Kebijakan Pembangunan Infrastruktur pedesaan Dala

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pembangunan infrastruktur memegang peranan strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan infrastruktur yang baik, maka akan mendorong pelaku-pelaku ekonomi beraktivitas lebih ekonomis, sehingga mampu menciptakan long scale economic advantages secara simultan. Secara ekonomi makro, ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Sehingga perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi dan ekspor (Permana, 2009:1). Keterkaitan antara infrastruktrur dan pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari fungsi dari infrastruktur sebagai enabler kegiatan ekonomi. Infrastruktur mempunyai manfaat menggerakan berbagai sektor perkenonomian karena dianggap sebagai social overhead capital (Hirchman dalam Yanuar dalam Permana, 2009:11).

Kabupaten Kudus merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah bagian Utara dengan total seluas 42.516 Ha atau sekitar 1,31 % dari luas Provinsi Jawa Tengah. Adapun wilayah administratifnya berbatasan dengan Kabupatan Jepara dan Kabupaten Pati di sebelah utara, Kabupaten Pati di sebelah timur, Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan di sebelah selatan, dan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Demak di sebelah barat. Sektor Industri merupakan tiang penyangga utama dari perekonomian Kabupaten Kudus dengan kontribusi sebesar 81,06 persen terhadap PDRB Kabupaten Kudus. Berdasarkan data BPS tercatat perusahaan industri besar dan sedang di kabupaten Kudus tahun 2014 tercatat sebanyak 177 perusahaan dengan nilai produksi pada tahun 2016 adalah sebesar 143,09 trilyun dan menyerap 98.203 orang tenaga kerja.

Kabupaten Kudus begitu dikenal dengan industri kreteknya, perusahaan industri tembakau masih mendominasi dengan 34,46 persen dari jumlah usaha industri besar dan sedang, diikuti industri pakaian jadi sebesar 19,77 persen, Industri makanan dan minuman 2,22 persen. Selain industri kretek, pakaian jadi, makanan dan minuman, perekonomian di Kabupaten Kudus juga ditopang oleh industri kulit, kayu, kertas, percetakan, kimia, jamu, dan peralatan elektronik rumah tangga (tv, radio, kulkas, mesin cuci). Data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Koperasi pada tahun 2016 menyatakan ada 12.881 unit perusahaan industri/unit usaha di kabupaten Kudus. Angka tersebut mencakup seluruh perusahaan (unit usaha) industri baik yang besar/sedang ataupun industri kecil/rumah tangga.

Gambar 1 Aktivitas Buruh Pabrik Rokok

Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas dalam Permana, 2009:12).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam kajian ini adalah :

1. Bagaimana kebijakan pengembangan wilayah Kabupaten Kudus?

2. Bagaimana kebijakan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Kudus?

1.3 TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan kajian singkat ini adalah :

1. Mengetahui kebijakan pengembangan wilayah Kabupaten Kudus.

2. Mengetahui kebijakan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Kudus.

3. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sistem Wilayah Lingkungan dan Hukum Pertanahan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor- faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah.

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)

prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/ pembangunan/development.

adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah administratif atau kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraaan (people property) melalui pemanfaatan peluang- peluang dan pemanfaatan sumber daya secara optimal, efisien, sinergi dan berkelanjutan (Sembiring, 2012).

Pengembangan Wilayah

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002), Prinsip- prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah :

1. Sebagai growth center dimana pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau 1. Sebagai growth center dimana pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

Jadi pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan pihak terkait (stakeholders) di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya dengan teknologi untuk memberi nilai tambah (added value) atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif/wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan peralatan pendukung (instrument) yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan sumberdaya. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia, masih muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah sumberdaya yang ketersediaannya cukup melimpah.

Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktivitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial/keruangan lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut. Pada aspek inilah Sistem Informasi Geografi (SIG) mempunyai peran yang cukup strategis, dikarenakan SIG mampu menyajikan aspek keruangan/spasial dari fenomena/fakta yang dikaji (Susilo, K., 2000).

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan wilayah yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada penataan ruang. Dalam kaitan itu terdapat 3 (tiga) kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu: konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional, dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses/mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia sampai dengan tahun 2000 telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).

Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota/ wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relative terhadap kota/wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia. Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini munculah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain ‘people center approach’ yang menekankan pada pembangunan sumber daya manusia, ‘natural resourcesbased development’ yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta ‘technology based development’ yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.

Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem ‘outsourcing’, kemajuan teknologi yang

telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan sebelumnya. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri (otonomi). Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan ‘bubble economics’, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis.

Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan 3 (tiga) pilar, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah, yang akan berbeda antar wilayah, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat jaringan keruangan (spatial network) dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah di dalam mengelola jaringan keruangan tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh pemerintah pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah yang kurang berkembang.

Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia diatur dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Ruang lingkup perencanaan menurut Undang-Undang tersebut

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

2. Rencana Pembanguna Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

3. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga

4. Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

5. Rencana Kerja Kementerian/Lembaga Mengacu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-

2025 dan Visi-Misi Presiden serta Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita), tujuan

kesenjangan pembangunan wilayah antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) melalui percepatan dan pemerataan pembangunan wilayah dengan menekankan keunggulan kompetitif perekonomian daerah berbasis SDA yang tersedia, SDM berkualitas, penyediaan infrastruktur, serta meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologi secara terus menerus

dilaksanakan secara berkesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan dokumen perencanaan pembangunan secara nasional, yaitu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Dokumen perencanaan pembangunan daerah meliputi RPJPD untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk jangka waktu satu tahun. Rencana pembangunan daerah ini menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Rencana pembangunan daerah disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,

Perencanaan

pembangunan

harus

penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan sehingga penyusunannya harus dilaksanakan secara terpadu, terukur dan berkelanjutan.

2.2 KONSEP PENATAAN RUANG DI INDONESIA

Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :

1. proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions ” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan

agar

interaksi

manusia/makhluk

hidup dengan

lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan

(development sustainability).

2. proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

3. proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (UU No. 26 Tahun 2007).

Menurut Yuwono (2008), penggunaan lahan sangat menentukan wujud keruangannya serta cara-cara manusia beraktifitas. Penyebab penyimpangan penggunaan lahan secara garis besar ada dua, yaitu ruang sebagai objek dan manusia sebagai pelaku. Pengambilalihan lahan dari masyarakat yang memiliki penghasilan rendah oleh masyarakat yang memiliki penghasilan menengah atau tinggi menununjukkan pembentukkan ruang berdasarkan nilai ekonomi jika ditinjau dari aspek ruang. Semakin tinggi nilai ruang, semakin meningkatkan daya tarik masyarakat yang mampu untuk menguasainya. Budiharjo (1999), mengemukakan bahwa manusia memegang peranan penting dalam mengatur pemanfaatan ruang. Penyimpangan terjadi akibat ledakan penduduk yang tidak terkendali. Oleh sebab itu perencanaan tata ruang merupakan metode yang digunakan oleh sektor publik untuk mengatur penyebaran penduduk dan aktivitas dalam ruang yang skalanya bervariasi. Perencanaan tata ruang terdiri dari semua tingkat penatagunaan tanah, termasuk perencanaan kota, perencanaan regional, perencanaan lingkungan, rencana tata ruang nasional, sampai tingkat internasional.

Menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007, ruang didefinisikan sebagai ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidup. Penataan ruang berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan. Penataan ruang diatur berdasarkan fungsi utama kawasan dan terdiri atas kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan sebagainya, serta kawasan budidaya seperti industri, permukiman, pertanian. Penataan ruang meliputi ruang wilayah nasional, wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kota yang dalam penyusunannya melalui hirarki dari tingkat yang paling atas ke tingkat yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu.

Menurut Rustiadi dkk (2009), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Penataan ruang jika dipahami sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yaitu: optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi), alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan), keberlanjutan prinsip (sustainability). Lebih lanjut Darwanto (2000), mengemukakan bahwa penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya sehingga tercipta pengaturan pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan yang sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Konsep penataan ruang dapat menjadi aktifitas yang mengarah pada kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti, melainkan penataan ruang harus merupakan aktivitas yang terusmenerus dilakukan untuk mengarahkan masyarakat suatu wilayah dalam mencapai tujuan-tujuan pokoknya (Darwanto, 2000).

Penetapan tata ruang dipandang seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land suitability dan land capability) dan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kepentingan publik/masyarakat luas di dalam pelaksanaannya (Rustiadi dkk, 2009). Sasaran utama dari perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan lahan terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum, yaitu : efisiensi, keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainability).

Sesuai dengan UU 26/2007 tentang penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci. RTRWN disusun dengan memperhatikan wilayah Nasional sebagai satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan kedalam strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya. Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25 - 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro- operasional jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah 1 : 5,000.

Selain penyiapan rencana untuk wilayah administratif, maka disusun pula rencana pengembangan (spatial development plan) untuk kawasan-kawasan fungsional yang memiliki nilai strategis. Misalnya, untuk kawasan dengan nilai strategis ekonomi, maka disusun rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dan kawasan andalan. Sementara itu untuk kawasan dengan nilai strategis pertahanan keamanan (security), disusun rencana pengembangan kawasan perbatasan negara, baik di darat maupun di laut. Selain itu juga disusun rencana pengembangan kawasan agropolitan (sentra-sentra produksi pertanian), dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah ditetapkan fungsi kota-kota secara nasional berdasarkan kriteria tertentu (administratif, ekonomi, dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya) yakni sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL)

2.3 INFRASTRUKTUR

Infrastruktur merupakan prasarana publik primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Pembangunan infrastruktur merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah. Keberadaan infrastruktur sangat penting bagi pembangunan, sehingga pada fase awal pembangunan disuatu negara hal tersebut akan dipikul sepenuhnya oleh Pemerintah yang dibiayai dari APBN murni. Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan infrastruktur. Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari pemerintah tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Pendekatan baru untuk dapat mengurangi masalah ini melibatkan peran-peran stakeholder.

Pembangunan infrastruktur merupakan suatu strategi dalam penyediaan sarana yang utama untuk itu seperti diungkapkan dalam Infrastruktur Indonesia (Kadin Indonesia-Jetro, 2006) yaitu Prinsip Dasar Penyediaan Infrastruktur secara keseluruhan antara lain:

1. Infrastruktur merupakan katalis bagi pembangunan. Ketersediaan infrastruktur dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi dan pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hampir dalam semua aktivitas masyarakat dan pemerintah, keberadaan infrastruktur merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan sudah menjadi kebutuhan dasar.

2. Keterkaitan infrastruktur dengan berbagai aspek, agar peran infrastruktur dalam pembangunan menjadi optimal, maka keberadaan pembangunan infrastruktur harus terkait dengan: (a) Bangkitan- bangkitan pembangunan yang lainnya; (b) Pembangunan pertanian, 2. Keterkaitan infrastruktur dengan berbagai aspek, agar peran infrastruktur dalam pembangunan menjadi optimal, maka keberadaan pembangunan infrastruktur harus terkait dengan: (a) Bangkitan- bangkitan pembangunan yang lainnya; (b) Pembangunan pertanian,

3. Perencanaan kebutuhan infrastruktur harus dilakukan melalui kombinasi antara perencanaan yang digagas pemerintah pusat dengan yang digagas pemerintah daerah. Seiring dengan diimplementasikannya desentralisasi fiskal dan diberikannya kewenangan yang lebih luas bagi daerah, setiap daerah diharapkan mampu lebih mengembangkan potensi daerahnya. Oleh karena itu pembangunan yang dilakukan di daerah harus didasarkan pada kebutuhan daerah masing-masing. Dalam hal ini, pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan daerah diharapkan mampu meningkatkan perekonomian daerah tersebut dan daerah sekitarnya. Untuk itu perlu kerangka pembangunan yang digagas pemerintah daerah, disamping kerangka model yang digagas pemerintah pusat yang selama ini digunakan. Yang dimaksud dengan adanya perencanaan yang digagas pemerintah daerah adalah terdapat rencana indikasi kebutuhan infrastruktur secara lokal dan regional, sehingga perencanaan tersebut ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan kebutuhan daerah. Sedangkan rencana pembangunan infrastruktur yang bersifat digagas pemerintah pusat dan dikoordinasikan oleh kantor Menko Perekonomian.

4. Keberhasilan kerjasama Pemerintah dan Swasta memerlukan kondisi yang harus dipenuhi, yaitu: (a) Stabilitas kerangka ekonomi makro; (b) Sektor keuangan yang efisien dan berkembang; (c) Kerangka kebijakan yang mantap; (d) Penerimaan proyek yang berkelanjutan; (e) Adanya mekanisme arbitrase atau penyelesaian penyelisihan yang jelas; (f) Undang-Undang perbankkan yang berkembang dengan baik dan (g)

Adanya

pinjaman pemerintah/ekuitas/subsidi (Kewajiban Sektor publik).

5. Penyediaan infrastruktur harus memperhatikan aspek keberlanjutan. Pembangunan infrastruktur harus memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga dalam jangka panjang keberadaan infrastruktur tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.

6. Mekanisme penyediaan infrastruktur harus mendasarkan pada prinsip- Prinsip akuntabilitas, transparansi, serta memperhatikan aspek efisiensi dan keadilan. (Afandi, 2008)

Jadi dapat disimpulkan bahwa Infrastruktur sebagai sistem yang dikaitkan dengan unsur yang berada di dalam suatu sistem ruang dan kegiatan, memiliki peran penting terhadap perubahan kemakmuran wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Peran infrastruktur terhadap perkembangan wilayah dan kota memiliki kontribusi yang sangat signifikan, baik pada aspek perekonomian, sosial-kemasyarakatan, maupun kelestarian lingkungan.

BAB 3 GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUDUS

3.1 ASPEK GEOGRAFI Kabupaten Kudus merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa

Tengah bagian Utara dengan total seluas 42.516 Ha atau sekitar 1,31 % dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Kudus terletak diantara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Jepara. Secara geografis Kabupaten Kudus

terletak antara 06 0 0 48’37’’ - 06 0 51’55’’ Lintang Selatan dan 110 47’42’’ - 110 0 53’05’’ Bujur Timur. Posisi Kabupaten Kudus juga terletak pada jalur

perekonomian nasional yaitu dilewati jalan nasional pantura sehingga sangat strategis. Kondisi wilayah Kabupaten Kudus merupakan daerah yang berdekatan dengan pesisir Kabupaten Demak, Jepara dan Kabupaten Pati serta sebagian di bagian Utara merupakan pegunungan Muria dan Pati Ayam.

Tabel 1 Jarak Antara Kota Kudus dengan Beberapa Kota di Jawa (Km)

Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Kudus

Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 Kecamatan yang terdiri dari 123 desa dan 9 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu 8.584 hektar (20,19 persen), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas 1.047 hektar (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus. Luas wilayah Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 Kecamatan yang terdiri dari 123 desa dan 9 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu 8.584 hektar (20,19 persen), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas 1.047 hektar (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus. Luas wilayah

Tabel 2 Pembagian dan Luas Wilayah Administrasi Kabupaten Kudus Tahun 2016

Kabupaten Kudus secara umum dipengaruhi oleh zona iklim tropis basah. Bulan basah jatuh antara bulan Oktober – Mei dan bulan kering terjadi antara Juni – September, sedang bulan paling kering jatuh sekitar bulan Agustus. Curah hujan yang jatuh di Kabupaten Kudus berkisar antara 2.000 – 3.000 mm/tahun, curah hujan tertinggi terjadi di daerah puncak Gunung Muria, yaitu antara 3.500 – 5.000 mm/tahun. Temperatur tertinggi berkisar

pada 30,5 0 0 C dan terendah berkisar pada 19,6 C dengan temperatur rata-rata

28 0 C. Angin yang bertiup adalah angin barat dan angin timur yang bersifat basah dengan kelembaban sekitar 74%. Kelembaban rata-rata bulanan 28 0 C. Angin yang bertiup adalah angin barat dan angin timur yang bersifat basah dengan kelembaban sekitar 74%. Kelembaban rata-rata bulanan

Tabel 3 Banyaknya Hari Hujan Dirinci Per Bulan di Kabupaten Kudus Tahun 2012 – 2016

(Hari)

Berdasarkan tabel di atas, jumlah hari paling banyak di Kabupaten Kudus terjadi pada bulan Januari, Februari dan Desember 2016 yaitu dimana pada Bulan Januari dan Desember dengan jumlah hari hujan sebanyak 19 hari dan pada Bulan Februari sebanyak 21 hari hujan. Jumlah total hari hujan yang ada di Kabupaten Kudus pada tahun 2016 sebanyak 153 hari, dimana hal itu merupakan jumlah hari hujan tertinggi per setahun dalam 5 tahun terakhir. Jumlah curah hujan paling banyak adalah pada bulan Desember sebesar 456 mm, selain itu juga pada bulan Maret dengan curah hujan sebesar 434 mm. Untuk curah hujan paling sedikit ada di Bulan Juli dengan curah hujan 8 mm. Secara tahunan, curah hujan pada tahun 2016 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2015 sebesar 1.966 mm dan mengalami kenaikan tahun 2016 curah hujan menjadi sebesar 2.742 mm.

Tabel 4 Banyaknya Hari Hujan Dirinci Per Bulan di Kabupaten Kudus Tahun 2012 – 2016

(mm)

3.2 ASPEK DEMOGRAFI

Data kependudukan merupakan data pokok yang dibutuhkan baik kalangan pemerintah maupun swasta sebagai bahan untuk perencanaan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan. Hampir setiap aspek perencanaan pembangunan baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik memerlukan data penduduk karena penduduk merupakan subjek sekaligus objek dari pembangunan. Jumlah penduduk Kabupaten Kudus pada tahun 2016 tercatat sebesar 841.499 jiwa, terdiri dari 414.315 jiwa laki-laki (49,24 persen) dan 427.184 jiwa perempuan (50,76 persen). Apabila dilihat penyebarannya, maka kecamatan yang paling tinggi persentase jumlah penduduknya adalah Kecamatan Jati yakni sebesar 12,85 persen dari jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Kudus, kemudian berturut-turut Kecamatan Jekulo 12,76 persen dan Kecamatan Dawe 12,72 persen. Sedangkan kecamatan yang terkecil jumlah penduduknya adalah Kecamatan Bae sebesar 8,63 persen. Bila dilihat dari perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuannya, maka diperoleh rasio jenis kelamin pada tahun 2016 sebesar 96,99 yang berarti bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 97 penduduk laki-laki. Dengan perkataan lain bahwa penduduk perempuan lebih banyak

bahwa angka rasio jenis kelamin di bawah 100, yaitu berkisar antara 94,24 dan 98,30. Kepadatan penduduk dalam kurun waktu lima tahun (2012 – 2016) cenderung mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk. Pada tahun 2016 tercatat sebesar 1.979 jiwa setiap satu kilo meter persegi. Di sisi lain persebaran penduduk masih belum merata. Kecamatan Kota merupakan kecamatan yang terpadat yaitu 9.392 jiwa per km2. Undaan paling rendah kepadatan penduduknya yaitu 1.040 jiwa per km2. Jumlah rumah tangga tahun 2016 ada sebanyak 209.739 rumah tangga, dan diperoleh rata- rata jumlah anggota rumah tangga sebesar 4,01. Angka ini sama bila dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya. Jumlah kelahiran selama tahun 2016 sebanyak 10.140 bayi, terdiri dari 5.345 bayi laki-laki dan 4.795 bayi perempuan. Pada tahun 2016 diperoleh angka kelahiran kasar (CBR) sebesar 12,04 yang artinya dari 1000 orang penduduk terdapat kelahiran sebanyak 12 orang/bayi. Sedangkan jumlah kematian selama tahun 2016 sebanyak 6.068 jiwa terdiri dari 3.079 laki-laki dan 2.992 perempuan. Dengan angka kematian kasar (CDR) nya sebesar 7,21.

Tabel 5 Banyaknya Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Kudus Tahun 1995 –

2016

Tabel 6 Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten

Kudus Tahun 2016

Tabel 7 Banyaknya Rumah Tangga Menurut Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun 2012-

Tenaga kerja yang terampil, merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kudus terdapat sebanyak 142.432 orang pekerja yang tersebar di 1.356 perusahaan, dimana sebagian besar adalah pekerja perempuan sebesar 69,76 persen. Dari data juga terlihat bahwa pencari kerja lebih banyak bila dibandingkan dengan lapangan usaha yang tersedia. Banyaknya pencari kerja pada tahun 2015 sebanyak 5.857 orang sesuai dengan permintaan/kebutuhan tenaga kerja yaitu sebesar 5.857 orang.

Tabel 8 Banyaknya Pekerja pada Perusahaan Menurut Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun

2016

3.3 ASPEK SOSIAL

Penduduk yang bersekolah secara umum mengalami fluktuasi selama periode tahun ajaran 2012/2013 – 2016/2017, hal ini dapat dilihat dari banyaknya murid di beberapa jenjang pendidikan yang mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tingkat pendidikan dasar yaitu SD (Negeri dan Swasta) di tahun ajaran 2016/2017 jumlah murid yang bersekolah mengalami penurunan sebesar 2,03 persen dibandingkan dengan tahun ajaran sebelumnya. Untuk pendidikan SLTP (Negeri dan Swasta) mengalami kenaikan jumlah murid sebesar 0,59 persen Sedangkan untuk SLTA (Negeri dan Swasta) juga mengalami kenaikan sebesar 7,96 persen. Peningkatan jumlah penduduk yang bersekolah, tentunya harus di imbangi dengan penyediaan sarana fisik dan tenaga guru yang memadai. Pada tahun ajaran 2016/2017, tersedia jumlah SD sebanyak 444 unit dan MI sebanyak 140 unit, SLTP dan MTs masing- masing sebanyak 50 dan 65 unit, SLTA dan MA masingmasing ada sebanyak

47 dan 36 unit. Jumlah Universitas/Perguruan Tinggi pada tahun akademik 2016/2017 tercatat ada 8 universitas, yaitu Universitas Muria Kudus (UMK), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Cendekia Utama Kudus, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhamadiyah, Akbid Mardi Rahayu, Akbid Pemda, Akper Krida Husada dan Akademi kebidanan Muslimat NU Kudus. Pada tahun akademik 2015/2016, secara keseluruhan jumlah mahasiswa tercatat 19.950 orang, dan di dukung oleh 466 dosen, dan pada tahun yang sama telah berhasil meluluskan sebanyak 3.449 mahasiswa.

Tabel 9 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Taman Kanak-Kanak Menurut Kecamatan dan

Status Sekolah di Kabupaten Kudus Tahun 2016

Tabel 10 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar (SD) Menurut Kecamatan dan Status Sekolah di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2016/2017

Tabel 11 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Setingkat SD Non Depdiknas (MI) Menurut Kecamatan dan Status Sekolah di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2016/2017

Tabel 12 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru SLTP Negeri Tahun Pelajaran 2016/2017 dan Yang Lulus Ujian Nasional (UN) di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2015/2016

Tabel 13 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru SLTP Swasta Tahun Pelajaran 2016/2017 dan Yang Lulus Ujian Nasional (UN) di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2015/2016

Tabel 14 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Setingkat SLTP Non Depdiknas (MTs) Menurut Kecamatan dan Status Sekolah di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2016/2017

Tabel 15 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru SLTA (Negeri dan Swasta) Tahun Pelajaran 2016/2017 dan Yang Lulus Ujian Nasional (UN) di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran

2015/2016

Tabel 16 Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Setingkat SLTA Non Depdiknas (MA) Menurut Kecamatan dan Status Sekolah di Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2015/2016

Tabel 17 Banyaknya Mahasiswa, Dosen Tahun Akademik 2016/2017 dan Lulusan Perguruan Tinggi di Kabupaten Kudus Tahun Akademik 2015/2016

Peningkatan sarana kesehatan sangat di perlukan sebagai upaya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain pemerintah, peran swasta dalam menunjang sarana kesehatan juga cukup tinggi. Pada tahun 2016 untuk jumlah Rumah Sakit Umum Pemerintah ada sebanyak 2 buah, sementara Rumah Sakit Umum Swasta ada sebanyak 5 buah. Sarana kesehatan yang lain adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), yang merupakan sarana kesehatan yang terjangkau dan dapat menunjang kesehatan masyarakat hingga pedesaan. Pada tahun 2016 jumlahnya mencapai 19 buah, selain itu masih terdapat beberapa sarana kesehatan lainnya, seperti Puskesmas Pembantu, Puskesmas Perawatan, Puskesmas Keliling dan Balai Pengobatan yang tersebar di seluruh kecamatan. Pada tahun 2016, terdapat 113 apotik dan 9 toko obat. Semua kecamatan memiliki apotik/ toko obat dan sebagian besar berada di Kecamatan Kota Kudus. Jenis penderita penyakit tertentu menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus tahun 2016 banyak menyerang penduduk adalah penyakit Diare sebanyak 17.858 orang dan Demam Berdarah sebanyak 734 orang. Kegiatan lain yang dilaksanakan instansi tersebut adalah penimbangan balita yang merupakan salah satu indikator kesehatan anak, pada tahun 2016 tercatat sebesar 94,44 persen dari balita yang ditimbang berstatus gizi baik, kemudian 3,20 persen gizi kurang, dan 0,83 persen berstatus gizi buruk.

Tabel 18 Banyaknya Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Swasta serta Tempat Tidur Menurut

Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun 2016

Tabel 19 Banyaknya Rumah Sakit Khusus (RSB dan RSIA) dan Tempat Tidur Menurut

Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun 2016

Tabel 20 Banyaknya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas dan Balai Pengobatan) Menurut

Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun 2016

Tabel 21 Banyaknya Apotik dan Toko Obat Menurut Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun

2016

Suasana kerukunan hidup beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat didambakan masyarakat. Beragam tempat peribadatan, merupakan salah satu bukti kerukunan agama di antara umat. Tempat peribadatan yang tersedia di Kabupaten Kudus pada tahun 2016 adalah 664 Masjid, 2.026 Mushola/Langgar, Gereja Kristen 24 buah, Gereja Katholik 4 buah, Vihara Budha 8 buah dan Klenteng 4 buah. Dari data terlihat Agama Islam dianut sebagian besar penduduk Kabupaten Kudus sebesar 97,84 persen, dan diikuti agama Kristen Protestan sebesar 1,44 persen.

Tabel 22 Banyaknya Tempat Peribadatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun

2016

3.4 ASPEK PERTANIAN

Padi sebagai tanaman bahan makanan pokok, memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Tak heran jika di Kabupaten Kudus padi juga merupakan tanaman yang banyak ditanam sebagian masyarakat Kudus. Pada tahun 2016, produksi padi (sawah & gogo) sebesar 171.278 ton, mengalami kenaikan sebesar 0,58 persen disbanding tahun sebelumnya. Luas tanam padi sawah dan kering mengalami penurunan sebesar 1,74 persen, dan untuk luas panennya juga mengalami penurunan sebesar 2,74 persen bila dibandingkan dengan tahun 2016. Untuk padi sawah luas panen terluas adalah kecamatan Undaan yaitu 11.177 hektar, merupakan kecamatan penyandang pangan dengan produksi sebesar 83.183 ton atau 48,57 persen dari total produksi padi sawah di Kabupaten Kudus. Secara umum produksi palawija pada tahun 2016 ini mengalami kenaikan dan penurunan dibanding tahun sebelumnya. Beberapa jenis tanaman palawija yang mengalami kenaikan produksi adalah komoditas jagung yaitu sebesar 49,64 persen. Sedangkan tanaman palawija yang lain mengalami penurunan produksi. Di tahun 2016 luas tanaman sayur-sayuran terluas untuk tanaman cabe yaitu seluas 1.084 hektar, diikuti tanaman kacang panjang dan bawang merah dengan luas masing-masing sebesar 144 hektar dan 39 hektar. Produksi sayuran cabe dan kacang panjang mengalami kenaikan realtif tinggi dibandingkan tanaman lainnya, sedangkan yang mengalami penurunan produksi adalah tanaman bawang merah dan labu siam.

Tabel 23 Luas Tanam Tanaman Pangan di Lahan Pertanian (Sawah + Bukan Sawah) Menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Kudus Tahun 2012-2016 (Ha)

Jenis tanaman perkebunan rakyat yang mempunyai luas tanam cukup luas, antara lain tebu, kapuk, kelapa dan kopi. Produksi perkebunan rakyat yang cukup besar antara lain tebu, kapuk, kelapa dan kopi. Untuk tahun 2016 ini produksi perkebunan sebagian besar mengalami penrunan namun ada juga mengalami peningkatan seperti cengkeh, dan kopi.

Tabel 24 Luas Tanam Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman di Kabupaten

Kudus Tahun 2012-2016 (Ha)

Sub sektor peternakan terbagi menjadi ternak besar, yaitu sapi (perah/potong), kerbau dan kuda, ternak kecil yang terdiri dari kambing, domba dan babi serta ternak unggas (ayam, itik dan burung puyuh). Pada tahun 2016 ini populasi ternak besar sapi mengalami penurunan sebesar 4,94 persen sedangka kerbau mengalami peningkatan. Untuk ternak kecil ternak kambing mengalami penurnan terbesar yaitu sebesar 18,52 persen, sedangkan domba mengalami peningkatan sebesar 6,84. Untuk ternak unggas seperti ayam kampung dan ayam ras mengalami kenaikan populasi bila dibandingkan dengan tahun lalu.

Tabel 25 Populasi Ternak Menurut Jenis dan Kecamatan di Kabupaten Kudus Tahun 2016

(Ekor)

Sub sektor perikanan meliputi kegiatan usaha perikanan darat dan perikanan laut, di Kabupaten Kudus hanya ada budi daya perikanan darat. Pada tahun 2016 produksi ikan budi daya/kolam tercatat 20.951 kuintal, naik sebesar78,21 persen disbanding tahun sebelumnya. Komoditas terbesar produksinya adalah ikan lele dumbo sebanyak 11.707,80 kuintal atau 66,1 persen dari total produksi. Diikuti oleh ikan nila dengan produksinya sebesar 2,27 kuintal. Untuk produksi ikan di perairan umum di Kabupaten Kudus tercatat 5.822 kuintal pada tahun 2016, meningkat sebesar 24,65 persen dibanding tahun 2015. Dimana komoditas terbesarnya adalah ikan rucah dan gabus.

Tabel 26 Produksi Perikanan Menurut Tempat Produksi dan Kecamatan di Kabupaten Kudus

Tahun 2016 (Ku)

Untuk luas hutan yang ada di Kabupaten Kudus, baik hutan produksi, hutan lindung maupun hutan lainnya luasnya tidak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari total luas hutan BKPH yaitu 3.531,2 Ha, sebagian besar (45,04 persen) diperuntukkan untuk hutan produksi, dan sisanya untuk hutan lindung.

Tabel 27 Luas Hutan BKPH menurut Jenis Peruntukannya di Kabupaten Kudus Tahun 2012-

2016 (Ha)

3.5 ASPEK INDUSTRI