REFERAT II TERAPI EMPIRIS CANDIDEMIA PAD

REFERAT II
TERAPI EMPIRIS CANDIDEMIA PADA PASIEN NEUTROPENI DAN
NON NEUTROPENI

Oleh:
Fitrinilla Alresna
1306399733

Pembimbing :
Dr. dr. Widayat Djoko Santosa, SpPD, KPTI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Referat

Terapi empiris candidemia pada pasien neutropeni dan non-neutropeni


Oleh :
dr. Fitrinilla Alresna
PPDS Ilmu Penyakit Dalam Tahap II
NPM 1306399733

Telah disetujui untuk dipresentasikan di RSUPN Cipto Mangunkusumo
Pada bulan Desember 2016

Pembimbing,

Dr. dr. Widayat Djoko Santosa, SpPD, KPTI

2

PERYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa referat berikut
ini dengan judul:
Terapi empiris candidemia pada pasien neutropeni dan non-neutropeni
Saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas

Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai
plagiarisme atas karya ilmiah ini, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima
sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, Februari 2016

Fitrinilla Alresna
NPM. 1306399733

3

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................2
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME......................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................7
BAB III KESIMPULAN..............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................18


4

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi jamur atau mikosis semakin dikenal sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas
pada pasien rawat inap di rumah sakit terutama yang imunokompromis. Infeksi jamur pada
manusia dibagi menjadi infeksi jamur endemik dan infeksi jamur invasif. Penyebab infeksi jamur
invasif yang cukup banyak adalah Aspergillus spp., Pneumocystis jiroveci, Cryptococcus spp,
dan Candida spp. Candida dan Aspergillus merupakan penyebab terbanyak dari infeksi jamur
invasif. Candidiasis menjadi penyebab yang terbanyak dan mewakili sekitar 10% infeksi
nosokomial pada pasien di ruang rawat intensif.1
Candidiasis invasif dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Candidemia merupakan
manifestasi klinis candidiasis invasif yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 68-90%. Selain
itu candidiasis invasif juga dapat bermanifestasi menjadi peritonitis (7-30%), infeksi intra
abdomen yang lain (hati dan limpa), endokarditis serta menginfeksi otak dan mata. 2,3 Penelitian
yang dilakukan oleh Wahyuningsih dkk di ruang rawat Perinatologi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2001-2003 mendapatkan bahwa C. tropicalis merupakan
spesies Candida tersering yang menyebabkan candidemia.4 Meningkatnya insidens candidemia
dalam dekade terakhir bukan saja disebabkan oleh semakin membaiknya perangkat diagnostik,
namun juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah faktor-faktor risiko untuk terjadinya candidemia. 5

Berdasarkan studi-studi yang sudah dilakukan, penggunaan kateter intravena, antibiotik spektrum
luas, steroid, obat imunosupresan, nutrisi parenteral total, diabetes mellitus, dialisis dan pasca
prosedur bedah merupakan faktor risiko untuk terjadinya candidemia. 6-8

Secara garis besar manifestasi dari candidiasis dapat berupa candidemia atau candidiasis
pada organ dalam. Saat ini diagnosis candidemia ditegakkan dengan menggunakan kultur darah.
Ada kesulitan di sini karena tidak semua candidiasis pada organ dalam menimbulkan candidemia
sehingga pemeriksaan pada biakan menjadi negative sehingga kultur darah mempunyai beberapa
kekurangan yaitu hanya memberikan hasil positif pada sebagian kecil pasien dan butuh beberapa
hari untuk identifikasi spesies.9 Kesulitan dalam mendiagnosis candidemia ini akan berdampak
pada keterlambatan menegakkan diagnosis dan keterlambatan dalam memberikan terapi
antifungal yang akan meningkatkan angka mortalitas akibat candidemia. Walaupun di tengah
semakin meningkatnya pengetahuan kita akan infeksi jamur ini, penatalaksanaan infeksi jamur
tersebut tidaklah mudah. Terdapat permasalahan mulai dari diagnosis, pemilihan pengobatan,
5

sampai resistensi jamur terhadap agen antijamur, sehingga referat ini mencoba untuk mengupas
seputar permasalahan infeksi jamur khususnya candidemia, dan terapi empiric yang
direkomendasikan dalam rangka untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan
candidemia.


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Candidiasis invasif merupakan infeksi jamur sistemik yang disebabkan oleh spesies Candida,
yang dapat mengacu pada infeksi Candida di aliran darah (candidemia) atau komplikasinya
seperti endophtalmitis, endokarditis, dan meningitis.10-12
2. Epidemiologi
Saat ini insidens infeksi jamur invasif yang disebabkan oleh spesies Candida semakin
meningkat. Spesies yang paling banyak menyerang manusia adalah Candida albicans,
Candida glabrata, Candida tropicalis, Candida parapsilosis, dan Candida krusei.5 Candida
auris saat ini muncul sebagai salah satu spesies Candida yang multi-drug resistant yang
paling sering ditemukan akibat infeksi yang didapat dari RS. 13 Di Amerika Serikat, distribusi
spesies Candida pada 1.206 kasus candidemia 50.7% C. albicans, 17.4% C. parapsilosis, 16.7
C. glabrata, 10.2% C. tropicalis, 2.1% C. lusitanae, 1.6% C. krusei. 14 Nucci dkk, pada suatu
studi candidemia di Amerika Latin, menemukan bahwa dari 672 kasus candidemia, spesies
yang paling sering ditemukan adalah C. albicans (37.6%), lalu diikuti oleh C. parapsilosis
(26.5%), C. tropicalis (17.6%), C. guilliermondii (6.5%), C. glabrata (6.3%), dan C. krusei

(2.7%).15 Di amerika utara dan selatan, spesies Candida non-albicans ditemukan pada lebih
dari 50% kultur darah, dengan yang terbanyak adalah C. glabrata dan C. parapsilosis.
Sedangkan di eropa, C. albicans merupakan spesies yang paling sering ditemukan. Saat ini
terdapat juga peningkatan frekuensi dari spesies Candida non-albicans sebagai penyebab dari
Candidemia, yaitu C. glabrata, C. tropicalis, C. krusei dan C. parapsilosis.16 Penelitian di
Indonesia yang dilakukan oleh Wahyuningsih dkk di ruang rawat Perinatologi Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2001-2003 mendapatkan bahwa C. tropicalis
merupakan spesies Candida tersering yang menyebabkan candidemia.4
Suatu studi epidemiologi tentang sepsis yang dilakukan oleh Martin dkk menunjukkan
bahwa angka kejadian sepsis akibat infeksi jamur invasif mengalami kenaikan sebanyak
207% dari 5231 kasus pada tahun 1979 menjadi 16.042 kasus pada tahun 2000. Data
surveilans fungemia di Denmark yang dilakukan oleh Arendrup dkk dari tahun 2004 sampai
2009 menunjukkan kenaikan insidens fungemia dari 7,7 menjadi 8,6 kasus per 100.000
pasien.17 Data di Indonesia menunjukkan bahwa 62,96% neonatus sepsis yang mengalami

7

kegagalan dengan terapi antibiotik, pada pemeriksaan kultur darah didapatkan hasil positif
pertumbuhan candida.4
Dikarenakan meningkatnya penggunaan profilaksis fluconazole, terjadi pergeseran

epidemiologi dari Candida albicans (CA) ke spesies non albicans (NAC). NAC berpotensi
menjadi permasalahan karena tingkat resistensi yang tinggi terhadap fluconazole
3. Patofisiologi
Candidemia merupakan manifestasi klinis candidiasis invasif yang paling sering ditemukan,
yaitu sekitar 68-90%. Selain itu candidiasis invasif juga dapat bermanifestasi menjadi
peritonitis (7-30%), infeksi intra abdomen yang lain (hati dan limpa), endokarditis,
menginfeksi otak dan mata. Faktor risiko utama untuk terjadinya candidemia adalah
penggunaan kateter intravaskuler, kemoterapi intensif, penggunaan antibiotik spektrum luas,
penggunaan alat-alat medik yang invasif, transplantasi organ, HIV (human immunodeficiency
virus), populasi lanjut usia, kolonisasi di mukosa, neutropenia, prosedur bedah (terutama
operasi di daerah abdomen) dan nutrisi parenteral total.8
Zaoutis dkk melakukan studi kasus kontrol mencoba untuk mancari faktor risiko pada
101 pasien anak di ruang perawatan intensif yang mengalami candidemia. Dari studi tersebut
didapatkan faktor risiko yang bermakna adalah pemakaian kateter vena sentral, nutrisi
parenteral total, keganasan, pemakaian vankomisin dan antibiotik anaerob selama > 3 hari
dalam 2 minggu terakhir. Pasien-pasien yang mempunyai ≥ 3 faktor risiko tersebut dengan
kombinasi yang berbeda, akan mempunyai risiko 10-46% untuk menjadi candidemia. Selain
itu dari studi ini juga didapatkan angka mortalitas 30 hari pada pasien candidemia adalah
44% sedangkan pada pasien kontrol adalah 14%.19
Beberapa faktor risiko candidemia memang telah diketahui, namun kolonisasi

Candida mempunyai peran kunci dalam patogenesis candidemia. Flora normal anaerob di
saluran cerna merupakan mekanisme pertahanan alami terhadap infeksi dengan cara
menghambat pertumbuhan organisme yang potensial patogen, mekanisme pertahanan alami
ini dikenal dengan resistensi kolonisasi. Resistensi kolonisasi merupakan mekanisme dari
flora normal untuk mencegah kolonisasi yang berlebihan dari organisme endogen, seperti
spesies Candida. Penggunaan antibiotik spektrum luas maupun antibiotik anaerob akan
mengganggu mikrobiota, menekan pertumbuhan flora normal, sehingga akan menyebabkan
kolonisasi yang berlebihan dari Candida di saluran cerna, kulit dan di permukaan mukosa.9,19

8

Toll like receptors (TLRs) akan mengenali struktur dinding sel fungal (mannan) dan
akan menginduksi produksi dari sitokin proinflamasi, seperti tumor necrosis factor (TNF)
dan interleukin (IL) 1. Interferon (IFN) gamma memediasi respons dari sel T helper 1 untuk
memproduksi immunoglobulin anti-Candida yang spesifik, yang mempunyai fungsi untuk
mencegah dan membersihkan infeksi Candida.9
Prosedur invasif, seperti kateter intravaskuler, pembedahan di saluran cerna dan
kemoterapi yang menyebabkan mukositis, akan menyebabkan terputusnya barrier kulit dan
mukosa dan ditambah dengan status imun pejamu yang rendah akan memfasilitasi invasi
lokal dari Candida dan selanjutnya dapat menyebabkan candidemia. Meningkatnya lama

perawatan akan meningkatkan risiko untuk terjadinya candidemia, karena semakin lama
perawatan, maka akan semakin banyak pula tindakan invasif yang dilakukan terhadap pasien
tersebut. Penggunaan nutrisi parenteral total juga dapat menyebabkan imunosupresi sehingga
risiko untuk terjadinya candidemia pada pasien-pasien yang mendapat nutrisi parenteral total
akan meningkat. Pemakaian ventilator mekanik dapat menyebabkan bertambahnya fokus
kolonisasi Candida di saluran napas.8
4. Diagnosis
Berdasarkan European Organization for Research and Treatment of Cancer/Invasive Fungal
Infections Cooperative Group and the National Institute of Allergy and Infectious Diseases
Mycoses Study Group (EORTC/MSG), diagnosis jamur invasif dikelompokkan menjadi
proven, probable dan possible.20
Suatu infeksi jamur invasif dikatakan proven jika :
 Pada pemeriksaan histopatologi, sitopatologi atau pemeriksaan mikroskop langsung pada
spesimen yang diambil dari bagian tubuh yang normalnya steril melalui prosedur aspirasi
jarum halus atau biopsi menunjukkan adanya jamur.
 Pada pemeriksaan kultur jaringan yang diambil melalui prosedur yang steril pada bagian
tubuh yang normalnya steril ditemukan pertumbuhan jamur, dan pemeriksaan kultur
jaringan ini harus diambil pada bagian tubuh yang secara klinis atau radiologis dicurigai
terdapat infeksi jamur.
 Pada pemeriksaan kultur darah ditemukan pertumbuhan jamur.

 Pada pemeriksaan cairan otak didapatkan antigen kriptokokus.

9

Suatu infeksi jamur invasif dikatakan probable jika didapatkan adanya faktor pejamu,
kriteria klinis dan kriteria mikologis. Sedangkan suatu infeksi jamur invasif dikatakan
possible jika hanya didapatkan adanya faktor pejamu dan kriteria klinis tanpa adanya kriteria
mikologis.
Faktor pejamu :


Adanya neutropenia (< 0,5x109 neutrofil/liter atau < 500 neutrofil/mm3) selama > 10
hari sebelum terjadinya infeksi jamur.



Menerima transplantasi sel punca allogenik.




Pemakaian steroid lama (minimal 0,3 mg/kg/hari prednisone atau ekuivalennya) selama >
3 minggu.



Pemakaian obat imunosupresan sel T, seperti siklosporin, penghambat TNF alfa, antibodi
monoklonal spesifik (seperti alemtuzumab), atau analog nukleosida selama 90 hari
sebelumnya.



Penyakit imunodefisiensi yang diturunkan, seperti penyakit granulomatosa kronik.

Kriteria klinis :


Infeksi jamur di saluran napas bawah, adanya 1 dari 3 tanda berikut pada pemeriksaan
CT-Scan, yaitu kavitas, tanda air-crescent atau konsolidasi dengan atau tanpa tanda halo.



Trakeobronkitis adanya ulserasi, nodul, pseudomembran, plak atau skar pada
pemeriksaan bronkoskopik.



Infeksi sinonasal, pada pemeriksaan pencitraan didapatkan tanda sinusitis, ditambah
dengan adanya 1 dari 3 gejala berikut, yaitu nyeri akut yang terlokalisir, ulkus nasal
dengan skar hitam atau adanya perluasan sinus paranasal menembus tulang.



Infeksi sistem saraf pusat, adanya 1 dari 2 tanda berikut, yaitu terdapat lesi fokal pada
pemeriksaan pencitraan atau adanya penyangatan meningeal pada MRI atau CT Scan.



Candidiasis diseminata, adanya 1 dari 2 tanda berikut, yaitu adanya bull’s-eye lesion pada
hati atau limpa atau adanya eksudat progresif pada retina, yang terjadinya setelah episode
candidemia dalam 2 minggu sebelumnya.

Kriteria mikologis :


Pemeriksaan langsung (sitologi, mikroskopik langsung atau kultur), ditemukannya jamur
pada sputum, sekret bronkoalveolar atau cairan sinus.
10



Pemeriksaan tidak langsung (deteksi antigen atau komponen dinding sel jamur)



Aspergilosis dengan mempergunakan deteksi galaktomanan di plasma, serum, sekret
bronkoalveolar atau cairan otak.



Infeksi jamur invasif selain kriptokokus dan zigomikosis, dengan mempergunakan
deteksi beta-D-glukan di serum.

Diagnosis candidemia
Pada saat awal kedatangan di ICU, hanya sekitar 10-15% pasien yang mempunyai kolonisasi
Candida, namun seiring dengan waktu akan meningkat menjadi 50-80%. Hal ini terjadi
karena-pasien-pasien di ICU terpapar oleh berbagai faktor risiko seperti prosedur bedah
mayor, nutrisi parenteral, dialisis dan pemakaian antibiotik. Namun hanya sekitar 5-30%
pasien yang mempunyai kolonisasi Candida akan mengalami candidemia, yang biasanya
terjadi setelah perawatan yang lama di ICU. Terdapat 2 tipe infeksi Candida yang paling
sering terjadi. Candidemia yang terjadi setelah beberapa hari atau minggu setelah perawatan
di ICU dan peritonitis Candida yang terjadi setelah prosedur bedah di bagian perut. Kultur
darah konvensional dan kultur dari bagian tubuh lain yang steril, meskipun terlambat dan
tidak sensitif, tetap merupakan kunci diagnostik untuk mengidentifikasi spesies Candida dan
resistensinya terhadap agen antifungal. Kultur dari cairan tubuh lain yang normalnya steril,
kadang tidak spesifik dan pada sebagian besar kasus merefleksikan kolonisasi. Kultur darah
dapat positif pada sebagian kecil kasus dengan candidemia dan sering terjadi pada periode
infeksi yang sudah lanjut. Identifikasi spesies Candida konvensional dengan kultur darah
memerlukan waktu 1-3 hari setelah terdeteksinya pertumbuhan Candida pada media kultur.
Perkembangan terbaru teknik laboratorium dengan FISH (fluorescent in situ hybridization)
dan MALDITOF-MS (matrix-assisted laser desorption ionization time of flight massspectrometry), secara signifikan dapat menurunkan keterlambatan diagnosis, sehingga terapi
antifungal yang tepat dapat segera diberikan. Candidiasis invasif selain candidemia sangat
sulit untuk didiagnosis Tanda klinis dari candidiasis invasif tidak berbeda dengan infeksi
nosokomial lain. Manifestasi spesifik lain, seperti emboli retina dan lesi hepatosplenik sangat
jarang ditemui dan hanya ditemui pada pasien kanker setelah penyembuhan dari periode
neutropenia. Pengambilan jaringan seringkali membutuhkan prosedur invasif, mempunyai

11

komplikasi yang berisiko tinggi dan mempunyai angka diagnostik yang rendah, terutama
pada pasien-pasien yang sudah menerima terapi antifungal empirik.9
5. Tatalaksana
a. Terapi empirik
Terapi empirik adalah terapi antifungal yang diberikan pada pasien-pasien yang
mempunyai risiko tinggi infeksi jamur dan terdapat adanya demam yang persisten dan
refrakter. Pemberian terapi empirik ini bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas akibat candidemia, karena keterlambatan dalam memberikan terapi antifungal
dapat meningkatkan angka mortalitas pada pasien candidemia.9,21 Terapi empiric juga harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien sakit kritis dengan factor risiko untuk terjadinya
candidiasis invasive dimana tidak ada penyebab lain dari demam, dan harus berdasarkan
pendekatan klinis terhadap factor risiko, pemeriksaan penunjang untuk membuktikan
candidiasis invasive (seperti beta-D-glucan), dan/atau data kultur dari tempat yang tidak
steril. Faktor risiko untuk munculnya candidiasis invasive antara lain, kolonisasi Candida,
derajat beratnya penyakit, paparan terhadap antibiotic spectrum luas, operasi besar dalam
kurun waktu dekat, operasi intraabdominal, necrotizing pancreatitis, dialysis, nutrisi
parenteral, penggunaan kortikosteroid, dan pemasangan CVC.10
Terapi empirik perlu juga diberikan pada pasien-pasien sepsis yang sudah mendapatkan
antibiotik definitif namun tidak juga memberikan respons perbaikan klinis. Dalam
memberikan terapi antifungal empirik, para klinisi harus mengkombinasikan faktor risiko
dan kolonisasi untuk mengidentifikasi pasien-pasien mana yang benar-benar membutuhkan
dan memperoleh manfaat dengan pemberian terapi antifungal. Terapi antijamur empirik harus
segera diberikan pada pasien yang memiiki factor risiko diatas dan memiliki klinis syok
sepsis.9,10,21
Manfaat pemberian terapi preemptive atau terapi empirik untuk pasien dewasa yang
berisiko untuk terjadi candidemia atau candidiasis invasif masih banyak menjadi perdebatan
terutama dalam penentuan populasi pasien mana saja yang mungkin mendapatkan manfaat
masih belum jelas disebutkan.10
Pemilihan agen antifungal untuk terapi empirik maupun profilaksis dan preemtif harus
didasarkan pada data resistensi yang ada di masing-masing rumah sakit. Bila di rumah sakit
tersebut infeksi Candida masih didominasi oleh spesies C. albicans dan resistensi terhadap
flukonazol masih rendah maka pilihan agen antifungalnya adalah flukonazol, sedangkan bila
12

di rumah sakit tersebut infeksi Candida didominasi oleh spesies yang resisten terhadap
flukonazol seperti C. glabrata dan C. krusei maka pilihan agen antifungalnya adalah
ekinokandin. Setelah agen antifungal diberikan harus ada evaluasi terhadap respos klinis
maupun mikologis. Agen antifungal dapat disesuaikan setelah ada hasil kultur resistensi yang
diambil dari bagian tubuh yang steril, misal darah atau peritoneum. Hasil kultur yang
menunjukkan hasil negatif harus dicatat tanggalnya, karena terapi antifungal harus
dilanjutkan sampai setelah 14 hari setelah hasil kultur negatif tersebut. Pasien-pasien yang
respons kliniknya baik dan kondisinya stabil dapat diganti obat antifungalnya dari injeksi ke
oral.21
Ada berbagai macam rekomendasi yang saat ini dapat digunakan dalam menentukan
terapi empirik pada pasien
- Pada pasien nonneutropenia, pemberian terapi empirik sama dengan pemberian antijamur
pada pasien candidemia, penggunaan echinocandin intravena, seperti caspofungin loading
dose 70 mg dilanjutkan 5 mg per hari, micafungin 100 mg/hari, anidulafungin loading
dose 200 mg dilanjutkan 100 mg per hari dapat digunakan pada pasien-pasien sakit kritis
dengan faktor risiko terjadinya candidiasis invasif, atau didapatkan nilai positif untuk
pertanda candidiasis invasif dan/atau kultur Candida positif dari lokasi yang tidak steril,
-

dan tidak didapatkan sumber infeksi lain sebagai penyebab demam.10
Pemberian fluconazole loading dose 800 mg/hari dilanjtkan 400 mg per hari, dapat
dipertimbangkan sebagai altenatif untuk pasien yang belum pernah terpapar dengan
pengobatan azole dan hasil kultur tidak menunjukkan kolonisasi Candida yang resisten
terhadap azole (IDSA), serta dapat diberikan pada pasien-pasien di ICU dimana kondisi
demam tidak perbaikan setelah penggunaan antibiotik spektrum luas dan skor APACHE

-

II > 16.22
Penggunaan amfoterisin B, 3-5 mg/kg perhari dapat dijadikan alternatif jika terdapat

-

intoleransi terhadap agen antijamur lain.10
Untuk pasien-pasien di ICU yang hasil kultur sputumnya positif Candida, maka

-

penggunaan antifungal jenis lain dapat digunakan.10
Rekomendasi durasi pengobatan untuk terapi empirik pada pasien yang dicurigai
candidemia dan memiliki respon yang baik terhadap pengobatan adalah selama 2 minggu,
sama seperti pada pasien dengan candidemia yang terbukti dengan kultur. Untuk pasien
yang tidak memiliki respon klinis terhadap pengobatan terapi antijamur dalam 4-5 hari,
dan tidak memiliki bukti adanya candidiasis invasif setelah terapi empirik dimulai atau
13

hasil kultur menunjukkan hasil negatif, maka penghentian pemberian antijamur harus
-

dipertimbangkan.10
Terapi empirik antijamur diberikan secara rutin pada pasien neutropenia yang disertai
demam dan memiliki faktor risiko untuk terjadinya candidemia atau kandidiasi invasif
lainnya.10
Berdasarkan studi yang melibatkan 270 pasien ICU dewasa dengan keluhan demam

walaupun sudah diberikan antibiotik spektrum luas, pemberian fluconazole empirik tidak
memperbaiki outcome pasien jika pasien tersebut tidak memiliki klinis yang berat. Dalam
studi tersebut, subjek penelitian secara acak diberikan fluconazole 800 mg/hari vs plasebo
intravena selama 2 minggu. Keberhasilan keluaran dinilai dari adanya perbaikan demam,
tidak adanya infeksi jamur invasif, tidak ada toksisitas yang muncul, dan tidak diperlukan
pengobatan antijamur sistemik lainnya. Hasil yang didapatkan pada studi ini dengan
membandingkan pemberian fluconazole vs plasebo :
-

Keberhasilan terapi sebesar 36% vs 38% (tidak signifikan)
Perbaikan demam 51% vs 57% (tidak signifikan)
Terbukti candidiasis invasive 5% vs 9% (tidak signifikan)
Efek samping obat (sehingga intervensi dihentikan) 5% vs 7% (tidak signifikan)
Pemberhentian karena abnormaltas fungsi hati 2% vs 4% (tidak signifikan)
Studi tersebut mengeksklusi populasi yang berisiko tinggi untuk terjadinya infeksi jamur

invasif, seperti pasien dengan neutropenia, pasien dengan HIV AIDS dg CD4 < 0.5 x 109
sel/L, resipien transplant organ atau sum-sum tulang, dan pasien-pasien dengan luka bakar.23
Dalam sebuah systematic review yang membahas penggunaan amfoterisin B sebagai
terapi empirik candidemia menyebutkan bahwa penggunaan amfoterisin B memiliki
keberhasilan keluaran yang sama dengan penggunaan azole dan echinocandin pada pasien
dengan candidemia, candidiasis invasif, dan febrile neutropeni. Systematic review tersebut
membahas 17 studi acak yang mengevaluasi terapi empirik dengan antijamur dan melibatkan
342 pasien dengan candidemia, candidiasis invasif, dan febrile neutropenia. Keberhasilan
keluaran dinilai dengan mengevaluasi klinis dan mikrobiologis, dimana tidak terdapat
perbedaan yang signifikan untuk keberhasilan keluaran antara penggunaan amfoterisin B
terhadap agen antijamur nonpolyene lainnya pada 8 penelitian yang melibatkan 225 pasien.
Namun belum ada studi yang membandingkan antara penggunaan golongan azole dan
echinocandin.24

14

Satu studi multicentre yang menggunakan pasien-pasien ICU dalam intervensinya
memberikan terapi empirik antijamur, menunjukkan tidak terdapat perbedaan pemberian
fluconazole secara empirik dibandingkan dengan placebo. Candidiasis invasif tetap terjadi
pada 9 pasien yang mendapatkan fluconazol, dan 11 pasien pada pasien yang diberikan
plasebo, tidak berbeda bermakna.25 Studi multicenre lain (EMPIRICUS) yang melibatkan
260 pasien sakit kritis dan nonneutropenia yang ditemukanya kolonisasi Candida pada
beberapa lokasi, gagal organ multiple, dan sepsis yang didapatkan di ruang rawat ICU, terapi
empirik dengan micafungin selama 14 hari juga tidak menunjukkan perkembangan infectionfree survival dalam 28 hari namun dapat menurunkan laju infeksi jamur yang baru.26
Rekomendasi terapi definitif untuk pasien dewasa yang diketahui candidemia atau
candidiasis invasif pun bervariasi,
-

Rekomendasi IDSA 201610
 Echinocandin intravena merupakan terapi initial pilihan dibandingkan golongan
azoles, dikarenakan aktivitas bakterisidalnya, profil keamanannya yang baik, dan
semakin meningkatnya jumlah spesies Candida yang resisten terhadap golongan


azoles
Pilihan terapinya meliputi: micafungin intravena 100 mg per hari, anidulafungin
intravena 200 mg loading dose dilanjutkan 100 mg intravena per hari, caspofungin 70



mg intravena loading dose dilanjutkan 50 mg intravena per hari.
Echinocandin bukan merupakan pilihan untuk infeksi Candida pada organ mata,



sistem saraf pusat, atau saluran kemih, karena penetrasinya yang buruk
Fluconazole merupakan alternatif pilihan untuk pasien-pasien yang tidak sakit kritis
dimana kemungkinan resistensi terhadap fluconazole sangat kecil. Dosis yang
diberikan yaitu 800 mg per oral (12 mg/kgBB) atau loading dose intravena,
dilanjutkan 400 mg (6 mg/kgBB) per oral atau intravena perhari. Golongan ini
merupakan pilihan untuk infeksi Candida yang menyerang sistem saraf pusat dan

-

saluran kemih.
Rekomendasi ATS 2011 dan ESCMID 201222
 Fluconazole 800 mg (12 mg/kgBB) per oral atau loading dose intravena, dilanjutkan
400 mg (6 mg/kgBB) per oral atau intravena perhari terutama untuk pasien-pasien
yang klinis penyakitnya tidak terlalu berat dan infeksi C. parapsilosis.

15



Echinocandin, seperi micafungin 100 mg intravena, digunakan untuk klinis pasien
yang lebih berat atau pasien neutropenia, infeksi C. glabrata, dan pasien yang baru


-

saja mendapat terapi golongan azole.
Echinocandin dapat digantikan dengan fluconazole pada pasien-pasien non

neutropeni yang dicuriga candidemia
Durasi terapi yang dianjurkan untuk candidemia adalah selama 14 hari setelah kultur
darah menunjukkan hasil negatif untuk pertama kalinya, dan menunjukkan perbaikan
gejala dan anda pada pasien yang tanpa komplikasi

b. Resistensi antijamur27
Profil resistensi terhadap antibiotik antara lain:
- C. glabrata memiliki data resistensi yang tinggi terhadap fluconazole dan echinocandin
- Resistensi intrinsik terhadap golongan azoles juga ditemukan pada C. krusei
- Berkurangnya sensitifitas terhadap golongan azoles ditemukan pada C. glabrata, C.
-

parapsilosis
Variasi pola resistensi terhadap C. albicans bergantug pada karakteistik pasien dan

-

geografis
C. lusitaniae kemungkinan besar resisten terhadap amfoterisin B

Profil resistensi lain yang dianalisis pada 1.077 kasus candidemia yang berhasil dilakukan
kultur darah:
-

Resisten terhadap fluconazole ditemukan pada 0.8% C. albicans, 2.9% C. parapsilosis,

-

4.9% C. tropicalis, dan 100% C. glabrata
Resisten terhadap voriconazole didapatkan pada spesies C. albicans sebesar 0.6%, C.

-

krusei 5%, C. parapsilosis 7.6%, dan C. tropicalis 9.8%
Saat ini ditemukan bahwa spesies C. glabrata resisten terhadap golongan echinocandin

16

BAB III
KESIMPULAN
Infeksi jamur atau mikosis semakin dikenal sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas
pada pasien rawat inap di rumah sakit terutama yang imunokompromis. Candidemia merupakan
manifestasi klinis candidiasis invasif yang paling sering ditemukan. Meningkatnya insidens
candidemia dalam dekade terakhir bukan saja disebabkan oleh semakin membaiknya perangkat
diagnostik, namun juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah faktor-faktor risiko untuk
terjadinya candidemia. Kesulitan dalam mendiagnosis candidemia ini akan berdampak pada
keterlambatan menegakkan diagnosis dan keterlambatan dalam memberikan terapi antifungal.
Terapi empirik sendiri adalah terapi antifungal yang diberikan pada pasien-pasien yang
mempunyai risiko tinggi infeksi jamur dimana terdapat adanya demam yang persisten dan
refrakter. Pemilihan agen antifungal untuk terapi empirik maupun profilaksis dan preemtif harus
didasarkan pada data resistensi yang ada di masing-masing rumah sakit. Diharapkan dengan
pemberian terapi empiric yang optimal maka akan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat candidemia.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Bassetti M, Righi E. Overview of fungal infections–the Italian experience. Semin Respir
Crit Care Med. 2015 Oct;36(5):796–805.
2. Zarrin M, Mahmoudabadi AZ. Invasive candidiasis in review article. Jundishapur Journal
of Microbiolgy 2009; 2(1): 1-6.
3. Colombo AL, Nucci M, Park BJ, Nouer SA, Arthington-Skaggs B, da Matta DA, et al.
Epidemiology of Candidemia in Brazil: a Nationwide Sentinel Surveillance of
Candidemia in Eleven Medical Centers. Journal of Clinical Microbiology, Aug. 2006, p.
2816–2823.
4. Wahyuningsih R, Rozalyani A, El Jannah SM, Amir I, Prihartono J. Candidemia pada
neonatus yang mengalami kegagalan terapi antibiotik. Maj Kedokt Indon 2008;58:110-5.
5. Sahni V, Agarwal SK, Singh NP, Anurada S, Sikdar S, Wadhwa A, Kaur R. Candidemia
An Under-recognized Nosocomial Infection in Indian Hospitals. JAPI July 2005; Vol. 53:
607-11.
6. Paphitou NI, Ostrosky-Zeichner L, Rex JH. Rules for identifying patients at increased
risk for candidal infections in the surgical intensive care unit: approach to developing
practical criteria for systematic use in antifungal prophylaxis trials. Med Mycol. 2005
May;43(3):235-43.
7. Ostrosky-Zeichner L, Sable C, Sobel J, Alexander BD, Donowitz G, Kan V, et al.
Multicenter retrospective development and validation of a clinical prediction rule for
nosocomial invasive candidiasis in the intensive care setting. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis. 2007 Apr;26(4):271-6.
8. Arora D, Anand N, Goya G, Kumar R, Gupta P, Sarita. Prevalence and Risk Factor of
Candida in Cases of Candidemia in a Tertiary Care Hospital. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2011; Vol 3, Issue I: 157-59
9. Eggimann, Bille J, Marchetti O. Diagnosis of invasive candidiasis in the ICU. Annals of
Intensive Care 2011, 1:37.
10. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, et al. Clinical Practice Guideline for the
Management of Candidiasis: 2016 Update by the Infectious Diseases Society of America.
Clin Infect Dis. 2016 Feb 15;62(4):e1-e50 full-textdidiasis in the ICU. Annals of
Intensive Care 2011, 1:37.
11. Pappas PG. Antifungal clinical trials and guidelines: what we know and do not know.
Cold Spring Harb Perspect Med. 2014 Nov 3;4(11):a019745
12. Delaloye J, Calandra T. Invasive candidiasis as a cause of sepsis in the critically ill
patient. Virulence. 2014 Jan 1;5(1):161-9.
13. Centers for Disease Control and Prevention. Global emergence of invasive infections
caused by multidrug-resitant yeast Candida auris. CDC 2016
14. Strollo S, Lionakis MS, Adjemian J, Steiner CA, Prevots DR. Epidemiology of
hospitalizations associated with invasive candidiasis, United States, 2002-2012. Emerg
Infect Dis. 2016 Jan;23(1):7-13.
15. Nucci M, Tellez FQ, Matute TA, Tiraboschi IN, Cortess J, Zurita J, et al. Epidemiology of
Candidemia in Latin America: A Laboratory-Based Survey. Latin American Invasive
Mycosis Network March 2013; Volume 8, Issue 3.
18

16. Zaragoza R, Peman J. The Diagnostic and Therapeutic Approach to Fungal Infections in
Critical Care Settings. Advances in Sepsis 2008; Vol 6 (3): 90-8.
17. Arendrup MC, Bruun B, Christensen JJ, Fuursted K, Johansen HK, Kjaeldgaard P, et al:
National surveillance of fungemia in Denmark (2004 to 2009). J Clin Microbiol 2011,
49:325-334.
18. Gon Calves SS, Souza ACR, Chowdhary A, Meis JF, Colombo AL. Epidemiology and
molecular mechanisms of antifungal resistance in Candida and Aspergillus. Mycoses.
2016;59(4):198–219
19. Zaoutis TE, Prasad PA, Localio AR, Coffin SE, Bell LM, Walsh TJ, Gross R. Risk
Factors and Predictors for Candidemia in Pediatric Intensive Care Unit Patients:
Implications for Prevention. Clinical Infectious Diseases 2010; 51(5):e38–e45
20. Pauw BD, Walsh TJ, Donnelly JP, Stevens DA, Edwards JE, Calandra T, et al. Revised
Definitions of Invasive Fungal Disease from the European Organization for Research and
Treatment of Cancer/Invasive Fungal Infections Cooperative Group and the National
Institute of Allergy and Infectious Diseases Mycoses Study Group (EORTC/MSG)
Consensus Group. Clinical Infectious Diseases 2008; 46:1813–21.
21. Bassetti M, Mikulska M, Viscoli C. Bench-to-bedside review: Therapeutic management
of invasive candidiasis in the intensive care unit. Critical Care 2010, 14:244
22. Cornely OA, Bassetti M, Calandra T, et al; ESCMID Fungal Infection Study Group.
ESCMID guideline for the diagnosis and management of Candida diseases 2012:
nonneutropenic adult patients. Clin Microbiol Infect. 2012 Dec;18 Suppl 7:19-37
23. Schuster MG1, Edwards JE Jr, Sobel JD, Darouiche RO, Karchmer AW, Hadley S et.al.
Empirical fluconazole versus placebo for intensive care unit patients: a randomized trial.
Ann Intern Med. 2008 Jul 15;149(2):83-90.
24. Kanji JN1, Laverdière M, Rotstein C, Walsh TJ, Shah PS, Haider S. Treatment of invasive
candidiasis in neutropenic patients: systematic review of randomized controlled treatment
trials. Leuk Lymphoma. 2013 Jul;54(7):1479-87.
25. Schuster MG, Edwards JE Jr, Sobel JD, et al. Empirical fluconazole versus placebo for
intensive care unit patients: a randomized trial. Ann Intern Med 2008; 149:83.
26. Timsit JF, Azoulay E, Schwebel C, et al. Empirical Micafungin Treatment and Survival
Without Invasive Fungal Infection in Adults With ICU-Acquired Sepsis, Candida
Colonization, and Multiple Organ Failure: The EMPIRICUS Randomized Clinical Trial.
JAMA 2016; 316:1555.
27. Alexander BD1, Johnson MD, Pfeiffer CD, Jiménez-Ortigosa C, Catania J, Booker R.
Increasing echinocandin resistance in Candida glabrata: clinical failure correlates with
presence of FKS mutations and elevated minimum inhibitory concentrations. Clin Infect
Dis. 2013 Jun;56(12):1724-32

`

19

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI CAIRANUNTUK GANGGUANKESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADAAN.Z DENGAN GASTROENTERITIS AKUT DI RUANG EMPU TANTULAR RSUD KANJURUHAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

0 53 22

PERAN PERAWAT DALAM IMPLEMENTASI KOLABORATIF PEMBERIAN TERAPI INSULIN SEBAGAI TINDAKAN DALAM PENURUNAN KADAR GULA DALAM DARAH PADA KLIEN DENGAN HIPERGLIKEMI DI RUANG AIRLANGGA RSUD KANJURUHAN KEPANJEN TAHUN 2012

1 55 23

PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA HIPERTENSI DI KLUB SENAM SASANA SUMBERSARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DINOYO MALANG

34 239 24

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA EMPIRIS PADA PASIEN RAWAT INAP PATAH TULANG TERTUTUP (Closed Fracture) (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

11 138 24

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

PENGARUH INTENSITAS MORAL, KARAKTER PERSONAL DAN KARAKTER ORGANISASI TERHADAP SENSITIVITAS ETIKA AUDITOR (STUDI EMPIRIS PADA KAP MALANG)

5 79 17

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN MENGENAL UNSUR BANGUN DATAR KELAS II SDN LANGKAP 01 BANGSALSARI

1 60 18

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

TINJAUAN TENTANG ALASAN PERUBAHAN KEBIASAAN NYIRIH MENJADI MEROKOK DI KALANGAN IBU-IBU DI DUSUN TRIMO HARJO II KELURAHAN BUMI HARJO KECAMATAN BUAY BAHUGA KABUPATEN WAY KANAN

3 73 70

TEKNIK REAKSI KIMIA II

0 26 55