Pembangunan di Indonesia pada masa Orde (1)

PEMBANGUNAN DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Demografi

IR

Oleh:
Anan Bahrul Khoir

AN

AN

BA

H

R

U


L

KH

O

1121020005

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,
Puji Tuhan, Syukur Alhamdulillah Penyusun panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Mahakasih, yang telah melimpahkan kasih kasihnya kepada kita semua,

sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktunya.
Tidak lupa, semoga salam dan pujian tetap tercurahkan kepada Nabi Kita, beserta
keluarganya, para sahabatnya, hingga umatnya sampai akhir jaman nanti.
Penyusun ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun tidak dapat
menyebutkan-nya satu persatu, oleh karena keterbatasan waktu dan tempat.
Juga, Penyusun merasa bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, Penyusun memohon kritik dan saran membangun supaya dapat
memperbaiki kekurangan dari makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya untuk
Penyusun dan masyarakat pada umumnya.

Bandung, 18 Desember 2014

Penyusun

i

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ...................................................................................

i

DAFTAR ISI ..................................................................................................

ii

BAB I

PENDAHULUAN ........................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ..........................................................

1

B. Rumusan Masalah ...................................................................


3

C. Tujuan Masalah .......................................................................

3

PEMBAHASAN ..........................................................................

4

A. Sejarah Mulainya Masa Orde Baru .........................................

4

B. Pelaksanaan Pembangunan Nasional pada Masa Orde Baru ..

5

BAB II


C. Penyimpangan-penyimpangan pada Masa Orde Baru ............ 13
BAB III

PENUTUP .................................................................................... 16
A. Kesimpulan ............................................................................. 16
B. Saran ........................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 18

ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perencanaan pembangunan dimaksudkan sebagai suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan pembangunan juga
meliputi proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan untuk mencapai
suatu tujuan yang dikehendaki. Oleh karenanya, perencanaan pembangunan

merupakan segala bentuk konsep dan dokumentasi yang menggambarkan
bagaimana tujuan akan dicapai dan bagaimana sumber daya akan dialokasikan,
penjadwalan dari proses pencapaian tujuan, hingga segala hal yang terkait dengan
pencapaian tujuan.1
Usaha perencanaan pembangunan di Indonesia dimulai pada masa orde lama
tepatnya pada tahun 1947 melalui Maklumat Pemerintah mengenai Pembangunan
Negara 18 Agustus 1945. Usaha perencanaan pembangunan tersebut ditandai
dengan dibentuknya Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pada 4pril 1947 yang
diketuai oleh Drs. Mohamamad Hatta. Panitia ini berhasil membuat dokumen
rencana yang bertajuk “Dasar Pokok dari pada Plan Mengatur Ekonomi
Indonesia.” Dokumen inilah yang merupakan awal sejarah perencanaan
pembangunan yang ada di Indonesia. Walaupun demikian, akibat keadaan politik
yang belum stabil, dokumen tersebut tidak dapat di jalankan hingga harus di buat
dokumen perencanaan yang lain seperti dokumen "Plan Produksi Tiga Tahun
Republik Indonesia’ dengan jangka waktu tahun 1948-1950. Perencanaan ini pun
gagal karena Indonesia beralih menjadi Negara federal.2

1

Muhammad Syukri Salleh, dkk, Islamisasi Pembangunan, (Medan: UMSU Press, 2014),

hlm. 107.
2
Ibid.

1

Perencanaan pembangunan di Indonesia memulai tahapan baru dengan
dibentuknya Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 1956-1960. Namun
dokumen ini juga gagal dilaksanakan karena adanya gejolak keadaan politik yaitu
dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan
konstitusi Negara kepada Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai tindak lanjut dari
dekrit Presiden ini adalah dibentuknya Dewan Perencana Nasional (Depernas)
yang bertugas menyusun perencanaan pembangunan nasional. Depernas
menghasilkan dokumen perencanaan yang disebut Rencana Pembangunan
Semesta Berencana (Comprehensive National Development Plan) dengan jangka
waktu 1961-1969. Melalui Penetapan Presiden Nomor 12 tahun 1963, Depernas
akhirnya berubah menjadi Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas)
hingga kini. Lahirnya Bappenas merupakan tonggak sejarah munculnya institusi
perencanaan di Indonesia.3
Perencanaan pembangunan pada masa orde baru mengalami kemajuan yang

sangat pesat. Bappenas ditugasi untuk membuat perencanaan pemulihan ekonomi
yang tertuang dalam dokumen perencanaan yang disebut dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita pertama yang dimulai pada tahun
1969 hingga tahun 1973 dimuat dalam dokumen perencanaan yang dikenal
dengan nama Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN4). Era Repelita ini
berlangsung hingga Repelita VI yang berakhir pada tahun 1998 akibat adanya
cobaan dalam bentuk krisis ekonomi yang melanda Indonesia.5
Hal itulah yang melatarbelakangi penulis untuk membuat makalah tentang
pembangunan di Indonesia pada masa Orde Baru dengan judul “Pembangunan
di Indonesia pada Masa Orde Baru.”
3

Ibid., hlm. 108.
GBHN adalah dokumen perencanaan yang memuat arah dan tujuan pembangunan selama
lima tahun. GBHN merupakan hasil keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
harus dijalankan oleh presiden.
5
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 sebenarnya merupakan hasil
dari efek berantai (contagion effect) dari krisis ekonomi yang terjadi secara regional. Krisis ini
disebut juga dengan krisis moneter yang ditandai dengan merosotnya nilai mata uang rupiah

terhadap US$ menjadi Rp. 17,000/US$ 1. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar 13%. Krisis ekonomi semakin parah akibat perilaku serakah dari pelaku ekonomi yang melakukan
spekulasi demi mencari keuntungan serta perilaku panik dari pengusaha yang diikuti oleh pelarian
modal (capital flight). Krisis moneter akhirnya menyebabkan terjadinya krisis sosial, krisis politik,
krisis moral, dan krisis keamanan (Syukri, 2014: 108).
4

2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan faktor-faktor yang melatarbelakangi tersebut di atas, maka
penulis dapat merumuskan beberapa masalah pokok yang berhubungan dengan
arah penulisan makalah ini. Untuk itu, dapatlah penulis merunut masalah yang
menjadi perhatian dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah terbentuknya masa Orde Baru di Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan pembangunan di Indonesia pada masa Orde Baru?
3. Apa saja penyimpangan-penyimpangan pada masa Orde Baru?
C. Tujuan Masalah
Sesuai pernyataan-pernyataan seperti dalam rumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya masa Orde Baru di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembangunan di Indonesia pada masa Orde
Baru.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan pada masa Orde Baru.

3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Mulainya Masa Orde Baru
Orde Baru adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk menamai suatu
tatanan pemerintahan negara (rezim politik) Republik Indonesia yang berkuasa
sejak tahun 1966 hingga Mei 1998. Istilah ini muncul untuk membedakan dengan
rezim politik sebelumnya. Dengan dipakai dan disepakatinya penggunaan istilah
ini maka secara otomatis rezim sebelumnya dinamai “Orde Lama.” 6 Terdapat
perbedaan yang sangat prinsipil dan fundamental di samping terdapat kesamaan
pada kedua orde ini. Perbedaannya yang paling mencolok adalah visi politik dan
strategi pencapaiannya dalam memegang tampuk kekuasaan negara. Faktor
penyebab yang utama adalah tantangan situasi sosial politik dan tekad
kepemimpinan yang berbeda.7

Menurut catatan sejarah, tonggak awal lahirnya Orde Baru adalah saat
diserahkannya Surat Perintah 11 Maret 1996 (Supersemar8) yang ditandatangani
oleh

Presiden

Soekarno

di

Istana

Bogor

kepada

Letjen.

Soeharto,

Menteri/Panglima Angkatan Darat, yang kemudian menjadi Presiden RI.
Alasannya adalah karena ia adalah kunci legitimasi yang sangat menentukan.
Sekalipun Soeharto belum menjabat sebagai presiden, namun dengan keluarnya
surat perintah tersebut yang menyatakan bahwa Soeharto memiliki kekuasaan

6

Maka, penamaan Orde Lama tidak ada dasar pijakannya kecuali hanya karena accident of
history saja.
7
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 58-59.
8
Supersemar digunakan oleh Soeharto untuk menghalakan segala bentuk tindakannya
dengan tidak mengindahkan intruksi Soekarno. Ia mencopot 15 orang menteri Kabinet Dwikora
Yang Disempurnakan yang telah bekerja dengan Soekarno dalam waktu yang lama. Tampak sekali
jika Soeharto menggunakan Supersemar yang sebenarnya adalah perintah Presiden (executive
order) itu sebagai sebuah “transfer of authority.” Seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh
kekuasaannya kepada Soharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangai
masalah keamanan dan ketertiban seolah-olah negara sedang dalam keadaan perang, namun
sebenarnya adalah kudeta yang dilakukan secara perlahan dan bertahap. Lihat Baskara T.
Wardaya, Membongkar Supersemar!: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno,
(Yogyakarta: Galangpress, 2009) cet. 3, hlm. 121-122.

4

untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu merupakan pesan implisit
bahwa kekuasaan negara dilimpahkan kepada Soeharto. Oleh sebab itu,
Supersemar menjadi titik tolak dimulainya Orde Baru di mana Soeharto naik
menjadi pejabat presiden yang kedua. Ia diangkat menjadi pejabat presiden pada
Sidang

Istimewa

MPRS

tahun

1967

dengan

TAP

MPRS

No.

XXXIII/MPRS/1967, namun resmi menjadi presiden RI secara definitif pada
tanggal 26 Maret 1968 pada Sidang Umum IV MPRS dengan TAP MPRS No.
XLIV/MPRS/1968

tentang

pengangkatan

pengemban

TAP

MPRS

No.

IX/MPRS/1966 menjadi presiden untuk 5 tahun yang akan datang.9
Setelah posisi Supersemar kuat, baik secar apolitik maupun hukum, MPRS
dalam sidang istimewanya pada tahun 1967 mencabut mandat kepresidenan
Soekarno karena dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan “Tragedi
Nasiona”

pemberontakan

G30S/PKI

melalui

TAP

MPRS

No.

XXXII/MPRS/1967. Ketetapan ini sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian melalui TAP MPRS No.
XLIV/MPRS/1968 Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai presiden definitif,
Presiden RI kedua setelah Presiden Soekarno.10
B. Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Pada tanggal 12 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Presiden Republik
Indonesia oleh parlemen sementara (MPRS).11 MPRS merupakan pengganti
Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota MPRS ditunjuk dan
diangkat oleh Presiden yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan
utusan-utusan daerah dan golongan. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1959 dan juga pemenuhan dari dekrit presiden 5 Juli
195912. Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali
kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto
9

Ibid., hlm. 59.
Ibid.
11
Nana Supriatna, Sejarah: untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas Program Ilmu
Pengetahuan Alam, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), Jil. 3, hlm. 14.
12
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri secara formal periode Demokrasi Parlementer.
Dekrit ini didukung oleh rakyat Indonesia juga partai-partai politik besar dan oleh KSAD yang
merupakan konseptornya. KSAD menginstruksikan kepada seluruh jajaran TNI AD untuk
melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut.
10

5

Politik. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Tahun 1959 terdiri atas: 261
orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan karya.
Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan GBHN. 13
Selanjutnya, pada 22 Februari 1967 bertempat di Gedung Merdeka Jakarta
dilakukan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal
Soeharto yang menandai berakhirnya masa kekuasaan pemerintah Orde Lama.
Berakhirnya kekuasaan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno menandai
dimulainya masa kekuasaan pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Waktu itu peran pemerintah terhadap kehidupan masyarakat demikian kuat.
Menguatnya peran dan dominasi pemerintah Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto tampak jelas dari kegiatan-kegiatan kenegaraan.14
Pada 27 Maret 1968, MPRS dalam sidangnya mengangkat Jenderal Soeharto
(pengemban Supersemar) menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan
Presiden Soekarno. Sejak saat itu, Jenderal Soeharto secara resmi memangku
jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua. Tiga bulan setelah
dilantik, pada 6 Juni 1968 Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan
Kabinet Pembangunan dan membubarkan Kabinet Ampera.15
Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia dengan
mengubah kebijakan luar dan dalam negeri Indonesia secara drastis. Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer,
namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian pendapatan asli daerah juga kurang adil karena 70% dari pendapatan

13

Ratna Sukmayani, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 3: untuk SMP/MTs Kelas IX, (Jakarta:
Pusat Perbukuan, 2008), hlm. 69; Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan
Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia,
(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2008), Jil. 6, hlm. 420.
14
Supriatna, loc.cit.
15
Ibid.

6

asli daerah tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada pusat sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.16
Adapun tugas pokok Kabinet Pembangunan sebagaimana tercantum dalam
Tap MPRS No. X1I/MPRS/I968 adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak keberhasilan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan
Umum (Pemilu).
2. Menyusun dan melaksanakan Repelita pertama.
3. Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya pada 5 Juli 1971.
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis
sisa-sisa Gerakan 30 September dan setiap rongrongan, penyelewengan, serta
pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan menyeluruh aparatur negara,
baik di tingkat pusat maupun daerah.17
Tugas pokok Kabinet Pembangunan kemudian dikenal dengan nama
Pancakrida Kabinet Pembangunan I. Pelantikan menteri-menteri Kabinet
Pembangunan Pertama dilaksanakan pada 19 Juni 1968 di Istana Negara Jakarta.
Dalam Kabinet Pembangunan Pertama tersebut duduk 5 menteri negara dan 18
menteri yang memimpin departemen.18
Pada November 1968, Presiden Soeharto memimpin langsung rapat Paripurna
Kabinet Pembangunan Pertama. Pemerintah mempunyai rencana pembangunan
yang dikelompokkan berdasarkan jangka waktu seperti berikut:
1. Rencana untuk pembangunan jangka panjang dengan periode 25 tahun (PJP).
2. Rencana pembangunan jangka menengah dengan periode 5 tahun (Repelita).
3. Rencana jangka pendek tahunan yang tertuang dalam RAPBN.19
Masalah pokok yang dibahas selanjutnya adalah laporan Ketua Bappenas Prof.
Dr. Widjojo Nitisastro tentang persiapan penyusunan Program Pembangunan
16

Prawoto, Seri IPS Sejarah: SMP Kelas IX, (Jakarta: Penerbit Yudhistira, 2006), hlm. 116.
Supriatna, loc.cit.
18
Ibid.
19
Prawoto, loc.cit.

17

7

Jangka Panjang Pertama (PPJP tahap I) yang akan dimulai 1 April 1969 sampai
31 Maret 1994. Sementara PJP tahap II direncanakan mulai dari 1 April 1994
sampai dengan 31 Maret 2019. Di bawah ini merupakan tujuan Pelita pada PJP
tahap I.20
1. Repelita I (1969-1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur
dengan penekanan pada bidang pertanian.
2. Repelita II (1974-1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau
selain Jawa, Bali, dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
3. Repelita III (1979-1984) menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.
4. Repelita IV (1984-1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan
industri.
5. Repelita V (1989-1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi, dan
pendidikan.21
Dengan meningkatkan bidang industri dan pertanian secara bertahap seperti
tersebut di atas, akan terpenuhilah kebutuhan pokok rakyat dan akan tercapailah
struktur ekonomi yang seimbang, ialah struktur ekonomi dengan titik berat
kekuatan industri yang didukung oleh bidang pertanian yang kuat, setelah
dilampaui Pembangunan Lima Tahun yang Kelima atau yang Keenam yang akan
menjadi landasan bidang ekonomi untuk mencapai tujuan nasional, ialah
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.22
Berikut ini adalah pembangunan nasional yang disusun dalam Program
Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PPJP I).
1. Pelita I
Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaan Pelita I (1969-1974). Pada Pelita 1
ini, Orde Baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat
menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum Orde Baru

20

Ibid.
Ibid.
22
Soetrisno, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia: Suatu Studi, (Yogyakarta: Andi Offset,
1992), Ed. 2, hlm. 281.
21

8

keadaan ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflansi rata-rata
25% per tahun, dalam perioJe 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju ratarata 226% per tahun, dan pada 1966 laju inflansi mencapai puncaknya, yaitu
650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat
kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik.
Pada masa Orde Baru, kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976,
laju inflansi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya.
Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang
telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan Pelita I 1969. Adapun titik berat
Pelita I adalah pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor
pertanian.
Adapun sasaran Pelita I, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelaksanaan Repelita I termasuk pembiayaannya
Pada masa Orde Baru, kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976,
laju inflansi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya.
Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang
telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan Pelita I 1969. Adapun titik berat
Pelita I adalah pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor
pertanian.
Adapun sasaran Pelita I, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelaksanaan Repelita I termasuk pembiayaannya selalu disetujui oleh DPR
dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.23
2. Pelita II
Pelita I berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakkan dasar- dasar yang
kuat bagi pelaksanaan Pelita II. MPR hasil Pemilu 1971 secara aklamasi memilih
dan mengangkat kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR

23

Supriatna, op.cit., hlm. 15.

9

hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun GBHN melaui Tap MPR RI No.
IV/MPRS/1973.
Dalam GBHN 1973 terdapat rumusan Pelita II, yaitu:
a. Tersedianya bahan pangan dan sangan yang cukup dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat;
b. Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan
masyarakat;
c. Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d. Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata; dan
e. Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan Pelita II, Presiden Soeharto kemudian membentuk
Kabinet Pembangunan II. Program kerja Kabinet Pembangunan II disebut Sapta
Krida Kabinet Pembangunan II, yang meliputi:
a. Meningkatkan stabilitas politik;
b. Meningkatkan stabilitias keamanan;
c. Melanjutkan Pelita I dan melaksanakan Pelita II;
d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
e. Melaksanakan Pemilihan Umum.24
3. Pelita III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan
pada Pelita III adalah pembangunan sektor pertanian menuju swasembada pangan
yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
Sasaran pokok Pelita III diarahkan pada Trilogi Pembangunan dan delapan
jalur pemerataan.
a. Trilogi Pembangunan mencakup:
1)

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

2)

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
24

Ibid., hlm. 15-16.

10

3)

Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

b. Delapan jalur pemerataan mencakup:
1)

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan
perumahan bagi rakyat banyak;

2)

Pemerataan

kesempatan

memperoleh

pelayanan

pendidikan

dan

kesehatan;
3)

Pemerataan pembagian pendapatan;

4)

Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;

5)

Pemerataan memperoleh kesempatan berusaha;

6)

Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya
bagi generasi muda dan kaum wanita;

7)

Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah indonesia;

8)

Pemerataan memperoleh keadilan.

Untuk melaksanakan Pelita III, Presiden Soeharto yang kembali terpilih
menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya oleh MPR hasil Pemilu membentuk
Kabinet Pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978.
Program kerja Kabinet Pembangunan III, disebut Sapui Krida Kabinet
Pembangunan III, yang meliputi:
a.

Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
memeratakan hasil pembangunan;

b.

Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;

c.

Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;

d.

Menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa;

e.

Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan di¬landasi oleh
penghayatan dan pengamalan Pancasila;

f.

Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;

g.

Mengembangkan politik luar negeri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada
kepentingan nasional.25

25

Ibid., hlm. 16-17.

11

4. Pelita IV
Repelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan
pelaksanaan Pelita IV yang dimulai l April 1989. Untuk ketiga kalinya Jenderal
Soeharto terpilih dan diangkat kembali oleh MPR hasil Pemilu. Untuk
melaksanakan Pelita IV, Presiden Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan
IV. Titik berat Pelita IV adalah pembangunan sektor pertanian untuk melanjutkan
usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin- mesin sendiri, baik untuk mesin-mesin industri ringan
maupun industri berat.
Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut.
a. Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman, Penghayatan,
dan Pengamalan Pancasila).
b. Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan
meningkatkan mutu pendidikan.
c. Bidang Keluarga Berencana (KB), menekankan pada pengen¬dalian laju
pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.26
5. Pelita V
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan
Pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan Pelita terakhir dari
keseluruhan Program Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PPJP I). Pelita V
merupakan masa tinggal landas untuk memasuki Program Pembangunan Jangka
Panjang Kedua (PPJP II), yang akan dimulai pada Pelita VI pada 1 April 1999.
Titik berat Pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya serta
sektor industri, khususnya industri yang menghasilkan harang untuk ekspor,
industri yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya
struktur ekonomi yang seimbang antara industri dengan pertanian, haik dari segi
nilai tambah maupun dari segi penyerapan tenaga kerja.
26

Ibid., hlm. 17-18.

12

6. Pelita VI
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan
Pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir Pelita V diharapkan akan
mampu menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan Pelita
VI dan memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan Program
Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II). Titik berat Pelita VI diarahkan
pada pembangunan sektor-sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan
pertanian serta hidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan
moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi
menyebabkan terjadi gejolak sosial politik yang mengarah pada penentangan
terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru. Kenaikan tarif BBM pada 1997
merupakan awal gerakan pengkoreksian massa rakyat dan mahasiswa terhadap
pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu terjadilah gelombang demonstrasi,
kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran di ibu kota Jakarta yang kemudian
penjarahan, dan pembakaran di ibu kota Jakarta yang kemudian menyebar ke
seluruh wilayah di tanah air.27
Jika dilihat dari uraian Pelita I sampai VI dapat disimpulkan bahwa setiap
Repelita dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap I yang menjadi perhatian
khusus adalah sektor pertanian. Pembangunan nasional Indonesia dari Repeliti ke
Repelita berikutnya terus mengalami peningkatan keberhasilan pembangunan. Hal
ini dapat dilihat dari fakta empiris, bahwa pendapatan per kapita bangsa Indonesia
terus meningkat (pada tahun 1997 pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$
1.110 atau sekitar empat kali lipat pendapatan per kapita pada tahun 1967) dan
masyarakat miskin terus mengalami penurunan hingga tahun 1996 (pada tahun
1965 angka kemiskinan Indonesia sebesar 60% jumlah penduduk pada tahun
1965; hingga tahun 1996 angka kemiskinan turun sebesar 16%).28

27

Ibid., hlm. 18.
Daud Aris Tanudirjo, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2013), Jil. 8, hlm. 147.
28

13

Karena keberhasilannya dalam bidang pembangunan dan perekonomian
tersebut, pada tahun 1993 Indonesia digolongkan sebagai salah satu “ekonomi
Asia yang berkinerja tinggi” (high-performing Asian economies, HPAEs) oleh
Bank Dunia dalam bukunya yang terkenal, The East Asian Miracle (Keajaiban
Asia Timur). Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai “negara industri baru”
(newly industralised countries).29
C. Penyimpangan-penyimpangan pada Masa Orde Baru
Orde Baru yang pada awalnya bertujuan untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen, ternyata banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan seperti berikut:
1. Pembantaian rakyat
Pembantaian yang terjadi misalnya pembunuhan oknum PKI, peristiwa
Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, dan kasus Trisakti.30
2. Penggusuran
Motif penggusuran adalah pengambilalihan hak tanah rakyat, antara lain
menjadi pabrik, pangkalan militer, dan waduk. Contoh dari penggusuran Orde
Baru adalah peristiwa Kedung Ombo dan penggusuran di Pulau Bintan.31
3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Pada Orde Baru, kebijakan ekonomi yang dijalankan lebih banyak memberi
fasilitas kepada kelompok-kelompok tertentu. Khususnya kelompok yang dapat
memberikan timbal balik yang besar dan kelompok yang berafiliasi dengan
kekuasaan. Contoh praktek korupsi yang terjadi adalah Yayasan DAKAB dan
Supersemar, penyelundupan minyak di Pertamina, Freeport di Papua.32
4. Kasus-kasus lain

29

Abdullah dan Lapian, ibid.
Prawoto, op.cit., hlm. 116.
31
Ibid.
32
Ibid.

30

14

Selain beberapa kualifikasi kasus tersebut di atas masih banyak terjadi kasus
lainnya, yaitu antara lain pembredelan media masa (Tempo, Detik, Editor, dll),
penculikan aktivis mahasiswa, dan aktivis buruh.33
Selama masa pemerintahan Soeharto, terjadi pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Selain kasus korupsi, kolusi, monopoli, dan
penggusuran, kebijakan yang sifatnya rasial adalah larangan berekspresi bagi
warga Tionghoa. Sejak tahun 1967. warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung menghapus hak-hak azasi mereka. Kesenian
barongsai, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian bahasa Mandarin dianjurkan
tidak ditonjolkan secara terbuka. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin
yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis
dalam bahasa Indonesia. Diizinkannya harian tersebut terbit karena harian ini
dikelola oleh ABRI. Kebijakan yang paling menyulitkan warga Tionghoa adalah
agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa
yang populasinya ketika itu kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di tanah air. Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang
yang bertolak belakang dengan ajaran komunisme. Orang Tionghoa dijauhkan
dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia
politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.34

33
34

Ibid.
Ibid.

15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah mengkaji dan membahas pembangunan di Indonesia pada masa Orde
Baru, penulis dapat menarik catatan sesuai dengan rumusan masalah sebagai
kesimpulan.
Proses pembangunan di Indonesia sekalipun telah dimulai pada masa
Soekarno atau pada masa Orde Lama, namun perkembangan dan kemajuan dalam
bidang pembangunan di Indonesia sangat besar jasanya pada masa Soeharto atau
pada masa Orde Baru.
Perencanaan pembangunan yang tersusun rapi dan diatur dalam GBHN
menjadikan pembangunan pada masa Orde Baru sebagai prioritas utama di
Indonesia. Pembangunan menjadi fokus pemerintah bersama masyarakat Indonesia sehingga dampaknya dapat dirasakan bersama. Perkembangan-perkembangan
setiap tahunnya membuat pemerintah berhasil melaksanakan pembangunan di
Indonesia.
Keseriusan pemerintah dalam pembanguan nasional dituangkan Presiden
Soeharto ke dalam rencana pembangunan nasional yang dibagi ke dalam beberapa
jangka waktu, yaitu: Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Pembangunan Jangka
Menengah periode lima tahunan (Repelita), dan Pembangunan Jangka Pendek
yang tertuang dalam RAPBN.
PJP terwujud dalam Pembangunan Jangka Menengah lima tahunan yang
dimulai dari tahun 1969 hingga 1994. Sekalipun Soeharto lengser pada tahun
1999, namun rencana pembangunan pada masa ini kurang dapat dikatakan
berhasil karena krisis moneter melanda Indonesia. Salah satu penyebab lengsernya
Soeharto pun adalah karena krisis moneter tersebut.

16

Kehebatan dan keberhasilan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru
dalam berbagai bidang khususnya pembangunan di Indonesia tidak serta merta
terhindar dari penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan tersebut dilandasi
oleh beberapa faktor, baik internal pemerintah maupun eksternal. Penyimpangan
seperti penggusuran, penangkapan, dan sebagainya membuktikan bahwa Soeharto
melakukan beberapa praktek penyimpangan kekuasaan.
Sekalipun demikian, masyarakat Indonesia patut bersyukur dengan hasil jerih
payah Soeharto dalam melaksanakan dan mengembangkan pembangunan nasional
di Indonesia.
B. Saran
Segala hal akan mempunyai nilai positif dan nilai negatif. Pembunuhan yang
dilakukan oleh mantan ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Antasari
Azhar, dapat dilihat nilai positifnya dan begitu juga dapat dilihat nilai negatifnya.
Begitu juga dengan pelaksanaan pembangunan nasional yang terencana yang
dilakukan oleh Soeharto. Seperti dua sisi mata uang, nilai negatif dan nilai positif
selalu ada sekalipun nilai positifnya sedikit sekali. Sehingga alangkah lebih baik
jika penilaian kita terhadap usaha-usaha Soeharto dalam melaksanakan
pembangunan di Indonesia cukup diapresiasi.

17

DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho dan Kartodirdjo,
Sartono. 2008.
Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia.
Jilid 6. Jakarta: PT. Balai Pustaka.
Prawoto. 2006.
Seri IPS Sejarah: SMP Kelas IX. Jakarta: Penerbit Yudhistira.
Salleh, Muhammad Syukri, dkk. 2014.
Islamisasi Pembangunan. Medan: UMSU Press.
Soetrisno. 1992.
Kapita Selekta Ekonomi Indonesia: Suatu Studi. Edisi 2. Yogyakarta: Andi
Offset.
Sukmayani, Ratna, dkk. 2008.
Ilmu Pengetahuan Sosial 3: untuk SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Pusat
Perbukuan.
Supriatna, Nana. 2007.
Sejarah: untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas Program Ilmu
Pengetahuan Alam. Jilid 3. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Tanudirjo, Daud Aris. 2011.
Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. Jilid 8. Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve.
Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001.
Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia.
Yogyakarta: LKiS.

18

Wardaya, Baskara T. 2009.
Membongkar Supersemar!: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan
Bung Karno. Cetakan 3. Yogyakarta: Galangpress.

19