Mata Kuliah Semester I ILMUTASAWUF

TASAWUF
Rangkuman ceramah mingguan oleh:
Bp. Achmad Chodjim
http://www.geocities.com/sus_tuntang/hakikat_tasawuf.doc
http://www.geocities.com/sus_tuntang/paradigma_dan_masa_depan_islam.rtf
Bagian ke-1
Di atas tahun 80-an tasawuf atau sufisme menjadi nge-tren di dunia. Bahkan di Indonesia
setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar dan kursus-kursus tentang
tasawuf diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung mewah. Lebih-lebih dalam
suasana krisis, tasawuf semakin dicari orang.
Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari semakin banyak buku tasawuf yang
dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan
dari buku-buku tasawuf yang berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab.
Dan sekarang bisa kita jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000
tahun yang lalu.
Mengapa sekarang ini tasawuf semakin diminati orang? Manusia modern sebenarnya
manusia yang mengalami alienasi (keterasingan) jiwa. Persaingan dalam berebut benda
ternyata melelahkan pikiran. Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam
kehidupan modern, manusia sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu.
Yaitu, kebahagiaan yang direkayasa, bukan kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri
manusia itu sendiri. Dalam kehidupan modern manusia diiming-iming dengan status,

posisi, sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran manusia melekat
pada topeng-topeng ini. Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia merasa
terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa diri. Nah,
untuk menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke berbagai macam
hiburan dari yang ringan hingga yang paling berat yaitu “narkoba”; dan ada pula yang
mencari solusi damai dengan mengikuti kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata.....,
yang dirasakan bersentuhan langsung dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah
sebabnya tasawuf sekarang ini banyak diminati orang, baik oleh orang-orang Islam
sendiri, maupun orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun Amerika sekarang
ini banyak orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf.
Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kecemburuan di kalangan umat Islam formalis, yaitu
orang-orang Islam yang lebih berpegang teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat.
Menghadapi perkembangan yang pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor.
Karena itu beberapa orang (tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang
isinya mengecam ajaran tasawuf, bahkan ada yang tega memfitnah bahwa ajaran tasawuf
itu bid’ah dan menyesatkan manusia.

Orang yang membid’ahkan tasawuf adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran
tasawuf, pada pokoknya mereka tidak memahami ajaran Islam secara menyeluruh.
Mereka menganggap tasawuf itu lahir dari kalangan luar Islam. Untuk membuktikan ini

mereka cari-cari definisi kata tasawuf, yang katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al
Hadis. Jadi, mereka lebih disibukkan mencari kulit daripada mencari isi atau substansi
ajaran. Jika saja mereka sadar bahwa apa yang diajarkan oleh tasawuf itu budipekerti atau
akhlak yang diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan berhenti membid’ahkan
para sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh Rasul dalam kesederhanaan
hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam menyumbangkan hartanya, apa
yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab dalam istana gubuknya, serta apa yang
dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam menegakkan keadilan, itulah yang disebut tasawuf!
Landasan tasawuf adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melakukan zikir
sebanyak-banyaknya, dan akhirnya menjadi hamba manifestasi Ilahi, yang dalam ajaran
tasawuf Jawa disebut “manunggaling kawula klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan.
Marilah kita simak dalil-dalil Qurani dan Al-Hadis di bawah ini.
1. Surat Ali Imran/3:31,
Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi-‘uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum
dzunuubakum wallaahu ghafuurun rahiim.
Katakan, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu
dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah,”
2. Surat Al Baqarah/2:115,
Wa lil-laahi l-masyriqu wa l-maghribu fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi
innallaaha waasi-‘un ‘aliim.

“Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan Barat itu. Karena itu, kemana saja kamu
menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha
Mengetahui.”
3. Surat Al Ahzab/33: 41 ? 43,
Yaa ayyuha l-ladziina aamanu dz-kuru llaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukratan
wa ashiila. Huwa l-ladzii yushallii ‘alaikum wa malaa-ikatuhuu li yukhrijakum mina zhzhuluumati ila n-nuuri wa kaana bi l-mu’miniina rahiima.
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbihlah kepada-Nya pagi dan petang. Dia-lah yang melimpahkan rahmat kepadamu,
begitu pula para malaikat-Nya, dengan maksud mengeluarkan kamu dari kegelapan
menuju kehidupan yang bercahaya; dan Dia menyayangi orang-orang yang beriman.”
4. Surat Qaaf/50:16,
Wa laqad khalaqna l-insaana wa na‘lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu
ilaihi min habli l-wariid.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang
dibisikkan oleh jiwanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Untuk bagian pertama ini, kita cukup mengupas dan mengulas enam ayat lebih dulu.
Enam ayat inilah yang dijadikan landasan awal dalam hidup bertasawuf. Jika

diumpamakan orang naik tangga, maka harus melalui tangga dasar yang kokoh. Dengan
fondamen yang kokoh inilah para ahli tasawuf mengembangkan Agama Islam. Dan dari

sejarah diketahui bahwa perintis Islam di seantero jagat adalah para sufi, orang-orang
tasawuf. Mereka inilah yang memperkenalkan Islam dengan hikmat dan pelajaran yang
baik.
Baru kemudian diisi oleh kalangan formalis. Umumnya kalangan formalis menjumpai
kegagalan dalam mengembangkan Agama Islam. Mengapa demikian? Karena oleh
kalangan formalis, syariat Islam itu dikonfrontasikan dengan adat-istiadat atau budaya
setempat. Sehingga mereka dijauhi oleh umat. Lihat saja bulan Ramadhan kemarin, demi
khusyuknya pelaksanaan ibadah puasa, pihak-pihak yang merasa sangat formalis ini ribut
menutup kafe, restoran, dan intinya meminta orang menghormati puasa. Lho, beragama
itu seharusnya tidak untuk minta dihormati. Orang harus menjalankan agama dengan
santun Sehingga agama itu bisa memikat hati orang yang melihatnya.
Jika kita memahami landasan pada ayat pertama, maka harapan orang bertasawuf adalah
‘mahabbah’ atau jatuh cinta kepada Allah. Tentu saja untuk mencintai Allah Yang Maha
Gaib itu, manusia harus mempunyai pedoman. Dan yang menjadi pedoman itu adalah
“ittiba‘” atau mengikuti Rasul. Ketika Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah umat,
maka mengikuti Rasul berarti secara langsung mematuhi perintah dan larangannya secara
aktual. Namun, setelah secara fisik beliau tidak ada di tengah-tengah umat, beberapa
sahabat berusaha untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul.
Abu Bakar tampil sebagai seorang khalifah yang sederhana. Harta-bendanya didermakan
untuk kepentingan umat. Dia tidak menyisakan kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia

dibaiat sebagai khalifah, dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya
menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan bila tidak taat, maka tak ada keharusan bagi kalian
untuk menaatiku.” Suatu pidato pengukuhan yang pendek, tetapi tegas. Mungkin setelah
itu tak ada keberanian bagi seorang penguasa mengucapkan demikian. Bahkan kalimat
yang pertamanya adalah, “Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya
bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” Juga suka mengganjal perutnya jika
kelaparan, sebagaimana yang diteladankan Nabi. Dia lebih suka memilih demikian
daripada makan makanan yang tidak tahu halal dan haramnya.
Ijtihad mulai dilakukan oleh Umar. Umar menampilkan diri sebagai seorang khalifah
yang amat sederhana. Administrasi militer dan pemerintahan ditegakkan. Penguasaan Al
Quran lebih didorong, sedangkan catatan-catatan yang disebut Hadis Nabi dimusnahkan.
Hal ini dia lakukan agar umat bersemangat dalam mempelajari Al Quran. Karena akhlak
Rasul Allah s.a.w. adalah Al Quran itu sendiri (Al Hadis, sumber Aisyah). Meskipun
sebagai kepala pemerintahan dia berhak mendapatkan istana gedung dan pengamanan
dirinya, tetapi dia meilih tinggal di gubuk beratap rumbai. Meskipun malam banyak jaga
untuk berzikir, siangnya tetap bersemengat dalam mengendalikan pemerintahan.
Utsman diangkat sebagai khalifah yang ke tiga. Di zaman pemerintahannya berkecamuk
berbagai fitnah dan hasudan. Kelembutan jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau
menggunakan tindak kekerasan dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah.


Seandainya harus terjadi pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus
tertumpah, dan bukan darah kaum muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya
sambil menghunus pedang, sedangkan baginya terbuka untuk menumpasnya, dia tetap
menolak untuk melakukan pembasmian itu dengan ucapan: “Saya tak mau menemui
Allah sedang di pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.”
Khalifah Ali mewarisi pemerintahan yang penuh kekacauan. Namun dia hadapi semua itu
dengan penuh ketenangan. Meskipun para pejabatnya menyediakan istana negara yang
megah dan besar, dia menolaknya untuk menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang
seorang presiden harus meninggalkan istana negara. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa
seorang kepala negara harus memperhatikan keadaan warganya. Para khalifah adalah
orang-orang yang lebih mementingkan umatnya daripada dirinya. Karena itu Ali pun
lebih memilih cara-cara yang layak sesuai kondisi rakyat. Dia memberi petunjuk orangorang yang melakukan kesalahan, dan memberi bantuan kepada yang lemah. Meskipun
sebagai khalifah, suatu saat Ali tetap membawakan barang kebutuhan orang-orang tua
yang dia jumpai. Ketika sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih
bawaan itu, Ali menolak sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan
bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka
bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al
Qashash/28:83)
Ketika di Syam, Muawiyah menghasut masyarakat untuk mencaci maki dan mengutuk
Ali, di Kufah khalifah mencegah rakyatnya untuk membalas mencaci maki Muawiyah,

dan menimnta rakyatnya untuk berdoa: “Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah
mereka, persengketaan kami dengan mereka.”
Nah, demikianlah para sahabat besar itu memberikan keteladanan hidup sebagaimana
yang diajarkan oleh Nabi. Semua bentuk akhlak yang mereka tampilkan itu sebagai
wujud kecintaan mereka kepada Allah dengan cara mengikuti keteladanan Rasul Allah.
Harapan mereka adalah ampunan atau perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam.
Keteladanan-keteladanan yang mulia inilah yang diwarisi oleh mereka yang memilih
jalan kesufian. Mereka tak mau bid’ah-membid’ahkan sesama umat. Mereka memberikan
contoh yang bisa menentramkan hati orang yang sedang gundah.
Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang non-muslim dengan sepenuh hati, tanpa meminta
mereka pindah agamanya. Mereka, para murid yang terdiri dari orang-orang Muslim dan
non-muslim, diperlakukan sama baiknya. Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS
2:255) dipraktikkan dengan benar. Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang
tertarik dan pindah ke Islam, ya diterima dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya
ya tetap dipuji. Dengan cara ini, orang-orang Turki yang semula hanya 20% penduduknya
yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya dengan kesadarannya
sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga di akhir hayatnya,
ada 60% penduduk yang beragama Islam.
Sejarah para wali di Jawa sebenarnya juga demikian. Islam diterima di Jawa dengan
penetrasi damai. Walaupun tidak menutup mata bahwa ditingkat kekuasaan negara, para


wali itu pun berebut pengaruh. Dan hal ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma
Sunan Kalijaga. Namun, di hadapan umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang
menyejukkan rakyat. Mereka tetap mencoba memberikan langkah-langkah dalam
kedamaian hidup di dunia ini.
Kesederhanaan masjid-masjid yang di nusantara sebenarnya menunjukkan bahwa yang
membawa ajaran Islam adalah mereka yang berperilaku hidup tasawuf. Adanya Islam
“wetu telu” atau shalat di tiga waktu yaitu subuh, zuhur dan magrib, di Lombok ke timur
dan di Talaud di Sulut menunjukkan yang memperkenalkan Islam itu para sufi. Para ahli
tasawuf ini tak mau unjuk kesombongan. Jadi, secara gradual mereka menyemai Islam
dengan cara damai.
Hidup bertauhid seperti ayat nomor 2 di atas sangat ditekankan. Kemana saja manusia itu
memalingkan dirinya, niscaya ia tetap menghadap Wajah Allah. Sekali lagi, menghadap
Wajah Allah! Hal ini harus dipahami benar, mengapa tidak dinyatakan “menghadap
Allah” saja, melainkan menghadap Wajah Allah. Karena, apa saja yang ada di penjuru
mata angin, bukanlah Allah. Islam tidak mengajarkan pantheisme, bahwa Allah adalah
keseluruhan alam ini. Islam mengajarkan bahwa semua ini ada karena dihadirkan oleh
Allah. Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, kemana saja kita
menghadapkan diri kita, di situlah kita melihat kehadiran Allah. Tanpa Dia tak akan ada
wujud alam semesta ini. Wujud alam ini menunjukkan kehadiran-Nya. Karena itu

kemana kita memandang, maka yang kita pandang adalah Wajah Allah.
Dengan fundamen yang kokoh itu, layaklah sebagai hamba kita diseru untuk senantiasa
berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbih dari pagi hingga petang.
Dengan lain kata, berzikir kepada Allah yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari.
Hal ini dimaksudkan agar nurani kita semakin tajam dalam hidup ini. Sehingga kita bisa
keluar dari kegelapan hidup ini menuju daerah kehidupan yang terang, yang bercahaya,
yang transparan. Jika hidup ini bisa kita jalani dengan Ajaran yang mulia ini niscaya kita
tidak timbul saling curiga dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang dicintai, yaitu Allah. Bertasbih adalah
tindakan untuk menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan untuk
menjauhkan diri dari segala yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih Allah. Jadi,
bertasbih alias memahasucikan Tuhan, bukanlah cuma mengucap “subhaanallah”. Tetapi
ia merupakan perbuatan yang nyata-nyata untuk menjauhkan segala sifat yang tidak patut
diatributkan kepada Tuhan. “Subhaana rabbika ammaa yaashifuun,” Mahasuci Tuhan
engkau dari apa yang mereka sifatkan.
Semua perbuatan bajik itu ditunaikan oleh orang-orang yang mencintai Tuhan karena
mereka sadar bahwa Kekasih mereka itu selalu mengawasi mereka. Mereka merasa hidup
ini dalam pengawasan Tuhan. Para pencinta itu tak ingin ditinggalkan oleh Sang Kekasih.
Mereka sadar bahwa kehadiran Sang Kekasih itu lebih dekat kepada jiwa-jiwa mereka
daripada urat nadi leher mereka. Bisikan sekecil apa pun kepada jiwa mereka pasti

diketahui. Ada prinsip transparansi dalam akuntansi kehidupan ini.

Bagian ke-2
Pada bagian ke satu, telah dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai
berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu
dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”
Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti”
dan “meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau
“ittiba‘”, bukan meniru. Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah
sebuah kepribadian yang bisa tumbuh dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang
dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak” yang
sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam bahasa
agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”.
Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanakkanak belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam
proses pendewasaan pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya.
Ia belum bisa mengerti alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di
sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia akan memelihara
janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang paling konkret dalam
bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan oleh para remaja adalah
produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa dan tua,

mungkin seumur hidupnya.
Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau
ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini
kita mengaji Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau
“justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini
jarang sekali yang menelaah Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang
berupa perbuatan etika (sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat
hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam 1.000
tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi
umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat.
Mengapa demikian? Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang
tumbuh dari peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang
beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya)
sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak
sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang salah. Ia
merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi atau
paham mursyid, gurunya.
Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk
mencari hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan
pelajaran hikmah atau “wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang,

karena itu marilah kita cari, dan di mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita
ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk menemukannya.
Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah yang diberikan
kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa
lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.
Surat Al Baqarah/2:269,
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang
menerima hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat
memahami pelajaran kecuali kelompok albab.”
Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan
“kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik,
rahmat, keistimewaan, keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai
status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling kawula-Gusti” adalah proses pencarian
hikmah. Dan seperti yang telah saya jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya,
kalimat “siapa yang dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang.
Arti yang sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendakiNya. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka
semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang telah
berjuang keras mencari-Nya.
Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk
memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari
Allah kepada hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai
hamba-Nya maka ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa
hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor,
tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba
dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga dosa
atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.
Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka
ujung ayat 2:269 adalah “Tak ada yang dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan,
kecuali kaum albab. Kaum albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan
kepala, hati dan otak, atau perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak menerima
hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan
senantiasa merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayangNya, yang dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan
dengan cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.
Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan
tindakan menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang
memiliki pengertian yang salah tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah
sering disamakan dengan Al Quran, sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah

Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan menjadi sekadar sebuah Kitab Suci.
Inilah kesalahan yang sangat fatal.
Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci
hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohonpohon di muka bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis
kalam Tuhan. Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari
kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan
pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak
akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut.
Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,
“Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada
kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bi mitslihii madadaa.”
“Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat
Tuhanku, niscaya air laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan;
bahkan jika ditambahkan sebanyak itu.”
Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmuNya. Dan, keluasan Allah di banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya,
yaitu “Innallaaha waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha
Mengetahui. Nah, belajar tasawuf sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai
Allah dan mendekatkan diri ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang
Maha Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan waktu.
Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab,
lebih tepatnya Arab Qureisy.
Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul adalah manusia yang diutus
untuk mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya
dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim
bi mushaithir”, Sampaikan ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang
menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah orang yang ditugasi untuk menguasai
mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk
menyampaikan ajaran, karena ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.
Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia?
Jadi, di dalam mengajarkan kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan
contoh-contoh yang pas bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan
daya tangkap dan tingkat kecerdasan orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis
itu sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang dihadapi
oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus ditempatkan
sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi. Masalah
dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup
manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada Nabi,

bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau contoh-contoh
yang baik dalam memberikan solusi.
Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah masalah psikologis, masalah yang
terkait dengan faktor kejiwaan. Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem
yang muncul dari jiwanya. Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk
memberikan jawaban bagi jiwa manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan
dapat menemukan jalan hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya,
dan daya tangkap dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang
bersifat sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang tertentu saja.
Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada Abubakar
dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah s.a.w.
Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang
tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap
spekulatif. Dan, akhirnya mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung
dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan bagi orang-orang yang berkewajiban
mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak mau mempelajarinya untuk menemukan
hikmah yang terkandung di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai keledai
yang mengangkut kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi
petunjuk bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma
dibawa secara fisik, cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil
akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang lalim,
“Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat tersebut.
Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu
Allah memerintah Rasul untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan alhikmah dan pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘,
mengikuti ajaran beliau. Dan beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran
beliau diperintah untuk menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah dan pengajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut,
“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii
hiya ahsanu inna rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi lmuhtadiin.”
“Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan
mauizhah yang baik. Dan berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya.
Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya
dan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita pahami kandungannya.
Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk
mengajak manusia ke jalan Tuhan. Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa
ajakan tidak sama dengan paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini

tampak sekali adanya paksaan untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri
menyebut bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas.
Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan
dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas atau
kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan hukum
dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita harus
memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan
Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan.
Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah
Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya.
Ciptaan adalah sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendakNya ada tanpa proses kejadian. Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu
jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah
ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya yaitu
“subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang disebut
“shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan
petunjuk ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan.
Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau
“wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena
hikmah bukan materi atau sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata
“hukum”, karena itu hikmah merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di
dalam Al Quran, surat Al Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi,
memperoleh hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh
lebih kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud
itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang tampak,
maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda
bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel, ya
Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi hikmah
namanya. Karena itu hikmah harus digali dan dicari. Tetapi hikmah tak akan kita
dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan.
Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan
mau-izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan
nasihat atau peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan
peringatan. Dan itu pun harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak
melalui jalan Tuhan. Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka
yang diajak akan ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan
tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan masuk dengan puas.
Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu
minta penjelasan dan bahkan membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus
disertai argumen atau bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi
yang lebih baik. Sehingga yang diajak tidak tersinggung hatinya.

Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa
Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat
itu dinyatakan “Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak
kepada jalan Tuhan itu yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk
mengajak kepada jalan Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga.
Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu. Dengan
demikian tidak timbul debat kusir.
Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah dicermati bahwa orang yang diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang
mau mengikuti, maka selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan
bimbingan. Dengan cara ini terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara
dalam pergaulan hidup, sama-sama berada di jalan Tuhan.
Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah
dalam kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk
mencari surga atau karena takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan,
rahmat, keuntungan, “advantage” yang banyak. Sekian pelajaran hari ini, semoga
bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3.
Bagian ke-3
Telah dijelaskan bahwa ajaran tasawuf adalah untuk menggapai hikmah Ilahi, yang pada
akhirnya mampu kembali kepada Allah. Dia adalah asal segala keberadaan, baik yang
kasat mata maupun yang gaib. Alam semesta ini tumbuh dari wujud yang paling
sederhana, yang disebut titik singularitas. Pada suatu masa yang sangat mampat,
meledaklah titik singularitas itu. Ilmuwan fisika menamai ledakan ini dengan “big bang”,
atau “ledakan besar”. Segala sesuatu ini memang berasal dari titik tunggal seperti yang
diungkapkan pada QS 21 : 30, “Dan apakah orang-orang yang ingkar itu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu dahulunya satu yang padu. Lalu
Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari “zat cair”.
Maka apakah mereka tetap tidak beriman?”
Di antara mufasir Al Quran ada yang mengatakan bahwa “samawat” adalah semua ruang,
dan “ardh” adalah materi. Dengan demikian ayat tersebut di atas diterjemahkan menjadi
“sesungguhnya ruang dan materi itu dahulunya sebagai wujud yang satu”. Lalu, apa
hubungannya ayat ini dengan bahasan tasawuf kita? Ya, ayat ini sebenarnya mengingatkan kita bahwa semua keberadaan ini berasal dari “SATU” wujud. Dari situlah
adanya matahari, planet-planet, rembulan, dan semua bintang yang bermilyar-milyar
banyaknya itu. Dan di planetlah tumbuh kehidupan, yang berevolusi dari kehidupan satu
sel hingga menjadi makhluk milyaran sel yang sangat kompleks yang disebut manusia.
Semua makhluk, kecuali manusia, menempuh kehidupannya sesuai dengan komando
Tuhan semesta alam. Manusia dalam perjalanan sejarahnya akhirnya menemukan kebebasan dirinya. Manusia tidak lagi tunduk kepada hukum alam, tetapi berusaha mengatasi

alam. Karena itu pada akhirnya manusia dipilih menjadi “khalifatullah fil ardh”, yaitu
wakil Tuhan di bumi. Jadi manusia itu bukan “penguasa bumi”, tetapi wakil-Nya di bumi.
Sebagai “wakil” tentu manusia harus bisa bertemu dengan-Nya untuk mempertanggungjawabkan amanat yang diembannya. Dan sudah menjadi “janji” Tuhan bahwa setiap
orang pada akhirnya dapat menemui-Nya!!
Perhatikan QS 84:6-9,
“Hai manusia sesungguhnya engkau telah berusaha sungguh-sungguh menuju Tuhan
engkau, dan engkau niscaya menemui-Nya. Dan orang yang menerima rekaman pada
tangan kanannya, maka ia mendapatkan penilaian yang baik. Dan ia akan kembali kepada
keluarganya dengan gembira.”
Jadi, kapan seseorang bertemu dengan-Nya? Yaitu, ketika orang itu sudah bisa
menyucikan dirinya, yang pada ayat tersebut dikatakan sebagai ‘menerima rekaman
amalannya pada tangan kanannya’. Tentang ayat 9 yang menyatakan kembali kepada
keluarganya dengan gembira, tidak kita bahas sekarang ini. Bertahap supaya kita tidak
bingung! Yang jelas, untuk bisa bertemu dengan-Nya, kita harus sungguh-sungguh
mencari-Nya. Agar kita bisa mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang kita emban,
yaitu tugas untuk “hamemayu ayuning bawana”, menciptakan kebaikan dan keindahan di
bumi ini. Sehingga pada QS 21:105 disebutkan oleh Tuhan bahwa bumi ini akan diwarisi
oleh hamba-hamba-Nya yang saleh, hamba yang berbuat kebajikan, yaitu sebagai lawan
dari orang-orang yang membuat kerusakan di bumi. Hal inilah yang disinggung dalam
surat al-Baqarah/2:11, “Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir):
‘Jangan membuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang saleh.’” Jadi, kesalehan adalah lawan dari kekafiran.
Mencintai-Nya, tentu diikuti dengan tindakan mencari-Nya. Omong kosong, orang yang
mengatakan ‘mencintai’ Dia tanpa ada keinginan untuk bertemu dengan-Nya! Tapi
bagaimana mencari-Nya, wong Dia itu tak tertangkap oleh indera kita. Dia memang
Maha Besar, Allaahu Akbar, tetapi Dia juga Maha halus, wa huwa lathiif. Dikonfirmasi
dalam surat al-An-‘aam/6:103, “Dia tidak dapat dicapai oleh indera, sedangkan Dia
meliputi indera. Dia Maha Halus dan Maha Menyadari.” Karena Dia tidak tertangkap
oleh indera itulah, Allah memerintahkan manusia untuk berittiba’ atau mengikuti RasulRasul-Nya, yang untuk umat Islam berittiba’ kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Rasul adalah juga manusia seperti kita. Ia manusia yang makan, minum, dan bekerja
layaknya manusia biasa. Sebagian besar dari rasul justru memilih kehidupan berkeluarga.
Namun mereka itu manusia yang mempunyai kualitas lebih dari kebanyakan manusia.
Yang jelas semua rasul/nabi tahan menderita. Semangat hidupnya tinggi. Makan, minum,
dan tidurnya relatif sedikit. Mereka terpanggil untuk mewartakan jalan hidup yang benar.
Mereka bahkan tidak hanya mewartakannya, tetapi membawa dan menggembalakan umat
manusia. Tentu saja sifat jujur, tepercaya, cerdas, dan menyampaikan kebenaran itu
adalah sifat mereka. Nah, di antara para rasul dan yang menjadi penghulu para nabi
adalah Nabi Muhammad s.a.w.

Muhammad memiliki keteladan yang baik bagi umat manusia yang mendambakan Allah
dan Hari Akhir dan banyak berzikir kepada Allah (QS 33:21). Seperti yang telah
dijelaskan di bagian ke-2, mengikuti keteladanan tidak sama dengan meniru. Meniru
adalah proses pendewasaan tahap awal seorang anak manusia. Sedangkan mengikuti
keteladanan, termuat usaha untuk mengerti apa yang diteladankan. Mengikuti juga tidak
sama dengan “sekadar ikut” atau menyertai. Dalam tindakan mengikuti, terdapat proses
menyempurnakan diri. Ada upaya untuk mengadopsi dan mengadaptasi. Mengapa
demikian? Karena keteladanan dari seseorang tak lepas dari budayanya. Pakaian gamis
tentu sangat cocok dengan budaya padang pasir. Namun kata “gamis” tersebut di negara
Spanyol ketika dikuasai oleh Bani Umayyah, berubah menjadi kamisa dan akhirnya
kemeja seperti yang kita kenal di Indonesia.
Untuk mengikuti Nabi, manusia diperintah untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Selama
beliau di Mekah, wahyu yang memuat kalimat perintah “athii-‘uu” hanya ada di surat
Thaahaa/20:90. Dan itu pun mengabarkan perintah Nabi Harun a.s. kepada umatnya.
Sedangkan kalimat perintah “athii-‘uuni”, patuhilah aku, hanya ada di surat asySyu-‘araa, yaitu surat ke-26 pada ayat 108, 110, 126, 131, 144, 150, 163, 179; dan surat
ke-43 (az-Zukhruf) ayat 63, serta surat Nuh/71:3. Dan semua perintah “patuhilah aku”
pada semua ayat tersebut adalah perintah nabi-nabi, seperti Nuh, Shaleh, Hud, Syuaib,
Luth dan Isa, kepada umat beliau masing-masing. Perintah “patuh kepada Allah dan
Rasul” baru muncul pada periode Nabi s.a.w. di Madinah
Ada 13 ayat Madaniyah yang memerintahkan manusia untuk patuh kepada Allah dan
Rasul, yaitu ayat 3:32,132, 4:59, 5:92, 8:1,20,46, 24:54,56,47:33, 58:13, 64:12,16. Jika
ayat-ayat Makiyah menegaskan bahwa Rasul itu sebagai penyampai Ajaran Tuhan, maka
ayat-ayat Madaniyah memberitahukan bahwa Rasul juga Pemimpin umat yang harus
dipatuhi. Apa yang disampaikan di Mekah adalah Ajaran yang universal dari Islam,
sedang yang di Madinah lebih spesifik sebagai solusi bagi kehidupan masyarakat Arab
pada waktu itu. Hal itu jelas sekali bila kita memperhatikan hukum-hukum yang tertera
pada 5:89-91, yang mendahului perintah ketaatan kepada Allah dan Rasul pada 5:92.
Demikian pula jika kita memperhatikan perintah tentang kepatuhan kepada Rasul dalam
surat al-Anfaal (Rampasan Perang). Perintah itu sangat erat kaitannya dengan
peperangan, agar pasukan tentara yang dipimpin Nabi tetap solid (bersatu), teguh dan
tetap mengikat tali persaudaraan orang-orang beriman. Pada intinya semua ayat tersebut,
kecuali 64:12-16, menjelaskan kepatuhan umat kepada Rasul ketika beliau ada di tengahtengah mereka. Nah, sejak 632 M secara fisik beliau sudah tidak hadir di tengah-tengah
umat. Kehadiran beliau di tengah-tengah umat bersifat ruhaniyah. Dengan demikian, taat
kepada Allah Yang Maha Gaib itu dan taat kepada Rasul dalam keadaan gaib, merupakan
kepatuhan yang bersifat spiritual.
Kepatuhan spiritual, yang di dalam bahasa tasawuf Jawa sebagai “Sembah Jiwa”, adalah
jalan kepatuhan terakhir untuk memasuki tingkat kerohanian tertinggi, yaitu alam
nubuwat atau “kenabian” seperti yang dinyatakan pada surat an-Nisa’/4:69. Yang di
dalam ayat itu disebutkan bahwa orang-orang yang mendapat anugerah kenikmatan dari
Tuhan adalah para shalihin, para syuhada’, para shiddiqin, dan para nabi. Yang dimaksud

dengan para nabi, tidak berarti mereka yang menyatakan dan dinyatakan sebagai “nabi”
dalam bahasa Arab, tetapi semua orang yang menjadi “ahli waris kenabian” yaitu mereka
yang disebut ulama, baik dalam Al Quran maupun Al Hadis (al-‘ulamaa-u waratsatu lanbiyaa’, ulama itu ahli waris para nabi). Yang saya maksud dengan ulama di sini, bukan
sebutan ulama yang ditempelkan pada orang tertentu. Tetapi orang-orang yang ada di
barisan para nabi Allah. Ulama demikian inilah yang dikabarkan dalam surat ar-Ra’d
(guruh)/13 : 7,
“Wa yaquulu l-ladziina kafaruu laulaa unzila ‘alaihi aayatun min rabbihii innamaa anta
mundzirun wa li kulli qaumin haaad.”
Berkatalah orang-orang yang ingkar (kafir) itu, “Mengapa tidak diturunkan suatu
mukjizat dari Tuhannya kepada Muhammad?” Engkau (Muhammad) sesungguhnya
salah seorang yang memberi peringatan! Dan setiap kaum itu ada orang yang memberi
petunjuk (Haad).
Jadi, jelas bahwa orang yang senantiasa terpanggil untuk memberi peringatan dan
petunjuk tentang jalan hidup yang benar dalam suatu kaum itu selalu ada. Dan Nabi
adalah salah seorang Haad itu. Dengan demikian, Haad atau orang yang memberi
petunjuk untuk berbuat dan bertindak benar kepada suatu kaum ada di barisan para nabi.
Mereka adalah orang-orang yang menerima tongkat estafet kenabian. Mereka itulah para
ahli waris nabi. Sehingga di dalam suatu Al hadis disebutkan bahwa para ulama di
kalangan umat beliau bagaikan para nabi Bani Israel. Mereka tidak memerlukan sebutan
nabi bagi diri mereka. Sebab Penghulu para nabi adalah Muhammad s.a.w.
Lalu, apa hubungannya menjadi ulama dengan belajar tasawuf? Apakah belajar tasawuf
itu untuk menjadi wali atau ulama? Tentu saja tidak! Kodrat dan irodat Tuhan dalam diri
setiap manusia itu tidak sama. Kapasitas manusia untuk mengarungi hidup ini berbedabeda. Kita lihat saja di sekolahan, untuk kelas yang sama tak ada orang yang
kepandaiannya sama. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan atas yang lain.
Meskipun di sekolah suatu nilai itu ada standarnya, tetapi sepuluh orang yang mendapat
nilai matematika yang sama, tetap kepandaiannya tak ada yang sama.
Tuhan Maha Mengetahui! Setiap orang mempunyai kodrat dan iradatnya sendiri.
Kapasitas dan kapabilitas usaha manusia berbeda-beda. Penggolongan pada manusia juga
karena adanya perbedaan-perbedaan itu. Demikian pula penggolongan tentang kesalehan,
seperti shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan nabi, adalah karena adanya kapabilitas yang
berbeda-beda. Nah, orang-orang yang memiliki perbedaan kapabilitas yang tidak berarti
biasanya dimasukkan dalam satu golongan atau tingkatan, maqam, posisi, stasiun atau
dengan sebutan lainnya. Dan Allah pun memerintahkan manusia untuk bertakwa sesuai
dengan kesanggupan atau kapabilitasnya. Dalam surat at-Taghaabun/64:16 disebutkan,
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu. Dengarlah dan patuhilah, serta
belanjakan hartamu, itu yang lebih baik bagi jiwamu. Barangsiapa yang dipelihara dari
kekikiran jiwanya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Jika demikian, untuk apa kita belajar tasawuf bila kodrat dan irodat dan kapabilitas
manusia itu berbeda-beda? Di bagian depan telah disampaikan bahwa belajar tasawuf itu
untuk menjadi hamba-hamba yang mencintai dan dicintai Tuhan. Dengan kata lain untuk
bisa kembali dan bertemu dengan-Nya. Dan jalan kembali untuk bertemu dengan Tuhan
itu bisa kita peroleh bila kita menjadi manusia yang arif dalam hidup ini. Dan, orang yang
arif itu adalah orang-orang yang memperoleh hikmah atau kesadaran. Seberapa besar
hikmah yang diterima, itulah yang menempatkan orang-orang itu dalam tingkatan
shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan para nabi. Tentu saja hikmah yang diterima syuhada’
lebih besar daripada yang diterima shalihin, shiddiqin lebih besar dari syuhada’ dan
hikmah terbesar yang diterima para nabi dan ahli warisnya.
Shalihin adalah manusia standar yang diharapkan dalam Islam. Jika diterjemahkan secara
sederhana adalah kelompok orang-orang yang saleh, yang berbuat kebajikan. Amal saleh
dan iman merupakan paket yang tak terpisahkan. Amal saleh harus lahir dari iman
seseorang, dan iman pun terbentuk karena kesalehan orang itu. Dalam pengertian yang
sederhana, orang saleh adalah orang yang melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi
dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Syuhada’ adalah orang-orang yang menjadi saksi kebenaran. Orang-orang yang rela
mengorbankan dirinya bagi orang lainnya. Karena itu orang yang gugur dalam membela
kebenaran disebut orang yang “mati syahid”. Dengan kata lain, syuhada’ bukan cuma
mereka yang mati syahid. Menurut Hadis yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Abu
Daud, An Nasaa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dan yang bersumber dari
Sahabat Jabir dan Atik, ada tujuh macam orang yang mati syahid, yaitu orang yang
terbunuh di jalan Allah, meninggal karena kolera, tenggelam, paru-paru, penyakit perut,
reruntuhan, dan melahirkan. Mengapa orang yang meninggal karena berbagai penyakit
atau kecelakaan disebut mati syahid? Hal ini harus dipahami bahwa standar masyarakat
Islam adalah orang-orang saleh. Di tengah masyarakat yang saleh, orang yang dengan
tabah menerima penyakit yang menimpanya dan mencoba berobat, lalu meninggal, maka
mereka adalah syahid. Tabah dan berobat adalah bentuk kebajikan yang lebih tinggi dari
sekadar amal saleh. Menurut Hadis, orang yang terserang penyakit menular yang mematikan harus bersedia dikarantinakan agar tidak terjadi penularan. Ketabahan dan upaya berobat inilah yang membuat orang yang sakit itu menyelamatkan banyak orang. Karena itu
orang yang terserang jenis-jenis penyakit itu (waktu itu hanya teridentifikasi kolera, paruparu dan perut) dan meninggal disebut syahid. Juga masalah reruntuhan, hal ini
menunjuk-kan kepada kita ada orang yang rela untuk melakukan hal-hal yang
membahayakan dirinya untuk kemaslahatan orang banyak. Kita lihat saja, ada orang yang
rela bekerja sebagai “cleaning service” yang membersihkan dinding bangunan bertingkat
tinggi, yang risiko kehilangan nyawanya sangat besar. Bayangkan jika setiap orang hanya
menginginkan pekerjaan-pekerjaan yang aman-aman saja, apakah kita bisa hidup
sejahtera?
Orang yang meninggal karena kecelakaan, mungkin saja ia termasuk orang yang lalai.
Mungkin saja, bukan pasti! Yang jelas ada orang-orang yang sudah berhati-hati dan
mengikuti aturan yang benar, tetap tertimpa kecelakaan hingga meninggal. Terlalu
banyak macam kecelakaan, walaupun dalam hadis disebutkan hanya dua yaitu karena

reruntuhan dan tenggelam. Tetapi, intinya berbagai kecelakaan itu akan mendorong orang
untuk memikirkan cara berbuat dan bertindak agar tidak terjadi kecelakaan. Dengan
demikian meninggal karena kecelakaan juga mendorong lahirnya undang-undang tentang
kesela-matan dan cara-cara penyelamatannya. Dan, banyak orang yang selamat dari
kecelakaan. Wajar, orang yang meninggal akibat kecelakaan mendapat status syahid.
Orang yang juga tergolong mati syahid adalah orang yang mati akibat melahirkan. Ya,
melahirkan adalah kesediaan untuk melakukan kodrat dari Tuhan. Yang menciptakan
kodrat adalah Tuhan, dan yang menerima kodrat adalah wanita. Menurut ilmu ekonomi,
besarnya keuntungan tergantung dengan besarnya risiko. Orang yang hanya mau
menerima keuntungan kecil, risiko yang mungkin ditimbulkannya juga kecil. Kalau mau
mendapat keuntungan yang besar, maka harus siap dengan risiko yang besar. Nah,
kesyahidan adalah imbalan dari risiko kematian akibat melahirkan.
Syuhada’ tidak hanya bagi mereka yang mati karena gugur di medan perang, terserang
penyakit yang mematikan, kecelakaan maupun akibat melahirkan. Dari ketujuh macam
orang yang mati syahid adalah orang yang meninggal “di jalan Allah”. Meninggal di jalan
Allah mempunyai pengertian yang luas. Siapa saja yang konsisten berbakti kepada Tuhan
hingga meninggalnya, adalah orang tergolong syuhada’. Wartawan yang menyam-paikan
kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada khalayak ramai, terus dijahati hingga
meninggal, adalah syuhada’. Orang yang berani menasihati penguasa yang zalim, dan
terbunuh, juga syuhada’. Dan banyak lagi yang tidak disebutkan di sini.
Shiddiqin adalah orang-orang yang berbuat kebenaran, atau orang-orang yang ucapan dan
tindakannya tulus sepenuh hatinya. Untuk memberikan gambaran tentang orang
shiddiqin, saya ambilkan contoh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Cuma satu contoh yang bisa
dikembangkan sendiri! Dari awal beliau menunjukkan ketulusan hidupnya. Beliau
membebaskan budak ketika masih di awal-awal perjuangan Islam. Rela tinggal di Gua
Tsur bersama Rasul Allah ketika hijrah ke Madinah. Beliau berani tampil untuk dicacimaki ketika membela Rasul Allah. Orang-orang yang berkarya besar untuk kesejahteraan
manusia adalah mereka yang ada di kelompok shiddiqin.
Para nabi adalah orang-orang yang menjadi rasul, pemberi petunjuk (Haad), dan siapa
saja yang mengambil jalan para nabi atau ahli waris para nabi. Mereka bukan hanya
mencintai dan menegakkan kebenaran, tetapi juga mengajarkan kemanusiaan dengan keteladanan dan ajaran. Di dalam Al Quran maupun Hadis, tidak ada pembedaan definisi
antara nabi, rasul, dan haad. Sebutan-sebutan itu tergantung peran yang dilakukannya.
Seperti ayah dan suami. Ia disebut ayah jika yang diperankan adalah ayah dari anak-anak
hasil perkawinannya. Pada saat yang lain ia disebut sebagai suami jika peranan yang
dimaksud sebagai pasangan sah dalam perkawinan. Begitu juga dengan kenabian. Dia
disebut nabi bila perannya adalah orang yang menerima berita paripurna dari Tuhan. Dan
dia disebut rasul bila dia mengemban misi penyelematan umat manusi