Sintesis Penangkaran rusa timor

  SINTESIS HASIL-HASIL LITBANG : PENGEMBANGAN PENANGKARAN RUSA TIMOR Penulis

  :

Prof. DR. Ris M. Bismark, M.S.

  Prof. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. Ir. Mariana Takandjandji, M.Si. Ir. R. Garsetiasih, M.P. Drh. Pujo Setio, M.Si Ir. Reny Sawitri, M.Sc.

  Ir. Endro Subiandono Drs. Sofian Iskandar, M.Si Kayat, S.Hut, M.Sc. Editor : Prof. Ris. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S.

  Prof. Ris. DR. M. Bismark Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc

DR. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDM

Prof. Ris. DR. Gono Semiadi, M.Sc.

  Penyunting : DR. Burhanuddin Masy'ud, M.S.

  Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

Foto Sampul : Rusa di Taman Safari Indonesia, Bogor (M. Bismark)

Desain Sampul : Anita Rianti, S.Pt.

  ISBN : 978-979-8452-39-0 Penerbit : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270 Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189 Cetakan pertama : Desember 2011

  Petikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72

  

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

KATA SAMBUTAN

  Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia yang populasinya di alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan perusakan habitat. Secara tradisional, masyarakat memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan langsung dari habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun diambil daging dan hasil ikutannya. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa seluruh jenis rusa di Indonesia dilindungi, namun perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat, baik disebabkan eksploitasi hutan oleh manusia maupun kerusakan karena bencana alam, turut pula menyebabkan penurunan terhadap eksistensi jenis dan populasi rusa. Oleh sebab itu, upaya konservasi jenis dan populasi perlu dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ sehingga pelestarian dan pemanfaatannya dapat tercapai. Upaya konservasi ex-situ melalui penangkaran sudah banyak dilakukan namun untuk meningkatkan manfaat, penangkaran perlu pula dikembangkan di masyarakat terutama generasi kedua (F2) sebagaimana termuat dalam PP No. 8 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Manfaat yang diperoleh selain untuk tujuan konservasi adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan lainnya melalui turunan kedua (F2) dan seterusnya. Hasil penangkaran rusa tersebut juga memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga asumsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi.

  Buku ini memberikan tuntunan bagi masyarakat dan lembaga konservasi yang concern terhadap konservasi khususnya penangkaran rusa yang tentunya memerlukan suatu teknik penangkaran yang tepat sehingga hasilnya dapat ditingkatkan. Oleh karena itu saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, juga kepada penyusun, penyunting, pembahas, dan penulis serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku “Pengembangan Penangkaran Rusa Timor”.

  Saya berharap buku ini dapat bermanfaat sehingga penangkaran rusa timor di Indonesia dapat berhasilguna dan berdayaguna.

  Kepala Badan, Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc.

  NIP. 19560929 198202 1 001

KATA PENGANTAR

  Pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari sesuai kaidah-kaidah konservasi merupakan salah satu kegiatan pokok dalam Strategi Konservasi, disamping pengawetan dan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu penangkaran rusa timor (Rusa timorensis) sebagai satwaliar yang dilindungi, dapat dilaksanakan, baik secara hukum maupun etika biologis karena masih berada dalam koridor konservasi. Permasalahannya apakah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mendukung kegiatan penangkaran rusa tersebut dapat menjaga kemurnian jenis atau genetik, serta tetap dapat memenuhi persyaratan-persyaratan teknis dan manajemen penangkaran rusa. Apakah IPTEK penangkaran rusa tetap dapat menjamin tercapainya tujuan penangkaran itu sendiri, yaitu untuk membantu recovery populasi di habitat aslinya (in-situ) dan pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk domestikasi rusa sebagai satwa harapan masa depan.

  Buku ini menyajikan hasil-hasil penelitian dan sintesis atas hasil-hasil penelitian penangkaran rusa yang dilakukan para peneliti, baik dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi maupun Balai Penelitian Kehutanan terutama yang terkait dengan tugas-tugas konservasi. Sintesis ini diharapkan dapat menjadi informasi atau bahan masukan bagi pengguna Iptek penangkaran rusa, baik masyarakat umum, pelaku usaha maupun institusi pemerintah. Sintesis juga diharapkan dapat menjadi bahan untuk review kebijakan terkait penangkaran rusa.

  Semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukan informasi atau data atau Iptek penangkaran rusa, terutama rusa timor (Rusa timorensis). Namun demikian kiritik dan saran tetap terbuka guna sempurnanya buku ini.

  Bogor, Oktober 2011 Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, MSc.

  NIP. 19571221.198203.1.002

1. PENDAHULUAN

  Sejarah geologi dan pembentukan yang berbeda diantara pulau-pulau di Indonesia serta variasi iklim telah mempengaruhi pembentukan berbagai tipe ekosistem, sebaran, dan jenis satwa. Hal ini terlihat dari tingginya keragaman ekosistem dan jenis satwa endemik. Menurut Bappenas (2003), Indonesia memiliki 515 jenis mamalia besar (39% endemik), tertinggi di dunia, 511 jenis reptil (29% endemik), 1531 jenis burung (26% endemik), 270 jenis ampibia (37% endemik), 35 jenis primata (18% endemik), dan 121 jenis kupu-kupu (44% endemik).

  Faktor yang mempengaruhi tingkat keragaman jenis satwa yang berhubungan dengan habitat disebut sebagai dimensi biodiversitas. Dalam hal ini jenis dan populasi satwa sangat tergantung pada hutan primer, hutan sekunder dan ada juga yang dapat berkembang pada tegakan pohon di luar hutan seperti jenis-jenis burung tertentu dimana pohon berfungsi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang. Biodiversitas dan tingkat kelangkaan satwa ditentukan pula oleh luas atau sempitnya sebaran geografis, spesifikasi habitat yang lebih bervariasi atau terbatas serta berlimpah atau jarangnya populasi. Selain itu, keanekaragaman jenis dipengaruhi pula oleh pemanfaatan lahan, fragmentasi hutan, jenis pemanfaatan hutan, dan perubahan alam. Berdasarkan dimensi biodiversitas tersebut, keanekaragaman jenis sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan perlakuan terhadap habitat dalam bentuk pengelolaan hutan (Bismark, 2006).

  Komponen biotik ekosistem hutan dan satwaliar mempunyai peran tertentu dalam proses interaksi, inter-relasi, serta siklus mineral, dan energi dalam ekosistem hutan. Peran satwaliar dalam ekosistem hutan diantaranya adalah membantu proses regenerasi hutan alam dalam bentuk penyerbukan bunga dan penyebaran biji melalui aktivitas makan. Satwa pemakan biji (seed killing), berperan mengurangi penyebaran tumbuhan cepat tumbuh dan dominan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhan yang sub dominan. Proses ini akan memperkaya keragaman jenis flora dalam ekosistem hutan (Alikodra, 1990).

  Satwaliar juga merupakan sumber protein bagi masyarakat lokal. Dalam sistem pemanfaatan tradisional, perburuan yang dilakukan masyarakat hanya untuk memenuhi kebutuhan kelengkapan gizi protein hewani, dan masih terikat pada sistem budaya serta adat istiadat. Dengan cara ini masyarakat tradisional sudah mempunyai teknik pelestarian jenis untuk satwaliar tertentu sebagai bentuk kearifan lokal.

  Namun pemanfaatan satwaliar sekarang tidak lagi hanya sekedar untuk pemenuhan protein atau ritual adat istiadat, tetapi sudah jauh memasuki nilai ekonomi sebagai mata pencaharian masyarakat lokal, dan memasuki sistem perdagangan regional serta internasional. Tingginya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap satwaliar terlihat dari berkembangnya manfaat satwaliar sebagai sumber pakan, bahan baku obat, dan industri kerajinan (kulit, tulang, cula, ranggah) serta sebagai hewan kesenangan (hobby).

  Terbukanya hutan sebagai habitat satwaliar melalui pengelolaan hutan produksi (lebih dari 50% habitat satwaliar berada di hutan produksi), telah membuka akses perburuan

illegal dan peningkatan perdagangan illegal satwaliar.

Tingginya pemanfaatan dan dampak pengelolaan hutan terhadap satwaliar berupa penurunan populasi pohon sumber pakan, tempat tidur, dan tempat bersarang, perubahan iklim mikro, dan penurunan aktivitas reproduksi menyebabkan penurunan populasi satwaliar dan menambah jumlah jenis yang harus dilindungi (Bismark, 2006).

  Dari sudut pandang pemanfaatan, biodiversitas fauna yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan atau diekspor sebagai devisa negara, pemerintah telah menetapkan kuota penangkapan satwaliar yang tidak dilindungi. Nilai devisa yang diperoleh pada Tahun 1999 dari perdagangan satwa dan tumbuhan ke luar negeri tercatat US$ 61.261,12 dan pada Tahun 2003 meningkat lebih dari 54 kali lipat, yaitu US$ 3.340.171,36 (Bismark, 2006). Devisa tertinggi hasil ekspor satwaliar dicapai Tahun 2005 sebesar US$ 15,287,536 dan menurun pada Tahun 2006 menjadi US$ 4,410,536 (Departemen Kehutanan, 2007). Dalam rangka pelestarian populasi satwa dan untuk mengatasi kuota tangkap yang berlebihan dari alam, pemerintah juga sudah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang pengesahan CITES, dengan lampiran jenis-jenis satwa Indonesia yang dapat diperdagangkan. Jumlah satwa yang diperdagangkan ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan kuota oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Management Authority.

  Walaupun upaya perluasan kawasan konservasi terus ditingkatkan dan penetapan kuota penangkapan satwaliar yang diperdagangkan terus dievaluasi, namun perlindungan jenis satwa dan habitatnya tetap bermasalah, terutama akibat

  

illegal logging, perambahan, dan kebakaran hutan yang

  memberi akses tinggi bagi kerusakan habitat dan perburuan liar. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya perusakan habitat dan ekosistem hutan, sekalipun di dalam kawasan konservasi.

  Hal yang menarik adalah tidak seimbangnya penyediaan data dasar tentang ekologi dan teknik pelestarian satwaliar dibandingkan dengan pemanfaatannya. Laju pemanfaatan dan degradasi hutan sebagai habitat satwaliar yang cukup tinggi, semakin memperparah penurunan populasi satwaliar yang memicu percepatan kepunahan suatu jenis. Untuk itu penelitian yang menunjang ketersediaan informasi biologi dan ekologi guna mengemas teknologi pelestarian satwaliar secara in-situ dan ex-situ sangat diperlukan.

  Saat ini, populasi satwaliar di alam sudah menurun drastis karena perburuan dan kerusakan habitat. Oleh sebab itu, upaya penangkaran satwa yang bernilai ekonomi di luar habitat perlu dilakukan sehingga kelestarian jenis dan populasi, serta pemanfaatan dapat dicapai. Penangkaran satwaliar bernilai ekonomis telah menjadi bagian sumberdaya untuk kebutuhan masyarakat di sekitar hutan. Penangkaran lebih banyak diarahkan pada penangkaran rusa walaupun penangkaran jenis lain telah diupayakan untuk mendukung sistem perdagangan satwaliar. Penangkaran rusa dapat dilakukan dengan mengacu kepada informasi bio-ekologis. Sistem penangkaran rusa, dapat meliputi ranching, semi atau

  

mini ranching dan kandang individu atau berupa panggung

yang disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan modal.

  Beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran untuk semua sistem tersebut, antara lain jumlah individu, sex ratio, perkandangan, dan habitat buatan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan pengelolaan. Selanjutnya, informasi penelitian dan hasil penangkaran dapat dikembangkan sebagai budidaya komersial dalam berbagai skala usaha, sehingga menambah pendapatan masyarakat, swasta, dan pemerintah.

  Jenis rusa yang umum dikembangkan oleh peternak di daerah non-tropik adalah rusa merah (Cervus elaphus) yang mencapai 87% dari total populasi, dan sisanya adalah rusa wapiti (Cervus elaphus canadensis) yakni rusa yang memiliki tubuh paling besar dan rusa fallow (Dama dama) sebagai rusa yang bertubuh kecil. Sedangkan di daerah tropik, jenis rusa yang paling banyak ditangkarkan (90%) adalah rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis) dan sisanya (10%) terdiri dari rusa sambar (Rusa unicolor), sebagai rusa tropik terbesar di Asia, dan rusa totol (Axis axis) (Semiadi dan Nugraha, 2004).

  Nilai positif dari perkembangan teknologi reproduksi dan peternakan rusa adalah kemampuan dalam meningkat- kan populasi beberapa jenis rusa yang telah langka, diantaranya rusa bawean (Axis kuhlii). Rusa timor dan rusa sambar telah ditangkarkan di Indonesia, mengingat jenis rusa tersebut merupakan jenis rusa asli Indonesia yang telah menjadi tulang punggung dari peternakan rusa tropik di dunia dan potensial untuk ditangkarkan. Penelitian tentang rusa timor sudah banyak dilakukan bahkan telah disosialisasikan di masyarakat, seperti halnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) walaupun belum mengarah pada sosial ekonomi. Oleh karena itu, sangat tepat untuk menggali potensi satwaliar yang ada dan kemungkinan dikembangkan di Indonesia sebagai usaha peternakan dan konservasi ex-situ.

  

2. KLASIFIKASI, SEBARAN, DAN

PERILAKU

Oleh : Mariana Takandjandji, R. Garsetiasih,

Reny Sawitri, dan N. M. Heriyanto

  Rusa timor merupakan salah satu dari empat spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar, rusa bawean, dan muncak. Menurut Schroder (1976) yang dikutip oleh Semiadi dan Nugraha (2004) serta Garsetiasih dan Takandjandji (2006), rusa timor termasuk sub spesies dari

  

Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal adalah rusa

  jawa atau rusa timor. Namun dalam IUCN (2008) dikatakan, nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis Blainville, 1822.

2.1. Klasifikasi dan morfologi

  Taksonomi atau klasifikasi rusa timor (Rusa timorensis) dan sambar (Rusa unicolor) sebagai berikut: Klas : Mamalia Sub-klas : Theria Infra-klas : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub-ordo : Ruminansia Famili : Cervidae Sub-famili : Muntiacinae Genus : Rusa Spesies : Rusa timorensis de Blainville, 1822 Nama lokal : Rusa timor Spesies : Rusa unicolor Kerr, 1792 Nama lokal : Rusa Sambar Spesies dan sub spesies rusa serta penyebarannya di seluruh Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 2.1.

  Spesies: Rusa unicolor Kerr, 1792 Sub famili: Cervinae

Tabel 2.1. Spesies dan sub spesies rusa di Indonesia Jenis Rusa Nama Daerah Daerah Penyebaran

  Spesies: Rusa timorensis Blainville, 1822 8 sub spesies yang ditemui di Indonesia yakni: Rusa Payau Sumatera 2 sub spesies yang ditemui di Indonesia, Genus: Rusa R. u. brookei Hose, 1893 R. u. equinus Curier, 1823 Rusa Payau Kalimantan yakni: R. t. renschi Sody, 1933 Rusa Timor Pulau Bali R. t. moluccenssis Muller, 1836 Rusa Maluku Kepulauan Maluku

R. t. djonga Bemmel, 1949 Rusa Jonga Kepulauan di Sulawesi Tenggara

R. t. timorensis Blainville, 1822 Rusa Timor Pulau Timor R. t. floresiensis Heude, 1896 Rusa Timor Nusa Tenggara R. t. russa Muller & Schlegel, 1844 Rusa Jawa Jawa dan Kalimantan Selatan R. t. macassaricus Heude, 1896 Rusa Makassar Sulawesi R. t. laronesiotes Bemmel, 1949 Rusa Jawa Ujung Kulon Genus: Axis Spesies: Axis kuhlii Muller, 1840 Pulau Bawean

Sumber: Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004); Garsetiasih dan

Takandjandji (2006)

  Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004), mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan. Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping, panjang, dan bercabang. Cabang yang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang cabang depan kedua, cabang belakang kedua kiri dan kanan terlihat sejajar.

  Rusa timor memiliki beberapa keunikan, yakni mempunyai anak jenis (sub spesies) yang banyak dengan nama daerah yang beragam sesuai daerah penyebarannya, memiliki warna rambut yang berbeda pada musim kemarau dan hujan, serta rusa jantan memiliki enam (6) buah gigi namun tanpa gigi seri pada bagian atas (Ismail, 1998). Warna rambut rusa timor pada musim kemarau adalah merah kecoklatan, agak gelap pada bagian belakang, dan lebih terang pada bagian dada sedangkan pada musim hujan, bagian atasnya berwarna keabu-abuan. Menurut Thohari et

  

al. (1991), bobot badan rusa timor dewasa mencapai 100 kg,

  sedangkan menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994) mencapai 60 kg. Sub spesies Rusa timorensis timorensis Blainville, 1822 jantan di Pulau Timor, NTT memiliki bobot badan berkisar 31,5-70,0 kg (Takandjandji dan Garsetiasih, 2002), sedang menurut Semiadi dan Nugraha (2004) bervariasi 40-120 kg tergantung pada sub spesies. Rusa timor memiliki ukuran kepala dan panjang badan 130-210 cm, tinggi bahu 80-110 cm, panjang ekor 10-30 cm dan bobot badan 50- 115 kg.

  Rusa sambar memiliki rambut bagian tubuh yang panjang dan tebal dengan warna coklat tua, serta pada sekitar leher tumbuh rambut surai. Jantan memiliki ranggah yang besar dan kuat serta bercabang tiga, memiliki ukuran kepala dan panjang badan 170-270 cm, tinggi bahu 120-150 cm, panjang ekor 22-35 cm dan bobot badan 150-300 kg.

  Perbedaan kedua jenis rusa (Rusa timorensis dan

  

Rusa unicolor) dapat dilihat dari sifat morfologinya (World

  Deer, 2005) yakni pada Gambar 2.1a dan 2.1b. Secara fisik, ukuran rusa sambar (R. unicolor) lebih besar dari pada rusa timor (R. Timorensis).

  a Sumber Foto: Pratheepps, (Wikipedia, 2007) Foto: N. M. Heriyanto dan P. Setio b

Gambar 2.1. Rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) (a); dan rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) (b).

2.2. Sebaran

  Rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis Blainville, 1822) memiliki sebaran habitat alami di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, sedangkan rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) memiliki sebaran alami mulai dari Pegunungan Himalaya sampai Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan.

  Keberadaan jenis rusa timor di wilayah Indonesia bagian timur (seperti Maluku dan Papua) ditengarai sebagai jenis yang diintroduksi.

  Sebaran rusa timor pada saat ini lebih banyak ditemukan di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya seperti di Papua dan Kepulauan Maluku, misalnya rusa timor di Papua (Taman Nasional Wasur) telah berkembangbiak hingga mencapai populasi 200 ribu-350 ribu individu (http://www.infopapua.com/ modules.php?op,2005). Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan berperilaku dalam memanfaatkan kondisi lingkungan dan potensi habitat.

  Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga dengan mudah menyesuaikan diri dan hidup di daerah basah, kering, berpasir maupun pegunungan. Di samping itu rusa timor lebih mampu beradaptasi dengan daerah kering, panas dan terbuka seperti savana karena ketergantungannya terhadap air lebih kecil. Habitat alami rusa timor adalah hutan tropis dan dataran rendah yang bervegetasi savana, lontar, cemara, dan mangrove.

  Menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004), rusa timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Sedang rusa sambar (R. unicolor) tersebar di P. Sumatera dan Kalimantan (Gambar 2.2).

  

2

  1

  7

  1

  3

  6

  9

  3 4 5

  8 Gambar 2.2. Penyebaran sub spesies rusa di Indonesia Keterangan Gambar :

  1. R. u. equinus (Curier, 1823)

  6. R. t. djonga (Bemmel, 1949)

  2. R. u. brookei (Hose, 1893)

  7. R. t. moluccensis (Muller, 1836)

  3. R. t. russa (Muller & Schi, 1844)

  8. R. t. renschi (Sody, 1933)

  4. R. t. floresiensis (Heude, 1896)

  9. R. t. laronesiotes (Bemmel, 1949)

  5. R. t. timorensis (Blainville, 1822)

  10. R. t. macassaricus (Heude, 1896)

2.3. Perilaku

  Rusa hidup dalam kelompok sosial pada setiap aktivitas. Perilaku sosial dilakukan dengan cara saling berinteraksi antara individu dalam kelompok. Hubungan sosial lebih nyata terlihat pada induk dan anak terutama pada saat anak baru dilahirkan. Tingkat kedekatan induk pada anak mulai berkurang sejalan dengan pertambahan umur anak. Rusa timor mempunyai tingkah laku hirarki dalam kelompok terdiri dari pimpinan dan bawahan, dimana rusa jantan besar dengan ranggah keras umumnya sebagai pimpinan yang membawahi beberapa induk betina (harem) dan anak- anaknya. Kelompok besar satwa ini umumnya terbagi menjadi tiga (3) sub kelompok yaitu: (a) sub kelompok campuran rusa jantan dan betina: rusa jantan besar menguasai kelompok betina dewasa; (b) kumpulan rusa timor jantan muda yang telah disapih; (c) betina yang bunting dan rusa yang sedang menyusui anaknya.

  Menurut Takandjandji dan Sinaga (1995), perilaku makan merupakan rangkaian dari gerakan yang dilakukan dalam hal mencari, memilih, mengambil dan memasukkan ke dalam mulut, mengunyah, menelan, serta pengunyahan dan penelanan kembali (ruminasi). Perilaku makan tergantung pada spesies, status fisiologis, iklim, tipe pakan, dan kualitas pakan. Perilaku makan pada satwa meliputi kegiatan pergerakan, menjelajah (exploring) dan istirahat (Sukriyadi, 2006).

  Rusa dalam aktivitas makan, dapat memanfaatkan rumput-rumputan dan daun pohon yang masih muda (Syarief, 1974). Apabila berada di padang rumput rusa termasuk

  grasser sedangkan pada areal semak dan hutan rusa merupakan browser (Hoogerwerf, 1970; Garsetiasih, 1996).

  Sebagai satwa herbivora, rusa timor mengkonsumsi berbagai jenis rumput-rumputan, herba, dan buah-buahan yang jatuh atau berserakan di lantai hutan. Rusa timor di Suaka Margasatwa Pulau Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan lontar dan hutan bakau sebagai tempat beristirahat (Takandjandji, 1987).

  Perilaku harian rusa di alam umumnya nokturnal, artinya aktif mencari makan apabila hari gelap. Namun demikian, perilaku tersebut dapat berubah sesuai dengan tujuan pengelolaan walaupun sifat dasar liarnya tidak dapat dihilangkan tetapi dapat dikendalikan. Apabila sifat liar dapat dikendalikan, maka penanganannya akan lebih mudah. Rusa timor dengan mudah dapat dikelola karena rusa dapat beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dengan baik. Oleh karena itu rusa timor memiliki potensi yang tinggi untuk ditangkarkan.

3. HABITAT DAN POPULASI

  Oleh : Abdullah Syarief Mukhtar, R. Garsetiasih dan Sofian Iskandar

  Habitat adalah tempat dimana suatu makhluk hidup dapat melangsungkan kehidupannya dan sangat penting bagi populasi rusa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan naungan (cover). Sebagai satwa herbivora yang memiliki habitat di padang rumput tropis maupun sub tropis, rusa timor mampu beradaptasi pada hutan pegunungan, semak belukar, dan rawa.

3.1. Habitat

  Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi, seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator. Hutan sampai ketinggian 2600 meter dpl dengan beberapa mozaik padang rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Rusa timorensis, sedangkan Rusa

  unicolor sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di hutan lahan basah atau payau.

  Habitat rusa timor di Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki vegetasi savana dengan jenis pohon

  Tamarindus indica L., Albizia lebbec L. Benth, Sterculia oblongata L., Vitex pubescens Vahl., Zizyphus celtifolia, DC., Pterospermum javanicum Jungh., Scleichera oleosa Lour, dan Callophylum soulateri Burm. Strata tajuk paling bawah pada

  ketinggian antara 3-5m terdiri dari jenis Schoutenia ovata Korth., Streblus asper Lour., Ervatania sphaerocarpa Blume,

  Strychnos lucida R.Br, Randia dumetorum Retz. Poir, Cerbera

  

manghas L., dan Alstonia spectabilis L.R.Br. Potensi sumber

  pakan di savana sangat tergantung pada perubahan musim, dimana pada musim hujan pakan berlimpah, sedangkan di musim kemarau pakan berkurang (Mukhtar, 1996).

  Ekosistem hutan rawa dan hutan mangrove di beberapa kawasan juga menjadi habitat rusa timor, namun pada beberapa daerah yang bervegetasi savana, populasi rusa lebih tinggi, sedangkan populasi yang tinggi pada ekosistem rawa terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

a. Vegetasi savana

  Penelitian vegetasi habitat pada ekosistem savana lebih ditujukan pada tumbuhan bawah yang menjadi sumber pakan. Ketersediaan jenis pakan di beberapa pulau yang telah diamati, disajikan pada Tabel 3.1.

  Komposisi pohon pada ekosistem savana dapat berfungsi sebagai pelindung di habitat rusa di Pulau Ndana, NTT (Tabel 3.2), dimana komposisi vegetasi sebagian besar merupakan jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di batu berkarang.

Tabel 3.1. Vegetasi dan sumber pakan rusa timor di pulau- pulau kecil

  Vegetasi Ekosistem Pohon Rumput Pulau Moyo 1 Tamarindus indica L.

  Ficus benyamina L. Premna corymbosa Burm. StrebIus asper Lour. Pongamia pinnata L. Pierre Albizia lebbec L. Benth Cerbera manghas L. Parasponia parvlfolia Miq. Phyllanthus emblica L. Pongamia pinnata L. Pierre Capparis sepiaria Blanco Zizyphus mauritiana Lam. Thespesia populnea L. Sol Bauhinia malabarica Roxb.

  Hibiscus tiliaceus L. Scleria lithosperma (L.) Sw. Ficus septica Burm.

  Andropogon contortus L. Eragrostis bahiensis Retz.

  Nees Andropogon fastigiatus Sw. Pulau Menipo 2 Borasus flabellifer L. Desmodium capitulum Burm.

  Microlaena stipoides Labill.

  17. Atalaya salicifolia A.DC. Blume - 2,61 6,80

  10. Kayu ular*) - 2,26 -

  11. Ficus sp. 22,62 7,85 -

  12. Didite kamba*) - 9,62 4,02

  13. Exocarpus latifolius R. Br. - 4,77 9,01

  14. Melia sp. 43,49 3,41 -

  15. Colobrina asiatica Brogn. - 2,52 3,28

  16. Bunggafui*) - 2,35 -

  18. Bunggalasi - 2,35 3,28

  6,51 44,32 63,27 rumput savana 2.063,50 ha. Kerapatan vegetasi rata-rata untuk pohon adalah 98 pohon/ha, sedangkan belta 330 individu/ha dan kerapatan semai sebesar 27.228 individu/ha. Tinggi pohon bervariasi antara 3,1-14,0 m, sedangkan diameternya 14,4-44,3 cm. Tinggi belta 2,0-4,6 m, dan diameternya 3,2-9,2 cm (Mukhtar, 1996). Komposisi seedling Pulau Moyo didominasi oleh tiga jenis tumbuhan, yaitu Strychnos lucida R.Br. (INP=39,5%),

  19. Bibilome*) - - 2,57

  20. Exocarpus latifolius R. Br. 8,29 -

  21. Faloak*) - - 4,02

  22. Vitex parviflora Juss. - - 2,56

  23. Cordoa subcordata Lamk. 13,85 - -

  24. Borrasus flabelifer L. 18,97 - -

  25. Ficus retusa L. 17,14 - -

  9. Celtis wightii planch 14,45 18,41 -

  Rouvolfia sumatrana Jack.

  R.Br Paspalum scrobiculatum L.

  Tipe vegetasi hutan di Pulau Moyo termasuk hutan musim bawah, terdiri dari pohon-pohonan, perdu atau semak belukar dan padang rumput dengan luasan vegetasi daratan sekitar 22.451 ha berupa hutan 20.387,50 ha dan padang

  Imperata cylindrica (L). P.

  Beauv Pulau Ndana 3 Borasus flabellifer L. Eragrostis uniloides Retz.

  Nees Remirea maritama Aubl.

  Pollinia fulva R.Br Indigofera glanddulosa J.C Wendel Mollugo pentaphyla L.

  Euphorbia reniformis Blume Pulau Rinca 4 Borasus flabellifer L.

  Schleicera oleosa Lour. Schoutenia ovata Korth. Heteropogon conctortus L.

  Bothriochloa glaba Roxb. Setaria adhaerens Forsk. Choris barbata Sw. 1 2 3 Sumber; Mukhtar (1996), Garsetiasih (1996), Garsetiasih et al.(1996)

Tabel 3.2. Komposisi dan Indeks Nilai Penting jenis vegetasi savana di Pulau Ndana (Garsetiasih, 1996)

  7. Terminalia catappa L. 45,39 19,24 - 8.

  Keterangan: *) = nama lokal

No. Jenis tanaman Pohon Tiang Pancang

  1. Diospyros ferrea Baks. - 52,41 80,45

  2. Diospyros philippinensis A.DC. - 28,51 37,49

  3. Schleicera oleosa Lour. 6,17 36,53 69,54

  4. Bridelia glauca Bl. - 5,03 10,90

  5. Filaa*) 24,29 15,86 2,77

  6. Pterocarpus indicus Willd. 69,96 38,68 -

  26. Gasomipomi malabarica L. 8,85 - -

  

Eupatorium pallescens DC. (INP=38,5%) dan Scleria

lithosperma Sw. (INP = 31,3%). Jenis seedling lain yang

  ditemukan di kawasan ini diantaranya adalah Streblus asper Lour., Exocarpus latifolius R. Br., Zizyphys mauritiana Lamk.,

  

Callophyllym soulatri Burm.f., Sterculia ablongata R. Br.,

Randia dumetorum Lam., Alstonia spectabilis R. Br.,

Desmodium triflorum DC., Cassia fistula L., Scleichera oleosa

  Merr., Mascarenhasia elastica Schum., Uvaria litoralis Merr.,

  

Uvaria rufa Bl. Schotenia ovata Kerth., Euodia aromatica Bl.,

Phyllanthus emblica L., Pterospermum javanicum Jungh.,

Aglaia sp. Albizia lebbec (L.) Benth., Strychnos lucida R. Br.

Antidesma bunius Spreng., Cananga odorata Lam. Hook,

Litsea sp. Erythroxylum cuneatum (Miq.) Kurz. Tingkat semai

  di savana berpotensi sebagai sumber pakan rusa. Indeks keragaman jenis seedling adalah H'=0,87, menunjuk- kan keanekaragaman yang rendah, dan labil karena terjadi gangguan berupa perubahan lingkungan yang agak ekstrim, injakan kaki rusa timor dan gangguan satwaliar lain seperti babi hutan yang mencari makan dengan mencongkel-congkel tanah.

  Komposisi hutan yang ada digambarkan dalam suatu profil diagram vegetasi di Taman Buru Pulau Moyo Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memiliki dua komunitas yaitu komunitas hutan dan padang rumput savana. Berdasarkan tumbuhan indikator, seperti Terminalia catappa L. dan Hibiscus tiliaceus L. yang termasuk ke dalam tipe hutan pantai, tetapi tumbuhan indikator tersebut berasosiasi dengan tumbuhan jenis hutan musim seperti Tamarindus indica L., Phyllanthus emblica L.,

  Scleichera oleosa Merr. dan Protium javanicum Burm.

  Komunitas padang rumput yang terletak pada ketinggian 50- 100 m dpl umumnya memiliki topografi datar dan pohon yang tumbuh terpencar sehingga tidak mengganggu pertumbuhan rumput di lantai hutan (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Profil vegetasi Taman Buru Pulau Moyo, NTB (Mukhtar, 1996)

  Fungsi pohon di habitat ini adalah sebagai tanaman peneduh dari panas dan hujan, dan beristirahat sambil memamah biak. Apabila musim kemarau, tumbuhan tersebut juga berfungsi sebagai pohon pakan yang menghasilkan buah, seperti pohon malaka Phyllanthus emblica L. dan bidara Schleicera oleosa (Lour.).

  Vegetasi pohon habitat rusa di penangkaran Ciwidey terdiri dari puspa (Schima wallichii DC), rasamala (Altingia

  

excelsa Noronha), saninten (Castanopsis javanica A.DC.),

  balakace (Vaccinium bancanum Miq.), dan (Eucalyptus

  

deglupta Blume). Selain itu terdapat juga jenis semak dan

  paku-pakuan. Vegetasi pohon berfungsi sebagai tempat bernaung, sedangkan yang dijadikan sebagai habitat pakan rusa adalah padang rumput (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Padang rumput sebagai habitat pakan rusa

  Pulau kecil yang didominasi savana juga terdapat formasi hutan pantai dan mangrove sebagaimana Pulau Menipo atau di kawasan rawa dan savana yang menyatu dengan ekosistem pantai seperti di Taman Nasional Rawa Aopa, dimana terdapat savana, lontar dan mangrove. Habitat preferensi rusa dalam memanfaatkan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 3.3, yaitu pemanfaatan vegetasi savana dan habitat preferensi rusa timor di TWA P. Menipo (Garsetiasih, 1996).

Tabel 3.3. Aktivitas pemanfaatan vegetasi habitat rusa di

  TWA. Pulau Menipo

  Aktivitas rusa (%) No. Vegetasi Makan Gerak Istirahat

  

1. Lontar 27,97 48,87 23,16

  2. Savana 57,71 33,02 9,27

  

3. Cemara 15,32 68,15 16,46

  

4. Mangrove 53,73 46,44

b. Vegetasi hutan alam

  Habitat rusa di Jawa pada umumnya hampir sama dengan habitat herbivora lain, seperti banteng di Taman Nasional Meru Betiri. Jenis tumbuhan yang dominan di habitat banteng ada 10 jenis pohon berdiameter lebih besar dari 20 cm dengan variasi Indeks Nilai Penting 8,1-28,5% (Tabel 3.4).

  Pers.

  tinggi (INP 67,9%) kemudian sentul 24,2% dan bungur 22,5% (Tabel 3.5).

  

ovalis Miq.) dengan INP 0,5% di pantai, dominansi besule lebih

  Sedangkan jenis yang memiliki INP terendah yaitu kedondong hutan (Spondias cytherea Sonn.) dan cempaka (Elmerrillia

  

R.Br) merupakan jenis kedua dominan dengan INP 20%.

  Besule (Chydenanthus excelsus Blume) dengan INP tertinggi (28,5%) dan jenis wining (Pterocybium javanicum

  9. Dao Dracontomelon mangiferum Blume 8,9

  9,9

  8. Sentul Sandoricum koetjape Merr.

  11,9

  

6. Benda Artocarpus elasticus Reiwn. 12,1

7. Bungur Lagerstroemia speciosa L.

  Jenis pohon tersebut merupakan habitat banteng yang juga dimanfaatkan oleh rusa baik sebagai tempat berteduh dan beristirahat maupun sebagai pohon pakan.

  Beauv 13,6

  

4. Berasan Cleidion javanicum Blume 16,0

5. Ky Kas Spathodea campanulata P.

  

3. Gondang Ficus variegata Blume 16,3

  2. Wining Pterocybium javanicum R.Br 20,0

  28,5

  1. Besule Chydenanthus excelsus

(Blume) Miers.

  INP (%)

  No. Nama Daerah Nama Botani

  (Garsetiasih, et al., 2006)

Tabel 3.4. Jenis pohon dominan di TN. Meru Betiri

10. Glintungan Bischoffia javanica Blume 8,1

c. Hutan produksi

  Pengelolaan populasi rusa timor di hutan produksi alam maupun HTI didukung oleh penetapan wilayah konservasi di dalam kawasan hutan produksi atau Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) seluas 100-300 ha, untuk melindungi keberadaan plasma nutfah dan untuk tujuan pendidikan. Lokasi atau wilayah konservasi harus jauh dari pemukiman, aksesibilitas mudah, terletak di hutan primer dan merupakan teritorial satwaliar. Di samping itu pengelola harus bertanggungjawab terhadap pemagaran, inventarisasi, penanaman pohon pakan, dan perlindungan dari perburuan liar. Landskap KPPN dihubungkan dengan kawasan koridor termasuk sempadan sungai, areal bekas tebangan, danau, padang rumput dan pantai yang merupakan habitat rusa untuk berkembangbiak sedangkan koridor sebagai habitat untuk mencari pakan, minum dan aktivitas lainnya (Mukhtar dan Sawitri, 1998) .

Tabel 3.5. Beberapa jenis pohon pada perbatasan per- kebunan dan pantai habitat rusa di TN. Meru Betiri

  No. Nama Daerah Nama Botani

  INP (%)

  

1. Besule Chydenanthus excelsus 67,9

(Blume) Meirs

Sandoricum koetjape Merr.

  

2. Sentul 24,2

  

3. Bungur Lagerstroemia speciosa 22,5

(L). Pers.

  

4. Sapen Pometia tomentosa Blume 16,3

  

5. Benda Artocarpus elasticus 14,5

Reinw.

  

6. Wiyu Garuga floribunda Decne 11,5

  

7. Dao Dracontomelon 11,5

mangiferum Blume

  

8. Glintungan Bischoffia javanica Blume 11,4

  

9. Jambu hutan Eugenia densiflora Blume 11,2

  Kawasan hutan Baturraden merupakan hutan produksi terbatas yang dikelola oleh PT. Perhutani Unit I Jawa Tengah yang akan direncanakan pembangunan penangkaran rusa. Setelah dilakukan pengamatan, ternyata lokasi yang layak dijadikan sebagai penangkaran rusa adalah petak 6 D (Garsetiasih, 2006), karena di petak tersebut terdapat habitat yang dibutuhkan oleh rusa, kondisi fisik kawasan untuk dikelola dan rusa mudah dimonitor. Selain itu, letaknya berdampingan dengan lokasi Kebun Raya Baturraden sehingga apabila dibangun penangkaran rusa pada lokasi tersebut, diprediksikan akan meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung.

  Jenis tanaman yang mendominasi petak 6 D secara berurutan yaitu damar (Agathis dammara Lamb.), puspa (Schima wallichii DC.), eucaliptus (Eucalyptus alba Reinw.) dan pulai (Alstonia scholaris L.R. Br). Hasil analisis vegetasi dan potensinya dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Komposisi tegakan hutan tanaman di petak 6D hutan Baturraden

  No. Jenis Tanaman K F D

INP H'

  

1 Damar (Aghatis loranthifolia Salisb.) 206.8 1.00 10.58 216.6 0.10

  

2 Puspa (Schima wallici DC.) 30.4 0.54 1.38 51.0 0.13

  

3 Eucaliptus (Eucalyptus alba Reiwn.) 11.5 0.35 0.94 30.2 0.10

  4 Pulai (Alstonia scholaris L.R.Br) 0.7 0.03 0.07

  2.2

  0.02 J u m l a h 249.3 1.92 12.98 300.0 0.35

  Kawasan hutan Baturraden merupakan hutan produksi terbatas jenis damar sehingga pohon tersebut ditanam dengan kerapatan tinggi. Tegakan pohon dengan kerapatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk rusa sebagai tempat bernaung, karena rusa sangat memerlukan naungan dalam menjalankan aktivitas hariannya.

  Sebagai perbandingan di Hutan Penelitian (HP) Haurbentes Jasinga, Bogor yang kawasan hutannya didominasi oleh jenis pohon meranti (Shorea sp.) dan puspa (Schima wallici DC.) dengan kerapatan yang relatif tinggi (400 pohon/ha), rusa dapat ditangkarkan dan dapat berreproduksi dengan baik. Setiap tahun rusa betina dewasa dapat menghasilkan anak dengan lama bunting antara 7-8 bulan.

d. Hutan rawa dan mangrove

  Habitat rusa timor di Pulau Menipo, NTT terdiri dari vegetasi hutan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora

  

mucronata Lam., Bruguiera parviflora Roxb. dan Sonneratia

alba L. (Sutrisno, 1993). Sedangkan Cagar Alam Selat

  Sebuku yang bervegetasi mangrove didominasi oleh jenis

  

Bruguiera parviflora Roxb. (INP = 61,00), selanjutnya jenis-

  jenis tanaman lainnya adalah Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam., Rhizophora mucronata Lam., Rhizophora apiculata Blume, Bruguiera sexangula Lour., dan Ceriops roxburghiana Arn. (Mukhtar, 1990).

  Habitat rusa timor cukup bervariasi seperti hutan dataran rendah terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau dengan tanah relatif tidak berlumpur dalam, hutan peralihan antara hutan bakau dan savana yang tidak terpengaruh oleh pasang surut, padang rumput dan rawa. Padang rumput atau lapangan terbuka yang berpasir dan berlumpur liat setebal 2-5 cm yang digunakan sebagai tempat bermain, istirahat, dan kawin telah ditemukan rusa sebanyak 3-7 individu dalam sehari (Bismark et al., 1997). Hutan bakau di TN. Rawa Aopa Watumohai didominasi oleh Ceriops tagal (Perr.), Rhizopora apiculata (Blume.), Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam., Xylocarpus granatum K.D. Koenig, Rhizophora

  

stylosa L., Kandelia candel L., Lumnitzera littorae L.,

Scyphyphora hydrophyllacea Lam., Acrostichum aureum

  Linn., Pandanus tectorius Parkinson, dan Nypa fruticans Wrumb. dengan lebar berkisar 20-75 m, merupakan tempat rusa mencari pakan, beristirahat, dan menggaram atau

  

ngasin. Hutan bakau lebih disukai rusa apabila didalamnya

  mengalir sungai atau riverine mangrove forest. Sedangkan kompleks hutan yang berbatasan dengan hutan bakau digunakan sebagai tempat mencari pakan, beristirahat dan tidur. Hutan ini ditumbuhi oleh Corypha utan Lam., Bambusa

  

spinosa Rozb., Acrostichum aureum Linn. dan Eupathorium

  spp. Habitat rusa di Sulawesi Tenggara adalah rawa yang juga mempunyai peranan penting sebagai habitat anoa untuk minum dan mencari pakan jenis ganggang. Savana di TN Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Rg. Amolengo merupakan tempat mencari pakan, bermain, kawin, berendam, dan berkubang.

3.2. Daya dukung habitat

a. Produktivitas tumbuhan pakan di kawasan hutan

  Penelitian produktivitas tumbuhan pakan rusa di habitat alami dilakukan untuk menentukan daya dukung habitat terhadap populasi dan untuk menentukan arah pengelolaan habitat serta sebagai pembanding apabila kondisi tersebut diaplikasikan di areal penangkaran berupa ranch. Beberapa hasil penelitian produktivitas tumbuhan sumber pakan rusa telah dilakukan di beberapa tempat, yaitu di vegetasi savana dan hutan tanaman, di hutan savana pulau kecil seperti di Pulau Ndana, NTT.

  Keragaman jenis tumbuhan di Pulau Ndana merupa- kan jenis hijauan pakan rusa timor dengan biomassa masing- masing jenis disajikan dalam Tabel 3.7 (Garsetiasih, 1996).