Strategi Konservasi Taman Nasional Gunun

Strategi Konservasi Taman Nasional Gunung Lauser Dalam Perspektif Etnoekologi
Oleh : Darmadi

Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) adalah salah satu taman nasional terbesar di
Indonesia. TNGL merupakan kawasan konservasi alam yang terletak di antara Provinsi Aceh dan
Sumatera Utara. Sebagai kawasan konservasi, kini kondisi TNGL sangat mengkhawatirkan.
Disamping faktor ekonomi, rendahnya kesadaran kolektif menjadi penyebab utama terjadinya
degradasi lingkungan dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL). Berbagai strategi penyelamatan
kawasan TNGL selama ini, belum memberikan dampak secara signifikan. Kompleksitas masalah
selama ini masih berkutat pada kurang efektifnya sistem regulasi, fasilitas dan sumber daya
manusia yang terbatas, alokasi anggaran yang minim, hingga efektivitas pelbagai program
konservasi yang masih diluar target, tepat guna dan berkesinambungan. Ditengah kompleksnya
masalah dalam pelestarian fungsi hutan, strategi berbasis etnoekologi--pola hubungan dan
adaptasi manusia dan lingkungan--kiranya dapat menjadi solusi alternatif guna menjawab
tantangan terhadap upaya pelestarian TNGL secara menyeluruh.
Sedianya TNGL berperan besar bagi kelangsungan hidup manusia baik dalam skala lokal
maupun secara global. Bagi masyarakat lokal Aceh dan Sumatera Utara, TNGL berfungsi
sebagai penyedia air bersih, sumber cadangan makanan, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya 1.
Secara global, pusat konservasi TNGL dapat menjadi sumber utama penghasil siklus karbon
guna mengurangi efek pemanasan global (global warming) akibat perubahan iklim yang sedang
mengancam dunia. Sehingga pada tahun 2004 lalu, kawasan hutan tropis TNGL ditetapkan

sebagai harta warisan dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra) oleh UNESCO.
Taman Nasional Gunung Lauser ibarat “surga” yang terabaikan. Betapa tidak, kondisi
kawasan konservasi yang kaya akan fungsi ekologis, sosial dan bernilai ekonomis tersebut kini
cukup kritis dan memprihatinkan. Kendati berstatus sebagai cagar biospher dan warisan dunia,
namun tidak serta merta dapat menekan laju kerusakan dalam kawasan ekosistem tersebut. Data
yang dirilis Balai Besar TNGL pada 2011, degradasi atau kerusakan lahan hutan TNGL hingga
saat ini diperkirakan mencapai 143.734 hektare dari total luas 1.094.692 hektare lahan.
Perambahan hutan secara ilegal (illegal logging) dan alih fungsi hutan menjadi penyebab
1 Onrizal; Ayat-ayat Konservasi, (2010).

utama. Misal saja seperti kasus kawasan Hutan Rawa Tripa yang sebagian besar telah rusak
akibat alih fungsi hutan oleh perusahaan (corporations) dengan alasan pengembangan dan
revitalisasi lahan perkebunan. Disamping itu, pembukaan lahan secara liar juga banyak
dilakukan oleh masyarakat sekitar dengan alasan hak ulayat, turut merusak Kawasan Ekosistem
Lauser (KEL). Kondisi tersebut diperparah dengan masih tingginya eskalasi perambahan hasil
hutan (kayu) secara ilegal yang terus berlangsung hingga saat ini.
Strategi Alternatif
Mewujudkan pelestarian fungsi hutan memang bukanlah perkara mudah. Kawasan
konservasi TNGL yang luas menjadi kendala utama. Terbatasnya sumber daya pengelolaan juga
menjadi faktor penghambat. Fasilitas dan SDM yang minim, akan berpengaruh pada optimalisasi

kinerja seperti terbatasnya fungsi controlling atau upaya rehabilitasi kawasan konservasi.
Ditambah dengan kompleksitas masalah lainnya seperti izin HGU eksplorasi yang tidak cermat
dan tanpa pengawasan yang ketat, perilaku salah kaprah masyarakat karena kurangnya kesadaran
kolektif. Kerusakan kawasan konservasi juga akan berdampak pada tergurusnya habitat atau
berkurangnya populasi flora dan fauna. Berpotensi terjadinya pelbagai bencana alam seperti
kasus banjir bandang di Tangse dan Aceh Tenggara. Dampak lain adalah menjadi pemicu konflik
antar masyarakat dan satwa liar seperti yang selama ini terjadi di beberapa daerah. Hingga saat
ini juga, blueprint strategi konservasi masih dalam skala terbatas dan belum terumuskan secara
komprehensif dalam program jangka panjang dan menyentuh sumber utama masalah.
Terancamnya kelestarian TNGL menempatkan manusia sebagai subjek dari pelbagai
masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah format mendasar dalam strategi pengelolaan
kawasan konservasi. Strategi berbasis etnoekologi adalah sebuah pendekatan (human ekologi)
yang dalam konteks konservasi TNGL, menjadikan masyarakat sebagai pioneer terdepan. Secara
teoritis, perspektif etnoekologi melihat manusia melakukan proses adaptasi dan interaksi dengan
alam dan mengembangkan budaya sehingga terjadi perubahan‐perubahan terhadap ekosistem.
Interaksi dan adaptasi manusia dengan alam tidak terlepas dari pengaruh unsur biotik dan abiotik
yang ada di lingkungan sekitarnya2.
Strategi etnoekologi menekankan bahwa manusia (masyarakat) dan alam (TNGL) adalah
sebuah siklus mata rantai kehidupan yang tidak terpisahkan. Pendekatan etnoekologi (ekologi
2 Hilmanto, Rudi; Etnoekologi, (2010).


budaya) diartikulasikan kedalam pengelolaan kawasan hutan yang berorientasi pada pemanfaatan
potensi masyarakat lokal disekitar kawasan hutan. Artinya, pola konservasi kawasan ekosistem
TNGL yang ditawarkan secara aplikatif merupakan manifestasi dari kearifan lokal (local
wisdom) yang dimiliki masyarakat sekitar. Kearifan lokal merupakan salah satu menifestasi
kebudayaan dengan muatan kearifan tradisional berupa konsepsi dari nilai, ide dan pola tindakan
yang dimiliki bersama3. Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal berfungsi
sebagai sebuah sistem yang cenderung memegang erat tradisi, sebagai sarana pemecahan
persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal dan diyakini sebagai suatu kebenaran yang
telah mentradisi dalam suatu komunitas budaya lokal (daerah).
Sejauh ini, pelbagai strategi konservasi sudah diterapkan dalam rangka penyelamatan
kawasan hutan di Indonesia. Misal saja, program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
(PHBM) yang digagas oleh Perum Perhutani dan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) oleh Kementerian Kehutanan. Kedua gagasan program tersebut mengedepankan
keterlibatan masyarakat secara partisipatif. Program tersebut dimaksudkan untuk memberikan
arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial
secara proporsional dan profesional. Program pemerintah tersebut diharapkan dapat mengurangi
kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan. Program PHBM, KPH dan pelbagai program
lainnya merupakan ide dan gagasan penting dalam rangka pelestarian hutan di Indonesia.
Namun realitasnya, program konservasi selama ini, belum mampu menjawab tantangan

global guna meminimalisir tingginya angka kerusakan kawasan hutan. Menurut data Walhi
hingga 2011, luas hutan Indonesia yang secara de yure mencapai 133.300.543,98 ha masih terus
mengalami deforestasi (kerusakan hutan) yang lebih cepat dibandingkan dengan laju pemulihannya. Laju
kerusakan hutan mencapai 1,17 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan
lahan yang telah rusak hanya sekitar 0,5 juta hektar per tahun. Tentu ada yang salah dari kurang

optimalnya program-program tersebut. Analisis dari kurang efektifnya program tersebut menurut
penulis terletak pada paradigma pembangunan ala pemerintah. Program-program pemerintah
hanya mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dengan konsep dan aturan main dari
pemerintah. Artinya, konsep pengelolaan kawasan hutan saat ini tidak berlandaskan dan
bersumber dari eksistensi tradisi dan pengetahuan lokal masyarakat.

3 Gobyah, I.K.; Berpijak pada Kearifan Lokal, (2003).

Dalam konteks TNGL, penguatan komunitas lokal masyarakat yang selama ini diterapkan
dengan berbasis penyadaran juga masih belum optimal. Hemat saya, konsep yang dibangun
belum bersumber dari khasanah budaya lokal masyarakat. Faktor lain adalah, tidak adanya
rencana tindak lanjut secara continue dan suistainable. Disamping itu, pola pelestarian TNGL
berbasis masyarakat lokal juga belum memberi ruang, kewenangan, kebijakan dan keberpihakan
sosial secara langsung kepada masyarakat. Artinya, belum adanya sebuah pedoman pelestarian

TNGL sesuai dengan nilai kearifan masyarakat lokal.
Setelah menarik benang merah dari masalah diatas, perlu kiranya mendesign format baru
sebagai strategi alternatif konservasi TNGL. Strategi pelestarian kawasan ekosistem dalam
perspektif etnoekologi menekankan pada upaya penggalian dan pemanfaatan secara optimal
kekayaan akan nilai dan pengetahuan lokal (local knowledge). Dengan pemahaman, bahwa
masyarakat lokal sekitar kawasan konservasi lebih memahami dan mengerti akan kondisi dan
realitas di lingkungannya. Oleh karena itu, pola pelestarian TNGL tidak hanya dilakukan dengan
sekedar membentuk komunitas kampanye penyelamatan KEL, dengan format dan kebijakan dari
pemerintah. Lebih jauh, konsep konservasi harus berbasis pengetahuan lokal. Masyarakat sekitar
harus diberi kewenangan dalam pengambilan kebijakan dan kebijaksanaan terkait tata kelola
kawasan konservasi berdasarkan pengetahuan dan nilai-nilai positif yang hidup dan berkembang
dalam tradisi lokalitas mereka.
Menggarap Potensi Lokal
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, penulis menawarkan beberapa ide sederhana
dalam rangka optimalisasi program penyelematan TNGL. Pertama, format riset dan program
yang akan disusun oleh Balai Besar TNGL kedepannya haruslah berbasis perspektif etnoekologi.
Agenda utamanya adalah melakukan pelbagai riset berbasis etnoekologi dengan mengidentifikasi
nilai kearifan dalam setiap komunitas lokal masyarakat sekitar kawasan konservasi. Mengamati
setiap proses adaptasi dan keterikatan hubungan antara penduduk lokal terhadap TNGL terutama
dalam aspek kognitif. Memang dibutuhkan proses panjang, mengingat luasnya kawasan

konservasi dan penyebaran masyarakat lokal dalam wilayah TNGL yang terdiri dari beragam
etnisitas (Aceh, Batak, Gayo, Alas, Jawa, Melayu dll) dengan kekayaan budaya lokal masingmasing.

Kedua, garis-garis besar program (konsep) pelestarian kawasan konservasi TNGL
haruslah dibangun berdasarkan inisiasi masyarakat lokal. Masyarakat tidak hanya dilibatkan
dalam impelmentasi program saja, lebih dari itu, pelibatan masyarakat secara paritsipatif harus
dari sejak awal. Baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi
program konservasi. Ketiga, perlu adanya rancangan pelestarian TNGL dalam jangka panjang
minimal selama 25 tahun kedepan, dengan mendesign masterplan secara komprehensif.
Keempat, masyarakat lokal harus diberikan akses yang luas, mendapat kewenangan dalam setiap
pengambilan kebijakan. Selanjutnya, masyarakat lokal harus mendapatkan hak sosial dan
ekonomi secara professional dari konstribusinya dalam menjaga kelestarian TNGL. Pemerintah
harus mampu membangun basis pelestarian TNGL dengan tetap menjamin kebutuhan hidup
masyarakat lokal, misal saja dengan menghargai komunitas adat dan memberikan hak ulayat
(hutan adat) untuk dikelola sebagai sumber pendapatan. Membuka lahan Hutan Tanaman Rakyat
di batas kawasan konservasi dan strategi pemberdayaan lainnya.
Strategi lain yang paling penting adalah melakukan penguatan kapasitas pranata-pranata
sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam kesatuan hidup masyarakat sekitar. Secara tidak
langsung nilai dan pengetahuan lokal masyarakat terinterpretasikan kedalam institusi-institusi
sosial masyarakat. Perlu membangun mental dan mindset masyarakat lokal (generasi muda)

terhadap konsep hidup yang secara tradisi telah diwariskan kepada mereka, yang kini mulai
terkikis akibat perubahan sosial yang sangat cepat di era modernisasi saat kini. Dalam konteks
yang lebih khusus, kelembagaan adat memegang peranan penting dalam mewujudkan pelestarian
TNGL. Karena dari beberapa hasil observasi di pedalaman Aceh Utara dan Bener Meriah, saya
melihat lemahnya peran masyarakat adat dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Dalam konteks Aceh misalnya, hukum adat juga berfungsi yang mengatur kehidupan
masyarakatnya. Mukim bukan hanya berfungsi sebagai struktur administratif pemerintahan,
tetapi juga mengatur tentang pengelolaan Sumber Daya Alam, termasuk hutan, laut, dan
perladangan atau sawah. Melalui Panglima Uteun atau Kejruen Glee sebagai ketua adat yang
memimpin urusan pengelolaan hutan4. Namun hingga saat ini, eksistensi mukim dalam
mendorong penyelamatan dan pelestarian lingkungan khususnya di daerah TNGL masih belum
berfungsi dan berperan dengan baik. Masalah utamanya adalah, masih kurangnya perhatian
4 Taqwaddin, (2010) dalam sebuah artikel yang dipublish di Website Walhi Aceh.

pemerintah dalam upaya penguatan kelembagaan adat (mukim) sebagai simbolitas kehidupan
adat dalam masyarakat Aceh.
Kiranya strategi alternatif dengan berpegang pada perspektif etnoekologi dapat menjawab
kompleksitas masalah dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian kawasan hutan,
khususnya pusat konservasi TNGL. Etnoekologi telah memberi cara pandang terhadap hubungan
manusia dan alam. Dimana tradisi budaya lokal masyarakat sekitar kawasan hutan terbentuk dari

hasil interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, tentu tidak salah jika kita mencoba
membangun basis pelestarian TNGL sesuai dengan corak budaya dari kesatuan hidup masyarakat
lokal. Lebih tepatnya, kita menyebutnya dengan strategi konservasi TNGL berbasis khasanah
budaya lokal. Semoga saja pelbagai masukan dapat bersifat solutif guna menyelamatkan
kelestarian TNGL yang sangat penting bagi kelansungan hidup umat manusia di muka bumi.
Tentunya seluruh gagasan atau ide bagi penyelamatan TNGL harus dilakukan dengan serius dan
tepat dengan berpegang pada prinsip menyeluruh (holistic), integratif, berkesinambungan serta
berkelanjutan.