Online Support Peran Diaspora melalui Du

Online Support: Peran Diaspora melalui Dunia Maya
Baiq Wardhani
([email protected])
Departemen Hubungan Internasional
FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, INDONESIA

Pendahuluan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara politik domestik dengan
politik transnasional melalui peran diaspora dengan memanfaatkan dunia
maya/internet. Lebih lanjut, tulisan ini menilik bagaimanakah peranan internet
sebagai media penghubung antara diaspora dengan kelompok-kelompok di negara
asal. Diaspora yang ‘hidup dalam dua ruang’ merupakan salah satu aktor etnik
transnasional yang perannya patut diperhitungkan. Untuk mencapai keberhasilan
perjuangannya, internet merupakan salah satu media penting yang digunakan oleh
diaspora untuk memberi dukungan pada perjuangan kelompok-kelompok identitas.
Diaspora adalah aktor transnasional strategis yang memainkan peranan krusial, baik
sebagai pemicu maupun penyelesai konflik. Peran ini dapat dimainkan melalui
internet karena internet memberi keleluasaan dalam mengatasi masalah spasial dan
keterwakilan. Internet memfasilitasi dukungan eksternal bagi proses berhentinya atau
berlanjutnya konflik internal. Diaspora menggantikan peranan superpower karena
diaspora merupakan sumber dukungan eksternal yang dapat dimobilisasi dan hal ini

dapat dipandang sebagai representasi nasionalisme jarak jauh diaspora.
Perjuangan diaspora melalui dunia maya merupakan bentuk gerakan transnasional
yang tidak terpengaruh oleh faktor kedaulatan dan batas-batas teritorial negara. Para
diaspora yang bermukim jauh dari negara asal merupakan kelompok yang
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai. Diaspora di
berbagai tempat membentuk jejaring etnis dan masyarakat sipil global sebagai bentuk
perlawanan kuatnya ‘globalisasi dari atas’ yang untuk mencapai tujuan yang
ditargetkan. Internet memberi penguatan ‘sense of belonging’ sekaligus memberi
ruang baru bagi mobilisasi sosial dan politik, sehingga internet merupakan “third
space” bagi bagi diaspora (Demmers 2002, 86). ‘Sense of belonging’ yang hilang
merupakan ekspresi dari hilangnya proses nation building yang menurut diaspora
ingin diisi, sekali pun melalui internet. Diaspora memainkan “triadic relationship”
yaitu hubungan antara (a) kelompok etnis yang teridentifikasi secara kolektif namun
tersebar secara global; (b) negara tujuan dan konteks dimana kelompok tersebut
menetap; (c) negara asal dan konteks dimana mereka pernah menjalani masa lalu.
(Vertovec 1999, dalam Demmers 2002, 68).
Sifat deterritorialitas internet merupakan faktor yang memberi keleluasaan bagi
diaspora berperan lebih banyak karena terbatasnya otoritas struktural yang mampu
mengatur peran mereka di ruang publik terbuka. Pemanfaatan dunia maya oleh
kelompok-kelompok identitas bukanlah hal baru, bahkan menjadi kecenderungan di

era teknologi informasi karena fenomena tersebut memberi banyak keuntungan dan
kemudahan dengan tingkat keberhasilan relatif tinggi.

1

Diaspora dalam Network society
ICT dapat dipandang sebagai salah satu sarana yang strategis untuk
mengkonsolidasikan dan memperkuat keterlibatan diaspora dalam proses
pembangunan. Dengan kemajuan dalam ICT, sejumlah organisasi diaspora telah
memfasilitasi diskusi yang dapat memberi manfaat bagi negara asal. Beberapa
hambatan yang dialami seseorang ketika menjadi diaspora, seperti
rasa kehilangan budaya dan etnis, sebagian dapat diatasi dengan ICT. Sejumlah situs
web sosial dan/atau agama telah diciptakan sebagai cara untuk membangun kembali
hambatan spasial antara diaspora dan negara-negara asal mereka. Beberapa laman
diaspora yang cukup berhasil dalam menggalang solidaritas adalah
http://www.ethiopiandiaspora.org dan http://www.armeniadiaspora.com/. Terdapat
pula jejaring digital diaspora yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti
http://www.unicttaskforce.org/stakeholders/ddn.html serta laman yang disponsori
oleh Bank Dunia seperti http://go.worldbank.org/HT1YT23NS0. Representasi virtual
kelompok diaspora tidak hanya bermanafaat secara ekonomi, tetapi juga secara

potensial dapat memperkuat komunikasi lintas batas antar berbagai elemen dari
komunitas diaspora.
Komunikasi dengan bantuan internet atau Computer-Mediated Communication
(CMC) sering dianggap sebagai simbol globalisasi dan sarana untuk menyebarkan ide
dan menggerakkan modal di tingkat global. Seperti halnya globalisasi, internet
merupakan peluang sekaligus tantangan bagi gerakan sosial (della Porta dan Mosca
2005, 165). Internet juga memfasilitasi komunikasi internal dan eksternal,
memungkinkan pesan yang sama dikirim ke ratusan alamat sehingga mengatasi
hambatan dalam ruang dan waktu (della Porta dan Mosca 2005, 168). Banyak
manfaat yang diperoleh ketika sebuah kelompok memanfaatkan ICT sebagai sarana
berkomunikasi, khususnya bagi kelompok yang tidak sering memanfaatkan media
arus utama (mainstream), seperti diaspora Afrika di Inggris karena adanya perasaan
”beban keterwakilan” (burden of representation). Dengan demikian media online
dapat dianggap mengisi kekosongan antara kebutuhan aktualisasi dan ekspresi diri
mereka dengan ”beban keterwakilan” di media arus utama. Ogunyemi (2006, 334)
mencontohkan, masyarakat Afrika sangat diuntungkan dengan kahadiran layanan
online karena layanan online menyediakan sarana untuk diaspora Afrika untuk
berkomunikasi interaktif, mengambil, berbagi, menampilkan, dan menyimpan
informasi audiovisual tentang praktek-praktek budaya mereka dan berita tentang isuisu politik dan sosial ekonomi mengenai negara asal mereka. Menurut Lin dan Jeffres
(2001, 569, dalam Ogunyemi, 2006, 334), bagi diaspora Afrika, media online

digunakan sebagai alat untuk menciptakan ”sebuah platform alternatif” untuk
mengakses berita informasi, hiburan, dan mengungkap sejarah, serta untuk
mempromosikan praktek-praktek budaya mereka dan cara ini dapat membantu
memperkuat identitas kultural mereka. Bahkan cara ini membentuk identitas
transnasional baru di kalangan diaspora. Bagi diaspora, makna identitas menjadi
berarti dengan bantuan internet karena dalam taraf tertentu internet mampu
menggantikan peranan lembaga-lembaga formal.
Manuel Castells (1996, 3)
menyatakan,
...identity becoming the main and sometimes the only, source of
meaning in a historical period characterized by widespread

2

destructuring by organizations, delegitimation of of institutions,
fading away of major social movements, and ephemeral cultural
expressions. …Our societies are increasingly structured around a
bipolar opposition between the Net and the Self.
CMC telah menciptakan bentuk hubungan baru antara negara/tanah air yang sedang
berperang dengan diaspora. Ruang publik diaspora melalui internet dapat dianggap

sebagai bentuk imajinasi kreatif bagi ruang nasional yang bersumber dari beragam
situs global. Dalam konteks ini teks bermakna penting karena teks membentuk
imajinasi nasionalisme diaspora. Diaspora Kroasia pada tahun 1990an, membentuk
newsgroup ‘netnography’ sosial budaya Kroasia, yang merupakan habitus
pembentukan kembali identitas Kroasia (Stubbs 1999). Peran baru diaspora dalam
konflik deteritorial ini lebih mempertegas perang ‘model non-Clausewitzean’ Edward
Azar dan ‘perang baru’ Mary Kaldor.
Salah satu kelebihan kaum diaspora yang berada dalam jejaring dunia maya adalah
posisinya yang tak berbatas teritori (deterritoriality). Diaspora merupakan salah satu
kelompok yang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan yang terjadi di negara
asal. Sekalipun terpisah oleh jarak fisik, diaspora saat ini tidak memandang jarak
sebagai hambatan yang memisahkan secara emosional, terutama dengan mudahnya
akses internet. Sifat deteritorialitas lebih dipertegas dengan hadirnya internet yang
menghilangkan batas-batas geografis dan mengurangi sekat-sekat struktural formal.
Menurut Robinson (2002 dalam Cuko dan Traore 2008, 9), ruang abstrak yang
diciptakan oleh jaringan transnasional diaspora yang tak berbatas wilayah geografis
tertentu, adalah sebuah ruang politik baru di mana jejaring tersebut menegaskan
identitas politik mereka melalui proses translocality, yang melahirkan bentuk
pemerintahan de-territorial.1
Komunitas diaspora semakin mendapat perhatian penting sebagai salah satu aktor

non-negara sekaligus kekuatan penekan yang berpengaruh. Seperti halnya
transnational advocacy networks (TANs)2, diaspora dengan jejaring etnik
transnationalnya tidak hanya sekedar berstatus sebagai ‘imigran di negeri orang’,
namun lebih dari itu, para imigran yang membentuk hubungan melalui jejaring
dengan sesama etnis yang tinggal di berbagai tempat di dunia dapat berperan menjadi
aktor politik non-negara lintas batas yang mempengaruhi dinamika negara asalnya.
Oleh Wyland (2004, 410), makna peran tersebut digambarkan sebagai,
(1)
…form political networks that work across state borders to
influence policies, thereby engaging in substate relations, and (2) its

1

Berkat kemajuan teknologi transportasi, sekitar tiga sampai empat dekade ini terjadi perpindahan
manusia yang cukup masif sehingga menghasilkan dua jenis perpindahan manusia. Pertama, migrasi
sukarela, yang bertujuan mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik dengan tujuan menetap
maupun sementara di negara penerima. Kedua, perpindahan paksa, yang disebabkan oleh kekacauan
politik dan perang sipil atau oleh bencana alam (banjir, gempa bumi, dan kekeringan) dari negara asal
menuju negara penerima; Termasuk dalam kelompok ini adalah pengungsi dan pencari suaka
(Tambiah 2000, 164). Baik kelompok pertama maupun kedua disebut sebagai komunitas diaspora.

2

Adalah struktur komunikatif yang para anggotanya termotivasi oleh prinsip-prinsip atau nilai bersama
(Keck dan Sikkink 1998, 30)

3

members have a common identity that spans state borders. Like TANs,
transnational ethnic networks can be important actors on the world stage.
Posisi lintas batas diaspora tersebut memungkinkan mereka berperan strategis dalam
hubungan internasional. Seperti halnya TANs, kelompok ini berkomunikasi secara
meluas, berbagi informasi dan pelayanan, mengedarkan personil, dan bekerja sama
untuk mempengaruhi kebijakan. Mobilisasi diaspora diharapkan dapat menimbulkan
’efek bumerang’ seperti yang diharapkan dari pola TANs, yaitu ketika kekuatan di
dalam negeri tidak mampu mempengaruhi negara, maka gerakan dan aliansi
transnasional akan menghasilkan tekanan internasional kepada negara (Keck dan
Sikkink 1998, 13). Menurut Keck dan Sikkink selanjutnya, sebuah jaringan
transnasional sangat mungkin untuk muncul ketika (1) saluran antara kelompokkelompok domestik dan pemerintah mereka tertutup, (2) ketika ”para petualang
politik” percaya bahwa jaringan akan membantu keberhasilan kampanye mereka, dan
(3) saat konferensi dan kontak lain merupakan sarana untuk menciptakan arena bagi

terbentuknya jaringan.
“Diasnet” dan konflik dalam domestik
“Diasnet” adalah istilah yang penulis gunakan untuk diaspora yang melibatkan diri
dalam jejaring internet dan berperan dalam berbagai aktivitas di negara asal, termasuk
peran mereka dalam konflik domestik. Peran diaspora dan dampaknya bagi
pembangunan dan perkembangan kondisi sosial ekonomi maupun politik telah
mendapat perhatian dari beberapa ilmuwan (Warnecke 2007; Gueron dan Spevacek
2008; Ibrahim 2010; Zunzer 2004). Gueron dan Spevacek (2008, 3) misalnya,
mengemukakan bahwa kelompok-kelompok diaspora memberi sumbangan penting
dan seringkali merespon dengan cepat dan efektif kebutuhan-kebutuhan yang muncul
dari tanah air mereka, melalui beragam cara seperti pengiriman uang filantropis,
tanggapan atas bencana alam, konflik, kehancuran ekonomi, investasi bisnis dan
perdagangan, upaya advokasi, maupun diplomasi. Dalam beberapa tahun terakhir,
berkembang globalisasi, perubahan dalam pola migrasi, dan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) menyebabkan keterlibatan diaspora lebih besar, yang
memungkinkan meningkatnya investasi langsung asing, penciptaan jaringan
profesional, sosial, dan politik berbasis web, inisiatif advokasi, dan sejenisnya.
Dengan demikian saat ini diasnet memiliki kesempatan dan kemampuan yang lebih
besar dalam mengorganisir diri melalui dan memanfaatkan jejaring yang dapat
memberi nilai strategis dalam memproyeksikan nasionalisme. Piranti berbasis ICT

seperti komputer dan Internet, televisi, radio, telepon selular, dan sebagainya
merupakan sarana organik yang digunakan untuk memfasilitasi proses ini sehingga
terjalin hubungan yang produktif antara diaspora dengan negara asal. Revolusi ICT
memberi kemudahan dan kapasitas lebih besar bagi diaspora untuk berperan positif
kepada tanah air mereka. Diaspora harus diakui sebagai ”mesin penggerak”
pembangunan dan memajukan berbagai sektor sosial, ekonomi, politik, dan agama di
negara asal mereka. Selama bertahun-tahun, diaspora telah memainkan peran
tradisional mereka, diantaranya konsisten dalam memberikan kontribusi terhadap
perekonomian daerah asal mereka melalui pengiriman uang. Namun perkembangan
ICT menyebabkan peran diaspora menjadi lebih dari sekedar agen pengirim uang.
Sementara memobilisasi keuangan tetap memberi kontribusi penting, lebih penting

4

lagi adalah peran diaspora dalam transfer pengetahuan dan keterampilan. Hal ini
dapat dicapai dengan lebih mudah saat ini dengn kemajuan dalam ICT, misalnya
melalui jaringan profesional online.
Salah satu kelebihan diaspora adalah posisi mereka yang strategis. Diaspora berada
dalam posisi yang unik karena secara bersamaan, yaitu memahami dua budaya
(budaya negara asal/induk dan negara tujuan). Posisi ini memungkinkan mereka

menjadi agen ideal untuk menawarkan alternatif dengan cara lebih efektif dalam
mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan. Mereka memahami konteks lokal
dan mampu mengidentifikasi beragam tantangan terkait. Diaspora, dengan budaya
hibrida yang dimilikinya dan akar transnasionalnya, memungkinkan mereka untuk
menjadi penghubung penting antara dua budaya.
Peran diaspora signifikan, tidak saja sebagai agen yang memfasilitasi percepatan
pembangunan di negara asal, tetapi peran positifnya di dalam transformasi konflik.
Peran diaspora dalam transformasi konflik tidak saja penting, namun secara
keseluruhan memberi makna tersendiri bagi perkembangan konflik tersebut.
Meningkatnya peran diaspora dalam konflik merupakan fenomena baru seiring
dengan berubahnya pola konflik dari konflik antarnegara (interstate) menjadi konflik
dalam negara (intrastate) yang melibatkan kelompok agama, ras, etnis, dan budaya,
seperti yang dijelaskan Edward Azar (1999) dan Mary Kaldor (2001). Evolusi pola
konflik sejak akhir abad ke duapuluh berdampak pula pada cara penyelesaiannya
sehingga kelompok-kelompok di dalam negara menjadi aktor yang diperhitungkan
peranannya. Dukungan eksternal dalam konflik tidak lagi diperoleh dari superpowers,
namun diperoleh dari diaspora.
Mayoritas imigran (terutama ke banyak negara Eropa), selama beberapa dekade
terakhir datang dari negara-negara dengan perang sipil yang berkepanjangan dan
banyak di antara imigran itu mengajukan permohonan status pengungsi atau suaka.

Salah satu pertanyaan penting adalah sejauh mana kelompok ini dapat berkontribusi
secara politis dan ekonomis untuk mendukung transformasi konflik di negara asal
mereka. Studi Zunzer atas peran diaspora Tamil di berbagai negara Eropa (2004)
menyatakan bahwa riset mengenai peran diaspora dalam konflik belum banyak
dilakukan, sementara peran mereka dalam ekonomi merupakan studi yang sudah
lazim. Dari penelitian yang dilakukannya, Zunzer menyimpulkan bahwa diaspora
cenderung berperan positif dalam penyelesaian konflik daripada sebaliknya. Hal ini
berkaitan dengan asal-usul kedatangan diaspora ke negara penerima, yang pada
umumnya meninggalkan negara asal karena konflik sipil berkepanjangan dan bersifat
violence. Para penganjur pendekatan transformasi konflik berharap peran diaspora
dalam mendukung proses perdamaian, termasuk menemukan dan mengatasi
penyebab konflik, melakukan mediasi konflik dan mekanisme pengelolaan konflik.
Hasil pengamatan Cuko dan Traore (2008) menyimpulkan bahwa peran diaspora
Horn Africa, seperti masyarakat Somalia dan Ethiopia yang hidup di Aalborg,
Denmark, misalnya, menunjukkan hasil yang beragam. Di satu pihak, diaspora
mengirim remitan ke negara asal untuk membantu rumah tangga keluarga mereka,
namun di pihak lain tidak sedikit di antara remitan itu dikirimkan untuk membiayai

5

konflik sehingga berdampak memperpanjang masa konflik (Cuko dan Traore 2008,
7).
Sebaliknya, studi Sarah Wayland (2004) tentang LTTE menemukan bahwa
pembentukan jaringan etnis transnasional melalui dunia maya di kalangan kaum
Tamil merupakan salah satu faktor penting yang dapat menjelaskan tentang sifat
berkepanjangan (protracted) konflik yang berlangsung antara kaum Macan Tamil
dengan pemerintah Srilanka. Jaringan etnis melalui dunia maya telah menjawab
sebagian kesulitan yang dihadapi oleh para pengamat tradisional konflik ini mengenai
sulitnya menjelaskan sifat berkepanjangan konflik LTTE. Dimensi transnasional
dengan fasilitas teknologi merupakan unsur penting yang memberikan wawasan baru
mengenai sifat bertahannya konflik. Jaringan etnis transnasional melalui dunia maya
merupakan arena baru yang dapat dianggap sebagai ’perpanjangan’ dan ’perluasan’
arena konflik konvensional karena arena baru itu mampu menyumbangkan
pemikiran-pemikiran baru, norma-norma, bahkan mampu menggerakkan para
diaspora untuk mengumpulkan dana bagi keberhasilan perjuangan LTTE.

6

Kesimpulan
Studi mengenai resolusi konflik mengalami perkembangan baru dengan terlibatnya
diasnet dalam konflik non-konvensional. Evolusi pola konflik sejak akhir abad ke
duapuluh berdampak pula pada cara penyelesaiannya sehingga kelompok-kelompok
di dalam negara menjadi aktor yang diperhitungkan peranannya. Peran diaspora yang
meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan ICT membuka ruang baru bagi
partisipasi warga negara untuk mengekspresikan nasionalismenya melalui cara-cara
yang tidak biasa namun mampu memberi dampak pada dinamika kelompok yang
secara afektif diaspora terikat di dalamnya. Tidak adanya batas-batas spasial yang
menghalangi, membuat diaspora menjadi aktor transnasional strategis baru yang
memainkan peranan krusial, baik sebagai pemicu maupun penyelesai konflik. Peran
mereka di dunia maya dapat disejajarkan dengan peran warga negara dalam proyeksi
nasionalisme yang disampaikan melalui cara non-konvensional. Peran ICT sangat
membantu diasnet dan merupakan sarana organik yang digunakan untuk
memfasilitasi proses keterlibatan diasnet dalam permasalahan di negara asalnya
sehingga terjalin hubungan timbal balik antara diaspora dengan negara asal: diaspora
memerlukan media bagi ekspresi nasionalisme, nasionalisme masih mendapatkan
simpati dari pendukungnya. Bentuk-bentuk hubungan baru semacam ini tidak terlalu
banyak mendapat perhatian dari pemelajar Hubungan Internasional pada umumnya.

7

Daftar Pustaka
Castells, Manuel, 1996. The Rise of the Network Society. Massachusetts, Blackwell
Publishers Inc.
Demmers, Jolle, 2002. Diaspora and Conflict: Locality, Long distance Nationalism
and Delocalisation of Conflict Dynamics. The Public, Vol. 9, No. 1, pp. 85-96.
Gueron, Joseph dan Spevacek, Anne Marie, 2008. Diaspora-Development Nexus: the
Role of ICT. Washington D.C, USAID.
http://www.ethiopiandiaspora.org
http://www.armeniadiaspora.com/
http://www.unicttaskforce.org/stakeholders/ddn.html
http://go.worldbank.org/HT1YT23NS0
Ibrahim, Mohamed Hassan, 2010. Somaliland’s Investment in Peace: Analysing the
Diaspora’s Economic Engagement in Peace Building. . Project Diasporas for
Peace: Patterns, Trends and Potential of Long-distance Diaspora Involvement
in Conflict Settings. Case Studies from the Horn of Africa (DIASPEACE).
Bonn, Bonn International Center for Conversion.
Keck, Margaret E., dan Sikkink, Kathryn, 1998. Activists Beyond Borders: Advocacy
Networks in International Politics (Ithaca and London: Cornell University
Press.
Ogunyemi, Olatunji, 2006. The Appeal of African Broadcast Web Sites to African
Diasporas: A Case Study of the United Kingdom. Journal of Black Studies,
Vol. 36, No. 3 (Jan., 2006), pp. 334-352.
Porta, Donatella della, dan Mosca, Lorenzo. 2005. Global-Net for Global
Movements? A Network of Networks for a Movement of Movements. Journal
of Public Policy, Vol. 25, No. 1 (Jan. - Apr., 2005), pp. 165-190.
Sara Cuko and Traoré, Mariam, 2008. Diaspora Networks and Identity: Conflict
Resolution in the Horn of Africa. Interdisciplinary Journal of International
Studies, Vol. 5, No. 1.
Stubbs, Paul, 1999. Virtual Diaspora?: Imagining Croatia On-line. (abstract)
http://www.socresonline.org.uk/4/2/stubbs.html
Tambiah, Stanley J., 2000. Transnational Movements, Diaspora, and Multiple
Modernities. Daedalus, Vol. 129, No. 1, Multiple Modernities (Winter, 2000),
pp. 163-194
Warnecke, Andrea, 2007. Diaspora and Peace, A Comparative Assessment of Somali
and Ethiopian Communities in Europe. Project Diasporas for Peace: Patterns,
Trends and Potential of Long-distance Diaspora Involvement in Conflict

8

Settings. Case Studies from the Horn of Africa (DIASPEACE). Bonn, Bonn
International Center for Conversion.

Wayland, Sarah, 2004. Ethnonationalist Networks and Transnational Opportunities:
The Sri Lankan Tamil Diaspora. Review of International Studies, Vol. 30, No.
3 (Jul., 2004), pp. 405-426.
Zunzer, Wolfram, 2004. Diaspora Communities and Civil Conflict Transformation.
Berghof Occasional Paper Nr. 26, Berlin, Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management.

9