MODEL PENDIDIKAN ENTREPRENEURSHIP DI PESANTREN (Studi Kasus di Pondok Pesantren Salaf Al Ittihad Poncol dan Pondok Pesantren Modern Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang) - Test Repository

  LAPORAN PENELITIAN

MODEL PENDIDIKAN ENTREPRENEURSHIP

DI PESANTREN

  (Studi Kasus di Pondok Pesantren Salaf Al Ittihad Poncol dan Pondok Pesantren Modern Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang)

  Disusun oleh: Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd

  Ruwandi, S.Pd., MA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2 0 1 7

KATA PENGANTAR

  

ميحرلا نحمرلا الله مسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

  Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.

  Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu perkenankanlah kami menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1.

  Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag selaku Kepala LP2M IAIN Salatiga 3. Bapak Dr. Agus Waluyo, M.Ag selaku konsultan penelitian 4. Bapak KH.Munzaini, selaku Pengasuh PP Bina Insani Susukan Kabupaten

  Semarang 5. Bapak Ustadz Chusni Mubarok, selaku pengurus PP al Ittihad Poncol 6.

  Seluruh informan yang telah memberikan informasi dan data apa adanya yang kami perlukan dalam rangka kegiatan penelitian ini.

  Akhirnya, kami berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap peningkatan kualitas pendidikan, terutama di Pondok pesantren.

  Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

  Salatiga, November 2017 Peneliti,

  

DAFTAR ISI

Hlm.

  D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ……………

  59 B. Saran ..............................................................................

  59 A. Simpulan ........................................................................

  55 BAB V : SIMPULAN DAN SARAN .........................................

  Kendala dan solusi ...................................................

  45 3. Dampak pendidikan entrepreneurship ...................... 54 4.

  Pelaksanan pendidikan entrepreneurship .................

  38 1. Konsep pendidikan entrepreneurship ....................... 38 2.

  30 B. Pembahasan ..................................................................

  28 2. Pendidikan entrepreneurship di pesantren ...............

  …….. 28 A. Hasil Penelitian............. ...............…………………...... 28 1. Profil pesantren ........................................................

  BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  E. Analisis Data …………………………………………. 26

  25 E. Pemeriksaan Kesahihan Data …………………………. 26

  C. Subjek penelitian ……………………………………… 24

  Halaman Judul ………………………………………………………....... i Kata Pengantar ………………………………………………………….. iv Daftar Isi ……………………………………………………………....... v Abstract ………………………………………………………………….. vi

  B. Jenis penelitian ….. ………...…………………………. 24

  23 A. Paradigma penelitian ................... .…............................. 23

  21 BAB III : METODE PENELITIAN ...........................................

  Hasil Belajar ….…………………………………… 20 B. Penelitian yang relevan ............ .....................................

  5 2. Pendidikan entrepreneurship …………..………….. 10 3.

  5 1. Pondok Pesantren…………………………... ……..

  5 A. Kajian Teori ……………….………………………….

  RELEVAN ………..………………………………….

  3 BAB II : KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG

  2 C. Significance ……. …..………………………………....

  1 B. Objectives ……………………………… .…………....

  1 A. Background…. ………………………………………...

  BAB I : PENDAHULUAN …………………………………...

  60 Daftar Pustaka ……………………………………………........................ 62

  Abstrak

  Pesantren pada umumnya lebih mengutamakan pengajaran materi agama dan akhlak, tetapi mengabaikan keterampilan. Akibatnya, lulusan pesantren seringkali menjadi gagap saat kembali ke masyarakat. Menghadapi keadaan demikian, pendidikan entrepreneurship menjadi salah satu solusi konkrit. Penelitian ini memaparkan upaya pesantren tersebut dalam pendidikan

  

entrepreneurship. Fokus masalah yang dikaji adalah 1) Bagaimana konsep

entrepreneurship di pesantren; 2) Bagaimana pelaksanaan pendidikan

entrepreneurship ?; 3) Bagaimana dampak pendidikan entrepreneurship? 4) Apa

  problematika dihadapi dan solusi untuk mengatasinya ? Penelitian ini adalah jenis kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Analisis data penelitian menggunakan model interaktif

  Miles & Huberman.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) pendidikan kewirausahaan diarahkan untuk mempersiapkan santri dalam menghadapi kehidupan kelak setelah lulus. Dalam hal pekerjaan sebenarnya sudah diatur oleh Allah, namun manusia harus berusaha untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan secukupnya; 2) kegiatan kewirausahaan di pesantren dilaksanakan melalui beberapa jalur, yaitu a) jalur program khusus unggulan; b) jalur kurikuler; c) jalur ekstrakurikuler; dan d) jalur non-kurikuler; 3) kegiatan kewirausahaan di pesantren mampu memberi dampak ekonomi dan life skill kepada para santri; 4) masalah yang muncul dalam kegiatan kewirausahaan di pesantren adalah masalah berasal dari : a) human resources; b) masalah teknologik; c) masalah manajemen. Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak pesantren selalu melakukan kordinasi dengan pihak terkait dan berusaha memperbaiki manajemen kewirausahaannya.

  Kata kunci: pesantren, entrepreneurship, ngabdi ndalem, keterampilan terapan.

BAB I PENDAHULUAN A. Background Pendidikan di pesantren umumnya lebih memprioritaskan materi

  tentang agama dan akhlak namun minus keahlian baik hard skill maupun soft

  skill . Akibatnya, lulusan pesantren yang jumlahnya cukup signifikan

  seringkali menjadi gagap saat terjun ke masyarakat. Sulit mencari kerja dan kalaupun bekerja, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak professional, seperti menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional. Banyak pula alumni pesantren yang menganggur, padahal biaya dan waktu yang mereka habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Bisa hingga belasan tahun atau hampir sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan formal hingga lulus dari perguruan tinggi. Padahal, seperti yang lain, para santripun akan menghadapi tantangan yang tak kalah kompleksnya di era persaingan global (Ririn Handayani, 2013:2).

  Menghadapi keadaan demikian, pendidikan entrepreneurship menjadi salah satu langkah konkrit untuk lebih memberdayakan pesantren. Selain semangat kemandirian yang sudah menjadi ciri khasnya, penting pula mengajarkan berbagai keahlian dan semangat kewirausahaan kepada para santri agar kelak setelah lulus mereka dapat meneruskan hidup dengan bekerja secara profesional. Dengan demikian, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, namun para santri juga dibekali berbagai hard skill dan soft skill, semangat entrepreneurship, dan kecakapan teknologi informasi yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat modern.

  Pondok Pesantren Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang merupakan pesantren yang sampai sekarang masih banyak diminati masyarakat. Menurut Azyumardi Azra (Malik M., dkk, 2007:ix), dinamika inovasi pembaharuan di pondok pesantren, pada sebagian atau keseluruhan aspek telah menyebabkan pesantren dan lembaga sejenisnya mampu survive hingga hari ini. Dalam hal ini, pendidikan entrepreneurship di pesantren merupakan salah satu inovasi untuk survival pesantren itu sendiri di tengah arus tantangan modernitas yang ada. Sementara itu, Pondok Pesantren Bina Insani Susukan dan Pondok Pesantren Al Ittihad Poncol Kabupaen Semarang merupakan salah pesantren yang sampai sekarang masih eksis.

  Penelitian ini memaparkan tentang upaya pesantren tersebut dalam pendidikan entrepreneurship kepada para santri.

  B.

  Objectives Ada beberapa fokus masalah yang dikaji melalui penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana konsep entrepreneurship (kewirausahaan) yang dikembangkan di pesantren Bina Insani Susukan dan Ponpes Al Ittihad Poncol Kabupaten

  Semarang 2. Apa bentuk kegiatan di pesantren yang menopang penanaman nilai

  entrepreneurship bagi para santri ?

  3. entrepreneurship di pesantren Bina Bagaimana pelaksanaan pendidikan

  Insani Susukan dan Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang? 4. Bagaimana dampak pendidikan entrepreneurship di pesantren terhadap performa para santri, lulusan dan masyarakat ?

  5. Apa problematika yang dihadapi pesantren dalam pendidikan entrepreneurship ? Bagaimana solusi untuk mengatasinya ? C.

  Significance 1.

  Bagi IAIN Bagi IAIN Salatiga, hasil penelitian ini merupakan informasi yang sangat berharga bagi upaya pengembangan program pengabdian kepada masyarakat. Pondok pesantren merupakan salah satu lahan program pengabdian IAIN Salatiga (LP2M), yaitu melalui pembinaan pondok pesantren agar eksistensinya tetap kokoh di tengah arus perubahan global yang sangat cepat. Tema entrepreneurship mungkin dapat ditawarkan

  IAIN Salatiga ke berbagai pondok pesantren di wilayah Salatiga dan sekitarnya untuk memenuhi maksud tersebut di atas.

2. Bagi Pondok Pesantren

  Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai refleksi diri terkait dengan pengembangan nilai-nilai entrepreneurship. Kini, pengembangan nilai entrepreneurship bagi santri merupakan kebutuhan dalam rangka mempersiapkan santri memasuki kehidupan yang semakin kompleks di hari kemudian. Internalisasi nilai-nilai tersebut penting agar para santri mampu menghadapi berbagai masalah dalam rangka melaksanakan misi dakwah dan kehidupannya.

3. Bagi Kementerian Agama

  Bagi Kementerian Agama, hasil penelitian ini berguna untuk mengetahui dinamika pondok pesantren di daerah-daerah seluruh Nusantara. Informasi tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai konsideran untuk menentukan kebutuhan pembinaan pada masing-masing daerah atau pesantren.

  Isu entrepreneurship merupakan isu yang menarik dalam dunia pesantren, mengingat pesantren memiliki potensi yang besar bagi pengembangan nilai-nilai entrepreurship. Santri adalah peserta didik yang sangat potensial dan cocok dengan dunia entrepreneurship karena mereka telah terbiasa dengan model pendidikan non-formal. Fleksibelitas sistem pendidikan di pesantren, sejalan dengan sikap-sikap entrepreneur yang mengutamakan keuletan, kreativitas dan inovasi. Dengan demikian, Kementerian Agama dapat memetakan potensi entrepreneurship yang dapat dikembangkan di pondok pesantren sesuai dengan karakteristik pesantren dan potensi daerahnya.

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Teori 1. Pondok Pesantren

  a) Pengertian dan tujuan

  Pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai dan mempunyai asrama untuk menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku (Zamakhsyari Dhofier, 1983:18).

  Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab funduq yang berarti asrama atau hotel.

  Diantara tujuan dan fungsi pesantren adalah sebagai lembaga penyebaran agama Islam adalah, agar ditempat tersebut dan sekitar dapat dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga yang sebelumnya tidak atau belum pernah menerima agama Islam dapat berubah menerimanya bahkan menjadi pemeluk-pemeluk agama Islam yang taat. Sedangkan pesantren sebagai tempat mempelajari agama Islam adalah, karena memang aktifitas yang pertama dan utama dari sebuah pesantren diperuntukkan mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan agama Islam (Rusli, 2010:4).

  b) Elemen

  Elemen dasar pondok meliputi : 1) pondok; 2) masjid; 3) pengajaran kitab klasik; 4) santri; 5) kyai. Masing-masing elemen dapat diuraikan secara singkat pada paparan di bawah ini.

  Pondok merupakan asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang para guru yang dikenal dengan Kyai (Zamakhsyari Dhofier, 1983:49). Keberadaan masjid tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan merupakan tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam melaksanakan ibadah sholat lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Menurut Zamakhsyari Dhofir (1983:49), kedudukan masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.

  Pengajaran kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofir (1983:50), dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: 1) Nahwu dan Sharaf; 2) Fiqih; 3) Ushul Fiqh; 4) Hadits; 5) Tafsir; 6) Tauhid; 7) Tasawuf dan Etika; 8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah.

  Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

  Istilah Kyai berasal dari bahasa Jawa (Manfred Ziemek, 1986:130). Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.

  c) Tipologi

  Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilapesantren salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan materi keagamaan, sedangkakan sistem pengajaran modern damerintah (Rusli, 2010:7).

  d) Prinsip-prinsip pendidikan

  Menurut Nurcholis Madjid (dalam Nata 2001:113), prinsip yang melekat pada pendidikan pesantren, yaitu : 1) teosentrik; 2) ikhlas dalam pengabdian; 3) kesederhanaan; 4) kolektifitas (barakatul

  

jama’ah); 5) mengatur kegiatan bersama; 6) kebebasan terpimpin; 7)

  kemandirian; 8) tempat menuntut ilmu dan mengabdi; 9) mengamalkan ajaran agama; 10) belajar di pesantren tidak mencari ijazah; 11) kepatuhan mutlak kepada kyai.

  e) Pola Hubungan Kyai dan santri

  Pola relasi kyai – santri di pesantren dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : 1) hubungan guru dan murid; 2) hubungan orang tua anak; dan 3) hubungan patron client.

  Dalam hubungan guru dan murid, menurut Nukkholis Madjid (1997:23) santri akan selalu memandang kyai atau gurunya sebagai orang yang mutlak harus dihormati, bahkan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang membawa keberuntungan (berkah) atau celaka (mudarat). Kecelakaan yang paling ditakuti santri adalah kalau sampai ia disumpahi sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Oleh karena itu santri selalu berusaha untuk taat kepada kyai agar ilmunya bermanfaat dan menghindarkan diri dari sikap yang mengundang kutukan kyai.

  Dhofier (1980:82) berpendapat bahwa, dalam tradisi pesantren, rasa hormat dan kepatuhan santri kepada kyai bersifat mutlak dan tidak boleh putus, berlaku seumur hidup si murid. Melupakan kyai dianggap sebagai suatu aib besar karena dianggap akan menghilangkan barakah kyai, ilmunya tidak bermanfaat. Menurut Nurkholis Madjid (1997:24), relasi kyai dan santri tersebut salah satunya dipengaruhi oleh kajian terhadap kitab t

  a’lim muta’alim karya

  Al Zarnuji. Menurut Horikhosi, yang mendasari kekuatan kyai adalah kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial. Ahmad Tafsir menambahkan bahwa kewibawaan kyai juga bersumber dari kemampuan supra rasional yang dimilikinya, walaupun sebenarnya sulit dibuktikan kebenarannya namun kepercayaan masyarakat akan hal tersebut sangat besar.

  Relasi kyai dan santri, menurut Galba (2004:63) tidak hanya sebatas hubungan guru

  • – murid, akan tetapi lebih dari itu yaitu hubungan orang tua dan anak. Peranan kyai sebagai orangtua, kyai merupakan tempat dimana santri mengadu, terutama jika santri mempunyai masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri (Galba, 2004:64).

  Hubungan patron-client berupa hubungan kyai dan santri yang diwarnai kepercayaan, wibawa, dan karisma, dimana hal tersebut merupakan nilai-nilai tradisi yang terdapat di pesantren. Nilai-nilai yang terdapat di pesantren menurut Sukamto (1999:79) mengandung tiga unsur yang mengarah kepada terbentuknya hubungan patron- client, yaitu: 1) hubungan patron-client didasarkan pada pertukaran yang tidak seimbang, yang mencerminkan perbedaan status; 2) hubungan patron-client bersifat personal. Pola resiprositas yang personal antara kyai dan santri menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan di dalam mekanisme hubungan tersebut bahkan penghormatan santri ke kyai yang cenderung bersifat kultus individu; 3) hubungan patron tersebar menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas kurun waktunya. Hal ini dimungkinkan karena asosialisasi nilai ketika menjadi santri berjalan bertahun-tahun.

2. Pendidikan entrepreneurship a.

  Pengertian dan nilai entrepreneurship

  Entrpreneurship , menurut Kauffman didefinisikan sebagai :

  “..the transformation of an innovation into a sustainable enterprise

  that generates value … entrepreneurship merge the visionary and the pragmatic.

  ..”. Babson mendefinisikan entrepreneurship : “..is a way

  of thinking and acting tha is opportunity obsessed holistic in approach and leadership balanced ; sedangkan pendidikan entrepreneurship

  diartikan : “…is the exposure to and understanding of the skill,

  knowledge and process of innovation and new venture creation

  (Jeane, 2010:22). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

  entrepreneurship adalah cara berpikir dan bertindak kreatif dan

  inovatif dengan senantiasa melihat peluang secara menyeluruh yang dikelola dengan pendekatan kepemimpinan visioner yang seimbang.

  Menurut Novan (2012:39), ada nilai keunggulan pribadi yang dimiliki oleh seorang entrepreneurship, yaitu : 1) percaya diri; 2) orisinalitas; 3) berorientasi pada manusia; 4) berorientasi hasil kerja; 5) berorientasi masa depan; 6) berani mengambil resiko. Cerminan nilai-nilai keunggulan pribadi tersebut mewujud dalam perilaku sebagai berikut.

  

No Nilai entrepreneurship Cerminan perilaku

  1 Percaya diri Yakin dan Optimis Mandiri Kepemimpinan dan dinamis

  2 Orisinalitas Kreatif Inovatif Insiatif / proaktif

  3 Berorientasi pada manusia Suka bergaul dengan orang lain Komitmen

  Responsif terhadap saran dan kritik

  4 Berorientasi hasil kerja Ingin berprestasi Teguh pendirian Tekun Bekerja keras Penuh semangat

  5 Berorientasi masa depan Memiliki visi / cita-cita Ada upaya mencapai cita-cita Melakukan investasi

  6 Berani mengambil resiko Berani mencoba hal baru Tidak takut gagal Dapat belajar dari kegagalan

  Menurut Scarborough (Novan,2012:45), karakter seorang

  

entrepreneurship yang berhasil adalah: 1) proaktif, punya inisiatif,

  tegas; 2) berorientasi pada prestasi; 3) komitmen kepada orang lain; 4) bertanggung jawab; 5) lebih memilih resiko moderat; 6) percaya diri; 7) selalu menghendaki umpan balik; 8) berorientasi ke depan; 9) semangat kerja keras; 10) mampu memanaj; 11) selalu menilai prestasi dengan uang. Sedangkan menurut Pearce (Winardi, 2004:40),, ciri-ciri entrepreneurship yang berhasil adalah : 1) komitmen dan determinasi yang tiada batas; 2) dorongan atau rangsangan kuat untuk mencapai prestasi; 3) orientasi ke arah peluang-peluang serta tujuan; 4) lokus pengendalian internal; 5) toleransi terhadap ambiguitas; 6) keterampilan dalam menerima resiko; 7) kurang dirasakan akan status dan kekuasaan; 8) kemampuan untuk memecahkan masalah; 9) kebutuhan tinggi untuk mendapatkan umpan balik; 10) kemampuan untuk menghadapi kegagalan secara efektif.

  Dari beberapa paparan tersebut, nilai-nilai entrepreneurship dapat diringkas sebagai berikut.

  No Nilai entrepreneurship Indikator

  1 Percaya diri Keyakinan, kemandirian, individualitas, optimis

  2 Berorientasi tugas dan hasil Kebutuhan akan prestasi, berorientasi pada keuntungan, tekun dan tabah, kerja keras, energik, berinisiatif

  

3 Pengambilan resiko Berani mengambil resiko

Menyukai tantangan

  4 Kepemimpinan Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain, suka terhadap saran kritik yang membangun

  5 Keorisinal Inovatif Kreativitas tinggi Fleksibel Berjejaring

6 Berorientasi ke depan Memiliki cara pandang ke depan

  

7 Jujur dan tekun Memiliki keyakinan bahwa

hidup itu kerja, Bekerja itu ibaah b.

  Model pendidikan entrepreneurship Menurut Anita (2012:7), pendidikan entrepreneurship di sekolah dapat diinternalisasikan melalui berbagai cara, yaitu : 1) terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran; 2) terpadu dalam kegiatan ekstrakurikuler; 3) melalui pengembangan diri; 4) perubahan pelaksanaan dari teori ke praktik; 5) pengintegrasian ke dalam bahan ajar; 6) pengintegrasian melalui kultur sekolah; 7) pengitegrasian melalui muatan lokal. Masing-masing model pendidikan entrepreneuship dapat diuraikan sebagai berikut.

  1) Terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran

  Model pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi dalam proses pembelajaran dilakukan dengan penginternalisasian nilai- nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran, sehingga hasilnya berupa diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, terbentuknya karakter wirausaha dan pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.

  Kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, dapat juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan dalam perilaku keseharian. Langkah ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran di seluruh mata pelajaran melalui metode pembelajaran maupun melalui sistem penilaian.

  Integrasi pendidikan kewirausahaan di dalam mata pelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap perencanaan, silabus dan RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan. Cara menyusun silabus yang terintegrsi nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan mengadaptasi silabus yang telah ada dengan menambahkan satu kolom dalam silabus untuk mewadahi nilai-nilai kewirausahaan yang akan diintegrasikan. Sedangkan cara menyususn RPP yang terintegrasi dengan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan cara mengadaptasi RPP yang sudah ada dengan menambahkan pada materi, langkah-langkah pembelajaran atau penilaian dengan nilai- nilai kewirausahaan.

  Pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan dalam silabus dan RPP dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut: (a)

  Mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai kewirausahaan sudah tercakup didalamnya. (b)

  Mencantumkan nilai-nilai kewirausahaan yang sudah tercantum di dalam SKdan KD kedalam silabus. (c)

  Mengembangkan langkah pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan integrasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku. (d)

  Memasukan langkah pembelajaran aktif yang terintegrasi nilai- nilai kewirausahaan ke dalam RPP. 2)

  Terpadu dalam kegiatan Ekstrakurikuler Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Visi kegiatan ekstra kurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

  3) Melalui pengembangan diri

  Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan karakter termasuk karakter wirausaha dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Dalam program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan melalui pengintegrasian kedalam kegiatan sehari- hari sekolah misalnya kegiatan „business day‟ (bazar, karya peserta didik, dll). 4)

  Perubahan pelaksanaan pembelajaran dari teori ke praktik Dengan cara ini, pembelajaran kewirausahaan diarahkan pada pencapaian tiga kompetansi yang meliputi penanaman karakter wirausaha, pemahaman konsep dan skill, dengan bobot yang lebih besar pada pencapaian kompetensi jiwa dan skill dibandingkan dengan pemahaman konsep. Dalam struktur kurikulum SMA, pada mata pelajaran ekonomi ada beberapa Kompetensi Dasar yang terkait langsung dengan pengembangan pendidikan kewirausahaan. Mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai- nilai kewirausahaan, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Salah satu contoh model pembelajaran kewirausahaan yang mampu menumbuhkan karakter dan perilaku wirausaha dapat dilakukan dengan cara mendirikan kantin kejujuran, dsb. 5)

  Pengintegrasian ke dalam bahan/buku ajar Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata- mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti. Penginternalisasian nilai- nilai kewirausahaan dapat dilakukan ke dalam bahan ajar baik dalam pemaparan materi, tugas maupun evaluasi.

  6) Melalui kutur sekolah

  Kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan kewirausahaan dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan mengunakan fasilitas sekolah, seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, komitmen dan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah (seluruh warga sekolah melakukan aktivitas berwirausaha di lngkungan sekolah). 7)

  Melalui muatan lokal Mata pelajaran ini memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu mata pelajaran muatan lokal harus memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali peserta didik dengan keterampilan dasar (life skill) sebagai bekal dalam kehidupan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Contoh anak yang berada di ingkungan sekitar pantai, harus bisa menangkap potensi lokal sebagai peluang untuk mengelola menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yang kemudian diharapkan anak mampu menjual dalam rangka untuk memperoleh pendapatan.

  c.

  Proses pendidikan entrepreneurship Cope dan Watt menyatakan bahwa kejadian kritis (critical-

  incident) yang dialami wirausaha dalam kegiatan usahanya sehari-hari

  mengandung muatan emosional yang sangat tinggi dan pembelajaran tingkat tinggi. Cope dan Watt menekankan pentingnya pembimbingan

  (mentoring) untuk mengintepretasikan kejadian kritis yang dihadapi

  sebagai pembelajaran, sehingga hasil pembelajarannya menjadi efektif. Sulivan menekankan pentingnya client-mentor matching dalam keberhasilan pembimbingan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan, keterampilan, dan pembelajaran dapat difasilitasi ketika dibutuhkan wirausaha. Dengan memperhatikan tingkat siklus hidup wirausaha. Lebih jauh, Rae menggambarkan bahwa pengembangan kemampuan wirausaha dipengaruhi oleh motivasi, nilai-nilai individu, kemampuan, pembelajaran, hubungan-hubungan, dan sasaran yang diinginkannya. Sementara itu Minniti dan Bygrave membuktikan dalam model dinamis pembelajaran wirausaha, bahwa kegagalan dan keberhasilan wirausaha akan memperkaya dan memperbaharui stock serta sikap wirausaha sehingga ia menjadi lebih mampu

  of knowledge dalam berwirausaha (Anita,2012:12).

  Materi keterampilan yang diajarkan dalam pendidikan kewirausahaan meliputi: 1) fakta versus mitos menentang entrepreneurship; 2) menguji realitas; 3) kreativitas; 4) toleransi ambiguitas serta sikap-sikap; 5) mengidentifikasi peluang; 6) menilai usaha; 7) tindakan mendirikan usaha; 8) strategi usaha; 9) menilai karier; 10) penilaian lingkungan; 11) penilaian etikal; 12) menyelesaikan transaksi; 13) berjejaring; 14) memanen (Winardi, 2004:197).

  Sementara itu, agar para peserta didik betah dalam mengikuti pendidikan kewirausahaan, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : 1) menghargai keseimbangan antara bekerja dan hidup; 2) kesadaran tujuan perusahaan; 3) menikmati pekerjaannya; 4) menerima keragaman; 5) Integritas : jujur dan bangga; 6) manajemen partisipatif; 7) lingkungan belajar (Zimmerer&Scorborough, 2009:436).

  d.

  Kendala-kendala entrepreneurship Menurut Karl Vesper (Winardi,2004:35), kendala utama dalam kegiatan kewirausahaan adalah karena tidak adanya konsep yang jelas sebagai pegangan. Lebih lengkapnya, dia menyebutkan bahwa kendala-kendala kewirausahaan meliputi ; a) tiadanya konsep bertahan; b) kurang dikenalnya pasar; c) kurangnya keterampilan teknikal; d) kurang modal awal; e) kurangnya pengetahuan tentang bisnis; f) puas dengan diri sendiri, non motivasi; g) stigma sosial; h) keterikatan pada pekerjaan; i) distraksi-distraksi karena tekanan waktu; j) kendala-kendala yuridis, pengaturan birokrasi yang kaku; k) proteksionisme, monopoli; l) kendala-kendala karena paten-paten

3. Hasil Belajar

  a.

  Pengertian Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang terjadi pada individu setelah menjalani proses belajar (Djamarah,1994:23) Siswa yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan mental yang lebih baik, sementara dari sisi guru berupa selesainya materi bahan ajar.

  b.

  Bentuk-bentuk Menurut Gagne, ada lima bentuk hasil belajar, yaitu keterampilan intelektual, kemampuan kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik dan sikap, nilai. Sementara itu menurut Bloom, hasil belajar pada individu berupa perubahan dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik (dalam Dimyati, 2006:206).

  B.

  Penelitian yang relevan Beberapa penelitian tentang pendidikan kewirausahaan di pesantren dapat dilihat pada uraian berikut.

  1. Penelitian yang dilakukan oleh Inayatul Khusna (2011) dari UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Pesantren dan Entrepreneurship : Upaya Pesantren Riyadhul Jannah Pacet Mojokerto dalam pembentukan jiwa entrepreneurship santrinya menyimpulkanadanya upanya dan bentuk konkret pesantren riyadhul jannah dalam pembentukan jiwa entreprenuership.

  2. Penelitian yang dilakukan oleh Ferawati (2016) dari STAIN Kudus tentang Entrepreneurship santri di Pondok Pesantren entrepreneur al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus (Studi living Qur‟an) menyimpulkan bahwa implementasi al- Qur‟an surat Ali Imran ayat 110 di Pondok Pesantren Entrepreneur Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus adalah santri melakukan aktivitas atas dasar ibadah dan semangat meraih masa depan yang cerah 3. Penelitian yang dilakukan oleh Sigit Wahyono (2010) dari IAIN

  Walisongo Semarang tentang Inovasi Hidden Curriculum Pada Pesantren

  Berbasis Entrepreneurship (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al- Isti‟anah

  Plangitan Pati) menyimpulkan bahwa konsep inovasi hidden curriculum pada pesantren berbasis entrepreneurship merupakan gambaran tentang pembaharuan yang terjadi dalam kurikulum tersembunyi pada pesantren yang menanamkan dan melaksanakan pendidikan entrepreneurship.

  Beberapa penelitian di atas, berusaha mendeskripsikan upaya pesantren dalam menanamkan nilai entrepreneurship bagi para santrinya, kesemuanya mengambil setting di pesantren salaf. Penelitian ini mencoba memotret model pendidikan entrepreneurship yang dikembangkan di pesantren, dengan membandingkan pesantren salaf dan khalaf.

BAB III METODE PENELITIAN Ontology penelitian ini berkaitan dengan model pendidikan

  entrepreneurship pada dua buah pesantren yang masing-masing mewakili dua buah cluster yakni pesantren salaf dan pesantren khalaf untuk kemudian menganalisis karakteristik dan perbedaannya dalam mengembangkan pendidikan entrepreneurship pada masing-masing institusinya. Dalam sub bab ini akan diuraikan tentang paradigma penelitian, jenis penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, keabsahan data, dan analisis data.

  1. Paradigma Penelitian Sebagaimana uraian di atas penelitian ini hendak mengkaji dan mendiskripsikan model pendidikan entrepreneurship pada dua buah pondok pesantren salaf dan khalaf. Sesuai dengan karakteristik informasi yang kan diperoleh maka penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan menggunakan pendekatan induktif-refleksif dalam perspektif edu-preneurship khusunya pada pondok pesantren yang masing-masing mewakili pondok salaf dan yang lain mewakili pondok pesantren khalaf.

  Terdapat banyak makna penelitian kualitatif, tetapi satu hal yang disepakati oleh banyak pihak menurut Sharan B. Merriam & Elisabeth J. Tisdell (2016: 27) adalah

  ‘’… the notion ofinquiring into, or investigating something in a systematic manner

…’’

  Menurut Yin (2010:7-8) terdapat lima karakteristik penelitian kualitatif yaitu : a) studying the meaning of peopl

  e’s lives, under real-world conditions;

  b) representing the views and perspectives of the people (labeled throughoutthis book, as the participants) in a study; c) covering the contextual conditions within which people live; d) contributing insights into existing or emerging concepts that may help toexplain human social behavior; and; e) striving to use multiple sources of evidence rather than relying on a singlesource alone.

  2. Jenis Penelitian

  Penelitian ini bermaksud mengkaji dan mendeskripsikan model

  entrepreneurship pada dua pesantren; yang pertama model entrepreneurship

  yang mewakili pesantren salaf di Al Ittihad Poncol dan yang kedua mewakili pesantren khalaf yakni pesantren modern Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang. Mengingat sampel penelitian ini adalah dua pesantren salaf dan modern, maka hasilnya bersifat kasuistis dan transferrable bukan

  generalizable . Temuan yang diperoleh dari dua sampel masing-masing akan

  dibandingkan untuk menemukan model pada kedua pesantren tersebut. Oleh karena cakupan wilayah penelitiannya yang terbatas, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah studi kasus (case study). Studi kasus juga relevan untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena tersebut secara ekstensif dan mendalam.

3. Subyek Penelitian

  Untuk memperoleh gambaran yang memadail tentang model pesantren di dua lokasi tersebut, peneliti melibatkan beberapa informan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dalam melahirkan dan mengembangkan pendidikan entrepreneurship di kedua pontren tersebut. Key informan yang diharapkan menjadi sumber informasi dalam penelitian ini antara lain : pimpinan pondok pesantren, pengurus pondok, santri, pengelola unit usaha di pesantren, dan karyawan 4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

  Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dilakukan dengan mengambil informasi dari berbagai macam sumber guna mendapatkan gambaran yang mendalam tentang suatu kasus. Robert K. Yin 2009: 181) mengemukakan enam tahap pengumpulan data untuk memperdalam suatu kasus yang meliputi: 1) dokumentasi yang terdiri dari surat, memorandum, agenda, laporan-laporan suatu peristiwa, proposal, hasil penelitian, hasil evaluasi, kliping, dan artikel; 2) rekaman arsip yang terdiri dari rekaman layanan, peta, data survey, daftar nama, rekaman-rekaman pribadi seperti buku harian, buku sejarah, kalender, dan sebagainya; 3) wawancara, biasanya bersifat open ended; 4) observasi langsung; 5) observasi partisipan; serta 6) perangkat fisik atau kultur yakni peralatan teknologi, alat instrument, pekerjaan seni, dan sebagainya.

  Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Instrumen pengumpul data yang digunakan berupa pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman studi dokumen.

  5. Pemeriksaan kesahihan data Moleong (2015: 324

  • – 326) menegaskan empat pilar untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data tersebut dengan istilah derajad kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).

  Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada pemeriksaan kredibilitas (kepercayaan) data. Teknik yang digunakan untuk pengecekan derajat kredibilitas data dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan metode, ketekunan pengamatan, perpanjangan keikutsertaan, dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi.

  6. Analisis Data Paradigma yang digunakan untuk menganalisis data penelitian dengan menggunakan model interaktif Miles & Huberman, (1984,1994: 429).

  Menurut mereka analisis data berisi tiga sub proses yang saling berhubungan yakni reduksi data, pemaparan data, dan simpulan atau verifikasi. Proses- proses tersebut berlangsung sebelum pengumpulan data; selama perencanaan dan perancangan penelitian; selama pengumpulan data ketika analisis awal dan temporer dilakukan; dan sesudah pengumpulan data ketika produk akhir dicermati dan dilengkapi.

  Gambar 2: KomponenAnalisis Data Model Interaktif (Miles & Huberman, 2004:429)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Profil Pesantren

  a) Pesantren Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang

  Pondok pesantren Bina Insani resmi berdiri pada tanggal 14 April 2002 di bawah naungan yayasan pendidikan Islam Haji Achmad Khamim. Pondok Pesantren Bina Insani berdiri sebagai lembaga pendidikan Islam non formal yang muncul sebagai lembaga pendidikan non profit (tidak mencari keuntungan). Walaupun dengan komitmen yang semacam itu Pondok pesantren Bina Insani tetap berusaha mengupayakan pendidikan yang berkualitas tetapi terarah dengan biaya yang ringan.

  Tujuan didirikanya pondok pesantren ini adalah untuk membangun, mengarahkan dan mencetak insan seutuhnya, sebagai calon ilmuwan dan ulama‟ yang mempunyai pengetahuan agama dan umum secara seimbang melalui pendidikan terpadu antara pendidikan umum kepesantrenan, ketrampilan serta penanaman akhlaq Islami. Pendidikan di Pondok Pesantren Moderen Bina Insani memadukan sistem pendidikan tradisional dan moderen dengan spesialisasi yang jelas dan terarah.

  Pondok Pesantren Moderen Bina Insani menempati tanah seluas 7025 m2, terletak di Dukuh Baran, Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Pondok pesantren ini di kelilingi beberapa dusun sebagai yaitu sebelah barat: Dusun Ketapang; sebelah timur: Dusun Karang Tengah dan Dusun Sarimulyo. sebelah Utara : persawahan penduduk dan bengkok lurah; dan sebelah selatan: Dusun Kuangan.

  Lokasi pondok pesantren sangat strategis atau cocok untuk kegiatan belajar mengajar pengetahuan umum maupun agama bagi para santrinya karena suasananya yang tenang dan jauh dari keramaian. Situasi atau suasana yang aman dan kondusif juga tercipta karena adanya dukungan yang baik dari tokoh masyarakat, pemerintah dan warga masyarakat sekitar pondok pesantren (Ki Bagus Kusuma, 2015:1-2)

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Integrasi Pesantren Salaf (Tradisional) dan Khalaf (Modern) di Pondok Pesantren Qotrun Nada

6 80 118

Perbandinagn Pembelajaran Fiqih di Pondok Pesantren Modern Dengan pndok Pesantren Salaf Dalam Persepsi Ssntri: studi kasus pondok pesantren daarul ahsan dan pondok pesantren Al-Musayyadah

1 14 91

Promosi Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Baleendah Bandung

0 18 61

Pembangunan Sistem Informasi Pengolahan Data Siswa di Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Baleendah

3 31 94

KONSEPSI SANTRI PONDOK PESANTREN TERHADAP DEMOKRATISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN : Studi Kasus di Pondok Pesantren Langitan, Desa Widang Kecamatan Widang Kabupaten Tuban Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 133

PENDIDIKAN PARTISIPATIF DI PESANTREN (Studi atas Fenomena Bahsul Masail di Pondok Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur 2006) - Test Repository

0 0 73

PENGARUH MUJAHADAH TERHADAP PENINGKATAN KECERDASAN SPIRITUAL SANTRI( Studi Kasus Di Pondok Pesantren Bina Insani Desa Ketapang,Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang) TAHUN 2008 - Test Repository

0 0 84

RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI (Studi pada Pondok Pesantren Al-Manar dan Al Mas’udiyyah Kab.Semarang Tahun 2015 ) - Test Repository

0 0 191

HALAMAN JUDUL - HUBUNGAN POLA ASUH PONDOK PESANTREN DENGAN PEMBENTUKAN KARAKTER SANTRIWATI (Studi Kasus di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta) - Test Repository

0 0 167

Implementasi Metode Amtsilati Di Pondok Pesantren Al Hasan Salatiga Tahun 2018 - Test Repository

0 1 144