Perkembangan Emosi Anak id. docx

PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK YANG DIBANGUN KE DALAM
KERANGKA OTAK MEREKA
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan emosi merupakan salah satu perkembangan kecerdasan
atau kemampuan mengelola perasaan yang harus dibangun ke dalam karakter
anak sejak usia dini. Dari beberapa hasil penelitian para ahli tentang
perkembangan

anak

mengatakan

bahwa

perkembangan

emosi

anak


memberikan kontribusi yang lebih besar untuk keberhasilan masa depan.
Penemuan ini telah dibuktikan dengan fakta-fakta perkembangan emosional
anak yang awali sejak bayi, masa balita, pra sekolah, tahun-tahun akhir pra
sekolah, dan perkembangan manusia dewasa.
Perkembangan emosional dimulai sejak awal kehidupan. Hal ini
merupakan aspek penting dari perkembangan otak secara keseluruhan, dan
memiliki konsekwensi yang sangat besar seumur hidup. Sejak lahir anak-anak
cepat

mengembangkan

kemampuan

mereka

untuk

mengalami

dan


mengekspresikan emosi yang berbeda serta kemampuan mereka untuk
mengatasi dan mengelola berbagai perasaan. Perkembangan kemampuan ini
terjadi pada waktu yang sama dengan berbagai keterampilan lainnya, yang
sangat terlihat jelas adalah pada mobilitas (kontrol motor), berpikir (kognisi)
dan komunikasi (bahasa).
Namun demikian, masih banyak orang tua yang mengabaikan
pentingnya perkembangan emosi anak, hal ini disebabkan oleh pemahaman
orang tua terhadap perkembangan emosi anak masih sangat memprihatinkan,
para pendidik dan masyarakat pada umumnya juga belum mengetahui urgensi
perkembangan emosi anak sehingga perkembangan emosional yang dibangun
ke dalam kerangka otak anak masih belum optimal. Keadaan masyarakat kita
pada umumnya membangun karakter ke dalam kerangka otak anak dengan
mengutamakan perkembangan kognitif dan bahasa sebagai pondasi awal
kehidupan anak. Bahkan sejak bayi dan balita, anak-anak mendapat perhatian

1

penuh dari orangtuanya hanya pada perkembangan fisik motoriknya semata.
Kebanyakan orang tua hapal betul kapan anaknya mulai bisa melakukan

gerakan tengkurap, duduk, merangkak, berjalan, hingga mengucapkan satu dua
buah kata. Akan tetapi sedikit orang tua yang memperhatikan perkembangan
emosional anak.
Kemajuan ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa perkembangan
emosi dan kognisi saling bergantung pada munculnya kematangan dan
interkoneksi dari sirkuit saraf yang kompleks di beberapa daerah otak,
termasuk prefrontal cortex, limbic cortex, basal forebrain, amygdala,
hipotalamus, dan brainstem. Perlu kita ketahui bahwa jaringan otak bersifat
platis, mudah di bentuk sesuai dengan stimulasi atau rangsangan yang
diberikan, faktor lingkungan berperan aktif dalam memberikan pengaruh
positif atau negatif dalam menentukan prilaku seseorang. Orang yang tadinya
pemalu pada usia 4 tahun, misalnya pada usia 10 tahun bisa menunjukkan
perkembangan emosionalnya sehingga menjadi anak yang pandai bergaul.
Perkembangan emosional terkait erat dengan karakteristik sosial serta
dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka tinggal. Anak-anak yang
memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik adalah anak-anak yang
mampu menjalin hubungan dengan orang tua, keluarga, komunitas lainnya dan
lingkungannya serta memiliki kesehatan mental yang baik. Perkembangan
emosional anak menjadi sangat penting karena tidak hanya menjadi pondasi
untuk masa depannya tetapi juga sebagai fungsi sosial saat ini. lingkungan

setempat mempunyai pengaruh yang tak terbantahkan dalam pembentukan
karakter anak. Kekerasan dan penganiayaan pada masa kanak-kanak, juga
mempunyai peranan yang cukup besar dalam mempengaruhi perkembangan
emosional anak.
Dengan demikian, sudah semestinya orang tua memahami pentingnya
perkembangan emosi anak sejak dini. Orang tua dapat mengembangkan
kemampuan emosional anak dengan sebaik-baiknya melalui pemberian
stimulan atau rangsangan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan

2

usia anak, sehingga perkembangan emosional anak yang dibangun ke dalam
kerangka otak mereka dapat dilakukan secara optimal.
2. Tujuan Penulisan Artikel
Tujuan penulisan artikel ini secara umum adalah untuk mengetahui
sejauh mana perkembangan emosional anak yang dibangun ke dalam kerangka
otak mereka. Adapun tujuan penulisan artikel ini secara khusus, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui perkembangan emosional anak menurut hasil penelitian
para ahli perkembangan anak.

b. Untuk mengetahui perkembangan emosional anak yang dibangun ke dalam
kerangka otak mereka.
c. Untuk memberikan pemahaman kepada para orang tua tentang pentingnya
perkembangan emosional anak usia dini.
B. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Emosi Anak
a. Pengertian Perkembangan
Soetjiningsih

(1995)

mengemukakan

bahwa

Perkembangan

(development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini menyangkut

adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ
dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masingmasing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi,
intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Sedangkan dalam pengertian lain, perkembangan dapat diartikan
sebagai “perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam
diri individu dari mulai lahir sampai mati”. Pengertian lain dari
perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau
organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturtion)

3

yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik
menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Syamsu, 2008).
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa
perkembangan adalah perubahan-perubahan yang terjadi terus menerus
secara teratur dan berkesinambungan.
b. Pengertian Emosi
Istilah emosi berasal dari kata emotus atau emovere atau mencerca
(to stir up) yang berarti sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, missal
emosi gembira mendorong untuk tertawa, atau dengan perkataan lain emosi

didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal
dari dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri individu (Sujiono,
2005). Menurut Sarlito Wirawan Sartono berpendapat bahwa emosi
merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif.
Yang dimaksud warna efektif ini adalah perasaan-perasaan tertentu yang
dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu,
contohnya: gembira, bahagia, takut dan lain-lain. Sedangkan menurut
Goleman Bahasa emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran. Pikiran
khasnya,

suatu

keadaan

biologis

dan

psikologis


serta

rangkaian

kecenderungan untuk bertindak (Syamsu, 2008).
Istilah kecerdasan emosi pada mulanya dilontarkan oleh dua ahli
psikologi, yakni Peter Salovey, dari Universitas Harvard, dan John Mayer,
dari Universitas New Hampshire, mereka menggunakan istilah kecerdasan
emosi untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan
dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri dan orang lain, serta
kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan
meraih tujuan kehidupan. Dalam menjabarkan arti kecerdasan emosi,
Salovey dan Mayer menggunakan pengertian ‘Kecerdasan Pribadi’ yang
dikemukakan oleh ahli psikologi Howard Gardner sebagai definisi dasar,
yakni : kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi,
serta cara bekerja dan cara bekerja sama dengan mereka. Juga kemampuan
4

emapuKntkbigovlhsEdcr


untuk

membedakan

dan

menanggapi

dengan

tepat

suasana

hati,

temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain. Definisi dasar ini diperluas
oleh Salovey dan Mayer dalam lima wilayah utama, yakni : Kemampuan

untuk mengenali emosi diri sendiri, kemampuan untuk mengelola dan

mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri, kemampuan untuk mengenali orang lain dan
kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.1

Untuk lebih jelasnya, kelima wilayah kecerdasan emosi dapat

penulis gambarkan pada grafik berikut :

Grafik. 1

Lima Wilayah Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosi ini kemudian dipopulerkan oleh Daniel

Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence : “Why It Can Matter

More Than IQ“ (1995). Daniel Goleman (1995) merumuskan emosi sebagai
sesuatu yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya,


suatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan
untuk bertindak. Emosi adalah “a complex feeling state accompained by

characteristic motor and glandular activities” (suatu keadaan perasaan yang
kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjer dan motoris). Yusuf
1

Baswardono, dkk. Mengembangkan Kecerdasan Emosi (Majalah Ayah Bunda, PT. Dian Rakyat, Jakarta 1997). hlm.16

5

(2000) menyatakan bahwa emosi merupakan warna efektif yang menyertai
setiap keadaan atau perilaku individu. Contohnya : gembira, sedih, bahagia,
putus asa, terkejut, benci, dsb. Sedangkan menurut James and Lange, emosi
timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu.
Misalnya menangis karena sedih, tertawa karena bahagia.2
c. Perkembangan Emosi
Sebagaimana diungkapkan Sobur, Alex, Drs., M.si. 2003. Psikologi
umum. Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk
mencintai; merasa nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentukbentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh
interaksi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang
berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya,
jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk
menyayangi. Pengaruh emosi terhadap perilaku dan perubahan fisik
individu : (a) Memperkuat semangat bila merasa senang atas suatu
keberhasilan. (b) Melemahkan semangat apabila timbul rasa kekecewaan
karena suatu kegagalan. (c) Menghambat atau mengganggu konsentrasi
belajar apabila individu dalam keadaan gugup. (d) Terganggu penyesuaian
sosial apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
Perkembangan emosi pada anak melalui beberapa fase yaitu :
Bayi hingga 18 bulan
 Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di
sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase ini
berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap
orang lain serta interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang
memberikan ASI secara teratur memberikan rasa aman pada bayi.
 Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa
nyaman dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika melihat
wajah dan suara orang di sekitarnya.
2

Panitia Sertifikasi Guru dalam Jabatan Rayon 110 UPI, Bahan Ajar Pendidikan Anak Usia Dini (UPI, Bandung 2012). hlm.199

6

 Pada bulan ke empat sampai ke delapan bayi mulai belajar
mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut.
 Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang
merawatnya akan semakin besar. Ia akan gelisah jika ia dihampiri orang
asing yang belum dikenalnya. Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati
dan meniru reaksi emosi yang di tunjukkan orang-orang yang berada di
sekitar dalam merespon kejadian tertentu.
18 bulan sampai 3 tahun
 Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di
lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang
akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di
lingkungan. Fase ini anak belajar membedakan cara benar dan salah
dalam mewujudkan keinginannya.
 Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata
untuk mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan
ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat
membantu anak mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya
orang tua menerjemahkan mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa
verbal.
 Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan
emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan
kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri.
Usia antara 3 sampai 5 tahun
 Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil
inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan
yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
 Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu
peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada

7

beberapa orang. Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang
merasa senang, sementara yang kalah akan sedih.
Usia antara 5 sampai 12 tahun
 Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku.
Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai mampu
menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan
untuk menyembunyikan informasi.
 Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah
menginternalisasikan

rasa

malu

dan

bangga.

Anak

dapat

memverbalisasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah
usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain.
 Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi
sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada
orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan
sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut
sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol (Suriadi
& Yuliani, 2006).
 Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang
norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya
menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia
kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk
atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi
munculnya perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
d. Pusat Emosi Di Otak
Josep LeDoux, seorang ahli saraf di Centre for Neural Science di
New York University, melalui pemetaan otak yang sedang bekerja
menemukan peran penting dari amigdala. Amigdala adalah sekelompok sel
berbentuk seperti kacang almon yang bertumpu di batang otak. Amigdala
merupakan gudang ingatan emosi. Amigdala merupakan bagian tubuh yang
memproses hal-hal yang berkaitan dengan emosi. Rasa sedih, marah, nafsu,
8

kasih sayang, dan sebagainya bergantung pada amigdala. Bila amigdala
hilang dari tubuh kita, maka kita tidak akan mampu menangkap makna
emosi dari suatu peristiwa. Hidup tanpa amigdala bak hidup tanpa emosi.3
Amigdala

Dalam Wikipedia dikatakan bahwa amigdala berasal dari bahasa
latin amygdalae (bahasa Yunani αμυγδαλή, amygdalē, almond, 'amandel')
adalah sekelompok saraf yang berbentuk kacang almond. Pada otak
vertebrata terletak pada bagian medial temporal lobe, secara anatomi
amigdala dianggap sebagai bagian dari basal ganglia. Amigdala dipercayai
merupakan bagian otak yang berperan dalam melakukan pengolahan dan
ingatan terhadap reaksi emosi. Oleh karenanya amigdala juga merupakan
bagian dari sistem limbik yang dipelajari pada ilmu neurosains kognitif.
2. Perkembangan Emosional Anak Yang Dibangun Ke Dalam Kerangka
Otak Mereka
a. Interkoneksi Perkembangan Emosi Dalam Sirkuit Otak
Perkembangan emosi dan kognisi saling bergantung pada munculnya
kematangan dan interkoneksi dari sirkuit saraf yang kompleks di beberapa
daerah otak, termasuk prefrontal cortex, limbic cortex, basal forebrain,
amygdala, hipotalamus, dan brainstem. (seperti perencanaan, penilaian, dan
pengambilan keputusan) yang sangat terlibat erat dalam pengembangan
keterampilan memecahkan pemecahan masalah pada masa prasekolah.
Dalam hal fungsi otak dasar, emosi mendukung fungsi eksekutif ketika
3

Baswardono, dkk, Mengembangkan Kecerdasan Emosi (Majalah Ayah Bunda, PT. Dian Rakyat, Jakarta 1997). hlm.18-19

9

diatur dengan baik, tetapi mengganggu perhatian ketika dikelola dengan
buruk.
Perkembangan emosional sebenarnya dibangun ke dalam kerangka
otak anak dalam menanggapi pengalaman pribadi masing-masing dan
pengaruh dari lingkungan di mana mereka tinggal. Emosi adalah aspek
biologis dari fungsi otak manusia yang disambungkan ke beberapa daerah
dari sistem saraf pusat.
Pertumbuhan dan perkembangan otak sebenarnya ditentukan oleh sel
syaraf panjang yang mengantarkan pesan-pesan listrik lewat sistim syaraf
dan otak yang disebut dengan neuron. Otak yang telah terbentuk itu
menghasilkan neuron yang jumlahnya kurang lebih 100 milyar yang mana
jumlah ini jauh melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Neuron-neuron yang
telah terbentuk ini terus tumbuh dan berkembang dengan mengeluarkan
sambungan transmisi jarak jauh sistim syaraf yang dinamakan akson. Di
setiap ujungnya, akson-akson ini mengeluarkan cabang-cabang sebagai
penghubung sementara dengan banyak sasaran. Kegiatan inilah yang
sebenarnya merupakan kerja sel-sel otak dalam mempersiapkan segala
kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dari sejak terjadinya konsepsi
sampai menjelang ajalnya (Nash, 1997:2-3).

10

Potensi-potensi yang terbentuk pada saat terjadinya konsepsi adalah
potensi fisik dan potensi psikis. Potensi fisik berkenaan deangan aspekaspek fisik dan kerja organ-organ fisik (physically aspect and physically
organs work), sedangkan potensi psikis berkenaan dengan aspek-aspek
kejiawaan

(Psychologically

aspects).

Melalui

kegiatan-kegiatan

pertumbuhan dan perkembangan otak inilah yang menyebabkan seorang
anak manusia memiliki potensi yang unggul yang nantinya akan menjadi
kemampuan anak secara fisik maupun psikisnya. Pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel otak ini terus berlangsung sampai janin itu lahirkan ke
dunia. Di dalam pertumbuhan dan perkembangannya sel-sel otak
menghadapi hambatan-hambatan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.4
Sebagaimana dikutip dari buku Konsep Dasar Penddikan Anak Usia
Dini, bahwa Setelah anak dilahirkan, tahun-tahun awal kehidupan
merupakan saat yang paling kritis bagi pertumbuhan dan perkembangan
otak. Lonjakan pertumbuhan dan perkembangan otak ini terus berlangsung
dimana neuron melalui aksonnya sebagai pengirim signal terus mengadakan
sambungan (sinapsis) baru dengan dendrit sebagai penerima signal.
Kegiatan ini disebabkan oleh berbagai pengalaman seorang bayi melalui
panca inderanya. Semakin banyak pengalaman indera yang dialami seorang
bayi, semakin banyak sambungan yang diperoleh yang berarti semakin
banyak pula potensi bawaan itu berkembang. Seperti yang telah diuraikan
pada halaman sebelumnya bahwa sel-sel otak itu tumbuh dan berkembang
melebihi kebutuhan yang sebenarnya, namun begitu sambungan-sambungan
yang telah diciptakannya akan dengan sendirinya dimusnahkan apabila
jarang atau tidak pernah digunakan. Melalui perkataan lain, sel-sel otak
yang telah siap untuk menjadi kemampuan apa saja itu apabila jarang atau
tidak pernah mendapatkan latihan (rangsangan) secara perlahan pasti akan
dimusnahkannya.

4

Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (PT. Indeks:Jakarta. 2009). hlm.179

11

b. Pengalaman Masa Kecil Membangun Perkembangan Emosi Anak
Pengalaman emosional bayi yang baru lahir mengalami aktivitas
emosional paling sering selama periode interaksi dengan pengasuh (seperti
makan, menghibur, dan memegang). Bayi menunjukkan perasaan tertekan
dan menangis ketika mereka merasa lapar, dingin, basah, atau dengan cara
lain apabila tidak nyaman dan mereka mengalami emosi positif ketika
mereka makan, ditenangkan, dan dipegang. Selama periode awal ini, anakanak tidak mampu memodulasi ekspresi perasaan yang luar biasa, dan
mereka memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengendalikan emosi
mereka.
Keadaan emosional balita dan anak prasekolah jauh lebih kompleks.
Mereka bergantung pada pengalaman pribadi mereka sendiri dalam
memahami apa yang orang lain lakukan dan pikirkan, mereka (dan otak
mereka) membangun landasan yang dibentuk sebelumnya, mereka
berkembang dan memperolah pemahaman yang lebih baik dari berbagai
emosi. Mereka juga lebih mampu mengelola perasaan mereka. Anak-anak
yang telah memperoleh landasan emosional yang kuat memiliki kemampuan
untuk mengantisipasi, berbicara, dan menggunakan kesadaran mereka
sendiri dan perasaan orang lain untuk mengelola interaksi sosial dalam
kehidupan sehari-hari dengan lebih baik.
Pengalaman buruk yang dialami oleh anak pada masa kecilnya, juga
akan sangat mempengaruhi perkembangan emosinya. Tekanan emosi yang
berkepanjangan bisa mempengaruhi kerangka otak anak. Dengan demikian,
hal ini harus menjadi prioritas perhatian para orang tua dalam mengenal dan
memahami perkembangan emosi anak. Diharapkan para orang tua
memperhatikan perkembangan emosi dan sosial anak-anak, termasuk
neurologi yang mendasarinya, disebabkan orang tua saat ini pada umumnya
lebih berfokus pada perkembangan kognitif, bahasa dan motorik.
Kebanyakan para orang tua lebih khawatir jika anak-anak mereka
tidak mempunyai keterampilan membaca atau berhitung. Memang,
perkembangan bahasa, motorik dan kognitif juga perlu mendapat perhatian,

12

tetapi karena besarnya perhatian orang tua terhadap kemampuan tersebut,
membuat orang tua sedikit mengabaikan perkembangan emosi anak.
3. Pentingnya Memahami Perkembangan Emosinal Anak Usia Dini
Emosi Berkembang Sejak Anak Dilahirkan. Sejak lahir, seorang bayi
sudah dapat menunjukkan perasaannya, apakah ia cenderung merasa
tenang/tentram atau sulit diatur. Sejak lahir anak-anak cepat mengembangkan
kemampuan mereka untuk mengalami dan mengekspresikan emosi yang
berbeda serta kemampuan mereka untuk mengatasi dan mengelola berbagai
perasaan.
Jaringan otak bersifat platis, mudah di bentuk sesuai dengan stimulasi
yang didapat. Apa yang dialami dan dipelajari oleh anak dalam kehidupan
sehari-harilah yang lebih menentukan bagaimana ia akan bertingkah laku. Oleh
karena itu perlu kiranya orang tua meninjau kembali cara-cara pengasuhan
yang selama ini dilakukan. Jika selama ini orang tua lebih suka melindungi
anaknya, cobalah untuk membiarkan anak mengalami hal-hal yang
mengecewakan dirinya, beri anak kesempatan untuk mengatasi masalahnya
sendiri. Tetapi bukan berarti orang tua lepas tangan, tetapi sebaiknya orang tua
lebih mendukung anak untuk mengatasi masalahnya dengan menunjukkan
sikap empati pada apa yang dihadapinya. Cara-cara pengasuhan yang
dilakukan orang tua di rumah akan sangat mempengaruhi perkembangan emosi
anak. Orang tua hendaknya melatih dan membiasakan anak-anaknya untuk
bertingkah laku.
Di sekolah, guru adalah panutan dan model bagi anak-anak. Guru tidak
cukup hanya mengembangkan aspek kognitif dan bahasa saja, akan tetapi guru
juga harus dapat mengajarkan berbagai keterampilan berperilaku seperti
berterima kasih ketika mendapat pemberian, meminta maaf ketika melakukan
kesalahan, berempati pada teman yang sedang mengalami kesulitan,
meningkatkan motivasi belajar, menumbuhkan rasa percaya diri, mengajarkan
berinfaq atau membantu teman yang mengalami musibah dan lain-lain. Hal ini

13

tentu harus ditanamkan pada anak sejak mereka masih kecil sehingga
diharapkan menjadi perilaku pembiasaan ketika anak sudah dewasa.
C. PENUTUP
Dari Pembahasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
 Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,
sebagai hasil dari proses pematangan, termasuk juga perkembangan emosi,
intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
 kecerdasan emosi merupakan keterampilan yang berhubungan dengan
keakuratan penilaian tentang emosi diri dan orang lain, serta kemampuan
mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan
kehidupan.
 Jaringan otak bersifat plastis, mudah di bentuk sesuai dengan stimulasi yang
didapat. Pengalaman yang dialami oleh anak dimasa kecilnya dan apa
dipelajari oleh anak dalam kehidupan sehari-harinya itulah yang membangun
perkembangan emosi anak, baik positif maupun negatif.

REFERENSI

14

Baswardono, dkk. Perkembangan Kecerdasan Emosi Anak. Majalah. Seri Ayah
Bunda. Jakarta:PT. Dian Rakyat.1997.
National Scientific Council on the Developing Child, Children’s Emotional
Development is Built into the Architecture of their Brains.2005.
Panitia Sertifikasi Guru dalam Jabatan Rayon 110 UPI, Bahan Ajar Pendidikan
Anak Usia Dini.UPI. Bandung. 2012.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-jumiatig2a-5475-3babii.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Amigdala
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/194412051967
101-KOKO_DARKUSNO_A/ASPEK-ASPEK_PERKEMBANGAN.pdf
https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/pengalaman-pengalamanspiritual-ditinjau-dari-neurosains
www.developingchild.harvard.edu.
Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. PT. Indeks: Jakarta. 2009.

15