A. Etika Murid dalam Sekolah

A. Etika Murid dalam Sekolah
Ketika murid sampai di sekolah maka mengkoset sepatu dengan alat koset. Kemudian pergi
ke kelas membuka pintu dengan pelan-pelan dan masuk dengan sopan dan mengucapkan
salam pada teman-temannya dan bersalaman pada temannya dan ia senyum sambil
mengucapkan selamat pagi dan selamat bahagia.
Kemudian meletakkan tasnya dalam laci bangku dan apabila Pak Guru datang murid berdiri
pada tempatnya dan menyambut guru dengan sopan dan rasa hormat dan bersalaman pada
guru.
Dan apabila bel berbunyi maka murid beserta teman-temannya berdiri pada barisan yang
tegap dan tidak boleh berbicara atau bermain2 beserta kawan-kawannya. Kemudian masuk
kelasnya setelah isyaroh guru dengan tertib dan rapi dan diam dengan tenang pada bangku
dan duduk dengan duduk yang baik dengan tegak dan tidak boleh memiringkan punggungnya
dan tidak boleh menggerakkan kakinya dan tidak boleh memeriksa saku temannya dan tidak
boleh meletakkan kaki di atas kaki yang satunya dan tidak boleh main dengan kedua tangan
dan tidak boleh meletakkan kedua tangannya di bawah pipinya.
Dan harus tenang mendengarkan pelajaran dan tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri
bahkan harus menghadap Pak Guru dan tidak boleh berbicara pada teman yang lain atau
membuat lucu pada temannya itu karena itu bisa mencegah tentang pemahaman pelajaran dan
bisa mencegah pada teman yang lain juga tentang faham maka bisa marah dan apabila tidak
faham pelajaran maka bisa nilainya jatuh dalam ujian.


B. Etika dalam Memilih Guru
Adapun dalam memilih guru sebaiknya memilih orang yang lebih pandai, wara’ dan lebih tua,
sebagaimana saat Abu Hanifah memilih Imam Hammad bin Sulaiman sebagai gurunya
setelah melalui pertimbangan dan pemikiran, ia berkata: “Saya mengenalnya sebagai orang
tua yang berbudi luhur, bijak dan penyebar dan saya memutuskan untuk memilih Imam
Hammad bin Sulaiman. Ternyata saya dapat berkembang.”
Abu Hanifah berkata, “Saya pernah mendengar seorang bijak dari Samarkandi berkata,
‘Seorang pelajar bermusyawarah denganku dalam menuntut ilmu, sementara ia sendiri sudah
punya niatan untuk belajar mencari ilmu ke daerah Bukhara’. Demikian seorang pelajar perlu
bermusyawarah dalam segala hal karena sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
Rasulullah untuk bermusyawarah dalam segala hal, padahal tak seorang pun lebih cerdas
darinya. Orang secerdas Rasulullah saw toh masih diperintahkan untuk bermusyawarah.
“Rasulullah pun bermusyawarah bersama para sahabatnya, bahkan dalam urusan kebutuhan
rumah tangga.”
Sayyidina Ali ra berkata, “Tak seorangpun binasa (rugi atau rusak) karena bermusyawarah”.
Ada pendapat lagi, “Ada orang yang utuh, setengah orang dan orang-orang yang tak berarti
(tak ada apa-apanya). Orang yang utuh adalah orang yang memiliki pendapat yang benar dan
mau bermusyawarah. Setengah orang adalah orang yang memiliki pendapat yang benar,
tetapi tidak mau bermusyawarah atau mau bermusyawarah tetapi tidak mempunyai pendapat.
Sedangkan orang yang tidak berarti adalah orang yang tidak mempunyai pendapat dan tidak

mau bermusyawarah”. Ja’far Shadiq pernah berkata kepada Sofyan ats-Tsauri,

“Musyawarahkanlah masalahmu dengan orang yang takut kepada Allah SWT”.
Menuntut ilmu merupakan perkara yang luhur dan rumit, maka musyawarah merupakan hal
yang sangat penting dan wajib. Al-Hakim berkata, “Jika kamu pergi ke Bukhara janganlah
kamu terpancing untuk segera berbeda pendapat dengan imam, tinggalkanlah lebih dahulu
selama dua bulan, sehingga kamu mengadakan pertimbangan dan memilih guru yang tepat,
karena bila kamu pergi kepada seorang yang alim dan memulai belajar kepadanya, bisa jadi
kamu tidak tertarik pada cara mengajarnya. Kamu akan meninggalkannya dan pergi kepada
orang lain maka tidak akan mendapat berkah dalam belajar. Pertimbangkanlah dalam dua
bulan dan bermusyawarah dalam memilih guru, agar kamu tidak perlu meninggalkannya dan
berpaling darinya, sehingga kamu dapat bertahan di sisinya sampai belajarmu mendapat
berkah dan kamu dapat mengambil manfaat ilmumu dengan optimal”.

C. Etika Menghormati Ilmu adalah Menghormati Guru
Salah satu cara menghormati ilmu adalah menghormati guru. Sayyidina Ali ra mengatakan,
“Aku adalah hamba sahaya bagi orang-orang yang mengajarku walaupun satu huruf saja. Bila
ia bermaksud menjualku, maka ia bisa menjualku. Bila ia bermaksud memerdekakanku, maka
ia bisa memerdekakanku dan bila ia bermaksud memperbudakku, maka ia bisa
memperbudakku”. “Menurutku yang paling utama adalah hak guru dan hak itu wajib dijaga

bagi setiap muslim”. Sesungguhnya orang yang mengajarimu satu huruf yang kamu butuhkan
dalam urusan agama, maka ia merupakan ayahmu dalam kehidupan agamamu. Guru kami
Syaikh al-Imam Sadiduddin asy-Syairazi berkata, “Guru-guru kami mengatakan, “Barang
siapa mengharap anaknya menjadi orang alim, hendaklah ia memelihara, memuliakan dan
memberikan sesuatu kepada ahli agama yang mengembara. Bila anaknya ternyata tidak
menjadi orang alim, tentu cucunya yang akan menjadi orang alim.
Salah satu cara menghormati guru adalah tidak kencang berjalan di depannya, tidak duduk di
tempatnya, tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak memperbanyak
omongan di sisinya, tidak menanyakan sesuatu ketika ia sudah bosan, menjaga waktu dan
tidak mengetuk pintu rumah atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai ia keluar.
Kesimpulannya seorang murid harus berusaha mendapatkan ridhonya, menghindari
kemurkaannya dan patuh kepadanya selain dalam perbuatan maksiat kepada Allah SWT,
sebab tidak boleh patuh kepada makhluk untuk melakukan perbuatan maksiat kepada
pencipta.
Juga salah satu cara menghormati guru adalah menghormat anak-anaknya dan orang yang
mempunyai hubungan dengannya. Guru kami Syaikhul Islam Burhanuddin Hidayah pernah
bercerita, bahwa seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk dalam suatu majelis
pengajian, sesekali ia berdiri dan duduk lagi. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai
sikapnya itu. Ia menjawab, “Sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak
lain di halaman rumah, setiap kali aku melihatnya, aku berdiri sebagai penghormatanku pada

guruku”. Hakim Agung Fahruddin al-Rasabandi seorangpemimpin para imam di Marwa
sangat dihormati oleh sultan (raja) ia berkata, ”Saya dapat merasakan kedudukan ini karena
berkah hormat saya kepada guru saya melayani guru saya, yaitu Abu Yazidad-Dabusi. Saya
memasak makanan untuk beliau dan saya tidak ikut memakannya.”
Syekh al-Imam al-Ajjal Syamsul Aimah al-Khulwani ini terpaksa keluar dari Bukhara dan
pindah ke suatu desa karena suatu peristiwa yang menimpanya. Murid-muridnya
mengunjunginya kecuali Syekh al-Imam al-Qadhi Abu Bakar az-Zagauni, saat mereka

bertemu, Imam al-Khulwani bertanya, “Mengapa kamu tidak mengunjungiku?” Syekh Abu
Bakar menjawab, “Saya sangat sibuk melayani ibu saya”. Al-Khulwani kemudian berkata,
“Kamu akan dapat karunia umur panjang, tetapi kamu tidak akan mendapat anugerah
nikmatnya belajar”. Ternyata hal itu memang terbukti Syekh Abu Bakar lebih banyak tinggal
di desa dan tidak teratur dalam belajar.
Maka barang siapa membuat sakit hati gurunya, maka ia tidak akan mendapatkan berkah ilmu
dan tidak dapat memanfaatkan ilmunya kecuali hanya sedikit. Sebuah syair mengungkapkan,
“Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati.
Bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu menentang dokter dan bersabarlah kamu dengan
kebodohanmu bila kamu menentang guru”.
Dikisahkan, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid mengutus putranya kepada al-Ashma’i agar
diajarkan ilmu dan tata karma. Pada suatu hari Khalifah melihat al-Asma’i berwudhu dan

membasuh kakinya, sementara putra Khalifah menyiramkan air pada kakinya. Khalifah pun
menegur pada al-Ashma’i katanya, “Saya mengutusnya kepadamu agar kamu mengajarkan
ilmu dan tata krama kepadanya, mengapa kamu tidak menyuruhnya menyiramkan air dengan
salah satu tangannya dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”

D. Etika Menghormati Ilmu adalah Menghormati Teman dan Orang yang
Memberi Pelajaran
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati teman dan orang yang memberikan
pelajaran. Pertalian dan ketergantungan adalah sikap yang tercela kecuali dalam rangka
menuntut ilmu. Malah sebaiknya mengikat pertalian dan ketergantungan dengan guru dan
teman belajar.
Hendaknya pelajar mendengarkan ilmu dan hikmah dengan sikap respek dan hormat,
meskipun ia telah mendengar suatu masalah atau suatu kalimat seribu kali. Diungkapkan,
bahwa barangsiapa bersikap tidak respek dan hormat kepada suatu masalah setelah
mendengarnya seribu kali sebagaimana respeknya pertama kali mendengarnya, maka
bukanlah ia ahli ilmu.
Juga sebaiknya tidak memilih sendiri bidang ilmu yang akan ditekuninya. Tetapi ia
mempersilakan kepada guru untuk memilihnya sebab guru adalah berpengalaman dan
menekuni ilmu. Dan tentu saja ia tahu ilmu apa yang sebaiknya dipilih seseorang dan apa
yang sesuai dengan bakat dan tabiatnya.

Syekh al-Imam al-Ajjal al-Ustadz Syekh al-Islam Burhabul Haq Waddin bertutur, “Para
pelajar pada masa lalu menyerahkan sepenuhnya urusan belajar kepada guru mereka dan
merekapun berhasil meraih maksud dan cita-cita mereka. Sedang pada masa sekarang mereka
memilih sendiri, tetapi malah tidak sukses meraih cita-cita mereka, yaitu untuk mendapat
ilmu dan fikih”.
Dikisahkan, bahwa Muhammad bin Ismail al-Bukhari pada mulanya mengawali belajar
masalah sholat pada Muhammad bin Hasan. Tetapi beliau malah disarankan untuk pergi
mempelajari ilmu hadits, karena Muhammad bin Hasan menganggap ilmu hadits lebih sesuai
dengan bakatnya. Beliapun akhirnya belajar ilmu hadits dan menjadi tokoh terkemuka di
antara para ulama ahli hadits.

Sebaiknya pelajar tidak duduk terlalu dekat dengan gurunya pada saat belajar tanpa ada hal
yang memaksa. Ambillah jarang kira-kira sepanjang busur panah antara ia dengan guru,
karena hal ini lebih menunjukkan sikap hormat.
Pelajar hendaknya juga menghindari perilaku-perilaku yang tercela, karena perilaku tercela
itu laksana anjing. Rasulullah saw bersabda, “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di
dalamnya terdapat gambar dan anjing”. Padahal orang yang sedang belajar itu dengan
perantaraan malaikat.
Akhlak yang tercela dapat dikaji dari kitab akhlak. Kitab ini tidak memuat masalah itu.
Akhlak yang harus dihindari terutama kesombongan. Sebuah syair mengungkapkan, “Ilmu itu

musuh bagi orang yang sombong, tinggi hati dengan kekayaan. Adakah keagungan dapat
diraih dengan kekayaan tanpa kesungguhan?”
“Banyak sekali budak yang menduduki derajat orang merdeka dan banyak sekali orang
merdeka yang menduduki derajat buruk”

E. Etika Murid Beserta Guru
Bahwa guru sangat payah dalam mendidik murid, mendidik akhlak murid dan mengajarkan
murid ilmu yang bermanfaat dan memberi nasehat guru dengan nasehat yang berfaedah dan
tiap-tiap itu karena bahwasanya guru sangat senang sebagaimana itu senang pada ayah murid
dan ibu murid dan mengharapkan guru masa depan murid menjadi orang laki-laki yang alim
yang berpendidikan.
Maka muliakan guru murid sebagaimana memuliakan kedua orang tua murid dengan dudukduduk di muka guru dengan sopan dan berbicara beserta guru dengan sopan dan apabila
berkata guru maka jangan protes kata-kata guru dan tetapi menunggu sampai selesai. Dan
mendengarkan apa yang didengarkannya guru dari pelajaran dan jika tidak paham tentang
sesuatu dari pelajaran maka bertanyalah pada guru dengan halus dan menghormati dengan
mengangkat jarinya lebih dahulu sehingga diijinkan bertanya dan apabila bertanya kamu
tentang sesuatu maka berdirilah dan jawab atas pertanyaan guru dengan jawaban yang baik
dan tidak boleh menjawab apabila pertanyaan guru bukan kamu maka ini termasuk sopan.
Apabila kamu hendak senang pada gurumu maka laksanakan kewajibanmu ia menetapi atas
hadir tiap-tap hari pada waktu yang ditentukan maka jangan bermain atau datang dengan

akhir kecuali udzur yang benar dan harus cepat juga masuk kelas setelah istirahat dan
takutlah pada suka terlambat maka apabila menegurmu guru maka takutlah memberi alasan di
muka guru dengan alasan yang palsu dan harus paham pelajaranmu semua dan selalu hafal
pelajaran kitabmu dan alat-alatmu dan kerapian dan tunduk pada perintah guru mulai dari
hatimu. Bukan karena takut dari hukuman dan harus tidak marah jika menghukummu karena
sesungguhnya guru itu tidak akan menghukummu kecuali supaya melaksanakan
kewajibanmu dan akan berterimakasih pada guru atas hal itu apabila dewasa kamu.
Dan guru sekalipun telah menghukum itu berdasarkan atas cinta pada murid dan mengharap
guru bisa memanfaatkan murid ini dengan adanya hukuman ini dan karena itu maka
berterima kasihlah murid pada guru atas keikhlasan guru dalam mendidik murid dan jangan
sampai lupa kebaikan guru selamanya dan adapun murid yang rusak akhlaknya maka
sesungguhnya ia marah bila menghukum pada murid gurunya dan kadang bilang kejadian
tadi pada orang tuanya.

F. Etika Murid Terhadap Guru


Mengawali hormat dengan mengucapkan salam




Tidak memperpanjang pembicaraan



Tidak berbicara jika tidak ditanya



Jangan mengajukan panggilan orang lain dengan maksud menolak keterangan guru.



Jangan melakukan gerakan yang berupa isyarat tidak cocoknya kata guru dengan
maksud sendiri seakan-akan kamu sendiri merasa pandai ketimbang guru.



Jangan merembuk atau musyawarah ke teman di depan guru.




Jangan menoleh bahkan menundukkan dengan tenang.



Jangan banyak bertanya di waktu guru payah.



Berdiri menghormat ketika guru berdiri selesai pelajaran.



Jangan berkata-kata atau bertanya di waktu guru meninggalkan majlis.



Jangan bertanya di waktu guru ada di jalan sampai ke dalam atau ke tempat duduk.




Jangan mempunyai jelek prasangka ke guru dalam hal guru yang tidak cocok dengan
hukum yang ditentukan Allah karena guru ini sendirinya mengetahui pada rahasianya.



Meyakinkan bahwa keutamaan guru lebih besar dari keutamaan kedua orang tua atas
siswa karena guru itu mendidik rohnya siswa.



Merendahkan diri di hadapan guru.



Duduk dalam pelajaran guru dengan sopan dan bagus pendengarannya kepada apa
yang akan guru menerangkannya.



Meninggalkan bergurau dan harus tidak memuji murid pada selain guru.



Tidak mencegah murid malu bertanya tentang apa yang tidak mengerti.