasan pemahaman siswa dalam matematika, akan tetapi guru juga mempunyai peranan penting dalam menciptakan ide kreatif untuk pengembangan rencana pembelajaran bermakna dan berkualitas, berlandaskan paham konstruktivisme, sehingga pencapaian siswa diharapkan menjadi lebih baik karena masalah diselesaikan secara kooperatif.

Dengan demikian, diperlukan pemikiran kritis dalam upaya meningkatkan kualitas kemampuan pada materi belajar, disertai sikap positif siswa yang menunjukan kesamaan arah dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, dan


(24)

juga agar siswa memperoleh tingkat kemampuan pemecahan-masalah untuk meningkatkan hasil belajar mereka pula. Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan dan sekaligus menjadi pokok permasalahan, maka penelitian ini direncanakan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi pembelajaran berbasis masalah jika dilihat pada peningkatan kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Apakah disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

3. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran berbasis masalah.

4. Bagaimana gambaran aktivitas guru dan siswa pada kelas yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, dan sejalan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.


(25)

3. Mengetahui asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.

4. Mengetahui gambaran aktivitas guru dan siswa pada kelas yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.

D. Manfaat Penelitian

Apabila penelitian ini menunjukan hasil yang signifikan¸ maka diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Siswa, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada pembelajaran matematika sehingga siswa juga akan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah matematis.

2. Guru, sebagai saran bahwa pembelajaran berbasis masalah begitu penting bagi siswa dalam belajar matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka.

3. Peneliti, dapat memberikan informasi mengenai peningkatan kemampuan berpikir kritis khususnya pada pembelajaran berbasis masalah.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman istilah dalam penelitian ini, maka ada beberapa istilah mengenai variabel dalam penelitian yang perlu didefinisikan secara operasional.

1. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah pembelajaran dalam kelompok kecil yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual untuk memahamkan konsep dan mengembangkan kemampuan matematis melalui beberapa tahapan; (1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing pemeriksaan individual atau kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

2. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan; (1) membedakan antara sesuatu atau data yang relevan dan yang tidak relevan, (2) menarik pertimbangan yang bernilai, (3) menganalisis dan mengevaluasi asumsi, (4) membuat deduksi, (5) membuat generalisasi.


(26)

3. Disposisi berpikir kritis matematis adalah kecenderungan untuk bersikap kritis dalam belajar matematika yang meliputi; (1) bertanya secara jelas dan beralasan, (2) berusaha memahami dengan baik, (3) menggunakan sumber yang terpercaya, (4) tetap mengacu/relevan ke masalah pokok, (5) mencari berbagai alternatif, (6) bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak cepat, (7) memandang sesuatu secara menyeleluruh, (8) memanfaatkan cara berpikir orang yang kritis, (9) bersikap sensisif terhadap perasaan orang lain.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Terdapat asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.


(27)

A. Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti tidak melakukan pengelompokan ulang subjek secara acak, kelompok subjek telah terbentuk dengan masing-masing jadwal pelajaran yang telah ditentukan dari pihak sekolah. Apabila peneliti melakukan random pada subjek, maka sistem pembelajaran di sekolah juga akan kacau, sehingga peneliti akan menerima keadaan kelompok seadanya (Ruseffendi, 2010).

Dalam penelitian terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas penelitian adalah pembelajaran berbasis-masalah (PBM), sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan berpikir kritis matematis. Penelitian ini akan melihat sejauh mana PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa, yaitu dengan membandingkan hasil uji perbedaan rata-rata skor n-gain yang diperoleh dari nilai pretes dan postes antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang memperoleh PBM, sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional (PK). Untuk mengetahui efektivitas kedua pembelajaran, tes dilakukan dua kali pada masing-masing kelompok yaitu sebelum proses pembelajaran yang disebut dengan pretes, dan sesudah proses pembelajaran yang disebut postes. Dengan demikian, disain penelitian ini adalah disain kelompok kontrol non-ekivalen yaitu sebagai berikut (Ruseffendi, 2010).

O X O

O O

Keterangan :

O : pretes dan postes kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis. X1 : pembelajaran berbasis-masalah (PBM).

Untuk mengetahui berhasil tidaknya perlakuan pembelajaran yang diimplementasikan, yaitu dengan membandingkan antara skor postes dengan skor


(28)

pretes siswa kelompok PBM, kemudian membandingkan pula dengan hasil postes yang diperoleh siswa kelompok pembelajaran konvensional (PK). Pretes terlebih dahulu diberikan sebelum pelaksanaan pembelajaran diimplementasikan pada masing-masing kelompok, dengan tujuan mengukur pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Postes merupakan penilaian akhir setelah program selesai. Akan tetapi, ada kemungkinan skor postes lebih baik daripada skor pretes bukan dikarenakan perlakuan, yaitu karena masalah lain seperti lebih mengenal ciri karakteristik soal sehingga mudah untuk mengerjakannya.

Karena keterbatasan penulis, maka permasalahan lain yang mempengaruhi dalam penelitian ini dieliminasikan. Dalam arti, penulis tidak memperhatikan faktor-faktor tersebut, penulis hanya mengasumsikan bahwa peningkatan kemampuan dan disposis berpikir kritis matematis siswa dikarenakan efek dari perlakuan yang diberikan. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis diketahui dari hasil uji perbedaan rata-rata antara skor kelompok eksperimen dan kontrol, kemudian membandingkan hasil uji dengan taraf signifikansi yaitu 0,05. Artinya, peluang diterima secara kebetulan untuk PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis lebih baik daripada PK kurang dari 5%.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa di satu SMA Negeri di Tanjungpandan Bangka Belitung tahun pelajaran 2012/2013, yang menjadi sampel adalah siswa kelas X sebagai subjek penelitian. Sampel penelitian diambil secara purposive, dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan pengelompokan secara random pada siswa-siswa ke dalam kelompok-kelompok baru, dan terpilih sebanyak dua kelas dari banyaknya kelas yang ada di SMA Negeri tersebut. Alasan peneliti memilih subjek penelitian dikarenakan :

1. Penetapan siswa SMA kelas X sebagai sampel karena kesesuaian pada materi belajar yang akan diteliti. Materi belajar matematika yaitu trigonometri pada semester genap. Oleh karena materi ini baru pertama kali diperkenalkan pada siswa, sehingga menuntut siswa untuk mampu memahami konsep-konsepnya. Lebih lanjut, siswa akan dibelajarkan menganalisis dan mengevaluasi serta


(29)

memberikan kesimpulan dari proses pembuktian pada sub-materi identitas trigonometri, sehingga akan terjadi proses pengembangan dan peningkatan pada kemampuan berpikir kritisnya.

2. Pemilihan sekolah yang berada di Tanjungpandan Bangka Belitung dilakukan karena peneliti mengharapkan kepada siswa di sekolah tersebut untuk melakukan pengembangan pada pola pikir mereka dalam memecahan masalah matematis dengan berbagai cara untuk memecahkannya disertai pemahaman mereka pada materi-materi pelajaran.

3. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa merupakan tantangan dalam penelitian, karena pembelajaran klasikal (konvensional) hanya menekankan pada pengerjaan soal berdasarkan contoh saja. Hal ini akan dijadikan landasan untuk meneliti kemampuan berpikir kritis matematis siswa, yang diasumsikan mengalami perbedaan peningkatan apabila siswa diberikan PBM.

C. Instrumen Penelitian

Untuk mengumpulkan data kuantitatif yang akan menghasilkan jawaban dari rumusan dan hipotesis penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa tes kemampuan dan skala disposisi berpikir kritis matematis.

1. Tes kemampuan berpikir kritis matematis

Tes kemampuan berpikir kritis dibuat dalam bentuk uraian, karena bentuk uraian cocok untuk mengukur kemampuan berpikir kritis. Tes disusun sesuai kisi-kisi berdasarkan masing-masing indikator. Sebagian tes hasil modifikasi dari Syaban (2008). Tes terdiri dari pretes dan postes. Soal pretes dan postes dibuat relatif sama. Pretes dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal tiap kelompok, dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan kemampuan sebelum mengimplementasikan PBM. Postes untuk menilai kemampuan siswa sebagai efek dari perlakuan penelitian, juga sebagai bentuk peningkatan yang berbeda secara signifikan atau tidak.

Tes diberikan pada setiap kelompok siswa. Setelah pretes dan postes dilakukan, tahap selanjutnya yaitu menentukan pedoman penskoran. Teknik yang


(30)

digunakan untuk pedoman penskoran yaitu seperti yang diusulkan Hancock (Prabawati, 2011) sebagai berikut:

Tabel 3.1

Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Keterangan jawaban Skor

1.Jawaban lengkap dan benar untuk pernyataan yang diberikan.

2.Ilustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasinya sempurna.

3.Jika jawaban terbuka, semua jawaban benar.

4.Pekerjaannya ditunjukan atau dijelaskan secara detail. 5.Memuat sedikit kesalahan.

4

1.Jawaban benar untuk masalah yang diberikan.

2.Illustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi baik.

3.Jika jawaban terbuka, banyak jawaban yang benar. 4.Pekerjaannya ditunjukkan atau dijelaskan.

5.Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran matematis.

3

1.Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap.

2.Illustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya cukup.

3.Kekurangan dalam berpikir tingkat tinggi terlihat jelas. 4.Penyimpulan terlihat tidak akurat.

5.Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman matematis. 6.Banyak kesalahan dari penalaran matematis yang muncul.

2

1.Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dikembangkan.

2.Keterampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi kurang. 3.Banyak kesalahan perhitungan yang muncul.

4.Terdapat sedikit pemahaman matematis yang diilustrasikan. 5.Siswa jarang mencoba beberapa hal.

1

1.Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak nampak.

2.Tidak muncul keterampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi.

3.Pemahaman matematisnya sama sekali tidak muncul. 4.Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba, menebak). 5.Tidak menjawab semua kemungkinan yang diberikan.

0

Tes kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan mengikuti indikator seperti yang tercantum dalam definisi operasional yang dikemukakan pada bagian sebelumnya yaitu diantaranya: (1) membedakan antara sesuatu atau data yang relevan dan yang tidak relevan, (2) menarik pertimbangan yang bernilai,


(31)

(3) menganalisis dan mengevaluasi asumsi, (4) membuat deduksi, (5) membuat generalisasi.

a) Uji Validitas Tes

1) Validitas Isi dan Validitas Muka

Instrumen tes kemampuan berpikir kritis dikonsultasikan pada dosen pembimbing untuk mengetahui validitas isi dan validitas muka, yaitu berkenaan dengan ketepatan alat ukur pada materi yang diujikan, tujuan yang ingin dicapai, kesesuaian antara indikator dan butir soal, serta kejelasan bahasa/redaksional atau gambar/representasi dalam soal.

2) Validitas Empirik

Tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) yang digunakan pada penelitian ini perlu dilakukan uji validitas. Tes dinyatakan valid apabila mengukur apa yang semestinya harus diukur. Perhitungan validitas butir soal akan dilakukan dengan rumus korelasi product moment (Arikunto, 2008; Ruseffendi, 1991) yaitu:

 

  } ) ( }{ ) ( { ) )( ( 2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N rxy Keterangan xy

r : Koefisien validitas. N : Banyaknya peserta tes.

X : Nilai masing-masing butir soal.

Y : Nilai total.

Untuk menguji signifikansi setiap koefisien korelasi yang diperoleh, digunakan uji-t (Sudjana, 2005), dengan adalah jumlah subjek (testee) dan adalah koefisien korelasi (r ) dengan rumus sebagai berikut: xy

2 1 2 r n r t   

Setelah dihitung, maka diperoleh nilai untuk masing-masing butir tes kemampuan berpikir kritis. Menurut Arikunto (2008), ada dua cara menafsirkan koefisen validitas, yaitu: (1) melihat harga dan diinterpretasikan menurut Tabel kriteria Guilford, dan (2) mengkonsultasikan ke Tabel harga kritis


(32)

sehingga dapat diketahui signifikansinya, jika lebih besar dari nilai t harga kritis, maka dinyatakan tidak signifikan (tidak valid), dan begitu juga sebaliknya. Koefisien validitas tiap butir tes dan skala diinterpretasi menurut kriteria Guilford yang dinyatakan pada Tabel berikut (Arikunto, 2008; Suherman, 2003). Dalam hal ini r diartikan sebagai koefisien validitas. xy

Tabel 3.2

Interpretasi Koefisien Validitas

Koefisien Validitas Interpretasi 00

, 1 90

,

0 rxy  Sangat tinggi

90 , 0 70

,

0 rxy  Tinggi

70 , 0 40

,

0 rxySedang

40 , 0 20

,

0 rxyRendah

20 , 0 00

,

0 rxy  Sangat rendah

00 , 0 

xy

r Tidak valid

Dengan menggunakan taraf signifikansi , dan diperoleh harga , sebagai pembanding untuk menyatakan dan membuat kesimpulan valid atau tidaknya suatu butir tes berdasarkan penafsiran harga koefisien validitas. Hasil perhitung koefisien validitas beserta interpretasinya terangkum dalam Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No. Butir Keterangan Interpretasi

1

Valid Sedang

2 Valid Sedang

3 Valid Sedang

4 Valid Tinggi

5 Valid Tinggi

6 Valid Sedang

Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas tes kemampuan berpikir kritis dalam Tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semua butir tes kemampuan yang berjumlah enam dinyatakan valid, karena nilai atau harga untuk tiap


(33)

butir soal lebih dari harga . Ujicoba tes kemampuan berpikir kritis ini dilakukan pada 26 siswa di salah satu sekolah menengah yang berada di kota Bandung.

b) Uji Reliabilitas Tes

Setelah tes diuji validitas tiap item, kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas pada seluruh item tes yang telah dinyatakan valid. Reliabilitas sama dengan konsistensi atau keajegan. Suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat ukur tersebut konsisten atau stabil. Artinya, jika instrumen digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, maka akan menghasilkan data yang sama pula. Uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach (Ruseffendi, 2010).

           

2

2 11 1 1 t b k k r  Keterangan

r11 : reliabilitas instrumen

k : banyak butir soal

2

b

 : jumlah variansi skor tiap item

2

t

 : variansi skor total

Tes yang dinyatakan valid, sebelum digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen dan kontrol dalam penelitian, maka kembali dikumpulkan untuk diuji reliabilitasnya. Tingkat reliabilitas dari soal ujicoba didasarkan pada klasifikasi Guilford (Suherman, 2003; Ruseffendi, 1991; Ruseffendi, 2010), yaitu sebagai berikut

Tabel 3.4

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Koefisien Reliabilitas Interpretasi

00 , 1 90

,

0 r11 Sangat tinggi

90 , 0 70

,

0 r11  Tinggi

70 , 0 40

,

0 r11 Sedang

40 , 0 20

,

0 r11 Rendah

20 , 0 00

,


(34)

Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh koefisien reliabilitas tes kemampuan berpikir kritis sebesar yang berarti soal-soal dalam tes yang diujicobakan memiliki reliabilitas sedang. Karena nilai koefisien reliabilitas tes kemampuan berpikir kritis berpikir kritis lebih dari nilai kritisnya, maka tes tersebut dinyatakan reliabel, dan interpretasinya berada pada klasifikasi sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B.

c) Uji Tingkat Kesukaran Tes

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Bilangan yang menunjukkan derajat kesukaran suatu butir soal disebut indeks kesukaran (Difficulty Index) (Suherman, 2003). Indeks kesukaran biasa disebut juga dengan tingkat kesukaran atau taraf kesukaran, yaitu perbandingan antara banyaknya siswa yang menjawab benar suatu nomor tes dengan banyaknya siswa yang menjawab tes nomor tersebut. Skor indeks kesukaran yaitu antara nol sampai dengan satu. Apabila soal tersebut dinyatakan sukar, maka indeks atau tingkat kesukarannya semakin mendekati satu. Langkah-langkah menghitung koefisien indeks kesukaran, dapat dilakukan sebagai berikut (Ruseffendi, 1991): a. Mengurutkan skor-skor mulai dari yang tertinggi.

b. Pisahkan 27,5% skor tertinggi sebagai kelompok atas dan 27,5% skor terendah sebagai kelompok bawah.

c. Untuk tiap butir soal dalam tiap kelompok, hitung jumlah skor kelompok atas disebut SA dan hitung jumlah skor kelompok bawah disebut SB.

Perhitungan koefisien indeks kesukaran untuk soal uraian menggunakan rumus sebagai berikut (Sumarmo, 2010):

A B A

J S S IK

2  

Keterangan:

IK : indeks kesukaran.

A

S : jumlah skor siswa kelompok atas suatu butir.

B

S : jumlah skor siswa kelompok bawah suatu butir.

A


(35)

Tingkatan klasifikasi yang banyak digunakan untuk menginterpretasi koefisien indeks kesukaran hasil perhitungan menurut analisis skor dari jawaban siswa berdasarkan pembagian kelompok atas dan kelompok bawah, dinyatakan ke dalam kriteria sebagai berikut (Suherman, 2003)

Tabel 3.5

Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran

Koefisien Indeks Kesukaran Klasifikasi

IK = 1,00 Soal terlalu mudah

0,70 ≤ IK < 1,00 Soal mudah

0,30 ≤ IK < 0,70 Soal sedang 0,00 < IK < 0,30 Soal sukar

IK = 0,00 Soal sangat sukar

Perhitungan indeks kesukaran dilakukan pada skor kemampuan berpikir kritis matematis menggunakan aplikasi komputer yaitu software Anates Uraian. Dari hasil perhitungan indeks kesukaran setiap butir soal diperoleh hasil seperti tampak pada Tabel 3.6 di bawah. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

Tabel 3.6

Hasil Analisis Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No Butir IK Keterangan

1 Sedang 2 Sedang 3 Sukar 4 Sukar 5 Sangat Sukar 6 Sangat Sukar d) Uji Daya Pembeda Tes

Daya pembeda adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara siswa yang pandai atau siswa yang berkemampuan tinggi (kelompok unggul) dengan siswa yang kurang pandai atau siswa yang berkemampuan rendah (kelompok asor) (Suherman, 2003). Daya pembeda biasa disebut juga dengan indeks diskriminasi, yaitu korelasi antara skor jawaban untuk suatu butir soal


(36)

dengan skor jawaban untuk seluruh soal. Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis koefisien daya pembeda sama persis seperti langkah-langkah untuk analisis koefisien indeks kesukaran. Beberapa pakar memberikan rumus perhitungan untuk menganalisis daya pembeda, hasil perhitungan menggunakan masing-masing rumus yang diberikan pakar-pakar evaluasi hasil belajar akan menghasilkan penaksiran angka yang sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien daya pembeda setiap butir soal adalah sebagai berikut (Sumarmo, 2010):

A B A

J S S

DB 

Keterangan :

DB : Daya pembeda.

A

S : jumlah skor siswa kelompok atas suatu butir.

B

S : jumlah skor siswa kelompok bawah suatu butir.

A

J : jumlah skor ideal suatu butir.

Adapun kriteria pengklasifikasian yang banyak digunakan sebagai ketentuan untuk menafsirkan koefisien daya pembeda tiap butir soal adalah sebagai berikut (Suherman, 2003)

Tabel 3.7

Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda

Koefisien Daya Pembeda Klasifikasi

0,70 < DB ≤ 1,00 Sangat baik

0,40 < DB ≤ 0,70 Baik

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,00 < DB ≤ 0,20 Jelek

DB ≤ 0,00 Sangat jelek

Perhitungan analisis daya pembeda tes kemampuan berpikir kritis matematis dengan menggunakan bantuan software Anates Uraian. Rekapitulasi hasil analisis daya pembeda tes yang berbentuk soal uraian dapat dilihat pada Tabel 3.8 di bawah, sedangkan perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B.


(37)

Tabel 3.8

Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No Butir DP Keterangan

1 0,428 Baik

2 0,500 Cukup

3 0,476 Baik

4 0,428 Cukup

5 0,214 Cukup

6 0,238 Cukup

2. Skala disposisi berpikir kritis matematis

Skala disposisi berpikir kritis merupakan data yang diperoleh dari hasil pemberian seperangkat pernyataan tertulis untuk dijawab oleh responden. Tujuan digunakan yaitu untuk mendapatkan respon siswa pada kegiatan atau pendapat tentang bagaimana siswa bertanya, memahami, menggunakan sumber belajar, mencari berbagai alternatif, bersikap terbuka, mengambil posisi dan bertindak cepat, memberi pandangan terhadap sesuatu, memanfaatkan cara berpikir orang lain yang kritis, dan sikap sensitif terhadap perasaan orang lain. Skala yang digunakan terdiri dari 37 item pernyataan, yang merupakan adopsi dan modifikasi dari skala disposisi berpikir kritis Sumarmo,dkk. (2012).

Skala disposisi berpikir kritis adalah model Likert. Skala Likert disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh derajat penilaian siswa yang tersusun secara bertingkat ke dalam empat kategori, yaitu sering sekali (Ss), sering (Sr), jarang (Jr), dan jarang sekali (Js). Untuk menghindari pernyataan ragu-ragu siswa pada suatu kegiatan dan pendapat, maka boleh tidak menggunakan kategori Kd (kadang-kadang) (Arikunto, 2006). Pemberian skor skala diposisi berpikir kritis yang sering dipakai dalam mentransfer data kuantitatif menjadi data kualitatif untuk setiap pilihan dari pernyataan positif berturut-turut 4, 3, 2, 1, dan sebaliknya 1, 2, 3, 4 untuk pernyataan negatif.

Skor ideal digunakan sebagai pertimbangan menentukan kategori disposisi berpikir kritis. Batas minimal kategori tinggi adalah 70% dari skor ideal, minimal untuk kategori sedang adalah 56%, dan kurang dari itu adalah kategori rendah (Sumarmo, dkk., 2012), sehingga diperoleh kriteria sebagai berikut:


(38)

Tabel 3.9

Kriteria Kategori Disposisi Berpikir Kritis

Skor Kategori

Skor  73 Tinggi 58  Skor  72 Sedang Skor  58 Rendah

Dari skala disposisi berpikir kritis, diperoleh data hasil penyebaran angket yang berasal dari kelompok eksperimen dan kontrol. Data yang diperoleh tersebut merupakan derajat pilihan masing-masing siswa terhadap empat kategori mengenai suatu pernyataan yang memuat indikator disposisi berpikir kritis.

a) Uji Validitas Skala

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, perangkat tersebut terlebih dahulu diuji coba. Setelah uji coba, dilanjutkan dengan tahap analisis data. Data skala disposisi berpikir kritis dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitas saja. Menurut Sumarmo (2010), butir skala sikap (disposisi berpikir kritis) yang akan digunakan sebagai instrumen penelitian diseleksi menggunakan seleksi butir skala sikap dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menentukan skot tiap subjek

2) Menentukan kelompok tinggi dan kelompok rendah (sekitar 27% - 30%) 3) Menentukan mean skor kelompok tinggi (X ) dan kelompok rendah (T X ). R

4) Menentukan varians kelompok tinggi (ST2) dan kelompok rendah ( 2

R

S ).

5) Menghitung nilai t dengan rumus sebagai berikut:

R R T T

R T

n S n S

X X t

2 2

  

Validitas butir skala diestimasi dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai . Jika lebih besar dari nilai , maka butir skala sikap tersebut mempunyai validitas yang baik sehingga dapat digunakan. Dengan menggunakan taraf signifikansi , dan diperoleh harga


(39)

suatu butir skala berdasarkan penafsiran harga koefisien validitas. Hasil perhitung koefisien validitas beserta interpretasinya terangkum dalam Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis

No.

Butir Ket.

No.

Butir Ket.

No.

Butir Ket.

1 TV 14 V 27 V

2 V 15 V 28 V

3 TV 16 TV 29 TV

4 V 17 V 30 TV

5 V 18 V 31 V

6 V 19 TV 32 V

7 V 20 V 33 V

8 V 21 V 34 V

9 V 22 TV 35 V

10 V 23 V 36 V

11 TV 24 TV 37 V

12 V 25 TV

13 V 26 TV

Catatan: V=Valid, dan TV=Tidak Valid

Hasil perhitungan uji validitas butir skala disposisi berpikir kritis diperoleh 26 skala yang valid dari 37 skala yang diujicobakan, berarti ada 11 skala yang tidak valid. Ujicoba skala disposisi berpikir kritis ini dilakukan pada 25 siswa di salah satu sekolah menengah yang berada di kota Bandung. Kemudian dengan skala yang sama dilakukan observasi untuk uji validitas pada 29 siswa di salah satu sekolah menengah yang berada di kota Tanjungpandan Belitung.

b) Uji Reliabilitas Skala

Setelah dilakukan uji validitas pada tiap item skala maka dilanjutkan dengan uji reliabilitas pada seluruh item yang telah dinyatakan valid. Reliabilitas sama dengan konsistensi atau keajegan. Skala dikatakan reliabel bila alat ukur tersebut konsisten atau stabil. Dengan kata lain, jika instrumen digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, maka akan menghasilkan data yang sama pula.

Interpretasi koefisien reliabilitas skala yang diujicoba, didasarkan pada klasifikasi menurut Guilford (Suherman, 2003), yaitu pada Tabel 3.11.


(40)

Tabel 3.11

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Koefisien Reliabilitas Interpretasi

00 , 1 90

,

0 r11 Sangat tinggi

90 , 0 70

,

0 r11  Tinggi

70 , 0 40

,

0 r11 Sedang

40 , 0 20

,

0 r11 Rendah

20 , 0 00

,

0 r11Sangat rendah

Skala disposisi berpikir kritis merupakan angket skala sikap model likert. Sebelum mengetahui dimana klasifikasi reliabilitas dalam kriteria tersebut berdasarkan koefisiennya, terlebih dahulu menghitung koefisien reliabilitas skala yang diestimasi dengan teknik paruhan (nomor ganjil dan nomor genap) menggunakan korelasi product moment. Hasil perhitungan koefisien reliabilitas skala teknik paruhan dikoreksi menggunakan rumus sebagai berikut (Ruseffendi, 1991; Ruseffendi, 2005; Arikunto 2008).

b b r r r   1 2 11 Keterangan 11

r : Koefisien reliabilitas instrumen

b

r : Koefisien korelasi belahan ganjil-genap skala

Skala yang akan diukur dalam penelitian ini, dan yang dinyatakan valid, maka kembali dikumpulkan untuk diuji reliabilitasnya. Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh koefisien reliabilitas skala yang diestimasi dengan teknik paruhan (nomor ganjil dan nomor genap) sebesar , sehingga hasil koreksi koefisien reliabilitas skala disposisi berpikir kritis teknik paruhan diketahui sebesar , berarti skala yang diujicoba memiliki nilai reliabilitas yang termasuk ke dalam klasifikasi sedang.

3. Observasi Aktivitas Guru dan Siswa

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini selain skor kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa, juga diperoleh hasil observasi aktivitas


(41)

siswa dan guru selama proses pembelajaran untuk tiap kali pertemuan menggunakan lembar observasi. Lembar observasi ini berupa hasil pengamatan tentang jalannya pembelajaran yang sedang berlangsung pada suatu waktu, sehingga dapat diketahui aspek-aspek apa yang harus diperbaiki/ditingkatkan untuk tahapan pembelajaran selanjutnya. Lembar observasi akan menghasilkan informasi langsung mengenai aktivitas kelas.

Observasi ditujukan kepada kelas yang menyelenggarakan PBM. Observasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kegiatan siswa dan guru selama berlangsungnya pembelajaran, menurut Ruseffendi (2010) observasi pada hal-hal tertentu lebih baik dari cara lapor diri (skala sikap) karena observasi melihat aktivitas dalam keadaan wajar. Dalam penelitian biasanya siswa diberikan angket untuk mengukur skala sikap siswa, seperti sikap terhadap pembelajaran yang diterapkan, sikap siswa terhadap matematika, dan sikap siswa terhadap soal-soal kemampuan yang akan diukur. Mengukur skala sikap dengan menggunakan angket ini tidak lebih baik daripada pengumpulan data menggunakan lembar observasi, tetapi hanya untuk hal-hal tertentu saja, itu merupakan maksut dari kutipan di atas.

D. Analisis Data

Setelah data hasil penelitian terkumpul sesuai kebutuhan untuk menguji hipotesis yang diajukan, yang diantaranya yaitu data pretes dan postes kemampuan berpikir kritis matematis serta data preskala dan posskala disposisi berpikir kritis matematis, selanjutnya dilakukan pengolahan dengan teknik analisis sebagai berikut

1. Perhitung statistik deskriptif

Analisis data deskriptif hasil pretes, postes, dan n-gain terdiri dari nilai rata-rata, dan deviasi standar (simpangan baku).

2. Perhitungan n-gain

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diberikan PBM lebih baik daripada siswa dengan PK, terlebih dahulu dihitung n-gain melalui skor hasil pretes dan postes dengan rumus sebagai berikut


(42)

pretes skor -ideal skor

pretes skor -postes skor 

g

Setelah skor n-gain dihitung, kemudian dikelompokan ke dalam tiga tingkatan kategori berdasarkan Hake (1999), yaitu seperti pada Tabel 3.12.

Tabel 3.12 Kriteria Indeks Gain

Skor Gain Kategori

g ≥ 0,7 Tinggi

0,3 ≤ g < 0,7 Sedang

g ≤ 0,3 Rendah

Skor n-gain merupakan metode yang baik untuk menganalisis peningkatan antara hasil pretes dan postes, karena peningkatan dari skor 6 menjadi 9 berbeda dengan peningkatan dari skor 4 menjadi 7. Skor n-gain merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat keefektifan pembelajaran.

3. Uji Normalitas Distribusi

Uji normalitas dilakukan dengan tujuan mengetahui apakah data kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Istilah distribusi normal hanya dapat berlaku untuk seluruh nilai dalam polulasi dimana sampel data tersebut diambil, jadi distribusi normal merupakan karakteristik untuk populasi dan bukan untuk karakteristik sampel. Hasil uji normalitas bukan sebagai dasar untuk membuat keputusan menggunakan uji parametrik atau nonparametrik, tetapi masih banyak pertimbangan lain. Langkah-langkah perhitungan uji normalitas pada masing-masing skor kemampuan dan disposisi berpikir kritis adalah sebagai berikut:

a. Hipotesis yang diuji

H0 : Skor berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

H1 : Skor berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

b. Kriteria pengujian

Jika Sig  0,05 maka H0 ditolak.


(1)

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

_________. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Armiati. (2011). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis, Komunikasi

Matematis dan Kecerdasan Emosional Mahasiswa melalui Pembelajaran Berbasis-Masalah. Disertasi Pendidikan Matematika UPI: Tidak

dipublikasikan.

Atallah, F., Bryant, S.L. and Dada, R. (2010). A Research Framework for Studying Conceptions and Dispositions of Mathematics: A Dialogue to Help Students Learn. Dalam Research in Higher Education Journal. [Online]. Tersedia: http://www.aabri.com/manuscripts/10461.pdf [22 Februari 2012].

Attorps, I. (2006). Mathematics Teachers’ Conceptions about Equations.

Dissertation on Helsinki of University. [Online]. Tersedia: http://ethesis. helsinki.fi/julkaisut/kay/sovel/vk/attorps/mathemat.pdf [30 Oktober 2012]. Borg, W.R dan Gall, M.D. (1989). Educational Research. New York: Longman. Dahlan, J.A. (2003). Meningkatkan Kemampuan Penalaran & Pemahaman

Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi Pendidikan Matematika UPI: Tidak

dipublikasikan.

Dewanti, S.S. (2011). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Pendidikan Matematika sebagai Calon Pendidik Karakter Bangsa melalui Pemecahan Masalah. Dalam Seminar Nasional Matematika Prodi

Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dewanto, S.P. (2007). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel

Matematik Mahasiswa melalui Belajar Berbasis-Masalah. Disertasi

Pendidikan Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

Duron, R., Limbach, B. and Waugh, W. (2006). Critical Thinking Framework For Any Discipline. Dalam International Journal of Teaching and Learning in

Higher Education. Vol 17 (2), 7 halaman. [Online]. Tersedia: http://www.

isetl.org/ijtlhe/pdf/IJTLHE55.pdf [21 November 2012].

Duch, B.J., Groh, E. and Allen, D.E. (2001). The Power of Problem-Based


(2)

Ennis, R. H. (2011). The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical

Thinking Dispositions and Abilities. [Online]. Tersedia: http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCritica lThinking_51711_000.pdf [22 Februari 2012]

Facione, PA, Giancarlo CA, Facione, NC and Gainen, J., (1995). The disposition toward Critical Thinking. Dalam Journal of General Education. Vol 44 (1). [Online]. Tersedia: http://www.insightassessment.com/content/ download/789/4985/file/Disposition_to_CT_1995_JGE.pdf [11 Maret 2013]

Glazer, E. (2001). Using Web Sources to Promote Critical Thinking in High

School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.arches.uga.edu/

~eglazer/nime2001b.pdf [21 Nopember 2012]

Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. Woodland Hills: Dept of Physics, Indiana University. [Online]. Tersedia: http://www.physics. ndiana.du/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [7 Oktober 2012].

Halpern, D.E. (1998). Teaching Critical Thinking for Transfer Across Domains: Dispositions, Skills, Structure Training, and Metacognitive Monitoring. Dalam American Psychological Association. Vol. 53. (4). [Online]. Tersedia: http://projects.ict.usc.edu/itw/vtt/HalpernAmPsy98CritThink.pdf [24 Februari 2013]

Ibrahim. (2011). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa melalui Pembelajaran Berbasis-Masalah yang Menghadirkan Kecerdasan Emosional. Dalam Prosiding Seminar Nasional

Matematika dan Pendidikan Matematika.

Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa

SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi Pendidikan Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

Jacob, S.M. dan Sam, H.K. (2008). Measuring Critical thinking in Problem Solving through Online Discussion Forums in First Year University Mathematics. Dalam International MultiConference of Engineers and

Computer Scientists 2008. Vol 1, 6 halaman.

Juandi, D. (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru

Matematika melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Pendidikan Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

Kilpatrick, J., Swafford, J. dan Findell, B. (2001). Adding It Up Helping Children


(3)

Krismanto, A. (2003). Beberapa Teknik, Model, Dan Strategi Dalam

Pembelajranan Matematika. Yogyakarta: DEPDIKNAS.

Leader, L.F. dan Middleton, J.A. (2004). Promoting Critical-Thinking Dispositions by Using Problem Solving in Middle School Mathematics. Dalam Research in Middle Level Education Online. Vol. 28. (1). [Online]. Tersedia: http://www.amle.org/portals/0/pdf/publications/RMLE/rmle_ vol28_no1_article3.pdf [24 Februari 2013]

Lunenburg, F.C. (2011). Critical Thinking and Constructivism Techniques for Improving Student Achievement. Dalam National Forum of Teacher

Education Journal. Vol. 21(3). 9 halaman.

Mgombelo, J. dan Jaipal-Jamani, K. (2011). Mathematics Problem Solving Professional Learning Through Collaborative Action Research. Dalam

European Research in Mathematics Education VII. Working Group 17a.

[Online]. Tersedia:. http://www.cerme7.univ.rzeszow.pl/WG/17a/ CERME7_WG17A_Mgombelo.pdf [7 Mei 2012].

NCTM. (2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. Reston, VA: NCTM Inc.

Peled, I. (2008). a Meta-Perspective on the Nature of Modelling and the Role of Mathematics. Dalam European Research in Mathematics Education V. Working Group 13. [Online]. Tersedia: http://ermeweb.free.fr/CERME %205/WG13/13_Peled.pdf [29 Oktober 2012].

Permana, Y. dan Sumarmo, U. (2007). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Dalam Educationist. Vol. 1 (2).

Peter, E.E. (2012). Critical Thinking: Essence for Teaching Mathematics and Mathematics Problem Solving Skills. Dalam African Journal of

Mathematics and Computer Science Research. Vol. 5(3), 5 halaman.

[Online]. Tersedia: http://www.academicjournals.org/ajmcsr/PDF/pdf2012 /Feb/9%20Feb/Ebiendele.pdf [20 November 2012].

Prabawati, M.N. (2011). Pengaruh Penggunaan Pembelajaran Kontekstual

Teknik SQ3R Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Berpikir Kritis Matematik Siswa. Tesis Pendidikan Matematika UPI: Tidak

dipublikasikan.

Ricketts, J.C. dan Rudd, R. (2004). The Relationship between Critical Thinking Dispositions and Critical Thinking Skills of Selected Youth Leaders in the National FFA Organization. Dalam Journal of Southern Agricultural


(4)

Education Research. Vol. 54 (1). [Online]. Tersedia: http://www.

leadershipeducators.org/Resources/Documents/jole/2007_winter/Jole_6_1 _Stedman_Andenoro.pdf [25 Februari 2013]

Rimiene, V. (2002). Assessing and developing students’ critical thinking. Dalam

Psychology Learning and Teaching, Vol. 2(1), 17-22. [Online]. Tersedia:

http://www.heacademy.ac.uk/assets/documents/subjects/psychology/2-1-rimiene.pdf [25 Februari 2013]

Rudder, C.A. (2006). Problem Solving: Case Studies Investigating the Strategies

Used by Secondary American and Singaporean Students. Dissertation on

The Florida State of University: Unpublished.

Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa

Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru.

Diktat, Bandung.

_________. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

_________. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Noneksakta

Lainnya. Bandung: Tarsito.

Sabandar, J. (2007). Berpikir Reflektif dalam Pembelajaran Matematika. Pendidikan Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

_________. (2009). Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di

Sekolah. Pendidikan Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

Saurino, D.R. (2008). Concept Journaling to Increase Critical Thinking Dispositions and Problem Solving Skills in Adult Education. Dalam The

Journal of Human Resource and Adult Learning. Vol. 4 (1). [Online].

Tersedia: http://www.hraljournal.com/Page/19%20Dan%20R. %20Saurino.pdf [22 Februari 2013]

Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Yogyakarta: DEPDIKNAS.

_________. (2008). Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA. Yogyakarta: DEPDIKNAS.

_________. (2009). Kemahiran Matematika. Yogyakarta: DEPDIKNAS.

Stedman, N.L.P. dan Andenoro, A.C. (2007). Identification of Relationships between Emotional Intelligence Skill & Critical Thinking Disposition in Undergraduate Leadership Students. Dalam Journal of Leadership


(5)

Education. Vol. 6 (1). [Online]. Tersedia: http://www.leadershipeducators.

org/Resources/Documents/jole/2007_winter/Jole_6_1_Stedman_Andenoro .pdf [26 Februari 2013]

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugandi, A.I. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis-Masalah dengan Setting

Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Pencapaian Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi dan Kemandirian Belajar Siswa SMA. Disertasi Pendidikan

Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, E. dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sulaiman, W.S.W., Rahman, W.R.A. and Dzulkifli, M.A. (2008). Relationship between Critical Thinking Dispositions, Perceptions towards Teachers, Learning Approaches and Critical Thinking Skills among University Students. Dalam IPRC Proceedings. [Online]. Tersedia: http://bsris.swu. ac.th/iprc/4th/27.pdf [22 Februari 2012].

Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk

Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing Tahap I, Tahap II, dan Tahap III: tidak

dipublikasikan.

_________. (2006). Berpikir Matematika Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan

Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah pada seminar Pendidikan Matematika di

Jurusan Matematika FMIPA UNPAD.

_________. (2010). Evaluasi Pengajaran Matematika SPs UPI. Hand Out, Bandung.

_________. (2011). Pendidikan Karakter dan Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Dalam

Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UPI.

Sumarmo, U., Hidayat, W., Zulkarnaen, R., Hamidah, dan Sariningsih, R. (2012). Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis, Kritis, dan Kreatif Matematik. Dalam Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta


(6)

Sumaryati, E. (2012). Kemampuan Pemahaman, Berpikir Kritis, dan Disposisi

Matematis Siswa SMA melalui Strategi Pembelajaran Think-Pair-Square-Share dengan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis Pendidikan Matematika

UPI: Tidak dipublikasikan.

Suryadi, D. (2001). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi Pendidikan Matematika UPI: Tidak dipublikasikan.

Sutawidjaja, A dan Dahlan, J.A. (2011). Pembelajaran Matematika. Jakarta: UT Syaban, M. (2009). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematik Siswa

Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran Investigasi. Dalam Educationist. Vol. 3 (2).

Ward, J.D. dan Lee, C.L. (2002). A Review of Problem-Based Learning. Dalam

Journal of Family and Consumer Sciences Education. Vol. 20 (1).

[Online]. Tersedia: http://www.natefacs.org/JFCSE/v20no1/ v20no1Ward.pdf [8 Februari 2013]

Wardhani, S. dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika

SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: KEMENDIKNAS.

Widdiharto, R. (2008). Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan