4.1. ANALISIS PERLINDUNGAN LINGKUNGAN - DOCRPIJM_543222962a_BAB IVBab 4 Analisis Sosial, Ekonomi RPIJM 16.pdf

  A N A L

  I S

  I S S O S

  I A L , E K O N O M

  I A N A L

  I S

  I S S O S

  I A L , E K O N O M

  I D A N L

  I N G K U N G A N D A N L

  I N G K U N G A N

4.1. ANALISIS PERLINDUNGAN LINGKUNGAN

4.1.1. ARAHAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN

  1. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

  “Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas antara lain Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH)”.

  2. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional:

  “Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang”

  

3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional Tahun 2010-2014:

  “Dalam bidang lingkungan hidup, sasaran yang hendak dicapai adalah perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam di perkotaan dan pedesaan, penahanan laju kerusakan lingkungan dengan peningkatan daya dukung dan daya tamping lingkungan; peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim”.

  

4. Permen LH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup

Strategis:

  Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk menyiapkan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program agar dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan.

  5. Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan.

  Sebagai persyaratan untuk mengajukan ijin lingkungan maka perlu disusun dokumen Amdal, UKL dan UPL, atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disebut dengan dengan SPPL bagi kegiatan yang tidak membutuhkan Amdal atau UKL dan UPL.

4.1.2. KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

A. Kaidah KLHS

  Prinsip dalam penyusunan KLHS agar tercapai tujuan yang ingin dicapai untuk mengukur dampak terhadap lingkungan yaitu: Keterkaitan (interdependency)

  • Keseimbangan (equilibrium)
  • Keadilan (justice)
  • Keterkaitan (interdependency) menekankan pertimbangan keterkaitan antara satu

  komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara satu variabel biofisik dengan variabel biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah, dan seterusnya.

  Keseimbangan (equilibrium) menekankan aplikasi keseimbangan antar aspek,

  kepentingan, maupun interaksi antara makhluk hidup dan ruang hidupnya, seperti diantaranya adalah keseimbangan laju pembangunan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, keseimbangan pemanfaatan dengan perlindungan dan pemulihan cadangan sumber daya alam, keseimbangan antara pemanfaatan ruang dengan pengelolaan dampaknya,dan lain sebagainya.

  Keadilan (justice) untuk menekankan agar dapat dihasilkan kebijakan, rencana

  dan program yang tidak mengakibatkan pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber- sumber alam, modal dan infrastruktur,atau pengetahuan dan informasi kepada sekelompok orang tertentu.

  Atas dasar kaidah diatas, maka penerapan KLHS terhadap KRP bertujuan untuk mendorong pembuat dan pengambil keputusan atas KRP menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut:

  Apa manfaat langsung atau tidak langsung dari usulan sebuah KRP?

  • Bagaimana dan sejauh mana timbul interaksi antara manfaat KRP dengan lingkungan
  • hidup dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam? Apa lingkup interaksi tersebut? Apakah interaksi tersebut akan menimbulkan kerugian
  • atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup? Apakah interaksi tersebut akan mengancam keberlanjutan dan kehidupan masyarakat? Dapatkah efek-efek yang bersifat negatif diatasi, dan efek-efek positifnya
  • dikembangkan? Apabila KRP mengintegrasikan seluruh upaya pengendalian atau mitigasi atas efek-efek
  • tersebut dalam muatannya, apakah masih timbul pengaruh negatif KRP tersebut terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan secara umum?.

B. Metode Penyusunan KLHS

  Ruang lingkup yang menjadi kajian dalam penyusunan KLHS harus meliputi hal hal sebagai berikut : a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan

  b. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup

  c. Kinerja layanan/jasa ekosistem

  d. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam

  e. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

  KLHS adalah proses untuk mempengaruhi penentuan pilihan-pilihan pembangunan yang diusulkan dalam KRP yang terutama dilakukan melalui kegiatan konsultasi dan dialog secara tepat dan relevan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan KLHS harus sesuai dengan kebutuhan tanpa terpaku dalam metoda dan prosedur yang baku. Melalui penyusunan KLHS maka semua kebijakan, rencana dan program yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten akan mendorong lahirnya pemikiran untuk alternatif-alternatif baru pembangunan melalui tahapan atau proses sebagai berikut: a. Identifikasi isu-isu utama lingkungan atau pembangunan berkelanjutan yang perlu dipertimbangkan dalam KRP b. Analisis dampak setiap alternatif strategi pembangunan dari KRP, khususnya isu-isu yang relevan dan memberikan masukan untuk optimalisasi c. Mengkaji paling tidak dampak kumulatif yang mendasar dari KRP dan memberi masukan untuk optimalisasi d. Memaparkan proses KLHS, kesimpulan dan usulan rekomendasi kepada para pengambil keputusan.

  Metode pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan penyusunan KLHS adalah sebagai berikut: a. Melakukan seluruh persiapan dan mobilisasi sumberdaya yang diperlukan.

  b. Melakukan pengumpulan data, peta dan informasi terkait.

  c. Melakukan pekerjaan yang terkoordinasi untuk menjaring masukkan mengenai pengembangan infrastruktur di Kabupaten Tanah Bumbu.

  d. Melakukan survey dan observasi untuk kelengkapan data.

  e. Melakukan evaluasi dan analisis terhadap hasil survey dan observasi.

  f. Menyelenggarakan presentasi hasil evaluasi dan analisisnya.

  Mekanisme penyusunan KLHS sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dilakukan dengan tahapan atau proses sebagai berikut:

  1. Penapisan;

  Penapisan adalah rangkaian langkah-langkah untuk menentukan apakah suatu KRP perlu dilengkapi dengan KLHS atau tidak. Penentuan KRP telah memenuhi kriteria pelaksanaan KLHS dilakukan melalui kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

  2. Pelingkupan;

  Pelingkupan adalah rangkaian langkah-langkah untuk menetapkan nilai penting KLHS, tujuan KLHS, isu pokok, ruang lingkup KLHS, kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen, pengenalan kondisi awal, dan telaah awal kapasitas kelembagaan. Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan sistematis dan metodologis yang memenuhi kaidah ilmiah. Mengingat terbatasnya waktu dan sumber daya yang tersedia, dalam kajian ini tidak dilakukan proses konsultasi publik.

  3. Pengkajian;

  Pengkajian adalah rangkaian langkah-langkah untuk melakukan kajian ilmiah, pemetaan kepentingan, dialog dan konsultasi serta penemuan pilihan-pilihan alternatif rumusan maupun perbaikan dan penyempurnaan terhadap rumusan yang sudah ada. Tim kajian melakukan serangkaian diskusi dan konsultasi dengan para pihak (stakeholders) terkait, khususnya dengan instansi pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

  4. Perumusan dan pengambilan keputusan;

  Perumusan dan pengambilan keputusan adalah rangkaian langkah-langkah persetujuan rekomendasi hasil KLHS dan interaksi antar pihak berkepentingan dalam rangka mempengaruhi hasil akhir KRP.

  Keseluruhan hasil pengkajian ini secara lengkap dituangkan dengan jelas dan sistematis sehingga dapat dijadikan pedoman pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Gambar 4.1. Mekanisme Penyelenggaraan KLHS

  Pada tahap analisa atau pengkajian, harus dilakukan serangkaian kajian dengan menerapkan daftar uji pada setiap langkah proses KRP, meliputi:

  1. Uji Kesesuaian Tujuan dan Sasaran KRP.

  Kepentingan pengujian adalah untuk memastikan bahwa:

  a) Tujuan Dan Sasaran Umum KRP Memang Jelas

  b) Berbagai Isu Keberlanjutan Maupun Lingkungan Hidup Tercermin Dalam Tujuan Dan Sasaran Umum KRP

  c) Sasaran Terkait Dengan Keberlanjutan Akan Bisa Dikaitkan Langsung Dengan Indikator-Indikator Pembangunan Berkelanjutan

  d) Keterkaitan KRP Dengan KRP-KRP Lain Bisa Dijelaskan Dengan Baik e) Konflik kepentingan antara KRP dengan KRP-KRP lain segera bisa teridentifikasi.

  2. Uji Relevansi Informasi yang Digunakan.

  Kepentingan utama pengujian ini adalah bukan menilai kelengkapan dan validitas data, tetapi identifikasi kesenjangan antara data yang dibutuhkan dengan yang tersedia serta cara mengatasinya. Hal ini terasa penting ketika KRP diharuskan memperhatikan kesatuan fungsi ekosistem dan wilayah-wilayah rencana selain wilayah administratifnya sendiri. Selanjutnya pengujian juga lebih mengutamakan relevansi informasi dan sumbernya agar proses kerja bisa efektif namun tetap memperhatikan kendala-kendala setempat.

  3. Uji Pelingkupan Isu-isu Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan dalam KRP.

  Pengujian ini ditujukan untuk memandu penyusun KRP memperhatikan isu-isu lingkungan hidup maupun keberlanjutan di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional, dan melihat relevansi langsung isu-isu tersebut terhadap wilayah perencanaannya.

  

4. Uji Pemenuhan Sasaran dan Indikator Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Berkelanjutan.

  Pengujian ini efektif bila konsep rencana sudah mulai tersusun, sehingga dapat dilakukan penilaian langsung atas arahan-arahan rencana terhadap indikator-indikator teknis lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Uji ini sebenarnya merupakan iterasi atau pengembangan dari uji yang dilakukan di awal proses penyusunan KRP sebagaimana dijelaskan pada nomor 1.

  5. Uji Penilaian Efek-efek yang Akan Ditimbulkan.

  Pengujian ini membantu penyusun KRP untuk dapat memperkirakan dimensi besaran dan waktu dari efek-efek positif maupun negatif yang akan ditimbulkan. Bentuk pengujian ini dapat disesuaikan dengan kemajuan konsep maupun ketersediaan data, sehingga pengujian dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif. Pengujian secara kuantitatif maupun kualitatif sama-sama bernilai apabila diikuti dengan verifikasi berupa proses konsultasi maupun diskusi dengan pihak-pihak yang terkait.

  6. Uji Penilaian Skenario dan Pilihan Alternatif.

  Pengujian ini membantu penyusun KRP untuk memperoleh pilihan alternatif yang beralasan, relevan, realistis dan bisa diterapkan. Keputusan pemilihan alternatif bisa dilakukan dengan sistem pengguguran (memilih satu opsi dan menggugurkan yang lainnya) atau mengkombinasikan beberapa pilihan dengan penyesuaian.

  7. Uji Identifikasi Timbulan Efek atau Dampak dampak Turunan maupun Kumulatif.

  Pengujian ini merupakan pengembangan dari jenis pengujian nomor 5, dimana jenis- jenis KRP tertentu diperkirakan juga akan menimbulkan efek-efek atau dampak-dampak lanjutan yang lahir dari dampak langsung yang ditimbulkan, maupun akumulasi efek dalam jangka waktu panjang dan pada skala ruang yang besar. Kelompok-kelompok pengujian ini bisa dilakukan dengan cara:

  Mengemasnya dalam berbagai model daftar pertanyaan, misalnya model daftar uji

  • untuk menilai mutu dokumen, model daftar uji untuk menilai konsistensi muatan krp terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan, model daftar uji untuk menuntun pengambil keputusan mempertimbangkan kriteria-kriteria dan opsi-opsi yang mendukung keberlanjutan, dan lain sebagainya Melakukannya Secara Berurut Sejalan Dengan Proses Persiapan, Pengumpulan •

  Data, Kompilasi Data, Analisis Dan Penyusunan Rencana Melakukannya Secara Berulang/Iteratif

  • Mengembangkan Atau Memodifikasi Jenis Pertanyaan-Pertanyaannya Sesuai • Dengan Kepentingan pengujian atau kemajuan pengetahuan.

Gambar 4.2. Kerangka Kerja dan Metodologi KLHS Dalam pelaksanaannya, penyusunan KLHS dilakukan terhadap 3 kondisi KRP, yaitu KRP yang sudah disusun atau dilaksanakan sebelumnya, KRP yang masih dalam proses perencanaan atau penyusunan dan yang terakhir adalah KRP yang sedang dalam proses penyusunan. Pendekatan pelaksanaan KLHS terhadap ketiga kondisi KRP tersebut berbeda satu dengan lainnya, dengan skema pendekatan sebagai berikut :

Gambar 4.3. Integrasi Pelaksanaan KLHS dalam Perencanaan KRPGambar 4.4. Skema Alternatif Pelaksanaan Integrasi KLHS

8. AMDAL, UKL/UPL/ SPPLH

  Pengelompokan atau kategorisasi proyek mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan Wajib AMDAL dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008 Tentang Penetapan Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Bidang. Pekerjaan Umum yang Wajib Dilengkapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yaitu:

  1. Proyek wajib AMDAL

  2. Proyek tidak wajib AMDAL tapi wajib UKL-UPL

  3. Proyek tidak wajib UKL-UPL tapi SPPLH Tabel 4.1.

  Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran

A. Persampahan:

  Pembangunan TPA Sampah Domestik dengan sistem Control landfill/sanitary landfill:

  • luas kawasan TPA, atau

  > 10 ha

  • Kapasitas Total

  > 100.000 ton

  b. TPA di daerah pasang surut:

  • luas landfill, atau

  semua kapasitas/

  • Kapasitas Total

  besaran

  c. Pembangunan transfer station:

  • Kapasitas

  > 500 ton/hari

  d. Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah terpadu:

  • Kapasitas

  > 500 ton/hari

  e. Pengolahan dengan insinerator:

  • Kapasitas

  semua kapasitas

  f. Composting Plant:

  • Kapasitas

  > 500 ton/hari

  g. Transportasi sampah dengan kereta api:

  • Kapasitas

  > 500 ton/hari

  Pe mbangunan Perumahan/Permukiman:

  a. Kota metropolitan, luas > 25 ha

  b. Kota besar, luas > 50 ha

  c. Kota sedang dan kecil, luas > 100 ha

  d. keperluan settlement transmigrasi > 2.000 ha

  Air Limbah Domestik

  a. Pembangunan IPLT, termasuk fasilitas penunjang:

  • Luas, atau

  > 2 ha

  • Kapasitasnya

  > 11 m3/hari

  b. Pembangunan IPAL limbah domestik, termasuk fasilitas penunjangnya: Luas, atau

  > 3 ha

  • Kapasitasnya

  > 2,4 ton/hari

  c. Pembangunan sistem perpipaan air limbah: Luas layanan, atau

  > 500 ha

  • Debit air limbah

  > 16.000 m3/hari

D. Pe mbangunan Saluran Drainase (Primer dan/atau sekunder) di permukiman

  a. Kota besar/metropolitan, panjang: > 5 km

  

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran

  b. Kota sedang, panjang: > 10 km

E. Jar ingan Air Bersih Di Kota Besar/Metropolitan

  a. Pembangunan jaringan distribusi

  • Luas layanan

  > 500 ha

  b. Pembangunan jaringan transmisi

  • panjang

  > 10 km

  Sumber: Permen Lingkungan Hidup No. 5/2012

  Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di bawah batas menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen AMDAL tetapi wajib dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL. Jenis kegiatan bidang Cipta karya dan batasan kapasitasnya yang wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL.

  

Tabel 4.2.

Penapisan Rencana Kegiatan Tidak Wajib AMDAL Tapi Wajib UKL-UPL

  Sektor Teknis Cipta Karya Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya

a. Persampahan i. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan sistem

  controlled landfill atau sanitary landfill termasuk instansi penunjang: Luas kawasan, atau < 10 Ha Kapasitas total < 10.000 ton ii. TPA daerah pasang surut Luas landfill, atau < 5 Ha Kapasitas total < 5.000 ton iii. Pembangunan Transfer Station Kapasitas < 1.000 ton/hari iv. Pembangunan Instalasi/Pengolahan Sampah Terpadu Kapasitas < 500 ton v. Pembangunan Incenerator Kapasitas < 500 ton/hari vi. Pembangunan Instansi Pembuatan Kompos Kapasitas > 50 s.d. < 100 ton/ha

  b. Air Limbah i. Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Domestik/ Tinja Permukiman (IPLT) termasuk fasilitas penunjang

  Luas < 2 ha Atau kapasitas < 11 m3/hari ii. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Luas < 3 ha Atau bahan organik < 2,4 ton/hari iii. Pembangunan sistem perpipaan air limbah (sewerage/off-site sanitation system) diperkotaan/permukiman Luas < 500 ha Atau debit air limbah < 16.000 m3/hari

  c. Drainase i. Pembangunan saluran primer dan sekunder Permukaan

  Panjang < 5 km

  Perkotaan

  ii. Pembangunan kolam retensi/polder di area/kawasan pemukiman Luas kolam retensi/polder (1 – 5) ha

d. Air Minum

  i. Pembangunan jaringan distribusi: luas layanan : 100 ha s.d. < 500 ha ii. Pembangunan jaringan pipa transmisi Metropolitan/besar, Panjang: 5 s.d <10 km Sedang/kecil, Panjang: 8 s.d. M 10 km Pedesaan, Panjang : - iii. Pengambilan air baku dari sungai, danau sumber air permukaan lainnya (debit) Sungai danau : 50 lps s.d. < 250 lps Mata air : 2,5 lps s.d. < 250 lps iv. Pembangunan Instalasi Pengolahan air lengkap Debit : > 50 lps s.d. < 100 lps v. Pengambilan air tanah dalam untuk kebutuhan: Pelayanan masyarakat oleh penyelenggara SPAM : 2,5 lps - < 50 lps Kegiatan komersil: 1,0 lps - < 50 lps

  e. Pembangunan i. Pembangunan bangunan gedung di atas/bawah Gedung tanah:

  1) Fungsi usaha meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2 s.d. 10.000 m2 2) Fungsi keagamaan, meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan bangunan kelenteng : 5000 m2 s.d. 10.000 m2 3) Fungsi sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, keudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum : 5000 m2 s.d. 10.000 m2 4) Fungsi khusus, seperti reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh menteri Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk Amdal maka wajib dilengkapi UKL dan UPL ii. Pembangunan bangunan gedung di bawah tanah yang melintasi prasarana dan atau sarana umum: 1) Fungsi usaha meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2 s.d. 10.000 m2 2) Fungsi keagamaan, meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan bangunan kelenteng : 5000 m2 s.d. 10.000 m2 3) Fungsi sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, keudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum : 5000 m2 s.d. 10.000 m2 4) Fungsi khusus, seperti reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh menteri Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk Amdal maka wajib dilengkapi UKL dan UPL iii. Pembangunan bangunan gedung di bawah atau di atas air: 1) Fungsi usaha meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2 s.d. 10.000 m2 2) Fungsi keagamaan, meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan bangunan kelenteng : 5000 m2 s.d. 10.000 m2 3) Fungsi sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum : 5000 m2 s.d. 10.000 m2 4) Fungsi khusus, seperti reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh menteri Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk Amdal maka wajib dilengkapi UKL dan UPL

  Pengembangan i. Kawasan Permukiman Sederhana untuk Kawasan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), Permukiman

  misalnya PNS, TNI/POLRI, buruh/pekerja;

  Baru

  Jumlah hunian: < 500 unit rumah; Luas kawasan: < 10 ha ii. Pengembangan kawasan permukiman baru sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi lokal pedesaan (Kota Terpadu Mandiri eks transmigrasi, fasilitas pelintas batas PPLB di perbatasan); Jumlah hunian: < 500 unit rumah; Luas kawasan: < 10 ha iii. Pengembangan kawasan permukiman baru dengan pendekatan Kasiba/Lisiba (Kawasan Siap Bangun/ Lingkungan Siap Bangun) Jumlah hunian: < 500 unit rumah; Luas kawasan: < 10 ha

  g. Peningkatan i. Penanganan kawasan kumuh di perkotaan Kualitas dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan Permukiman dasar (basic need) pelayanan infrastruktur,

  tanpa pemindahan penduduk; Luas kawasan: < 10 ha ii. Pembangunan kawasan tertinggal, terpencil, kawasan perbatasan, dan pulau-pulau kecil; Luas kawasan: < 10 ha iii. Pengembangan kawasan perdesaan untuk meningkatkan ekonomi lokal (penanganan kawasan agropolitan, kawasan terpilih pusat pertumbuhan desa KTP2D, desa pusat pertumbuhan DPP) Luas kawasan: < 10 ha

  Penanganan i. Penanganan menyeluruh terhadap kawasan Kawasan kumuh berat di perkotaan metropolitan yang Kumuh

  dilakukan dengan pendekatan peremajaan kota

  Perkotaan (urban renewal), disertai dengan pemindahan

  penduduk, dan dapat dikombinasikan dengan penyediaan bangunan rumah susun Luas kawasan: < 5 ha.

  Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008

4.2. ANALISIS PERLINDUNGAN SOSIAL

4.2.1. ARAHAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL

  1. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional: Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga dilakukan

   dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana. Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat

   nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.

  2. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi

  Pembangunan untuk Kepentingan Umum:

  Pasal 3: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hokum Pihak yang Berhak.

  3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

  Nasional Tahun 2010-2014:

   Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar.

   Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.

  

4. Peraturan Presiden No. 15/2010 tentang Percepatan penanggulangan Kemiskinan

  Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

  

5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam

Pembangunan Nasional

  Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.

  6. Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

a. Kemiskinan

  Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindak-lanjuti adalah isu kemiskinan sesuai dengan kebijakan internasional MDGs dan Agenda Pasca 2015, serta arahan kebijakan pro rakyat sesuai direktif presiden. Menurut standar BPS terdapat 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan miskin, yaitu: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang.

  2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

  3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok anpa diplester.

  4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

  5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

  6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

  7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

  8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

  9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

  10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

  11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

  12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan

  2

  500 m , buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

  13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

  14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.

  500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

b. Pengarusutamaan Gender

  Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter

  Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur Sosial Ekonomi Wilayah

  (PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), RuralInfrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.

2. Perlindungan Sosial pada Pelaksananaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

  Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali.

  1. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan.

  2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan. Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

  3. Permukiman kembali penduduk (resettlement) Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyarata.

  

4. Perlindungan Sosial pada Tahap Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta

Karya

  Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.