Peran Aktif Manusia Dalam Pengelolaan Su

Peran Aktif Manusia Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup Serta Konservasinya

Akil Irfan
120803104005
D3 Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Jember
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan
pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai
perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung
pengelolaan

lingkungan

lainnya.


Sistem

tersebut

mencakup

kemantapan

kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hokum
dan perundangan, tersedianya informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi)
dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa
pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan
tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan
pembangunan sektor dan daerah.
Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus
selaras,

serasi,


dan

seimbang

dengan

fungsi

lingkungan

hidup.

Sebagai

konsekuensinya,kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan.
1.2 Permasalahan
bagaimana peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup ?

bagai mana pembagian peranserta masyrakat menurut para pakar ?
bagai mana peranserta masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan ?
apakah kegunaan peran serta masyarakat ?
bagai manakah peran serta masyarakat dalam uupl di Indonesia ?
bagaimana masyarakat menyikapi pencemaran lingkungan ?
1.3 Tujuan umum
Penulisan makalah ini secara umum bertujuan untuk Mengetahui apa saja yang
menjadi peran serta masyarakat dalam menjaga dan mengelola lingkungan hidup

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peran Serta Masyarakat

Suatu proses yang melibatkan masyarakat umumnya dikenal sebagai peran serta
masyarakat, yaitu proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk
meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana
masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa. Begitu luasnya pengertian dan
pemahaman peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, sehingga menimbulkan
beraneka ragam penafsiran, yang sering kali penafsiran pihak yang kuatlah yang timbul dan
mereduksi peran serta yang bermakna (meaningfull participation). Dari sudut terminologi

peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua
kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan
keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan
(elite). Banyak yang memandang peran serta masyarakat sematamata sebagai penyampaian
informasi (public information), penyuluhan, bahkan sekedar alat public relation agar kegiatan
tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karenanya, peran serta masyarakat tidak saja
digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan
(participation is an end it self).
Dalam peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak
pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan beserta anggota
masyarakat lainnya yang mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu,
dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pembuat keputusan tersebut. Sedang dalam
konteks peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pembuat keputusan dan anggota
masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama
membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan. Selain
itu penyertaan masyarakat akan juga memberikan informasi yang berharga kepada para
pengambil keputusan, peran serta masyarakat juga akan mereduksi kemungkinan penolakan
masyarakat untuk menerima keputusan. Pemberian akses atas informasi tentang pengelolaan
lingkungan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek peran serta masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup.


Menurut Canter (1977), Cormick (1979), Goulet (1989) dan Wingert (1979) merinci peran
serta masyarakat sebagai berukut :
Peran Serta Msyarakat sebagai suatu Kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu
kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu
pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu
proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted).
Peran Serta Masyarakat sebagai Strategi
Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi
untuk mendapatkan dukungan masyarakt (ppublic support). Pendapat ini didasarkan kepada
suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan
dan

kepedulian

masyarakat

kepada


pada

tiap

tingkatan

pengambilan

keputusan

didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.
Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Komunikasi
Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan
berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu
pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan
preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan
keputusan yang responsif.
Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa
Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk
mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapatpendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan

pandangan

dapat

menigkatkan

pengertian

dan

toleransi

serta

mengurangi

rasa

ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasess).


Peran Sera Masyarakat sebagai Terapi
Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk
"mengobati" masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidak

berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan
komponen penting dalam masyarakat.
Penegakan Hukum
Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber
daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai
konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 ini
memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan
pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap
memperhatikan azas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap
tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang ini meliputi
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata
kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen

pencegahan

pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan

hidup

serta

penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi,

partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini juga, Pemerintah
memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
pengambil keputusan, peran serta masyarakat juga akan mereduksi kemungkinan penolakan
masyarakat untuk menerima keputusan. Pemberian akses atas informasi tentang pengelolaan
lingkungan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek peran serta masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Kegunaan Peran Serta Masyarakat
Tujuan dari peran serta masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk
menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang

berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan
lingkungan (Canter, 1977). Karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena
dampak kegiatan dan kelompok kepentingan (interest groups), para pengambil keputusan
dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok
tersebut dan menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu,
sebaliknya akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan
dan arah yang positif dari berbagai faktor.
proses peran serta masyarakat haruslah terbuka untuk umum, peran serta masyarakat

akan mempengaruhi kredibilitas (accountability) badan yang bersangkutan. Dengan cara
mendokumentasikan perbuatan keputusan badan negara ini, sehingga mampu menyediakan
sarana yang memuaskan jika masyarakat dan bahkan pengadilan merasa perlu melakukan
pemeriksaan atas pertimbangan yang telah diambil ketika membuat keputusan tersebut. Yang
pada akhirnya akan dapat memaksa adanya tanggung jawab dari badan negara tersebut atas
kegiatan yang dilakukannya.
Perlunya peran serta msyarakat telah pula diungkapkan oleh Prof.Koesnadi
Hardjasoemantri (1990) bahwa selain itu memberikan informasi yang berharga kepada para
pengambil keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, peran serta masyarakat akan membantu
perlindungan hukum. Bila suatu keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatankeberatan yang diajukan, maka akan memperkecil kemungkinan pengajuan perkara ke
pengadilan. Karena masih ada alternatif pemecahan yang dapat diambil sebelum sampai pada
keputusan akhir.
Terhadap hal di atas, Hardjasoemantri melihat perlu dipenuhinya syarat-syarat berikut
agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna :
(1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan
mengumumkan rencana kegiatannya.
(2) Informasi Lintas-batas (transfortier information); mengingat masalah lingkungan
tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan
lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi propinsi atau negara tetangga. Sehingga
pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi
penting;
(3) Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat
yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan

terakhir diambil. Sehingga, masih ada kesempatan untuk memeprtimbangkan dan
mengusulkan altenatif-alternatif pilihan;
(4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh(comprehensive information); walau isi
dari suatu informasi akan berbeda tergantumg keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan,
tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegitana secara rinci termasuk
alternatif-alternatif lain yang dapat diambil
(5) Informasi yang dapat dipahami (comprehensive information); seringkali
pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan
bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh
masyarakat awam. Metode yang sering digunakan adalah kewajiban untuk membuat uraian
singkat atas kegiatan yang dilakukan.
Syarat lain yang dapat ditambahkan selain yang telah diuraikan diatas, adalah
keharusan adanya kepastian dan upaya terus-menerus untuk memasok informasi agar
penerima informasi dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi pemberi informasi.
Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya telah pula merangkum kegunaan peran serta
masyarakat antara lain:
Menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab;
Kesempatan untuk berperan serta dalam kegiatan publik, akan memaksa orang yang
bersangkutan untuk membuka cakrawala pikirannya dan mempertimbangkan kepentingan
publik (Mill 1990). Sehingga orang tersebut tidak semata-mata memikirkan kepentingannya
sendiri, tetapi akan lebih memiliki sifat bertanggung jawab dengan mempertimbangkan
kepentingan bersama.
Meningkatkan proses belajar
Pengalaman berperan serta secara psikologis akan memberikan seseorang
kepercayaan yang lebih baik untuk berperan serta lebih jauh.
Mengeliminir perasaan terasing
Dengan turut aktifnya berperan serta dalam suatu kegiatan, seseorang tidak akan
merasa terasing. Karena dengan berperan serta akan meningkatkan perasaan dalam seseorang
bahwa ia merupakan bagian dari masyarakat.

Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah
Ketika seseorang langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang akan
mempengaruhi kehidupannya, mereka cenderung akan mempunyai kepercayaan dan
menerima hasil akhir dari keputusan itu. Jadi, program peran serta masyarakat menambah
legitimasi dan kredibilitas dari proses perencanaan kebijakan publik. Serta menambah
kepercayaan publik atas proses politik yang dijalankan para pengambil keputusan.
Menciptakan kesadaran politik
John Stuart Mill (1963) berpendapat bahwa peran serta pada tingkat lokal, dimana
pendidikan nyata dari peran serta terjadi, seseorang akan "belajar demokrasi". Ia mencatat
bahwa orang tidaklah belajar membaca atau menulis dengan kata-kata semata, tetapi dengan
melakukannya. Jadi, hanya dengan terus berpraktek pemerintahan dalam skala kecil akan
membuat masyarakat belajar bagaimana mempraktekkannya dalam lingkup yang lebih besar
lagi.
Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat;
Menurut Verba dan Nie (1972) bahw amelalui peran serta masyarakat distribusi yang
lebih adil atas keuntungan pembangunan akan didapat, karena rentang kepentingan yang luas
tercakup dalam proses pengambilan keputusan.
Menjadi sumber dari informasi yang berguna;
Masyarakat sekitar, dalam keadaan tertentu akan menjadi "pakar" yang baik karena
belajar dari pengalaman atau karena pengetahuan yang didapatnya dari kegiatan sehari-hari.
Keunikan dari peran serta adalah masyarakat dapat mewakili pengetahuan lokal yang
berharga yang belum tentu dimiliki oleh pakar lainnya, sehingga pengetahuan itu haruslah
termuat dalam proses pembuatan keputusan.
Merupakan komitmen sistem demokrasi;
Program peran serta msyarakat membuka kemungkinan meningkatnya akses
masyarakat ke dalam proses pembuatan keputusan (Devitt, 1974).

Peran Serta Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan Lingkungan di
Indonesia
Rahardjo (1989) melihat pemerintah merupakan agen utam dalam segenap kegiatan
masyarakat, termasuk pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berarti
pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan kegiatankegiatan itu. Dalam konteks ini, sinyalemen diatas menjadi nyata, ketika pada akhirnya peran
serta masyarakat hanyalah merupakan proses tarik-menarik antara pemerintah dan pihak
masyarakat. Dimana masyarakat hanyalah mampu untuk mencari ruang gerak peran serta
masyarakat yang telah 'diciptakan' pemerintah. Sejalan dengan hal diatas, berikut akan dicoba
digali ruang gerak peran serta masyarakat dalam beberapa peraturan perundang-undangan
lingkungan yang ada di Indonesia.
A. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (PP.AMDAL)
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 (PP.29/1989) tentang Amdal maupun
PP.51/1993 yang menggantikannya mengharuskan setiap (rencana) kegiatan yang
diperkirakan mempunyai dampak dilengkapi Amdal. Dalam peraturan yang sama, Amdal
dijabarkan sebagai "hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan".Bapedal (Badab
Pengendalian Dampak Lingkungan), badan pemerintah yang bertanggung jawab melakukan
koordinasi proses Amdal, menjabarkan Amdal sebagai "proses kajian yang terpadu untuk
mengkoordinasi perencanaan dan kajian dari kegiatan pembangunan yang diusulkan,
khususnya komponen ekologi, sosio-ekonomi dan budaya, sebagai pelengkap kelayakan
teknis dan ekonomis "sedangkan Otto Soemarwoto (1991) membatasi sebagai" alat untuk
merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan
ditimbulkan oleh suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan".
Peraturan Pemerintah yang terbentuk berdasarkan ketentuan pasal 16 UUPLH ini,
menetapkan proses Amdal yang melibatkan beberapa aktor, seperti Pemrakarsa dan Komisi
Amdal. Pemrakarsa adalah mereka yang mengajukan atau bertanggung jawab atas suatu
rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, sedang Komisi Amdal yang dibentuk oleh
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) atau Gubernur, berfungsi
sebagai penilai dokumen Amdal yang diajukan oleh Pemrakarsa.
Peran Serta Masyarakat dalam Komisi

Hadirnya, para pakar, wakil Pusat Studi lingkungan (PSL) dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam komisi dipercayai sebagai cermin kesertaan masyarakat. Dan LSM,
karena gaya kerja grass-root-nya diasumsikan cukup handal untuk "mendampingi" masyrakat
korban dampak lingkungan. Kombinasi berbagai kekuatan diatas, dharapkan membawa
wawasan baru dalam keputusan Komisi.
Skenario diatas mestinya sangat logis dan tak perlu diperdebatkan. Hanya saja, bila dicermati
mekanisme Komisi terkesan sangat elitis; dan karenanya kaum awam diluar Komisi hampir
tak punya peluang untuk mempersoalkan keputusan-keputusan Komisi. Posisi minoritas dan
keanggotaan yang bersifat tidak tetap dari wakil LSM dan masyarakat korban, semakin
menempatkan keikutsrtaan masyarakat dalam posisi yang bersifat diperdebatkan. Kedudukan
sebagai minoritas secara hipotesis akan menyurutkan daya tekan mereka dalam pengambilan
keputusan. Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya derajat pemahaman terhadap
masalah lingkungan. LSM, sialnya, dipandang punya kapasitas untuk memahami masalah
yang ada, sementara realitas menunjukkan hal sebaliknya:hanya sedikit manusia pada
segelintir LSM yang punya pengetahuan dan kepedulian tentang lingkungan. Secara umum,
ada keengganan LSM, atau boleh jadi ketidakmampuan, untuk sedikit peduli dan menekuni
Amdal sebagai alternatif cara peningkatan keikutsertaan masyarakat. Sejumlah kasus
mengkonfirmasi bahwa LSM cenderung menempuh "jalan lain" dalam gerakan penyadaran
lingkungan ketimbang menggarap perannya dalam Komisi Amdal secara lebih serius.
Penunututan ke Pengadilan (kasus Walhi vs. PT.IIU), boikot (kasus Tapak - Semarang),
kombinasi tekanan LSM nasional dan internasional (kasus Scott Paper di Irian Jaya) dan
melobi ke negara-negara donor (kasus Kedungombo - Jawa Tengah) sekedar contoh soal
yang masih segar dalam ingatan kita.
Pasal 31 PP.29/1986 (sekarang Pasal 22 PP.51/1993)
Disamping kesertaan wakil LSM dan masyarakat korban dalam Komisi Amdal, pasal
22 PP.Amdal mewajibkan keterbukaan informasi bagi masyarakat luas sebagai media untuk
menyertakan masyarakat dalam proses Amdal. Dan ini, menurut penjelasan pasal 22 ayat (1),
dapat dilakukan berwujud penyebaran dokumen Amdal melalui media masa atau papan
pengumuman pada instansi yang bertanggung jawab. Ini berarti, masyarakat memiliki akses
yang luas ke semua aspek Amdal. Dan mestinya orang boleh bersyukur. Tapi pengalam
lapangan kadang berbicara lain. Kasus gugatan Walhi atas PT.Imti Indorayon Utama
(pengolah pulp dan rayon) dan lima instansi pemerintah (digugat lalai memberi ijin kepada
PT.IIU yang berakibat rusaknya lingkungan) membuktikan betapa pasal 31 PP. Amdal

sedemikian bermakna ganda, tergantung bagaimana ia ditafsirkan. Konon kata Walhi, ia tidak
diberi kesempatan ikut serta berdasarkan pasal 31 itu, walau para penggugat telah dimintai
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Amdal. Hanya saja hakim punya pendapat
lain:memang pasal 31 mengandung prinsip keterbukaan untuk umum seperti didalilkan
Walhi, tapi pelaksanaannya harus dikaitkan dengan prosedur dalam ayat (3)-nya. Ini berarti,
harus mewabah sebagai peran serta masyarakat dengan bentuk yang sudah baku :
memberikan saran/pikiran, baik lisan atau tertulis, dengan Komisi Pusat atau Komisi Daerah
sebagai sasaran. Akhir cerita, bukti yang diajukan Walhi (berupa surat permohonan dokumen
Amdal dan sejenisnya pada tergugat) gagal memenuhi makna pasal 31 seperti dimengerti
oleh Hakim. Surat Walhi, rupanya tidak ditujukan pada Komisi (Pusat atau Daerah), dan
fatalnya, surat-surat yang ada tidak memuat saran atau pikiran Walhi. Dan sudah pasti,
persoalan lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat sama sekali alpa dalam perdebatan
yang ada.
Ketika PP.29/1986 diganti dengan PP.51/1993, ketentuan tentang Peran Serta
Masyarakat yang termuat dalam pasal 31 PP.29/1986, sama sekali tidak mengalami
perubahan dalam PP.51/1993, yang termuat dalam pasal 22-nya. Hal ini menandakan bahwa
penafsiran peran serta masyarakat dalam PP.Amdal berdasarkan PP.51/1993 akan mengalami
nasib yang sama seperti pendahulunya di PP.29/1986.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Seperti juga PP.51/1993, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUK) merupakan penjabaran dari pasal 12
UUPLH No.4/1982. Kalaupun ada rentang waktu delapan tahun sejak berlakunya UUPLH
sampai dindangkannya UUK, setidak-tidaknya kehadiran UUK haruslah tetap disyukuri
karena menunjukkan kepedulian pemerintah akan pentingnya perlindungan atas kekayaan
bangsa ini.
Keberadaan UU ini mencabut empat ketentuan perlindungan sumber daya alam hayati
warisan kolonial. Yang memang merupakan salah satu pertimbangan dibuatnya UUK, karena
peraturan warisan kolonial itu dianggap masih bersifat parsial yang tidak selaras dengan
semangat UUPLH yaitu pengelolaan lingkungan yang bersifat satu-kesatuan (integral) dan
menyeluruh (comprehensive). Ke-empat undang-undang ini adalah : (1) Ordonansi Perburuan
(Jachordonanntie 1931 Staatblad 1931 Nummer 133);(2) Ordonansi Perlindungan Binatangbinatang Liar (Dierensbeschermingordonnantie 1931 Staatblad 1931 Nummer 134);(3)

Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 Staatblad
1939 Nummer 733); dan (4) Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie
1941 Staatsblad 1941 Nummer 167).
Undang-undang No.5/1990 memakai istilah peranserta rakyat untuk mengartikan
peran serta masyarakat yang dipakai dalam buku ini. Rumusan diatas termuat dalam pasal 37
bahwa :
(1)Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan
berhasil guna;dan
(2) dalam mengembangkan peran serta masyarakat, pemerintah menumbuhkan dan
meningkatkan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dikalangan
rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Ketika mekanisme peran serta rakyat diatas masih
harus menunggu rumusan lebih lanjut berdasarkan pasal 37 ayat 3, dapatlah disimpulkan
rumusan diatas mengabaikan kemampuan masyarakat lokal yang kemungkinan mempunyai
keahlian unik yang belum tentu dimiliki oleh guru besar suatu universitas sekalipun. Salah
satu nilai positif dari peran serta masyarakat adalah pengakuan adanya kebijaksanaan
tradisional dari masyarakat lokal untuk mengelola lingkungannya. Ini tidak didapat dari
bangku universitas maupun seminar, tetapi pengetahuan yang diterima dari pengalaman hidup
dan kegiatan sehari-hari. Rumusan pasal 37(2) mengesankan masyarakat begitu awam
sehingga haruslah diberi pendidikan dan penyuluhan. Lebih jauh, apa yang termuat dalam
pasal 24 UUK dapat membuat arti peran serta menjadi mobilisasi. Artinya, pemerintahlah
yang menentukan tujuan dan perencanaan kegiatan, sementara masyarakat hanya
diperintahkan untuk mengikuti program-program yang digariskan pemerintah. Rumusan ini
juga menurunkan kadar peran serta yang termuat dalam pasal 6 UUPLH, undang-undang
yang seharusnya menjadi panutan bagi Uuk. Jelas, UUPLH menggariskan bahwa peran serta
masyarakat itu dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai tahap evaluasi, tetapi
makna diatas menjadi kabur dalam UUK.
Undang-undang

Nomor

24

Tahun

1992

tentang

Penataan

Ruang

(UUPR)

Apa itu Penataan Ruang
Menurut pasal 1 ayat 3 UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan
ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Adapun tujuan dari penataan ruang dalam konteks hukum positif
Indonesia meliputi tiga hal (lihat pasal 3 UU.24/1992) :

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan
nusantara
2. Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :



Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera
Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya

buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia
 Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara
berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia

Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan

Mewujudkan keseimbangan kepentingan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan
Menyikapi Pencemaran Lingkungan
Konferensi PBB tentang lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, telah
menetapkan tanggal 5 Juni setiap tahunnya untuk diperingati sebagai Hari lingkungan Hidup
Sedunia. Kesepakatan ini berlangsung didorong oleh kerisauan akibat tingkat kerusakan
lingkungan yang sudah sangat memprihatinkan.
Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah dilakukan sejak tahun 1960-an.
Tonggak pertama sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup dipancangkan melalui
seminar tentang Pengelolaan lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang
diselenggarakan di Universitas Padjajaran pada tanggal 15 - 18 Mei 1972. Hasil yang dapat
diperoleh dari pertemuan itu yaitu terkonsepnya pengertian umum permasalahan lingkungan
hidup di Indonesia. Dalam hal ini, perhatian terhadap perubahan iklim, kejadian geologi yang
bersifat mengancam kepunahan makhluk hidup dapat digunakan sebagai petunjuk munculnya
permasalahan lingkungan hidup.
Pada saat itu, pencemaran oleh industri dan limbah rumah tangga belumlah
dipermasalahkan secara khusus kecuali di kota-kota besar. Saat ini, masalah lingkungan
hidup tidak hanya berhubungan dengan gejala-gejala perubahan alam yang sifatnya
evolusioner, tetapi juga menyangkut pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri dan

keluarga yang menghasilkan berbagai rupa barang dan jasa sebagai pendorong kemajuan
pembangunan di berbagai bidang.
Pada Pelita V, berbagai upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup dilakukan
dengan memperkuat sanksi dan memperluas jangkauan peraturan-peraturan tentang
pencemaran lingkungan hidup, dengan lahirnya Keppres 77/1994 tentang Organisasi Bapedal
sebagai acuan bagi pembentukan Bapeda/Wilayah di tingkat Propinsi, yang juga bermanfaat
bagi arah pembentukan Bapeda/Daerah. Peraturan ini dikeluarkan untuk memperkuat
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dianggap
perlu untuk diperbaharui.
Berdasarkan Strategi Penanganan Limbah tahun 1993/1994, yang ditetapkan oleh
pemerintah, maka proses pengolahan akhir buangan sudah harus dimulai pada tahap
pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga pengolahan akhir limbah buangan (Lampiran
Pidato Presiden RI, 1994 : II/27). Langkah yang ditempuh untuk mendukung kebijaksanaan
ini, ditempuh dengan pembangunan Pusat Pengelolaan Limbah Industri Bahan Berbahaya
dan Beracun (PPLI-B3), di Cileungsi Jawa Barat, yang pertama di Indonesia. Pendirian unit
pengolahan limbah ini juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Disamping

itu,

untuk

mengembangkan

tanggung

jawab

bersama

dalam

menanggulangi masalah pencemaran sungai terutama dalam upaya peningkatan kualitas air,
dilaksanakan Program Kali Bersih (PROKASIH), yang memprioritaskan penanganan
lingkungan pada 33 sungai di 13 Propinsi. Upaya pengendalian pencemaran lingkungan
hidup ini, ternyata juga menghasilkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha baru di
berbagai kota dan sektor pembangunan.
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa dalam menyikapi terjadinya
pencemaran lingkungan baik akibat teknologi, perubahan lingkungan, industri dan upayaupaya yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi, diperlukan itikad yang luhur dalam
tindakan dan perilaku setiap orang yang peduli akan kelestarian lingkungan hidupnya.
Walaupun telah ditetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, PP No. 19 tahun 1994
dan Keppres No .7 tahun 1994 yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan, jika tidak
ada kesamaan persepsi dan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan hidup maka berbagai
upaya pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat tidak akan dapat dinikmati secara tenang dan aman, karena kekhawatiran akan
bencana dari dampak negatif pencemaran lingkungan.

HAK MASYARAKAT DALAM PPLH
• Lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian HAM;
• Pendidikan LH, akses informasi, partisipasi dan keadilan;
• Mengusulkan keberatan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan
menimbulkan dampak LH;
• Berperan dalam PPLH sesuai dengan per-UU;
• Melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
• Bebas dari tuntutan pidana maupun perdata atas perjuangan akan haknya
menyangkut lingkungan hidup yang sehat dan baik.
KEWAJIBAN MASYARAKAT DALAM PPLH



Memelihara kelestarian fungsi LH serta pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan LH;
Setiap orang yang melakukan usaha/kegiatan berkewajiban :
1.

Memberikan informasi terkait dengan PPLH secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu

2. Menjaga keberlanjutan fungsi LH;
3. Mentaati ketentuan baku mutu LHdan/atau criteria baku kerusakan LH.
LARANGAN MASYARAKAT DALAM PPLH
1. Melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan LH;
2. Memasukan B3 yang dilarangan menurut per-UU dalam wilayah NKRI;
3. Memasukan limbah yang berasal dari luar NKRI ke dalam media LH NKRI;
4. Membuang limbah ke media LH(termasuk B3 dan limbahB3);
5.

Melepaskan produk rekayasa genetik ke media LH yang bertentangan dengan perUU/izin lingkungan;

6. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
7. Menyusun AMDAL tanpa sertifikasi kompetensi penyusun AMDAL;
8.

Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkannya informasi, merusak
informasi, dan memberikan keterangan yang tidak benar.

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PPLH
• Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama berperan aktif dalam PPLH
• Peran masyarakat :





Pengawasan sosial;



Memberi saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan;



Penyampaian informasi dan/atau pelaporan;

Peran masyarakat dilakukan untuk :
o
o
o
o

Meningkatkan kepedulian dalam PPLH;
Meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan kemitraan;
Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan;
Menumbuh kembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan

sosial;
o Mengembangan dan menjaga budaya dan kearifan local dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
PERAN MASYARAKAT DALAM PENERAPAN INSTRUMEN LINGKUNGAN
• AMDAL
Dokumen AMDAL disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat melalui prinsip
pemberian

informasi

yang

transparan

dan

lengkap

sebelum

kegiatan

dilaksanakan;Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL
PERAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya
sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
ORGANISASI LINGKUNGAN HIDUP
Berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi LH;
Pengajuan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya
tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil;
Syarat : berbentuk badan hukum, organisasi berorientasi pada pelestarian fungsi LH,
berpengalaman sedikitnya 2 tahun)

BAB III
Kesimpulan
Dari uraian isi makalah ini dapat kami simpulkan bahwa yang menjadi peran serta
masyarakat dalam pengelolaaan dan perlindungan lingkungan ditinjau dari UU no.32 tahun
2009 adalah:
 Pengawasan sosial;
 Memberi saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan;
 Penyampaian informasi dan/atau pelaporan;
 Peran masyarakat dilakukan untuk :





Meningkatkan kepedulian dalam PPLH;
Meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan kemitraan;
Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan;
Menumbuh kembangkan ketanggapsegeraan masyarakat



pengawasan sosial;
Mengembangan dan menjaga budaya dan kearifan local dalam rangka pelestarian

untuk

melakukan

fungsi lingkungan hidup.
Serta yang menjadi larangan masyrakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hudup adalah:
 Melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan LH;
 Memasukan B3 yang dilarangan menurut per-UU dalam wilayah NKRI;
 Memasukan limbah yang berasal dari luar NKRI ke dalam media LH NKRI;
 Memasukan limbah B3 ke dalam NKRI;
 Membuang limbah ke media LH(termasuk B3 dan limbahB3);
 Melepaskan produk rekayasa genetik ke media LH yang bertentangan dengan perUU/izin lingkungan;
 Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
 Menyusun AMDAL tanpa sertifikasi kompetensi penyusun AMDAL, Memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkannya informasi, merusak informasi, dan
memberikan keterangan yang tidak benar.

Daftar pustaka
Marpaung, Leden. 1997. Tindak pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Sinar
Grafika: Jakarta.
Soemartono R.M. Gatot P. 1996. Hukum lingkungan Indonesia. Sinar Garafika: Jakarta.
Soemartono R.M. Gatot P. 1991. Mengenal hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika:
Jakarta.
Sunarso,Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa. Rineka Cipta: Jakarta.
Daud,Silalahi M. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia. PT. Alumni: Bandung.
Hardjasoemantri,Koesnadi. 2005. Hukum Tata Lingkungan. Gajah Mada University
press:Yogyakarta.