BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Prestasi Kerja - Pengaruh Kompensasi Finansial, Motivasi Kerja, Lingkungan Kerja Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.Ii Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Prestasi Kerja

  Istilah prestasi kerja sering dikenal sebagai kinerja dan kerap kali diartikan sebagai output dari pekerjaan yang diselesaikan oleh karyawan/pekerja di suatu organisasi sebagai indikasi apakah tujuan, visi, misi, dan tujuan organisasi tersebut telah tercapai. Prestasi kerja yang baik tidak terjadi secara otomatis, melainkan timbul dari feedback penilaian yang baik oleh pihak organisasi, khususnya pihak manajemen. Berhasil atau tidaknya suatu organisasi dapat terlihat dari bagaimana prestasi/kinerja yang dihasilkan oleh para karyawannya. Ini disebabkan karena karyawan merupakan sumber daya yang penting dalam menjalankan aktivitas operasional organisasi. Menurut Wirawan (2009:5), kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Mathis and Jackson (2002:78) memaparkan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan adalah yang memengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output¸ kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif.

  Prestasi kerja dapat dilihat melalui evaluasi/penilaian prestasi kerja. Menurut Mathis and Jackson (2002:81), penilaian kinerja (performance pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standar, dan kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan. Singkatnya, Mangkuprawira (2004:223) mengatakan bahwa penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang. Apabila hal itu dikerjakan dengan benar, maka karyawan, penyelia, departemen SDM, dan perusahaan akan menguntungkan dengan jaminan bahwa upaya para individu karyawan mampu berkontribusi pada fokus strategik dalam perusahaan. Manfaat dari penilaian kinerja sebagai berikut: a)

  Perbaikan kinerja Umpan balik kinerja bermanfaat bagi karyawan, manajer, dan spesialis personal dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki kinerja.

  b) Penyesuaian kompensasi

  Penilaian kinerja membantu pengambil keputusan menentukan siapa yang seharusnya menerima peningkatan pembayaran dalam bentuk upah/gaji dan bonus.

  c) Keputusan penempatan

  Promosi, transfer, dan penurunan jabatan biasaya didasarkan pada kinerja masa lalu dan antisipatif, misalnya dalam bentuk penghargaan.

  d) Kebutuhan pelatihan dan pengembangan

  Kinerja yang buruk mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk melakukan pelatihan kembali. Setiap karyawan hendaknya selalu mampu mengembangkan diri. e) Perencanaan dan pengembangan karir

  Umpan balik kinerja membantu proses pengambilan keputusan tentang karir spesifik karyawan.

  f) Defisiensi proses penempatan staf

  Baik buruknya kinerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan dalam prosedur penempatan staf di departemen SDM.

  g) Ketidakakuratan informasi

  Kinerja yang buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi analisis pekerjaan, rencana SDM, atau hal lain dari sistem manajemen personal. Hal demikian akan mengarahkan pada ketidakakuratan dalam keputusan menyewa karyawan, pelatihan, dan keputusan konseling.

  h) Kesalahan rancangan pekerjaan

  Kinerja buruk mungkin sebuah gejala dari rancangan pekerjaan yang keliru. Lewat penilaian dapat di diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut. i)

  Kesempatan kerja yang sama Penilaian kinerja yang akurat yang secara aktual menghitung kaitannya dengan kinerja dapat menjamin bahwa keputusan penempatan internal bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminasi. j)

  Tantangan-tantangan eksternal Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan pekerjaan. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi melalui penilaian, k) Umpan balik pada SDM

  Kinerja yang baik dan buruk diseluruh organisasi mengindikasikan bagaimana sebaiknya fungsi departemen SDM diterapkan.

  Apabila dilihat dari tolok ukur penilaiannya, Gomes (1995) menjelaskan bahwa terdapat 3 tipe kriteria yang digunakan untuk penilaian prestasi kerja tersebut antara lain: 1.

  Penilaian prestasi berdasarkan hasil (Result-Based performance

  Appraisal/evaluation )

  Kriteria ini menjelaskan prestasi kerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur tiap hasil akhir (end results). Para karyawan akan terfokus pada tujuan dan merasa lebih bertanggungjawab dalam pelaksanaan pencapaian tujuan tersebut.

  2. Penilaian prestasi berdasarkan perilaku (Behaviour-Based

  performance Appraisal/evaluation )

  Kriteria ini mengukur sarana pencapaian sasaran, dan bukan hasil akhir. Karyawan dapat membedakan mana perilaku atau kinerja yang efektif dan yang tidak efektif.

  3. Penilaian prestasi berdasarkan penilaian (Result-Based performance

  Appraisal/evaluation )

  Kriteria ini mengukur prestasi kerja dengan cara menilai/mengevaluasi kinerja karyawan berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik, kuantitas dan kualiatas kerja, pengetahuan pekerjaan, kreatifitas, koorporasi, dapat dipercaya, inisiatif, dan kualitas individu.

  Sistem penilaian pada dasarnya membutuhkan standar kinerja guna menjadi tolok ukur yang ideal mengenai seberapa jauh keberhasilan suatu pekerjaan telah tercapai. Agar efektif, standar kinerja perlu disepakati bersama terkait dengan hasil yang ingin dicapai organisasi tersebut. idealnya, hal itu tercantum dalam catatan standar kinerja yang memaparkan penjelasan terkait standar ini sebelum penilaian dilakukan. Ini digunakan agar terciptanya akuntabilitas para karyawan, penyelia, dan manajemen puncak dalam organisasi tersebut. Mathis and Jackson (2002:80) menjabarkan standar kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang diharapkan dan merupakan bahan perbandingan atau tujuan/target

  —tergantung dari pendekatan yang di ambil. Standar kinerja/prestasi kerja yang realistis, terukur, dan mudah dipahami menguntungkan baik bagi organisasi maupun karyawan.

2.1.2 Kompensasi Finansial

  Kompensasi merupakan pengeluaran bagi perusahaan. Pada umumnya perusahaan memberikan kompensasi kepada para karyawannya guna mendapatkan imbal balik yang positif dari kinerja yang dihasilkan karyawannya. Oleh karena itu, kompensasi dapat diartikan sebagai alat penukar dari prestasi kerja yang hasilkan karyawan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan.

  Untuk memperjelas defenisi dari kompensasi, berikut beberapa pendapat dari para ahli: a. Drs Malayu S. P Hasibuan Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas balas jasa yang diberikan kepada perusahaan.

  b. William B. Wether dan Keith Davis Compensation is what employee receive in exchange of their work.

  

Whether hourly wages or periodic salaries, the personnel department usually

designs and administers employee compensation. (Kompensasi adalah apa yang

  pekerja terima sebagai balasan dari pekerjaan yang diberikan, baik upah per jam ataupun gaji periodik di desain dan dikelola oleh bagian personalia).

  c. Edwin B. Flippo

  Wages is defined as the adequate and equitable renumeration of personnel

for their constribution to organizational objectives. (Upah didefinisikan sebagai

  balas jasa yang adil dan layak diberikan kepada para pekerja atas jasa-jasanya dalam mencapai tujuan organisasi).

  d. Andrew F. Sikula

  A compensation is anything that constitutes or is regarded as an

equivalent or recompense. (Kompensasi adalah segala sesuatu yang

  dikonstitusikan atau dianggap sebagai suatu balas jasa atau ekuivalen).

  e. R. Wayne Mondy Kompensasi adalah total seluruh imbalan yang diterima karyawan sebagai pengganti jasa yang telah mereka berikan. f. Robert L. Malthis dan John H.. Jackson Kompensasi adalah faktor penting yang memengaruhi bagaimana dan mengapa orang-orang bekerja pada suatu organisasi dan bukan pada organisasi yang lainnya.

  Pemberian kompensasi ini biasanya ditujukan untuk kepentingan organisasi/perusahaan, karyawan, masyarakat, dan pemerintah. Pada umumnya, pemberian kompensasi didasarkan pada prinsip adil dan wajar dengan mempertimbangkan hal-hal penting lainnya seperti undang-undang perburuhan.

  Peterson dan Plowman dalam Hasibuan (2010) mengatakan bahwa orang mau bekerja karena hal-hal berikut:

  1. The desire lo live, artinya keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang. Manusia bekerja untuk dapat makan dan melanjutkan hidup.

  2. The desire for possession, artinya keinginan untuk memiliki sesuatu merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu sebab mengapa manusia mau bekerja.

  3. The desire for power, artinya keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di atas keinginan untuk memiliki, mendorong orang mau bekerja.

4. The desire for recognition, artinya keinginan akan pengakuan merupakan jenis terakhir dari kebutuhan dan juga mendorong orang mau bekerja.

  Ada beberapa tujuan perusahaan atau organisasi terkait pemberian kompensasi yang diberikan kepada para karyawannya. Hasibuan (2010) memaparkannya sebagai berikut:

  a) Ikatan Kerja Sama

  Dengan pemberian kompensasi, terjalinlah ikatan kerja sama formal antara pemberi kerja dengan para pekerjanya. Karyawan harus mengerjakan tugasnya, sedangkan pemberi kerja wajib membayar kompensasi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

  b) Kepuasan Kerja

  Dengan balas jasa, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoistiknya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari jabatannya.

  c) Pengadaan Efektif

  Jika program kompensasi ditetapkan cukup besar, pengadaan karyawan yang qualified untuk perusahaan akan lebih mudah.

  d) Motivasi

  Jika balas jasa yang diberikan cukup besar, manajer akan mudah memotivasi bawahannya.

  e) Stabilitas Karyawan

  Dengan program kompensasi atau prinsip adil dan layak serta eksternal konsistensi yang komparatif maka stabilitas karyawan lebih terjamin karena turn-over kecil. f) Disiplin

  Dengan pemberian balas jasa yang cukup besar maka disiplin karyawan semakin baik.

  g) Pengaruh Serikat Buruh

  Dengan program kompensasi yang baik pengaruh serikat buruh dapat dihindarkan dan karyawan akan berkonsentrasi pada pekerjaannya.

  h) Pengaruh Pemerintah

  Jika program kompensasi sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku seperti upah minumun, maka intervensi pemerintah dapat dihindari. Malthis dan Jackson (2002) menjelaskan imbalan balas jasa dapat berbentuk internal dan eksternal. Imbalan Internal antara lain pujian yang didapatkan untuk penyelesaian suatu proyek atau berhasil memenuhi beberapa tujuan kinerja. Imbalan eksternal bersifat terukur, memiliki bentuk imbalan moneter maupun non-moneter. Dengan Kompensasi tidak langsung berupa tunjangan untuk karyawan, sedangkan jenis kompensasi bersifat langsung, imbalan moneter diberikan oleh pengusaha berupa:

   gaji/upah.

  Gaji pokok : kompensasi dasar yang diterima oleh karyawan sebagai

   pencapaian kinerja berupa bonus atau insentif.

  Gaji Variabel : kompensasi yang berhubungan langsung dengan

  K O M P E N S A S I TIDAK LANGSUNG L A N G S U N G A.

TUNJANGAN GAJI POKOK 1.

  Upah 1.

  Asuransi Kesehatan 2. Gaji 2.

  Liburan Pengganti B.

GAJI VARIABEL 3.

  Dana Pensiun 1. Bonus 4.

  Kompensasi Pekerja 2. Insentif 3.

  Kepemilikan saham

Gambar 2.1 Komponen Program Kompensasi

  Sumber: Malthis, Robert L dan John H. Jackson, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 1, Salemba Empat, Jakarta.

  Terdapat dua filosofi kompensasi yang mendasar, yang dapat dilihat sebagai titik berlawanan dari suatu garis lurus.

  a.

  Orientasi Kelayakan Filosofi kelayakan dapat dilihat di banyak organisasi yang secara tradisional telah memberikan kenaikan otomatis kepada karyawannya setiap tahun. Biasanya kenaikan gaji merujuk pada kenaikan biaya hidup.

  b.

  Orientasi Kinerja Jika filosofi orientasi kinerja ini diikuti, tidak seorangpun yang dijamin lagi dalam melayani perusahaan. Malahan, gaji dan insentif didasarkan pada perbedaan kinerja di antara seluruh karyawan. Karyawan yang berkinerja baik akan mendapatkan kenaikan kompensasi yang lebih besar.

Gambar 2.2 Garis Lurus dari Filosofi kompensasi

  c.

  e. bonus dikaitkan dengan kinerja

  d. perbandingan industri yang meluas e. Bunus ―Santa Claus‖

  Hanya perbandingan industri

  d.

  c. Struktur gaji yang disesuaikan dengan pasar.

  Skala kenaikan yang dijamin

  b. tidak ada kenaikan untuk masa kerja yang lebih lama untuk yang berkinerja buruk.

  Sumber: Malthis, Robert L dan John H. Jackson, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 1, Salemba Empat, Jakarta.

  a. Tidak ada kenaikan untuk lama kerja b. Kenaikan seluruh posisi

  Berdasarkan senioritas

  Kelayakan………………………….………Kinerja a.

  Suatu metode yang dalam gaji pokok didasarkan atas beberapa pertimbangan

  Suatu metode yang dalam penetapan gaji pokok hanya didasarkan atas ijasah terakhir dari pendidikan formal yang dimiliki karyawan. Misalnya pegawai negeri sipil ijasah formal S-1, maka golongannya adalah III-A dan gaji pokoknya adalah gaji pokok III-A.

  Menurut Hasibuan (2010) terdapat dua metode kompensasi yaitu: 1. Metode Tunggal

2. Metode Jamak

  ikut menentukan besarnya gaji pokok seseorang. Jadi, standar gaji pokok yang pasti tidak ada. Ini terdapat pada perusahaan-perusahaan swasta yang didalamnya masih sering terdapat diskriminasi.

  Lebih lanjut lagi, Hasibuan (2010) memaparkan mengenai sistem dan kebijaksanaan kompensasi yaitu:

1. Sistem Kompensasi

  Sistem pembayaran kompensasi yang umum diterapkan ada tiga (3) antara lain: a.

  Sistem Waktu Dalam sistem waktu, besarnya kompensasi ditetapkan berdasarkan standar waktu seperti jam, minggu, atau bulan. Administrasi pengupahan sistem waktu relatif mudah serta dapat diterapkan kepada karyawan tetap maupun pekerja harian.

  Misalnya, joko pekerja harian, upahnya perhari sebersar Rp70.000,00. Jika bekerja selama 6 hari, maka upahnya sama dengan 6 x Rp70.000,00 = Rp420.000,00. Victor Harianja, SH karyawan tetap gajinya per bulan Rp6.000.000,00. Jadi setiap bulannya Victor menerima gaji sebesar Rp6.000.000,00.

  Kebaikan sistem waktu adalah administrasi pengupahan mudah dan besarnya kompensasi yang akan dibayarkan tetap. Kelemahan sistem waktu adalah pekerja yang malaspun kompensasinya tetap dibayarkan sebesar perjanjian. b.

  Sistem Hasil (output) Dalam sistem hasil, besarnya kompensasi/upah ditetapkan atas kesatuan unit yang dihasilkan pekerja seperti per potong, meter, liter, dan kilogram.

  Misalnya, perusahaan Genting Merah menetapkan upah per genting Rp1.000,00. Jika Ali dapat mengerjakan 500 genting maka kompensasi yang diterimanya = 500 genting x Rp1.000,00= Rp500.000,00.

  Kebaikan sistem hasil memberikan kesempatan kepada karyawan yang bekerja bersungguh-sungguh serta berprestasi baik akan memperoleh balas jasa yang lebih besar. Kelemahan sistem hasil adalah kualitas barang yang dihasilkan kurang baik dan karyawan yang kurang mampu akan mendapat balas jasanya kecil, sehingga kurang manusiawi.

  c.

  Sistem Borongan Sistem borongan adalah suatu cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya, penetapan besarnya balas jasa berdasarkan sistem borongan cukup rumit, lama mengerjakannya, serta banyak alat yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Misalnya, Drs. Ali, SE., Ak memborong menyelesaikan pembukuan PT Sijungkang tahun buku 2012 sebersar Rp200.000.000,00. Jika kalkulasinya kurang tepat, bisa-bisa dia hanya mendapatkan balas jasa yang rendah. Sebaliknya, jika kalkulasinya cukup baik, dia akan memperoleh balas jasa yang relatif besar.

  2. Kebijaksanaan Kompensasi Kebijaksanaan kompensasi, baik besarnya, susunannya, maupunwaktu pembayarannya dapat mendorong gairah kerja dan keinginan karyawan untuk mencapai prestasi kerja yang optimal sehingga membantu terwujudnya sasaran perusahaan. Besarnya kompensasi harus ditetapkan berdasarkan analisis pekerjaan, uraian pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, posisi jabatan, konsistensi eksternal, serta berpedoman kepada keadilan dan undang-undang perburuhan. Dengan kebijaksanaan ini, diharapkan akan terbina kerja sama yang serasi dan memberikan kepuasan bagi semua pihak.

  Misalnya, susunan kompensasi ditetapkan untuk kompensasi langsung sebesar 60% dari pendapatan sedangkan kompensasi tidak langsung sebesar 40% dari pendapatannya akan dapat memperbaiki kehadiran karyawan.

  3. Waktu Pembayaran Kompensasi Kompensasi harus dibayarkan tepat pada waktunya, jangan sampai terjadi penundaan, supaya kepercayaan karyawan terhadap bonafiditas perusahaan semakin besar, ketenagan, dan konsentrasi kerja akan lebih baik. Jika pembayaran kompensasi tidak tepat pada waktunya akan mengakibatkan disiplin, moral, gairah kerja karyawan menurun, bahkan turn-over karyawan semakin besar.

  Misalnya, gaji dibayarkan setiap tanggal satu, jika pada tanggal satu adalah hari minggu, maka pemberian kompensasi dilaksanakan pada hari sabtu (dipercepat).

  Kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kepada para karyawannya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung. Berikut terdapat 10 hal yang memengaruhi besarnya kompensasi yang diberikan: a.

  Penawaran dan penerimaan tenaga kerja b. Kemampuan dan kesediaan perusahaan c. Serikat buruh atau organisasi karyawan d. Produktivitas kerja karyawan e. Pemerintah dengan undang-undang dan Keppresnya f. Biaya hidup/cost of living g.

  Posisi jabatan karyawan h. Pendidikan dan pengalaman karyawan i. Kondisi perekonomian nasional j. Jenis dan sifat pekerjaan

  Dengan adanya teori-teori pendukung di atas, maka penulis menarik suatu hipotesis dalam penelitian ini yaitu: H1 : Kompensasi Finansial berpengaruh secara signifikan terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.II Medan.

2.1.3 Motivasi Kerja

  Menurut French dan Raven, sebagaimana dikutip dalam Sule dan Saefullah (2010), motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk

  

behave in certain ways. Motivasi dimulai ketika seseorang menyadari bahwa

  dirinya memiliki kebutuhan atau kesenjangan atas kebutuhan tertentu, katakanlah pendapatan yang minim. Akibat dari pendapatan yang minim tersebut, orang tersebut melakukan tindakan pencarian jalan keluar untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, maka seseorang tersebut berpikir untuk mendapatkan pekerjaan alternatif lainnya, ataupun berkerja lebih giat lagi sebagai upaya mendapatkan penghasilan yang lebih memadai.

  Bernard Berelson dan Gary A. Steiner dalam Siswanto (2008:119) mendefenisikan motivasi sebagai all those inner striving conditions variously

  

described as wishes, desires, needs, drives, and the like. Motivasi dapat diartikan

  sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan (moves), dan mengarah atau menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan. Secara singkat di satu pihak pasif, motivasi tampak sebagai kebutuhan sekaligus sebagai pendorong yang dapat menggerakkan semua potensi, baik karyawan maupun sumber daya lainnya. Di lain pihak dari segi aktif, motivasi tampak sebagai suatu usaha positif dalam menggerakkan daya dan potensi karyawan agar secara produktif berhasil mencapai tujuan.

  Maslow dalam Robbins dan Coulter (2010) seseorang akan termotivasi apabila ada kebutuhan yang belum mampu ia capai. Begitu tingkat ini dipuaskan, individu tersebut tidak akan lagi memotivasi perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya yang lebih tinggi menjadi dominan. Dua tingkat kebutuhan dapat yang dianggap menjadi motivator yang lebih kuat dari perilaku. Maslow juga menekankan bahwa makin tinggi tingkat kebutuhan, makin tidak penting individu tersebut untuk mempertahankan hidup (survival) dan makin lama pemenuhannya dapat ditunda. Selanjutnya, Maslow mengajukan bahwa ada lima kelompok kebutuhan, yaitu: a.

  Kebutuhan fisiologis (physiological needs) yaitu kebutuhan seseorang akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, dan kebutuhan fisik lainnya.

  b.

  Kebutuhan Keamanan (safety needs) yaitu kebutuhan seseorang akan keamanan dan perlingdungan dari kejahatan fisik dan emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan fisik akan terus dipenuhi.

  c.

  Kebutuhan Sosial (social needs) yaitu kebutuhan seseorang akan kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan.

  d.

  Kebutuhan Penghargaan (esteem needs) yaitu kebutuhan seseorang akan faktor-faktor penghargaan internal, seperti harga diri, otonomi, dam prestasi, seta penghargaan eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian.

  e.

  Kebutuhan Aktualisasi Diri (self-actualization needs) yaitu kebutuhan seseorang akan pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri. Robbins dan Coulter (2010) juga berpendapat bahwa motivasi mengacu pada proses dimana usaha seseorang diberi energi, diarahkan, dan berkelanjutan energi, arah, dan ketekunan. Elemen energi adalah ukuran dari intensitas atau dorongan. Usaha tingkat tinggi perlu diarahkan pada cara yang dapat membantu organisasi mencapai tujuannya. Karyawan harus terus di dorong dalam memberikan usaha yang mencapai tujuan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa meningkatkan motivasi kerja karyawan menjadi perhatian penting organisasi dan para penyelia agar terus mencari jalan keluar. Berikut ada 10 hal yang harus di perhatikan para penyelia dan organisasi terkait dengan pemberian motivasi kepada karyawan: a)

  Mengakui perbedaan individu Hampir setiap teori kontemporer mengakui bahwa karyawan tidak identik.

  Mereka berbeda dalam kebutuhan, sikap, kepribadiaan, dan variabel individu penting lainnya.

  b) Mencocokkan orang dengan pekerjaan

  Penelitian menunjukkan bahwa motivasi mendapat pengaruh dari pekerjaan yang dilakukan seseorang. Perlu diingat bahwa tidak semua orang termotivasi oleh pekerjaan dengan otonomi, variasi, dan tanggung jawab yang tinggi.

  c) Gunakan tujuan

  Para manajer harus memastikan para karyawan memiliki tujuan yang spesifik, serta umpan balik mengenai seberapa baik usaha yang mereka lakukan dalam mencapai tujuan tersebut. d) Pastikan bahwa tujuan itu diyakini dapat dicapai

  Para manajer atau penyelia harus memastikan bahwa para karyawan merasa yakin jika usaha yang meningkat dapat menghasilkan pencapaian tujuan kinerja.

  e) Imbalan berdasarkan individu

  Para manajer atau penyelia harus mengetahui kondisi karyawan guna membedakan imbalan yang akan dikendalikan, seperti gaji, promosi, bonus, tunjangan, pengakuan, otonomi, dan partisipasi.

  f) Kaitkan imbalan dengan kinerja/prestasi kerja

  Para manajer atau penyelia harus mencari cara untuk meningkatkan visibilitas imbalan, membuat mereka berpotensi untuk lebih termotivasi.

  g) Memeriksa sistem untuk keadilan

  Perlu ingat bahwa keadilan seseorang merupakan ketidakadilan seorang lainnya, sehingga sistem imbalan yang ideal sebaiknya mempertimbangkan input secara berbeda untuk mendapatkan imbalan yang tepat untuk setiap pekerjaan.

  h) Gunakan pengakuan

  Akui kekuatan pengakuan. Itu merupakan imbalan karena sebagian besar karyawan menganggapnya berharga. i)

  Tujuan perhatian dan kepedulian terhadap karyawan organisasi Organisasi terbaik menciptakan lingkungan kerja yang penuh kepedulian.

  Ketika para manajer peduli terhadap karyawannya, hasil kinerja biasanya j) Jangan abaikan uang (materi).

  Peningkatan alokasi gaji berbasis kinerja, bonus bagian pekerjaan, dan insentif lain penting dalam menentukan motivasi karyawan.

  Dalam praktiknya, kebanyakan perusahaan mendesain motivasi dari bentuk tradisional ke bentuk yang lebih modern. Perbedaan yang terdapat antara satu perusahaan dengan perusahaan lain biasanya terletak pada selera, budaya organisasi, tekanan, dan sebagainya. Siswanto (2008) memaparkan ada empat (4) bentuk pemotivasian karyawan yaitu: 1.

  Kompensasi Bentuk Uang Pemberian kompensasi bentuk uang sebagai motivasi kerja para karyawan memiliki dua pengaruh perilaku. Keanggotaan adalah pengaruh yang paling luas, yaitu memengaruhi karyawan pada semua tingkat pendapatan. Pengaruh kedua adalah negatif, dari sudut pandang perusahaan, dan cenderung terbatas hanya pada karyawan yang pendapatannya tidak lebih dari tingkat standar kehidupan yang layak dan cenderung menganggap kompensasi bentuk uang sebagai tidak seimbang.

2. Pengarahan dan Pengendalian

  Pengarahan dimaksudkan menentukan bagi karyawan mengenai apa yang harus mereka kerjakan dan apa yang tidak harus mereka kerjakan. Sedangkan pengendalian dimaksudkan menentukan bahwa karyawan harus mengerjakan hal-hal yang diinstruksikan. Fungsi pengarahan mencakup berbagai proses operasi standar, pedoman, dan buku panduan bahkan manajemen berdasarkan dan pengukuran hasil kerja. Pengarahan dan pengendalian jelas perlu untuk mendapatkan kinerja yang terpercaya dan terkoordinasi. Dengan demikian, tujuan motivasi kerja para karyawan dapat terwujud.

  3. Penetapan Pola Kerja yang Efektif Pada umumnya, reakasi terhadap kebosanan kerja menimbulkan hambatan yang berarti bagi keluaran produktivitas kerja, karena manajemen menyadari bahwa masalahnya bersumber pada cara pengaturan pekerjaan, mereka menanggapinya dengan berbagai teknik yang efektif dan kurang efektif. Pola kerja yang kurang sesuai dengan tindakan dan komposisi diakui sebagai masalah yang berat. Hal ini bisa menjadi lebih negatif karena karyawan makin lama lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi daripada dasawarsa sebelumnya.

  4. Kebajikan Kebajikan dapat didefenisikan sebagai suatu tindakan yang di ambil dengan sengaja oleh manajemen untuk memengaruhi sikap atau perasaan para karyawan. Dengan kata lain, kebajikan adalah usaha untuk membuat karyawan bahagia. Pada perusahaan yang besar, kebajikan mengambil bentuk yang sesuai dengan kelayakan dan kesopanan yang dihadapkan dari manajemen sumber daya manusia (SDM) dalam hubungan mereka dengan karyawan.

  Sementara itu kegiatan yang lebih formal seperti seremonial dan berwisata cenderung berkurang.

  Menurut French dan Raven, sebagaimana dikutip Sule dan Saefullah perilaku tertentu. Motivation is the set of forces that cause people to behave in

  

certain ways. Motivasi seseorang dimulai ketika seseorang tersebut menyadari

  bahwa dirinya memiliki kebutuhan atau kesenjangan atas kebutuhan tertentu, katakanlah pendapatan yang minim. Oleh karena itu, orang tersebut berusaha mencari pekerjaan lain ataupun bekerja lebih keras lagi sebagai bentuk perilaku memenuhi kebutuhan akan pendapatan yang memadai.

  Beberapa pendekatan mengenai motivasi yang dikemukan Stoner, Freeman, dan Gilbert, sebagaimana dikutip Sule dan Saefullah (2010), paling tidak ada 3 pendekatan yang telah dikenal dalam dunia manajemen yaitu: a.

  Pendekatan Tradisional Pendekatan ini memandang bahwa pada dasarnya manajer memiliki kinerja yang lebih baik dari pekerja, dan para pekerja hanya akan menunjukkan kinerja yang baik sekiranya diiming-imingi dengan kompensasi berupa uang.

  b.

  Pendekatan Relasi Manusia Pendekatan ini menjelaskan bahwa kontak sosial atau relasi antarmanusia justru akan membantu dan memelihara motivasi para pekerja. Pada intinya, manajer semestinya berkewajiban untuk membantu para pekerja untuk melakukan interaksi sosial di lingkungan pekerjaannya dan membuat mereka merasa diperlukan dan penting bagi perusahaan, sehingga mereka menunjukkan kinerja yang terbaik bagi perusahaan. c.

  Pendekatan Sumber Daya Manusia Menurut pendekatan ini, manajer perlu menyadari bahwa pada dasarnya manusia dapat dikategorikan dalam 2 (dua) karakter yaitu tipe X dan tipe Y. Sumber daya tipe X memiliki kecenderungan sebagai orang yang malas untuk bekerja dan hanya akan bekerja jika dipaksa untuk bekerja. Para manajer harus memaksa dan menyuruh para pekerja tipe X ini agar mau bekerja. Paksaan ini dapat berupa aturan yang ketat, pemberian insentif, dan sebagainya. Sumber daya tipe Y memiliki kecenderungan yang bertolak belakang dengan pekerja tipe X. Pekerja tipe Y cenderung menyukai pekerjaan dan bersifat aktif dalam setiap pekerjaan. Para pekerja tipe Y ini akan sangat berinisiatif, kreatif, dan sangat menyukai berbagai tantangan dalam pekerjaan. Para manajer perlu menciptakan suasana atau iklim kerja yang baik agar setiap pekerja dapat bekembang.

  Dengan adanya teori-teori pendukung di atas, maka penulis menarik suatu hipotesis dalam penelitian ini yaitu: H2 : Motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.II Medan.

2.1.4 Lingkungan Kerja

  Riyadi (2011), lingkungan kerja berpengaruh secara positif dan signifikan Pada dasarnya, seseorang akan merasa lebih semangat dalam bekerja dan lebih termotivasi, apabila seseorang tersebut bekerja pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan pribadinya. Jelaslah, apabila perusahaan mengharapkan prestasi kerja yang baik pada karyawannya, maka harusnya perusahaan tersebut menciptakan kondisi lingkungan kerja yang baik pula. Iklim kerja membawa pengaruh untuk jangka panjang. Dalam jangka pendek, kerap kali karyawan baru mempertahankan kondisi lingkungan sebagaimana adanya, akan tetapi lambat laun ini akan membawa dampak tersendiri dalam pencapaian kinerja yang dihasilkan karyawan. Tanggung jawab dalam menciptakan iklim dan lingkungan kerja yang baik tidak hanya berlaku bagi para penyelia, tetapi juga para karyawan.

  Ada dua (2) kelompok lingkungan kerja yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja nonfisik. Pada peneltian ini, penulis lebih memfokuskan pada lingkungan kerja fisik. Komarudin dalam Analisa (2011) mengatakan lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan atau setiap aspek dari gejala fisik dan sosial- kultural yang mengelilingi atau mempengaruhi individu. Menurut Alex S. Nitisemito dalam Taufik (2013) lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak, keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: 1)

  Kebersihan Lingkungan kerja yang bersih akan menciptakan keadaan disekitarnya kebersihan lingkungan kerja. Dengan adanya lingkungan yang bersih karyawan akan merasa senang sehingga kinerja karyawan akan meningkat.

  2) Penerangan dalan ruang kerja

  Di dalam ruangan kerja karyawan dibutuhkan udara yang cukup, dimana dengan adanya pertukaran udara yang cukup, akan menyebabkan kesegaran fisik dari karyawan tersebut. Suhu udara yang terlalu panas akan menurunkan semangat kerja karyawan di dalam melaksanakan pekerjaan.

  3) Sirkulasi udara

  Di dalam ruangan kerja karyawan dibutuhkan udara yang cukup, dimana dengan adanya pertukaran udara yang cukup, akan menyebabkan kesegaran fisik dari karyawan tersebut. Suhu udara yang terlalu panas akan menurunkan semangat kerja karyawan di dalam melaksanakan pekerjaan.

  4) Kebisingan

  Suara yang bunyi bisa sangat menganggu para karyawan dalam bekerja. Suara bising tersebut dapat merusak konsentrasi kerja karyawan sehingga kinerja karyawan bisa menjadi tidak optimal. Oleh karena itu setiap organisasi harus selalu berusaha untuk menghilangkan suara bising tersebut atau paling tidak menekannya untuk memperkecil suara bising tersebut. Kemampuan organisasi didalam menyediakan dana untuk keperluan pengendalian suara bising tersebut, juga merupakan salah satu faktor yang menentukan pilihan cara pengendalian suara bising dalam suatu organisasi.

  5) Pewarnaan ruang kerja

  Masalah warna dapat berpengaruh terhadap karyawan didalam melaksanakan pekerjaan, akan tetapi banyak perusahaan yang kurang memperhatikan masalah warna. Dengan demikian pengaturan hendaknya memberi manfaat, sehingga dapat meningkatkan semangat kerja karyawan. Pewarnaan pada dinding ruang kerja hendaknya mempergunakan warna yang lembut.

  Dengan adanya teori-teori pendukung di atas, maka lahirlah suatu hipotesis berikutnya dalam penelitian ini yaitu: H3 : Lingkungan Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.II Medan.

2.1.5 Gaya Kepemimpinan

  Setiap karyawan yang bekerja pada suatu perusahaan tertentu, pastilah memiliki motif yang beda-beda dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya dalam operasional perusahaan tersebut. Motif ini berbanding lurus dengan kinerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan. Ketika ada hal-hal tertentu dalam pekerjaan yang ingin dia kejar, maka motivasi ini dapat meningkatkan hasil kinerja karyawan tersebut. Oleh sebab itulah, perusahaan dan para penyelia harus tanggap dalam menangkap signal-signal di balik motif seorang karyawan tersebut bekerja pada perusahaan. Pengetahuan terhadap berbagai motivasi dan perilaku yang ditunjukkan oleh para karyawan akan menjadi sia-sia, apabila perusahaan ada implementasi dari pengetahuan akan motif para karyawannya. Pada dasarnya gaya kepemimpinan merupakan implementasi penyelia dari pemahaman akan berbagai motivasi karyawan dalam bekerja. Esensi utama dari kepemimpinan adalah bagaimana para penyelia mengarahkan dan memotivasi para karyawan agar dapat menghasilkan kinerja yang baik untuk operasional perusahaan tersebut. Apabila para menyelia mampu merealisasikan proses pengarahan dan pemotivasian tersebut dengan baik, maka gaya kepemimpinan adalah salah satu hal yang penting diimplementasikan guna peningkatan kinerja karyawan bahkan perusahaan.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan merupakan proses dalam mengarahkan dan memengaruhi para anggota dalam berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Pihak yang terkait dalam menjalankan kepemimpinan disebut pemimpin. Pemimpin adalah seseorang yang mampu memengaruhi orang lain dan memiliki otoritas manajerial. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat empat fungsi manajemen, dan salah satunya adalah pengarahan. Oleh sebab itulah, para penyelia seharusnya mampu memimpin dan menjadi pemimpin.

  Salah satu ilmuwan dan ahli penelitian dalam perilaku yang telah memberikan batasan mengenai kepemimpinan yaitu Ralph M. Stogdill sebagaimana dikutip dalam Siswanto (2008), mengatakan bahwa manajerial

  

leadership as the process of directing and influencing the task related activities of

group members. Kepemimpinan manajerial sebagai proses pengarahan dan

  memengaruhi aktivitas yang dihubungkan dengan tugas dari para anggota kelompok. Berdasarkan batasan tersebut, terdapat tiga (3) implikasi yang perlu diperhatikan lebih lanjut antara lain:

1. Kepemimpinan harus melibatkan bawahan 2.

  Kepemimpinan mencakup distribusi otoritas yang tidak mungkin seimbang di antara manajer dengan bawahan.

  3. Di samping secara legal mampu memberikan para bawahan berupa perintah atau pengarahan, manajer juga dapat memengaruhi bawahan dengan berbagai gaya kepemimpinan.

  Sebagai konsekuensi dari batasan kepemimpinan tersebut di atas, maka Sule dan Saefullah (2010) membagi dua gaya kepemimpinan pada umumnya yaitu: a.

  Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pekerjaan (task-oriented or job

  style )

  Gaya kepemimpinan ini cenderung memberikan fokus pada pekerjaan dan prosedur yang harus dilakukan dalam pekerjaan. Pemimpin yang menganut gaya ini menilai bahwa kepentingan organisasi harus lebih didahulukan dari kepentingan individu.

  b.

  Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pegawai (employee-oriented

  style )

  Gaya kepemimpinan ini cenderung untuk memberikan perhatian pada pemeliharaan tim dan memastikan bahwa seluruh orang-orang mendapatkan kepuasan dalam setiap pekerjaannya. Pemimpin yang menerapkan gaya ini

  Untuk lebih mengetahui bagaimana pandangan para peneliti dan ahli dalam mengulas gaya kepemimpinan yang terjadi, berikut beberapa hasil penelitian yang penulis kutip dari beberapa sumber: 1.

  Teori Sifat (Trait Theories) Teori ini dicetuskan oleh S.A. Kirkpatrick dan E.A. Locke sebagaimana dikutip dalam Robbins dan Coulter (2009:148), terdapat tujuh sifat/gaya kepemimpinan yaitu: a.

  Penggerak (drive) Pemimpin menunjukkan tingkat usaha yang tinggi, memiliki ekspektasi yang besar dalam keberhasilan, ambisius, energik, tidak kenal lelah, dan inisiatif.

  b.

  Hasrat untuk memimpin (desire to lead) Pemimpin memiliki hasrat yang kuat untuk memengaruhi dan memimpin orang lain serta bertanggung jawab.

  c.

  Kejujuran dan integritas (honesty and integrity) Pemimpin membangun hubungan yang terpercaya dengan pengikutnya dengan cara jujur dan tidak berkhianat, serta menjaga konsistensi antara perkataan dan perbuatan.

  d.

  Kepercayaan diri (self confidence) Pemimpin menunjukkan kepercayaan diri agar dapat menyakinkan para pengikutnya terhadap keputusan dan tujuan yang harus dicapai. e.

  Kecerdasan (intelligence) Pemimpin harus cukup cerdas agar dapat mengumpulkan, menyatukan, dan menafsirkan banyak informasi, dapat menciptakan visi, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan yang baik.

  f.

  Pengetahuan yang relevan mengenai pekerjaan (job-relevant knowledge) Pemimpin yang efektif memiliki pengetahuan tingkat tinggi mengenai perusahaan, industri, dan permasalahan teknis.

  g.

  Extraversion Pemimpin adalah orang yang energik dan penuh semangat, suka bergaul, tegas, dan jarang sekali berdiam atau menarik diri.

2. Teori Managerial Grid

  Teori ini dicetuskan oleh Robert Blake dan Jane Mouton sebagaimana yang penulis kutip dalam Sule dan Saefullah (2010), menjelaskan bahwa terdapat lima gaya kepemimpinan dalam organisasi yaitu: a.

  Manajemen yang lemah (Improvished Management) Gaya kepemimpinan ini memiliki karakteristik yang rendah sekali upaya yang yang dilakukan baik untuk melakukan pekerjaan maupun membangun tim atau relasi sosial.

  b.

  Manajemen Tugas (Authority Compliance) Pada gaya ini, pemimpin cenderung lebih berorientasi pada pekerjaan dan sangat mengabaikan orang-orang. c.

  Middle of the Road Management Gaya kepemimpinan seperti ini cukup seimbang dan cukup baik pada orang-orang maupun pekerjaan. Gaya kepemimpinan seperti ini biasanya merupakan gaya kepemimpinan yang umumnya dimiliki semua orang.

  d.

  Country Club Management Gaya kepemimpinan ini memiliki perhatian yang tinggi pada orang-orang namun rendah terhadap pekerjaan. Pemimpin yang bergaya seperti ini cocok untuk organisasi yang tidak menekankan pada pekerjaan, tetapi lebih membangun relasi.

  e.

  Manajemen Tim (Team Management) Pada gaya kepemimpinan ini, manajer memiliki perhatian yang tinggi kepada pekerjaan sekaligus orang-orang. Tidak mudah untuk memiliki gaya kepemimpinan ini dan cukup sedikit pemimpin yang menerapkan gaya ini kepada para bawahannya.

3. Teori Kepemimpinan Situasi Hersey dan Blanchard

  Paul Helsey dan Ken Blanchard sebagaimana dikutip dalam Robbins dan Coulter (2009) melangkah lebih maju dengan mempertimbangkan tugas dan perilaku lalu menggabungkannya menjadi empat gaya kepemimpinan yaitu: a.

  Telling (pekerjaan tinggi – relasi rendah) Pemimpin menentukan peranan karyawan dan mengatur apa, kapan, bagaimana, dan dimana karyawan melaksanakan tugasnya.

  b.

  Selling (pekerjaan tinggi – relasi tinggi) c.

  Participating (pekerjaan rendah – relasi tinggi) Bersama-sama membuat keputusan, dimana pemimpin meiliki peranan sebagai fasilitator dan komunikator.

  d.

  Delegating (pekerjaan rendah – relasi rendah) Pemimpin kurang memberikan pengarahan dan dukungan.

4. Teori Jalan Tujuan (Path Goal Theory)

  Model ini diperkenalkan oleh Martin G. Evans dan Robert J. House sebagaimana dikutip dalam Robbins dan Coulter (2010) yang mengatakan paling tidak ada 4 gaya kepemimpinan berdasarkan jalan tujuan yaitu: a.

  Pemimpin Direktif, yaitu pemimpin yang cenderung untuk menentukan langsung apa yang harus dilakukan oleh bawahan dan apa yang diharapkan oleh pemimpin. Pemimpin seperti ini langsung memberikan arah dan panduan, serta memberikan jadwal kerja yang spesifik.

  b.

  Pemimpin Suportif, yaitu pemimpin yang cenderung bersahabat dan mudah diajak berdialog oleh siapapun, memberikan perhatian penuh pada kesejahteraan bawahan, serta memperlakukan anggota secara setara.

  c.

  Pemimpin Partisipatif, yaitu pemimpin yang cenderung untuk memberikan konsultasi kepada bawahan, mengakomodasikan berbagai masukan, serta melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.

  d.

  Pemimpin Prestatif, yaitu pemimpin yang memiliki visi perubahan dan standar yang tinggi akan produktivitasnya, memberikan dorongan kepada bawahan untuk berprestasi, dan memotivasi kemampuan karyawan dalam

5. Teori Kepemimpinan Transformatif – Transaksi a.

  Kepemimpinan Karismatik Kepemimpinan karismatik dikatakan paling tepat ketika pekerjaan bawahan memiliki tujuan ideologis atau lingkungannya menimbulkan tekanan dan ketidakpastian yang tinggi, atau ketika sebuah perusahaan baru memulai bisnis, ataupun sedang menghadapi suatu krisis. Pemimpin yang karismatik memiliki visi, mampu mengartikulasikan visi tersebut, sensitif terhadap keadaan lingkungan dan kebutuhan karyawan, dan perilaku yang luar biasa.

  b.

  Kepemimpinan Visioner Kepemimpinan ini mampu menciptakan dan mengartikulasikan visi masa depan yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik sehingga dapat memperbaiki situasi saat ini.

  c.

  Kepemimpinan Tim Karena kepemimpinan semakin berperan dalam konteks tim serta semakin banyak organisasi yang menggunakan kerja tim, peranam pemimpin dalam membimbing anggota tim menjadi sangat penting. Pemimpin tim yang efektif harus dapat menyeimbangkan antara waktu yang tepat untuk membiarkan timnya bekerja dan waktunya ikut campur. Tugas seorang pemimpin tim terfokus pada dua orientasi, yaitu mengatur batasan-batasan eksternal dan memfasilitasi proses tim.

  Dengan adanya teori-teori pendukung di atas, maka lahirlah suatu hipotesis berikutnya dalam penelitian ini yaitu: H4 : Gaya Kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.II Medan.

  Secara simultan, maka lahirlah suatu hipotesis terakhir dalam penelitian ini yaitu: H5 : Kompensasi finansial, motivasi kerja, lingkungan kerja dan gaya kepemimpinan berpengaruh secara simultan terhadap prestasi kerja pegawai pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.II Medan

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

  Variabel Peneliti Judul Hasil Penelitian

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kompensasi Finansial, Motivasi Kerja, Lingkungan Kerja Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pada Rumah Sakit Bhayangkara Tk.Ii Medan

3 85 144

Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja Dan Motivasi Kerja Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

7 72 150

Pengaruh Motivasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas-I Medan

0 37 207

Pengaruh Lingkungan Kerja, Stres Kerja, dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Kepala Ruanga Pada Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

1 27 91

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Kompensasi Terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada UPT. Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang Medan

11 106 105

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengawasan Keuangan - Pengaruh Pengetahuan Pimpinan Tentang Anggaran, Pengalaman Kerja Dan Latar Belakang Pendidikan Terhadap Pengawasan Keuangan Dengan Gaya Kepemimpinan Sebagai Variabel Moderating

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Prestasi Kerja - Pengaruh Pembagian Kerja Dan Wewenang Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada Pt.Telekomunikasi Indonesia, Tbk Divisi Regional I Madya Medan Sumatera Utara

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Landasan Teori 2.1.1 Remunerasi - Analisis Pengaruh Remunerasi, Mutasi, Whistleblowing System, Motivasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Prestasi Kerja, Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderasi (Studi Kasus Pada Kantor

0 0 41

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Modal Kerja - Pengaruh Penggunaan Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 1 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Kerja 2.1.1 Pengertian Prestasi Kerja - Pengaruh Pengawasan Dan Disiplin Terhadap Prestasi Karyawan Pada Pt. Bank Sumut Cabang Iskandar Muda Medan

0 1 24