Kebijakan Pendidikan dalam ERa Otonomi D

ANALISIS KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM BIDANG
PENDIDIKAN

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kebijakan Pendidikan

Oleh :
Desi Lestari

( 1100661 )

Giya Afdila

( 1001978 )

Ismala Sari

( 1103936 )

Novtryananda


( 1101112 )

Okyendra Putri

( 1105108 )

Vera Hermawaty

( 1103609 )

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014

1

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu indikator dalam meningkatkan

pembangunan nasional. Melalui pendidikan, watak dan kepribadian bangsa
dibina dan dibentuk. Sayangnya, tidak semua warga negara Indonesia mampu
mengenyam pendidikan. Padahal dengan pendidikan derajat suatu bangsa
akan dipandang oleh negara-negara lain.
Pembentukan manusia-manusia yang bermoral dan bertabat terjadi dalam
proses pendidikan. Dimana, proses pendidikan ini sifatnya kompleksitas.
Karena sifat pendidikan yang kompleksitas maka perlu adanya suatu
pengelolaan pendidikan yang baik, yang mencakup budaya, pengetahuan,
nilai-nilai dasar, dan ideologi bangsa.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses belajar mengajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan
usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat
karena Pendidikan juga merupakan modal manusia untuk mengembangkan
Bangsa ini. Pendidikan juga mempunyai tugas menyiapkan sumber daya
manusia untuk pembangunan, hal tersebut dapat ditegaskan dalam teori

human capital dimana manusia merupakan investasi masa depan, pendidikan
merupakan modal manusia untuk mengahadapi masa depan dan beperan
dalam mengembangkan Bangsa.
Namun saat ini banyak permasalahan yang menimpa pendidikan kita,
mulai dari rendahnya pemerataan pendidikan sampai biaya pendidikan yang
mahal. Dampak tersebut akan berpengaruh pada pendidikan kedepannya. Jika
hal tersebut dibiarkan maka akan berpengaruh pada perkembangan bangsa
kita, Bangsa ini akan semakin terpuruk. Dengan adanya permasalahan
tersebut diperlukan adanya kebijakan. Dengan dibuatnya kebijakan
diharapkan dapat mempermudah dalam pengambilan keputusan untuk
menangani berbagai permasalahan pendidikan.

2

Kebijakan pendidikan adalah keseluruhan proses dan langkah-langkah
strategic dalam mewujudkan cita-cita pendidikan dalam kurun waktu tertentu.
Terdapat kebijakan yang diturunkan oleh pemerintah diantaranya kebijakan
yang diturunkan pada Perda dan Perbup atau Perwal. Hal tersebut biasanya
yang digunakan sebagai arah atau pedoman pemerintah kota untuk melakukan
perencanaan,


pelaksanaan

suatu

program

kerja

ataupun

mengatasi

permasalahan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka diperlukan kajian mengenai
kebijakan otonomi daerah yang berkaitan dengan pendidikan yang
selanjutnya akan kami bahas di bagian selanjutnya.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dari analisis kebijakan dari analisis kebijakan otonomi daerah
dalam ranah pendidikan yaitu untuk mengetahui evaluasi dampak dari

kebijakan Otonomi Daerah dalam bidang Pendidikan.
C. KAJIAN TEORI
1. SECARA FILOSOFIS
Untuk lebih memperjelas dan mempertegas filosofi dasar otonomi
daerah dan birokrasi Pemerintahan Daerah, telah diterbitkan UU no 32
tahun 2004 dan UU no 33 tahun 2004sebagai pengganti UU 22 tahun
1999 dan UU no 25 tahun 1999. Dengan adanya UU no 32 tahun 2004
dan UU no 33 tahun 2004 ini, diharapkan dapat diterbitkan konsepkonsep rencana tindakan strategis yang lebih reformatif yang bersifat
antisipatif terhadap tuntunan reformasi mayarakat, untuk menciptakan
”clean and accountable goverment”, yang tahu apa yang harus diperbuat
dan berbuat, sesuai atauran (UU) yang telah disepakati. Diharapkan
dengan adanya otonomi daerah, pembangunan kewilayahan Indonesia
bisa lebih cepat dipacu. Ini disebabkan adanya peran daerah yang lebih
besar ketimbang peran pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya
memainkan peranan sebagai fasilisator dan dinamisator. Sementara
pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota, menjadi perencana,
pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing.
Otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintahan. Dengan otonomi daerah pengambilan keputusan lebih


3

dekat kepada rakyat yang dilayani. Rentang kendali pemerintahan
menjadi lebih dekat, sehingga pemerintahan dapat lebih responsif
terhadap kebutuhan, potensi dan kapasitas daerah yang spesifik, dengan
begitu diharapkan pelayanan masyarakat akan lebih baik karena dengan
otonomi daerah, dapat lebih mengetahui kebutuhan dan prioritas
keinginan rakyat di daerahnya.
Otonomi dalam kaitannya dengan pelayanan masyarakat, juga
meliputi pelayanan dalam pendidikan. Permasalahan pendidikan yang
kurang merata di sejumlah daerah di Indonesia, menyebabakan tidak
semua warga Indonesia mampu mengenyam pendidikan. Otonomi daerah
dimana daerah memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahan
Daerah

sebagai wujud dari desentralisasi kewenangan, serta dalam

mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah

yang berkaitan dengan


tujuan pendidikan nasional dan pemerataan pendidikan.
2. YURIDIS
Kebijakan otonomi daerah bukan tanpa alasan. Dilihat dari landasan
yuridis jelas telah diamanatkan oleh Ketetapan MPR no. XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah dalarn Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketetapan MPR tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan
UndangUndang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Pernerintahan Daerah.
Selain alasan yuridis, juga dalam upaya menghadapi tuntutan
globalisasi yang mau tidak mau suka, tidak suka daerah harus lebih
diberdayakan dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih
nyata dan bertanggungjawab, terutama dalam mengatur, mernanfaatkan
dan

menggali


sumber-sumber

potensi

yang

ada

di

daerahnya

masing-masing.
Di Indonesia otonomi daerah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 1999, dengan pengertian bahwa otonomi daerah
merupakan desentralisasi kewenangan dari pemerintah ke pemerintah

4

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pemerintah

daerah memiliki urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah
pusat kecuali bidang luar negeri, moneter, peradilan, keamanan dan
agama. Dan urusan-urusan yang telah diserahkan tersebut menjadi
tanggung jawab daerah sepenuhnya.
Melalui kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Otonomi
merupakan manifestasi dari proses pemberdayaan rakyat dalam kerangka
demokrasi dimana daerah kabupaten/kota yang merupakan unit
pemerintahan terdekat dengan rakyat diberikan keleluasaan untuk
berekspresi. Pemberian otonomi yang luas kepada daerah juga untuk
memperlancar, mengembangkan dan memacu pembangunan di daerah,
memperluas peran serta masyarakat serta lebih meningkatkan pemerataan
pembangunan dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi
daerah. Sehingga kesenjangan antar daerah dapat dikurangi karena
masing-masing daerah akan membuka wawasan untuk membangun dan
bekerja sama dengan pihak lain, baik swasta maupun luar negeri.
Tujuan Utama dari kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan, tahun
1999 adalah di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik,
sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat

yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain
pihak,

dengan

desentraisasi

daerah

akan

mengalami

proses.

pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas
mereka akan menentukan nasibnya sendiri. Di Indonesia, otonomi daerah
sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945,
kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokokpokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan

pemerintahan

yang

cenderung

ke

arah

disentralisasi.

Namun

pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir.
Pada masa ini keluarlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan pemerintahan pusat dan kemudian digantikan dengan UU

5

No.32 Tahun 2004. Sejak itu, penerapan otonomi daerah berjalan cepat.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang
untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang
tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan
keamanan, moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta
sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara,
pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).
Sumber daya alam daerah di Indoinesia yang tidak merata juga
merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan
yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan
sumber pendapatan daerah sekaligus menjadipendapatan nasional. Sebab
seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang
pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain. Karena
itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan
di tingkat daerah yang disebut otonomi daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan
begitu saja pada pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundangundangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan
yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakah sudah sesuai dengan tujuan
nasional, yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Republik
Indonesia yang berdasar pada sila Kelima Pancassila, yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tuntutan akan pengelolaan
pmerintahan daerah yang mandiri dengan semangat otonomi daerah
semakin marak. Namun demikian, kebijakan otonomi daerah disalah
artikan oleh jajaran pengelola pemerintah di daerah. Otonomi daerah
dipahami sebagai kebebasan mengelola sumber daya daerah yang
cenderung melahirkan pemerintahan daerah yang tidak profesional dan
tidak terkontrol.
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 telah menjelaskan
bagaimana pembagian urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan.

6

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang kemudian di
otonomikan dalam bentuk perencanaan dan pelaksanaan pemerintah
daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Selain itu,
pemerintah provinsi atupun pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki
kewenangan dalam mengatur terwujudnya mutu pendidikan yang
bermutu, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang SISDIKNAS
No. 20 Tahun 2003.
3. SOSIOLOGI
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang
berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi yaitu hak untuk
memerintah dan menentukan nasibnya sendiri. Di Indonesia, otonomi
daerah sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945,
kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokokpokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan
pemerintahan

yang

cenderung

ke

arah

disentralisasi.

Namun

pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir.
Pada masa ini keluarlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan pemerintahan pusat dan kemudian digantikan dengan UU
No.32 Tahun 2004. Sejak itu, penerapan otonomi daerah berjalan cepat.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang
untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang
tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan
keamanan, moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta
sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara,
pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).
Sumber daya alam daerah di Indoinesia yang tidak merata juga
merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan
yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan
sumber pendapatan daerah sekaligus menjadipendapatan nasional. Sebab
seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang
7

pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain. Karena
itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan
di tingkat daerah yang disebut otonomi daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan
begitu sajapada pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundangundangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan
yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakah sudah sesuai dengan tujuan
nasional, yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Republik
Indonesia yang berdasar pada sila Kelima Pancassila, yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tuntutan akan pengelolaan
pmerintahan daerah yang mandiri dengan semangat otonomi daerah
semakin marak.

8

D. ANALISIS
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN
SUB BIDANG
1. Kebijakan

SUB-SUB BIDANG
1. Kebijakan dan
Standar

PEMERINTAH
1.a. Penetapan kebijakan

nasional pendidikan.

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI
1.a. Penetapan kebijakan
operasional pendidikan
di provinsi sesuai
dengan kebijakan
nasional.

b. Koordinasi dan

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
1.a. Penetapan kebijakan
operasional pendidikan di
kabupaten/kota sesuai
dengan kebijakan nasional
dan provinsi.
b. ―

sinkronisasi kebijakan
operasional dan program
pendidikan antar provinsi.
c. Perencanaan strategis

b. Koordinasi dan
sinkronisasi kebijakan
operasional dan
program pendidikan
antar kabupaten/kota.

pendidikan nasional.
c. Perencanaan strategis
pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah
dan pendidikan
nonformal sesuai
dengan perencanaan
strategis pendidikan

9

c. Perencanaan operasional
program pendidikan anak
usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan
nonformal sesuai dengan
perencanaan strategis
tingkat provinsi dan
nasional.

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA

nasional.

2.a. Pengembangan dan

penetapan standar
nasional pendidikan (isi,
2.a. ―
proses, kompetensi
lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian
pendidikan).
.

3.a.

Sosialisasi
standar nasional
pendidikan dan
pelaksanaannya pada
jenjang pendidikan tinggi.
Penetapan pedoman
pengelolaan dan
penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini,

10

b. Sosialisasi dan
pelaksanaan standar
nasional pendidikan di
tingkat provinsi.
3.a. Koordinasi atas
pengelolaan dan
penyelenggaraan

2.a. ―

b. Sosialisasi dan
pelaksanaan standar
nasional pendidikan di
tingkat kabupaten/kota.
3.a. Pengelolaan dan
penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar,

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH
pendidikan dasar,
pendidikan menengah,
pendidikan tinggi, dan
pendidikan nonformal.

4. Penetapan kebijakan tentang
satuan pendidikan bertaraf
internasional dan satuan
pendidikan berbasis
keunggulan lokal.
5.a. Pemberian izin pendirian

pendidikan,
pengembangan tenaga
kependidikan dan
penyediaan fasilitas
penyelenggaraan
pendidikan lintas
kabupaten/kota, untuk
tingkat pendidikan
dasar dan menengah.
4.



5.a. ―

serta pencabutan izin
perguruan tinggi.

b. Pemberian izin pendirian

11

b. —

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal.

4. —

5.a. Pemberian izin pendirian
serta pencabutan izin
satuan pendidikan dasar,
satuan pendidikan
menengah dan
satuan/penyelenggara
pendidikan nonformal.

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH
serta pencabutan izin
satuan pendidikan dan/atau
program studi bertaraf
internasional.

b. —
c. Penyelenggaraan
dan/atau pengelolaan
satuan pendidikan
dan/atau program studi
bertaraf internasional
pada jenjang
pendidikan dasar dan
menengah.
d. ―

c. Penyelenggaraan dan/atau

pengelolaan satuan
pendidikan dan/atau
program studi bertaraf
internasional

d. ―

e. ―
e. ―

6.

12

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA

Pemberian dukungan
sumber daya terhadap

c. Penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan satuan
pendidikan sekolah dasar
bertaraf internasional.

d. Pemberian izin pendirian
serta pencabutan izin
satuan pendidikan dasar
dan menengah berbasis
keunggulan lokal.
e. Penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan
berbasis keunggulan lokal
pada pendidikan dasar dan
menengah.

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH
6.

Pengelolaan dan/atau
penyelenggaraan
pendidikan tinggi.

penyelenggaraan
perguruan tinggi.
7.

7.

Pemantauan dan evaluasi
satuan pendidikan bertaraf
internasional.

8.

Penyelenggaraan sekolah
Indonesia di luar negeri.

8.

9.
9.

Pemantauan dan
evaluasi satuan
pendidikan bertaraf
internasional.

Pemantauan dan evaluasi
satuan pendidikan sekolah
dasar bertaraf
internasional.

8.



9.





10. a. ―

13

7.



Pemberian izin pendirian,
pencabutan izin
penyelenggaraan, dan
pembinaan satuan
pendidikan Asing di
Indonesia.

10.a. Pengembangan sistem
informasi manajemen
pendidikan secara

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
6. Pemberian dukungan
sumber daya terhadap
penyelenggaraan
perguruan tinggi.

b. Peremajaan data

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH
nasional.
b. Peremajaan data dalam
sistem informasi
manajemen pendidikan
nasional untuk tingkat
nasional.

2. Pembiayaan

1.a. Penetapan pedoman

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI
dalam sistem
infomasi manajemen
pendidikan nasional
untuk tingkat
provinsi.

1.a. ―

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
10. a. ―

b. Peremajaan data dalam
sistem infomasi
manajemen pendidikan
nasional untuk tingkat
kabupaten/kota.

1.a. ―

pembiayaan pendidikan
anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah, pendidikan
tinggi, pendidikan
nonformal.
b. Penyediaan bantuan biaya

penyelenggaraan
pendidikan tinggi sesuai
kewenangannya.

14

b. Penyediaan bantuan
biaya penyelenggaraan
pendidikan bertaraf
internasional sesuai
kewenangannya.

b. Penyediaan bantuan biaya
penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH

c. Pembiayaan penjaminan

3. Kurikulum

mutu satuan pendidikan
sesuai kewenangannya.
1.a.Penetapan kerangka dasar
dan struktur kurikulum
pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar dan
pendidikan menengah.
b. Sosialisasi kerangka
dasar dan struktur
kurikulum pendidikan
anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan
menengah.

15

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

c. Pembiayaan
penjaminan mutu
satuan pendidikan
sesuai kewenangannya.
1.a.Koordinasi dan
supervisi
pengembangan
kurikulum tingkat
satuan pendidikan
pada pendidikan
menengah.
b. Sosialisasi kerangka
dasar dan struktur
kurikulum pendidikan
anak usia dini,
pendidikan dasar, dan
pendidikan
menengah.

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
pendidikan nonformal
sesuai kewenangannya.

c. Pembiayaan penjaminan
mutu satuan pendidikan
sesuai kewenangannya.
1.a.Koordinasi dan supervisi
pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan
pada pendidikan dasar.

b. Sosialisasi kerangka
dasar dan struktur
kurikulum pendidikan
anak usia dini,
pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH
c. Penetapan standar isi dan
standar kompetensi
lulusan pendidikan dasar
dan menengah, dan
sosialisasinya.
2.a. Pengembangan model
kurikulum tingkat satuan
pendidikan pada
pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan
pendidikan nonformal.
b. Sosialisasi dan fasilitasi
implementasi kurikulum
tingkat satuan pendidikan.

3. Pengawasan pelaksanaan
kurikulum tingkat satuan
pendidikan pada pendidikan
anak usia dini, pendidikan

16

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

c. Sosialisasi dan
implementasi standar
isi dan standar
kompetensi lulusan
pendidikan
menengah.

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
c. Sosialisasi dan
implementasi standar
isi dan standar
kompetensi lulusan
pendidikan dasar.
2.a. ―

2.a. ―

b. Sosialisasi dan fasilitasi
implementasi kurikulum
tingkat satuan pendidikan
pada pendidikan anak usia
dini dan pendidikan dasar.

b. Sosialisasi dan
fasilitasi implementasi
kurikulum tingkat
satuan pendidikan pada 3. Pengawasan pelaksanaan
pendidikan menengah.
kurikulum tingkat satuan
pendidikan pada pendidikan
3. Pengawasan
dasar.
pelaksanaan kurikulum
tingkat satuan

SUB BIDANG

4. Sarana dan
Prasarana

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

dasar, dan pendidikan
menengah.

pendidikan pada
pendidikan menengah.

SUB-SUB BIDANG

1.a. Monitoring dan evaluasi
pelaksanaan dan
pemenuhan standar
nasional sarana dan
prasarana pendidikan.

1.a. Pengawasan terhadap
pemenuhan standar
nasional sarana dan
prasarana pendidikan
menengah.
b.

b. Pengawasan
pendayagunaan bantuan
sarana dan prasarana
pendidikan.
2.a. Penetapan standar dan

Pengawasan
pendayagunaan
bantuan sarana dan
prasarana pendidikan.

2.a. ―

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA

1.a. Pengawasan terhadap
pemenuhan standar
nasional sarana dan
prasarana pendidikan anak
usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan
nonformal.
b. Pengawasan
pendayagunaan bantuan
sarana dan prasarana
pendidikan.
2.a. ―

pengesahan kelayakan
buku pelajaran.
b. ―

b. Pengawasan
penggunaan buku
pelajaran pendidikan

17

b. Pengawasan penggunaan
buku pelajaran pendidikan
anak usia dini, pendidikan

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH

menengah.

5. Pendidik dan
Tenaga
Kependidikan

1.a.Perencanaan kebutuhan dan
pengadaan pendidik dan
tenaga kependidikan
secara nasional.

1.a.Perencanaan kebutuhan
pendidik dan tenaga
kependidikan untuk
pendidikan bertaraf
internasional sesuai
kewenangannya.

b. ―

2.

b. Pengangkatan dan
penempatan pendidik
dan tenaga
kependidikan PNS
untuk satuan
pendidikan bertaraf
internasional.

Pemindahan
pendidik dan tenaga
kependidikan PNS antar

18

2.

Pemindahan
pendidik dan tenaga

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan
nonformal.
1.a.Perencanaan kebutuhan
pendidik dan tenaga
kependidikan pendidikan
anak usia dini,
pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal
sesuai kewenangannya.
b. Pengangkatan dan
penempatan pendidik dan
tenaga kependidikan PNS
untuk pendidikan anak
usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah, dan
pendidikan nonformal
sesuai kewenangannya
2.
Pemindahan
pendidik dan tenaga
kependidikan PNS di

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

provinsi.
3.

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
kabupaten/ kota.

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH

kependidikan PNS antar
kabupaten/kota.

Peningkatan
kesejahteraan, penghargaan,
dan perlindungan pendidik
dan tenaga kependidikan.

4.a.

3.
3.

Peningkatan
kesejahteraan,
penghargaan, dan
perlindungan pendidik
dan tenaga kependidikan
pendidikan bertaraf
internasional.

Perencanaan
kebutuhan, pengangkatan,
dan penempatan pendidik 4.a.
Pe
dan tenaga kependidikan
mbinaan dan
bagi unit organisasi di
pengembangan
lingkungan departemen
pendidik dan tenaga
yang bertanggungjawab di
kependidikan
bidang kependidikan.
pendidikan bertaraf
internasional.
b. Pemberhentian pendidik
dan tenaga kependidikan
PNS karena pelanggaran
peraturan perundangundangan.
b.Pemberhentian

19

Peningkatan
kesejahteraan, penghargaan,
dan perlindungan pendidik
dan tenaga kependidikan
pendidikan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal.

4.a.

Pembi
naan dan pengembangan
pendidik dan tenaga
kependidikan pendidikan
anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan
nonformal.

b. Pemberhentian pendidik
dan tenaga kependidikan
PNS pada pendidikan anak
usia dini, pendidikan

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

pendidik dan tenaga
kependidikan PNS
pada pendidikan
bertaraf internasional
selain karena alasan
pelanggaran peraturan
perundang-undangan

5.



6.

Sertifikasi
pendidik.

6. Pengendalian
Mutu
Pendidikan

1. Penilaian Hasil
Belajar

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH

1.

Penetapan pedoman, bahan
ujian, pengendalian
pemeriksaan, dan
penetapan kriteria
kelulusan ujian nasional.

2.

Pelaksanaan ujian nasional
pendidikan dasar,

20

5.
Pengalokasian tenaga
potensial pendidik dan
tenaga kependidikan di
daerah.

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan
nonformal selain karena
alasan pelanggaran
peraturan perundangundangan.
5.


6.



6.

1. ─

1.



2.

2.

Membantu pelaksanaan
ujian nasional pendidikan

Membantu
pelaksanaan ujian

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

pendidikan menengah, dan
pendidikan nonformal.
3.

4.

Koordinasi, fasilitasi,
monitoring, dan evaluasi
pelaksanaan ujian nasional.

nasional pendidikan
dasar, pendidikan
menengah, dan
pendidikan nonformal.
3.

Penyediaan blanko ijazah
dan/atau sertifikat ujian
nasional.
4.

5.

2. Evaluasi

Penyediaan biaya
penyelenggaraan ujian
nasional.

1.a. Penetapan pedoman

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan
nonformal.

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH

5.

Koordinasi, fasilitasi,
monitoring, dan
evaluasi pelaksanaan
ujian sekolah skala
provinsi.

3.

Koordinasi, fasilitasi,
monitoring, dan evaluasi
pelaksanaan ujian sekolah
skala kabupaten/kota.

4.



5.

Penyediaan biaya
penyelenggaraan ujian
sekolah skala
kabupaten/kota.


Penyediaan biaya
penyelenggaraan ujian
sekolah skala provinsi.

1.a. ―

1.a. ―

evaluasi terhadap
pengelola, satuan, jalur,
jenjang dan jenis
pendidikan.
b. Pelaksanaan evaluasi

21

b. Pelaksanaan evaluasi

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH
b.

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

Pelaksanaan evaluasi
nasional terhadap
pengelola, satuan, jalur,
jenjang dan jenis
pendidikan.

pengelola, satuan,
jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan pada
pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah,
dan pendidikan
nonformal skala
provinsi.
2.a. ―

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
pengelola, satuan, jalur,
jenjang, dan jenis
pendidikan pada
pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal
skala kabupaten/kota.
2.a. ―

2.a. Penetapan pedoman

evaluasi pencapaian
standar nasional
pendidikan.
b.

3. Akreditasi

Pelaksanaan evaluasi
pencapaian standar
nasional pendidikan.

1.a. Penetapan pedoman

22

b.

Pelaksanaan evaluasi
pencapaian standar
nasional pendidikan
pada pendidikan anak
usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah, dan
pendidikan nonformal
skala provinsi.

1.a. ―

b. Pelaksanaan evaluasi
pencapaian standar
nasional pendidikan pada
pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal
skala kabupaten/kota.
1.a. ―

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH
akreditasi pendidikan jalur
pendidikan formal dan non
formal.

b. Membantu pemerintah
dalam pelaksanaan
akreditasi pendidikan
dasar dan menengah.

b. Pelaksanaan akreditasi

pendidikan jalur
pendidikan formal dan
nonformal.
4. Penjaminan Mutu

1. Penetapan pedoman
penjaminan mutu satuan
pendidikan.
.a.

Supervisi dan fasilitasi
satuan pendidikan dalam
pelaksanaan penjaminan
mutu untuk memenuhi
standar nasional
pendidikan.

b. Supervisi dan fasilitasi

satuan pendidikan bertaraf
internasional dalam

23

1.


b. Membantu pemerintah
dalam akreditasi
pendidikan nonformal.

1.



.a.
.a.



Supervisi dan fasilitasi
satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan
nonformal dalam
penjaminan mutu untuk
memenuhi standar
nasional pendidikan.

b. Supervisi dan fasilitasi

satuan pendidikan

b.

Supervisi dan fasilitasi

SUB BIDANG

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH
penjaminan mutu untuk
memenuhi standar
internasional.

c. ─

PEMERINTAHAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
satuan pendidikan
bertaraf internasional
dalam penjaminan mutu
untuk memenuhi standar
internasional.

PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI
bertaraf internasional
dalam penjaminan
mutu untuk memenuhi
standar internasional.
c. ─

c.

Supervisi dan Fasilitasi
satuan pendidikan
berbasis keunggulan
lokal dalam penjaminan
mutu.

d.

Evaluasi pelaksanaan
dan dampak penjaminan
mutu satuan pendidikan
skala kabupaten/kota.

d. Evaluasi pelaksanaan dan

dampak penjaminan mutu
satuan pendidikan skala
nasional.

d. Evaluasi pelaksanaan

dan dampak
penjaminan mutu
satuan pendidikan
skala provinsi.

24

E. HASIL
Dari analisis menurut PP No. 38 Tahun 2007 mengenai pembagian
urusan pemerintahan bidang pendidikan bahwa kewenangan pemerintah pusat
dan kewenangan Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kabupaten Kota,
yaitu dilihat dari beberapa Komponen sebagai berikut:
 Kebijakan
Dalam penetapan kebijakan nasional, koordinasi dan sinkronisasi
kebijakan oprasional program pendidikan antar provinsi, serta perencanaan
strategis pendidikan nasional. Kemudian, ketetapan ini akan dijadikan sebagai
acuan bagi pemerintah provinsi untuk perencanaan strategis pendidikan
dilihat dari jenjang dan jalur pendidikan yang disesuaikan dengan analisis
kebutuhan provinsi, yang selanjutnya menjadi acuan bagai pemerintah
kabupaten/kota untuk perencanaan oprasional program pendidikan berdasar
pada Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, pemerintah daerah
provinsi ataupun pemerintah daerah kabupaten/kota, memiliki kewenangan
dalam mengatur penetapan kebijakan oprasional pendidikan yang disesuaikan
dengan kebijakan nasional dan provinsi. Contohnya kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah Kota Bandung mengenai Penerimaan Siswa Baru,
dimana siswa yang menetap pada suatu kecamatan memiliki dua pilihan
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, yang pertama, siswa
memilih sekolah yang berada di kecamatan tersebut, dengan adanya
penambahan nilai akhir sebesar 1,1 (satu koma satu). Yang kedua, apabila
siswa memilih sekolah diluar kecamatan tersebut maka, siswa tidak akan
mendapatkannya. Dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan tersebut, akan
berdampak bahwa pada setiap kecamatan terdapat sekolah yang unggul,
selain itu adanya pemerataan pendidikan, dan meningkatnya mutu
pendidikan. Meskipun demikian, tidak semua pemerintah kota/kabupaten
mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, terlebih lagi hal
ini sering dipengaruhi oleh politis. Sehingga, otonomi daerah dalam hal
kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan, utamanya tergantung kepada
bagaimana pemerintah daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk
lebih memperhatikan kembali potensi-potensi yang ada untuk lebih
mengembangkan daerahnya.
 Pembiayaan
25

Dalam hal pembiayaan, pemerintah pusat menetapkan pedoman
pembiayaan pendidikan sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan, karena
dalam Undang-Undang

No. 20 tahun 2003 telah diatur bahwa dana

pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD. Contohnya yaitu dalam
pengelolaan dana BOS (Bantuan Oprasional Sekolah), pemerintah pusat
hanya memberikan buku panduan BOS, yang kemudian dana BOS dicairkan
melalui pemerintah Provinsi dan disalurkan kepada Dinas Pendidikan yang
berada di Daerah Kabupaten/Kota. Oprasional dana BOS ini menjadi
tanggung jawab sepenuhnya Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain bantuan dana BOS, Pemerintah Daerah juga memiliki dana yang
disebut sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dapat digunakan sebagai
pengembangan pada daerah masing-masing, meskipun rasio terhadap
pendapatan daerah rendah, dan daerah masih bergantung pada pemerintah
pusat. Berikut gambar pendapatan dana penyesuaian dan otonomi khusus.

26

Dari gambar tersebut dapat kita simpulkan bahwa pendapatan daerah
yang tinggi ternyata belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh
daerah-daerah. Hampir seluruh Kabupaten/Kota dan provinsi masih
belum mandiri. Hanya DKI Jakarta saja yang tidak menerima bantuan
dari pemerintah pusat. Kewenangan dalam hal pembiayaan pendidikan
memang telah menjadi kewenangan Pemda, tetapi Pemda pun belum
memaksimalkan

atau

mengutamakan

untuk

peningkatan

mutu

pendidikan, karena kebanyakan pembiayaan lebih condong kepada
pembangunan infrastruktur.
 Kurikulum
Kurikulum dalam pelaksanaan di sekolah-sekolah, baik didasarkan pada
jenjang dan jenis pendidikan telah diatur oleh pemerintah pusat.
27

Selanjutnya, kurikulum ini akan dikembangkan oleh pemerintah provinsi,
sehingga unsur-unsur budaya dapat diperkenalkan kepada masyarakat
melalui pelajaran di sekolah. Hanya saja, unsur-unsur yang terkandung
dalam kurikulum nasional hanya berbasis Nasional, belum mengarah
kepada kurikulum global. Selain itu, untuk penetapan standar pendidikan
masih bersifat sentralisasi, karena di daerah tidak memiliki kewenangan
untuk menetapkan standar dalam pendidikan, hanya sebatas oprasional
dan penyesuaian.
 Sarana dan Prasarana
Penetapan standar sarana dan prasarana ini mengikuti ketetapan dari
Pemerintah

pusat.

Pemerintah

provinsi

hanya

berlaku

sebagai

pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana
pendidikan menengah. Untuk pengawasan pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
nonformal

itu

Kabupaten/Kota.

merupakan
Meskipun

tanggungjawab
demikian,

tidak

dari

Pemerintah

semua

pemerintah

Kabupaten/Kota mampu memenuhi stnadar sarana dan prasarana
pendidikan, hal ini dikarenakan keterbatasan letak geografis. Sehingga,
masih banyak sekolah yang memang masih jauh dari stanadar
pemenuhan sarana dan prasarana.
 Pendidik dan tenaga kependidikan
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dalam perencanaan kebutuhan
dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan yang bersifat nasional.
Sedangkan

kewenagan

Pemerintah

Provinsi

dan

Pemerintah

Kabupaten/Kota, selain perencanaan kebutuhan yang disesuaikan dengan
kebutuhan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan, juga memiliki
kewenangan dalam pengangkatan dan penempatan sesuai dengan
kebutuhan. Tetapi, tetap saja banyak daerah-daerah terpencil yang
kekurangan pendidik dan tenaga pendidik, adapula daerah-daerah yang
sebaliknya malah kelebihan jumlah guru. Fenomena ini dikarenakan
pemerintah tidak menetapkan aturan yang jelas. Karena ketika perekrutan
secara nasional maka penempatannya harus merata, atau diprioritaskan

28

kepada daerah-daerah yang memang kekurangan. Setelah, pemerintah
menetapkan bahwa pendidik yag telah diangkat tidak boleh dipindah
tugas atau mutasi selama masa jabatan tertentu atau lebih dari 15 tahun.
Sertifikasi guru merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tetapi untuk
pelaksanaannya dikoordinasi dengan pemerintah provinsi sebagai
penyelenggara. Selain itu sertifikasi guru ini dalam penetapan tunjangan
diberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota.
 Pengendalian Mutu Pendidikan
Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam penilaian hasil belajar peserta didik belum terlaksana, karena
pelaksanaan ujian nasional masih tanggungjawab pemerintah pusat.
Padahal, tidak semua potensi-potensi yang ada di setiap daerah itu sama.
Contohnya saja untuk daerah terpencil di Papua, sumber daya yang
dimiliki dengan daerah perkotaan tentu sangat jauh berbeda, dimulai dari
sarana prasarana, pendidik, dan peran orangtua. Untuk pengendalian
Mutu Pendidikan Pemerintah pusat dalam otonomi dalam bidang
pendidik belum terlaksana, karena ujian nasional ini harus bisa menilai
hasil belajar siswa yang sebenar-benarnya, dan yang lebih tahu mengenai
siswa disekolah adalah sekolah itu sendiri. Selain itu, budaya yang
berbeda pada setiap daerah juga mempengaruhi pelaksanaan ujian
nasional tersebut. Jadi seharusnya, pemerintah hanya menetapkan standar
kelulusan, dan ujian diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Untuk komponen Akreditasi dan Penjaminan Mutu telah ada lembaga
yang legal yang dipercaya sebagai penguji dalam kedua hal tersebut.
Meskipun dalam penetapan standar harus mengacu pada standar nasioal
pendidikan, tetapi Lembaga Akreditasi ini juga memiliki kriteria dalam
penentuan kelayakan yang berdasarkan atas kondisi Pemerintah Daerah.
F. EVALUASI
Kebijakan otonomi daerah ini dilihat dari beberapa indikator evaluasi berikut
ini dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut.
Efektifitas dan Efisien
Dalam konteks otonomi daerah,

pelimpahan

wewenang

pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999
29

dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang
semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah,
termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan. Pelimpahan
wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan
Pemerintahan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan
kemampuan perekonomian daerah, menciptakan system pembiayaan
daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab.
Adanya UU otonomi daerah dan UU perimbangan keuangan pusatdaerah ini semakin membantu dan memberi kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan sebaik
mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini
disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab
pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas, termasuk
dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU
ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai
tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah
masing-masing

sejalan

dengan

kebijakan

pendidikan

nasional.

Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas
dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang
pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan
pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Sebagai dampak otonomisasi daerah terutama pada bidang
pendidikan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu
dipertimbangkan lebih mendalam, yaitu yang terkait dengan; kepentingan

30

nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas.
Pertama, Dalam skala nasional pemerintah mempunyai beberapa
kepentingan antara lain sejalan dengan isu wajib belajar (Wajar) dan
sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional "mencerdaskan
kehidupan bangsa" (Pembukaan UUD 1945), demikian juga seperti yang
tertuang dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang hak mendapatkan
pengajaran. Persoalannya, bagaimana melalui otonomi daerah, yang
besarnya potensi dan sumber pembiayaan berbeda, dapat menjamin agar
tiap-tiap negara memperoleh hak pengajaran. Atau bagaimana dengan
otonomi daerah tersebut dapat menjamin bahwa Wajib Belajar
pendidikan dasar sembilan tahun dapat dituntaskan di semua daerah
kabupaten/kota dalam waktu yang relatif sama. Isu lainnya adalah
pembentukan "national character building", bahwa otonomi daerah
dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, yang
diharapkan warga negara tetap mengetahui hak dan kewajibannya serta
memiliki jiwa patriotisme, religius, cinta tanah air, dan seterusnya.
Persoalannya, bagaimana pendidikan dapat mengamankan program
pendidikan dengan memberikan peluang kreatifitas dalam keragaman
daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal ke kepentingan
nasional melalui muatan yang sama dalam upaya ke arah pembentukan
"national character building" tersebut.
Kedua, peningkatan mutu. Bahwa salah satu dasar pemikiran yang
melandasi lahirnya undang-undang pemerintah daerah 1999 adalah untuk
menghadapi tantangan persaingan global. dengan demikian mutu
pendidikan diharapkan tidak hanya memenuhi standar nasional tetapi
juga perlu memenuhi standar internasional. Persoalannya, bahwa
otonomi pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh Daerah Kabupaten/Kota
yang kualitas sumberdaya, prasarana, dan kemampuan pembiayaannya
bisa sangat berbeda, dalam konteks ini pendidikan di satu sisi berhasil
meningkatkan aspirasi pendidikan masyarakat, namun di sisi lain mutu
pendidikan merosot karena sumber dana untuk mendukungnya terbatas.

31

Ketiga, efisiensi pengelolaan. bahwa otonomi daerah diharapkan
dapat

meningkatkan

efisiensi

pengelolaan

dan

efisiensi

dalam

pengalokasian anggaran. Hal ini bisa terjadi sebaliknya. pengalaman di
beberapa negara menunjukkan bahwa dengan otonomi daerah biaya
operasional pendidikan justru meningkat, hal ini disebabkan antara lain
karena bertambahnya struktur organisasi daerah sehingga memerlukan
personil yang lebih besar, terlebih lagi jika ditambah dengan kualitas
personil yang tidak profesional. Indonesia yang selama 32 tahun
menganut sistem pengelolaan yang sangat sentralistik akan mempunyai
problem efisiensi pengelolaan seperti tersebut di atas.
Keempat, pemerataan. Pelaksanaan otonomi

pendidikan

diharapkan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat yang diperkirakan
juga

akan

meningkatnya

pemerataan

memperoleh

kesempatan

pendidikan. tetapi ini akan dibayar mahal dengan semakin tingginya
jarak antar daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang
akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil
pendidikan. tanpa intervensi pengelolaan, anggota masyarakat dari
daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk sedikit akan
dapat menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dari anggota
masyarakat dari daerah yang miskin. Dan apabila kesempatan pendidikan
ini juga mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh penghasilan,
maka dalam jangka panjang akan berpotensi meningkatnya jurang
kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kelima, peran serta masyarakat. Bahwa salah satu tujuan UU
Pemerintah

Daerah

adalah

untuk

memberdayakan

masyarakat,

menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, dan seterusnya. Peran serta masyarakat dalam pendidikan
dapat berupa perorangan, kelompok atau lembaga industri. Dalam
kerangka otonomi daerah, kecenderungan peran serta tersebut menjadi
terbatas pada lingkup daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan
demikian pada masyarakat yang kaya, penyelenggaraan pendidikan di
daerah didukung selain dari peran serta orang tua juga oleh masyarakat
sehingga memperoleh sumber dana yang relatif baik, dan sebaliknya

32

untuk daerah yang miskin. sebab itu tanpa intervensi kebijakan nasional
yang dapat menerapkan subsidi silang, peran serta masyarakat dalam
sistem desentralisasi akan dapat menjurus memperlebar jurang
ketimpangan pemerataan fasilitas pendidikan, yang akhirnya juga akan
memperlebar jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.
Keenam, akuntabilitas. Bahwa melalui otonomi pengambilan
keputusan yang menyangkut pelaksanaan layanan jasa pendidikan akan
semakin mendekati masyarakat yang dilayaninya (klien) sehingga
akuntabilitas layanan tersebut bergeser dari yang lebih berorientasi
kepada kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas yang lebih
berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Ini menuntut lebih besar
partisipasi masyarakat dan orang tua dalam pengambilan keputusan
tentang pelaksanaan pendidikan di daerah.
Keenam permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan lebih
mendalam. Paling tidak, sebelum benar-benar otonomisasi itu dijalankan
dan sebelas bidang di atas diserahkan sepenuhnya pada daerah, maka
perlu dilakukan pengkondisian lebih dulu dengan memperhatikan sumber
dana dan sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Setelah
dianggap mampu menjalankan otonomi, maka kebijakan tersebut dapat
diberlakukan sepenuhnya.
Dengan kata lain kebijakan otonomi daerah dalam dunia
pendidikan masih dapat dikatakan belum berjalan secara efeksitf dan
efisien. Karena banyak sekali program-program pendidikan yang di
wewenangkan kepada daerah yang belum berjalan secara maksimal.
Masih perlu banyak perbaikan untuk mencapai keefektifan dan
keefisiensian program otonomi daerah ini.
Kecukupan
Kebijakan pendidikan merupakan upaya perbaikan dalam tataran
konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan
pendidikan serta menghilangkan prakti-praktik pendiidkan dimsa lalu
yang tidak sesuai atau kurang kurang baik sehingga segala aspek
pendiidkan dimasa mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan
diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Sejalan
dengan PP No. 38 tahun 2007 mengenai pembagian kewengan dalam

33

bidang pendidikan. Namun sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan,
ternyata pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana diharapkan, justru
pemberlakuan otonomi membuat banyak masalah yaitu mahalnya biaya
pendidikan. Sedangkan, pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya
terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan
dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat
diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat,
sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Oleh karena itu dalam dilihat dari segi kecukupan otonomi daerah
ini belum dapat dikatakan memnuhi indikator kecukupan karena masih
harus diperbaiki kembali dalam sistem pemerintahan di daerahnya.
Perataan
Pembagian kewenangan ataupun kekuasaan kepada Pemerintah
Daerah dengan tujuan agar kesejahteraan menjadi lebih diperhatikan dan
lebih merata. Akan tetapi, pemerataan pendidikan belum menjangkau
daerah-daerah terpencil, pembagian serta pemanfaatan sumber daya
nasional pun masih belum dirasakan oleh daerah-daerah terpencil.
Dengan adanya otonomi daerah, daerah-daerah terpencil sudah
mulai

diperhatikan

meskipun

hanya

beberapa

persen

wilayah,

terutamanya wilayah indonesia bagian timur masih harus terus dibina
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sehingga dilihat dari indikator
perataan maka otonomi daerah ini belum sepenuhnya memenuhi kriteria
perataan.
Responsivitas
Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
otonomi pemerintahan daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan
pada manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi ruang
gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan
strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan
yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan berpengaruh
secara signifikan dengan pembangunan pendidikan. Setidaknya ada 4
dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan,
yaitu : 1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki
sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan

34

potensi sumber daya yang dimiliki; 2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat
dicapai

dengan

memanfaatkan

sumber-sumber

pajak

lokal

dan

mengurangi biaya operasional; 3) Efisiensi Administrasi, dengan
memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan
prosedur yang bertingkat-tingkat; 4) Perluasan dan pemerataan,
membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok
sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.
Dari uraian tersebut untuk indikator responsivitas masih dikatakan
belum terpenuhi, meskipun akan memberikan dampak positif yang saat
ini memang sudah mulai terasa, tetapi karena pemahaman mengenai
konsepsi otonomi daerah kurang dipahami oleh masyarakat, sehingga
masyarakat kurang berkontribusi terhadap pelaksanaan kebijakan
pendidikan dalam otonomi daerah.
Ketepatan
Dalam pelaksanaannya otonomi daerah dalam bidang pendidikan
masih belum tepat sasaran, karena belum jelasnya kebijakan pelaksanaan
perwujudan konsep otonomi yang proporsional dalam pengaturan
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta peran
masyarakat. Karena seringkali, otonomi daerah ini dipengaruhi oleh
faktor politis, sebab dalam pembuatan peraturan keterlibatan DPR
Provinsi cukup dominan, sehingga pemerintah daerah pun dalam
mengambil kebijakan seringkali dipengaruhi berbagai faktor.
Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum,
efisiensi

administrasi,

pendapatan

dan

biaya

pendidikan

serta

pemerataannya. Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi
pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang
peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2) Pengelolaan sektor
publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk
dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas
yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4)
Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas
pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di
daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi
35

pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi
prioritas utama. (6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan
yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan
sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan
terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat
aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan
memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing
daerah.

G. KESIMPULAN
Meskip