Resensi buku Peradilan Agama dalam Polit (1)
PERADILAN AGAMA DALAM POLITIK HUKUM DI
INDONESIA
Dari Otoriter Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif
BIBLIOGRAFI
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam
Disusun Oleh :
Fariq Al Faruqie
12350011 / AS-a
(085776422025)
Dosen :
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag.
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
1
A. IDENTITAS BUKU
Judul Buku
: Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia
Penulis
: Abdul Halim
Cetakan
: I ( pertama )
Penerbit
: PT. Raja Grafindo Persada
Tahun Penerbitan
: 2000
B. Sistematika
Buku karangan Abdul Halim ini didahului dengan satu tulisan yang
diberi tema dengan Politik Islam Penguasa sebuah Pengantar ke Politik
Hukum Islam di Indonesia. Setelah itu Pendahuluan yang mengetengahkan
hubungan institusi keagamaan dengan dinamika politik, di susul dengan
teoritisasi politik hukum yang menjelaskan konfigurasi politik dan karakter
produk hukum. Uraian ini menjelaskan kerangka piker dalam melihat
konfigurasi politik dan produk hukum. Diikuti pula dengan mengedepankan
perkembangan studi politik hukum Islam di Indonesia, pendekatan studi dan
susunan buku.
Pada Bab II mengedepankan perkembangan Peradilan Agama yang
ditulis dengan subbab Peradilan Agama dalam masyarakat muslim Indonesia,
istilah-istilah Peradilan Agama, perkembangan Peradilan Agama di masa
kesultanan Islam, Peradilan Agama masa kolonial Belanda, Peradilan Agama
masa pendudukan Jepang dan Peradilan Agama pasca kemerdekaan.
Bab III menjelaskan konfigurasi politik rezim Soeharto dengan
menjelaskan selintas rezim Orde Baru, perspektif pembangunan hukum,
perkembangan konfigurasi politik dan identifikasi perpolitikan Orde Baru.
Bab IV membahas pergumulan politik hukum rezim Orde Baru dengan
sub bahasan pergumulan mazhab pemikiran. Implementasi pergumulan dalam
produk hukum, konfigurasi politik hukum di Indonesia, Peradilan Agama
2
Pasca UU Nomor 35 Tahun 1999. Sedangkan sebagai penutup tulisan pada
Bab V dikedepanan tema menuju konfigurasi politik demokratis-responsif.
C. Pendahuluan
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan
dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa didukung oleh politik sulit
digali (Ijtiihad istambathi) dan diterapkan (Ijtihad Tathbiqy). Politik yang
mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.
Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam
diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, maka
semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.
Saat umat Islam kuat secara politik, dengan
City State Madinah1,
hukum Islam dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman Negara.
Negara Madinah dengan Piagam Madinah (Shahifah), malah tidak disebut
sebagai Negara Islam. Namun, konstitusi Negara tersebut, sanggup
mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Konstitusi
Madinah membangun etika kehidupan masyarakat yang cukup modern dengan
prinsip bertetangga baik, saling membantu, membela yang tertindas, saling
konsultasi / musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama.
Negara Madinah membuktikan, kepentingan umat Islam dan non-Muslim
terpenuhi oleh Negara tersebut tanpa ada deskriminasi terhadap golongan
tertentu. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW ditopang oleh tiga kata kunci,
yaitu konstitusi yang baik dan pemerintahan legitimate serta pelaksanaan
hukum yang baik.
Suatu institusi keagamaan atau kemasyarakatan sulit dipahami tanpa
mengaitkan dengan perkembangan situasi social politikyang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Karena setting social politk ikut memberikan
bentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institute. Hal yang sama
juga ikut berlaku dan berpengaruh terhadap pranata social lainnya.
1 Muhammam Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta:
Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), hlm. 218.
3
Perjalanan sejarah lembaga keagamaan, khususnya peradilan agama
Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara
terus-menerus ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusi hukum
islam, yang terkadang memihak dan menguntungkan kelangsungan institusi
ini dan tidak jarangpula merugikannya.maka yang terjadi adalah gelombang
pasang surut institusi peradilan islam (al-Qadla fi al-Islam) di Indonesia,
seiring dengan pasang surut peran politik umat Islam.
Tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan
umat islam tercipta disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak
motivasi politik pemerintah yang ada menciptakan Legal Policy yang
mengedepankan nilai-nilai sekularisme, dengan dalih hukum islam tidak
relevan dengan kondisi social serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk
dan diarahkan kepada pengurangan peran hukum agama.
D. Deskripsi Buku
1. Bab I
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan:
1
Peradilan Umum,
2
Peradilan Agama,
3
Peradilan
Militer, dan 4Peradilan Tata Usaha Negara2.
Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyeleseikan perkara-perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan
hukum dan keadilan.3 Perkara-perkara tertentu ini adalah perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, ekonomi syari’ah, wakaf dan sadaqah yang
dilakukan berdasarkan hukum islam.4
Politik hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia. Adapun
konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai susunan atau konstelasi
2Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 10 ayat (1).
3 Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hlm. 36.
4 UUPA Nomor 7 tahun 1989 Pasal 49 ayat (1).
4
kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.5
Dalam menentukan karakter produk hukum masa Orde Baru yang
dijadikan sebagai studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang
digunakan oleh Moh. Mahfud. Ada dua karakter produk hukum:
a. Produk Hukum Responsif / Populistik
Produk hukum responsive / populistik adalah produk hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat.
b. Produk Hukum Konservatif / Ortodoks / Elitis
Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi social elite
politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat
positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideology
dan program Negara. Berlawanan dengan hukum responsive,
hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan
kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam
pembuatannya peranan dan partisipasi relative kecil.
2. Bab II
Peradilan adalah salah satu pranata (institusi) dalam memenuhi
hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Sedang pengadilan merupakan satuan organisasi (institute) yang
menyelenggarakan penegak hukum dan keadilan tersebut.6
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum islam (fiqh)
menggunakan istilah al-qadla’ untuk peradilan, mahkamah al-qadla’ bagi
pengadilan, dan qadli untuk hakim.
Kualifikasi tertentu dan syarat-syarat minimal yang harus ada pada
seorang hakim adalah; Pertama, memiliki pengetahuan tentang istimbath
tathbiqy dan bagaimana menerapkan produk hukum syar’i serta
mengetahui adat kebiasaan masyarakat. Kedua, hakim harus bisa
mengambil sikap menentukan (tarjih), bukti mana dan argumentasi yang
kuat diantara bukti-bukti yang diajukan di muka persidangan oleh kedua
hlm. 9.
5 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998),
6
Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia, hlm. 36.
5
belah
pihak
yang
berperkara.
Ketiga,
mengetahui
dasar-dasar
pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan.
Sebelum ada penyeragaman nama, peradilan agama sering pula
disebut dengan Mahkamah Syar’iyah, artinya pengadilan atau mahkamah
yang menyeleseikan perselisihan hukum agama atau syara’.7 Istilah
Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 1989; “bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama islam”.8
Untuk memberi gambaran tentang posisi lembaga peradilan agama
di Indonesia orang harus memperhatikan masalah hukum Islam di
Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting yaitu masa sebelum
penjajahan yakni masa kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa
kemerdekaan .
Sebenarnya sebelum Islam dating ke Indonesia, di negeri ini telah
dijumpai dua macam peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan
Padu. Peradilan pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi
urusan raja sedangka
peradilan padu mengurus masalah yang tidak
menjadi wewenang raja.9 Peradilan Agama dalam bentuk yang dikenal
sekarang ini merupakan mata rantai tidak terputus dari sejarah masuknya
agama islam.10
a. Masa Kesultanan Islam
Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, Indonesia
terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Maka dengan penerimaan Islam
dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan
diangkat oleh sultan atau imam.
Pada periode ini pihak kerajaan Islam mempunyai pembantu
jabatan agama dalam system pemerintahannya. Misalnya di tingkat
desa ada jabatan agama yang disebut Kaum, Kayim, Modin, dan Amil.
Ditingkat kecamatan disebut Penghulu Naib. Ditingkat kabupaten ada
7 Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 15.
8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 1 ayat (1).
9 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Pradnya Paramita,
1977), hlm. 17.
10 Sharon Shiddieque, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
(Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 208.
6
Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang
berfungsi sebagai hakim atau qadli yang dibantu beberapa penasihat
yang kemudian disebut Pengadilan Surambi.
b. Masa Kolonial Belanda
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam Politiek) di
Indonesia, Islam mendapat tempat dalam berbagai kehidupan
masyarakat muslim di belahan nusantara ini. Islam menjadi pilihan
bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan
keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Namun, keadaan ini
kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat
yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan
sampai misi kristenisasi.
Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan
kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Misi VOC sebagai
perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi,
Pertama, sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah.
Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC
menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Di
daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial
akhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara
mulus berjalan, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.
Atas dassar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembagalembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana
sebelimnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari
perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari. Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku
sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Hukum
Keluarga Islam, perkawinan, waris, dan wakaf.11
212.
11Mohammad Daud Ali, Kedudukan Islam, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm.
7
c. Masa Jepang
Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang
(1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi
pengadilan agama. Karena berdasarkan peraturan yang dikeluarkan
Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.1 tahun 1942
menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua
undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan
yang lama dianggap masih berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan
selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara
Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan,
kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir
Januari 1945 pemerintahan Bala Tentara Jepang mengajukan
pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung dalam rangka maksud
Jepang akan memberikan kemerdekaaan kepada bangsa Indonesia,
yaitu bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara
mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama
dalam Negara Indonesia Merdeka kelak. Pada 14 April 1945 Dewan
memberi jawaban sebagai berikut; dalam Negara baru yang
memisahkan urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu
mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk
mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya
cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat
minta pertimbangan seorang ahli agama.12
Selain itu pada masa ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan
untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari
Soepomo, penasihat departemen kehakiman ketika itu dan ahli hukum
adat. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang pengadilan
agama itu diabaikan oleh Jepang, karena khawatir akan menimbulkan
12 Zuffran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Departemen
Agama RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999), hlm. 19.
8
protes dari umat Islam.13 Jepang lebih memilih untuk tidak ikut campur
soal urusan agama umat.
d. Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri
Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan
bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian
Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah
nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.
Sebelum merdeka pegawai pengadilan agama dan hakim tidak
mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka setelah
merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh
pemerintah. Sejalan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
dasar dari wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku
sebagaimana sebelum proklamasi.
Selama revolusi fisik, pada umumnya tidak ada perubahan
tentang dasar peraturan peradilan agama secara principal, selain usahausaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Akan tetapi terdapat
beberapa hal yang perlu dicermati pada masa revolusi fisik ini, yaitu :
- Pertama, keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan
-
nikah, talak, dan rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu.
Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947
tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari
penghulu Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara
Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pegawai Pencatat Nikah dan
urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai
-
ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadi Hakim Syar’i.
Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah
dinyatakan berlaku. Isinya antara lain dihapuskannya susunan
pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum
yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di
pengadilan negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang
13 Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Press, 1983), hlm. 87.
9
hakim ahli agama disamping hakim yang beragama islam sebagai
-
ketua.
Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat NO. Rec. WJ 229/72
tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam
Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 tahun 1948 nomor 25,
dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang
dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan
Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht.
3. Bab III
Orde Baru adalah tatanan pemerintahan Negara Republik Indonesia
yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan
Soeharto,
setelah
keruntuhan
rezim
Soekarno
dengan
demikrasi
terpimpinnya yang bercorak otoritarian.14 Sebagai tonggak awal kelahiran
orde baru dapat dikatakan dimulai dengan adanya penyerahan Surat
Perintah 11 Maret 1966 (supersemar) kepada Soeharto oleh Presiden
pertama Soekarno.
Orde Baru muncul dengan mengibarkan semangat, melahirkan
semngat baru dan tekad yang baru pula. Pemerintahan ini menobatkan diri
sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim
orde lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi
UUD 1945 dan Pancasila. Tekad ini ditegaskan Soeharto selaku pejabat
Presiden dihadapan siding pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DRD-GR) pada awal lahirnya Orde Baru, yang berisi
mempertahankan, memurnikan wujud dan pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945.
Pada awal masa Orde Baru merupakan masa-masa yang sangat
sulit bagi umat Islam, dimana Islam dianggap sebagai kekuatan yang
membahayakan stabilitas dan keamanan Negara. Meski pada paruh
terakhir terjadi akomodasi antara Islam dan Negara.
Didalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah Rechsstaat,
namun konsep Rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukan
14 Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, hlm. 196.
10
konsep Negara Barat (Eropa Continental) dan pula konsep rule of law dari
Anglo-Saxon, melankan konsep yang bercirikan: 1adanya hubungan yang
erat antara agama dan Negara, 2bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
3
kebebasan agama dalam arti positif,
4
ateisme tidk dibenarkan dan
komunisme dilarang, serta 5asas kkeluargaan dan kerukunan. Sementara
Negara hukum yang dimaksud mempunyai unsur pokok yaitu Pancasila,
MPR, system konstitusi, persamaan dan peradilan bebas.15
Adapun model-model perpilitikan yang ada pada masa rezim
pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut:
a. Beamtenstaat dan Negara Pasca Kolonial
b. Politik Birokratis
c. Patrimonialisme Jawa
d. Korporatisme
e. Rezim Otoriter Birokrat
f. Paham Integralistik
4. Bab IV
Indonesia adalah wilayah yang dihuni berbagai kelompok etnik,
social, agama, dan kultur yang masing-masingnya mempunyai tanggung
jawab moral untuk mempertahankan norma dan pandangan hidup mereka
(Bhineka Tunggal Ika). Ikatan dalam satu kesatuan yang diikat oleh
semboyan itu tidak berarti secara pemikiran dan ideologis mudah
dipersatukan, terutama persoalan pergumulan pemikiran hukum di
Indonesia.
Pluralisme dan dualisme hukum adalah permasalahan yang sering
menjadi ganjalan bagi reformasi hukum. Masih kuatnya tingkat
ketergantungan pada produk hukum terlihat dari beberapa peraturan
perundangan yang masih diambil dari warisan penjajahan Belanda.
Konsekuensi dari sikap ini dibuktikan dengan terjadinya pengelompokan
hukum yakni:
1
adanya kelompok pembela hukum adat,
2
kelompok
pembela hukum Islam, dan 3kelompok pembela warisan hukum Belanda.16
15 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hlm. 38-44.
16 Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for
Strategic and International Studies, 1982), hlm. 6.
11
Upaya pencapaian konfigurasi politik yang demokratis dengan
produk hukum yang responsive, menjadi suatu keharusan untuk
menciptakan situasi yang demokratis dengan melibatkan banyak kelompok
masyarakat, partai politik, dan kelompok lainnya dalam masyarakat.
Dalam kerangka politik hukum, maka perubahan konfigurasi politik yang
responsive terhadap urusan lembaga keagamaan seperti Peradilan Agama
sangat tergantung dari kemauan politik pemerintah serta peran akitif dari
wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat.
Adanya konsep Negara kesatuan mendorong para pemimpin
Indonesia semenjak awal kemerdekaan cenderung pada usaha unifikasi
hukum. Dengan unifikasi mempermudah usaha menuju modernisasi.
Dalam realitasnya, berkaitan dengan kebutuhan lain, yakni ingin
menyingkirkan spirit hukum kolonial. Akan tetapi menyingkirkan secara
total hukum warisan kolonial merupakan pekerjaan yang berat, bagi suatu
Negara yang majemuk, seperti Negara Indonesia.
Di Indonesia, akomodasi antara Negara dan Islam dapat dilihat
dalam kasus Pengadilan Agama. Semenjak kemerdekaan, evolusi system
pengadian ini sedikit banyak telah merefleksikan hasil pergumulan antara
kelompok nasionalis, yang mewakili kekuatan Negara, dan kelompok
muslim. Melalui pemikiran intelektualisme Islam pada tahun 1970-an,
akhirnya muncul kesepahaman antara Negara dan Islam. Maka pada
hubungan akomodatif inilah kebijakan politik hukum Islam Orde Baru
semakin aspiratif, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.
Selama periode pemerintahan Orde Baru telah melahirkan
beberapa produk hukum dalam bentuk Undang-undang yang berhubungan
dengan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, diantaranya yaitu:
- Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
-
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di bawah hirarki Undang-undang tersebut terdapat pula peraturan
perundangan yang mendukung, diantaranya adalah:
12
-
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam
Dalam perspektif produk hukum, terdapat ada dua proses politik
dalam suatu masyarakat untuk pembangunan hukum17, yaitu: Pertama,
produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan
hukum yang dapat disebut ortodoks, dan demikian hukum menjadi
tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk
hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum
memantulkan persepsi social para pengambil kebijakan.
Menurut
Munawir
Sjadzali
setidaknya
ada
tiga
mazhab
pemahaman terhadap hubungan antara agama dan Negara,18 yaitu:
-
Pertama, aliran berpendirian bahwa agama serba sempurna dan tidak
-
terpisah dari Negara.
Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
-
barat, yang tidak ada hubungannyadengan urusan agama.
Ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam islam terdapat system ketatanegaraan. Aliran
ini juga menolak pendapat mazhab kedua diatas. Mazhab ini
berpendirian bahwa dalam Islam terdapat seperangka tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara.
Implikasi dari tiga mazhab pemikiran diatas, maka menurut Ahmad
Fedyani Saufuddin, ada tiga kemungkinan scenario politik keagamaan,
yaitu19:
-
Agama dan Negara terpisah satu sama lain.
17 Abdul Karim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta:
Yayasan LBM, 1988), hlm. 37-38.
18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 1-2.
19 Achmad Fedyani Sifuddin, Agama dalam Politik Keseragaman: Suatu
Refleksi Kebijakan Keamanan Orde Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI
BAdan Penelitian dan Pengembangan Agama,2000), hlm. 5-6.
13
-
Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam
-
pengertian bahwa agama memberi corak dominan atas Negara.
Agama ditempatkan dalam suatu system Negara yang mengutamakan
harmoni dan keseimbangan.
5. Bab V
Studi ini berupaya membuktikan bahwa hubungan antara
konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilakn tesis bahwa
setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik
yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi
politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Semakin
demokratis suatu rezim, semakin responsive dan aspiratif produk hukum
yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu, setiap perundangan dan
hukum yang berkarakter responsive atau populistik seirama dengan tingkat
pelaksanaan demokratis dan penghargaan terhadap upaya demokratisasi
dalam kehidupan politik.
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang
surut dan pasang naik secara bergantian antara demokratis dan otoriter
atau demokratis dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan
kecenderungan linear. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter
produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang
berkarakter konservatif dengan kecenderungan yang sama.
E. Sasaran Pembaca
Adapun yang menjadi segmentasi / sasaran pembaca dari buku ini secara
khusus adalah orang-orang Fakultas Hukum yang terdiri dari mahasiswa dan
dosen, advokat, hakim, maupun jaksa. Dan secara umum ditujkan kepada
msyarakat umum guna menambah wawasan terkait Peradilan Agama dalam
politik Hukum di Indonesia.
F. Kelebihan Buku
Setelah membaca buku karangan Abdul Halim yang berjudul Peradilan
Agama dalam Politik Hukum di Indonesia
ini, penyusun menemukan
beberapa kelebihan dari buku ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
14
1.
2.
3.
4.
Telah tersusun secara sistematis
Bahasanya mudah dimengerti
Penjelasannya sangat rinci
Terdapat lampiran-lampiran
terkait
Undang-undang
yang
berhubungan dengan pembahasan dalam buku.
G. Kekurangan Buku
Tiada gading yang tak retak, begitu pula tidak ada karya yang tidak
memiliki kekurangan. Maka kekurangan yang penyusun dapatkan dari buku
karangan Abdul Halim ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya indeks terkait kata-kata yang tidak dapat dimengerti
secara seketika.
2. Kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca khususnya para
pemula sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang tidak
tersampaikan pada pembaca.
H. Kritik
Berdasarkan dari kekurangan diatas maka penyusun memberikan saran
guna memberikan dampak positif bagi kita semua di waktu yang akan datang,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan indeks dalam buku sehingga mempermudah pembaca
dalam memahami kata-kata yang sulit dimengerti
2. Dalam memberikan pemahaman sekiranya diperhatikan juga bahwa
tidak semua yang membaca buku ini adalah orang yang berwawasan
melainkan orang awampun (pemula) juga membaca buku ini.
I. Refrensi
Ali, Mohammad Daud, Kedudukan Islam, Jakarta: LP3ES, 1988.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum,Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
Bandung: Rosdakarya, 1997.
Haikal, Muhammam Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya
dan Tintamas, 1982.
MD, Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.
15
Noeh, Zaini Ahmad, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Nusantara, Abdul Karim G, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan LBM,
1988.
Sabrie, Zuffran, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999.
Shiddieque, Sharon, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:
LP3ES, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI-Press, 1993.
Subekti, Law in Indonesia, Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and
International Studies, 1982.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, 1977.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
UUPA Nomor 7 tahun 1989
16
INDONESIA
Dari Otoriter Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif
BIBLIOGRAFI
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam
Disusun Oleh :
Fariq Al Faruqie
12350011 / AS-a
(085776422025)
Dosen :
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag.
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
1
A. IDENTITAS BUKU
Judul Buku
: Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia
Penulis
: Abdul Halim
Cetakan
: I ( pertama )
Penerbit
: PT. Raja Grafindo Persada
Tahun Penerbitan
: 2000
B. Sistematika
Buku karangan Abdul Halim ini didahului dengan satu tulisan yang
diberi tema dengan Politik Islam Penguasa sebuah Pengantar ke Politik
Hukum Islam di Indonesia. Setelah itu Pendahuluan yang mengetengahkan
hubungan institusi keagamaan dengan dinamika politik, di susul dengan
teoritisasi politik hukum yang menjelaskan konfigurasi politik dan karakter
produk hukum. Uraian ini menjelaskan kerangka piker dalam melihat
konfigurasi politik dan produk hukum. Diikuti pula dengan mengedepankan
perkembangan studi politik hukum Islam di Indonesia, pendekatan studi dan
susunan buku.
Pada Bab II mengedepankan perkembangan Peradilan Agama yang
ditulis dengan subbab Peradilan Agama dalam masyarakat muslim Indonesia,
istilah-istilah Peradilan Agama, perkembangan Peradilan Agama di masa
kesultanan Islam, Peradilan Agama masa kolonial Belanda, Peradilan Agama
masa pendudukan Jepang dan Peradilan Agama pasca kemerdekaan.
Bab III menjelaskan konfigurasi politik rezim Soeharto dengan
menjelaskan selintas rezim Orde Baru, perspektif pembangunan hukum,
perkembangan konfigurasi politik dan identifikasi perpolitikan Orde Baru.
Bab IV membahas pergumulan politik hukum rezim Orde Baru dengan
sub bahasan pergumulan mazhab pemikiran. Implementasi pergumulan dalam
produk hukum, konfigurasi politik hukum di Indonesia, Peradilan Agama
2
Pasca UU Nomor 35 Tahun 1999. Sedangkan sebagai penutup tulisan pada
Bab V dikedepanan tema menuju konfigurasi politik demokratis-responsif.
C. Pendahuluan
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan
dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa didukung oleh politik sulit
digali (Ijtiihad istambathi) dan diterapkan (Ijtihad Tathbiqy). Politik yang
mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.
Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam
diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, maka
semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.
Saat umat Islam kuat secara politik, dengan
City State Madinah1,
hukum Islam dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman Negara.
Negara Madinah dengan Piagam Madinah (Shahifah), malah tidak disebut
sebagai Negara Islam. Namun, konstitusi Negara tersebut, sanggup
mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Konstitusi
Madinah membangun etika kehidupan masyarakat yang cukup modern dengan
prinsip bertetangga baik, saling membantu, membela yang tertindas, saling
konsultasi / musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama.
Negara Madinah membuktikan, kepentingan umat Islam dan non-Muslim
terpenuhi oleh Negara tersebut tanpa ada deskriminasi terhadap golongan
tertentu. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW ditopang oleh tiga kata kunci,
yaitu konstitusi yang baik dan pemerintahan legitimate serta pelaksanaan
hukum yang baik.
Suatu institusi keagamaan atau kemasyarakatan sulit dipahami tanpa
mengaitkan dengan perkembangan situasi social politikyang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Karena setting social politk ikut memberikan
bentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institute. Hal yang sama
juga ikut berlaku dan berpengaruh terhadap pranata social lainnya.
1 Muhammam Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta:
Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), hlm. 218.
3
Perjalanan sejarah lembaga keagamaan, khususnya peradilan agama
Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara
terus-menerus ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusi hukum
islam, yang terkadang memihak dan menguntungkan kelangsungan institusi
ini dan tidak jarangpula merugikannya.maka yang terjadi adalah gelombang
pasang surut institusi peradilan islam (al-Qadla fi al-Islam) di Indonesia,
seiring dengan pasang surut peran politik umat Islam.
Tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan
umat islam tercipta disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak
motivasi politik pemerintah yang ada menciptakan Legal Policy yang
mengedepankan nilai-nilai sekularisme, dengan dalih hukum islam tidak
relevan dengan kondisi social serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk
dan diarahkan kepada pengurangan peran hukum agama.
D. Deskripsi Buku
1. Bab I
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan:
1
Peradilan Umum,
2
Peradilan Agama,
3
Peradilan
Militer, dan 4Peradilan Tata Usaha Negara2.
Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyeleseikan perkara-perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan
hukum dan keadilan.3 Perkara-perkara tertentu ini adalah perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, ekonomi syari’ah, wakaf dan sadaqah yang
dilakukan berdasarkan hukum islam.4
Politik hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia. Adapun
konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai susunan atau konstelasi
2Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 10 ayat (1).
3 Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hlm. 36.
4 UUPA Nomor 7 tahun 1989 Pasal 49 ayat (1).
4
kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.5
Dalam menentukan karakter produk hukum masa Orde Baru yang
dijadikan sebagai studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang
digunakan oleh Moh. Mahfud. Ada dua karakter produk hukum:
a. Produk Hukum Responsif / Populistik
Produk hukum responsive / populistik adalah produk hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat.
b. Produk Hukum Konservatif / Ortodoks / Elitis
Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi social elite
politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat
positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideology
dan program Negara. Berlawanan dengan hukum responsive,
hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan
kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam
pembuatannya peranan dan partisipasi relative kecil.
2. Bab II
Peradilan adalah salah satu pranata (institusi) dalam memenuhi
hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Sedang pengadilan merupakan satuan organisasi (institute) yang
menyelenggarakan penegak hukum dan keadilan tersebut.6
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum islam (fiqh)
menggunakan istilah al-qadla’ untuk peradilan, mahkamah al-qadla’ bagi
pengadilan, dan qadli untuk hakim.
Kualifikasi tertentu dan syarat-syarat minimal yang harus ada pada
seorang hakim adalah; Pertama, memiliki pengetahuan tentang istimbath
tathbiqy dan bagaimana menerapkan produk hukum syar’i serta
mengetahui adat kebiasaan masyarakat. Kedua, hakim harus bisa
mengambil sikap menentukan (tarjih), bukti mana dan argumentasi yang
kuat diantara bukti-bukti yang diajukan di muka persidangan oleh kedua
hlm. 9.
5 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998),
6
Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia, hlm. 36.
5
belah
pihak
yang
berperkara.
Ketiga,
mengetahui
dasar-dasar
pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan.
Sebelum ada penyeragaman nama, peradilan agama sering pula
disebut dengan Mahkamah Syar’iyah, artinya pengadilan atau mahkamah
yang menyeleseikan perselisihan hukum agama atau syara’.7 Istilah
Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 1989; “bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama islam”.8
Untuk memberi gambaran tentang posisi lembaga peradilan agama
di Indonesia orang harus memperhatikan masalah hukum Islam di
Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting yaitu masa sebelum
penjajahan yakni masa kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa
kemerdekaan .
Sebenarnya sebelum Islam dating ke Indonesia, di negeri ini telah
dijumpai dua macam peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan
Padu. Peradilan pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi
urusan raja sedangka
peradilan padu mengurus masalah yang tidak
menjadi wewenang raja.9 Peradilan Agama dalam bentuk yang dikenal
sekarang ini merupakan mata rantai tidak terputus dari sejarah masuknya
agama islam.10
a. Masa Kesultanan Islam
Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, Indonesia
terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Maka dengan penerimaan Islam
dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan
diangkat oleh sultan atau imam.
Pada periode ini pihak kerajaan Islam mempunyai pembantu
jabatan agama dalam system pemerintahannya. Misalnya di tingkat
desa ada jabatan agama yang disebut Kaum, Kayim, Modin, dan Amil.
Ditingkat kecamatan disebut Penghulu Naib. Ditingkat kabupaten ada
7 Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 15.
8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 1 ayat (1).
9 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Pradnya Paramita,
1977), hlm. 17.
10 Sharon Shiddieque, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
(Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 208.
6
Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang
berfungsi sebagai hakim atau qadli yang dibantu beberapa penasihat
yang kemudian disebut Pengadilan Surambi.
b. Masa Kolonial Belanda
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam Politiek) di
Indonesia, Islam mendapat tempat dalam berbagai kehidupan
masyarakat muslim di belahan nusantara ini. Islam menjadi pilihan
bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan
keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Namun, keadaan ini
kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat
yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan
sampai misi kristenisasi.
Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan
kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Misi VOC sebagai
perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi,
Pertama, sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah.
Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC
menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Di
daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial
akhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara
mulus berjalan, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.
Atas dassar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembagalembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana
sebelimnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari
perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari. Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku
sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Hukum
Keluarga Islam, perkawinan, waris, dan wakaf.11
212.
11Mohammad Daud Ali, Kedudukan Islam, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm.
7
c. Masa Jepang
Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang
(1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi
pengadilan agama. Karena berdasarkan peraturan yang dikeluarkan
Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.1 tahun 1942
menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua
undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan
yang lama dianggap masih berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan
selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara
Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan,
kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir
Januari 1945 pemerintahan Bala Tentara Jepang mengajukan
pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung dalam rangka maksud
Jepang akan memberikan kemerdekaaan kepada bangsa Indonesia,
yaitu bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara
mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama
dalam Negara Indonesia Merdeka kelak. Pada 14 April 1945 Dewan
memberi jawaban sebagai berikut; dalam Negara baru yang
memisahkan urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu
mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk
mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya
cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat
minta pertimbangan seorang ahli agama.12
Selain itu pada masa ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan
untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari
Soepomo, penasihat departemen kehakiman ketika itu dan ahli hukum
adat. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang pengadilan
agama itu diabaikan oleh Jepang, karena khawatir akan menimbulkan
12 Zuffran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Departemen
Agama RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999), hlm. 19.
8
protes dari umat Islam.13 Jepang lebih memilih untuk tidak ikut campur
soal urusan agama umat.
d. Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri
Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan
bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian
Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah
nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.
Sebelum merdeka pegawai pengadilan agama dan hakim tidak
mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka setelah
merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh
pemerintah. Sejalan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
dasar dari wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku
sebagaimana sebelum proklamasi.
Selama revolusi fisik, pada umumnya tidak ada perubahan
tentang dasar peraturan peradilan agama secara principal, selain usahausaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Akan tetapi terdapat
beberapa hal yang perlu dicermati pada masa revolusi fisik ini, yaitu :
- Pertama, keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan
-
nikah, talak, dan rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu.
Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947
tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari
penghulu Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara
Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pegawai Pencatat Nikah dan
urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai
-
ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadi Hakim Syar’i.
Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah
dinyatakan berlaku. Isinya antara lain dihapuskannya susunan
pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum
yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di
pengadilan negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang
13 Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Press, 1983), hlm. 87.
9
hakim ahli agama disamping hakim yang beragama islam sebagai
-
ketua.
Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat NO. Rec. WJ 229/72
tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam
Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 tahun 1948 nomor 25,
dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang
dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan
Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht.
3. Bab III
Orde Baru adalah tatanan pemerintahan Negara Republik Indonesia
yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan
Soeharto,
setelah
keruntuhan
rezim
Soekarno
dengan
demikrasi
terpimpinnya yang bercorak otoritarian.14 Sebagai tonggak awal kelahiran
orde baru dapat dikatakan dimulai dengan adanya penyerahan Surat
Perintah 11 Maret 1966 (supersemar) kepada Soeharto oleh Presiden
pertama Soekarno.
Orde Baru muncul dengan mengibarkan semangat, melahirkan
semngat baru dan tekad yang baru pula. Pemerintahan ini menobatkan diri
sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim
orde lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi
UUD 1945 dan Pancasila. Tekad ini ditegaskan Soeharto selaku pejabat
Presiden dihadapan siding pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DRD-GR) pada awal lahirnya Orde Baru, yang berisi
mempertahankan, memurnikan wujud dan pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945.
Pada awal masa Orde Baru merupakan masa-masa yang sangat
sulit bagi umat Islam, dimana Islam dianggap sebagai kekuatan yang
membahayakan stabilitas dan keamanan Negara. Meski pada paruh
terakhir terjadi akomodasi antara Islam dan Negara.
Didalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah Rechsstaat,
namun konsep Rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukan
14 Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, hlm. 196.
10
konsep Negara Barat (Eropa Continental) dan pula konsep rule of law dari
Anglo-Saxon, melankan konsep yang bercirikan: 1adanya hubungan yang
erat antara agama dan Negara, 2bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
3
kebebasan agama dalam arti positif,
4
ateisme tidk dibenarkan dan
komunisme dilarang, serta 5asas kkeluargaan dan kerukunan. Sementara
Negara hukum yang dimaksud mempunyai unsur pokok yaitu Pancasila,
MPR, system konstitusi, persamaan dan peradilan bebas.15
Adapun model-model perpilitikan yang ada pada masa rezim
pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut:
a. Beamtenstaat dan Negara Pasca Kolonial
b. Politik Birokratis
c. Patrimonialisme Jawa
d. Korporatisme
e. Rezim Otoriter Birokrat
f. Paham Integralistik
4. Bab IV
Indonesia adalah wilayah yang dihuni berbagai kelompok etnik,
social, agama, dan kultur yang masing-masingnya mempunyai tanggung
jawab moral untuk mempertahankan norma dan pandangan hidup mereka
(Bhineka Tunggal Ika). Ikatan dalam satu kesatuan yang diikat oleh
semboyan itu tidak berarti secara pemikiran dan ideologis mudah
dipersatukan, terutama persoalan pergumulan pemikiran hukum di
Indonesia.
Pluralisme dan dualisme hukum adalah permasalahan yang sering
menjadi ganjalan bagi reformasi hukum. Masih kuatnya tingkat
ketergantungan pada produk hukum terlihat dari beberapa peraturan
perundangan yang masih diambil dari warisan penjajahan Belanda.
Konsekuensi dari sikap ini dibuktikan dengan terjadinya pengelompokan
hukum yakni:
1
adanya kelompok pembela hukum adat,
2
kelompok
pembela hukum Islam, dan 3kelompok pembela warisan hukum Belanda.16
15 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hlm. 38-44.
16 Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for
Strategic and International Studies, 1982), hlm. 6.
11
Upaya pencapaian konfigurasi politik yang demokratis dengan
produk hukum yang responsive, menjadi suatu keharusan untuk
menciptakan situasi yang demokratis dengan melibatkan banyak kelompok
masyarakat, partai politik, dan kelompok lainnya dalam masyarakat.
Dalam kerangka politik hukum, maka perubahan konfigurasi politik yang
responsive terhadap urusan lembaga keagamaan seperti Peradilan Agama
sangat tergantung dari kemauan politik pemerintah serta peran akitif dari
wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat.
Adanya konsep Negara kesatuan mendorong para pemimpin
Indonesia semenjak awal kemerdekaan cenderung pada usaha unifikasi
hukum. Dengan unifikasi mempermudah usaha menuju modernisasi.
Dalam realitasnya, berkaitan dengan kebutuhan lain, yakni ingin
menyingkirkan spirit hukum kolonial. Akan tetapi menyingkirkan secara
total hukum warisan kolonial merupakan pekerjaan yang berat, bagi suatu
Negara yang majemuk, seperti Negara Indonesia.
Di Indonesia, akomodasi antara Negara dan Islam dapat dilihat
dalam kasus Pengadilan Agama. Semenjak kemerdekaan, evolusi system
pengadian ini sedikit banyak telah merefleksikan hasil pergumulan antara
kelompok nasionalis, yang mewakili kekuatan Negara, dan kelompok
muslim. Melalui pemikiran intelektualisme Islam pada tahun 1970-an,
akhirnya muncul kesepahaman antara Negara dan Islam. Maka pada
hubungan akomodatif inilah kebijakan politik hukum Islam Orde Baru
semakin aspiratif, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.
Selama periode pemerintahan Orde Baru telah melahirkan
beberapa produk hukum dalam bentuk Undang-undang yang berhubungan
dengan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, diantaranya yaitu:
- Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
-
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di bawah hirarki Undang-undang tersebut terdapat pula peraturan
perundangan yang mendukung, diantaranya adalah:
12
-
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam
Dalam perspektif produk hukum, terdapat ada dua proses politik
dalam suatu masyarakat untuk pembangunan hukum17, yaitu: Pertama,
produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan
hukum yang dapat disebut ortodoks, dan demikian hukum menjadi
tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk
hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum
memantulkan persepsi social para pengambil kebijakan.
Menurut
Munawir
Sjadzali
setidaknya
ada
tiga
mazhab
pemahaman terhadap hubungan antara agama dan Negara,18 yaitu:
-
Pertama, aliran berpendirian bahwa agama serba sempurna dan tidak
-
terpisah dari Negara.
Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
-
barat, yang tidak ada hubungannyadengan urusan agama.
Ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam islam terdapat system ketatanegaraan. Aliran
ini juga menolak pendapat mazhab kedua diatas. Mazhab ini
berpendirian bahwa dalam Islam terdapat seperangka tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara.
Implikasi dari tiga mazhab pemikiran diatas, maka menurut Ahmad
Fedyani Saufuddin, ada tiga kemungkinan scenario politik keagamaan,
yaitu19:
-
Agama dan Negara terpisah satu sama lain.
17 Abdul Karim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta:
Yayasan LBM, 1988), hlm. 37-38.
18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 1-2.
19 Achmad Fedyani Sifuddin, Agama dalam Politik Keseragaman: Suatu
Refleksi Kebijakan Keamanan Orde Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI
BAdan Penelitian dan Pengembangan Agama,2000), hlm. 5-6.
13
-
Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam
-
pengertian bahwa agama memberi corak dominan atas Negara.
Agama ditempatkan dalam suatu system Negara yang mengutamakan
harmoni dan keseimbangan.
5. Bab V
Studi ini berupaya membuktikan bahwa hubungan antara
konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilakn tesis bahwa
setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik
yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi
politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Semakin
demokratis suatu rezim, semakin responsive dan aspiratif produk hukum
yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu, setiap perundangan dan
hukum yang berkarakter responsive atau populistik seirama dengan tingkat
pelaksanaan demokratis dan penghargaan terhadap upaya demokratisasi
dalam kehidupan politik.
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang
surut dan pasang naik secara bergantian antara demokratis dan otoriter
atau demokratis dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan
kecenderungan linear. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter
produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang
berkarakter konservatif dengan kecenderungan yang sama.
E. Sasaran Pembaca
Adapun yang menjadi segmentasi / sasaran pembaca dari buku ini secara
khusus adalah orang-orang Fakultas Hukum yang terdiri dari mahasiswa dan
dosen, advokat, hakim, maupun jaksa. Dan secara umum ditujkan kepada
msyarakat umum guna menambah wawasan terkait Peradilan Agama dalam
politik Hukum di Indonesia.
F. Kelebihan Buku
Setelah membaca buku karangan Abdul Halim yang berjudul Peradilan
Agama dalam Politik Hukum di Indonesia
ini, penyusun menemukan
beberapa kelebihan dari buku ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
14
1.
2.
3.
4.
Telah tersusun secara sistematis
Bahasanya mudah dimengerti
Penjelasannya sangat rinci
Terdapat lampiran-lampiran
terkait
Undang-undang
yang
berhubungan dengan pembahasan dalam buku.
G. Kekurangan Buku
Tiada gading yang tak retak, begitu pula tidak ada karya yang tidak
memiliki kekurangan. Maka kekurangan yang penyusun dapatkan dari buku
karangan Abdul Halim ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya indeks terkait kata-kata yang tidak dapat dimengerti
secara seketika.
2. Kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca khususnya para
pemula sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang tidak
tersampaikan pada pembaca.
H. Kritik
Berdasarkan dari kekurangan diatas maka penyusun memberikan saran
guna memberikan dampak positif bagi kita semua di waktu yang akan datang,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan indeks dalam buku sehingga mempermudah pembaca
dalam memahami kata-kata yang sulit dimengerti
2. Dalam memberikan pemahaman sekiranya diperhatikan juga bahwa
tidak semua yang membaca buku ini adalah orang yang berwawasan
melainkan orang awampun (pemula) juga membaca buku ini.
I. Refrensi
Ali, Mohammad Daud, Kedudukan Islam, Jakarta: LP3ES, 1988.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum,Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
Bandung: Rosdakarya, 1997.
Haikal, Muhammam Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya
dan Tintamas, 1982.
MD, Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.
15
Noeh, Zaini Ahmad, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Nusantara, Abdul Karim G, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan LBM,
1988.
Sabrie, Zuffran, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999.
Shiddieque, Sharon, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:
LP3ES, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI-Press, 1993.
Subekti, Law in Indonesia, Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and
International Studies, 1982.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, 1977.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
UUPA Nomor 7 tahun 1989
16