Politik Hukum Pajak di Indonesia

Politik Hukum Pajak di Indonesia
Manotar Tampubolon, S.H., M.A
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum,
Universitas Kristen Indonesia/UKI-Jakarta, 2008

Pengantar
Baik buruknya hukum tidak lepas dari kemauan politik (political will) pemerintah sebab
hukum adalah merupakan produk politik pemerintah yang berkuasa, walaupun kenyataannya
tidak seluruhnya hukum sebagai produk politik namun sebagian merupakan produk sosial,
budaya, ekonomi dan hukum.
Pramudya mengatakan bahwa “hukum itu kepentingan dan tidak pernah netral”. Kepentingan
memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, terlepas
apakah kebijakan tersebut pro terhadap rakyat atau sebaliknya. Pemerintah yang otoriter akan
menciptakan hukum dan kebijakan-kebijakan yang menindas hak-hak warganya, sementara
pemerintah yang demokratis hukumnya responsive dan memberikan kesejahteraan bagi
rakyat serta menjamin tegaknya hukum.
Untuk konteks Indonesia, politik hukum pajak dapat dikatakan sama sejak kemerdekaan,
terkesan dipaksakan (tergantung selera penguasa), desain kebijakan pajak didominasi
kekuasaan politik tanpa partisipasi publik serta sangat minim dalam redistribusinya kepada
masyarakat.
Tulisan ini akan membahas desain administrasi dan praktek perpajakan (tax administration

and practice) serta pembentukan regulasi pajak (tax law making process) apakah sudah
demokratis atau otoriter.

Kata-kata Kunci: Pajak, Politik Perpajakan dan Demokratisasi Perpajakan.

Politik Hukum Pajak di Indonesia
Menurut Suandy (2008) Politik perpajakan sejak zaman kemerdekaan, orde baru hingga era
reformasi merupakan politik hukum pajak di Indonesia[1]. Selera Politik penguasa pada
zaman orde baru hingga zaman reformasi masih seputar kebijakan untuk mengejar target
pemasukan pajak yang sebesar-besarnya ke kas Negara tanpa diikuti pembaharuan dalam
birokrasi atau pemungut pajak (fiskus) itu sendiri. Harus diakui bahwa pemungutan pajak
tidak luput dari sistim perpajakan yang dipaksakan[2] dan dengan menggunakan
kekerasan[3], tidak menyentuh pembaharuan dibidang petugas pajak yang berprilaku
koruptif, sehingga apa yang direformasi hanya menyentuh administrasi terhadap wajib pajak
semata yang notabene banyak merugikan hak-hak serta kebebasan individu wajib pajak.

Konsekwensi reformasi dalam administrasi perpajakan yang hanya ditekankan kepada wajib
pajak tanpa reformasi disisi fiskus akan menimbulkan penghindaran (Tax Avoidance) serta
penggelapan pajak (Tax Evasion)[4] oleh wajib pajak sebab wajib pajak tidak pernah
mengetahui untuk apa pajak dikumpulkan. Wajib pajak akan melakukan perlawanan[5] untuk

membayar pajak selama wajib pajak merasakan minimnya sarana dan prasarana yang
dibangun pemerintah serta penggunaan pajak yang tidak transparan untuk kepentingan
masyarakat serta masih menumpuknya hutang luar negeri. Dalam situasi demikian, wajib
pajak akan menghindari pajak (to avoid the tax) sebab timbul praduga bahwa pajak yang
dibayar akan dipergunakan untuk tujuan lain.
Politik perpajakan yang demikian tidak terlepas dari selera politik dari pemerintah pusat yang
hanya mengejar pemasukan pajak tanpa memperdulikan hak-hak individu serta kebebasan
wajib pajak. Politik hukum pajak demikian dapat dikatakan sama sejak zaman kemerdekaan
hingga reformasi, terkesan dipaksakan (tergantung selera penguasa pusat), serta sangat minim
dalam redistribusinya kepada masyarakat, sehingga sulit mengatakan bahwa kebijakan fiskal
di Indonesia sudah demokratis Cara-cara pemungutan pajak demikian bisa dikatakan sebagai
pencurian/perampokan[6] hak milik rakyat.

Demokratisasi Pajak di Indonesia
Demokratis tidaknya sistim perpajakan menurut Sorensen tidak terlepas dari beberapa criteria
yaitu: “adanya mekanisme yang mampu mengatasi konflik kepentingan antara wajib pajak
dengan fiskus, tersedianya wadah bagi wajib pajak untuk berpartisipasi dalam pembuatan
kebijakan fiskal, kesetaraan hukum antara wajib pajak dengan fiskus serta tersedianya akses
pengawasan penggunaan pajak kepada wajib pajak”[7].
Partisipasi publik dalam setiap proses administrasi perpajakan, kebijakan fiskal termasuk

dalam proses pembentukan legislasinya adalah merupakan tolak ukur demokratis tidaknya
sebuah politik perpajakan. Selama penentuan kebijakan masih didominasi kekuasaan dan
tidak transparan (kebijakan yang opportunis), sudak bisa dipastikan kebijakan tersebut tidak
baik (otoriter). Tentu tidak cukup untuk menilai eksistensi partisipasi publik dalam
pembayaran pajak saja untuk menilai demokratisnya sebuah perpajakan. Di satu sisi,
meningkatnya partisipasi wajib pajak untuk membayar pajak akan memacu meningkatnya
budget yang dimiliki oleh kas Negara, namun disisi lain partisipasi demikian terkesan sebagai
pemaksaan (hal ini bias dilihat pada penagihan pajak dengan surat paksa vide UU RI No. 20
tahun 2000 dan UU RI No. 19 tahun 2000) adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak
azasi yang dimiliki oleh sebuah Negara demokrasi. Walaupun pajak adalah merupakan
kontrak yuridis antara wajib pajak dengan pemerintah namun selama kebijakan ditempuh
dengan kebijakan yang opportunis dan sifat regulasinya repressive maka wajib pajak akan
tetap menghindar dari kewajibannya untuk membayar pajak.
Ditinjau dari sisi demokratisasi serta konteks antara hak dan kewajiban tersebut bilamana
alokasi pajak tidak jelas atau minimnya akses yang diberikan oleh pemerintah untuk
mendapatkan informasi mengenai metode pemungutan termasuk pengawasan atas
penerimaan serta alokasi pajak, maka masyarakat selaku wajib pajak berhak untuk menolak
untuk membayar pajak sebab mengingat prinsip perpajakan bahwa tidak ada pajak tanpa

representasi kembali kepada masyarakat (No Tax without Representation) atau penerimaan

pajak tanpa alokasi kembali adalah pencurian (Tax without Representation is Robbery).
Cikal-bakal demokratisasi perpajakan di Indonesia adalah dengan ditetapkannya kebijakan
untuk menghitung sendiri pajak oleh wajib pajak (self assessment policy)[8] serta
withholding system[9]. Sistim ini dirancang untuk memberikan kepercayaan penuh kepada
wajib pajak untuk menghitung sendiri pajak, namun kebijakan tersebut tidak diikuti adanya
reformasi birokrasi yang koruptif dikalangan pemungut pajak.
Berbicara mengenai sistim perpajakan yang demokratis sebenarnya bukan menyangkut teknik
bagaimana rakyat mau untuk membayar pajak atau untuk memasukkan pajak yang sebesarbesarnya ke kas Negara, namun yang lebih penting adalah reformasi regulasi perpajakan yang
seimbang antara hak dan kewajiban rakyat dengan pemerintah dengan orientasi terhadap
kepentingan rakyat serta reformasi anggaran yang selama ini dicurigai pemanfaatannya.
Pencapaian pemungutan pajak yang memenuhi target melalui KPP DIRJEN Pajak dengan
sistim perpajakan yang repressive disatu sisi boleh dianggap sebagai prestasi bagi pemerintah
namun merupakan penghianatan terhadap hak-hak rakyat di sisi lain sebab seakan-akan
rakyat hanya wajib membayar pajak tanpa memperdulikan haknya. Pemerintah harus
menciptakan kesetaraan antara rakyat pembayar pajak dan pemerintah selaku penyedia sarana
dan prasarana untuk pelayanan publik sehingga tidak terjadi penolakan untuk membayar
pajak oleh rakyat selaku pembayar pajak di kemudian hari.
Partisipasi publik sangat diperlukan terutama kalangan akademisi (ahli hukum pajak),
Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang perpajakan serta pihak-pihak yang
memiliki kompetensi dalam kebijakan perpajakan termasuk “drafting” regulasi maupun

pengawasan atas penerimaan dan alokasi uang Negara (dana pajak).
Kemudian prinsip hukum secara umum bahwa pemungutan pajak secara adil dan sesuai
dengan kemampuan membayar (ability to pay)[10] harus diterapkan dan istilah “wajib pajak”
tidak lagi dipergunakan sebab ada asumsi bahwa rakyat yang tidak mampu secara ekonomis
pun adalah merupakan wajib pajak.
Minimnya kesetaraan antara hak dan kewajiban wajib pajak seperti hak asessibilitas
perpajakan, hak berpartsipasi dalam penentuan kebijakan perpajakan, hak untuk mendapatkan
informasi terkait dengan masalah perpajakan dengan dengan minimnya sarana dan prasarana
serta transparansi, akuntabilitas pemerintah selaku pemungut pajak, maka dapat disimpulkan
bahwa belum terciptanya sistim hukum perpajakan yang demokratis di Indonesia. Partisipasi
publik sangat dibutuhkan mulai dari pembuatan regulasi perpajakan, partisipasi dalam
pengawasan dana yang bersumber dari pajak serta pengawasan atas penerimaan dan alokasi
dana pajak.

Daftar Pustaka
1. Early Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2008
2. Ferdinandus Pieter, Bahan Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas
Kristen Indonesia, Jakarta, 2009.
3. Soemitro Rochmat, Azas dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1986.
4. UU No. 17 tahun 2000 LNRI No. 127 Tentang Pajak Penghasilan, Salemba

Empat, Jakarta, 2001
5. Undang-Undang Pajak Tahun 2001, Salemba Empat, Jakarta, 2001

[1] Lihat Early Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2008, hal. 101-104
[2] Lihat Edisi Lengkap Undang-Undang Pajak Tahun 2000, UU RI No. 16 tahun 2000 LNRI
No. 126 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan, bab IV pasal 20 dan UU RI No.
20 tahun 2000 LNRI N0. 130 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, pasal
15, kedua undang-undang tersebut menekankan upaya Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa,
PT. Salemba Empat, Jakarta 2001.
[3] Lihat Rochmat Soemitro, Azas dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1986.
[4] Tax Avoidance dan Tax Evasion adalah cara-cara yang dilakukan oleh Wajib pajak untuk
menghindari kewajiban membayar pajak akibat ketidakpercayaan wajib pajak terhadap
Negara/pemungut pajak sebab pajak yang dibayar dirasakan tidak setara dengan
pembangunan sarana dan prasarana yang dapat dinikmati oleh publik. Tax Avoidance dan Tax
Evasion adalah merupakan tindak pidana dalam perpajakan, namun hal ini dilakukan oleh

wajib pajak akibat tidak adanya transparansi pemerintah terhadap penerimaan pajak juga
tidak disediakannya akses bagi publik untuk ikut serta menentukan kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam perpajakan. Kesadaran untuk membayar pajak akan minim bila wajib pajak
tidak dilibatkan dalam setiap kebijakan yang menyangkut perpajakan. Bila arah dan tujuan

pemungutan pajak jelas, maka wajib pajak tidak akan melakukan praktik Tax Avoidance dan
Tax Evasion.
[5] Perlawanan untuk membayar pajak bias berupa perlawanan aktif dan perlawanan pasif.
Perlawanan aktif adalah usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk tidak membayar atau
mengurangi pembayaran jumlah pajak yang seharusnya dibayar, Lihat Suandy, opcit. Hal. 22.
[6] Pemungutan pajak harus sesuai dengan prinsip “no tax without representation” and
“taxation without representation is robbery”. Hal ini sesuai uga terkait dengan azas-azas
penggunaan pajak yang telah dipungut dari wajib pajak meliputi; accountability,
performance based and transparency.
[7] Lihat Pieter Ferdinandus, Bahan Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas
Kristen Indonesia, Jakarta, 2009.
[8] Lihat UU No. Kitab Undang-Undang Perpajakan pasal 12. Pasal ini adalah sebagai
landasan utama kebijakan self assessment
[9] Lihat pasal 20 UU No. 17 tahun 2000 LNRI No. 127 Tentang Pajak Penghasilan.
[10] Teori ini mengatakan bahwa pengenaan pajak harus sesuai dengan kemampuan
membayar atau daya pikul wajib pajak dengan memperhatikan besarnya penghasilan dan
kekayaan juga pengeluaran belanja wajib pajak, Suandy (2008), Hukum Pajak, hal. 28.
Metode pelaksanaannya harus dilakukan melalui mekanisme menghitung, memperhitungkan,
menyetor dan melaporkan pajak sehingga tercipta pemberdayaan wajib pajak dan menjadi
skala prioritas pemerintah dalam memberdayakan wajib pajak.