Mata Kuliah Semester I Analisis Wacana

Analisis Wacana:
Istilah wacana secara kasar, dapat diartikan sebagai bahasa yang lebih luas dari kalimat atau
klausa atau dapat juga diartikan sebagai satuan linguistik yang lebih besar dari kalimat, misalnya
percakapan lisan atau naskah tertulis.
Analisis wacana sebenarnya, analisis bahasa dalam penggunaannya, seperti yang dikatakan oleh
Brown dan Yule (1984) dalam bukunya Discourse Analysis "The analysis of discourse is necessarily
the analysis of language in use". Karena itu analisis wacana itu tidak mungkin dibatasi hanya pada
deskripsi bentuk linguistik yang terpisah dari hubungan antar manusia.
Selanjutnya Butler (1985) menambahkan bahwa studi mempelajari pola bahasa yang lebih luas
dari kalimat ("the suprasetential patterning of language"). Ini bersamaan timbulnya dengan minat
mempelajari bahasa, dengan keinginan untuk mempelajari apa sebenarnya yang bisa kita kerjakan
dengan bahasa: bagaimana kita menggunakannya, tidak hanya untuk saling bertukar informasi, tetapi
untuk menyelesaikan masalah-masalah ("getting things done") dan untuk menciptakan dan memelihara
hubungan sosial dan lain-lainnya.
Pendapat di atas sebenarnya berasal dari ide seorang pakar anthropologi terkenal Malinowski
yang pada waktu meneliti suatu suku bangsa di Pasifik selatan, sampai pada kesimpulan bahwa makna
(meaning) bukan merupakan korelasi antar kata (word) dengan benda yang ditunjuk oleh kata tersebut
(referent). Dia mengambil kesimpulan bahwa untuk mengerti makna apa yang dikatakan, kita perlu
mengetahui ciri-ciri budaya seperti yang direfleksikan dalam konteks situasi di mana suatu ujaran
dihasilkan. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Firth, seorang pakar linguistik yang berpendapat
bahwa makna kata itu secara mendalam terkait dengan "the living process of persons maintaining

themselves in society" (proses hidup seseorang untuk tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat ).
Coulthard (1977) mengutip apa yang dikatakan oleh Firth mengenai bahasa sebagai berikut "a way of
behaving and making others behave" (suatu cara untuk menunjukan perilaku tertentu dan membuat
orang lain berperilaku tertentu). Menurut Firth demikian dikatakan selanjutnya oleh Coulthard (1977)
bahasa baru mempunyai makna dalam suatu konteks situasi tertentu (meaningful in its context of
situation). Suatu ujaran 'Saya lapar' bisa dikatakan oleh seorang gelandangan yang lapar dengan tujuan
untuk minta makan, atau bisa juga diucapkan oleh seorang anak balita sebagai jawaban dari perintah
ibunya yang menyuruhnya segera tidur pada saat dia sedang asyik nonton TV. Pada konteks yang
disebut belakangan ini ujaran tadi jelas dimaksudkan untuk mengulur waktu, mempunyai arti pragmatis
yang berbeda dengan yang diucapkan dalam konteks yang pertama tadi.
Fungsi Bahasa
Analisis wacana tidak lepas dari fungsi bahasa itu sendiri. Untuk memudahkan analisis, Yule dan
Brown (1984) membatasi hanya pada dua fungsi pokok bahasa yaitu:
1. Fungsi transaksional: fungsi bahasa yang tujuannya untuk menyatakan isi ('the expression of
content')
2. fungsi interaksional: fungsi yang melibatkan hubungan sosial dan sikap individu.

pada kenyataannya sering kedua fungsi ini bekerja bersama-sama. Suatu contoh misalnya, kalau
seorang ibu memberi nasehat anaknya, maka dua fungsi bahasa tadi berjalan seiring, yaitu
penyampaian nasehat itu sendiri dan pembinaan hubungan sosial dengan anak.

Di dalam bahasa transaksional, ada praanggapan (presupposition) bahwa apa yang ada pada pikiran
penutur ialah pemindahan informasi yang efisien. Bahasa yang dipergunakan dalam situasi ini
berorientasi pada pesan (massage-oriented). Yang penting di sini ialah bahwa orang yang menerima
informasi itu mendapat informasi yang betul. Jadi tujuannya ialah kejelasan tentang apa yang dikatakan
oleh penutur seperti kejelasan yang diberikan oleh seorang ketua RT pada warganya yang menanyakan
hal retribusi sampah, atau kejelasan yang diberikan oleh seorang dokter ketika ia memberi petunjuk
kepada seorang perawat tentang pemberian pil kepada pasiennya. Dengan sendirinya akan timbul hal
yang tidak menguntungkan dalam masalah transaksi informasi ini bila misalnya pesan yang
disampaikan tidak dipahami dengan sempurna oleh orang yang menerima pesan itu.
Sementara itu para ahli sosiolinguistik menaruh perhatian pada penggunaan bahasa untuk
membentuk dan memelihara hubungan sosial. Alasannya ialah bahwa sebagaian besar in-teraksi
manusia sehari-hari lebih diwarnai oleh hubungan antar manusia. Kalau ada salah satu di antara dua
orang Indonesia yang saling tidak kenal sedang menunggu kereta api di setasiun menyapa yang lain
dengan mengatakan: "Kok terlambat sekali keretanya, Ya" atau kalau salah seorang di antara dua orang
Amerika yang juga sling tidak kenal mengatakan: "Gee, it's freezing " ini tidak berarti bahwa masingmasing di antara orang Indonesia dan orang Amerika itu semata-mata bermaksud menyampaikan
informasi tentang keterlambatan kereta api atau tentang dinginnya udara saat itu, yang tentunya kedua
pihak baik penutur maupun penanggap sudah saling mengetahuinya. Di antara situasi ini terkandung
makna bahwa penutur ingin sekedar bersopan-santun saja dan ingin membentuk hubungan sosial.
Bagaimanapun juga dalam kenyataannya, sebagian besar percakapan sehari-hari merupakan pendapat
seseorang mengenai apa yang ada dihadapannya dan di hadapan pendengarnya.

Pada ahli bahasa dan pakar filsafat kebahasaan cenderung untuk mengadakan pendekatan yang
terbatas sekali terhadap fungsi-fungsi bahasa dalam masyarakat. Walaupun mereka mengakui bahwa
bahasa dapat dipergunakan untuk melaksanakan berbagai fungsi komunikatif, mereka berasumsi bahwa
fungsi bahasa yang paling utama ialah komunikasi informasi.
Data
Data analisis wacana biasanya berupa naskah tertulis atau rekaman interaksi yang sesungguhnya.
Jarang sekali berupa kalimat tunggal. Tipe materi seperti ini disebut juga sebagai "performance data"
yang di dalamnya termasuk juga unsur beragam, salah ucap, serta juga bentuk bahasa yang non
standard.
Peranan Konteks
Sejak permulaan tahun 1970, para pakar bahasa menyadari akan pentingnya konteks untuk
menginterpretasi ujaran atau pun kalimat; sehingga pendekatan seorang analis wacana pada data jauh
berbeda dari ahli informasi bahasa formal. Karena seorang analis wacana mempelajari bahasa dalam
konteks minatnya lebih tertuju pada saat tertentu dari pada hubungan potensial antara satu kalimat
dengan yang lain tanpa memperhatikan penggunaannya. Seorang analis wacana berusaha menjelaskan
apa yang dikerjakan oleh pembicara dan pendengar; sehingga dikatakan oleh Brown dan Yule (1984)
bahwa seorang analis wacana mempelajari bahasa dengan pendekatan pragmatis (a pragmatic
approach to the study of language in use).

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa peranan konteks sangat penting dalam analisis wacana.

Kedua contoh berikut ini memperjelas peranan konteks dalam penggunaan bahasa. Kata "pintar"
mengandung makna yang berbeda bahkan bertolak belakang pada kedua contoh di bawah ini.


Penutur seorang bapak, pendengarnya istrinya. Tempat di rumah mereka. Pada suatu sore hari,
mereka mendengarkan anak mereka yang masih berumur dua setengah tahun menyayikan lagu
Balonku Ada Lima dengan lancar. Bapak tersebut berkata : "Pintar ya dia".



Penutur seorang ibu. Pendengarnya suaminya. Si ibu menyuruh anaknya perempuannya
memanasi masakan untuk makan malam. Si anak lupa mematikan kompor, sehingga
makanannya jadi hangus. Ibu tadi lalu berkata: "Pintar dia ya".

Dell Hymes merinci unsur-unsur konteks sebagai berikut: penyampaian, yaitu penutur atau
penulis yang menghasilkan ujaran atau tulisan, penerima, yaitu pendengar atau pembaca yang
menerima pesan dalam ujaran atau tulisan. Unsur topik, yaitu apa yang dibicarakan oleh penyampai dan
penerima. Pengetahuan analis tentang topik sangat membantu analisisnya. Unsur konteks berikutnya
adalah setting yang meliputi waktu, tempat dan peristiwa. Unsur lainnya adalah saluran yaitu
bagaimana komunikasi antara penyampai dan penerima dilakukan, apakah melalui tulisan atau lisan.

Kemudian ada unsur kode: yaitu bahasa atau dialek mana yang dipakai dalam interaksi. Akhirnya,
unsur yang terakhir ialah tujuan, yaitu hasil akhir dari komunikasi.
Secara singkat dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur tersebut diatas akan memudahkan seorang analis
wacana dalam memperkirakan bentuk isi suatu wacana.
Dua Prinsip Analisis Wacana
Menurut Brown dan Yule (1984) masalah yang dihadapi oleh seorang analis wacana hampir sama
dengan masalah yang dihadapi oleh pendengar atau pembaca. Seorang penanggap harus mampu
membuat interpretasi-interpretasi dengan menggunakan dua prinsip analis wacana, yaitu: prinsip
lokalitas dan analogi. Prinsip lokalitas memberikan tuntunan kepada pendengar, pembaca atau analis
wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan untuk sampai pada
interpretasi yang paling mendekati maksud asli yang diberikan oleh penyampai. Prinsip analogi
memungkinkan suatu wacana ditafsirkan dengan mengingat wacana lain yang semacam, yang sudah
pernah diketahui oleh pendengar, dengan cara analogi. Suatu wacana dapat juga diinterpretasikan selain
dengan kedua prinsip tersebut diatas juga dengan aspek lain yaitu pengetahuan analis tentang dunia luar
(knowledge of the world). Contohnya misalnya seorang analis yang tidak mempunyai pengetahuan
yang cukup mengenai komputer akan sangat sulit baginya untuk bisa menginterpretasikan isi buku
petunjuk mengenai penggunaan komputer. Contohnya di bawah ini yang dikutip dari Poerwono
(1966:7) oleh Wahab (1991) memberikan ilustrasi yang jelas bagaimana seorang analis wacana
menggunakan dua prinsip analis wacana seperti yang dinyatakan di atas untuk memahami suatu gejala
bahasa yang disebut metafora:

Bu Gondo : Ning rak ora kecantol putri Semarang to?
Kusmadi : Ah mboten, Bu. Tiyang mas Bin kemawon taksih anteng ngaten kok, menapa malih
kula
ingkang langkung enem mandar kesesa?

Bu Gondo : O, cekake nek masmu Bin isih arep dak imbu terus, kok ben mateng dhisik tenan ana
brongsongan. Puluh-puluh mateng nek mung semprongan, tiwas nyangyangane ora
duwur.
Metafora dalam wacana di atas, yaitu 'dak imbu ana brongsongan' ditafsirkan oleh penutur asli
bahasa Jawa sebagai kematangan jasmani dan rohani secara wajar. Seperti sudah diutarakan di muka,
prinsip lokalitas memberi tuntunan kepada analis untuk membentuk konteks yang secukupnya saja,
tidak lebih luas dari yang dirinci oleh Dell Hymes, tetapi ia hanya memperhatikan unsur yang paling
relevan saja, dalam hal ini unsur topik. Berdasar pertanyaan yang diucapkan oleh Bu Gondo dan
jawaban yang diberikan oleh Kusmadi, analis dapat membuat perkiraan bahwa topik yang cocok untuk
wacana semacam itu ialah usia perkawinan. Juga berdasarkan pengetahuan dan pengalaman tentang
dunia luar yang berhubungan dengan pembicaraan antara Bu Gondo dan Kusmadi di atas, analis
mengetahui bahwa seseorang tidak akan menikah sebelum dia matang dan prinsip (dalam arti jasmani
dan rohani).
Prinsip lokalitas dan prinsip analogi ini senada dengan konsep coherence. suatu konsep yang tidak
kalah pentingnya dalam analisis wacana. Coherence ialah suatu keadaan yang menunjukan bahwa

kalimat-kalimat yang berurutan dalam suatu wacana dianggap berkaitan satu sama lain meskipun tidak
ada tanda-tanda linguistik yang nampak.
Coherence dalam Wacana
Salah satu dari anggapan umum yang masih kita dengar mengenai analisis bahasa ialah bahwa
satu-satunya landasan yang dipakai untuk menangkap makna suatu pesan linguistik ialah kata-kata dan
struktur kalimat yang digunakan dalam menyampaikan pesan tersebut. Contoh pertama di bawah yang
merupakan terjemahan dari suatu cuplikan dari novel The Right Stuff oleh Tom Molfe yang dikutip oleh
Brown dan Yule (1984) menunjukkan bahwa cuplikan ini secara grammatikal jelas dan benar, tetapi
sulit bagi kita untuk menangkap pesan yang disampaikan.
Dalam waktu yang lain, atau sepuluh menit, tidak lebih lama dari itu, tiga dari mereka telah
meneleponnya dan menanyakan padanya apakah dia telah mendengar bahwa suatu telah terjadi di luar
sana.
Sekarang mari kita simak contoh berikut ini:
PT Tinja sedot WC dan lain-lain service 24 jam T 575979 - 573579 - 573624 - 521606 - 581918.
Kalau kita menganalisis wacana ini, maka dengan mudah kita bisa menangkap pesan yang
disampaikan oleh penyampai pesan dalam hal ini PT Tinja, dengan menggunakan prinsip lokalitas dan
analogi. Kita lihat bahwa wacana ini disajikan tidak dalam urutan sintaksis yang baik bentuknya
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana merupakan pendekatan baru untuk
mempelajari bahasa. Seorang analis wacana lebih menaruh perhatian pada fungsi interaksional dari
bahasa, meskipun dia sama tidak mengabaikan fungsi transaksional. Dia lebih tertarik pada bagaimana

penutur (addresser) menggunakan bahasa agar supaya dapat diinterpretasikan dengan baik oleh
penanggap (addressee). Meskipun seorang analis wacana masih memperhatikan ciri-ciri linguistik dari
suatu wacana dia lebih menekankan pada prinsip-prinsip di luar linguistik antara lain : konteks, analogi,

lokalitas, pengetahuan mengenai dunia (knowledge of the world). untuk menentukan suatu wacana itu
'coherent' atau tidak.
Buku Rujukan
Brown, Gillian & Yule, G. 1984. Discouse Analysis. London: Cambridge University Press.
Butler, Christopher, S. 1985. Systemic Linguistics Theory and Applications. London: Batsford Ltd.
Coulthard, Malcolm. 1977. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman.
Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University
Press.