5 Penentuan Awal Bulan Kamariyah

METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH
Oman Fathurohman SW
Pendahuluan
Menghadapi bulan Ramadan dan idulfitri tahun ini umat Islam di tanah air
nampaknya tenang-tenang saja tanpa gejolak apapun. Gejolak biasanya dipicu oleh
adanya informasi tentang perbedaan hari memulai puasa atau mengakhirinya. Sampai
dengan saat ini penulis tidak menangkap adanya keraguan di tengah-tengah
masyarakat untuk memulai puasa Ramadan tahun ini pada hari Senin tanggal 1
September 2008 dan beridulfitri pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2008. Penulis
berharap suasana seperti ini terus terpelihara, paling tidak sejak awal hingga akhir
puasa Ramadan, sehingga umat Islam dapat menunaikan ibadah puasa dengan khusu
dan tenang.
Kalau dalam tulisan ini nanti justru mengutarakan adanya perbedaanperbedaan pandangan dalam memulai atau mengakhiri ibadah puasa Ramadan
tidaklah dimaksudkan untuk mengusik ketenangan pembaca (masyarakat). Tetapi
sebaliknya, justru dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan pandangan dan
faktor-faktor penyebabnya di seputar penentuan awal bulan kamariah dalam suasana
tenang ini diharapkan dapat memberikan secercah pengetahuan agar pada suatu
ketika jika perbedaan itu benar-benar terjadi masyarakat tidak kaget lagi dan tidak
menjadikannya sebagai sumber konflik. Dalam suasana tenang dan fikiran yang jernih
diharapkan dapat melihat pesoalan perbedaan tersebut secara obyektif tanpa merasa
ada tekanan atau keterpaksaan untuk menerima atau menolaknya.

Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan (1 Syawal) itu persoalannya
memang pelik dan kompleks karena bukan hanya menyangkut masalah agama
semata-mata tetapi juga berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, khususnya
astronomi atau ilmu falak, bahkan dengan masalah sosial dan politik. Persoalan akan
muncul, misalnya, manakala hasil pemahaman terhadap ketentuan agama tidak sesuai
dengan temuan ilmu pengetahuan. Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan,
misalnya, yang merupakan bagian dari agama terkait erat dengan fenomena Bulan
yang menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan.
Bulan dan Matahari salah satu fungsinya, sebagaimana ditegaskan dalam alQur’an, adalah sebagai acuan dalam penentuan waktu. Karena peredaran keduanya
terjadi secara teratur maka posisi atau kedudukan keduanya pada suatu saat tertentu
dapat dihitung dan dapat diprediksi jauh sebelumnya. Fenomena Matahari oleh Islam
dijadikan sebagai acuan dasar penentuan waktu ibadah harian, seperti shalat.
Sedangkan Bulan dijadikan sebagai acuan dasar dalam penentuan waktu ibadah
bulanan atau ibadah yang terkait dengan tanggal-tanggal tertentu, seperti puasa
Ramadan dan idul fitri.
Perubahan kedudukan Matahari pada peredaran semu hariannya memang
mudah untuk diamati, sejak ia terbit, terbenam, hingga terbit lagi keesokan harinya.
Akan tetapi perubahan kedudukannya dari hari ke hari tidak mudah diamati. Untuk
mengetahui perubahan dari hari ke hari ini kedudukan Bulan lebih mudah diamati,
karena dari hari ke hari ia mengalami perubahan bentuk begitu jelas, sehingga mudah

dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuknya itu. Inilah pula sebabnya,
barangkali, Islam menetapkan bulan kamariah (sistem kalender yang didasarkan pada
peredaran Bulan) sebagai ukuran waktu untuk ibadah tertentu. Penggunaan kalender
kamariah sebagai pedoman dalam pelaksanaan ibadah diisyaratkan dalam al-Qur’an
dan ditegaskan dalam hadis Nabi saw. Oleh kerena itu mengetahui dan memahami

1

kalender kamariah bagi umat Islam bukan hanya penting tetapi juga merupakan
keharusan.
Bulan Ramadan, dalam bulan mana umat Islam wajib berpuasa, adalah salah
satu dari dua belas bulan kamariah, demikian pula idul fitri tanggal 1 Syawal dan idul
adha tanggal 10 Zulhijah. Sebenarnya bukan hanya Islam yang menggunakan
fenomena Bulan sebagai penentu waktu-waktu ibadah, tetapi agama lain pun seperti
Hindu dan Budha menggunakannya juga sebagai penentu waktu-waktu kegiatan ritual
bagi umatnya.
Jika bulan-bulan kamariah yang dijadikan sebagai penentu waktu-waktu
ibadah, misalnya puasa Ramadan, maka persoalan penentuan kapan awal bulan itu
dimulai atau kapan tanggal satu bulan baru terjadi menjadi sangat penting dan tidak
dapat diabaikan, sebab tanpa mengetahui kapan awal bulan itu dimulai tidak akan

pernah mengetahui tanggal-tanggal berikutnya bahkan tidak akan mengetahui bulan
itu sendiri.
Metode Penentuan Awal Bulan Kamariah
Secara garis besar terdapat dua pendapat mengenai metode atau cara untuk
menentukan mulainya bulan kamariah khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah. Pendapat pertama mengatakan bahwa satu-satunya metode yang sah untuk
menentukan mulainya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tersebut adalah rukyat,
tidak ada cara lain selain itu. Rukyat adalah suatu kegiatan melihat hilal (Bulan sabit)
secara langsung pada saat terbenam Matahari tanggal 29 dari bulan yang sedang
berlangsung. Pendapat kedua mengatakan bahwa metode untuk menentukan mulainya
bulan-bulan kamariah termasuk bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah boleh dengan
menggunakan hisab astronomi bahkan penggunaan hisab untuk menentukan awal
bulan kamariah lebih tepat karena lebih akurat, lebih menjamin kepastian
dibandingkan dengan penggunaan metode rukyat yang di samping menyulitkan juga
kurang akurat.
Rukyatul-hilal bil-fi’li
Metode rukyat atau lengkapnya rukyatul-hilal bil-fi’li menetapkan bahwa awal
bulan Ramadan, Syawal, Zulhijjah ditentukan oleh terlihat atau tidaknya hilal.
Apabila pada saat terbenam Matahari tanggal 29 dari bulan yang sedang berlangsung
hilal terlihat, maka mulai malam itu sudah dimulai bulan baru, malam itu dan

keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru. Sebaliknya apabila pada
saat terbenam Matahari itu hilal tidak terlihat, baik karena mendung atau alasan
apapun, maka malam itu masih dinyatakan sebagai hari terakhir dari bulan yang
sedang berlangsung. Malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30
dari bulan yang sedang berlangsung. Tanggal 1 bulan baru ditetapkan mulai saat
terbenam Matahari pada keesokan harinya. Dengan perkataan lain, bulan yang sedang
berlangsung disempurnakan umurnya menjadi 30 hari. Yang terakhir ini lebih dikenal
dengan istilah “istikmal“.
Metode rukyat ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw. yang
berkaitan dengan perintah puasa dan beridulfitri dengan terlihatnya hilal yang
dipahami secara harfiah. Pemahaman secara harfiah terhadap hadis-hadis Nabi saw.
tersebut jelas tidak akan keluar dari kesimpulan bahwa pertanda sudah masuknya
bulan Ramadan dan Syawal. –dengan cara analogi termasuk juga masuknya bulan
Zulhijjah atau bahkan bulan-bulan kamariah lainnya-, adalah dengan terlihatnya hilal.
Kalau tidak, dengan sempurnanya umur bulan 30 hari.

2

Hisab
Hisab dalam pengertian hisab awal bulan kamariah hakikatnya adalah

perhitungan-perhitungan astronomis untuk mengetahui posisi atau kedudukan Bulan
pada suatu saat tertentu, misalnya kedudukan Bulan pada saat terbenam Matahari,
atau menghitung waktu kapan Bulan dan atau Matahari berada pada suatu posisi atau
kedudukan tertentu, misalnya kapan Bulan dan Matahari dalam keadaan konjungsi
(ijtimak), atau kapan Matahari dalam posisi terbenam untuk suatu tempat tertentu.
Hisab dalam pengertaian di atas, dengan sistem dan metode manapun
sesungguhnya tidak otomatis dapat menentukan awal bulan atau bulan baru kamariah,
termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Kerja hisab hanyalah sampai pada
menentukan posisi atau kedudukan Bulan pada saat tertentu, seperti menentukan
tingginya atau posisinya pada saat terbenam Matahari, atau sebaliknya menentukan
waktu dalam waktu mana Bulan mencapai posisi atau kedudukan yang telah
ditentukan, seperti menentukan saat terjadinya ijtimak Matahari dan Bulan. Ketentuan
tentang kapan atau apa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa bulan baru sudah mulai
atau bulan yang berlangsung sudah berakhir berada dalam wilayah agama. Ilmu
pengetahuan (Astronomi atau Ilmu Falak khususnya) atau hisab dalam arti
perhitungan itu sendiri tidak memiliki kompetensi dalam wilayah itu. Dengan
demikian, hisab dalam arti tersebut lebih berperan sebagai cara untuk mengetahui
apakah tanda-tanda atau kriteria awal bulan atau akhir bulan sudah ada. Dengan
perkataan lain, hisab adalah metode untuk menemukan awal bulan kamariah.
Dalam kaitan ini ada beberapa kriteria awal bulan yang berkembang di tanah

air. Dalam tulisan ini dikemukakan tiga kriteria awal bulan kamariah yang banyak
dipegangi oleh para pendukung hisab, dan dikenal juga dengan kriteria hisab, sebagai
berikut:
a. Ijtimak Qablal-Gurub
Kriteria hisab ijtimak qablal-gurub menetapkan bahwa pergantian bulan itu
terjadi pada saat terjadinya ijtimak Bulan dan Matahari. Sementara itu pergantian hari
terjadi pada saat terbenam Matahari. Oleh karena itu sistem ini mengaitkan saat
ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Kriterianya adalah “jika ijtimak terjadi
sebelum terbenam Matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru,
sedangkan jika ijtimak terjadi setelah terbenam Matahari maka malam itu dan
keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang
berlangsung“. Hisab ijtimak qablal-gurub ini berpegang kepada ketentuan bahwa hari
menurut Islam dimulai dari saat terbenam Matahari sampai dengan terbenam Matahari
berikutnya.
Dengan demikian, menurut pandangan ini, ijtimak adalah pemisah di antara
dua bulan kamariah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam
Matahari, maka kalau ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari, malam itu sudah
dianggap masuk bulan baru dan kalau ijtimak terjadi setelah terbenam Matahari maka
malam itu masih merupakan bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung.
Pergantian bulan disesuaikan dengan pergantian hari, yaitu terbenam Matahari yang

terjadi setelah/mengikuti terjadinya ijtimak.
b. Imkanur-rukyat
Awal bulan kamariah, menurut kriteria hisab imkanur-rukyat, dimulai pada
saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu hilal sudah memenuhi
syarat untuk memungkinkan dapat dilihat. Dengan demikian, untuk menetapkan
masuknya awal bulan kamariah menurut kriteria hisab ini terlebih dahulu ditetapkan
3

suatu kaidah mengenai posisi hilal (Bulan) di atas ufuk yang memungkinkan untuk
dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan berdasarkan posisi hilal dengan segala
persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah
terbenam Matahari sesudah ijtimak orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.
Para ahli hisab yang mendukung kriteria ini masih berbeda pendapat dalam
menetapkan kriterium hilal yang mungkin dapat dilihat itu. Di kalangan mereka ada
yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang menambah kriterium
lain yakni angular distance (sudut pandang) antara Bulan dan Matahari. Kedua
kriteria tersebut digunakan secara kumulatif. Konferensi internasional tentang
penentuan awal bulan kamariah yang diadakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan
bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu
ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05° dan angular distance atau sudut

pandang antara hilal dan Matahari 07° sampai 08°.
Tentang kriterium ketinggian Bulan yang mungkin dapat dilihat berbeda-beda,
ada yang mengatakan 07°,06° dan 03°, demikian pula halnya dengan besarnya sudut
pandang antara Bulan dan Matahari. Taqwim Standar Indonesia yang diterbitkan oleh
Departemen Agama RI didasarkan pada kriteria ketinggian Bulan minimum 02°.
Kriteria imkanur-rukyat ini nampaknya meyakini bahwa apabila posisi hilal
sudah memenuhi syarat tersebut, dalam keadaan cuaca normal sudah dapat dipastikan
dapat terlihat, meskipun tidak benar-benar terlihat secara aktual. Itulah sebabnya ada
yang memandang bahwa kriteria imkanur-rukyat ini sebagai jalan tengah antara
metode rukyat dengan metode hisab, meskipun metode ini termasuk dalam kategori
metode hisab.
c. Wujudul-hilal
Kriteria hisab wujudul-hilal menegaskan bahwa awal bulan kamariah
(termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah) dimulai sejak saat terbenam Matahari
setelah terjadi ijtimak dan Bulan (hilal) pada saat itu belum terbenam, masih berada di
atas ufuk (horizon). Dengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar
untuk menetapkan awal bulan kamariah adalah: (a) awal bulan kamariah dimulai sejak
saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak, (b) pada saat terbenam Matahari
tersebut Bulan belum terbenam atau masih berasa di atas ufuk berapapun besarnya.
Dalam hal menetapkan awal bulan sejak terbenam Matahari, kriteria ini sama

persis dengan hisab ijtimak qablal-gurub. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup
menyolok dalam menetapkan kedudukan Bulan terhadap ufuk. Dalam hisab ijtimak
qablal-gurub sama sekali tidak memperhatikan kedudukan Bulan (hilal) pada ufuk
pada saat terbenam Matahari, sedangkan “hisab wujudul hilal” mensyaratkan
kedudukan Bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk pada saat Matahari
terbenam. Tegasnya, walaupun ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari, pada saat
terbenam Matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariah
sebelum diketahui posisi Bulan terhadap ufuk pada saat terbenam Matahari itu.
Apabila pada saat terbenam Matahari itu Bulan belum terbenam atau masih berada di
atas ufuk maka sejak saat itu mulai masuk bulan baru kamariah sebaliknya apabila
pada saat itu bulan sudah terbenam atau sudah di bawah ufuk maka saat itu masih
dianggap sebagai hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung.
Bulan Sebagai Acuan
Seperti terlihat dari uraian di atas, baik metode rukyat maupun hisab, dalam
menentukan awal bulan kamariah seluruhnya menjadikan Bulan sebagai acuan.
Rukyat artinya melihat hilal, hilal adalah bagian dari penampakan Bulan, ia
4

merupakan fase Bulan yang teramati dari Bumi. Hisab lebih jelas lagi menjadikan
Bulan sebagai acuan dalam penentuan awal bulan kamariah karena yang dihitung

adalah posisi atau kedudukan Bulan. Dengan demikian, baik metode rukyat maupun
metode hisab keduanya menjadikan Bulan sebagai acuan dalam penentuan awal bulan
kamariah.
Bulan adalah salah satu dari sekian banyak benda langit. Ia termasuk benda
gelap, tidak memiliki sinar sendiri. Cahayanya yang sampai ke mata pengamat adalah
cahaya Matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan Bulan yang terkena
cahaya Matahari tersebut. Bulan beredar mengelingi Bumi, sebagaimana benda langit
lainnya beredar pula mengelilingi pusat peredarannya. Di samping Bulan beredar
mengelilingi Bumi, ia beredar pula bersama-sama Bumi mengelilingi Matahari.

Gambar 5. Peredaran Bulan dan cahaya Matahari

Akibat dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi dan bersama-sama Bumi
beredar mengelilingi Matahari maka posisi atau kedudukan Bumi terhadap Bumi dan
terhadap Matahari senantiasa berubah. Permukaan Bulan yang terang pun
kedudukannya senantisa berubah terhadap Bumi. Permukaan Bulan yang terang tidak
setiap saat seluruhnya terlihat dari Bumi, sehingga bentuk Bulan terlihat dari Bumi
berubah-ubah. Perhatikan gambar berikut:
PENAMPAKAN BENTUK / FASE BULAN
Kwartir Pertama


Sabit Muda

arah Barat

Bulan Besar

Bumi
arah Timur

Bulan Baru
(Ijtima’)

Purnama

sinar matahari

Bulan Susut

Sabit Tua

Periode fase bulan = 29,53055 hari

Kwartir Ketiga

Gambar 2. Fase-fase Bulan.

5

Perubahan bentuk Bulan yang terlihat dari Bumi, seperti terlihat dalam gambar
di atas itu dikenal dengan fase-fase Bulan. Dalam astonomi dikenal ada fase-fase
Bulan: New Moon (Bulan baru/ijtimak), Bulan sabit muda, First Quarter (Kwartir
pertama), Bulan besar, Full Moon (Bulan purnama), Bulan susut, Last Quarter
(Kwartir terakhir/ketiga), dan Bulan sabit tua.
Metode rukyatul-hilal bil-fi’li memastikan bahwa kriteria awal bulan bukanlah
fase-fase Bulan itu sendiri, melainkan fase Bulan yang pertama kali terlihat (bukan
mungkin terlihat) pada saat terbenam Matahari tanggal 29 dari bulan yang sedang
berlangsung. Meskipun menurut fisiknya fase Bulan itu sudah mencapai tingkat
kemungkinan atau bahkan pasti terlihat dalam keadaan cuaca normal, namun kalau
kenyataannya tidak terlihat, maka belum masuk bulan baru. Sebaliknya, meskipun
Bulan belum beredar penuh, belum mencapai posisi ijtimak/fase new Moon, namun
karena Bulan sabit (sabit tua menjelang ijtimak) pada saat terbenam Matahari terlihat,
maka bulan baru telah dimulai saat itu.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat berkaitan dengan rukyatul-hilal bil-fi’li
ini tidaklah mudah karena Bulan adalah benda, dan secara keseluruhan yang
menentukan suatu benda itu terlihat adalah:
• Ukuran (dalam sudut pandang) dari benda yang dilihat;
• Kuatnya cahaya dari benda sasaran;
• Kontras, ukuran tampak bedanya sasaran dari sekelilingnya;
• Kesiapan mata yang mengamati;
• Faktor cuaca.
Kriteria ijtimak qablal-gurub referensinya adalah ijtimak Bulan dan Matahari.
Dengan telah terjadinya ijtimak berarti telah berganti bulan, dari bulan lama berubah
ke bulan baru, meskipun momentum pergantiannya harus menunggu terbenam
Matahari. Kriteria ini tidak memperhatikan apakah pada saat Matahari terbenam
Bulan mungkin dilihat atau tidak, bahkan posisi Bulan di atas ufuk atau di bawah ufuk
tidak menjadi pertimbangan dalam kriteria hisab ini. Kriteria ini memastikan bahwa
ijtimak Bulan dan Matahari adalah pemisah di antara dua bulan yang berurutan.
Kriteria hisab imkanur-rukyat referensinya adalah visibilitas hilal,
kemungkinan hilal terlihat. Kriteria ini berusaha untuk mengakomodasi rukyat tetapi
tidak dengan cara melihat langsung melainkan dengan cara menghitung posisi Bulan
yang memungkinkan untuk dilihat. Oleh karena itu, kriteria visibilitas hilal ini pada
umumnya didasarkan pada data rukyat, ditentukan berdasarkan pada data pengamatan
jangka panjang di berbagai tempat di dunia. Secara astronomis kriteria visibilitas hilal
tidak hanya ditentukan oleh ketinggian minimum hilal dari ufuk pada saat terbenam
Matahari semata, namun parameter lainnya pun harus menjadi pertimbangan, seperti
jarak busur Bulan – Matahari, umur Bulan sejak ijtimak, ataupun perbedaan waktu
terbenam Bulan dan Matahari. Ketinggian hilal saja jelas tidak cukup untuk dijadikan
sebagai kriteria visibilitas hilal, karena penampakan hilal sangat dipengaruhi oleh
jaraknya terhadap Matahari sebagai cumber cahaya bagi hilal. Semakin dekat dari
Matahari hilal semakin terganggu oleh sebaran cahaya Matahari akibat atmosfir Bumi,
sebaliknya semakin jauh letaknya dari Matahari kemungkinan hilal dapat terlihat
semakin besar. Demikian juga umur hilal sejak ijtimak menentukan besaran fraksi
pencahayaan luas sabit Bulan oleh Matahari. Semakin muda umur hilal semakin kecil
fraksi Bulan yang tersinari Matahari, sebaliknya semakin besar fraksinya semakin
mungkin hilal dapat terlihat. Kedua faktor di atas satu dengan lainnya berkaitan tidak
berdiri sendiri.

6

Hingga saat ini tidak kurang dari 13 kriteria yang biasa digunakan untuk
menentukan visibilitas hilal tersebut. Kriteria MABIMS yang diadopsi oleh
Departemen Agama RI adalah: tinggi hilal minimum 02°, jarak dari Matahari
minimum 03°, atau umur Bulan saat Matahari terbenam minimum 8 jam. Hingga saat
ini belum ada kepastian tentang kriteria visibilitas hilal ini.
Berbeda dengan kriteria hisab imkanur-rukyat, kriteria wujudul-hilal tidak
menjadikan visibilitas hilal sebagai referensi. Apa yang dikatakan wujudul-hilal
adalah Matahari terbenam lebih dahulu dari pada terbenamnya Bulan (hilal) walaupun
hanya selisih 1 menit atau kurang.
Kriteria wujudul-hilal
Kriteria wujudul-hilal ini diturunkan melalui pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Qur’an:

‫ﺞ‬
‫ﺤ‬
‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻭ‬
‫ﺱ‬
ِ‫ﻨﺎ‬
‫ﻠ‬
‫ﻟ‬
ِ
‫ﻴﺖ‬
‫ﻗ‬
ِ‫ﺍ‬
‫ﻮ‬
‫ﻣ‬
‫ﻲ‬
‫ﻫ‬
ِ‫ﻞ‬
‫ﹾ‬
‫ﻗ‬
‫ﺔﹸ‬
ِ‫ﻠﱠ‬
‫ﻫ‬
ِ‫ﻷ‬
َ‫ﺍ‬
‫ﹾ‬
‫ﻦ‬
ِ‫ﻋ‬
‫ﻚ‬
‫ﻧ‬
‫ﻮ‬
‫ﻟ‬
‫ﺄﹸ‬
‫ﹶ‬
‫ﺴ‬
‫ﻳ‬


yang dipahami bahwa al-ahillah (hilal) atau bulan sabit itu sebagai referensi
penentuan waktu secara umum dan manasik haji.
Ayat di atas mengindikasikan bahwa perubahan bentuk semu Bulan (fase-fase
Bulan) merupakan pertanda perubahan waktu. Hal ini dapat dimengerti karena hilal
merupakan salah satu bentuk semu Bulan di antara fase-fase yang dialaminya selama
dalam peredarannya mengelilingi Bumi, dan bersama-sama dengan Bumi
mengelilingi Matahari.
Penyebutan al-ahillah (hilal) dalam ayat tersebut bersifat umum, mutlak dan
fleksibel, sehingga dapat diterjemahkan kedalam berbagai pengertian. Secara
astronomis, hilal bias saja dinyatakan sebagai bentuk semu Bulan yang paling kecil
yang menghadap ke bumi, artinya, permukaan Bulan yang terkena sinar Matahari
yang menghadap ke Bumi dalam keadaan paling kecil, atau bisa juga diartikan
penampakan Bulan pertama kali setelah mengalami ijtimak.
Perubahan bentuk semu Bulan ditunjukkan oleh firman Allah SWT :

‫ﺏ‬‫ﺴﺎ‬
‫ﺤ‬
ِ‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻭ‬
‫ﲔ‬
‫ﻨ‬
ِ
‫ﺴ‬
‫ﻟ‬
‫ﺍ‬
‫ﺩ‬‫ﺪ‬‫ﻋ‬
‫ﺍ‬
‫ﻮ‬

‫ﻤ‬
‫ﻠ‬
‫ﹶ‬
‫ﻌ‬

‫ﺘ‬
‫ﻟ‬
ِ‫ﻝ‬
‫ﹶ‬
‫ﺯ‬
ِ‫ﻨﺎ‬
‫ﻣ‬

‫ﻩ‬
‫ﺭ‬
‫ﺪ‬‫ﻗ‬
‫ﹶ‬
‫ﻭ‬
‫ﺍ‬
‫ﺭ‬
‫ﻮ‬
‫ﻧ‬

‫ﺮ‬
‫ﻤ‬
‫ﻘ‬
‫ﹶ‬
‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻭ‬
‫ﺀ‬
ً‫ﻴﺎ‬
‫ﺿ‬
ِ‫ﺲ‬
‫ﻤ‬

‫ﺸ‬‫ﻟ‬
‫ﺍ‬
‫ﻞ‬
‫ﹶ‬
‫ﻌ‬
‫ﺟ‬
 ‫ﺬﻱ‬
ِ‫ﻟ‬
‫ﺍﱠ‬
‫ﻮ‬

‫ﻫ‬

Allah SWT, menurut ayat tersebut, telah menentukan manzilah-manzilah bagi Bulan
itu. Manzilah-manzilah (fase-fase) Bulan tidak lain kecuali posisi-posisi Bulan pada
saat-saat tertentu terhadap Matahari dan Bumi. Manzilah-manzilah itu ditempati oleh
Bulan setiap hari dalam peredarannya mengelilingi Bumi.
Perubahan posisi Bulan terhadap Bumi dan Matahari menyebabkan adanya
perubahan bentuk semu Bulan. Perubahan bentuk semu Bulan itu dapat dijadikan
dasar untuk menentukan pengorganisasian waktu ke dalam satuan hari/tanggal, bulan,
tahun dan seterusnya. Perubahan posisi bulan yang relatif konstan itu, sekaligus dapat
dipastikan perhitungannya.
Bentuk semu Bulan yang selalu berubah-ubah itu merupakan siklus yang selalu
terjadi berulang-ulang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

‫ﻘِﺪِﱘ‬
‫ﹶ‬
‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻥ‬
ِ‫ﻮ‬
‫ﺟ‬
‫ﺮ‬

‫ﻌ‬

‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﻛﺎ‬
‫ﺩﹶ‬‫ﻋﺎ‬
‫ﻰ‬
‫ﺘ‬
‫ﺣ‬
‫ﻝ‬
‫ﹶ‬
‫ﺯ‬
ِ‫ﻨﺎ‬
‫ﻣ‬
‫ﻩ‬

‫ﻧﺎ‬
‫ﺭ‬

‫ﺪ‬‫ﻗ‬
‫ﹶ‬
‫ﺮ‬
‫ﻤ‬
‫ﻘ‬
‫ﹶ‬
‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻭ‬


Dari ayat ini dapat dipahami bahwa satu siklus peredaran Bulan melalui manzilahmanzilahnya adalah mulai dari keadaan sebagai “bentuk tandan tua” (urjunil-qadim)
hingga kembali lagi ke keadaan serupa itu. Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa
dimulainya bulan baru kamariah itu apabila Bulan telah kembali kepada bentuknya
yang paling kecil. Bentuk yang paling kecil itu dicapai oleh Bulan di sekitar saat
ijtimak (konjungsi), yakni saat dimana antara Matahari dan Bulan mempunyai bujur

7

langit yang sama. Bagaimana ijtimak Matahari dan Bulan bisa terjadi secara berulangulang? Firman Allah SWT berikut ini menjelaskannya.
‫ﺮ‬
‫ﻤ‬
‫ﻘ‬
‫ﹶ‬
‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻙ‬
‫ﺭ‬
ِ‫ﺪ‬

‫ﺗ‬
‫ﻥ‬
‫ﹾ‬
‫ﺃ‬
‫ﹶ‬
‫ﻬﺎ‬
‫ﻟ‬
‫ﹶ‬
‫ﻲ‬
‫ﻐ‬
ِ‫ﺒ‬
‫ﻨ‬

‫ﻳ‬
‫ﺲ‬
‫ﻤ‬


‫ﻟﺸ‬
‫ﺍ‬
َ
‫ﻻ‬
Ayat ini menguatkan temuan astronomi yang menyimpulkan bahwa peredaran
Bulan mengelilingi Bumi dalam setiap bulan dan peredaran semu tahunan Matahari
arahnya sama, yaitu sama-sama dari arah barat ke timur. Dari ayat itu dapat diketahui
dengan jelas bahwa peredaran Bulan lebih cepat dari peredaran semu tahunan
Matahari. Oleh karena peredaran keduanya itu berlaku memutar, tidak lurus, maka
dalam peredarannya itu Matahari selalu terkejar oleh Bulan. Sebaliknya tidak ada
kemungkinan bagi Matahari untuk mengejar Bulan, apalagi mendahuluinya.
Apabila dihubungkan dengan bunyi ayat 39 diatas, bagian awal ayat 40 itu
menunjukkan lebih jelas bahwa bulan baru kamariah ditandai dengan didahuluinya
Matahari yang bergerak lambat oleh Bulan yang bergerak jauh lebih cepat. Atau, oleh
karena peredaran keduanya itu berlaku menurut arah dari barat ke timur, maka dapat
pula dikatakan bahwa bulan baru kamariah dimulai bila Bulan berkedudukan di
sebelah timur Matahari. Kedudukan Bulan seperti itu dicapai saat setelah Bulan
mengejar Matahari. Dengan perkataan lain, saat setelah terjadi ijtimak antara Bulan
dan Matahari.
Bentuk-bentuk semu Bulan sebagaimana diutarakan di atas ditandai dengan dua
unsur. Pertama, bagian permukaan Bulan yang tampak dari Bumi disinari matahari.
Kedua, kedudukannya dilangit. Unsur pertama adalah persoalan pengaruh penyinaran
Matahari terhadap Bulan, sedangkan yang kedua persoalan posisi Bulan terhadap
Matahari. “Bulan baru” terlihat sebagai sabit tipis dan terbenam setelah Matahari
terbenam. “Bulan purnama” kelihatan bulat penuh dan terbit di waktu Matahari
terbenam. “Bulan tua” kelihatan seperti bentuk sabit tipis lagi, tetapi terbit menjelang
atau mendahului terbit Matahari. Kedua unsur yang menandai atau mensifati adanya
bulan baru itu telah dijelaskan dengan sempurna dalam dua ayat di atas, yakni ayat 39
dan 40 surat Yasin.
Ayat 39 melukiskan pengaruh penyinaran Matahari terhadap Bulan baru (urjunilqadim), sedangkan awal ayat 40 menjelaskan kedudukan Bulan dan posisinya
terhadap Matahari (mendahului matahari). Namun demikian, tidak berarti bahwa
penetapan ijtimak (Bulan mendahuli matahari, bentuk Bulan yang paling kecil)
sebagai kriteria masuknya bulan baru kamariah tidak menyisakan persoalan, karena
bentuk Bulan pada saat ijtimak itu sangat sulit diamati.
Lanjutan ayat 40 surat Yasin.

‫ﺭ‬
ِ‫ﻬﺎ‬
‫ﻨ‬
‫ﻟ‬
‫ﺍ‬

‫ﻖ‬
‫ﺑ‬
ِ
‫ﺳﺎ‬
‫ﻞ‬
‫ﻴﹸ‬

‫ﻠ‬
‫ﻟﱠ‬
‫ﺍ‬
‫ﻻ‬
‫ﹶ‬
‫ﻭ‬


Memberikan petunjuk dan bimbingan tentang garis patokan yang harus
dipedomani dalam menentukan lahirnya atau masuknya bulan baru kamariah.
Rupanya yang dimaksud oleh ayat itu adalah situasi senja hari tatkala Matahari
terbenam karena pada situasi seperti itu terjadi pergantian siang kepada malam.
Perpindahan siang kepada malam itu ditentukan oleh terbenamnya Matahari. Sedang
terbenamnya Matahari adalah terhadap ufuk atau horizon. Oleh karena itu,
berdasarkan ayat ini ada unsur baru yang harus diperhatikan yaitu “garis ufuk”. Ufuk
inilah yang harus dijadikan patokan dalam menentukan apakah Bulan sudah berada di
sebelah timur Matahari atau sebaliknya ia masih berada di sebelah baratnya.
Menetapkan garis ufuk sebagai petunjuk timur dan barat mempunyai segi-segi
yang cukup menarik: Pertama, garis ufuk adalah garis yang nyata, dengan kedudukan
dan sifat-sifat yang jelas, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam mendefinisikannya.
Kedua, ufuk merupakan persoalan Bumi, sedangkan perjalanan Bulan dan Matahari

8

adalah persoalan ruang angkasa, persoalan langit. Dengan menggunakan ufuk sebagai
patokan, berarti telah memasukkan unsur keduniaan ke dalam persoalan langit,
sehingga dapat menjadi lebih menarik bagi manusia. Ketiga, ufuk bukan hanya
persoalan dunia, tetapi juga terikat kepada suatu tempat tertentu di permukaan Bumi.
Caranya menentukannya tidak sulit, yaitu dengan menempatkan Matahari pada
posisi terbenam, lalu ditentukan posisi Bulan. Bila Bulan berkedudukan di atas ufuk
itu berarti menunjukkan bahwa Bulan sudah berada di sebelah timur Matahari.
Dengan perkataan lain, Bulan belum terbenam ketika Matahari terbenam. Situasi
demikian menunjukkan bahwa bulan baru kamariah sudah mulai.
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan. Pertama,
untuk menghisab jatuhnya tanggal satu bulan baru kamariah, menurut metode hisab
wujudul-hilal, yang harus dilakukan adalah menempatkan Matahari pada posisi
terbenam, lalu ditentukan posisi Bulan, apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau
masih di bawahnya. Apabila sudah berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di
sebelah timur garis ufuk dan sekaligus di sebelah timur Matahari. Dalam keadaan
demikian bulan baru kamariah sudah masuk, atau dalam istilah Muhammadiyah, hilal
sudah wujud. Kedua, dalam hisab awal bulan kamariah yang harus dilakukan
bukanlah menentukan tinggi Bulan di atas ufuk mar’i, akan tetapi yang penting adalah
meyakini apakah pada pertukaran siang kepada malam Bulan sudah berkedudukan di
sebelah timur Matahari ataukah belum. Hal ini untuk memenuhi syarat “syahida”
dalam firman Allah swt.

ِ‫ﺷ‬
‫ﻦ‬

‫ﻤ‬
‫ﻓ‬
‫ﻥﹶ‬
ِ‫ﻗﺎ‬
‫ﹶ‬
‫ﺮ‬

‫ﻔ‬
‫ﻟﹸ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻭ‬
‫ﺪﻯ‬‫ﻬ‬

‫ﻟ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻦ‬

‫ﻣ‬
ِ‫ﺕ‬
ٍ‫ﻨﺎ‬
‫ﻴ‬
‫ﺑ‬
‫ﻭ‬
‫ﺱ‬
ِ‫ﻨﺎ‬
‫ﻠ‬
‫ﻟ‬
ِ‫ﺪﻯ‬‫ﻫ‬
‫ﻥ‬
‫ﺁﹸ‬
‫ﺮ‬

‫ﻘ‬
‫ﻟﹸ‬
‫ﹾ‬
‫ﺍ‬
‫ﻪ‬
ِ‫ﻴ‬
‫ﻓ‬
ِ‫ﻝ‬
‫ﹶ‬
‫ﺰ‬
ِ‫ﻧ‬
‫ﺃ‬
‫ﺬﻱﹸ‬
ِ‫ﻟ‬
‫ﺍﱠ‬
‫ﻥ‬
‫ﹶ‬
‫ﻀﺎ‬
‫ﻣ‬
‫ﺭ‬

‫ﺮ‬
‫ﻬ‬

‫ﺷ‬


‫ﻪ‬
‫ﻤ‬


‫ﻴﺼ‬
‫ﻠ‬
‫ﹾ‬
‫ﻓ‬
‫ﺮﹶ‬
‫ﻬ‬

‫ﺸ‬‫ﻟ‬
‫ﺍ‬
‫ﻢ‬

‫ﻜ‬
‫ﻨﹸ‬

‫ﻣ‬
ِ‫ﺪ‬‫ﻬ‬

Secara astronomis, Bulan bisa saja sudah berada di atas ufuk, atau dengan kata
lain berada di sebelah timur Matahari ketika Matahari terbenam, padahal ijtimak
belum terjadi. Atau sebaliknya, Bulan masih di bawah ufuk, atau dengan kata lain
masih di sebelah barat Matahari pada saat Matahari terbenam meskipun ijtimak terjadi
sebelum terbenam Matahari. Kasus di mana Bulan sudah berada di atas ufuk (di
sebelah timur Matahari) ketika Matahari terbenam padahal belum ijtimak, terjadi pada
awal bulan Syakban 1423 di wilayah Papua, sedangkan kasus Bulan masih berada di
bawah ufuk (di sebelah barat Matahari) ketika Matahari terbenam padahal ijtimak
terlah terjadi sebelum terbenam Matahari, terjadi pada sebagian wilayah Indonesia
awal bulan Jumadilawal 1423. Karena demikian, maka dalam metode wujudul-hilal di
atas dimasukkan kriteria ”ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari”.
Kenyataan di atas dapat dijelaskan, bahwa akibat kemiringan lingkaran
ekliptika dengan ekuator langit sekitar sebesar 23,5°, bagi pengamat yang berada di
sekita katulistiwa seperti Indonesia, serta konsep posisi Bulan dan Matahari pada saat
ijtimak secara astronomi, sebagaimana terlihat pada gambar 3 maka pada saat tertentu
Bulan sudah positif di atas ufuk sekalipun ijtimak belum berlangsung seperti pada
gambar 4. Pada posisi demikian, hilal yang berada di atas ufuk saat Matahari
terbenam itu bukanlah hilal awal bulan, melainkan bulan sabit tua pada bulan yang
sedang berlangsung. Sebaliknya, ada saat tertentu sekalipun ijtimak sudah
berlangsung tetapi ketinggian Bulan masih negatif, di bawah ufuk seperti terlihat pada
gambar 5.

9

Gerak Harian

Ekuator Langit

a
i uk
l i pt
Ek
23,50

IJTIMA’ 2

Gerak Harian

IJTIMA’ 3

IJTIMA’ 1 21 Maret

Arah selatan

Barat

Arah utara

IJTIMA’ atau KONJUNGSI, BULAN BARU(NEW MOON)
Adalah saat Matahari dan Bulan memiliki bujur ekliptika (bujur astronomi) yang sama
atau sudut elongasi bulan 0o atau fraksi iluminasi Bulan tampak dari Bumi minimum.

Gambar 3. Posisi Bulan dan Matahari pada saat ijtimak.

ZENITH

GERAK
HARIA
N

KLS

EKUAT

I PT
EKL

IKA

OR LA
NGIT

Sekalipun Ijtimak belum terjadi, tinggi
Bulan dapat berharga positif pada saat
Matahari terbenam.

BARAT

IJTIMA’SETELAH GHURUB

Gambar 4. Tinggi Bulan positif sebelum terjadi ijtimak.

10

OR LA
NGIT

ZENITH

EKUAT

IKA
IPT
EKL

Sekalipun Ijtimak terjadi sebelum
gurub, tidak selalu tinggi Bulan
positif (berada di atas ufuk) pada
saat Matahari terbenam.

IJTIMA’

KLS
BARAT
GERAK
HARIAN

Gambar 5. Tinggi Bulan negatif sekalipun ijtimak sudah terjadi.

---------------Jakarta, 18 Agustus 2008

11

Dalil dan interpretasinya yang digunakan oleh sistem ini sama dengan yang
digunakan oleh sistem hisab ijtima’ qablal-gurub. Akan tetapi dalam hal menetapkan
adanya hilal mempersyaratkan adanya pada saat terbenam Matahari, artinya pada saat
terbenam Matahari Bulan harus belum terbenam. Persyaratan ini ditetapkan
mengingat hadis-hadis Nabi saw sebagaimana telah dikutip terdahulu yang
menunjukkan bahwa pembuktian ada atau tidak adanya hilal itu dibuktikan dengan
cara melihatnya pada saat terbenam Matahari. Ini menjadi penting pada sistem hisab
wujudul-hilal karena tidak setiap ijtima’ terjadi sebelum terbenam Matahari secara
otomatis Bulan terbenam lebih kemudian dari pada Matahari, akan tetapi bisa saja
bulan itu sudah lebih dahulu terbenam dari pada Matahari.

Fenomena Bulan menjelang Ramadan dan Syawal 1426 H
Jauh sebelum bulan Ramadan tiba, ormas-ormas Islam, lembaga-lembaga
pemerintah, dan lembaga-lembaga lain yang berkembang di masyarakat telah
melakukan perhitungan untuk menentukan tanggal satu Ramadan dan satu Syawal
1426 H yang bertepatan dengan tahun 2005 ini. Hasilnya, pada umumnya, disajikan
dalam bentuk kalender tahun 2005.
Hasil perhitungan dari masing-masing komponen masyarakat tersebut relatif
sama. Maskipun ada perbedaan sangat keacil, sehingga tidak berpengaruh. Kalenderkalender tersebut pada umumnya memuat tanggal 1 Ramadan 1426 H hari Rabu
bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2005, sedangkan tanggal 1 Syawal 1426 H hari
Kamis bertepatan dengan tanggal 3 November 2005.
Hasil perhitungan dari berbagai sistem yang berkembang di Indonesia
diketahui bahwa konjungsi (ijtima’) antara Bulan dan Matahari menjelang bulan
Ramadan 1426 H terjadi pada hari Senin tanggal 3 Oktober 2005 bertepatan dengan
tanggal 29 Sya’ban 1426 H sekitar pukul 17:28 WIB. Sedang pada saat Matahari
terbenam pada hari tersebut ketinggian Bulan di seluruh wilayah Indonesia berkisar
antara -0,5° sampai -02,5° (0,5° sampai 02,5° dibawah ufuk). Dengan perkataan lain,
pada saat Matahari terbenam Bulan sudah terbenam duluan. Dari hasil perhitungan
tersebut kemudian dikonfirmasi dengan kriteria awal bulan sebagaimana diuraikan di
atas. Dan setelah dikonfirmasi maka dicapailah kesimpulan bahwa pada saat terbenam
Matahari hari Senin tanggal 3 Oktober 2005 tersebut belum masuk tanggal 1
Ramadan 1426 H melainkan tanggal 30 Sya’ban 1426 H. Tanggal 1 Ramadan 1426 H
jatuh pada hari Selasa saat terbenam Matahari tanggal 4 Oktober 2005, sedang
konversinya dengan kalender Masehi adalah 1 Ramadan 1426 H jatuh pada hari Rabu
bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2005. Itulah sebabnya kalender-kalender yang
berkembang di masyarakat memuat tanggal 1 Ramadan 1426 H bertepatan dengan
hari Rabu 5 Oktober 2005.
Untuk bulan Syawal 1426 H hasil hisab menunjukkan bahwa konjungsi
(ijtima’) antara Bulan dan Matahari menjelang bulan Syawal 1426 H terjadi pada hari
Rabu tanggal 2 November 2005 bertepatan dengan tanggal 29 Ramadan 1426 H
sekitar pukul 08:24 WIB. Sedang pada saat Matahari terbenam pada hari tersebut
ketinggian Bulan di seluruh wilayah Indonesia di atas ufuk berkisar antara 01,5°
sampai 03°. Dengan perkataan lain, pada saat Matahari terbenam Bulan belum
terbenam. Dari hasil perhitungan tersebut kemudian dikonfirmasi dengan kriteria awal
bulan sebagaimana diuraikan di atas. Dan setelah dikonfirmasi maka dicapailah
kesimpulan bahwa pada saat terbenam Matahari hari Rabu tanggal 2 November 2005
tersebut mulai masuk tanggal 1 Syawal 1426 H. sedang konversinya dengan kalender

12

Masehi adalah 1 Syawal 1426 H jatuh pada hari Kamis bertepatan dengan tanggal 3
November 2005. Itulah sebabnya kalender-kalender yang berkembang di masyarakat
memuat tanggal 1 Syawal 1426 H bertepatan dengan hari Kamis 3 November 2005.
Penetapan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1426 H sebagaimana tercantum
dalam kalender-kalender itu berdasarkan pada sistem hisab dengan segala kriterianya.
Dan secara kebetulan, dalam kasus ini seluruh keriteria menyimpulkan hal yang sama.
Adapun kriteria yang didasarkan pada rukyat belum dapat menjawab kapan tanggal 1
Ramadan dan 1 Syawal 1426 H tersebut. Ia baru dapat mengetahuinya pada saat
dilakukan rukyat, yakni saat terbenam Matahari hari Senin 3 Oktober 2005 untuk 1
Ramadan 1426 H. dan saat terbenam Matahari hari Rabu 2 November 2005 untuk 1
Syawal 1426 H.
Selanjutnya usaha-usaha untuk menyeragamkan kriteria tentu saja sangat
penting karena dengan keseragaman kriteria itu perbedaan akan dapat terhindarkan,
atau paling tidak dapat dikurangi.
Sesuai dengan petunjuk yang diberikan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw umat
Islam sepakat menetapkan hilal sebagai rujukan dalam penentuan awal bulan
Ramadan, namun konsep dan interpretasi tentang hilal itu nampaknya tidaklah sama,
termasuk cara untuk mengetahuinya.
Perbedaan konsep tentang hilal dapat
dimaklumi karena al-Qur’an tidak menegaskan hakekat hilal itu dan jawabannya
diserahkan kepada ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menegaskan tentang kegunaan hilal
bukan hakekat hilal, demikian pula hadis Nabi saw. Cara praktis yang diberikan oleh
Rasulullah saw yang berupa pengamatan langsung bulan sabit (rukyah hilal) tidak
serta merta dipahami secara seragam karena di samping redaksinya beraneka ragam,
juga memungkinkan diberikan interpretasi yang berbeda. Sekarang, cara yang
diberikan oleh Rasulullah saw tersebut bukan lagi satu-satunya cara tetapi hanya salah
satu cara saja. Cara lainnya adalah hisab –perhitungan astronomi--, yakni
memperhitungkan kedudukan Bulan.
Perbedaan pilihan dalil yang dijadikan landasan dan logika yang dibangun
untuk memahaminya berimplikasi pada masalah kriteria awal bulan yang dipedomani.
Kriteria awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah berpangkal pada dua arus besar,
yaitu rukyah dan hisab, kemudian dari kedunya ini berkembang kriteria penetapan
awal bulan qamariah yang beraneka ragam. Pertama, menyatakan bahwa awal bulan
Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dimulai sejak terlihatnya hilal pada saat terbenam
Matahari tanggal 29. Kalau tidak terlihat, maka jalan keluarnya adalah mengambil
maksimum umur bulan 30 hari dan setelah itu mulailah tanggal 1 bulan baru. Kriteria
ini kemudian melahirkan suatu sistem penetapan awal bulan yang dikenal dengan
‘rukyatul-hilal bil-fi’li”. Kedua, menyatakan bahwa awal bulan Ramadan, Syawal,
dan Zulhijjah dimulai apabila saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima’
(konjungsi) “hilal sudah ada”. Dalam hal memahami “hilal sudah ada” muncul tiga
pemahaman: pertama, “ ada” dalam pengertian mutlak tanpa dikaitkan dengan apapun
kecuali saat ijtima’ (new moon) itu sendiri yang secara astronomis menyatakan hilal
sudah ada; kedua,”ada” dalam pengertian ada pada saat terbenam Matahari;
ketiga,”ada” dalam pengertian mungkin dilihat,artinya dalam kondisi normal hilal itu
mungkin dapat dilihat. Yang pertama melahirkan sistem penetapan awal bulan yang
dikenal dengan “hisab ijtima’ qablal-gurub”, yang kedua dikenal dengan “hisab
wujudul-hilal”, sedang yang ketiga dikenal dengan “hisab imaknur-rukyat”.

13

Kriteria awal bulan kamariah di atas, didasarkan pada pandangan astronomis
bahwa penampakan bulan yang paling kecil dilihat dari bumi adalah pada saat terjadi
ijtima’ antara bulan dan Matahari, dan itulah yang dimaksud hilal. Jadi pada saat
terjadi ijtima’ itu hilal sudah ada. Hanya saja untuk kepentingan praktis sehari-hari
tidak mungkin menetapkan pergantian bulan pada saat terjadi ijtima’ itu, karena ia
dapat terjadi kapan saja, bisa siang dan bisa malam, bisa pagi hari dan bisa pula sore
hari, sembarang waktu. Itulah sebabnya maka pergantian bulan itu disesuaikan dengan
fenomena pergantian hari yang langsung bisa dirasakan oleh umat manusia yang ada
di bumi, yakni terbenam Matahari.
Kriteria itupun didasarkan pada hasil interpretasi terhadap sejumlah ayat alQur’an.Ayat ayat al-Qur’an tersebut antara lain adalah surat Yunus (10) ayat 5
(terjemahnya): “Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (diya’) dan bulan
bercahaya (nur) dan ditetapkanNya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan
itu,supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu“. Manzilahmanzilah yang dimaksud dalam ayat ini adalah tempat-tempat kedudukan Bulan pada
saat-saat tertentu terhadap Matahari dan bumi (moon stations). Kedudukan Bulan dan
Matahari itu selalu berubah-ubah karena keduanya beredar pada garis edarnya
masing-masing sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ (21) ayat 33
(terjemahnya): “....Matahari dan bulan masing-masing dari keduanya beredar pada
garis edarnya“. Penegasan yang sama ditunjukkan pula pada surat Yasin (36) ayat 40.
Perubahan kedudukan dari Bulan dan Matahari itu mengakibatkan bentuk
semu bulan yang terlihat dari bumi (fase-fase bulan) berubah-ubah pula. Hal ini
disebabkan oleh karena bulan itu benda gelap yang hanya dapat terlihat apabila
permukaannya terkena sinar Matahari. Ini ditunjukkan oleh surat Yunus (10) ayat 5 di
atas, Matahari adalah diya’ (bersinar sindiri), sedangkan Bulan nur (bersinar bukan
dengan sendirinya). Akibatnya hanya permukaan bulan yang terkena sinar Matahari
dan menghadap ke bumi yang dapat dilihat.
Surat Yasin (36) ayat 39 menegaskan (terjemahnya): “dan telah Kami
tetapkan bagi bulan itu manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk
tandan yang tua (‚urjunil-qadim)“. Ayat ini mengisyaratkan bahwa fase-fase bulan itu
terjadi berulang-ulang berupa siklus. Ini terjadi karena (1)bulan beredar lebih cepat
dari Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, perhatikan surat Yasin (36) ayat 40
yang menyatakan (terjemahnya): “tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan
(mengejar/mendahului) bulan“. (2)keduanya bergerak menurut arah yang sama yaitu
dari barat ke timur, (3)alur gerak keduanya memutar bukan bergerak lurus sehingga
Matahari secara terus menerus berulang kali terkejar oleh bulan.
Pada saat Matahari terkejar oleh bulan itulah yang dikatakan ijtima’. Pada saat
itu bentuk semu bulan yang terkecil (‘urjunil-qadim)itu dicapai. Jadi pada saat ijtima’
itu mulai ada “hilal“. Hilal ini, kemudian, dijadikan sebagai dasar penetapan awal
bulan qamariah, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 189
(terjemahnya): “mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, hilal itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji“.
Hadis-hadis Nabi saw. tersebut antara lain(terjemahnya):
“Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah pula
berbuka (beridulfitri) sebelum kamu melihatnya. Jika kamu tidak dapat melihatnya
karena mendung atau tertutup awan maka estimsikanlah ia”.(HR al-Bukhari dan
Muslim).
“Berpuasalah kamu karena terlihatnya hilal dan berbukalah (beridulfitri) karena
terlihatnya hilal. Jika kamu tidak dapat melihatnya karena mendung atau tertutup

14

awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syakban 30 hari”.(HR al-Bukhari dan
Muslim).

15