Analisis Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

  4 Bab Analisis Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

4.1. ANALISIS SOSIAL SEBAGAI DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR BIDANG CIPTA KARYA

  Secara umum upaya-upaya yang dapat dilaksanakan terhadap aspek sosial pada Perencanaan, Pelaksanaan dan Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya adalah:

  1. Advokasi masyarakat untuk menimbulkan keyakinan bahwa pembangunan Bidang Cipta Karya adalah sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum; 2. Sosialisasi program pengamanan kegiatan ekonomi atas dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan Bidang Cipta Karya yang membutuhkan lahan milik masyarakat, yaitu program re-settlement (pemukiman kembali) atau konsolidasi lahan; 3. Kesepakatan pemukiman kembali atau konsolidasi lahan atas masyarakat yang lahannya digunakan oleh pembangunan bidang Cipta Karya;

  4. Pengamanan kegiatan produktif masyarakat yang lahannya terkena pembangunan Bidang Cipta Karya; 5. Pengamanan sistem ekonomi lokal, pada wilayah yang terkena dampak pembangunan

  Bidang Cipta karya atau lahannya digunakan untuk pembangunan tersebut; 6. Kesepakatan kompensasi atas kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan ataupun biaya penggantian lahan atas lahan yang digunakan untuk pembangunan kegiatan-kegiatan Bidang Cipta Karya; 7. Pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat yang terkena dampak pembangunan

  Bidang Cipta Karya; 8. Sosialisasi program pengamanan sosial atas dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan Bidang Cipta Karya yang membutuhkan lahan milik masyarakat.

  A. Safeguard Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali Kegiatan Safeguard Pengadaan Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali biasanya terjadi jika kegiatan investasi berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, memperbaiki pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak kegiatan pengadaan tanah.

  Pengadaan tanah dan pemukiman kembali atau land acquisition and resettlement untuk kegiatan RPI2JM mengacu pada prinsip-prinsip berikut:

  1. Transparan, kegiatan harus diinformasikan secara transparan kepada pihak yang terkena dampak, mencakup: daftar warga, aset (tanah, bangunan, tanaman, dll) yang terkena dampak; 2. Partisipatif, Warga yang berpotensi terkena dampak/dipindahkan (DP) harus terlibat dalam seluruh tahap perencanaan proyek, seperti: penentuan lokasi proyek, jumlah dan bentuk kompensasi/ganti rugi, serta lokasi tempat pemukiman kembali; 3. Adil, Pengadaan tanah tidak memperburuk kondisi kehidupan DP Warga tersebut memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi yang memadai yang setara dengan harga pasar tanah dan asetnya termasuk biaya pindah, pengurusan surat tanah, dan pajak, dan diberi kesempatan untuk mengkaji rencana pengadaan tanah;

  4. Warga yang terkena dampak harus sepakat atas ganti rugi yang ditetapkan; 5.

  Kontribusi/hibah tanah secara sukarela hanya dapat dilakukan bila : DP mendapatkan manfaat yang lebih besar dibanding harga tanah miliknya

  • Tanah hibahkan nilainya ≤ 10% dari nilai tanah bangunan atau aset lain yang
  • produktif dan nilainya < 1 (satu) juta Rupiah.

  Kesepakatan kontribusi sukarela tersebut harus ditandatangani kedua belah pihak setelah DP melakukan diskusi secara terpisah. Safeguard Monitoring Team (SMT) harus dapat menjamin bahwa tidak ada tekanan pada DP untuk melakukan kontribusi tanah secara sukarela. Persetujuan tersebut harus didokumentasikan secara formal; 1.

  Kegiatan investasi harus sudah menentukan batas lahan yang diperlukan, jumlah warga yang terkena dampak, pendapatan serta status pekerjaan DP, harga pasaran tanah yang diusulkan oleh pemrakarsa kegiatan dan didukung oleh NJOP sebelum pembebasan tanah; 2. Kegiatan yang mengakibatkan dampak pada lebih dari 200 orang atau 40 KK, atau melibatkan pemindahan Iebih dari 100 orang atau 20 KK, harus didukung dengan

  Rencana Tindak Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali atau RTPTPK.; 3. Jika kegiatan investasi mengakibatkan dampak pada kurang dari 200 orang atau 40 KK atau kurang dari 10% asset produktif atau melakukan pemindahan penduduk secara temporer selama konstruksi, harus didukung dengan RTPTPK sederhana; 4. RTPTPK menyeluruh atau RTPTPK sederhana dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemrakarsa kegiatan, dimonitor oleh Tim Pemantauan Safeguard;

  5. Ada beberapa alternatif cara untuk menghitung ganti rugi bagi DP, yakni:

  • Perhitungan ganti rugi tanah berdasarkan nilai pasar tanah di lokasi yang memiliki karakteristik ekonomi serupa saat pembayaran ganti rugi dilakukan;
  • Perhitungan kompensasi ganti rugi bangunan berdasarkan nilai pasar bangunan dengan kondisi yang serupa di lokasi yang sama;
  • Perhitungan ganti rugi tanaman berdasarkan nilai pasar tanaman ditambah biaya kerugian non material lain,
  • Perhitungan ganti rugi aset diganti dengan aset yang sama, atau ganti rugi uang tunai setara dengan harga untuk memperoleh aset.
  • Pihak yang dapat terkena dampak pembebasan tanah dan / atau pemukiman dipindahkan dalam kegiatan sub proyek dapat berupa warga/individu, entitas, atau badan hukum. Adapun bentuk dampak yang diakibatkan dapat berupa:
  • Dampak fisik, seperti dampak pada tanah, bangunan, tanaman dan aset produktif;
  • Dampak non-fisik, seperti dampak lokasi, akses pada tempat kerja atau prasarana.

6. Berkenaan dengan hak hukum atas tanah, DP dapat dikelompokkan menjadi:

  • Warga yang memiliki hak atas tanah pada saat pendataan dilakukan;
  • Warga yang tidak memiliki hak atas tanah tetapi menguasai/ menggarap lahan;
  • Warga yang menguasai tanah berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah;
  • Warga yang menguasai/menempati tanah/lahan tanpa landasan hukum ataupun perjanjian dengan pemilik tanah, Warga yang mengelola tanah wakaf (tanah yang dihibahkan untuk kepentingan agama).

  B. Metode Pendugaan Dampak

  Ada beberapa metode pendugaan dampak yang terjadi terhadap lingkungan, yakni melihat dampak fisik dan dampak non fisik.

  

Dampak Fisik, yakni dampak pada individu, tanah, bangunan, tanaman dan asset produksi:

  • Pendugaan dampak melihat kerusakan langsung yang terjadi pada alam sekitar,
  • Pendugaan dampak melihat tingkat kesehatan masyarakat di sekitar lokasi,
  • Pendugaan dampak melihat tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi,
  • Pendugaan dampak melihat tingkat partisipasi nyata dari masyarakat.

  

Dampak Non Fisik, yakni dampak terhadap lokasi, akses terhadap tempat kerja atau

terhadap prasarana dan sarana, dsb.

  C. Pemilihan Alternatif

  Proses Pemilihan Safeguard Lingkungan dan Safeguard Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali direncanakan dilakukan melalui study dan Penelitian langsung ke lokasi yang direncanakan dengan tetap melihat tingkat efektifitas, nilai ekonomi, serta potensi dampak yang ditimbulkan. Proses Penyajian Pemilihan Safeguard alternative untuk safe guard lingkungan dan safe guard pengadaan tanah dan permukiman kembali yaitu dengan memaparkan dan membandingkan antara 2 (dua) atau lebih safe guard yang lebih bernilai ekonomis, lebih efektif, potensial menimbulkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif antara lain terhadap:

  1. Terhadap Sub Bidang Air Minum

  Dari hasil analisa teknis, pembangunan sumber air baku, perpipaan baik transmisi maupun distribusi tidak akan mengambil lahan masyarakat. Selain itu lahan yang digunakan untuk pembuatan sumur bor sebagian merupakan hibah dari masyarakat, sehingga tidak perlu ada penggantian lahan maupun re-settlment penduduk. Disimpulkan bahwa investasi Sub Bidang Air Minum tidak akan menimbulkan dampak negatif, baik dari segi lingkungan, sosial. Sehingga pengelolaan safeguard sosial dan lingkungan investasi Sub Bidang Air Minum hanya dalam bentuk Program Pemberdayaan Masyarakat dan kementerian/lembaga.

  2. Terhadap Sub Bidang Air Limbah

  Investasi sistem terpusat (off site) memerlukan studi AMDAL. Sedangkan penyediaan lahan bagi pembangunan fisiknya pada lahan di luar kawasan permukiman hanya perlu dilakukan pengelolaan safeguard sosial dan lingkungan dalam bentuk Program Pemberdayaan Masyarakat dan anggaran dari kementerian/lembaga.

  3. Terhadap Sub Bidang Persampahan

  Pengelolaan dan pemantauan dampak di seputar lokasi TPA akan dilaksanakan berdasarkan hasil Studi AMDAL dan RKL dan RPL.

  4. Terhadap Sub Bidang Drainase

  Pembangunan saluran induk baru memerlukan lahan, untuk itu dilakukan pembelian lahan sepanjang calon saluran induk baru. Lahan yang dibebaskan sepanjang calon saluran induk baru. Berdasarkan hasil identifikasi didapat bahwa tidak ada aktivitas ekonomi sepanjang calon saluran tersebut, sehingga tidak diperlukan program pemberdayaan ekonomi sebagai kompensasi atas hilangnya mata pencaharian masyarakat. Selain itu, pembebasan lahan tidak akan mengakibatkan hilangnya rumah tinggal masyarakat, sehingga tidak memerlukan program re-settlment maupun konsolidasi lahan.

  5. Terhadap Sub Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan

  Khusus untuk investasi pada Sub Bidang Penataan Bangunan Lingkungan, tidak ada program yang bersifat fisik yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat. Secara lebih detail mengenai aspek sosial terhadap rencana lokasi perencanaan selanjutnya akan dirincikan pada dokumen RTBL yang sedang dalam tahap penyusunan.

6. Terhadap Sub Bidang Permukiman

  Program Penataan dan Peremajaan Kawasan di Kawasan permukiman kumuh dan padat penduduk, justru menghasilkan dampak positif. Jadi program ini sekaligus merupakan safeguard lingkungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Guna meningkatkan efektivitas program tersebut, kegiatan penataan dan peremajaan kawasan didukung oleh program pemberdayaan masyarakat untuk pemeliharaan prasarana dasar yang akan dibangun.

4.1.1. Rencana Pengelolaan

  A. Rencana Sistem Pengelolaan Safeguard Sosial dan Lingkungan

  Sistem Pengelolaan Safeguard Lingkungan dan Safeguard sosial di Kabupaten Padang Lawas direncanakan dikelola dengan sistem terpadu di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Padang Lawas dengan melibatkan Iangsung Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) terkait sesuai tugas masing-masing SKPD.

  Pengelolaan Safeguard sosial direncanakan dikelola oleh Dinas-Dinas terkait pembangunan infrastruktur khususnya bidang Cipta Karya di Kabupaten Padang Lawas seperti untuk pengadaan lahan dan permukiman kembali direncanakan dikelola oleh Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Pemerintah Kabupaten Padang Lawas dan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

  B. Prosedur Pelaksanaan dan Pemantauan

  Untuk memastikan bahwa safeguard Iingkungan dan safeguard pengadaan tanah dipantau dengan baik, maka diperlukan tahapan prosedur sebagai berikut: Identifikasi, Penyaringan dan Pengelompokan dampak;

  • Study dan Penilaian mengenai tindakan yang perlu dan dapat dilakukan, berupa
  • diskusi, dan konsultasi;

  Perumusan dan perencanaan rencana pemantauan;

  • Pemantauan ulang terhadap proses diatas;
  • Perumusan mekanisme pemantauan dan penanganan safeguard.
  • Pelaksanaan Pemantauan Safeguard Sosial dan Safeguard Pengadaan Tanah dan Permukiman kembali dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Padang Lawas dengan melibatkan Satuan Perangkat Kerja Daerah terkait sesuai tugas masing¬masing-masing SKPD dengan melibatkan peran serta masyarakat.

4.1.2. Kemiskinan

  Kemiskinan adalah satu isu hangat yang selalu menjadi perhatian pemerintah dari tahun ke tahun. Sejak satu dasawarsa terakhir, berbagai program penanggulangan kemiskinan mulai digaungkan secara besar-besaran. Berbagai program telah dijalankan sampai saat ini, antara lain, program BLT, Raskin, dan Jamkesmas. Berdasarkan kelasnya, terdapat 5 kelas keluarga yang ada di Padang Lawas yaitu pra sejahtera, sejahtera I, II,III dan III plus. Paling banyak adalah keluarga sejahtera II mencapai 22.940 keluarga. Menyusus kemudian keluarga sejahtera I sebanyak 17.021 keluarga. Keluarga sejahtera III sebanyak 9.519 keluarga. Keluarga pra sejahtera sebanyak 1.752 keluarga. Dan yang paling sedikit adalah keluarga sejahtera III plus sebanyak 1.623.

  

Tabel 4.1.

Jumlah Keluarga Pra Sejahtera, KS I,II,III dan III Plus Menurut Kecamatan

di Kabupaten Padang Lawas

  Kecamatan Pra KS KS I KSII KS III KS III Plus Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

  Sosopan 31 505 1331 580 54 1303 Ulu Barumun 35 642 1520 1387 - 3584 Barumun 24 1204 7703 3946 634 9565 Barumun Selatan 21 669 696 202 61 1649 Lubuk Barumun 26 1136 1848 1698 36 4744 Sosa 37 1219 3138 1746 298 6438 Batang Lubu Sutam 24 333 904 1212 18 2491 Hutaraja Tinggi 29 968 4433 3565 703 9698 Huristak 2 729 1350 946 426 3453 Barumun Tengah 32 1341 2533 615 293 4814

  • Aek Nabara 770 1762 144 39 2715

  Barumun Sihapas Barumun - 220 596 354 111 1281

  Padang Lawas 261 9736 26616 12449 2673 51735 Sumber: BPS Kabupaten Padang Lawas 2015 4.1.3. Pengarusutamaan Gender

  Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris: Gender Mainstraiming, merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki: memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan;

  • berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan. Termasuk proses
  • >pengambilan keputusan; mempunyai kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan

  • Penyelenggaan pangarusutamaan gender mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis gender maupun pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan perbaikan kondisi perempuan dan/atau laki-laki guna menjalankan peran-peran sosial masing-masing, seperti perbaikan taraf kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan air bersih, dan pemberantasan buta aksara. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan dan/atau laki-laki yang berkaitan dengan perubahan pola relasi gender dan perbaikan posisi perempuan dan/atau laki-laki, seperti perubahan di dalam pola pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan dan kontrol terhadap sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan strategis ini bersifat jangka panjang, seperti perubahan hak hukum, penghapusan kekerasan dan deskriminasi di berbagai bidang kehidupan, persamaan upah untuk jenis pekerjaan yang sama, dan sebagainya. Arah Pembangunan Jangka Panjang yang tercantum pada RPJPN 2005-2025 di bidang pembangunan adalah pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, kesejahteraan, dan perlindungan anak di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan

  memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

  

pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan

data dan statistik gender.

  

Sesuai dengan Buku II RPJMN 2015-2019 Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan

  strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan. Pengintegrasian perspektif gender tersebut dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. PUG ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan gender dapat dicapai dengan mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan proses pembangunan, serta mendapatkan manfaat dari kebijakan dan program pembangunan. Kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan salah satu tujuan pembangunan yang ditetapkan dalam RPJPN 2005-2025 dan dijabarkan di dalam RPJMN 2015-2019 dihadapkan pada tiga isu strategis, yaitu:

  1) meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan;

  2) meningkatnya perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO); dan

  3) meningkatnya kapasitas kelembagaan PUG dan kelembagaan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

  Gender adalah perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi dan status antara laki-laki dan perempuan yang bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang luas. Jadi, gender merupakan konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh, kesempatan serta hak-haknya, sebagai manusia agar mampu berperan, dan berpartisipasi serta menikmati pembangunan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan ditandai dengan tidak adanya pembekuan peran, beban ganda, sub ordinasi, marginalisasi maupun kekerasan terhadap salah satu. Masalah Kesenjangan Gender Dalam Penyelenggaraan Infrastuktur PU Dan Permukiman : 1.

  Paradigma lama menganggap bahwa infrastruktur PU dan permukiman netral gender.

  2. Ada kebijakan, program, kegiatan pembangunan tertentu yang luput dari adanya kebutuhan, aspirasi, hambatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga menyebabkan adanya kesejangan gender antara lain :

  • Kesenjangan bagi perempuan dalam memperoleh informasi tentang pentingnya menjaga kualitas sungai;
  • Adanya kesejangan bagi kelompok tertentu (perempuan, difable, lansia) dalam penyediaan sarana jalan dan jembatan serta bangunan pelengkapnya (contoh: Rest Area, Jembatan penyebarangan, trotoar);
  • Terabaikannya perempuan untuk memperoleh akses informasi dan pernyataan aspirasi dalam penguasaan kepemilikan asset, lahan, rumah, terkait proses pengadaan tanah dan rencana pembangunan infrastruktur PU dan Permukiman;
  • Adanya kesenjangan bagi laki-laki (pekerjaan konstruksi) untuk mendapatkan akses informasi tentang pencegahan penyakit HIV/ AIDS, yang akan berdampak negatif bagi keluarganya;
  • Adanya kesenjangan dalam peran dan partisipasi perempuan pada penyelenggaraan pembangunan prasarana dan sarana permukiman, antara lain : air minum dan persampahan;
  • Kurangnya prasarana dan sarana yang memadai bagi kebutuhan perempuan, difable pada bangunan, gedung dan lingkungan (antara lain : Ruang Asi, Taman Penitipan Anak /TPA);
  • regulasi zona ( antara lain : zona aman sekolah, ruang publik, ruang terbuka hijau);

  Kurang terakomodasinya aspirasi kebutuhan kelompok tertentu dalam penyusunan

  • berpartisipasi secara maksimal dalam Pendidikan dan Pelatihan.

  Adanya kesengajan bagi peserta perempuan yang sedang menyusui untuk

  

Pengarusutamaan Gender : Merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan

  keadilan Gender, melalui kebijakan, program dan kegiatan yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program berbagai bidang pembangunan sehungga diperoleh kesetaraan AKPM ( Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat) dalam pembangunan. Pengarusutamaan Gender bukan hanya konsep yang memprioritaskan pemberdayaan perempuan, melainkan mengakomodasi dan memperhatikan kebutuhan semua jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan) dan orang dengan kebutuhan khusus seperti : lansia, anak-anak dan diffable. Terintergrasinya perspektif gender ke dalam seluruh proses penyelengaraan pembangunan infrastruktur PUPR dan Permukiman sehingga menghasilkan infrastruktur PUPR dan Permukiman yang responsif gender :

1. Tahap perencanaan dan pemograman; 2.

  Tahap pelaksanaan; 3. Tahap pemantauan dan evaluasi.

4.2. ANALISIS EKONOMI 4.2.1. PDRB Perkapita

  Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2015 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,74 persen dibanding tahun 2014. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kategori jasa keuangan dan asuransi sebesar 12,98 persen. diikuti Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 10,20 persen dan jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 9,90 persen.

  PDRB Padang Lawas pada tahun 2015 atas dasar harga berlaku mencapai Rp. 7.902,93 miliar, sedangkan atas dasar harga konstan 2010 sebesar Rp. 6.342,53 miliar. Struktur perekonomian Padang Lawas yang dihitung dengan PRDB atas dasar harga berlaku didominasi kategori pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 49,30 persen disusul oleh kategori konstruksi sebesar 15,64 persen, kategori industri pengolahan sebesar 15,59 persen, kategori perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 7,26 persen dan sisanya disumbangkan kategori lainnya. PDRB per kapita Padang Lawas atas dasar harga berlaku pada tahun 2015 mencapai Rp. 30,63 juta, meningkat 5,88 persen dibanding tahun 2014.

  PDRB per kapita diperoleh dengan membagi PDRB (atas dasar harga berlaku) dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Angka tersebut secara tidak langsung menggambarkan rata- rata pendapatan yang diterima oleh penduduk di suatu wilayah selama setahun. Pada tahun 2015 angka PDRB per kapita Padang Lawas mencapai Rp. 30,63 juta, meningkat 5,88 persen dibanding tahun sebelumnya.

  

Tabel 4.2.

PDRB Perkapita Kabupaten Padang Lawas Menurut Lapangan Usaha (Rupiah)

  PDRB per Kapita 2013 2014*) 2015**) (1) (2) (3) (4)

  Atas Dasar Harga Berlaku 26.990.277,63 28.929.260,87 30631.141,76 Atas Dasar Harga Konstan 23.035.418,82 23.805.761,17 24.579.285,28 2010

  Sumber : BPS Kabupaten Padang Lawas, 2016 Keterangan : *) Angka sementara

  • **) Angka sangat sementara 4.3.

ANALISIS LINGKUNGAN

  Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahwa dalam penyusunan RPI2JM bidang Cipta Karya oleh pemerintah Kabupaten Padang Lawas telah mengakomodasi prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah sebagai berikut:

  1. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

  2. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional;

  3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;

  4. Permen LH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis; 5. Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan.

  Adapun tugas dan wewenang pemerintah kab/kota dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu: a.

  Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; d.

  Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; e. Melaksanakan standar pelayanan minimal.

4.3.1. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

  Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

  KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

  KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi; f. terhadap perubahan iklim; dan g. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

  Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. KLHS disusun oleh Tim Satgas RPI2-JM Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah sebagai instansi yang memiliki tugas dan fungsi terkait langsung dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di kota/kabupaten. koordinasi penyusunan KLHS antar instansi diharapkan dapat mendorong terjadinya transfer pemahaman mengenai pentingnya penerapan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk mendorong terjadinya pembangunan berkelanjutan. Tahapan pelaksanaan KLHS diawali dengan penapisan usulan rencana/program dalam RPI2JM per sektor dengan mempertimbang kan isu-isu pokok seperti:

  1) Perubahan iklim;

  2) Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahankeanekaragaman hayati;

  3) Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;

  4) Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;

  5) Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;

  6) Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau

  7) Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Isu-isu tersebut menjadi kriteria apakah rencana/program yang disusun teridentifikasi menimbulkan resiko atau dampak terhadap isu-isu tersebut.