HEROIK ANAK ANAK LANGIT docx
HEROIK ANAK-ANAK LANGIT
http://media.kompasiana.com/buku/2012/05/16/resensi-heroik-anak-anak-langit/
HEROIK ANAK-ANAK LANGIT
Judul
: Anak-Anak Langit; Mereka yang Kehilangan Dunia Indah Bermain
Masa Kecilnya
Penulis
: Zhaenal Fanani
Editor
: Nisrina Lubis
Penerbit
: Laksana, Yogyakarta
Cetakan
: Pertama, Juni 2011
Tebal
: 423 Halaman
ISBN
: 978-602-978-595-1
Kota metropolitan tidak hanya menjadi magnet untuk ladang mencari uang, tetapi
juga menjadi lahan tumbuhnya permasalahan baru, terutama masalah sosial.
Kompleksnya permasalahan kota metropolitan, sehingga sampai saat ini belum
teratasi secara maksimal.
Salah satu social problems kota metropolitan adalah anak jalanan. Anak jalanan
menjadi social problem yang begitu mengakar di Indonesia. Mereka
menggantungkan hidupnya dijalanan, yang sekaligus mengancam kehidupan
mereka kapan pun. Membicarakan mereka juga berkaitan erat dengan problem
ekonomi, politik, dan pendidikan yang secara struktural tidak berpihak kepada
mereka. Zhaenal Fanani melalu novel ini mengungkap keprihatinannya atas
fenomena sosial tersebut, dengan mengulas realitas perjalanan anak-anak di bawah
bayang-bayang metropolis yang diwakili oleh Ziza.
Ziza merupakan anak semata wayang dari pasangan Hamdani dan Malaikah.
Mereka salah satu penduduk desa Tagiri, yakni sebuah desa yang berdekatan
dengan sungai Brantas dan gunung Mahameru. Saat Ziza masih dalam kandungan
ibunya, Hamdani meninggalkan kampung Tagiri, termasuk istri dan ananknya yang
masih di dalam rahim. Hamdani ingin mengubah perekonomian keluarga sebelum
anaknya lahir dengan pergi ke Jakarta. Dengan berat hati, Malaikah pun merelakan
kepergian suaminya untuk mencari keberuntungan di kota metropolitan.
Sekian lama Hamdani melangkahkan kaki dari keluarga, salama itu pula tak ada
sepucuk kabar pun darinya. Malaikah yang sekian lama sabar menunggu kabar dan
kedatangan dari suami tercinta, hari itu mulai putus asa atas harapannya. Bayinya
yang dikandungnya pun sudah ingin keluar untuk melihat indahnya dunia. Bayi
perempuan Malaikah pun terus tumbuh dan bertambah usia. Ziza kecil sering sekali
menanyakan, mana ayah Ziza? Keinginan untuk merasakan bangku sekolah pun ikut
nista dalam angan-angan agar ayahnya kembali ke Tagiri.
Di dalam kesedihan yang belum terobati itu, Ziza harus menerima ibunya yang
sangat ia sayangi harus meninggalkannya untuk selama-lamanya. Setelah kejadian
itu, Ziza memutuskan untuk berjuang di tengah ganasnya Jakarta. Ziza pun pergi ke
Jakarta atas perintah dan petunjuk salah satu tetangganya di Tegiri.
Di Jakarta, Ziza tinggal bersama saudara tetangganya yang sudah lama menetap di
Ibukota, dengan harapan mereka dapat membantu menemukan ayahnya di sana.
Perjalanannya di Jakarta, tidak semulus seperti yang ia bayangkan, tidak seindah
hidup di kampungnya, hidup di Jakarta tidak semudah hidup di kampungnya yang
jauh dari keramaian.
Perlakuan mereka yang tidak menyenangkan bagi Ziza, menyebabkan ia harus
meninggalkan keluarga yang dikenalkan tetangga kampungnya itu. Di tengah hirukpikuk masyarakat Jakarta, Ziza berkenalan dengan sosok Pak Daming. Pak Daming
adalah sosok laki-laki yang kemudian ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Tak terasa
Ziza sudah hampir 15 tahun hidup di Jakarta. Tidak hanya itu, Pak Daming juga
menjadi pelabuhannya dalam segala kegelisahannya.
Ziza mendapatkan kembali sosok ayah di kehidupannya dengan kehadiran Pak
Daming. Setelah beberapa tahun tak merasakan kasih sayang dari seorang ayah
yang membimbingnya. Walaupun Ziza baru mengenal Pak Daming di Jakarta, ia
merasa hidupnya penuh dengan keberkahan. Berkat ayah angkatnya itu keinginan
yang Ziza impikan sejak kecil akhirnya dapat tercapai. Ziza dapat merasakan
bersekolah seperti anak-anak yang lainnya, bahkan sampai belajar di Perguruan
Tinggi. Di saat kegembiraannya dalam menempuh pendidikan, ia selalu risih melihat
anak-anak jalanan setiap berangkat ke sekolah.
Dengan historis kehidupannya, ia mendekati anak-anak jalanan yang sedang
beristirahat melepas lelah setelah mengamen. Bermodal cinta ditambah ketegaran
jiwa, ia dapat berlalu lalang dengan bebas dan bersahabat dengan mereka. Setiap
sore, terdengar suara celoteh mereka yang bertanya tentang banyak hal, terdengar
nyanyian Indonesia Raya, dan terkadang suara anak-anak mengaji (8). Dengsan
demikian, seluruh hidupnya ia curahkan untuk berbagi kebahagiaan dengan anakanak jalanan.
Anak-anak jalanan yang berusaha mempertahankan hidup sebagai pengamen,
penjual koran, joki, penjual makanan kecil, pengumpul barang bekas, atau pelaku
tindakan-tindakan kriminal. Bagi mereka, hidup adalah hari ini. Besok adalah hidup
yang berbeda dan tak perlu dipikirkan. Menurut mereka, orang lain hanya dapat
melihat tanpa ingin mengetahui kegelisahan dan perasaan mereka. Orang lain tak
pernah tahu bagaimana mereka sering dilanda kebosanan dengan takdir-takdir
mereka (65).
Area tanah kosong yang berada di bawah tugu Pancoran itu pun menjadi kediaman
anak-anak jalanan untuk menebar pengalaman, pesona, menanam cinta, dan
menyerap energi yang bersilangan di sekitarnya. Namun, di saat anak-anak
menikmati pelajaran dan pengjian yang diajarkan Ziza, banyak yang menolak
kegiatan itu. Pertama, adalah ‘bos’ dari anak-anak jalanan. Penghasilan dari mereka
menurun diakibatkan kegiatan yang dilakukan bersama Ziza. Kedua, tragedi demo
mahasiswa yang mengkibatkan penculikan beberapa warga, sehingga anak-anak
jalanan beserta Ziza pun menghentikan sementara kegiatan itu. Ketiga, status
tanah yang digunakan untuk kegiatan belajar tidak jelas, sehingga memunculkan
banyak kalangan ingin mengusir kegiatan itu dengan alasan akan dibangun pusat
perbelanjaan.
Kritik Teks
Perjuangan anak-anak jalanan terpotret secara apik dalam novel berjudul “AnakAnak Langit”. Judul novel ini saya temukan dalam salah satu karya Tan Malaka,
“Dari Penjera ke Penjara”. Entah dari mana Zhaenal mendapatkan istilah tersebut,
terinspirasi setelah membaca karya Tan Malaka juga atau mendapatkannya dari
inspirasi lain. Namun, kisah Ziza yang memiliki harapan dan cita-cita yang tinggi
memang sesuai dengan judulnya.
Alur cerita dalam novel ini kurang begitu menyenangkan. Banyak alur cerita yang
tidak sistematis dan terputus. Bahkan, yang begitu mencolok adalah alur di akhir
cerita yang dimunculkan justru perjuangan Ziza dalam meyakini Jangkaru dan
orangtuanya, dan keberhasilan bujukan atas orangtua Jangkaru. Nasib Ziza dan
bapaknya justru menghilang tanpa disinggung sedikitpun. Kelanjutan kisah Ziza
seolah terpotong, karena Fanani tidak menjelaskan apakah Ziza menemukan
ayahnya atau tidak?
Kendati demikian, Fanani hanya ingin memunculkaan aspek heroik seorang
perempuan sebatang kara yang ingin memperjuangkan hak-hak anak jalanan.
Sepertinya penulis novel ini menitik beratkan pada nilai atau pesan yang
terkandung di dalam karnya, dibanding alur sastra yang sistematis. Banyak hal
yang dapat kita renungkan setelah membaca novel ini terkait dengan permasalahan
Bangsa. Di bagian lain, novel ini merupakan salah satu buku yang memotret
permasalahan sosial anak jalanan.
Fakta sosial ikut memperkaya novel ini dalam menggambarkan kehidupan nyata
masyarakat Indonesia, yang diulas secara komprehensif. Misalnya, permasalahan
susahnya akses kesehatan bagi masyarakat miskin dan memandang sebelah mata
terhadap anak jalanan. Novel ini juga kiranya dapat menjadi motivasi oleh banyak
orang dalam menempuh kehidupan yang penuh lika-liku. Selain itu, Fanani ingin
mencoba merekonstruksi sudut pandang kita mengenai ruang lingkup anak jalanan.
*) Peresensi adalah Ahmad Suhendra, Penikmat buku.
http://media.kompasiana.com/buku/2012/05/16/resensi-heroik-anak-anak-langit/
HEROIK ANAK-ANAK LANGIT
Judul
: Anak-Anak Langit; Mereka yang Kehilangan Dunia Indah Bermain
Masa Kecilnya
Penulis
: Zhaenal Fanani
Editor
: Nisrina Lubis
Penerbit
: Laksana, Yogyakarta
Cetakan
: Pertama, Juni 2011
Tebal
: 423 Halaman
ISBN
: 978-602-978-595-1
Kota metropolitan tidak hanya menjadi magnet untuk ladang mencari uang, tetapi
juga menjadi lahan tumbuhnya permasalahan baru, terutama masalah sosial.
Kompleksnya permasalahan kota metropolitan, sehingga sampai saat ini belum
teratasi secara maksimal.
Salah satu social problems kota metropolitan adalah anak jalanan. Anak jalanan
menjadi social problem yang begitu mengakar di Indonesia. Mereka
menggantungkan hidupnya dijalanan, yang sekaligus mengancam kehidupan
mereka kapan pun. Membicarakan mereka juga berkaitan erat dengan problem
ekonomi, politik, dan pendidikan yang secara struktural tidak berpihak kepada
mereka. Zhaenal Fanani melalu novel ini mengungkap keprihatinannya atas
fenomena sosial tersebut, dengan mengulas realitas perjalanan anak-anak di bawah
bayang-bayang metropolis yang diwakili oleh Ziza.
Ziza merupakan anak semata wayang dari pasangan Hamdani dan Malaikah.
Mereka salah satu penduduk desa Tagiri, yakni sebuah desa yang berdekatan
dengan sungai Brantas dan gunung Mahameru. Saat Ziza masih dalam kandungan
ibunya, Hamdani meninggalkan kampung Tagiri, termasuk istri dan ananknya yang
masih di dalam rahim. Hamdani ingin mengubah perekonomian keluarga sebelum
anaknya lahir dengan pergi ke Jakarta. Dengan berat hati, Malaikah pun merelakan
kepergian suaminya untuk mencari keberuntungan di kota metropolitan.
Sekian lama Hamdani melangkahkan kaki dari keluarga, salama itu pula tak ada
sepucuk kabar pun darinya. Malaikah yang sekian lama sabar menunggu kabar dan
kedatangan dari suami tercinta, hari itu mulai putus asa atas harapannya. Bayinya
yang dikandungnya pun sudah ingin keluar untuk melihat indahnya dunia. Bayi
perempuan Malaikah pun terus tumbuh dan bertambah usia. Ziza kecil sering sekali
menanyakan, mana ayah Ziza? Keinginan untuk merasakan bangku sekolah pun ikut
nista dalam angan-angan agar ayahnya kembali ke Tagiri.
Di dalam kesedihan yang belum terobati itu, Ziza harus menerima ibunya yang
sangat ia sayangi harus meninggalkannya untuk selama-lamanya. Setelah kejadian
itu, Ziza memutuskan untuk berjuang di tengah ganasnya Jakarta. Ziza pun pergi ke
Jakarta atas perintah dan petunjuk salah satu tetangganya di Tegiri.
Di Jakarta, Ziza tinggal bersama saudara tetangganya yang sudah lama menetap di
Ibukota, dengan harapan mereka dapat membantu menemukan ayahnya di sana.
Perjalanannya di Jakarta, tidak semulus seperti yang ia bayangkan, tidak seindah
hidup di kampungnya, hidup di Jakarta tidak semudah hidup di kampungnya yang
jauh dari keramaian.
Perlakuan mereka yang tidak menyenangkan bagi Ziza, menyebabkan ia harus
meninggalkan keluarga yang dikenalkan tetangga kampungnya itu. Di tengah hirukpikuk masyarakat Jakarta, Ziza berkenalan dengan sosok Pak Daming. Pak Daming
adalah sosok laki-laki yang kemudian ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Tak terasa
Ziza sudah hampir 15 tahun hidup di Jakarta. Tidak hanya itu, Pak Daming juga
menjadi pelabuhannya dalam segala kegelisahannya.
Ziza mendapatkan kembali sosok ayah di kehidupannya dengan kehadiran Pak
Daming. Setelah beberapa tahun tak merasakan kasih sayang dari seorang ayah
yang membimbingnya. Walaupun Ziza baru mengenal Pak Daming di Jakarta, ia
merasa hidupnya penuh dengan keberkahan. Berkat ayah angkatnya itu keinginan
yang Ziza impikan sejak kecil akhirnya dapat tercapai. Ziza dapat merasakan
bersekolah seperti anak-anak yang lainnya, bahkan sampai belajar di Perguruan
Tinggi. Di saat kegembiraannya dalam menempuh pendidikan, ia selalu risih melihat
anak-anak jalanan setiap berangkat ke sekolah.
Dengan historis kehidupannya, ia mendekati anak-anak jalanan yang sedang
beristirahat melepas lelah setelah mengamen. Bermodal cinta ditambah ketegaran
jiwa, ia dapat berlalu lalang dengan bebas dan bersahabat dengan mereka. Setiap
sore, terdengar suara celoteh mereka yang bertanya tentang banyak hal, terdengar
nyanyian Indonesia Raya, dan terkadang suara anak-anak mengaji (8). Dengsan
demikian, seluruh hidupnya ia curahkan untuk berbagi kebahagiaan dengan anakanak jalanan.
Anak-anak jalanan yang berusaha mempertahankan hidup sebagai pengamen,
penjual koran, joki, penjual makanan kecil, pengumpul barang bekas, atau pelaku
tindakan-tindakan kriminal. Bagi mereka, hidup adalah hari ini. Besok adalah hidup
yang berbeda dan tak perlu dipikirkan. Menurut mereka, orang lain hanya dapat
melihat tanpa ingin mengetahui kegelisahan dan perasaan mereka. Orang lain tak
pernah tahu bagaimana mereka sering dilanda kebosanan dengan takdir-takdir
mereka (65).
Area tanah kosong yang berada di bawah tugu Pancoran itu pun menjadi kediaman
anak-anak jalanan untuk menebar pengalaman, pesona, menanam cinta, dan
menyerap energi yang bersilangan di sekitarnya. Namun, di saat anak-anak
menikmati pelajaran dan pengjian yang diajarkan Ziza, banyak yang menolak
kegiatan itu. Pertama, adalah ‘bos’ dari anak-anak jalanan. Penghasilan dari mereka
menurun diakibatkan kegiatan yang dilakukan bersama Ziza. Kedua, tragedi demo
mahasiswa yang mengkibatkan penculikan beberapa warga, sehingga anak-anak
jalanan beserta Ziza pun menghentikan sementara kegiatan itu. Ketiga, status
tanah yang digunakan untuk kegiatan belajar tidak jelas, sehingga memunculkan
banyak kalangan ingin mengusir kegiatan itu dengan alasan akan dibangun pusat
perbelanjaan.
Kritik Teks
Perjuangan anak-anak jalanan terpotret secara apik dalam novel berjudul “AnakAnak Langit”. Judul novel ini saya temukan dalam salah satu karya Tan Malaka,
“Dari Penjera ke Penjara”. Entah dari mana Zhaenal mendapatkan istilah tersebut,
terinspirasi setelah membaca karya Tan Malaka juga atau mendapatkannya dari
inspirasi lain. Namun, kisah Ziza yang memiliki harapan dan cita-cita yang tinggi
memang sesuai dengan judulnya.
Alur cerita dalam novel ini kurang begitu menyenangkan. Banyak alur cerita yang
tidak sistematis dan terputus. Bahkan, yang begitu mencolok adalah alur di akhir
cerita yang dimunculkan justru perjuangan Ziza dalam meyakini Jangkaru dan
orangtuanya, dan keberhasilan bujukan atas orangtua Jangkaru. Nasib Ziza dan
bapaknya justru menghilang tanpa disinggung sedikitpun. Kelanjutan kisah Ziza
seolah terpotong, karena Fanani tidak menjelaskan apakah Ziza menemukan
ayahnya atau tidak?
Kendati demikian, Fanani hanya ingin memunculkaan aspek heroik seorang
perempuan sebatang kara yang ingin memperjuangkan hak-hak anak jalanan.
Sepertinya penulis novel ini menitik beratkan pada nilai atau pesan yang
terkandung di dalam karnya, dibanding alur sastra yang sistematis. Banyak hal
yang dapat kita renungkan setelah membaca novel ini terkait dengan permasalahan
Bangsa. Di bagian lain, novel ini merupakan salah satu buku yang memotret
permasalahan sosial anak jalanan.
Fakta sosial ikut memperkaya novel ini dalam menggambarkan kehidupan nyata
masyarakat Indonesia, yang diulas secara komprehensif. Misalnya, permasalahan
susahnya akses kesehatan bagi masyarakat miskin dan memandang sebelah mata
terhadap anak jalanan. Novel ini juga kiranya dapat menjadi motivasi oleh banyak
orang dalam menempuh kehidupan yang penuh lika-liku. Selain itu, Fanani ingin
mencoba merekonstruksi sudut pandang kita mengenai ruang lingkup anak jalanan.
*) Peresensi adalah Ahmad Suhendra, Penikmat buku.