KENDURI DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN (MTA) (STUDI KASUS DI DESA BRINGIN KECAMATAN BRINGIN KABUPATEN SEMARANG)

  

KENDURI

DALAM PERSPEKTIF

MAJELIS TAFSIR AL- QUR’AN (MTA)

  

(STUDI KASUS DI DESA BRINGIN KECAMATAN

BRINGIN KABUPATEN SEMARANG)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

  

Sarjana Pendidikan Islam

  Disusun oleh :

  

Di susun oleh :

Iik Dian Ekayanti

NIM: 111 09 064

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

              

 

  “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

  ” (QS Al-Ahzab : 21)

  

PERSEMBAHAN

  Skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1.

  Orang tua Bapak (Bastori) dan Ibu (Siti Wafiroh) yang telah memberikan semangat serta mendukung demi meraih kesuksesan anaknya. Terima kasih atas semua kasih dan sayang yang telah di berikan.

  2. Bapak mertua (Towil) dan Ibu mertua (Suriyah) yang juga telah memberikan semangat dalam mencapai kesuksesan menantunya.

  3. Suami (Yanu Dani Marfiyanto) dan Anakku (Talita Alya Iftina) yang selalu menjadi motivasi dan penyemangat hingga sampai sekarang ini.

  4. Segenap keluarga yang juga mendoakan demi kesuksesan saya.

KATA PENGANTAR

  Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam tercurah kepada Khatamul Anbiya Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabatnya.

  Skripsi yang berjudul

   KENDURI DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TAFSIR AL- QUR’AN (MTA) (Studi Kasus Di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang) ini disusun untuk memenuhi salah

  satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

  Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan juga arahan serta saran dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga 2.

  Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan 3. Ibu Siti Ruhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI 4. Ibu Hj. Maslikhah, S.ag. M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik 5. Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

  

ABSTRAK

  Ekayanti, Iik Dian. 2016. Kenduri Dalam Perspektif Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) (Studi Kasus Di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang) . Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

  Pembimbing : Prof. Dr. Mansur, M.Ag.

  Kata Kunci: Kenduri, Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an Kenduri adalah ritual yang dijalankan setelah meninggalnya seseorang yang berupa pembacaan zikir, doa, dan bacaan-bacaan Al-

  Qur‟an dengan melibatkan kerabat dan warga masyarakat sekitar yang dipandu oleh seorang modin. Perdebatan muncul terutama pada status hukum tahlilan, apakah menjalankan tahlilan itu sebuah amalan ibadah a tau bid‟ah dan apakah haram atau halal menjalankan ritual tersebut. Perdebatan ini semakin memanas ketika sekelompok masyarakat dengan arogan menyatakan bahwa ritual ini dilarang dan haram hukumnya menurut Islam kemudian mengklaim syirik bagi mereka yang menjalankan.

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah pertama, Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pandangan hukum kenduri yang dikemukakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA). Untuk menjelaskan landasan berpikir dari hukum penolakan kenduri yang

  Kedua,

  digunakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA).

  Penelitian yang penulis lakukan menggunakan jenis penelitian kualititaf, yaitu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa dasarnya menyatakan dalam keadaan sebenarnya atau sebagaimana adanya (natural

  ). Sedangkan berdasarkan sifat masalahnya penelitian ini menggunakan

  setting

  metode deskriptif . Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan obyek sesuai dengan apa adanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) di desa bringin berpandangan kenduri merupakan kegiatan atau ritual yang berlangsung di masyarakat dan hanya tradisi yang dilakukan turun temurun untuk memperingati atau mendoakan orang atau keluarga yang sudah meninggal. kenduri secara fungsi tidak ada karena tahlilan pada dasarnya do‟a-do‟a yang dikirimkan untuk orang yang sudah meninggal tidak akan menjadi pahala bagi orang yang sudah meninggal. Sedangkan kenduri tidak diajarkan oleh Rasulullah, sehingga pahala yang akan dikirimkan kepada orang yang meninggal tidak sampai. Mereka menolak akan kenduri adalah tidak adanya sumber rujukan atau perintah yang jelas dari Al-

  Qur‟an dan Sunnah, bahkan Rosulullah tidak

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii PENGESAHAN KELULUSAN................................................................ iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................................... iv MOTTO .................................................................................................. v PERSEMBAHAN.................................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................vii ABSTRAK ................................................................................................viii DAFTAR ISI ........................................................................................... ix

  BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5 D. Manfaat Penelitian................................................................................ 6 E. Penegasan Istilah ................................................................................... 6 F. Metodologi Penelitian.............................................................................. 7 G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 15 BAB II : LANDASAN TEORI A. Tradisi Kenduri…………………………….......................................... 17

  1. Pembukaan ………......................................................................... 21 2.

  Tahlilan .......................................................................................... 21 3. Penutup .......................................................................................... 25

  D. Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA) ................................................. 26 1.

  Pengertian Majelis Tafsir Al-Qur‟an …….................................... 27 2. Tujuan Majelis Tafsir Al-Qur‟an .................................................. 31 3. Struktur lembaga MTA ………………………………………… 31 4. Kegiatan Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) ……………………… 32 5. Dasar MTA Menolak Kenduri ………………………………… 36

  BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ......................... 37 1. Sejarah Berdiri Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ...................... 37 2. Visi Misi Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ................................38 3. Manajemen Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ............................41 B. Pandangan Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin Terhadap Kenduri ......................................................45 C.

  Dasar Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin Menolak Kenduri .....................................................49

  BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pandangan Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin Terhadap Kenduri ......................................................52

  BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................ 57 B. Saran-saran............................................................................................ 58 C. Penutup...................................................................................................59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama dakwah, yang disebarluaskan dan diperkenalkan

  kepada manusia melalui aktifitas dakwah, tidak melalui kekerasan, pemaksaan atau kekuatan senjata. Islam tidak membenarkan pemeluk-pemeluknya melakukan pemaksaan terhadap umat manusia, agar mereka mau memeluk agama Islam. Islam adalah agama yang benar dan dapat diuji kebenarannya secara ilmiah, masuknya iman ke dalam kalbu setiap manusia merupakan hidayah Allah SWT.

  Al- Qur‟an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi

  Muhammad S.A.W., mengandumg hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.

  Sebagian penduduk di Indonesia beragama Islam, tetapi masyarakat di Jawa banyak yang melakukan kegiatan-kegiatan atau tradisi yang dikaitkan dengan acara-acara agama. Salah satu kegiatan yang di lakukan oleh masyarakat Jawa yaitu kenduri.

  Kenduri adalah ritual yang dijalankan setelah meninggalnya seseorang

  (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1992:231). Biasanya ritual ini dijalankan pada malam hari setelah menjalankan shalat Isya‟ dengan periode tertentu, antara lain: Pada saat kematian (selametan surtanah atau geblag), hari ketiga

  (selametan nelung dina), hari ketujuh (selametan mitung dina), hari keempat puluh (selametan patang puluh dina), hari seratus hari (selametan nyatus), peringatan satu tahun (mendak sepisan), peringatan kedua tahun (mendak pindo) dan hari keseribu (nyewu) sesudah kematian (Rudini, 1992:93). Dan ada juga yang melakukan peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi), (Ismawati, 2000:7).

  Tradisi ini tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Para pelaku tradisi hanya biasa mengatakan bahwa tradisi ini merupakan warisan dari nenek moyang mereka kurang lebih tiga atau empat generasi yang lalu. Tapi menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi para da‟i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang ke rumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul- kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati Download pada tanggal

  

Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da‟i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shadaqah. Mantera- mantera digantikan dengan zikir, do‟a dan bacaan-bacaan Al-Qur‟an.

  Akulturasi budaya dari Animisme, agama Hindu dan Budha menjadi Islam inilah yang sekarang menjadi perdebatan sengit oleh kalangan masyarakat. Perdebatan muncul terutama pada status hukum kenduri, apakah menjalankan kenduri itu sebuah amalan ibadah atau bid‟ah dan apakah haram atau halal menjalankan ritual tersebut. Perdebatan ini semakin memanas ketika sekelompok masyarakat dengan arogan menyatakan bahwa ritual ini dilarang dan haram hukumnya menurut Islam kemudian mengklaim syirik bagi mereka yang menjalankan. Padahal selama ini masyarakat menganggap ritual tersebut bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan syari‟at Islam, apalagi yang memimpin adalah orang yang tidak diragukan pengetahuannya agamanya.

  Perbedaan ini menciptakan pengelompokan terhadap masyarakat di Desa Bringin. Mereka yang menjalankan Kenduri dan mereka warga Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) yang tidak menjalankan Kenduri. Menurut kelompok warga MTA, larangan menjalankan ritual kenduri adalah, karena perkara tersebut tidak ada tuntunan dalam Islam, sedangkan perkara yang tidak ada dan membagi-bagi bingkisan dari keluarga si mayit untuk diberikan kepada sanak kerabat maupun masyarakat sekitar, hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam.

  Sedangkan menurut kelompok yang melakukan kenduri, Kenduri bukanlah perkara yang diharamkan, karena dalam Kenduri penuh dengan aktifitas zikir kepada Allah SWT, dan membaca Al-

  Qur‟an. Islam tidak melarang umatnya untuk berzikir membaca kalimat dan membaca Al- Qur‟an dengan cara khusus seperti yang dilakukan dalam Kenduri. Tentang hidangan makanan dan bingkisan, orang yang melakukan Kenduri berpendapat bahwa itu adalah bentuk sedekah. Adapun sedekah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk permohonan kepada masarakat untuk memaafkan dan merelakan kepergian si mayit, sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat sekitar atas perhatian dan partisipasi selama pengurusan si mayit, dan sebagai bentuk amal kebaikan yang pahalanya ditujukan kepada si mayit.

  Oleh karena itu, pembahasan yang sangat menarik tentang hukum kenduri menurut kelompok Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA), dengan dasar hukum yang sama Al-

  Qur‟an dan as-Sunnah, terjadi perbedaan persepsi. Dari masalah di atas penulis tertarik mengambil judul skripsi:

  

KENDURI DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN

(MTA) (STUDI KASUS DI DESA BRINGIN KECAMATAN BRINGIN

KABUPATEN SEMARANG)”.

B. Rumusan Penelitian

  Fokus penelitian ini adalah Kenduri dalam perspektif kelompok pengajian Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA). Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pandangan kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang terhadap Kenduri?

  2. Apakah yang mendasari kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang menolak Kenduri?

C. Tujuan Penelitian

  Agar peneliti ini dapat memperoleh hasil yang baik, maka perlu direncanakan tujuan yang hendak dicapai, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaannya adalah : 1.

  Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pandangan hukum Kenduri yang dikemukakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA).

  2. Untuk menjelaskan landasan berpikir dari hukum penolakan Kenduri yang digunakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA).

D. Manfaat Penelitian

  Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1.

  Manfaat Teoritis Hasil-hasil penelitian diharapkan sebagai acuan atau referensi untuk menghadapi permasalahan yang muncul di masyarakat.

2. Manfaat Praktis

  Hasil-hasil penelitian diharapkan untuk menambah wawasan khususnya wawasan tentang Tradisi Kenduri pada Upacara Selametan dan status hukumnya menurut hukum Islam.

E. Penegasan Istilah

  Untuk menghindari interpretasi dan kesalahpahaman pengertian batasan istilah, maka peneliti menyampaikan batasan-batasan istilah sebagai berikut : 1.

  Kenduri Kenduri adalah acara ritual (serimonial) memperingati hari kematian yang biasa dilaku-kan oleh umumnya masyarakat Indone-sia. Acara tersebut diselenggarakan keti-ka salah seorang dari anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai tau-lan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menye-lenggarakan acara pembacaan beberapa ayat al Qur‟an, dzikir, dan do‟a-do‟a yang bacaannya ter-dapat kalimat tahlil (

  ُللها َّلاِإ َهَلِإ َلا ) yang diulang-ulang (ratusan kali). (Muhammad Idrus Ramli, 2010:58).

2. Majelis Tafsir Al-Qur‟an

  Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) merupakan sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta.

  MTA didirikan oleh Ustadz Abdullah Thufail Saputra pada pada tanggal

  19 September 1972. Beliau seorang mubaligh keturunan Pakistan yang juga berprofesi sebagai pedagang (http://www.mta.or.id/).

  Maka dapat diartikan bahwa belajar menggunakan Al- Qur‟an sebagai dasar pedomannya dalam Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) cabang binaan Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

  Menurut uraian batasan-batasan istilah, dapat disimpulkan bahwa pembahasan tentang judul: “ Kenduri Dalam Perspektif Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) (Studi Kasus di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang)” adalah mempelajari hukum kenduri berdasarkan Al-Qur‟an dan as- Sunnah dalam pandangan warga Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

F. Metode Penelitian

  Untuk memperoleh penelitian yang valid, maka harus digunakan metode yang tepat dan sesuai untuk pengolahan data sesuai obyek yang dibahas. Dalam hal ini dikemukakan beberapa metode dan sumber data yang

  1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu pendekatan dalam penelitian yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami. Mengingat tujuannya adalah untuk mendapatkan data di lapangan, maka penelitian ini tidak dapat dilakukan hanya di laboratorium, melainkan harus dilaksanakan di lapangan (Ali, 1993:152). Selain itu penelitian ini juga disebut penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lain yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2012:2).

  Penelitian ini akan mengadakan penelitian di lapangan tanpa menggunakan prosedur analisis statistik. Dalam hal ini peneliti akan mengadakan penelitian langsung di Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang guna memperoleh data-data yang akurat mengenai hukum Kenduri dalam pandangan Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA).

  2. Kehadiran Peneliti Dalam melakukan suatu penelitian, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrument aktif dalam upaya pengumpulan data di lapangan. Instrument digunakan sebagai alat bantu dan berupa dokumen-dokumen yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan.

  3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan tempat di mana penelitian akan dilakukan, beserta jalan dan kotanya. Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi tempat pengajian Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) Bringin yang diadakan setiap hari Rabu jam 15.00-17.00.

  4. Sumber Data 1)

  Data Primer Menurut S.Nasution data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian (Nasution, 2004:64). Kata- kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Data primer digunakan untuk mendapatkan informasi langsung mengenai Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

  2) Data Sekunder

  Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang berupa surat pribadi, buku harian, notula rapat, sampai dokumen yang resmi dari berbagai instansi pemerintah. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

5. Prosedur Pengumpulan Data

  Adapun dalam pengkajian skripsi ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data penelitian dengan cara sebagai berikut : 1)

  Metode Wawancara Interview atau wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan peneliti yang ingi memperoleh informasi dari seseorang dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujan tertentu. Menurut Esterberg (2002), dalam Sugiyono wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam satu topik. Ia juga mengemukakan beberapa macam wawancara yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur (Sugiyono, 2008:317).

  Metode ini digunakan untuk mengetahui apa saja yang ada dalam pikiran dan perasaan responden. Salah satu cara yang akan ditempuh peneliti adalah melakukan wawancara secara mendalam dengan subyek penelitian dengan tetap berpegang pada arah sasaran dan fokus penelitian. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah sebagai berikut: Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang (sejarah berdirinya, letak geografis, visi dan misi, kondisi peserta pengajian, guru, dan pengurus, sarana prasarana).

  2. Waka cabang Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di Desa Bringin, apa saja problem yang dihadapi dalam Kenduri menurut pandangan Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA).

  3. Guru Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA), materi wawancara seputar ilmu yang diajarkan, bagaimana cara penyampaian ilmu kepada peserta pengajian Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA). 2)

  Metode Dokumentasi Metode dokumentasi merupakan pencarian data mengenai hal- hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya (Arikunto, 1996:6). Metode dokumentasi juga dapat diartikan sebagai metode pengumpulan data dengan cara mencari data atau informasi yang sudah dicatat dalam beberapa dokumen yang ada seperti buku induk, buku pribadi dan surat-surat keterangan lainnya.

  Teknik ini diarahkan untuk mengupulkan berbagai informasi, khususnya untuk melengkapi data dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian mengenai hukum kenduri menurut pandangan Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) informasi atau data yang dikumpulkan melalui studi dokumentasi antara lain : b.

  Buku yang digunakan dalam pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) Bringin.

  3) Observasi

  Metode observasi merupakan pengamatan langsung dengan melihat atau mengamati sendiri obyek yang akan diamati. Observasi juga bisa diartikan sebagai pengamatan dengan sistematika fenomena- fenomena yang diteliti. Sutrisno Hadi (1986) menyatakan dalam bukunya Dr Sugiyono bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis.

  Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

  Metode ini digunakan untuk memperoleh data dan mengumpulkan informasi mengenai Kenduri Dalam Perspektif Majelis Tafsir Al-

  Qur‟an (MTA) Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

6. Analisis Data

  Analisis data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam analisis lingkup hukum Kenduri menurut Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA) serta problematikanya.

  a.

  Reduksi Data Langkah awal ini untuk memudahkan pemahaman terhadap yang sudah terkumpul, reduksi data dilakukan dengan cara mengelompokkan data berdasarkan aspek-aspek permasalahan penelitian, aspek-aspek yang direduksi dalam penelitian ini adalah : kenduri dalam perspektif Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA) serta problematikanya.

  b.

  Penyajian Data Data yang telah direduksi, kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi berdasarkan aspek-aspek dan penelitian, penyajian data dimaksudkan untuk memudahkan peneliti menafsirkan data dan menarik kesimpulan. Sesuai dengan aspek-aspek masalah penelitian ini, maka susunan penyajian datanya dimulai dari hukum kenduri menurut Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA) Bringin dan problematikanya.

  c.

  Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan berdasarkan pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan, sesuai dengan hakikat penelitian kualitatif, penarikan kesimpulan ini dilakukan secara bertahap, pertama menarik kesimpulan sementara, namun seiring dengan bertambahnya data, maka harus dilakukan verifikasi dengan cara

  7. Pengecekan Keabsahan Penelitian Kriteria keabsahan data ada empat macam yaitu: (1) kepercayaan, (2) keteralihan, (3) kebergantungan, (4) kepastian (Moelong, 2012:37).

  Tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya memakai 3 macam antara lain : 1)

  Kepercayaan Kepercayaan data dimaksudkan untuk membuktikan data yang dikumpulkan sesuai dengan yang sebenarnya.

  2) Kebergantungan

  Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan terjadinya kemungkinan kesalahan dalam pengumpulan dan menginterpretasikan data sehingga data yang dikumpulkan dapat dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  3) Kepastian

  Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang dilakukan dengan cara mengecek data dan informan serta interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada pelacakan audit.

  8. Tahap-tahap Penelitian a.

  Tahap pra-lapangan Dalam tahap ini, yang dilakukan peneliti adalah menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki b.

  Tahap pekerjaan lapangan Pada tahap ini peneliti harus mempersiapkan diri dengan menjaga kesehatan fisik, berpenampilan rapi dan sopan saat melakukan penelitian.

  Ketika memasuki lapangan, hendaknya peneliti berbaur mejadi satu dan menjaga keakraban dengan subyek agar tidak ada dinding pemisah antara keduanya. Selain itu peneliti juga harus berbahasa yang baik dan jelas agar dalam mencari informasi subyek mudah menjawabnya. Sambil berperan serta, peneliti juga mencatat data yang diperlukan.

  c.

  Tahap analisis data Analisis data menurut Patton dalam kutipan Moleong (2009:103), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dalam hal ini peneliti mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengategorikannya.

G. Sistematika Pembahasan

  Sistematika diperlukan untuk menata dan mengatur sistematika penulisan sehingga mudah dibaca dan dipahami. Adapun sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN : Memuat latar belakang masalah, fokus penelitian masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II LANDASAN TEORI : Merupakan kajian teoritis yang berisi tentang penegertian Kenduri dan hal-hal yang berkaitan dengan Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA).

  BAB III PAPARAN HASIL PENELITIAN : Pada bab ini dipaparkan tentang definisi obyek penelitian yaitu Majelis Tafsir Al- Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

  BAB IV PEMBAHASAN : Pada bab ini dijelaskan tentang hasil penelitian yang diperoleh peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan. BAB V PENUTUP : Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari pembahasan yang telah dilakukan serta daftar pustaka dan lampiran- lampiran.

BAB II LANDASAN TEORI A. Tradisi Kenduri Ada dua pendapat mengenai latar belakang tradisi kenduri. Pendapat

  yang pertama berasal dari Pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto. Ia mengemukakan bahwa budaya kenduri kematian yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan karena pengaruh Hindu atau Budha. Dalam Agama Hindu atau Budha tidak dikenal kenduri dan tidak pula dikenal peringatan orang meninggal pada hari ketiga, ketujuh, ke empat puluh, ke seratus atau ke seribu. Akan tetapi, berdasarkan catatan sejarah menunjukkan bahwa orang Cempa telah memperingati kematian seseorang pada hari ketiga ( nelung dina), ketujuh ( mitung dina), ke empat puluh (matang puluh), ke seratus ( nyatus) dan ke keseribu ( nyewu). Orang-orang Cempa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW. Kerajaan Cempa pada waktu itu dipengaruhi oleh Faham Syi‟ah. Tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Cempa yang jelas- jelas terpengaruh faham Syi`ah. Begitu juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro, pembacaan kasidah-kasidah yang memuji-muji Nabi Muhammad menunjukkan keterkaitan tersebut. (

  

anggal 29 Sepetember 2016.)

  Istilah kenduri itu sendiri menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena Sunyoto juga mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek sosio-historis, munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi pengungsi dari Cempa yang beragama Islam. (

  anggal 29 Sepetember 2016.)

  Kepercayaan

  • –kepercayaan dari agama Hindu dan Budha, maupun kepercayaan Animisme dan Dinamisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam di Jawa selanjutnya terkontaminasi dengan kepercayaan - kepercayaan tersebut. Sebagai contoh yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan Animisme dan Dinamisme, ketika masyarakat mengesakan Allah sering kali telah tercampuri baik secara sadar dan tidak dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Misalnya ketika seseorang telah mengerjakan sholat, puasa, tetapi masih menjalankan ritual penyembahan terhadap benda hidup atau mati. Ritual itu contohnya seperti pemberian sesaji pada pohon yang dianggap keramat dan sesaji dalam suatu ritual, misalnya saja kenduri kematian. Padahal kepercayaan Islam diyakini bahwa penyembahan kepada Tuhan hanya satu, yaitu Allah. Kepercayaan dalam Islam yang lain bahwa kalau ada orang yang meninggal dunia perlu dikirimi do‟a, maka muncul tradisi kirim do‟a, tahlilan, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, seribu hari setelah orang meninggal. Do‟a kepada orang yang meninggal dunia merupakan anjuran menurut ajaran
Selanjutnya Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduri atau slametan. Kenduri merupakan upacara sederhana yang diselenggarakan oleh setiap keluarga Jawa untuk mohon keselamatan dan kebahagiaan hidup roh leluhur atau roh nenek moyang. (Murniatno. Dkk, 2000:84)

  Kenduri, dalam Islam dapat diartikan shodaqoh, karena adanya makanan yang dibagi-bagikan pada masyarakat. Kemudian wali songo sedikit demi sedikit mengajak para penduduk untuk mau memeluk agama Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, upacara-upacara itu berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari kandungan ibunya, kanak - kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematian dan setelahnya, atau juga upacara

  • upacara yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Upacara - upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji yang disajikan kepada roh-roh, makhluk halus, dewa - dewa. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat. (Amin, 2000:130) B.

   Pelaksanaan Tradisi

  Kenduri Setiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain. Kebudayaan itu merupakan suatu Kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu. (Ihromi,1987:32) Kenduri merupakan tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita terdahulu. Tradisi ini dilakukan untuk memperingati meninggalnya seseorang.

  Masyarakat Jawa pada umumnya melakukan tradisi ini. Kenduri biasanya dilaksanakan pada malam hari, setelah shalat Isya‟. Kenduri dilaksanakan ketika ada orang yang telah meninggal atau geblaknya, kemudian pada malam harinya sampai malam ke tujuh diadakan kenduri atau pengajian. Dalam kenduri ini, berkathanya dibagikan pada waktu tujuh harinya, kemudian empat puluh hari, seratus hari, dan pada hari keseribu.

  Unsur-unsur Animisme dan Dinamisme hingga kini pengaruhnya masih mewarnai sendi - sendi kehidupan masyarakat, terutama dalam ritualitas kebudayaan. Hal ini bisa diamati pada seremonial-seremonial budaya dalam masyarakat yang masih menunjukkan kepercayaannya terhadap makhluk supranatural. Kepercayaan terhadap makhluk supranatural misalnya saja adalah kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Islam memberikan warna baru pada upacara upacara itu dengan sebutan kenduri atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang pokok adalah pembacaan do‟a yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin atau kaum. Berikut ini adalah deskripsi mengenai pelaksanaan kenduri pada peringatan hari kematian yang dilakukan oleh masyarakat.

C. Acara Dalam Kenduri 1. Pembukaan

  Pembukaan dilakukan oleh pengisi acara kenduri, yang tidak harus tokoh agama atau kaum, tokoh masyarakat juga bisa dalam memimpin pembukaan. Acara pembukaan ini diisi dengan ucapan terimakasih kepada masyarakat karena telah bersedia mengikuti pengajian yang diadakan oleh keluarga yang telah ditinggalkan.

2. Tahlilan a. Pengertian Tahlil

  Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illallah (Munawar Abdul Fattah, 2012: 276).

  Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat La Ilaha Illallah. Penyingkatan ini sama seperti takbir (dari Allahu Akbar), hamdalah (dari

  Alhamdu Lillah ), hauqalah (dari La Haula Wala Quwwata Illah Billah),

  (dari Bismillah ar-Rahman ar-Rahim) dan sebagainya (Khozin,

  basmalah 2013:1).

  Menurut Ramli (2010: 58) bahwa, “Tahlilan adalah tradisi ritual yang komposisi bacaannya terdiri dari beberapa ayat Al- Qur‟an, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat, dan lain-lain. Bacaan tesebut dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Hal tersebut kadang dilakukan secara bersama- sama (jama‟ah) dan kadang pula dilakukan sendirian. hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjutnya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya.

  Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa cinta yang mendalam baginya (Nugroho, 2012:140).

  Dalam konteks Indonesia, tahlilan menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sedang tahlil secara istilah ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagaimana dalam pentafsiran

  

kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diistilahkan sebagai

  rangkaian kegiatan do‟a yang diselenggarakan dalam rangka mendo‟akan keluarga yang sudah meninggal dunia (Nugroho, 2012:140-141).

  Di masyarakat biasanya acara tahlilan di tempatkan pada acara kumpul-kumpul ada acara tahlilan, pengajian ada tahlilan, sampai arisan pun ada tahlilan (Fattah:276-277). Waktu yang digunakan untuk tahlilan biasanya 15-20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat la illaha illallah 100 kali, 200 kali, atau 700 kali. Atau diperpendek misalnya 3kali, atau 21 kali. Semuanya itu disesuaikan kebutuhan dan waktu.

  Dalam penjabaran mengenai pengertian tahlilan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tahlilan adalah kegiatan membaca kalimat

  thayyibah khususnya La Illaha Illallah yang dilakukan seseorang atau

  banyak orang dalam rangka mendo‟akan orang yang telah meninggal dunia.

b. Sejarah Tahlilan

  Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman Wali Songo yang sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Asal- usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Budha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif para Wali Songo, penyebaran agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk- makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar.

  Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para Wali Songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan.

  Lebih tepatnya tradisi ini identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara terang-terangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka menyakini bahwa acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga termasuk bid‟ah.

  Tradisi bacaan tahlilan sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (Royyan, 2013:2). Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama sekitar abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath Al-

  Qur‟an dan hadits Nabi mengamalkannay secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.

  Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertama kali menyusun rangkaian bacaan tahlilan dan mentradisikannya. Sebagian mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid

  Ja‟far Al-Barzanji, dan sebagian lain berpendapat, bahwa yang

  menyusun pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Royyan, 2013:2).

  Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut di atas adalah pendapat bahwa orang yang menyusun tahlilan pertama kali adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddid yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada

  Sayyid Ja‟far Al-Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.

  Kalau kita perhatikan secara cermat susunan bacaan tahlilan tidak terdapat di dalamnya satu bacaan pun yang menyimpang dari Al- Qur‟an (Rinaldi, 2012:20). Semua bacaan yang ada bersumber dari Al- Qur‟an. Kalaupun kemudian formatnya tidak diatur secara langsung di dalamnya Al-

  Qur‟an dan Hadits, hal itu tidaklah masalah, karena ia termasuk dzikir umum yang waktu, bilangan dan bacaannya tidak diatur secara baku oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.

3. Penutup

  seseorang. Kenduri ini dilaksanakan sesudah shalat Isya‟. Dalam hal ini, yang memimpin pengajian tersebut tidak mau disebut dengan istilah kenduri, tetapi lebih berkenan disebut dengan pengajian. Dengan cara ini, ada harapan dari pemimpin pengajian istilah kenduri dapat ditinggalkan dan sedikit demi sedikit diganti dengan istilah pengajian. Pada malam ke tujuhnya, berkat baru dibagikan kepada peserta pangajian.

  Untuk malam-malam pengajian sebelumya hanya mendo‟akan orang yang telah meninggal dan peserta pengajian hanya disajikan minuman dan makanan kecil saja. Sebelum pengajian tersebut ditutup, tuan rumah atau keluarga yang ditinggal membagi-bagikan berkat. Berkat ini diberikan pada waktu tujuh harinya orang yang telah meninggal. Di dalam berkat tersebut berisi nasi dan lauk-pauk sebagai ucapan terimakasih, karena telah bersedia menghadiri kenduri dan ikut mendoakan bagi yang telah meninggal dunia.

D. Majelis Tafsir Al - Qur’an

  Dalam bahasa Arab, kata majelis ( adalah bentuk isim

  سلجم)

  makan (kata tempat) kata kerja dari ( yang artinya tempat duduk,

  سلج) tempat sidang, dewan (Munawir, 1997:202).

  Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian majelis adalah pertemuan atau perkumpulan orang banyak atau bangunan tempat orang berkumpul (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994:615).

  Dari pengertian terminologi tentang majelis di atas dapatlah dikatakan bahwa majelis adalah tempat duduk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi, 1994:120).

  Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa majelis adalah tempat perkumpulan orang banyak untuk mempelajari agama Islam melalui pengajian yang diberikan oleh guru-guru dan ahli agama Islam.

1. Pengertian Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA)

  Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) merupakan sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Ustadz Abdullah Thufail Saputra pada pada tanggal 19 September 1972. Beliau seorang mubaligh keturunan Pakistan yang juga berprofesi sebagai pedagang (http://www.mta.or.id/).

  Pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umum umat Islam di Indonesia pada akhir dekade 60-an dan awal dekade 70-an. Saat itu, ummat Islam yang berjuang sejak zaman Belanda dalam bidang politik, ekonomi, dan kultural, posisinya justru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputra melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang semacam itu disebabkan karena kurang memahami Al-Qur’an secara benar. Karena itu beliau mendirikan MTA sebagai rintisan awal dalam mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an.