Pasang Surut Suara Perempuan Dalam Ilmu
Pasang Surut Perspektif Perempuan dalam Pendidikan Ilmu Hukum
Oleh: Rian Adhivira1
Apakah pentingnya membicarakan perspektif perempuan dalam hukum? Bukankah ratapan
perempuan telah terwadahi dalam segenap asas, doktrin, maupun peraturan yang dibuat secara
demokratis dan fair? Dan karena telah dibuat dengan prosedur oleh otoritas yang berwenang,
bukankah ia dengan sendirinya menjamin apa yang disebut sebagai yang-adil itu? Pertanyaan
tersebut agaknya hanya bisa dijawab dengan mengajukan pertanyaan balik; apakah jenis kelamin
hukum? Apakah pembuatan peraturan, asas, doktrin, dan bahkan hukum secara historis itu
sendiri memiliki keberpihakan pada jenis kelamin tertentu? Apabila peraturan dibuat dalam
dominasi satu seks tertentu saja, bagaimana ia bisa menjamin keadilan bagi seks yang lain? Dari
pertanyaan balik tersebutlah, barangkali, pembicaraan mengenai perspektif perempuan dalam
studi ilmu hukum dapat dimulai.
Studi permasalahan perempuan dalam hukum, memiliki imbas yang serius. Pertama; ia
merombak cara berpikir mengenai apa itu manusia dalam hukum, dengan kata lain,
mempertanyakan status antropo-filosofis dalam kajian ilmu hukum.2 Kedua; studi feminis dalam
ilmu hukum berdiri diantara dua kaki, yaitu deskriptif dan preskriptif. 3 Dari poin tersebut,
1
Pembant u dan penggembira di Sat jipt o Rahardjo Inst it ut e. Tulisan ini t idak bisa dibuat t anpa bant uan dari Unu
Herlambang dan Hasan Tuban, juga t ak lupa Bella Perdana yang t elah merelakan malam-malam minggunya unt uk
penulisanya. Tulisan ini adalah naskah dalam Pendidikan Tinggi Hukum garapan Sat jipt o Rahardjo Inst it ut e.
Dipresent asikan demi Gema Keadilan Pada Kamis, 18 Juni 2015. Krit ik dapat langsung dit ujukan ke
[email protected]
2
M isalnya, dalam masyarakat yunani kuno, selain kedew asaan dan w arga asli, ident it as seksual menent ukan
bagaimana derajad kew arganegaraan dalam polis. Hanya laki-laki dew asa semat a yang dapat beradu argumen
dalam agora , ruang pert emuan unt uk menent ukan kebijakan publik dalam polis. Hal ini yang memisahkan,
meminjam Arendt , manusia publik dan privat . Bagi Arendt , Vit a Act iva , at au hidup yang dihidupi hanya dapat
dicapai melalui laku publik. Lihat Hannah Arendt . The Human Condit ion (Chicago & London: The Universit y of
Chicago Press, 1998) hlm 7. Hal kurang lebih serupa dapat dit emukan dalam konsep negara demokrasi modern
hingga hari ini, misalnya bagaimana hukum t ert ulis mew adahi kepent ingan perempuan. Dari sini sesungguhnya
t erlihat t irani minorit as dimana secara populasi laki-laki-laki lebih sedikit daripada perempuan namun secara polit is
memiliki kekuat an yang jauh lebih kuat . St udi gender dalam hukum dengan demikian menolak argumen yang
berangkat dengan menyat akan bahw a hukum adalah net ral adanya. Kecurigaan t erhadap net ralit as ini, jug
t erhadap klaim at as universalit as t ampak adalah poin krusial dalam st udi hukum feminis. Lihat dalam Cat herine
M ackinnon. Feminism, M arxism, M et hod and t he St at e : Tow ard Feminist Jurispridence dalam Kelly D Weisber g
(ed). Feminist Legal Theory Foundat ion. (Philadelphia: Temple Universit y Press, 1995). Hlm 435
3
Ket erkait an t ersebut nampak karena meski berada dalam lingkup st udi Ilmu Hukum , namun relasi gender it u
sendiri t idak bisa dilepaskan dari berbagai hal. M ansour Fakih mengat akan “ […] bahw a pada dasarnya masalah
kemanusiaan t idak bisa dilihat dan dianalisis berdasarkan sat u aspek kehidupan belaka, sepert i aspek polit ik, aspek
ekonom i […] namun set iap realit as sosial melibat kan saling ket ergant ungan ant araspek kehidupan yang saling
berhubungan secara dialekt is ant ara st rukt ur ekonom i, polit ik, kult ur, gender maupun lingkungan alam ” lihat
dalam M ansour Fakih. Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakart a: Pust aka Pelajar, 2012) hlm 54 Analisa
hukum dan perundangan t ent u t idak semat a mencukupi unt uk melihat bagaimana kekuasaan bekerja dalam
meminggirkan perempuan. Sebagai pembanding dari argumen Fakih t ersebut dapat dit ilik pula argumen M argot
St ubbs, ia mengat akan bahw a t ak hanya hukum posit if, namun juga t it ik krit is harus diarahkian pada modus
produksi “ our t ask, as I perceive it , is t o crack open law t o polit ics: t o rejecet t he concept ual framew ork of posit ivist
memberi sumbangsih pula pada poin ketiga, bahwa studi feminis dalam ilmu hukum memiliki
pendekatan metodologi yang khas.4 Tentu, menyebut sumbangsih feminisme dalam studi hukum
dalam ketiga poin itu sendiri saja sudah merupakan reduksi mengingat semakin berkembangnya
pemikiran feminisme itu sendiri. Setidak-tidaknya, ketiga poin tersebut adalah titik berangkat
paling minimal. Hanya saja, penjelasan mengenai bagaimana studi perempuan dalam ilmu
hukum dapat dilakukan apabila terlebih dahulu memahami bagaimana pasang-surut dari
perdebatan mengenai “permasalahan perempuan”5 itu sendiri. Dengan demikian, menceritakan
mengenai bagaimana konteks situasi dari perdebatan itu sendiri menjadi perihal yang tak kalah
penting dari studi hukum feminis itu sendiri
Namun, masuknya apa yang disebut sebagai “perspektif perempuan” itu memang terlambat
adanya. Harvard Law School misalnya, baru mulai menerima murid perempuan pada tahun
1950,6 tiga dekade setelah pengakuan hak politik perempuan ditahun 1920 lewat amandemen
kesembilan belas Konstitusi Amerika Serikat. 7 Dan bahkan meski relatif mengalami banyak
kemajuan, partisipasi perempuan di pendidikan hukum Amerika sendiri masih menemukan
masalahnya hingga saat ini. 8 Meski masih perlu waktu untuk sampai pada studi hukum,
perkembangan studi perempuan pada tahun-tahun 1970an hingga 1980an tersebut oleh Claire
Dalton disebutnya sebagai “Feminist Enlightment”. 9 Terobosan penting yang harus dicatat
jurisprudence, and t o approach t he law as a form of praxis, for only t hen can w e unveil it s part icular, and t o
approach t he law as a form of praxis, for only t hen can w e unveil it s part icular funct ion in t he process of
reproducing t he exploit at ive sexual and economic class st ruct ure of capt alist societ y” dalam M argot St ubbs.
Feminist and Legal Posit ivism dalam Kelly Weisberg. Feminist Legal Theory Foundat ions. (Philadelphia: Temple
Universit y Press, 1993) hlm 473 uraian t ersebut set idaknya menunjukkan bagaimana saling berkait nya sat u t opik
aspek sosial kehidupan dalam masyarakat saling m empengaruhi sat u sama lain.
4
Sebagaimana diuraikan dalam poin sebelumnya, karena berangkat dari t ilikan krit is mengenai posisi perempuan
dalam realit as sosial, st udi gender dalam ilmu hukum memiliki kekhasan met ode t ersendiri. M et ode ini t urut
berkembang sesuai dengan perdebat an ant ar feminis it u sendiri. Ragam m et ode t ersebut akan dibahas t ersendiri.
5
Permasalahan perempuan maupun st udi hukum perempuan adalah ist ilah yang saya saling pert ukarkan baik
dengan permasalahan feminis, st udi hukum feminis, maupun t eori hukum feminis.
6
Bahkan, lima belas t ahun sesudahnya, pada t ahun 1965, jumpah mahasisw a perempuan masih sangat sedikit .
Lihat t est imoni M ary J. M ullarkey. Tw o Harvard Women 1965 t o Today. (Harvard Women’s Law Journal, Vol 27,
2004) hlm 369
7
Sebelumnya, hak kesamaan dimuka hukum t ercant um dalam amandemen ke-empat belas. Pada amandemen ke
sembilan belas, meski sempat menimbulkan masalah, beberapa pihak mengat akan bahw a amandemen t ersebut
inkonst it usional dan bahkan beberapa negara bagian masih mempert ahankan segregasi seksual mengenai hak
polit ik perempuan. Suprem e Court melalui put usan Leser v. Garnet t pada akhirnya memut uskan bahw a
amandemen t ersebut t idaklah inkonst it usional.
8
Sari Bashi & M aryana Iskander. Why Legal Educat ion is Failing Women. (Yale Journal of Law and Feminism, 2006)
st udi ini menunjukkan bagaimana part isipasi, kualit as, maupun sikap para pengajar pada mahasisw a perempuan di
Yale Law School, salah sat u sekolah hukum paling bergengsi di Amerika dengan met ode observasi, survei, dan
w aw ancara. St udi ini cukup pent ing karena t ernyat a, bahkan di Amerika sendiri hakim federal, senat yang
kebanyakan berasal dari lulusan berbagai law school masih didominasi oleh laki-laki. Dari sini secara umum t erlihat
bahw a “ budaya organisasi” t urut menent ukan bagaimana pengajaran dalam inst it usi pendidikan t inggi t urut
mempengaruhi part isipasi perempuan dalam kegiat an belajar-mengajar.
9
Walaupun sesunggunhnya pernyat aan ini lebih t epat disebut sebagai pert anyaan. Pada t ahun-t ahun t ersebut dari
hanya dua st udi pada t ahun 1969-1970 menjadi 30.000 pada t hun 1986-1987. Dengan sinis ia mengat akan, bahw a
meski Gerbang megah di Harvard menyat akan “ Not under M an, but under God and Law ” namun apalah art inya
adalah pendirian Women and the Law Program di American University, Washington College of
Law pada tahun 198410 yang tidak hanya didirikan oleh para aktivis perempuan, namun juga
dengan mempertimbangkan kurikulum, struktur organisasi, dan lain sebagainya, termasuk
mengadakan workshop tentang kurikulum pendidikan hukum perempuan.11
Namun apabila apa yang disebut sebagai teori hukum feminis tersebut memang benar adanya,
lalu bagaimanakah teori tersebut memandang relasi antar seks dihadapan hukum? Bisakah
hukum yang berlaku universal tersebut melihat perbedaan antar seks? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut adalah pertanyaan yang penting dalam perkembangan teori hukum feminis yang
kemudian tersohor dengan dua pendekatan yang berbeda ; sameness vs. difference, pertanyaanya
maka, apakah yang disebut sebagai adil itu adalah setara atau sama. 12 Melihat bagaimana
dominasi maskulin bekerja secara utuh meliputi aturan publik hingga tata-norma dan etika, studi
feminisme mengaburkan batas antara publik dan privat, bahwa yang personal adalah sekaligus
politis [personal is political]. 13 Hal lain yang tak kalah penting adalah, permasalahan sejauh
manakah kata “perempuan” itu sendiri dapat digeneralisasi. Dua perempuan yang tinggal dengan
dua modus produksi yang berbeda tentu tidak dapat dipersamakan satu sama lain. Dengan
demikian, maka sejauh mana kategori perempuan tersebut dapat diuniversalkan.14
Maka, karena kekhasanya tersebutlah studi feminsme dalam hukum memerlukan pendekatan
yang berbeda. Pertama, melihat bagaimana cara kerja hukum terhadap perempuan tentu tidak
bisa melihat semata pada satu bidang kajian saja, melainkan juga saling berkaitan dengan bidang
kajian yang berbeda atau dengan kata lain, memerlukan pendekatan interdisipliner. Kedua,
pendekatan tersebut berpusat pada pada perempuan, karena itu, metode seperti asking women
apabila hanya laki-laki semat a yang menafsirkan at uran hukum dari t uhan t ersebut . Lihat dalam Clare Dalt on.
Where w e St and: Observat ions on t he Sit uat ion of Feminist Legal Thought dalam Frances E. Olsen. Feminist Legal
Theory, Foundat ion and Out looks (New York:New York Universit y Press, 1995) hlm 1, 8. Tulisan ini sesungguhnya
keluar pada t ahun 1988, sesuai dengan kont eks pada masa it u dimana Teori Hukum Feminis t engah berusaha
menemukan bent uknya.
10
Ann Shalleck. The Fem inist Academic’s Challenge t o Legal Educat ion: Creat ing Sit es For Change (Journal of Law &
Policy. Vol.20. Issue.2 2012) hlm 375
11
Ibid hlm 376 selain semakin banyaknya pemikiran maupun seminar, hal pent ing lainya yang muncul diseput aran
t ahun-t ahun ini adalah dit erbit kanya Feminist Legal M anifest o pada t ahun 1992, dari M arry Joe Frug, beberaw a
w akt u set elah kemat ianya. M anifest o yang belum sempat selesai karena kemat ianya Frug yang mendadak ini berisi
pernyat aan mengenai aplikasi filsafat posmodern dalam hukum dan “ t ubuh” perempuan. Lihat M arry Joe Frug. A
Post modern Legal M anifest o (An Unfinished Draft ) dalam Frances E. Olsen (ed). Feminist Legal Theory I, Foundat ion
and Out looks (New York: New York Universit y Press, 1995) hlm 491
12
Jenny M organ. Feminist Legal Theory as Legal Theory dalam Frances E. Olsen. Feminist Legal Theory I,
Foundat ion and out looks (New York: New York Universit y Press, 1995) hlm 34 disini, peran int erdisipliner sangat
t erasa, t ulisan seorang psikolog perkembangan Carol Gilligan mengenai The Et hic of Care misalnya, menjadi bahan
perdebat an mengenai bagaimana hubungan yang set ara ant ara laki-laki dan perempuan.
13
Ibid hlm 41
14
M isalnya lihat saja t ulisan Lama-Abu Odeh, Post -Colonial Feminism and t he Veil: Considering t he Differences
dalam Op Cit Frances E. Olsen… hlm 524 Abu Odeh memperlihat kan bagaimana kerudung dapat dimaknai secara
berbeda, sebagai sensor at au sebagai solidarit as. Pendekat an kult ural semacam ini lazim dipergunakan oleh
feminis gelombang ket iga yang sangat berhat i-hat i ket ika m elakukan just ifikasi.
question, think like feminist dan raising consciousness dan lain sebagainya berpusat pada
perempuan. 15 Di Indonesia sendiri, para pegiat teori hukum feminis menghadapi dua hal
sekaligus; memperjuangkan metode sosio-legal sebagai bagian dari metode penelitian hukum
dan kampanye perlunya perspektif perempuan dalam hukum.
Pasang : Merayakan Perdebatan
Sekarang kembali ke Indonesia, studi relasi gender dalam ilmu hukum tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan gerakan perempuan di Indonesia pada umumnya. Apabila diurutkan berdasarkan
rentang sejarah, masuknya pendidikan hukum dan permasalahan perempuan sebagai satu mata
kuliah khusus dan bergerak menjadi kekuatan politis agaknya masih dapat dikatakan memiliki
patahan yang cukup panjang. Barangkali “putus”-nya rantai sejarah tersebut dapat dikaitkan pula
dengan nyaris redupnya perdebatan feminisme dibawah pemerintahan rezim Orde Baru. Setelah
politiknya, secara tiba-tiba seluruh perdebatan tersebut seperti hilang disapu beliung.
Penyebabnya jelas saja, bahwa Pasca 1965, setiap perempuan yang melawan akan segera
dikenakan tuduhan sebagai antek Gerwani, underbouw PKI.16
Padahal, peranan apa yang disebut sebagai “gerakan perempuan” ini tidak sedikit mewarnai
sejarah nasional.17 Congress Perempoean Indonesia pada 22-25 desember 1928 –yang kemudian
diadopsi sebagai hari ibu- di Djojodipoeran Mataram misalnya, diadakan dalam jarak waktu
yang tidak berapa lama setelah Sumpah Pemuda. Meski awalnya sempat diragukan, namun
ternyata kongres tersebut membahas banyak hal penting, bahkan teramat penting. Banyak hal
yang dibicarakan pada kala itu masih layak diperdebatkan hingga hari ini. Meski masih bersifat
sangat terbatas, yaitu diikuti oleh pribumi jawa semata, namun sebagaimana dikatakan
Blackburn, kongres tersebut membawa angin segar untuk satu hal; bahwa setiap perwakilan yang
datang mengatasnamakan dirinya sebagai wanita Indonesia.18 Meski kebanyakan berkutat pada
15
Niken Savit ri. Feminsit Legal Theory Dalam Teori Hukum dalam Sulist yow at i Iriant o & Donny Danardono (ed).
Perempuan & Hukum, M enuju Hukum yang Berperspekt if Keset araan dan Keadilan. (Jakart a: YOI & Convent ion
Wat ch UI. 2006) hlm 46-51
16
Lihat dalam Saskia Eleonora Weiringa. Penghancuran Gerakan Perempuan, Polit ik Seksual di Indonesia
Pascakejat uhan PKI (Yogyakart a; Galangpress, 2010)
17
Dalam bent uknya yang paling aw al, t ent u nama-nama sepert i Kart ini yang mengorganisir pendidikan dasar dan
ket erampilan sederhana di rumahnya besert a w arisan surat -surat nya adalah sumbangan yang berharga. Juga Tirt o
Adi Soerjo yang mengadakan pendidikan perempuan melalui penerbit an surat kabar miliknya sebelum pada
akhirnya menerbit kan koran khusus perempuan adalah t onggak berharga bagi perkembangan gerakan perempuan.
Namun organisasi perempuan pert ama baru pada t ahun 1912 yait u Put ri M ardika dan disusul berbagai organisasi
lain yang kebanyakan merupakan sayap dari organisasi induk.
18
Organisasi yang hadir ant ara lain Aisjijah, Boedi Rini, Boedi Wanit o, Darmo Laksmi, Jong islamiet e Bond, Jong
Java, Kart i Wara, Koesoemo Rini, M argining Kaot aman, Nat dat oel Fat aat , Pant i Krido Wanit o, Poet ri Boedi Soejat i,
Pet ri Indonesia, Roekoen Wanodijo, Sat jaja Rini, Sarikat Islam Bagian Ist ri, Wanit o Kat holiek, Wanit o Oet omo,
Wanit o M oeljo, Wanit o Sedjat i, Wanit o Taman Sisw a. Dari daft ar perw akilan t ersebut t ampak bahw a w anit a dari
et nis arab, t iong hoa, maupun eropa t idak disert akan. Kebanyakan yang hadir adalah w anit a berusia dua puluh
t ahunan dan kebanyakan t elah menikah. Topik yang paling dibicarakan adalah posisi perempuan dalam keluarga
dan perihal poligami. Lihat dalam Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pert ama, Tinjauan Ulang (Jakart a: YOI &
KITLV, 2007) Hlm xxv khusus unt uk permasalahan poligami, permasalahan t ersebut agaknya masih menjadi
persoalan sosial perempuan dalam rumah tangga, namun sudah terdengar pula suara tentang
perempuan sebagai bagian dari satu kesatuan nasional. Pidato Siti Soendari yang berjudul
Kewadjiban dan Tjita-Tjita Poeteri Indonesia, Tien Sastrowirjo dengan judul Bagaimanakah
Djalan Kaoem Perempoean Waktoe ini dan Bagaimanakah Kelak, Persaotean Manoesia dari Siti
Hajimah menunjukkan corak tersebut. 19 Kongres ini juga mulai melihat kondisi perempuan
eropa, sebagaimana disampaikan oleh Njonjah Ali Sostroamidjojo,20 yang meski masih sangat
terbatas, namun tilikan tersebut menunjukkan kondisi kesadaran kondisi perempuan sebagai
minoritas ganda (double minority). Dan meski berkaca dari barat serta mengakui keunggulan
perempuan barat, Njonjah Ali Sostroamidjojo tidak lantas terburu-buru menjadikanya sebagai
acuan ideal, ia mengatakan:
Hai saudara-saudarakoe poetri Indonesia. Perloelah kita mentjapai poela kemadjoean dan
kemerdeka’an seperti jang terseboet tadi. Akan tetapi ingatlah, bahwa bisa tertjapai hanja
dengan bekerdja jang tersokong oleh keinsjapan dan keyakinan kita. Ingatlah djoega,
bahwa kitapoen memponjai cultuur sendiri, djadi kalau bekerdja bagi kemadjoean kita,
haroes mengengeti djoega hal itu. Kemadjoean dan kemerdika’an kita haroes dilaras
dengan keadaan penghidoepan kita.21
Cuplikan penutup pidato dari Njonjah Ali Sastroamidjojo tersebut perlu untuk ditampilkan disini
karena menunjukkan paling sedikit tiga hal; pertama, telah majunya pemahaman relasi struktur
penindasan perempuan dalam masyarakat; kedua, tilikan pada kondisi perempuan di barat yang
berarti menunjukkan kepekaan terhadap kemajuan serta akses informasi keadaan diluar nusantara
dan ketiga, tidak secara bulat menjadikan barat sebagai preferensi mutlak, yang menunjukkan
adanya analisa kritis terhadap informasi yang diperoleh. Congress pertama juga melahirkan
Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI kemudian bubar dan digantikan oleh
Kongres Perempoean Indonesia, KPI yang sempat berupaya mendudukan perwakilan perempuan
di Volksraad. Perwakilan perempuan pada akhirnya berhasil mengirimkan wakilnya dibidang
politik dengan masuknya Rasuna Said di Volksraad dan SK Trimurti sebagai anggota BPUPKI.22
perdebat an yang sempat memuncak pada saat Soekarno melakukan poligami unt uk kesekian kalinya. Sempat
meredup, permasalahan poligami kembali mencuat pada t ahun 1970-an pada saat Undang-Undang Perkaw inan
disusun dan akhirnya diundangkan pada t ahun 1974 yang mengundang gelombang perdebat an. Puncak dari
perdebat an soal posisi perempuan dalam rumah t angga t ersebut barangkali baru dapat dikat akan menemukan
moment um pada saat diundangkanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 t ent ang PKDRT yang sesungguhnya
t elah dikampanyekan semenjak t ahun 1997.
19
Ket iganya sesungguhnya juga berangkat dari realit as perempuan dan posisinya dalam rumah t angga; sebagai
ibu, pendidik, sekaligus agen perjuangan yang dit unt ut unt uk t erus belajar. Lihat dalam Susan Blacburn. Op Cit hlm
54, 69, 119.
20
Njonjah Ali Sast roamidjojo. Hal Keadaan Ist eri di Europah dalam Susan Blackburn Ibid hlm 102-105 sekali lagi,
pidat o ini masih berada pada seput aran hal ihw al rumah t angga.
21
Loc cit hlm 105 Perdebat an masalah hak polit ik baru dibicarakan secara lebih luas pada saat Kongres Oemoem
Perempoean Indonesia ke t iga, kongres baru yang diadakan pasca pembubaran PPPI.
22
M uhadjir Darw in. Gerakan Perempuan di Indonesia Dari M asa ke M asa (Yogyakart a: Jurnal Ilmu sosial dan Ilmu
Polit ik, Vol 7. No. 3 2004) hlm 285
Masa ini, adalah masa ketika perdebatan terbuka dan panjang dari berbagai organisasi
perempuan tersebut berada tepat didepan gerbang. Pasca kemerdekaan, mengikuti perdebatan
partai-partai besar induk, perdebatan dimulai.
Dua dekade pertama tahun-tahun awal kemerdekaan, ditengah kondisi darurat negara, Soekarno
memberikan angin segar pada gerakan perempuan. Terbitnya buku Sarinah, 23 Ratifikasi
Konvensi Hak Publik perempuan dalam Undang-Undang No. 68/1958, terbitnya UndangUndang 80/1958 yang mengatur soal upah yang setara dan “membiarkan” perdebatan antar
gerakan perempuan.24 Dampak dari tiga hal tersebut dapat dirasakan secara langsung terutama
pada saat pemilihan umu tahun 1955 dimana perempuan dapat turut serta baik memilih maupun
dipilih. Ditengah ramainya kemunculan organisasi perempuan pasca kemerdekaan, tahun 1945
sendiri berdiri satu-satunya partai politik perempuan yang pernah ada sepanjang sejarah
Indonesia, Partai Wanita Rakyat. Kongres perempuan pertama setelah kemerdekaan segera
diadakan; pada tahun 1946, berbagai elemen organisasi perempuan menyatukan diri membentuk
Kowani mendukung republik dan menentang agresi militer Belanda. 25 Kongres tersebut
dilanjutkan pada tahun 1950 yang dengan semakin menguatnya organisasi perempuan, para
tokoh gerakan tersebut memiliki ‘ruang gerak’ yang lebih leluasa yang ditandai dengan
dibentuknya Komisi Masalah Perkawinan di tahun 1950 untuk mendesak Undang-Undang
Perkawinan dimana isu paling utama didalamnya adalah perihal poligami.26 Puncaknya adalah
pada tahun 1952 saat dikeluarkanya Peraturan pensiun janda pegawai negeri yang memberi
“keuntungan” bagi pegawai yang poligami. Keluhan utama pada saat itu adalah pemborosan
anggaran untuk membiayai pelaku poligami dan keadilan rumah tangga.
Dalam rentang waktu yang sama, mulai muncul organisasi perempuan “kiri” yang semakin
menemukan bentuknya. Seiring kuatnya propaganda Soekarno dan PKI, organisasi perempuan
23
Lihat Soekarno dalam Soekarno. Sarinah, Kew adjiban Wanit a Dalam Perdjoangan Republik Indonesia. (Panit ya
Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, 1963) Hlm 14-15 ia mengat akan “ Sesungguhnya, kit a harus
insjaf, bahw a soal masjarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, dan soal laki-laki dan perempuan
adalah sat u soal masjarakat dan negara...bahw a soal perempuan bukanlah soal kaum perempuan sadja, t api soal
masjarakat , soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh sat u soal masjarakat dan negara jang amat pent ing! ”
M eski akhirnya sempat membuat heboh gerakan perempuan dengan skandal poligaminya, buku Soekarno ini
memuat pandangan yang sangat pent ing sebagai pert ama dan sat u-sat unya buku t ent ang perempuan yang dit ulis
oleh seorang yang menjabat sebagai presiden.
24
M eski harus diduga bahw a pembiaran t ersebut lebih dikarenakan kuat nya Gerw ani yang dekat dengan PKI yang
pada kala it u t engah memiliki pert alian polit ik yang kuat dengan Soekarno.
25
Bersamaan dengan ini pula, kekuat an golongan kiri semakin meningkat dan t ermasuk diant aranya masuk dalam
Kow ani. Gerakan kiri ini sempat porak-poranda pada kala munculnya berit a pemberont akan PKI di M adiun pada
t ahun 1948 sebelum pada akhirnya dapat kembali menat a diri.
26
M enurut Weiringa, hampir seluruh organisasi perempuan pada kala it u menolak Poligami. Organisasi Islam
sepert i Aisyiyah bahkan t idak memberikan perlaw anan berart i dengan mengat akan bahw a seorang suami
“ sebaiknya” berist ri sat u, posisi ini cukup moderat . M asyumi maupun M uslimat NU bahkan menyet ujui gerakan
penolakan uang pensiun unt uk pegaw ai negeri yang berist ri lebih dari sat u Op Cit Weiringa hlm 182 Organisasi lain
yang t ergabung dalam KWI pada umumnya menyat akan penolakanya t erhadap poligami.
ini juga semakin menemukan bentuknya, Gerwani.27 Sikapnya sebagai organisasi mendua, pada
satu sisi menyatakan dirinya sebagai organisasi perempuan yang independen, namun disisi lain
memiliki kedekatan dengan golongan kiri terutama PKI yang ditandai dengan keanggotaan
ganda para pengurus diantara kedua organisasi tersebut. Melalui pendekatanya yang populis
disertai berjalanya kaderisasi dengan baik, Gerwani menjadi gerakan perempuan yang paling
kuat.
Pandangan politik Soekarno sendiri, karena kedekatanya dengan golongan kiri pada waktu itu
juga turut mempengaruhi dinamika perdebatan, apabila pada awalnya Soekarno melakukan
propaganda perempuan dalam rangka menyatukan kekuatan untuk merebut kemerdekaan,28 kini
ia dihadapkan dengan permasalahan poligami. 29 Kedudukan ini membuat Gerwani juga turut
bersikap mendua; pada satu sisi kedekatan mereka dengan Soekarno membuat mereka tidak
dapat berbuat banyak namun disisi lain anti-poligami juga merupakan salah satu alat kampanye
yang mereka.
Apa yang hendak disampaikan sampai disini adalah bahwa konfigurasi politik dan pergerakan
serta saling tarik ulurnya kekuasaan antar golongan (taruhlah nasionalis, komunis, agamis)
memberikan lahan yang subur bagi para organisasi perempuan untuk mengisi agenda perempuan
sesuai dengan konfigurasi politik yang ada baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, dan
politik. Pada masa ini pula pendidikan perempuan baik yang diberikan kepada perempuan pada
umumnya maupun dalam rangka organisasi tumbuh subur dan saling bersaing satu sama lain.
Surut : Pukulan Mundur
Setelah jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan setelah kerusuhan pada
tahun 1965, dibawah rezim baru, kemewahan ragam gerakan perempuan tersebut berakhir sudah.
Hilangnya perdebatan tersebut jelas merupakan pukulan mundur bagi gerakan perempuan di
Indonesia. Selain semakin membatasi pengaruhnya dalam bidang politik, hilangnya perdebatan
tersebut tentu menghambat perkembangan pemahaman relasi gender dan struktur masyarakat
yang sebelumnya dapat diperoleh dengan mengikuti maupun turut serta alur perdebatan tersebut.
Alih-alih perdebatan, rezim otoritarian orde baru memukul mundur bukan saja wacana perihal
perempuan semata, namun juga hampir seluruh suara kritis terhadap rezim pada umumnya.30
Dibawah ketakutan terhadap komunisme yang terus diulang pada setiap tahunya, setiap
organisasi perempuan yang bersuara keras akan segera diasosiasikan dengan Gerwani, yang pada
27
Pada mulanya bernama Gerw is, berdiri pada t ahun 1950. Berubah nama menjadi Gerw ani pada saat kongres
pert ama dengan ket ua Umi Sanjono.
28
Op Cit Saskia Eleonora Weiringa hlm 137 lebih jauh lagi pada Kongres Perempuan Indonesia Keempat di
Semarang, para anggot a secara bulat t urut mendukung kemerdekaan. Isu-isu perihal persat uan ini kemudian
menyingkirkan isu-isu rumah t angga.
29
Persoalan poligami sesungguhnya t idaklah pernah benar-benar hilang. Dalam akt ivis gender Islam kont emporer
secara lebih khusus dapat dilihat di Sonja van Wichelen. Polygamy Talk and t he Polit ics of Fem inism: Cont est at ions
over M asculinit y in a New M uslim Indonesia. (Journal of Int ernat ional Women’s St udies, 11(1) 2009)
30
Op cit Robert us robert
peristiwa 1965 dituding ikut terlibat dalam penculikan jenderal, menari telanjang sambil
memotong penis dan mencongkel mata perwira papan atas tersebut untuk kemudian mayatnya
mereka masukkan dalam lubang buaya. Potret atas peristiwa tersebut hingga kini masih dapat
dilihat jelas dalam Prasasti Monumen Lubang Buaya. Apa yang tidak banyak orang tahu adalah
bahwa hasil otopsi tidak menemukan adanya tindakan yang demikian,31 disamping telah banyak
juga studi sejarah yang menawarkan banyak varian mengenai tafsir terhadap peristiwa 1965.
Menurut Weiringa, selama masa Orde Baru, rezim memainkan politik seksual, yaitu melalui
stigma Gerwani untuk gerakan perempuan dan PKI untuk organisasi kritis pada umumnya.
Menurut penurutran Weiringa, bahkan studi akademis yang pernah dilakukan di Leiden
mengenai permasalahan tersebut pada seputar tahun 1988 memacu keributan di Indonesia. 32
Organisasi perempuan yang muncul pada masa ini memiliki corak yang berbeda dari organisasi
pada masa orde lama. Apabila pada masa sebelumnya ramai riuh perdebatan perempuan
seputaran pada peran dan kedudukan baik dalam ranah privat maupun publik, pada masa ini
organisasi perempuan yang lahir adalah perkumpulan istri. Puncaknya pada tanggal 4 agustus
1974, berdiri Dharma Wanita yang bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan
organisasi istri yang kemudian diadopsi menjadi gerakan nasional termasuk diantaranya program
PKK yang memiliki unit sampai pada tingkat RT/RW. 33 Sekali lagi, Perempuan, kembali
menjadi makhluk privat. Hingga akhir dekade 70an dan awal 90an, gerakan perempuan bersama
dengan gerakan lainya layaknya mati suri.
Pasang : Kelahiran Kembali?
Setelah sempat redup, geliat tersebut baru muncul kembali pada masa 80-an yang ditandai lewat
berdirinya beberapa Organisasi Non-Pemerintah yang secara khusus bergerak dalam kajian
maupun advokasi dalam ranah persoalan perempuan dan diratifikasinya Cedaw dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984.34 Adalah Kalyanamitra dan Yayasan Anisa Swasti, keduanya di
Yogyakarta yang kemudian disusul dengan didirikanya Pusat Kajian Wanita di Universitas
Indonesia yang diinisiasi oleh Psikolog Saparinah Sadli pada awal dekade 90-an yang kemudian
31
Saskia E. Weiringa. Sexual Slander and t he 1965-1966 M ass Killings in Indonesia: Polt ical and M et odological
Considerat ions (Bukit Timah: Asia Research Inst it ut e, Nat ional Universit y of Singapore, 2009) hlm 10 Bahkan kelak
ket ika Presiden Abdurrahman Wahid yang berasal dari kalangan islam moderat menyat akan permint aan maaf dan
keinginanya unt uk menghapus Tap M PR XXV/ 1966 gelombang prot es berdat angan meski t ak sedikit pula yang
menyat akan dukungan.
32
Ibid hlm 16
33
Riant Nugroho. Gender dan Pengarusut amaanya di Indonesia (Yogyakart a: Pust aka Pelajar) hlm 97-102 reduksi
lain t ampak misalnya pada int erpret asi at as Hari Kart ini yang nyaris t idak menampilkan sisi subversit as Kart ini
dengan hanya memperlihat kan t unt ut anya semat a at as pendidikan, juga mereduksinya sebagai hari penggunaan
kebaya. Lihat dalam kat a pengant ar Kat rin Bandel. Kart ini M anusia Hibrid kat a pengant ar dalam Kart ini.
Emansipasi, Surat -Surat Kepada Bangsanya 1899-1904 (Yogyakart a:Jalasut ra, 2014) hlm xvii
34
Beberapa pegiat perempuan mengat akan bahw a meski dirat ifikasi, namun rat ifikasi t ersebut hanyalah “ langkah
set engah hat i” . Direservasinya Pasal 29 ayat (1) dalam rat ifikasi CEDAW dalam UU nomor 7 t ahun 1984. Reservasi
t ersebut menandakan t idak siapnya negara dalam menegakkan hak asasi perempuan, lihat lebih jauh dalam R.
Valent ina Saragih & Ellin Rozana. Pergulat an Feminisme dan HAM . (Bandung: Insit ut Perempuan. 2007) Hlm 71
disusul oleh perguruan tinggi lainya termasuk pendirian Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah
Mada dan Unika Soegijapranata pada tahun 1991. 35 Kemudian LBH APIK didirikan seiring
dengan semakin meningkatnya pula jumlah Ornop “kritis” terhadap permasalahan sosial.36 Pada
tahun 1996, Gadis Arivia dan sejumlah akademisi Universitas Indonesia menerbitkan jurnal
pertama yang berfokus pada permasalahan gender; Jurnal Perempuan yang masih terbit hingga
hari ini. Pada tahun 1998, dilatarbelakangi oleh perkosaan massal terhadap etnis tiong-hoa, atas
desakan dari para tokoh perempuan Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) didirikan dalam suasana pergantian rezim Orde Baru. Pada
rentang waktu inilah barangkali studi perempuan secara akademis mulai masuk dan berkembang
di Indonesia, yang berarti perempuan sebagai gerakan mulai menjadi satu dengan dunia
akademis.37
Pada masa transisi kekuasaan menjelang Soeharto berada dihujung tanduk itu pula para pegiat
perempuan turut turun kejalan. Bersama-sama mereka membentuk Suara Ibu Peduli, suatu
koalisi antar organisasi perempuan dan membagikan susu yang kala itu tengah naik hingga 400
persen dan suplai makanan pada para mahasiswa. 38 Tidak hanya itu, pada saat meletusnya
kekerasan terhadap perempuan Tiong-hoa, berbagai organisasi perempuan menyatukan diri
dalam Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,39 embrio dari Komnas Perempuan.
Dan setelah Soeharto turun, organisasi perempuan semakin banyak berkembang dan turut
mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh arah kebijakan publik. Harus dicatat pula bahwa pada
masa transisi tersebut lahir segenap peraturan penting yang berhubungan dengan perempuan,
yang ditandai dengan Undang-Undang 39/1999 Tentang HAM, dan Instruksi Presiden No.
9/2000 Tentang Pengarusutamaan Gender pada masa Presiden Abdurrahman Wahid disusul
dengan paket pengaturan affirmative action pada tahun 2003, Undang-Undang 23/2004 tentang
35
Kajian Perempuan di Universit as sendiri baru berdiri unt uk pert amakali pada t ahun 1969 di Cornell Universit y
dan baru menjadi program t ersendiri pada t ahun 1970 di Sandiego dan Buffalo. Lihat dalam Amy K. Levin.
Quest ions For A New Cent ury: Wom en’s St udes and Int egrat ive Learning, a Report t o t he Nat ional Women’s St udies
Associat ion (Universit y of M aryland, 2007) hlm 1.
36
Lihat lebih jauh dalam Robert us Robet , Polit ik Hak Asasi M anusia Dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan
Krit is (Jakart a:Elsam, 2008) hlm. 37 M ulai naiknya permasalahan hak asasi manusia sebagai diskursus yang
digunakan unt uk melaw an rezim represif ot orit arian Soehart o bukan berart i t anpa halangan. Pemerint ah
menyerang balik dengan balik menuduh bahw a ornop t ersebut dibekingi oleh kepent ingan dana asing (hlm 39).
Selain it u, Rezim Soehart o juga gemar menggunakan t uduhan seput ar “ ant ek komunis” dan dengan dalih “ menjaga
kemurnian Pancasila” (40) melakukan pendekat an represif t erhadap mereka yang dianggap “ mengganggu
ket ert iban umum” . Adnan Buyung Nasut ion misalnya, sempat dipenjara pada saat M alari 1974 , Jurnal Perempuan
juga sempat diberedel selama beberapa w akt u. Perist iw a pent ing yang harus dicat at pada masa ini adalah
pembunuhan keji M arsinah, akt ivis buruh perempuan yang vokal.
37
Lebih jauh, bagaimana dinamika menamai diri sebagai seorang akademisi feminis, t erut ama para sarjana muslim
dapat dit emukan dalam t ulisan Alimat ul Qibt yah. Self-ident ified Feminist Among Gender Act ivist s and Scholars at
Indonesian Universit ies. (Aust rian Journal of Sout h East Asian St udies, 3 (2), 2010) hlm 151-174
38
Neng Dara Affiah. Gerakan Perempuan di era Reformasi: Capaian dan Tant angan (M akalah Diskusi Hari kart ini 21
April 2014) hlm 1
39
Lihat sekapur sirih Saparinah Sadli dalam Dew i Anggraeni. Tragedi M ei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan
(Jakart a: Kompas, 2014) hlm xi
PKDRT hingga Ratifikasi ICCPR dan ICESCR pada tahun 2005. Gerakan perempuan tersebut
agaknya tidak hanya muncul dalam satu ragam saja, melainkan tumbuh dan berkembang dalam
berbagai varian dan kekhususan bidang40 yang nantinya nampak pada saat muncul kembalinya
perdebatan diseputaran masalah isu-isu pengaturan perempuan dalam kehidupan publik.
Pendidikan-Studi Gender dalam Ilmu Hukum dan Beberapa Pengalamanya
Sebagaimana telah disebutkan diatas, tahun 80 hingga 90an adalah embrio dari masuknya studi
perempuan. Diantara tahun-tahun tersebut, pada tahun 1983 Satjipto Rahardjo sempat
mengadakan seminar soal hukum dan gender, adapun dokumen bahan ajar dari seminar tersebut
tengah dalam proses pencarian. Di tahun yang sama pula Universitas Diponegoro membuka mata
kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah pilihan, dibawah bimbingan departemen Hukum
dan Masyarakat. Meski mahasiswa kurang tertarik dengan mata kuliah tersebut, Hukum dan
Wanita tetap dipertahankan sebagai mata kuliah. Fakultas Hukum Universitas Indonesia
membuka kelas hukum dan gender pada awal dekade 1990. Kemudian terdapat pula Kelompok
Kerja ConventionWatch dengan Sulistyowati Irianto, tokoh Antropologi Hukum, yang mulai
mempromosikan tentang mata kuliah hukum dan gender semenjak tahun 1996 dengan anggota
mencapai lebih dari 23 fakultas hukum. Kemudian, pada awal dan pertengahan dekade 2000an,
kelompok kerja Universitas Indonesia Convention Watch, mengadakan lokakarya mengenai
pentingya perspektif gender dalam pengajaran di perkuliahan. Convention Watch mengundang
pengajar dan peminat studi gender beserta jajaran fakultas untuk ikut serta dalam lokakarya
tersebut. Dipenghujung program Convention Watch, sempat ada keraguan mengenai bagaimana
nantinya program gender dalam fakultas hukum tersebut. Arief Hidayat, Dekan Fakultas Hukum
Undip waktu itu menyediakan diri untuk menjadi penyelenggara. Pada saat konferensi di
Semarang, disepakati dibentuk satu wadah tersendiri sebagai tempat bertemunya pengajar gender
di fakultas hukum. Pada saat inilah kemudian dibentuk Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum
dan Gender Indonesia dengan Arief Hidayat sebagai ketua dengan anggota mencapai 35 fakultas
hukum.41 Dengan demikian, meski dengan segala keterbatasanya, APPHGI terus mengadakan
pertemuan rutin setiap tahun. Diantara peminat kajian hukum dan gender sendiri, rupanya
terdapat jarak pengetahuan tentang gender sehingga pertemuan tersebut sekaligus menjadi ajang
untuk saling bertukar referensi buku maupun teori terbaru. Dari APPHGI pula, terjadi tukar-ilmu
antara para pengajar dibidang hukum dengan pemerhati bidang lain. 42 Meski diperlukan
penelusuran lebih lanjut, namun dapat diduga bahwa dalam APPHGI pula terdapat jaring-jaring
gerakan maupun teorisasi feminis.
40
Sepert i misalnya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga t ahun 2000, Yayasan Pulih t ahun 2002, Rahima
t ahun 2000, Fahmina di t ahun 2000, Islam dan Gender, Perempuan Kajian Islam dan Sosial di t ahun 2006, Sapa
Inst it ut e di t ahun 2007, LRC-KJ HAM , Fokus Grup Sekar Taji, Nurani Perempuan, dan lain sebagainya yang masingmasing memiliki bidang t ersendiri. Lihat dalam ibid hlm 2-4
41
Angka “ 23” maupun “ 35” disini unt uk sement ara saya peroleh dari Kat a Pengant ar Sulist yow at i Iriant o dalam op
cit Sulist yow at i Iriant o & Donny Danardono (ed)… hlm x-xi
42
Gadis Arivia misalnya, pengajar Filsafat di FIB Universit as Indonesia sempat mempresent asikan epist emologi
feminis dihadapan pesert a. Dari sini t erlihat ket erbukaan dari asosiasi ini.
Selain menjadi tempat pertemuan diantara para peminat maupun pengajar gender, APPHGI juga
menjadi tempat bertemunya antar institusi termasuk Ornop dan lembaga negara seperti Komnas
Perempuan. Terutama semenjak Kunti Tridewatri, yang tadinya terpilih sebagai ketua APPHGI
menjadi ketua Komnas Perempuan, hubungan antara APPHGI dengan Komnas Perempuan
menjadi semakin erat. Komnas Perempuan memberikan sumbangsih penting bagi pengembangan
APPHGI yaitu dengan memberikan data-data terbaru mengenai kondisi perempuan di Indonesia,
juga memberikan buku-buku gender yang kemudian dibagikan pada peserta yang kebanyakan
merupakan pengajar yang berasal dari berbagai perguruan tinggi. Dalam beberapa kegiatanya,
Komnas Perempuan juga menggandeng APPHGI juga Ornop yang bekerja dibidang perempuan,
misalkan saja penyusunan draft Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender.
Diluar berbagai kegiatan yang diadakan selama pertemuan, dalam setiap konferensinya APPHGI
memiliki tiga agenda wajib yang telah menjadi tradisi; (i) membicarakan mengenai ide-ide baru
pembenahan kurikulum mata kuliah hukum dan wanita serta perkembangan terbaru dari masingmasing universitas, (ii) mereview penelitian-penelitian terkait dengan gender yang menarik
cukup banyak perhatian dan (iii) saling berbagi referensi, khusus yang terakhir ini dilakukan
untuk membahas kebaruan dari teori maupun pemahaman tentang teori hukum feminis.
Lalu bagaimana agenda dalam APPHGI tersebut diimplementasikan dalam kelas? Bagaimana
minat mahasiswa? Bagaimana hubunganya dengan pusat studi gender milik universitas? Berikut
adalah penelusuran mengenai pengajaran mata kuliah hukum dan wanita di tiga kampus yang
berbeda. Pemilihan mata kuliah sebagai berikut tidak berdasarkan alasan bahwa ketiganya
secara kebetulan berada dalam locus satu kota semata, melainkan bahwa dari ketiga universitas
yang akan dipaparkan dibawah ini, ketiganya mewakili bagaimana posisi dari mata kuliah studi
gender dalam bidang hukum.
Universitas Diponegoro dipilih dengan alasan bahwa universitas ini adalah termasuk yang
pertama dalam membuka mata kuliah Hukum dan Wanita, yaitu dimulai semenjak diadakanya
seminar perihal gender pada tahun 1983 oleh Satjipto Rahardjo. Universitas Katolik
Soegijapranata dipilih dengan alasan sebagai fakultas hukum pertama, melalui pemaparan
Donny Danardono yang kala itu didukung oleh kebijakan rektorat universitas maupun fakultas
berhasil memasukkan mata kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah wajib. Keberhasilan
tersebut menjadi tonggak tersendiri dan mendapat sambutan yang cukup meriah dalam acara UI
Convention Watch yang kala itu tengah mengkampanyekan perlunya studi hukum berperspektif
gender untuk dimasukkan dalam kurikulum. Universitas Negeri Semarang, meski telah cukup
lama berdiri (tahun 1965) namun universitas ini baru membuka jurusan Fakultas Hukum pada
tahun 2001 dengan berada dibawah kepengolaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)
sebelum akhirnya menjadi fakultas tersendiri pada tahun 2007. Mata kuliah yang membahas
secara khusus studi hukum dan gender sendiri baru dirintis pada tahun 2010 yang diadakan pada
setiap semester genap saja.
Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa dua Fakultas Hukum yang disebutkan diatas dipilih
sebagai “garda depan” dalam kurikulum gender sementara kampus terakhir dipilih sebagai
pembanding, yaitu kampus yang tengah beradaptasi untuk mematangkan kurikulumnya.
Pengalaman dari ketiganya akan menjadi bahan reflektif tentang bagaimana aplikasi mata kuliah
hukum dan gender dalam tiga kampus dengan latar belakang historis yang berbeda.
Pertama, Universitas Diponegoro. Semenjak dimulai oleh Satjipto Rahardjo pada masa tahun
1983, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro memiliki beberapa kelompok kajian gender.
Pusat Studi Gender, Kelompok Kajian Hukum dan Wanita, dan kelas Hukum dan Wanita itu
sendiri. Dua yang disebut didepan beranggotakan campuran antara berbagai departemen
sedangkan kelas mata kuliah Hukum dan Wanita diampu secara khusus dibawah departemen
Hukum dan Masyarakat dan merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa yang mengambil
konsentrasi jurusan hukum dan masyarakat meski dapat pula menjadi mata kuliah pilihan bagi
mahasiswa dengan bidang konsentrasi lain. Terdapat dua orang dosen yang secara khusus
mengkaji hukum dan gender, meski satu diantaranya kini tak lagi aktif. Pengajar Undip sendiri
telah dua kali menjadi ketua APPHGI; Arief Hidayat ketua periode pertama dan Ani Purwanti
yang kini tengah menjabat sebagai ketua.
Sebagaimana peminat bidang konsentrasi Hukum dan Masyarakat, peminat mata kuliah Hukum
dan Wanita sendiri juga sedikit jumlahnya. Rekor terbanyak mahasiswa dalam satu periode
pengajaran adalah 24 orang pada tahun 1998. Pernah pula kelas ini kosong karena tidak banyak
peminat meski kelas dibuka pada setiap semester. Dalam empat semester terakhir, jumlah
terbanyak adaah sembilan orang. Meski sepi peminat, prinsip-prinsip dasar mengenai
ketimpangan gender “disisipkan” dalam sejumlah mata kuliah lain seperti hukum tata negara
maupun hukum pidana. Selain itu, Departemen Hukum dan Masyarakat menerima penulisan
skripsi lintas jurusan yang menginduk pada cabang hukum lain namun juga mengulik
permasalahan perempuan. Kebijakan “lintas” bimbingan ini diakui cukup membantu dalam
memberikan “perspektif perempuan” yang kerap luput apabila dibidik menggunakan satu
perspektif semata.
Pengajar dari Hukum dan Wanita adalah anggota baik PSG, KKHW, maupun PSW Universitas.
Hal ini turut menjelaskan relasi antar ketiga lembaga tersebut. Meski memiliki agenda utama
tersendiri, namun dalam beberapa kesempatan tertentu, irisan-irisan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan hukum seperti pembuatan profil keadaan perempuan di Jawa Tengah, juga
sosalisasi perempuan dalam hukum melalui berbagai kegiatan. Meskipun demikian, agaknya
antara PSW Universitas dan PSG sendiri masih belum padu dalam membangun satu agenda
besar yang menyatukan berbagai bidang pengetahuan.
Kedua, Fakultas Hukum
pengajar fakultas hukum,
Hukum dan Wanita. Pada
undangan UI Convention
Universitas Katolik Soegijapranata. Pada tahun 2005, salah satu
Donny Danardono, mengusulkan ide perihal perlunya mata kuliah
jarak waktu yang tak terlalu jauh, bersamaan dengan itu pula datang
Watch. Pada saat itu, Danardono telah berhasil memasukkan mata
kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah wajib yang harus diambil oleh seluruh mahasiswa
di Unika untuk mendapatkan gelar sarjana. Keberhasilan tersebut merupakan yang pertama
dalam sejarah fakultas hukum di Indonesia.
Menurut Danardono, pada waktu dirinya mengusulkan untuk diadakan mata kuliah Hukum dan
Wanita ia memperoleh tanggapan positif dari para kolega pengajar. Dengan demikian ia segera
menyiapkan silabus perkuliahan dan mempresentasikanya dihadapan pengajar yang lain.
Presentasi tersebut juga mendapat dukungan dari rektorat universitas, sehingga kemudian
diputuskan menjadi mata kuliah wajib. Mata kuliah Hukum dan Wanita ini juga merupakan mata
kuliah unggulan yang selalu mendapat nilai tambah pada saat akreditas fakultas. Pada masa awal
pengajaran, hanya Danardono selaku pengusul mata kuliah saja yang mengajar. Karena dirasa
kurang mencukupi, belakangan mata kuliah Hukum dan Wanita diajarkan oleh tiga dosen yang
berbeda yang dibagi berdasarkan bidang keahlian.
Apa yang menarik dari mata kuliah Hukum dan Wanita di Soegijapranata ini adalah bahan ajar
disusun secara detil dan rapi. Bahan perkuliahan disusun berdasarkan jumlah pengajaran yang
terdiri dari pokok bahasan umum dan pokok bahasan khusus, jadi apabila terdapat empat belas
tatap muka dalam satu semester, mahasiswa mendapatkan empat belas materi tertulis yang
berbeda disertai dengan bacaan wajib dan bacaan rekomendasi. Berikut adalah tampilan bahan
ajaran yang diolah dari silabus mata kuliah Hukum dan Wanita Unika Soegijapranata
Pokok Bahasan Khusus
Pokok Bahasan Umum
Gender, Seksualitas dan ketidakadilan
seksual
Gerakan Perempuan (feminisme) dan Studi Aliran-aliran dalam studi perempuan
Perempuan.
Teori
Fungsionalisme
Struktural
dan Hukum,
Kekuasaan
dan
Otonomi
Materialisme Historis dan Pengaruhnya Perempuan atas tubuh dan seksualitasya
terhadap Studi Perempuan.
Teori Strukturalisme, Post-Strukturalisme dan Kedudukan Perempuan dalam Hukum
Post-Modernisme dan Pengaruhnya terhadap Perdata Adat dan Barat
Studi Perempuan.
Hukum dan Kekuasaan.
Kedudukan Perempuan dalam Hukum
Publik
Persamaan Hak dan Ketidak-adilan Gender
dan Seksualitas yang dialami Perempuan.
Hukum dan Otonomi Perempuan atas Tubuh
dan Seksualitasnya.
Kedudukan Perempuan dalam UU nomor 7
tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita”.
Kedudukan Perempuan dalam Hukum
Perkawinan.
Pengantar.
Kedudukan Perempuan sebagai Warganegara
dan Pekerja.
Kedudukan Perempuan dalam Hukum Pidana.
Strategi Hukum Bagi Emansipasi Perempuan.
Secara kesuluruhan sesungguhnya tidak ditemukan adanya masalah yang cukup berarti selama
proses pengajaran dan mahasiswapun merespon dengan baik. Hanya saja silabus tersebut disusun
setelah mengalami beberapa kali perubahan dengan pertimbangan bobot sks dan pemahaman
mahasiswa dalam satu mata kuliah yang dirasa terlalu berat.
Ketiga, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Hukum dan Wanita diletakkan sebagai
mata kuliah pilihan wajib di Jurusan Hukum dan Masyarakat, diampu oleh tiga orang dosen
dengan spesialisasi yang berbeda. Mulai dibuka semenjak tahun 2010. Jumlah mahasiswa
sepanjang lima tahun terakhir memang mengalami peningkatan, namun tidak mencapai angka
lebih dari dua puluh orang. Meski begitu, pengajar menyisipkan pemahaman hukum dan gender
dalam beberapa mata kuliah lain. Sedikitnya minat mahasiswa untuk mempelajari hukum dan
gender dibarengi dengan minimnya jumlah peminat di bidang jurusan hukum dan masyarakat.
Hal ini tampak sebagai tautologi mengingat jurusan sendiri mengusahakan mata kuliah ini untuk
menjadi mata kuliah wajib namun ditolak dengan alasan bahwa mata kuliah ini hanya menarik
sedikit mahasiswa saja.
Sebagaimana terjadi di Undip, Unnes agaknya mengalami masalah serupa. Sedikitnya minat
mahasiswa pada mata kuliah Hukum dan Wanita juga dibarengi dengan minimnya minat
mahasiswa dalam bidang jurusan Hukum dan Masyarakat. Untuk menyiasati hal ini pengajar
mata kulah Hukum dan Wanita bergerilya dengan menyisipkan isu-isu ketimpangan hukum
terhadap perempuan dalam mata kuliah lain.
Pokok Ajar Mata Kuliah Hukum dan
Wanita Unnes
Pemahaman Gender
Peran Gender
Studi Tentang Diskriminasi
Regulasi-regulasi Gender
Teori Feminis dan Perkembanganya
Gender Budgeting
Selain minim peminat, beberapa hal yang menjadi kekurangan adalah masih minimnya pula
pemahaman mahasiswa maupun pengajar mengenai kesadaran gender. Ristina, pengajar mata
kuliah tersebut mengatakan bahwa ia harus terus memancing mahasiswa untuk tertarik pada
permasalahan ketimpangan perempuan dalam hukum. Selain pusat studi wanita di fakultas
hukum, Unnes juga memiliki Pusat Studi Perempuan dan Anak yang bergerak dibidang advokasi
dan pendidikan. Pengajar mata kuliah Hukum dan Wanita merangkap pula sebagai anggota pusat
studi universitas, dimana disini dapat ditemukan permasalahan yang sama pula; bahwa antara
kedua pusat studi juga tidak integral dan memiliki visi masing-masing.Dari ketiga universitas
yang dijadikan sampel tersebut dapat ditemukan beberapa hal; pertama pada Undip dan Unnes
dimana mata kuliah Hukum dan Wanita bukan merupakan mata kuliah wajib hanya mendapat
perhatian yang sedikit saja dari mahasiswa. Keduanya berada dibawah departemen Hukum dan
Masyarakat, bidang konsentrasi yang dari tahun ke tahun juga tidak banyak memiliki pemina
Oleh: Rian Adhivira1
Apakah pentingnya membicarakan perspektif perempuan dalam hukum? Bukankah ratapan
perempuan telah terwadahi dalam segenap asas, doktrin, maupun peraturan yang dibuat secara
demokratis dan fair? Dan karena telah dibuat dengan prosedur oleh otoritas yang berwenang,
bukankah ia dengan sendirinya menjamin apa yang disebut sebagai yang-adil itu? Pertanyaan
tersebut agaknya hanya bisa dijawab dengan mengajukan pertanyaan balik; apakah jenis kelamin
hukum? Apakah pembuatan peraturan, asas, doktrin, dan bahkan hukum secara historis itu
sendiri memiliki keberpihakan pada jenis kelamin tertentu? Apabila peraturan dibuat dalam
dominasi satu seks tertentu saja, bagaimana ia bisa menjamin keadilan bagi seks yang lain? Dari
pertanyaan balik tersebutlah, barangkali, pembicaraan mengenai perspektif perempuan dalam
studi ilmu hukum dapat dimulai.
Studi permasalahan perempuan dalam hukum, memiliki imbas yang serius. Pertama; ia
merombak cara berpikir mengenai apa itu manusia dalam hukum, dengan kata lain,
mempertanyakan status antropo-filosofis dalam kajian ilmu hukum.2 Kedua; studi feminis dalam
ilmu hukum berdiri diantara dua kaki, yaitu deskriptif dan preskriptif. 3 Dari poin tersebut,
1
Pembant u dan penggembira di Sat jipt o Rahardjo Inst it ut e. Tulisan ini t idak bisa dibuat t anpa bant uan dari Unu
Herlambang dan Hasan Tuban, juga t ak lupa Bella Perdana yang t elah merelakan malam-malam minggunya unt uk
penulisanya. Tulisan ini adalah naskah dalam Pendidikan Tinggi Hukum garapan Sat jipt o Rahardjo Inst it ut e.
Dipresent asikan demi Gema Keadilan Pada Kamis, 18 Juni 2015. Krit ik dapat langsung dit ujukan ke
[email protected]
2
M isalnya, dalam masyarakat yunani kuno, selain kedew asaan dan w arga asli, ident it as seksual menent ukan
bagaimana derajad kew arganegaraan dalam polis. Hanya laki-laki dew asa semat a yang dapat beradu argumen
dalam agora , ruang pert emuan unt uk menent ukan kebijakan publik dalam polis. Hal ini yang memisahkan,
meminjam Arendt , manusia publik dan privat . Bagi Arendt , Vit a Act iva , at au hidup yang dihidupi hanya dapat
dicapai melalui laku publik. Lihat Hannah Arendt . The Human Condit ion (Chicago & London: The Universit y of
Chicago Press, 1998) hlm 7. Hal kurang lebih serupa dapat dit emukan dalam konsep negara demokrasi modern
hingga hari ini, misalnya bagaimana hukum t ert ulis mew adahi kepent ingan perempuan. Dari sini sesungguhnya
t erlihat t irani minorit as dimana secara populasi laki-laki-laki lebih sedikit daripada perempuan namun secara polit is
memiliki kekuat an yang jauh lebih kuat . St udi gender dalam hukum dengan demikian menolak argumen yang
berangkat dengan menyat akan bahw a hukum adalah net ral adanya. Kecurigaan t erhadap net ralit as ini, jug
t erhadap klaim at as universalit as t ampak adalah poin krusial dalam st udi hukum feminis. Lihat dalam Cat herine
M ackinnon. Feminism, M arxism, M et hod and t he St at e : Tow ard Feminist Jurispridence dalam Kelly D Weisber g
(ed). Feminist Legal Theory Foundat ion. (Philadelphia: Temple Universit y Press, 1995). Hlm 435
3
Ket erkait an t ersebut nampak karena meski berada dalam lingkup st udi Ilmu Hukum , namun relasi gender it u
sendiri t idak bisa dilepaskan dari berbagai hal. M ansour Fakih mengat akan “ […] bahw a pada dasarnya masalah
kemanusiaan t idak bisa dilihat dan dianalisis berdasarkan sat u aspek kehidupan belaka, sepert i aspek polit ik, aspek
ekonom i […] namun set iap realit as sosial melibat kan saling ket ergant ungan ant araspek kehidupan yang saling
berhubungan secara dialekt is ant ara st rukt ur ekonom i, polit ik, kult ur, gender maupun lingkungan alam ” lihat
dalam M ansour Fakih. Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakart a: Pust aka Pelajar, 2012) hlm 54 Analisa
hukum dan perundangan t ent u t idak semat a mencukupi unt uk melihat bagaimana kekuasaan bekerja dalam
meminggirkan perempuan. Sebagai pembanding dari argumen Fakih t ersebut dapat dit ilik pula argumen M argot
St ubbs, ia mengat akan bahw a t ak hanya hukum posit if, namun juga t it ik krit is harus diarahkian pada modus
produksi “ our t ask, as I perceive it , is t o crack open law t o polit ics: t o rejecet t he concept ual framew ork of posit ivist
memberi sumbangsih pula pada poin ketiga, bahwa studi feminis dalam ilmu hukum memiliki
pendekatan metodologi yang khas.4 Tentu, menyebut sumbangsih feminisme dalam studi hukum
dalam ketiga poin itu sendiri saja sudah merupakan reduksi mengingat semakin berkembangnya
pemikiran feminisme itu sendiri. Setidak-tidaknya, ketiga poin tersebut adalah titik berangkat
paling minimal. Hanya saja, penjelasan mengenai bagaimana studi perempuan dalam ilmu
hukum dapat dilakukan apabila terlebih dahulu memahami bagaimana pasang-surut dari
perdebatan mengenai “permasalahan perempuan”5 itu sendiri. Dengan demikian, menceritakan
mengenai bagaimana konteks situasi dari perdebatan itu sendiri menjadi perihal yang tak kalah
penting dari studi hukum feminis itu sendiri
Namun, masuknya apa yang disebut sebagai “perspektif perempuan” itu memang terlambat
adanya. Harvard Law School misalnya, baru mulai menerima murid perempuan pada tahun
1950,6 tiga dekade setelah pengakuan hak politik perempuan ditahun 1920 lewat amandemen
kesembilan belas Konstitusi Amerika Serikat. 7 Dan bahkan meski relatif mengalami banyak
kemajuan, partisipasi perempuan di pendidikan hukum Amerika sendiri masih menemukan
masalahnya hingga saat ini. 8 Meski masih perlu waktu untuk sampai pada studi hukum,
perkembangan studi perempuan pada tahun-tahun 1970an hingga 1980an tersebut oleh Claire
Dalton disebutnya sebagai “Feminist Enlightment”. 9 Terobosan penting yang harus dicatat
jurisprudence, and t o approach t he law as a form of praxis, for only t hen can w e unveil it s part icular, and t o
approach t he law as a form of praxis, for only t hen can w e unveil it s part icular funct ion in t he process of
reproducing t he exploit at ive sexual and economic class st ruct ure of capt alist societ y” dalam M argot St ubbs.
Feminist and Legal Posit ivism dalam Kelly Weisberg. Feminist Legal Theory Foundat ions. (Philadelphia: Temple
Universit y Press, 1993) hlm 473 uraian t ersebut set idaknya menunjukkan bagaimana saling berkait nya sat u t opik
aspek sosial kehidupan dalam masyarakat saling m empengaruhi sat u sama lain.
4
Sebagaimana diuraikan dalam poin sebelumnya, karena berangkat dari t ilikan krit is mengenai posisi perempuan
dalam realit as sosial, st udi gender dalam ilmu hukum memiliki kekhasan met ode t ersendiri. M et ode ini t urut
berkembang sesuai dengan perdebat an ant ar feminis it u sendiri. Ragam m et ode t ersebut akan dibahas t ersendiri.
5
Permasalahan perempuan maupun st udi hukum perempuan adalah ist ilah yang saya saling pert ukarkan baik
dengan permasalahan feminis, st udi hukum feminis, maupun t eori hukum feminis.
6
Bahkan, lima belas t ahun sesudahnya, pada t ahun 1965, jumpah mahasisw a perempuan masih sangat sedikit .
Lihat t est imoni M ary J. M ullarkey. Tw o Harvard Women 1965 t o Today. (Harvard Women’s Law Journal, Vol 27,
2004) hlm 369
7
Sebelumnya, hak kesamaan dimuka hukum t ercant um dalam amandemen ke-empat belas. Pada amandemen ke
sembilan belas, meski sempat menimbulkan masalah, beberapa pihak mengat akan bahw a amandemen t ersebut
inkonst it usional dan bahkan beberapa negara bagian masih mempert ahankan segregasi seksual mengenai hak
polit ik perempuan. Suprem e Court melalui put usan Leser v. Garnet t pada akhirnya memut uskan bahw a
amandemen t ersebut t idaklah inkonst it usional.
8
Sari Bashi & M aryana Iskander. Why Legal Educat ion is Failing Women. (Yale Journal of Law and Feminism, 2006)
st udi ini menunjukkan bagaimana part isipasi, kualit as, maupun sikap para pengajar pada mahasisw a perempuan di
Yale Law School, salah sat u sekolah hukum paling bergengsi di Amerika dengan met ode observasi, survei, dan
w aw ancara. St udi ini cukup pent ing karena t ernyat a, bahkan di Amerika sendiri hakim federal, senat yang
kebanyakan berasal dari lulusan berbagai law school masih didominasi oleh laki-laki. Dari sini secara umum t erlihat
bahw a “ budaya organisasi” t urut menent ukan bagaimana pengajaran dalam inst it usi pendidikan t inggi t urut
mempengaruhi part isipasi perempuan dalam kegiat an belajar-mengajar.
9
Walaupun sesunggunhnya pernyat aan ini lebih t epat disebut sebagai pert anyaan. Pada t ahun-t ahun t ersebut dari
hanya dua st udi pada t ahun 1969-1970 menjadi 30.000 pada t hun 1986-1987. Dengan sinis ia mengat akan, bahw a
meski Gerbang megah di Harvard menyat akan “ Not under M an, but under God and Law ” namun apalah art inya
adalah pendirian Women and the Law Program di American University, Washington College of
Law pada tahun 198410 yang tidak hanya didirikan oleh para aktivis perempuan, namun juga
dengan mempertimbangkan kurikulum, struktur organisasi, dan lain sebagainya, termasuk
mengadakan workshop tentang kurikulum pendidikan hukum perempuan.11
Namun apabila apa yang disebut sebagai teori hukum feminis tersebut memang benar adanya,
lalu bagaimanakah teori tersebut memandang relasi antar seks dihadapan hukum? Bisakah
hukum yang berlaku universal tersebut melihat perbedaan antar seks? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut adalah pertanyaan yang penting dalam perkembangan teori hukum feminis yang
kemudian tersohor dengan dua pendekatan yang berbeda ; sameness vs. difference, pertanyaanya
maka, apakah yang disebut sebagai adil itu adalah setara atau sama. 12 Melihat bagaimana
dominasi maskulin bekerja secara utuh meliputi aturan publik hingga tata-norma dan etika, studi
feminisme mengaburkan batas antara publik dan privat, bahwa yang personal adalah sekaligus
politis [personal is political]. 13 Hal lain yang tak kalah penting adalah, permasalahan sejauh
manakah kata “perempuan” itu sendiri dapat digeneralisasi. Dua perempuan yang tinggal dengan
dua modus produksi yang berbeda tentu tidak dapat dipersamakan satu sama lain. Dengan
demikian, maka sejauh mana kategori perempuan tersebut dapat diuniversalkan.14
Maka, karena kekhasanya tersebutlah studi feminsme dalam hukum memerlukan pendekatan
yang berbeda. Pertama, melihat bagaimana cara kerja hukum terhadap perempuan tentu tidak
bisa melihat semata pada satu bidang kajian saja, melainkan juga saling berkaitan dengan bidang
kajian yang berbeda atau dengan kata lain, memerlukan pendekatan interdisipliner. Kedua,
pendekatan tersebut berpusat pada pada perempuan, karena itu, metode seperti asking women
apabila hanya laki-laki semat a yang menafsirkan at uran hukum dari t uhan t ersebut . Lihat dalam Clare Dalt on.
Where w e St and: Observat ions on t he Sit uat ion of Feminist Legal Thought dalam Frances E. Olsen. Feminist Legal
Theory, Foundat ion and Out looks (New York:New York Universit y Press, 1995) hlm 1, 8. Tulisan ini sesungguhnya
keluar pada t ahun 1988, sesuai dengan kont eks pada masa it u dimana Teori Hukum Feminis t engah berusaha
menemukan bent uknya.
10
Ann Shalleck. The Fem inist Academic’s Challenge t o Legal Educat ion: Creat ing Sit es For Change (Journal of Law &
Policy. Vol.20. Issue.2 2012) hlm 375
11
Ibid hlm 376 selain semakin banyaknya pemikiran maupun seminar, hal pent ing lainya yang muncul diseput aran
t ahun-t ahun ini adalah dit erbit kanya Feminist Legal M anifest o pada t ahun 1992, dari M arry Joe Frug, beberaw a
w akt u set elah kemat ianya. M anifest o yang belum sempat selesai karena kemat ianya Frug yang mendadak ini berisi
pernyat aan mengenai aplikasi filsafat posmodern dalam hukum dan “ t ubuh” perempuan. Lihat M arry Joe Frug. A
Post modern Legal M anifest o (An Unfinished Draft ) dalam Frances E. Olsen (ed). Feminist Legal Theory I, Foundat ion
and Out looks (New York: New York Universit y Press, 1995) hlm 491
12
Jenny M organ. Feminist Legal Theory as Legal Theory dalam Frances E. Olsen. Feminist Legal Theory I,
Foundat ion and out looks (New York: New York Universit y Press, 1995) hlm 34 disini, peran int erdisipliner sangat
t erasa, t ulisan seorang psikolog perkembangan Carol Gilligan mengenai The Et hic of Care misalnya, menjadi bahan
perdebat an mengenai bagaimana hubungan yang set ara ant ara laki-laki dan perempuan.
13
Ibid hlm 41
14
M isalnya lihat saja t ulisan Lama-Abu Odeh, Post -Colonial Feminism and t he Veil: Considering t he Differences
dalam Op Cit Frances E. Olsen… hlm 524 Abu Odeh memperlihat kan bagaimana kerudung dapat dimaknai secara
berbeda, sebagai sensor at au sebagai solidarit as. Pendekat an kult ural semacam ini lazim dipergunakan oleh
feminis gelombang ket iga yang sangat berhat i-hat i ket ika m elakukan just ifikasi.
question, think like feminist dan raising consciousness dan lain sebagainya berpusat pada
perempuan. 15 Di Indonesia sendiri, para pegiat teori hukum feminis menghadapi dua hal
sekaligus; memperjuangkan metode sosio-legal sebagai bagian dari metode penelitian hukum
dan kampanye perlunya perspektif perempuan dalam hukum.
Pasang : Merayakan Perdebatan
Sekarang kembali ke Indonesia, studi relasi gender dalam ilmu hukum tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan gerakan perempuan di Indonesia pada umumnya. Apabila diurutkan berdasarkan
rentang sejarah, masuknya pendidikan hukum dan permasalahan perempuan sebagai satu mata
kuliah khusus dan bergerak menjadi kekuatan politis agaknya masih dapat dikatakan memiliki
patahan yang cukup panjang. Barangkali “putus”-nya rantai sejarah tersebut dapat dikaitkan pula
dengan nyaris redupnya perdebatan feminisme dibawah pemerintahan rezim Orde Baru. Setelah
politiknya, secara tiba-tiba seluruh perdebatan tersebut seperti hilang disapu beliung.
Penyebabnya jelas saja, bahwa Pasca 1965, setiap perempuan yang melawan akan segera
dikenakan tuduhan sebagai antek Gerwani, underbouw PKI.16
Padahal, peranan apa yang disebut sebagai “gerakan perempuan” ini tidak sedikit mewarnai
sejarah nasional.17 Congress Perempoean Indonesia pada 22-25 desember 1928 –yang kemudian
diadopsi sebagai hari ibu- di Djojodipoeran Mataram misalnya, diadakan dalam jarak waktu
yang tidak berapa lama setelah Sumpah Pemuda. Meski awalnya sempat diragukan, namun
ternyata kongres tersebut membahas banyak hal penting, bahkan teramat penting. Banyak hal
yang dibicarakan pada kala itu masih layak diperdebatkan hingga hari ini. Meski masih bersifat
sangat terbatas, yaitu diikuti oleh pribumi jawa semata, namun sebagaimana dikatakan
Blackburn, kongres tersebut membawa angin segar untuk satu hal; bahwa setiap perwakilan yang
datang mengatasnamakan dirinya sebagai wanita Indonesia.18 Meski kebanyakan berkutat pada
15
Niken Savit ri. Feminsit Legal Theory Dalam Teori Hukum dalam Sulist yow at i Iriant o & Donny Danardono (ed).
Perempuan & Hukum, M enuju Hukum yang Berperspekt if Keset araan dan Keadilan. (Jakart a: YOI & Convent ion
Wat ch UI. 2006) hlm 46-51
16
Lihat dalam Saskia Eleonora Weiringa. Penghancuran Gerakan Perempuan, Polit ik Seksual di Indonesia
Pascakejat uhan PKI (Yogyakart a; Galangpress, 2010)
17
Dalam bent uknya yang paling aw al, t ent u nama-nama sepert i Kart ini yang mengorganisir pendidikan dasar dan
ket erampilan sederhana di rumahnya besert a w arisan surat -surat nya adalah sumbangan yang berharga. Juga Tirt o
Adi Soerjo yang mengadakan pendidikan perempuan melalui penerbit an surat kabar miliknya sebelum pada
akhirnya menerbit kan koran khusus perempuan adalah t onggak berharga bagi perkembangan gerakan perempuan.
Namun organisasi perempuan pert ama baru pada t ahun 1912 yait u Put ri M ardika dan disusul berbagai organisasi
lain yang kebanyakan merupakan sayap dari organisasi induk.
18
Organisasi yang hadir ant ara lain Aisjijah, Boedi Rini, Boedi Wanit o, Darmo Laksmi, Jong islamiet e Bond, Jong
Java, Kart i Wara, Koesoemo Rini, M argining Kaot aman, Nat dat oel Fat aat , Pant i Krido Wanit o, Poet ri Boedi Soejat i,
Pet ri Indonesia, Roekoen Wanodijo, Sat jaja Rini, Sarikat Islam Bagian Ist ri, Wanit o Kat holiek, Wanit o Oet omo,
Wanit o M oeljo, Wanit o Sedjat i, Wanit o Taman Sisw a. Dari daft ar perw akilan t ersebut t ampak bahw a w anit a dari
et nis arab, t iong hoa, maupun eropa t idak disert akan. Kebanyakan yang hadir adalah w anit a berusia dua puluh
t ahunan dan kebanyakan t elah menikah. Topik yang paling dibicarakan adalah posisi perempuan dalam keluarga
dan perihal poligami. Lihat dalam Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pert ama, Tinjauan Ulang (Jakart a: YOI &
KITLV, 2007) Hlm xxv khusus unt uk permasalahan poligami, permasalahan t ersebut agaknya masih menjadi
persoalan sosial perempuan dalam rumah tangga, namun sudah terdengar pula suara tentang
perempuan sebagai bagian dari satu kesatuan nasional. Pidato Siti Soendari yang berjudul
Kewadjiban dan Tjita-Tjita Poeteri Indonesia, Tien Sastrowirjo dengan judul Bagaimanakah
Djalan Kaoem Perempoean Waktoe ini dan Bagaimanakah Kelak, Persaotean Manoesia dari Siti
Hajimah menunjukkan corak tersebut. 19 Kongres ini juga mulai melihat kondisi perempuan
eropa, sebagaimana disampaikan oleh Njonjah Ali Sostroamidjojo,20 yang meski masih sangat
terbatas, namun tilikan tersebut menunjukkan kondisi kesadaran kondisi perempuan sebagai
minoritas ganda (double minority). Dan meski berkaca dari barat serta mengakui keunggulan
perempuan barat, Njonjah Ali Sostroamidjojo tidak lantas terburu-buru menjadikanya sebagai
acuan ideal, ia mengatakan:
Hai saudara-saudarakoe poetri Indonesia. Perloelah kita mentjapai poela kemadjoean dan
kemerdeka’an seperti jang terseboet tadi. Akan tetapi ingatlah, bahwa bisa tertjapai hanja
dengan bekerdja jang tersokong oleh keinsjapan dan keyakinan kita. Ingatlah djoega,
bahwa kitapoen memponjai cultuur sendiri, djadi kalau bekerdja bagi kemadjoean kita,
haroes mengengeti djoega hal itu. Kemadjoean dan kemerdika’an kita haroes dilaras
dengan keadaan penghidoepan kita.21
Cuplikan penutup pidato dari Njonjah Ali Sastroamidjojo tersebut perlu untuk ditampilkan disini
karena menunjukkan paling sedikit tiga hal; pertama, telah majunya pemahaman relasi struktur
penindasan perempuan dalam masyarakat; kedua, tilikan pada kondisi perempuan di barat yang
berarti menunjukkan kepekaan terhadap kemajuan serta akses informasi keadaan diluar nusantara
dan ketiga, tidak secara bulat menjadikan barat sebagai preferensi mutlak, yang menunjukkan
adanya analisa kritis terhadap informasi yang diperoleh. Congress pertama juga melahirkan
Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI kemudian bubar dan digantikan oleh
Kongres Perempoean Indonesia, KPI yang sempat berupaya mendudukan perwakilan perempuan
di Volksraad. Perwakilan perempuan pada akhirnya berhasil mengirimkan wakilnya dibidang
politik dengan masuknya Rasuna Said di Volksraad dan SK Trimurti sebagai anggota BPUPKI.22
perdebat an yang sempat memuncak pada saat Soekarno melakukan poligami unt uk kesekian kalinya. Sempat
meredup, permasalahan poligami kembali mencuat pada t ahun 1970-an pada saat Undang-Undang Perkaw inan
disusun dan akhirnya diundangkan pada t ahun 1974 yang mengundang gelombang perdebat an. Puncak dari
perdebat an soal posisi perempuan dalam rumah t angga t ersebut barangkali baru dapat dikat akan menemukan
moment um pada saat diundangkanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 t ent ang PKDRT yang sesungguhnya
t elah dikampanyekan semenjak t ahun 1997.
19
Ket iganya sesungguhnya juga berangkat dari realit as perempuan dan posisinya dalam rumah t angga; sebagai
ibu, pendidik, sekaligus agen perjuangan yang dit unt ut unt uk t erus belajar. Lihat dalam Susan Blacburn. Op Cit hlm
54, 69, 119.
20
Njonjah Ali Sast roamidjojo. Hal Keadaan Ist eri di Europah dalam Susan Blackburn Ibid hlm 102-105 sekali lagi,
pidat o ini masih berada pada seput aran hal ihw al rumah t angga.
21
Loc cit hlm 105 Perdebat an masalah hak polit ik baru dibicarakan secara lebih luas pada saat Kongres Oemoem
Perempoean Indonesia ke t iga, kongres baru yang diadakan pasca pembubaran PPPI.
22
M uhadjir Darw in. Gerakan Perempuan di Indonesia Dari M asa ke M asa (Yogyakart a: Jurnal Ilmu sosial dan Ilmu
Polit ik, Vol 7. No. 3 2004) hlm 285
Masa ini, adalah masa ketika perdebatan terbuka dan panjang dari berbagai organisasi
perempuan tersebut berada tepat didepan gerbang. Pasca kemerdekaan, mengikuti perdebatan
partai-partai besar induk, perdebatan dimulai.
Dua dekade pertama tahun-tahun awal kemerdekaan, ditengah kondisi darurat negara, Soekarno
memberikan angin segar pada gerakan perempuan. Terbitnya buku Sarinah, 23 Ratifikasi
Konvensi Hak Publik perempuan dalam Undang-Undang No. 68/1958, terbitnya UndangUndang 80/1958 yang mengatur soal upah yang setara dan “membiarkan” perdebatan antar
gerakan perempuan.24 Dampak dari tiga hal tersebut dapat dirasakan secara langsung terutama
pada saat pemilihan umu tahun 1955 dimana perempuan dapat turut serta baik memilih maupun
dipilih. Ditengah ramainya kemunculan organisasi perempuan pasca kemerdekaan, tahun 1945
sendiri berdiri satu-satunya partai politik perempuan yang pernah ada sepanjang sejarah
Indonesia, Partai Wanita Rakyat. Kongres perempuan pertama setelah kemerdekaan segera
diadakan; pada tahun 1946, berbagai elemen organisasi perempuan menyatukan diri membentuk
Kowani mendukung republik dan menentang agresi militer Belanda. 25 Kongres tersebut
dilanjutkan pada tahun 1950 yang dengan semakin menguatnya organisasi perempuan, para
tokoh gerakan tersebut memiliki ‘ruang gerak’ yang lebih leluasa yang ditandai dengan
dibentuknya Komisi Masalah Perkawinan di tahun 1950 untuk mendesak Undang-Undang
Perkawinan dimana isu paling utama didalamnya adalah perihal poligami.26 Puncaknya adalah
pada tahun 1952 saat dikeluarkanya Peraturan pensiun janda pegawai negeri yang memberi
“keuntungan” bagi pegawai yang poligami. Keluhan utama pada saat itu adalah pemborosan
anggaran untuk membiayai pelaku poligami dan keadilan rumah tangga.
Dalam rentang waktu yang sama, mulai muncul organisasi perempuan “kiri” yang semakin
menemukan bentuknya. Seiring kuatnya propaganda Soekarno dan PKI, organisasi perempuan
23
Lihat Soekarno dalam Soekarno. Sarinah, Kew adjiban Wanit a Dalam Perdjoangan Republik Indonesia. (Panit ya
Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, 1963) Hlm 14-15 ia mengat akan “ Sesungguhnya, kit a harus
insjaf, bahw a soal masjarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, dan soal laki-laki dan perempuan
adalah sat u soal masjarakat dan negara...bahw a soal perempuan bukanlah soal kaum perempuan sadja, t api soal
masjarakat , soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh sat u soal masjarakat dan negara jang amat pent ing! ”
M eski akhirnya sempat membuat heboh gerakan perempuan dengan skandal poligaminya, buku Soekarno ini
memuat pandangan yang sangat pent ing sebagai pert ama dan sat u-sat unya buku t ent ang perempuan yang dit ulis
oleh seorang yang menjabat sebagai presiden.
24
M eski harus diduga bahw a pembiaran t ersebut lebih dikarenakan kuat nya Gerw ani yang dekat dengan PKI yang
pada kala it u t engah memiliki pert alian polit ik yang kuat dengan Soekarno.
25
Bersamaan dengan ini pula, kekuat an golongan kiri semakin meningkat dan t ermasuk diant aranya masuk dalam
Kow ani. Gerakan kiri ini sempat porak-poranda pada kala munculnya berit a pemberont akan PKI di M adiun pada
t ahun 1948 sebelum pada akhirnya dapat kembali menat a diri.
26
M enurut Weiringa, hampir seluruh organisasi perempuan pada kala it u menolak Poligami. Organisasi Islam
sepert i Aisyiyah bahkan t idak memberikan perlaw anan berart i dengan mengat akan bahw a seorang suami
“ sebaiknya” berist ri sat u, posisi ini cukup moderat . M asyumi maupun M uslimat NU bahkan menyet ujui gerakan
penolakan uang pensiun unt uk pegaw ai negeri yang berist ri lebih dari sat u Op Cit Weiringa hlm 182 Organisasi lain
yang t ergabung dalam KWI pada umumnya menyat akan penolakanya t erhadap poligami.
ini juga semakin menemukan bentuknya, Gerwani.27 Sikapnya sebagai organisasi mendua, pada
satu sisi menyatakan dirinya sebagai organisasi perempuan yang independen, namun disisi lain
memiliki kedekatan dengan golongan kiri terutama PKI yang ditandai dengan keanggotaan
ganda para pengurus diantara kedua organisasi tersebut. Melalui pendekatanya yang populis
disertai berjalanya kaderisasi dengan baik, Gerwani menjadi gerakan perempuan yang paling
kuat.
Pandangan politik Soekarno sendiri, karena kedekatanya dengan golongan kiri pada waktu itu
juga turut mempengaruhi dinamika perdebatan, apabila pada awalnya Soekarno melakukan
propaganda perempuan dalam rangka menyatukan kekuatan untuk merebut kemerdekaan,28 kini
ia dihadapkan dengan permasalahan poligami. 29 Kedudukan ini membuat Gerwani juga turut
bersikap mendua; pada satu sisi kedekatan mereka dengan Soekarno membuat mereka tidak
dapat berbuat banyak namun disisi lain anti-poligami juga merupakan salah satu alat kampanye
yang mereka.
Apa yang hendak disampaikan sampai disini adalah bahwa konfigurasi politik dan pergerakan
serta saling tarik ulurnya kekuasaan antar golongan (taruhlah nasionalis, komunis, agamis)
memberikan lahan yang subur bagi para organisasi perempuan untuk mengisi agenda perempuan
sesuai dengan konfigurasi politik yang ada baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, dan
politik. Pada masa ini pula pendidikan perempuan baik yang diberikan kepada perempuan pada
umumnya maupun dalam rangka organisasi tumbuh subur dan saling bersaing satu sama lain.
Surut : Pukulan Mundur
Setelah jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan setelah kerusuhan pada
tahun 1965, dibawah rezim baru, kemewahan ragam gerakan perempuan tersebut berakhir sudah.
Hilangnya perdebatan tersebut jelas merupakan pukulan mundur bagi gerakan perempuan di
Indonesia. Selain semakin membatasi pengaruhnya dalam bidang politik, hilangnya perdebatan
tersebut tentu menghambat perkembangan pemahaman relasi gender dan struktur masyarakat
yang sebelumnya dapat diperoleh dengan mengikuti maupun turut serta alur perdebatan tersebut.
Alih-alih perdebatan, rezim otoritarian orde baru memukul mundur bukan saja wacana perihal
perempuan semata, namun juga hampir seluruh suara kritis terhadap rezim pada umumnya.30
Dibawah ketakutan terhadap komunisme yang terus diulang pada setiap tahunya, setiap
organisasi perempuan yang bersuara keras akan segera diasosiasikan dengan Gerwani, yang pada
27
Pada mulanya bernama Gerw is, berdiri pada t ahun 1950. Berubah nama menjadi Gerw ani pada saat kongres
pert ama dengan ket ua Umi Sanjono.
28
Op Cit Saskia Eleonora Weiringa hlm 137 lebih jauh lagi pada Kongres Perempuan Indonesia Keempat di
Semarang, para anggot a secara bulat t urut mendukung kemerdekaan. Isu-isu perihal persat uan ini kemudian
menyingkirkan isu-isu rumah t angga.
29
Persoalan poligami sesungguhnya t idaklah pernah benar-benar hilang. Dalam akt ivis gender Islam kont emporer
secara lebih khusus dapat dilihat di Sonja van Wichelen. Polygamy Talk and t he Polit ics of Fem inism: Cont est at ions
over M asculinit y in a New M uslim Indonesia. (Journal of Int ernat ional Women’s St udies, 11(1) 2009)
30
Op cit Robert us robert
peristiwa 1965 dituding ikut terlibat dalam penculikan jenderal, menari telanjang sambil
memotong penis dan mencongkel mata perwira papan atas tersebut untuk kemudian mayatnya
mereka masukkan dalam lubang buaya. Potret atas peristiwa tersebut hingga kini masih dapat
dilihat jelas dalam Prasasti Monumen Lubang Buaya. Apa yang tidak banyak orang tahu adalah
bahwa hasil otopsi tidak menemukan adanya tindakan yang demikian,31 disamping telah banyak
juga studi sejarah yang menawarkan banyak varian mengenai tafsir terhadap peristiwa 1965.
Menurut Weiringa, selama masa Orde Baru, rezim memainkan politik seksual, yaitu melalui
stigma Gerwani untuk gerakan perempuan dan PKI untuk organisasi kritis pada umumnya.
Menurut penurutran Weiringa, bahkan studi akademis yang pernah dilakukan di Leiden
mengenai permasalahan tersebut pada seputar tahun 1988 memacu keributan di Indonesia. 32
Organisasi perempuan yang muncul pada masa ini memiliki corak yang berbeda dari organisasi
pada masa orde lama. Apabila pada masa sebelumnya ramai riuh perdebatan perempuan
seputaran pada peran dan kedudukan baik dalam ranah privat maupun publik, pada masa ini
organisasi perempuan yang lahir adalah perkumpulan istri. Puncaknya pada tanggal 4 agustus
1974, berdiri Dharma Wanita yang bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan
organisasi istri yang kemudian diadopsi menjadi gerakan nasional termasuk diantaranya program
PKK yang memiliki unit sampai pada tingkat RT/RW. 33 Sekali lagi, Perempuan, kembali
menjadi makhluk privat. Hingga akhir dekade 70an dan awal 90an, gerakan perempuan bersama
dengan gerakan lainya layaknya mati suri.
Pasang : Kelahiran Kembali?
Setelah sempat redup, geliat tersebut baru muncul kembali pada masa 80-an yang ditandai lewat
berdirinya beberapa Organisasi Non-Pemerintah yang secara khusus bergerak dalam kajian
maupun advokasi dalam ranah persoalan perempuan dan diratifikasinya Cedaw dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984.34 Adalah Kalyanamitra dan Yayasan Anisa Swasti, keduanya di
Yogyakarta yang kemudian disusul dengan didirikanya Pusat Kajian Wanita di Universitas
Indonesia yang diinisiasi oleh Psikolog Saparinah Sadli pada awal dekade 90-an yang kemudian
31
Saskia E. Weiringa. Sexual Slander and t he 1965-1966 M ass Killings in Indonesia: Polt ical and M et odological
Considerat ions (Bukit Timah: Asia Research Inst it ut e, Nat ional Universit y of Singapore, 2009) hlm 10 Bahkan kelak
ket ika Presiden Abdurrahman Wahid yang berasal dari kalangan islam moderat menyat akan permint aan maaf dan
keinginanya unt uk menghapus Tap M PR XXV/ 1966 gelombang prot es berdat angan meski t ak sedikit pula yang
menyat akan dukungan.
32
Ibid hlm 16
33
Riant Nugroho. Gender dan Pengarusut amaanya di Indonesia (Yogyakart a: Pust aka Pelajar) hlm 97-102 reduksi
lain t ampak misalnya pada int erpret asi at as Hari Kart ini yang nyaris t idak menampilkan sisi subversit as Kart ini
dengan hanya memperlihat kan t unt ut anya semat a at as pendidikan, juga mereduksinya sebagai hari penggunaan
kebaya. Lihat dalam kat a pengant ar Kat rin Bandel. Kart ini M anusia Hibrid kat a pengant ar dalam Kart ini.
Emansipasi, Surat -Surat Kepada Bangsanya 1899-1904 (Yogyakart a:Jalasut ra, 2014) hlm xvii
34
Beberapa pegiat perempuan mengat akan bahw a meski dirat ifikasi, namun rat ifikasi t ersebut hanyalah “ langkah
set engah hat i” . Direservasinya Pasal 29 ayat (1) dalam rat ifikasi CEDAW dalam UU nomor 7 t ahun 1984. Reservasi
t ersebut menandakan t idak siapnya negara dalam menegakkan hak asasi perempuan, lihat lebih jauh dalam R.
Valent ina Saragih & Ellin Rozana. Pergulat an Feminisme dan HAM . (Bandung: Insit ut Perempuan. 2007) Hlm 71
disusul oleh perguruan tinggi lainya termasuk pendirian Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah
Mada dan Unika Soegijapranata pada tahun 1991. 35 Kemudian LBH APIK didirikan seiring
dengan semakin meningkatnya pula jumlah Ornop “kritis” terhadap permasalahan sosial.36 Pada
tahun 1996, Gadis Arivia dan sejumlah akademisi Universitas Indonesia menerbitkan jurnal
pertama yang berfokus pada permasalahan gender; Jurnal Perempuan yang masih terbit hingga
hari ini. Pada tahun 1998, dilatarbelakangi oleh perkosaan massal terhadap etnis tiong-hoa, atas
desakan dari para tokoh perempuan Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) didirikan dalam suasana pergantian rezim Orde Baru. Pada
rentang waktu inilah barangkali studi perempuan secara akademis mulai masuk dan berkembang
di Indonesia, yang berarti perempuan sebagai gerakan mulai menjadi satu dengan dunia
akademis.37
Pada masa transisi kekuasaan menjelang Soeharto berada dihujung tanduk itu pula para pegiat
perempuan turut turun kejalan. Bersama-sama mereka membentuk Suara Ibu Peduli, suatu
koalisi antar organisasi perempuan dan membagikan susu yang kala itu tengah naik hingga 400
persen dan suplai makanan pada para mahasiswa. 38 Tidak hanya itu, pada saat meletusnya
kekerasan terhadap perempuan Tiong-hoa, berbagai organisasi perempuan menyatukan diri
dalam Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,39 embrio dari Komnas Perempuan.
Dan setelah Soeharto turun, organisasi perempuan semakin banyak berkembang dan turut
mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh arah kebijakan publik. Harus dicatat pula bahwa pada
masa transisi tersebut lahir segenap peraturan penting yang berhubungan dengan perempuan,
yang ditandai dengan Undang-Undang 39/1999 Tentang HAM, dan Instruksi Presiden No.
9/2000 Tentang Pengarusutamaan Gender pada masa Presiden Abdurrahman Wahid disusul
dengan paket pengaturan affirmative action pada tahun 2003, Undang-Undang 23/2004 tentang
35
Kajian Perempuan di Universit as sendiri baru berdiri unt uk pert amakali pada t ahun 1969 di Cornell Universit y
dan baru menjadi program t ersendiri pada t ahun 1970 di Sandiego dan Buffalo. Lihat dalam Amy K. Levin.
Quest ions For A New Cent ury: Wom en’s St udes and Int egrat ive Learning, a Report t o t he Nat ional Women’s St udies
Associat ion (Universit y of M aryland, 2007) hlm 1.
36
Lihat lebih jauh dalam Robert us Robet , Polit ik Hak Asasi M anusia Dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan
Krit is (Jakart a:Elsam, 2008) hlm. 37 M ulai naiknya permasalahan hak asasi manusia sebagai diskursus yang
digunakan unt uk melaw an rezim represif ot orit arian Soehart o bukan berart i t anpa halangan. Pemerint ah
menyerang balik dengan balik menuduh bahw a ornop t ersebut dibekingi oleh kepent ingan dana asing (hlm 39).
Selain it u, Rezim Soehart o juga gemar menggunakan t uduhan seput ar “ ant ek komunis” dan dengan dalih “ menjaga
kemurnian Pancasila” (40) melakukan pendekat an represif t erhadap mereka yang dianggap “ mengganggu
ket ert iban umum” . Adnan Buyung Nasut ion misalnya, sempat dipenjara pada saat M alari 1974 , Jurnal Perempuan
juga sempat diberedel selama beberapa w akt u. Perist iw a pent ing yang harus dicat at pada masa ini adalah
pembunuhan keji M arsinah, akt ivis buruh perempuan yang vokal.
37
Lebih jauh, bagaimana dinamika menamai diri sebagai seorang akademisi feminis, t erut ama para sarjana muslim
dapat dit emukan dalam t ulisan Alimat ul Qibt yah. Self-ident ified Feminist Among Gender Act ivist s and Scholars at
Indonesian Universit ies. (Aust rian Journal of Sout h East Asian St udies, 3 (2), 2010) hlm 151-174
38
Neng Dara Affiah. Gerakan Perempuan di era Reformasi: Capaian dan Tant angan (M akalah Diskusi Hari kart ini 21
April 2014) hlm 1
39
Lihat sekapur sirih Saparinah Sadli dalam Dew i Anggraeni. Tragedi M ei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan
(Jakart a: Kompas, 2014) hlm xi
PKDRT hingga Ratifikasi ICCPR dan ICESCR pada tahun 2005. Gerakan perempuan tersebut
agaknya tidak hanya muncul dalam satu ragam saja, melainkan tumbuh dan berkembang dalam
berbagai varian dan kekhususan bidang40 yang nantinya nampak pada saat muncul kembalinya
perdebatan diseputaran masalah isu-isu pengaturan perempuan dalam kehidupan publik.
Pendidikan-Studi Gender dalam Ilmu Hukum dan Beberapa Pengalamanya
Sebagaimana telah disebutkan diatas, tahun 80 hingga 90an adalah embrio dari masuknya studi
perempuan. Diantara tahun-tahun tersebut, pada tahun 1983 Satjipto Rahardjo sempat
mengadakan seminar soal hukum dan gender, adapun dokumen bahan ajar dari seminar tersebut
tengah dalam proses pencarian. Di tahun yang sama pula Universitas Diponegoro membuka mata
kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah pilihan, dibawah bimbingan departemen Hukum
dan Masyarakat. Meski mahasiswa kurang tertarik dengan mata kuliah tersebut, Hukum dan
Wanita tetap dipertahankan sebagai mata kuliah. Fakultas Hukum Universitas Indonesia
membuka kelas hukum dan gender pada awal dekade 1990. Kemudian terdapat pula Kelompok
Kerja ConventionWatch dengan Sulistyowati Irianto, tokoh Antropologi Hukum, yang mulai
mempromosikan tentang mata kuliah hukum dan gender semenjak tahun 1996 dengan anggota
mencapai lebih dari 23 fakultas hukum. Kemudian, pada awal dan pertengahan dekade 2000an,
kelompok kerja Universitas Indonesia Convention Watch, mengadakan lokakarya mengenai
pentingya perspektif gender dalam pengajaran di perkuliahan. Convention Watch mengundang
pengajar dan peminat studi gender beserta jajaran fakultas untuk ikut serta dalam lokakarya
tersebut. Dipenghujung program Convention Watch, sempat ada keraguan mengenai bagaimana
nantinya program gender dalam fakultas hukum tersebut. Arief Hidayat, Dekan Fakultas Hukum
Undip waktu itu menyediakan diri untuk menjadi penyelenggara. Pada saat konferensi di
Semarang, disepakati dibentuk satu wadah tersendiri sebagai tempat bertemunya pengajar gender
di fakultas hukum. Pada saat inilah kemudian dibentuk Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum
dan Gender Indonesia dengan Arief Hidayat sebagai ketua dengan anggota mencapai 35 fakultas
hukum.41 Dengan demikian, meski dengan segala keterbatasanya, APPHGI terus mengadakan
pertemuan rutin setiap tahun. Diantara peminat kajian hukum dan gender sendiri, rupanya
terdapat jarak pengetahuan tentang gender sehingga pertemuan tersebut sekaligus menjadi ajang
untuk saling bertukar referensi buku maupun teori terbaru. Dari APPHGI pula, terjadi tukar-ilmu
antara para pengajar dibidang hukum dengan pemerhati bidang lain. 42 Meski diperlukan
penelusuran lebih lanjut, namun dapat diduga bahwa dalam APPHGI pula terdapat jaring-jaring
gerakan maupun teorisasi feminis.
40
Sepert i misalnya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga t ahun 2000, Yayasan Pulih t ahun 2002, Rahima
t ahun 2000, Fahmina di t ahun 2000, Islam dan Gender, Perempuan Kajian Islam dan Sosial di t ahun 2006, Sapa
Inst it ut e di t ahun 2007, LRC-KJ HAM , Fokus Grup Sekar Taji, Nurani Perempuan, dan lain sebagainya yang masingmasing memiliki bidang t ersendiri. Lihat dalam ibid hlm 2-4
41
Angka “ 23” maupun “ 35” disini unt uk sement ara saya peroleh dari Kat a Pengant ar Sulist yow at i Iriant o dalam op
cit Sulist yow at i Iriant o & Donny Danardono (ed)… hlm x-xi
42
Gadis Arivia misalnya, pengajar Filsafat di FIB Universit as Indonesia sempat mempresent asikan epist emologi
feminis dihadapan pesert a. Dari sini t erlihat ket erbukaan dari asosiasi ini.
Selain menjadi tempat pertemuan diantara para peminat maupun pengajar gender, APPHGI juga
menjadi tempat bertemunya antar institusi termasuk Ornop dan lembaga negara seperti Komnas
Perempuan. Terutama semenjak Kunti Tridewatri, yang tadinya terpilih sebagai ketua APPHGI
menjadi ketua Komnas Perempuan, hubungan antara APPHGI dengan Komnas Perempuan
menjadi semakin erat. Komnas Perempuan memberikan sumbangsih penting bagi pengembangan
APPHGI yaitu dengan memberikan data-data terbaru mengenai kondisi perempuan di Indonesia,
juga memberikan buku-buku gender yang kemudian dibagikan pada peserta yang kebanyakan
merupakan pengajar yang berasal dari berbagai perguruan tinggi. Dalam beberapa kegiatanya,
Komnas Perempuan juga menggandeng APPHGI juga Ornop yang bekerja dibidang perempuan,
misalkan saja penyusunan draft Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender.
Diluar berbagai kegiatan yang diadakan selama pertemuan, dalam setiap konferensinya APPHGI
memiliki tiga agenda wajib yang telah menjadi tradisi; (i) membicarakan mengenai ide-ide baru
pembenahan kurikulum mata kuliah hukum dan wanita serta perkembangan terbaru dari masingmasing universitas, (ii) mereview penelitian-penelitian terkait dengan gender yang menarik
cukup banyak perhatian dan (iii) saling berbagi referensi, khusus yang terakhir ini dilakukan
untuk membahas kebaruan dari teori maupun pemahaman tentang teori hukum feminis.
Lalu bagaimana agenda dalam APPHGI tersebut diimplementasikan dalam kelas? Bagaimana
minat mahasiswa? Bagaimana hubunganya dengan pusat studi gender milik universitas? Berikut
adalah penelusuran mengenai pengajaran mata kuliah hukum dan wanita di tiga kampus yang
berbeda. Pemilihan mata kuliah sebagai berikut tidak berdasarkan alasan bahwa ketiganya
secara kebetulan berada dalam locus satu kota semata, melainkan bahwa dari ketiga universitas
yang akan dipaparkan dibawah ini, ketiganya mewakili bagaimana posisi dari mata kuliah studi
gender dalam bidang hukum.
Universitas Diponegoro dipilih dengan alasan bahwa universitas ini adalah termasuk yang
pertama dalam membuka mata kuliah Hukum dan Wanita, yaitu dimulai semenjak diadakanya
seminar perihal gender pada tahun 1983 oleh Satjipto Rahardjo. Universitas Katolik
Soegijapranata dipilih dengan alasan sebagai fakultas hukum pertama, melalui pemaparan
Donny Danardono yang kala itu didukung oleh kebijakan rektorat universitas maupun fakultas
berhasil memasukkan mata kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah wajib. Keberhasilan
tersebut menjadi tonggak tersendiri dan mendapat sambutan yang cukup meriah dalam acara UI
Convention Watch yang kala itu tengah mengkampanyekan perlunya studi hukum berperspektif
gender untuk dimasukkan dalam kurikulum. Universitas Negeri Semarang, meski telah cukup
lama berdiri (tahun 1965) namun universitas ini baru membuka jurusan Fakultas Hukum pada
tahun 2001 dengan berada dibawah kepengolaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)
sebelum akhirnya menjadi fakultas tersendiri pada tahun 2007. Mata kuliah yang membahas
secara khusus studi hukum dan gender sendiri baru dirintis pada tahun 2010 yang diadakan pada
setiap semester genap saja.
Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa dua Fakultas Hukum yang disebutkan diatas dipilih
sebagai “garda depan” dalam kurikulum gender sementara kampus terakhir dipilih sebagai
pembanding, yaitu kampus yang tengah beradaptasi untuk mematangkan kurikulumnya.
Pengalaman dari ketiganya akan menjadi bahan reflektif tentang bagaimana aplikasi mata kuliah
hukum dan gender dalam tiga kampus dengan latar belakang historis yang berbeda.
Pertama, Universitas Diponegoro. Semenjak dimulai oleh Satjipto Rahardjo pada masa tahun
1983, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro memiliki beberapa kelompok kajian gender.
Pusat Studi Gender, Kelompok Kajian Hukum dan Wanita, dan kelas Hukum dan Wanita itu
sendiri. Dua yang disebut didepan beranggotakan campuran antara berbagai departemen
sedangkan kelas mata kuliah Hukum dan Wanita diampu secara khusus dibawah departemen
Hukum dan Masyarakat dan merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa yang mengambil
konsentrasi jurusan hukum dan masyarakat meski dapat pula menjadi mata kuliah pilihan bagi
mahasiswa dengan bidang konsentrasi lain. Terdapat dua orang dosen yang secara khusus
mengkaji hukum dan gender, meski satu diantaranya kini tak lagi aktif. Pengajar Undip sendiri
telah dua kali menjadi ketua APPHGI; Arief Hidayat ketua periode pertama dan Ani Purwanti
yang kini tengah menjabat sebagai ketua.
Sebagaimana peminat bidang konsentrasi Hukum dan Masyarakat, peminat mata kuliah Hukum
dan Wanita sendiri juga sedikit jumlahnya. Rekor terbanyak mahasiswa dalam satu periode
pengajaran adalah 24 orang pada tahun 1998. Pernah pula kelas ini kosong karena tidak banyak
peminat meski kelas dibuka pada setiap semester. Dalam empat semester terakhir, jumlah
terbanyak adaah sembilan orang. Meski sepi peminat, prinsip-prinsip dasar mengenai
ketimpangan gender “disisipkan” dalam sejumlah mata kuliah lain seperti hukum tata negara
maupun hukum pidana. Selain itu, Departemen Hukum dan Masyarakat menerima penulisan
skripsi lintas jurusan yang menginduk pada cabang hukum lain namun juga mengulik
permasalahan perempuan. Kebijakan “lintas” bimbingan ini diakui cukup membantu dalam
memberikan “perspektif perempuan” yang kerap luput apabila dibidik menggunakan satu
perspektif semata.
Pengajar dari Hukum dan Wanita adalah anggota baik PSG, KKHW, maupun PSW Universitas.
Hal ini turut menjelaskan relasi antar ketiga lembaga tersebut. Meski memiliki agenda utama
tersendiri, namun dalam beberapa kesempatan tertentu, irisan-irisan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan hukum seperti pembuatan profil keadaan perempuan di Jawa Tengah, juga
sosalisasi perempuan dalam hukum melalui berbagai kegiatan. Meskipun demikian, agaknya
antara PSW Universitas dan PSG sendiri masih belum padu dalam membangun satu agenda
besar yang menyatukan berbagai bidang pengetahuan.
Kedua, Fakultas Hukum
pengajar fakultas hukum,
Hukum dan Wanita. Pada
undangan UI Convention
Universitas Katolik Soegijapranata. Pada tahun 2005, salah satu
Donny Danardono, mengusulkan ide perihal perlunya mata kuliah
jarak waktu yang tak terlalu jauh, bersamaan dengan itu pula datang
Watch. Pada saat itu, Danardono telah berhasil memasukkan mata
kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah wajib yang harus diambil oleh seluruh mahasiswa
di Unika untuk mendapatkan gelar sarjana. Keberhasilan tersebut merupakan yang pertama
dalam sejarah fakultas hukum di Indonesia.
Menurut Danardono, pada waktu dirinya mengusulkan untuk diadakan mata kuliah Hukum dan
Wanita ia memperoleh tanggapan positif dari para kolega pengajar. Dengan demikian ia segera
menyiapkan silabus perkuliahan dan mempresentasikanya dihadapan pengajar yang lain.
Presentasi tersebut juga mendapat dukungan dari rektorat universitas, sehingga kemudian
diputuskan menjadi mata kuliah wajib. Mata kuliah Hukum dan Wanita ini juga merupakan mata
kuliah unggulan yang selalu mendapat nilai tambah pada saat akreditas fakultas. Pada masa awal
pengajaran, hanya Danardono selaku pengusul mata kuliah saja yang mengajar. Karena dirasa
kurang mencukupi, belakangan mata kuliah Hukum dan Wanita diajarkan oleh tiga dosen yang
berbeda yang dibagi berdasarkan bidang keahlian.
Apa yang menarik dari mata kuliah Hukum dan Wanita di Soegijapranata ini adalah bahan ajar
disusun secara detil dan rapi. Bahan perkuliahan disusun berdasarkan jumlah pengajaran yang
terdiri dari pokok bahasan umum dan pokok bahasan khusus, jadi apabila terdapat empat belas
tatap muka dalam satu semester, mahasiswa mendapatkan empat belas materi tertulis yang
berbeda disertai dengan bacaan wajib dan bacaan rekomendasi. Berikut adalah tampilan bahan
ajaran yang diolah dari silabus mata kuliah Hukum dan Wanita Unika Soegijapranata
Pokok Bahasan Khusus
Pokok Bahasan Umum
Gender, Seksualitas dan ketidakadilan
seksual
Gerakan Perempuan (feminisme) dan Studi Aliran-aliran dalam studi perempuan
Perempuan.
Teori
Fungsionalisme
Struktural
dan Hukum,
Kekuasaan
dan
Otonomi
Materialisme Historis dan Pengaruhnya Perempuan atas tubuh dan seksualitasya
terhadap Studi Perempuan.
Teori Strukturalisme, Post-Strukturalisme dan Kedudukan Perempuan dalam Hukum
Post-Modernisme dan Pengaruhnya terhadap Perdata Adat dan Barat
Studi Perempuan.
Hukum dan Kekuasaan.
Kedudukan Perempuan dalam Hukum
Publik
Persamaan Hak dan Ketidak-adilan Gender
dan Seksualitas yang dialami Perempuan.
Hukum dan Otonomi Perempuan atas Tubuh
dan Seksualitasnya.
Kedudukan Perempuan dalam UU nomor 7
tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita”.
Kedudukan Perempuan dalam Hukum
Perkawinan.
Pengantar.
Kedudukan Perempuan sebagai Warganegara
dan Pekerja.
Kedudukan Perempuan dalam Hukum Pidana.
Strategi Hukum Bagi Emansipasi Perempuan.
Secara kesuluruhan sesungguhnya tidak ditemukan adanya masalah yang cukup berarti selama
proses pengajaran dan mahasiswapun merespon dengan baik. Hanya saja silabus tersebut disusun
setelah mengalami beberapa kali perubahan dengan pertimbangan bobot sks dan pemahaman
mahasiswa dalam satu mata kuliah yang dirasa terlalu berat.
Ketiga, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Hukum dan Wanita diletakkan sebagai
mata kuliah pilihan wajib di Jurusan Hukum dan Masyarakat, diampu oleh tiga orang dosen
dengan spesialisasi yang berbeda. Mulai dibuka semenjak tahun 2010. Jumlah mahasiswa
sepanjang lima tahun terakhir memang mengalami peningkatan, namun tidak mencapai angka
lebih dari dua puluh orang. Meski begitu, pengajar menyisipkan pemahaman hukum dan gender
dalam beberapa mata kuliah lain. Sedikitnya minat mahasiswa untuk mempelajari hukum dan
gender dibarengi dengan minimnya jumlah peminat di bidang jurusan hukum dan masyarakat.
Hal ini tampak sebagai tautologi mengingat jurusan sendiri mengusahakan mata kuliah ini untuk
menjadi mata kuliah wajib namun ditolak dengan alasan bahwa mata kuliah ini hanya menarik
sedikit mahasiswa saja.
Sebagaimana terjadi di Undip, Unnes agaknya mengalami masalah serupa. Sedikitnya minat
mahasiswa pada mata kuliah Hukum dan Wanita juga dibarengi dengan minimnya minat
mahasiswa dalam bidang jurusan Hukum dan Masyarakat. Untuk menyiasati hal ini pengajar
mata kulah Hukum dan Wanita bergerilya dengan menyisipkan isu-isu ketimpangan hukum
terhadap perempuan dalam mata kuliah lain.
Pokok Ajar Mata Kuliah Hukum dan
Wanita Unnes
Pemahaman Gender
Peran Gender
Studi Tentang Diskriminasi
Regulasi-regulasi Gender
Teori Feminis dan Perkembanganya
Gender Budgeting
Selain minim peminat, beberapa hal yang menjadi kekurangan adalah masih minimnya pula
pemahaman mahasiswa maupun pengajar mengenai kesadaran gender. Ristina, pengajar mata
kuliah tersebut mengatakan bahwa ia harus terus memancing mahasiswa untuk tertarik pada
permasalahan ketimpangan perempuan dalam hukum. Selain pusat studi wanita di fakultas
hukum, Unnes juga memiliki Pusat Studi Perempuan dan Anak yang bergerak dibidang advokasi
dan pendidikan. Pengajar mata kuliah Hukum dan Wanita merangkap pula sebagai anggota pusat
studi universitas, dimana disini dapat ditemukan permasalahan yang sama pula; bahwa antara
kedua pusat studi juga tidak integral dan memiliki visi masing-masing.Dari ketiga universitas
yang dijadikan sampel tersebut dapat ditemukan beberapa hal; pertama pada Undip dan Unnes
dimana mata kuliah Hukum dan Wanita bukan merupakan mata kuliah wajib hanya mendapat
perhatian yang sedikit saja dari mahasiswa. Keduanya berada dibawah departemen Hukum dan
Masyarakat, bidang konsentrasi yang dari tahun ke tahun juga tidak banyak memiliki pemina