Mata Kuliah Semester I Tasawuf(printed)

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

TASAWUF

Tujuan
tasawuf
adalah
mendekatkan
diri
sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
melihat-Nya dengan mata hati bahkan ruhnya
dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah,
pertama, Tuhan bersifat ruhani, maka bagian yang
dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah
ruh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha
Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk
mendekatiNya adalah ruh yang suci. Tasawuf
adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan
diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian
ruhnya.

Asal Kata Suf
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf
dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Shafa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang
disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha
menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan
ibadat, terutama salat dan puasa.
2. Shaf (baris). Yang dimaksud shaf di sini ialah baris
pertama dalam salat di mesjid. Shaf pertama ditempati
oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak
membaca ayat-ayat al-Quran dan berdzikir sebelum waktu
salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang
berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Shuffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama
Nabi
ke
Madinah
dengan
meninggalkan

harta
kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup
sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di
atas bangku batu dengan memakai shuffah, (pelana)
sebagai bantal. Ahl al-Shuffah, sungguhpun tak
mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak
mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat
Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu
hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak,
Bojonegoro, 13 Februari 2012

1

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat
dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan
dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Shuf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang

ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian
mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain
wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu
domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta
kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah
yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari
dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam ruhani.
Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu
Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
Asal-Usul Tasawuf
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat
Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani
dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa
aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang
dari rahib-rahib
Kristen
yang mengasingkan diri untuk

beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir
Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu
bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah
mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan;
dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan
bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan
suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai,
walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka
menolong.
Pengaruh
filsafat
Yunani
dikatakan berasal dari
pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, ruh manusia
adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke
dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang
bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci
dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang
suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan
perhatian pada fllsafat

serta
ilmu
pengetahuan
dan
melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian.

Bojonegoro, 13 Februari 2012

2

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari
alam ruhani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa
nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk
dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, ruh yang
telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh
itu
dikaitkan

dengan filsafat emanasi Plotinus. Ruh memancar dari diri
Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi,
sama
dengan
Pythagoras, dia berpendapat bahwa ruh yang masuk ke dalam
tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan.
Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha
membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih,
ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat
bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat
dalam
ajaran
tasawuf. Paham itu memang bertentangan
dengan ajaran al-Quran bahwa ruh, sesudah tubuh mati tidak
akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai
dengan tubuh, ruh pergi ke alam barzah menunggu datangnya
hari perhitungan. Tetapi, konsep Plotinus tentang bersatunya
ruh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf
Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan
dari
konsep Nirwana.
Nirwana
dapat
dicapai dengan
meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan
menghancurkan
diri.
Ajaran menghancurkan
diri untuk
bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan
pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran
bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan
menjauhi
dunia
materi.
Dalam
tasawuf terdapat
pengalaman ittihad, yaitu persatuan ruh manusia dengan ruh

Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat
Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam.
Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang
terdahulu adalah
suatu
kemungkinan.
Tapi
pendapat
serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini
timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut di atas
tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri
Islam sendiri?

Bojonegoro, 13 Februari 2012

3

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012


Hakikat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada
Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali
dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut alQuran dan Hadis. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan,
"Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku
dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku
dipanggil."
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a,
tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk
melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata
lain,
ia berseru
agar
Tuhan
membuka hijab dan
menampakkan diri-Nya kepada yang berseru.
Tentang
dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan
Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di
situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini
mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai.

Tuhan dekat dan sufi tak
perlu
pergi jauh, untuk
menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa
dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan
manusia dan
Kami tahu
apa
yang dibisikkan dirinya
kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada
pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini
menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia,
tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis
mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui
Tuhannya."
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup
ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut

dipahami
kaum
sufi,
"Bukanlah kamu yang
membunuh mereka, tapi Allah-lah yang
membunuh
dan
bukanlah
engkau yang
melontarkan
ketika
engkau
lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. alAnfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia
dengan
Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa
Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada
makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada
mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku

Bojonegoro, 13 Februari 2012

4

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

ingin dikenal. Maka
Kuciptakan
mereka Aku-pun dikenal."

makhluk,

dan

melalui

Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk
bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan
Tuhan.
Kalau ayat-ayat di atas mengandung arti ittihad,
persatuan
manusia dengan
Tuhan,
hadis terakhir ini
mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi
menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan
juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini
tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim
dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan
banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu
melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami
persatuan ruhnya dengan ruh Tuhan; dan inilah hakikat
tasawuf.
Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke
tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu
dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahuntahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena
itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan
tasawuf. Jalan itu disebut thariqah (bahasa Arab), dan dari
sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi
kaum sufi ke dalam stasiun-stasiun yang dalam bahasa Arab
disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil
berusaha keras
untuk
membersihkan diri agar dapat
melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya. Sebagaimana
telah di sebut di atas penyucian diri diusahakan melalui
ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir.
Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat.
Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu,
terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah
pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat
dari dosa-dosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam
tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus

Bojonegoro, 13 Februari 2012

5

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia
telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari
perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah
nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas
dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa
lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini
memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia
pindah ke stasiun kedua, yaitu zuhud. Di stasiun ini ia
menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk
beribadat,
puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir. Puasanya yang
banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia
tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan
banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi
orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh
kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah
kebahagiaan ruhani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Quran dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak
bisa menggodanya
lagi, ia keluar dari pengasingannya
masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak
berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Quran dan berdzikir.
Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasiun wara'.
Di stasiun ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi
menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang
berisi syubhat.
Dari stasiun wara', ia pindah ke stasiun faqr. Di stasiun
ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya
sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak
meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke
stasiun sabar.
Ia
sabar
bukan
hanya
dalam
menjalankan perintah-perintah Tuhan yang
berat
dan
menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi
juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang
ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta

Bojonegoro, 13 Februari 2012

6

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu
datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya
ia
pindah
ke stasiun tawakkal. Ia
menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan.
Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada
untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia
selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak
mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada
makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasiun tawakkal, ia meningkat ke stasiun ridla.
Dari stasiun ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan
bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk
surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak
ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang.
Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di
dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah
dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu
melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu
dengan Tuhan.
Karena
stasiun-stasiun
tersebut
di
atas
baru
merupakan tempat
penyucian diri bagi orang yang
memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi
sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi
sufi setelah sampai ke stasiun berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.
Pengalaman Suf
Di masa awal perjalanannya,
calon
sufi
dalam
hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas
dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah
menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan
sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati
Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat
yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada
hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya
rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasiun ridla, rasa cinta
kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun
sampai ke stasiun mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan
arti
mahabbah
sebagai
berikut, pertama,
memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang

Bojonegoro, 13 Februari 2012

7

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Dikasihi. Ketiga,
Mengosongkan
kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

hati dari segala-galanya,

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan
dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta
Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat
54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu
umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya."
Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan,
"Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah
Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
Hadis juga menggambarkan cinta itu, seperti yang
berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku
melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Kucintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
Sufi yang masyhur dalam sejarah
tasawuf
dengan
pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah
al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam
kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari
Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka
dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta
adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi
kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula
karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena
cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja
Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena
Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal
itu dari pandanganku."
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku,
bintang di langit
telah
gemerlapan,
mata-mata telah
bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap
pecinta
telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada
di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima
aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga
aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang
akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku.
Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan
bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Bojonegoro, 13 Februari 2012

8

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah
yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang
ke hadiratMu,
Engkau harapanku, kebahagiaan dari
kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau."
Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan,
sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci
kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak
meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci
setan."
Cinta
tulus
Rabi'ah
al-'Adawiah
kepada
Tuhan,
akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang
berikut:
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut namaMu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasiun sesudah
mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasiun yang menjadi idaman
kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri
(w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang
dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena
cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir
dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi
pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi
pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun
ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab,
"Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan
sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu
Tuhan."
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh
ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan
tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan

Bojonegoro, 13 Februari 2012

9

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur
tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah
dan Tuhan menurunkan
rahmat-Nya
dari
atas.
Juga
dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah
dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai
alat
bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu
(jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya,
pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut
qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh.
Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan.
Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang
diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini
disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini
diperoleh
melalui
akal.
Dalam
pendapat
al-Ghazali,
pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
yaitu
'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai
ma'rifah,
keyakinannya untuk memperoleh
kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai
ma'rifah
dalam
literatur
tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang
terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata
kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya
Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke
cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang
dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu

Bojonegoro, 13 Februari 2012

10

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

bangun
hanyalah
Allah.
Keempat,
sekiranya
ma'rifah
mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap.
Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak
tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah
dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa
cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan
kalau sufi merasa tidak puas dengan stasiun ma'rifah saja. Ia
ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami
persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut
ittihad. Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid
al-Bustami
(w.
874 M).
Ucapan-ucapan
yang
ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad
diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang
pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya
untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang
umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia
ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia
baru sampai ke stasiun ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah
“hancur”,
sedangkan
baqa'
berarti
“tinggal”.
Sesuatu di dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu
yang lain akan baqa’ atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana’ dari kebodohan akan baqa’
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana’ dari maksiat
akan baqa, (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,
yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul
sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu
mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafzhi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi
terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an alnafs wa al-baqa’, bi 'l-Lah, dengan arti (bila) kesadaran tentang
diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Bojonegoro, 13 Februari 2012

11

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui
Tuhan melalui
diriku hingga aku hancur, kemudian aku
mengetahui-Nya
melalui
diri-Nya
dan
akupun
hidup.
Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi,
"Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian
Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup."
Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan
gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
Dalam
menjelaskan
pengertian
fana',
al-Qusyairi
menulis, "Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk
lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar
ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut
syathahât (jama’) – mufrad: syathhah -- (ucapan teopatis).
Syathahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai
berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku
hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."
Abu Yazid tobat dengan lafadz syathahât demikian,
karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi
dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan,
berhadapan
langsung
dengan
Tuhan
dan
mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat
cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina.
Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau
adalah Raja Maha Kuasa."
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam
Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku
tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari
Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan
yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu
dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk
sampai kepadaMu?"

Bojonegoro, 13 Februari 2012

12

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah."
Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami
fana’, baqa' dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan
kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan ke
hadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin
melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin
melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak
berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata,
telah
kami lihat
Engkau.
Tetapi
yang
mereka lihat
sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di
sana."
Dialog
antara
Abu
Yazid
dengan
Tuhan
ini
menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan
Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya
ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan.
Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaanMu." Permintaan Abu
Yazid
dikabulkan Tuhan dan
terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata
berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah
makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau
adalah aku dan aku adalah Engkau."
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad,
yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai
aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai
Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku
menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan di atas
adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (fa
qultu bihi).
Kata-kata
bihi
-melalui
diri-Nyamenggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, ruhnya
telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada
hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu"
bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Bojonegoro, 13 Februari 2012

13

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata
yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai shalat subuh,
mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku,
Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku,
maka sembahlah Aku."
Dalam
istilah
sufi,
kata-kata
tersebut
memang
diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia
mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa
terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah
ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih
bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa
terbesar tersebut di atas akan membuat Abu Yazid jauh dari
Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka
dalam
pengertian sufi, kata-kata di atas betul keluar dari mulut Abu
Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya
Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan,
"Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha
Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu
Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid
bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang
diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan
adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang
berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena
dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya
dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana
'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut
ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit
untuk bersatu
dengan
Tuhan,
al-Hallaj
mengalami
persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur
tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat
ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh itu dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep fana’, yang dialami Abu
Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-

Bojonegoro, 13 Februari 2012

14

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Hallaj,
manusia
mempunyai
dua
sifat
dasar:
nasut
(kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan
mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia samasama mempunyai sifat diambil dari hadis yang menegaskan
bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadis ini mengandung arti bahwa di dalam diri Adam
ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.
Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair
al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Dengan membersihkan diri malalui
ibadat
yang
banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahutnya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam
diri sufi dan terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan di atas itulah
lidah al-Hallaj
mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang
Maha Benar).
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu
tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi
Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan

Bojonegoro, 13 Februari 2012

15

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

melalui lidah
mengatakan,

al-Hallaj.

Sufi

yang

bernasib

malang

ini

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
Syathahat atau ucapan
teopatis sufi
seperti
itu
membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari
ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan
Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas
ibadat, tidak menangkap pengalaman
sufi
yang
mementingkan hakikat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan
diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah
Islam
memang
terkenal
adanya
pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakikat,
gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini
mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya
bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran yang
menyakinkan. Al-Ghazali
menghalalkan
tasawuf
sampai
tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak
mengharamkan tingkat fana', baqa’, dan ittihad. Ia tidak
mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan alFarabi dan Ibn Sina.
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam
Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa
al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy alDin Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal
yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam
pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek
batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek
luar
yang
merupakan aksiden
disebut al-khalq. Semua
makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek
batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu
wujud al-haqq.

Bojonegoro, 13 Februari 2012

16

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadis yang telah
dikutip pada permulaan, pada
awalnya
adalah
"harta"
tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya
makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam
sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari
Tuhan. Alam sebagai cermin yang di dalamnya terdapat gambar
Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan.
Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud
Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai
bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam
ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi
pada hakikatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang
yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan
di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di
dalam cermin, dirinya kelihatan
banyak,
tetapi
pada
hakikatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak
adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran
wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan “panteisme” dalam arti
bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa
Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi
Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan
adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di
luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya
merupakan
penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran
wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini
selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang
dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (13661428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan
diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), Ahadiyah,
Huwiyah dan Aniyah.
Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya baru
keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat.
Pada tahap huwiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi
masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan
menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada
makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri
manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Bojonegoro, 13 Februari 2012

17

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Sungguhpun
manusia
merupakan
tajalli
atau
penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara
semua
makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada
semua
manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan
Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil,
seorang sufi
mesti
mengadakan
taraqqi (pendakian) melalui tiga
tingkatan: bidayah, tawassuth dan khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama
Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan
menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih,
Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat
tawassuth, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat,
ilmu, qudrat, dan sifa-sifat lainnya.
Dan Tuhan ber-tajalli
pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat
khitam, sufi disinari “dzat Tuhan” yang dengan demikian sufi
tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun
menjadi Insan Kamil.
Ia menjadi
manusia
sempurna,
mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat
bentuk (shurah)
Allah.
Dialah bayangan Tuhan yang
sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara
manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para
Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang
tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul
yang mengandung pengalaman persatuan ruh manusia dengan
ruh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti
penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam
diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya
mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang
dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar
untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat
besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul
pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh
Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada
abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415
M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan
Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan
Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di

Bojonegoro, 13 Februari 2012

18

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam
tarekat,
ajaran-ajaran sufi besar tersebut
terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari
tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada
dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran
dasar sufi
dan
syari'at
Islam,
sehingga timbullah
pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat
yang
menekankan
pentingnya kehidupan ruhani dan mengabaikan kehidupan
duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi,
sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang
dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap
tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,
tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat
Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin
mendapat dukungan dari
masyarakat
menjadi
anggota
tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat
Bekhtasyi
dan
dalam perlawanan
mereka
terhadap
pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat
sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi
akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat
Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai
sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpinpemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin
Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal
Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang
membawa kepada kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini
dilanda
oleh
materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang
pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi
meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan
kembali “spiritualisme”. Disini tasawuf dengan ajaran
keruhanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan
penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam
diri
para pengikutnya
adalah
penyucian
diri
dan
pembentukan akhlak mulia di samping keruhanian dengan
tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

Bojonegoro, 13 Februari 2012

19

Kuliah Tasawuf/STAI/Semester Ganjil/2011-2012

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orangorang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari
hidup keruhanian di Timur. Ada yang pergi ke keruhanian
dalam agama Buddha, ada ke keruhanian dalam agama Hindu
dan tak sedikit pula yang mengikuti keruhanian dalam agama
Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
Dalam hubungan itu kira-kira 30
tahun
lalu,
A.J.
Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan
bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena
itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk
mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah
meninggalkan
pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersamasama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi
yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari
nilai-nilai keruhanian dan moral zaman yang penuh kegelapan
dan tantangan seperti sekarang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,
1963.
Badawi, A.R., Syathahât al-Shûfiyyah, Cairo, al-Nahdah alMisriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de
Gallimard, 1964.

la

Philosophie

Bojonegoro, 13 Februari 2012

Islamique,

Paris,

20