Ijtihad dalam Lintas Sejarah pemerintahan
Poblematika Ijtihad dan Solusinya pada Zaman Modern
Paper Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Perbandingan Mazhab
Dosen Pengampu: Drs. H. Rozihan, SH, M. Ag.
Disusun Oleh
Yahsyallah (31501301989)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
Ijtihad dalam Lintas Sejarah
Ijtihad pada Periode Nabi Muhammad SAW. (± 13 SH.11 H)
Menurut ajaran Islam, yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menetapkan hokum,
hanya Allah semata. Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah bertugas melaksanakan
dan menyampaikan perintah-perintah Allah SWT. kepada semua lapisan masyarakat. Dengan
demikian, semua ketentuan yang ersumber dari Allah SWT. yang disampaikan melalui
wahyunya, berfungsi sebagai peraturan uang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Selain mempunyai wewenang menerima dan menyampaikan hokum-hukum Allah,
Nabi Muhammmad SAW., juga berwenang memperjelas hokum-hukum Allah tersebut. Tugas
Nabi Muhammad SAW. Itu dijelaskan Allah dalam firmanNya:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl-44).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain berdasarkan wahyu, Nabi
Muhammad SAW. juga berbicara berdasarkan kepada pendapat dan pertimbangan akalnya
sendiri. Keputusan-keputusan yang diambil oleh beliau berdasarka akal (ra’yu) itulah yang
disebut “Ijtihad”.
Nash al-Qur’an yang telah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil
keputusan atau dalam menyelesaikan suatu masalah, tidak akan terjadi kecuali dengan cara
ijtihad. Walaupun ijtihad Rasulullah sebagiannya ada yang mendapat penyempurnaan dari
Allah, tetapi ia telah mempersiapkan suatu landasan hukumyang kuat dalam melaksanakan
ijtihad.
Ijtihad pada Periode Sahabat (± 11 H. -101 H)
Pada masa sahabat, wilayah kekuasaan Islam bertambah luas. Seiring dengan ini,
masalah social kemasyarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak pembauran etnis
dan berbagai macam kebudayaan. Dalam penyelesaian berbagai masalah yang kctual pada
saat itu, peranan ijtihad dirasa semakin penting, karena tanpa ijtihad akan banyak masalah
yang tidak diketahui setatus hukumnya, sementara wahyu dan hadits sudah terhenti.
Di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad sesudah Rasulullah wafat, ialah
Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Muaz bin Jabal, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.
Para ulama sepakatvtentang adanya ijtihad setelah Rasulullah wafat, bahkan pada
masa ini ijtihad merupakan suatu keharusan bagi sahabat yang mampu berijtihad, karena
tidak semua sahabat mampu melaksanakan ijtihad. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan,
bahwa tidak semua sahabat mampu untuk berfatwa dan tidak semua dapat dijadikan panutan
dalam agama.
Ijtihad sahabat itu sudah ada pada saat Rasulullah masih hidup, walaupun ijtihad
sahabat itu baru dianggap dalil atau hujjah setelah mendapat ketetapan dari Rasulullah.
Sebelum dikembangkan, ijtihad sahabat harus mendapat legalisasi dari Rasulullah. Karena itu
ada sebagian ijtihad sahabat yang dipandang sudah benar dan sesuai dengan jiwa nash,dan
ada pula yang dipandang belum atau tidak benar, karena etode yang mereka pakai tidak tepat.
Setelah Rasulullah wafat, hasil ijtihad sahabat itu setelah rasulullah wafat, langsung
diamalkan dan dikembangkan. Jadi, ijtihad Sahabat pada masa Rasulullah belum dianggap
sebagai “alat menggali” hokum, karena ketentuan akhir masih berada di tangan Rasulullah.
Tetapi setelah Rasulullah wafat sudah dapat dijadikan alat untuk menggali hokum, karena
tidak lagi menunggu ketetapan dari Rasulullah.
Ijtihad pada Periode Tabi’in dan Tabi’tabi’in (Imam-imam
Mazhab) ± Abad II H.- Pertengahan Abad IV H.
Setelah berakhir masa sahabat,muncul masa Tabi’in. Ijtihad para sahabat dijadikan
suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan
kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid sahabat yang
dikenal dengan Tabi’in. Menurut Abu Zahrah, nama itu berdasarkan nama yang diberikan
oleh al-Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surah al-Taubah: 100.
Dalam berijtihad, para Tabi’in mendasarkan pendidrian mereka kepada pendapat para
sahabat. Mereka pelihara Sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan mereka
berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan
dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain,
bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang
sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat
dengan Al-Qur’an dan Sunnah)
b. Mereka sendiri berijtihad.Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hokum
Islam, sesungguhnya secara professional dimulai para periode Tabi’in ini.
Pada masa Tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad semakin meningkat, tetapi prinsip
bermusyawarah dalam menetapkan hokum sudah mulai goyah, karena ulama sudah terpencar
ke berbagai kota, yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Pada masa ini
kedudukan ijtihad sebagai alat penggali hukukIslammendapat posisi yang kokoh. Para
sejarawan menyebut periode Tabi’in, dengan periode ijtihad masa keemasan fiqh Islam.
Daerah kekuasaan Islam semakin meluasa pada periode ini yang meliputi berbagai lapisan
umat dengan aneka macam adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing,
sehingga menimbulkan daerah-daerah loakal dan regional, yang pada gilirannya melahirkan
tokoh-tokoh besar dengan munculnya mzhab-mazhab.
Pada masa Tabi’in ada tiga pembagian geografis yang besar dala dunia Islam tempat
kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu: Irak, Hijaz, dan Syiria. Irakmemiliki dua mazhab,
yaitu Bashrah dan Kuffah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu
Madinah dan Makkah. Sementara mazhab Syiria kurang tercatat dalam literature hokum
Islam. Mesir tidak dimasukkan dalam peta mazhab, karena ia tidak mengembangkan
pemikiran hukumnya sendiri, mereka mengikuti mazhab Irak dan yang lainnya bermazhab
Madinah.
Setiap kota yang penting memiliki tokoh mujtahidin yang menjadi panutan dan
memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Tokoh di
Makkah yang terkenal yaitu: ‘Atho’ Ibnu Abi Rabah (W. 114 H) dan ‘Amr Ibnu Dinar (W.
126 H).
Di Madinah muncul tokoh-tokoh: Sa’ad Ibnu Musaiyyab (W. 94 H), ‘Urwah Ibnu
Zubair (W. 94 H), Abu Bakar Ibnu Abd Rahman (W. 95 H), Ubaidah Ibnu Abdullah (W. 98
H), Kharijah Ibnu Zaid (W. 99 H), Sulaiman Ibnu Yasar (W. 107 H), dan Al-qasim Ibnu
Muhammad (mereka dikenal dengan sebutan fuqoh’dan Sab’ah dan Madinah), Salim Ibnu
Abdillah Ibnu Umar (W. 107), Ibnu Syihab al-Zuhry (W. 124 H), Rabi’ah Ibnu Abd Rahman
(W. 136 H), Yahya Ibnu Sa’id (W.143 H), serta Malik (W. 179 H) dan lain-lain.
Di bashrah muncul tokoh-tokoh: Muslim Ibnu Yasar (W. 108 H), Al-Hasan Ibnu Yasar
(W. 110 H), dan Muhammad Ibnu Sirin (W. 110 H).
Di kuffah tampil: Alqamahn Ibnu Qaiys (W. 62 H), Masruq Ibnu Ajda’(W. 63 H), AlAswad Ibnu Yazid (W.75 H), Syuraih Ibnu Harits (W. 78 H), Ibrahim Al-Nakha’iy (w. 96 H),
Al-Sya’by (W. 103 H), Hammad Ibnu Abi Sulaiman Al-Asy’ary (W. 120 H), Abu Hanifah
(W. 150 H),dan lain-lain.
Di syiria tokoh yang terkenal adalah Qabisah Ibnu Zuwaib (W. 86 H), Umar Ibnu Abd
al-Aziz (W. 11 H), Makhul (W. 113 H), dan lain sebagainya.
Fuqoha (ahli-ahli hokum) yang berasal dari berbagai daerah atau negeri yang telah
disebutkan tadi, dalam berijtihad, biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para
sahabat yang tinggal di daerah mereka masing-masing. Fuqoha di Madinah cenderung
dipengaruhi oleh ijtihad Umar Ibnu al-Khaththab, ‘aisyah, dan Ibnu Umar, yang banyak
menggunakan al-Mashlahah. Fuqoha Kuffah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan
pertimbangan Ali ibnu Abi Thalib, dan Abdullah Ibnu Mas’ud, yang di dalam ijtihad pada
umumnya memakai metode qiyas.Di samping kecenderungan tersebut, setiap mazhab
mengutip pula pandangan sejumlah sahabat lainnya untuk mendukung ijtihad mereka.
Pada masa Tabi’in ini, umat Islam sudah terpecah kepada tiga kelompok, yaitu:
Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur.Setiap golongan betpegang teguh pada pendapat masingmasing dan pada umumnya merasa bang ga serta berusaha mempertahankannya. Hal ini
menimbulkan perbedaan pandangan dalam menetapkan hokum Islam. Golongan Khawarij
misalnya, mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir,
sementara golongan yang lainnya tidak berpendapat demikian. Demikian halnya golongan
Syi’ah dalam menetapkan hokum yang berbeda dengan golongan Khawarij: contoh dalam
masalah: Hadits dipegang golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum adalah hadits yang
diriwayatkan Ahlul al-Bait dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hokum, karena
qiyas didasarkan kepada pemikiran manusia.
Golongan Jumhur dalam menetapkan hokum terbagi kepada dua golongan:
a. Ahli Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hokum, mazhab ini pertamatama sangat terikat pada teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila dalam menetapkan
hokum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash al-Qur’an dan alSunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka
menggunakan ra’yu hanya dalam keadaan yang terpaksa. Namun dalam hal-hal yang
tidak ditemukan nashnya dan tidak ada pula pendapat serta praktek sahabat, mereka
sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tooktokoh aliran ini yang termashur adalah Sa’id Ibnu al-Musaiyyab al-Mahzumy. Ia
diikuti oleh al-Zuhry, al-Tsaury, Malik, Syafi’I, Ahmad Ibnu Hanbal dan Dawud alZahiry.
b. Ahl al-Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hokum, mazhab ini
banyak terpengaruh dengan cara berfikir ulam-ulama Irak. Mereka mengikuti pola
pikir ‘Umar Ibnu Khaththab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah
sahabat Nabi yang banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hokum. Pola pikir
mereka inilah yang dikembangkan oleh Alqamah Ibnu Qa’is, Al-Aswad Ibnu ‘Amr,
Syraikh Ibnu Harits, Harits al-A’war dan Abu Hanifah. Dalam menetapkan hokum,
mazhab ahli ra’yi ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar yaitu:
1. Nash-nash syari’ah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hkum selalu
baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan pada ra’yu sesuai dengan ucapan
Mu’adz bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke Yaman, bahwa beliau tidak
menemukan nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah, ia akan berijtihad dengan
ra’yunya.
2. Setipap hokum syara dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan
tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh sebab itu,
ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena
illatnya, atau membatalkan berlakunya satu hokum karena diduga tiada illatnya.
Dalam periode ini munculah tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam
perkembangan fiqih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam
mazhab, adalah: Imam Abu Hanifah, Ibnu Nu’man (80H/699 M s/d 150 H/767M), Imam
Malik Ibnu Anas (93 H/712 M s/d 179 H/795 M), Imam Muhammmad Ibnu Idris al-Syafi’iy
(150 H/767 M s/d 204 H/820 M), dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal (164 H/780 s/d 241 H/855
M). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan al-‘A’immah al-Arba’ah dari kalangan
mazhab Ahl Sunnah wal Jama’ah (mazhab Sunny).
Selain para mujtahid dari kalangan Sunny, juga muncul para mujtahid dari kalangan
Syi’ah, seperti: Imam Zaid Ibnu Aly Ibnu al-Husain (80 H-122 H), dan Imam Ja’far Shadiq
(80 H-146 H).
Ijtihad pada Generasi Setelah Para Imam Mazhab (±
Pertengahan Abad IV H. –Akhir Abad XIII H.)
Pada masa ini, kegiatan ijtihad mengalami kemunduran, akibatnya fiqih Islam pun
menjadi mundur dan lamban, bahkan dapat dikatakan beku. Semangat ijtihad para mujahid
lambat laun menjadi lesu, kualitas serta kuantitasnya pun semakin berkurang sebagaimana
digambarkan dalam berbagai kitab sejarah fiqh Islam.
Masa-masa kemunduran fiqh Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad IV
sampai abad XIII Hijriyah adalah masa-masa titik terendahnya yang dijuluki oleh sejarahwan
sebagai “Periode Taqlid” dan “Penutupan Pintu Ijtihad”. Disebut demikian, karena paham dan
sikapmengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid dianggap sebagai tindakan yang
tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqoha’ ada yang merasa tidak
keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kebekuan berijtihad pada
periode ini antara lain:
a. Pergolakan politik yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan peperangan di
kalangan umat Islam, sehingga perhatian terhadap kemajuan ilmu dan berijtihad
menjadi berkurang, bahkan nyaris hilang.
b. Munculnya mazhab-mazhab yang mempunyai metode dan cara berijtihad sendiri
diwilayah seorang mujtahid.
c. Pembukuan terhadap pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya menyebabkan orang
dengan mudah mencari jawaban terhadap permasalahan yang timbul. Akibatnya,
kurang atau tidak ada dorongan yang kuat untuk lebih maju dalam berijtihad.
d. Terjadinya penyimpangan dalam berijtihad. Orang yang tidak berhak pun ikut
mengeluarkan pendapat dengan dasar ijtihad, sehingga timbulah kekacauan dalam
masalah ijtihad dan menyatakan pendapat.
e. Melebar dan meluasnya lapangan ijma’ dan munculnya pandangan bahwa suatu
keputusan hokum berdasarkan ijma’ yang datang kemudian.
f. Penghargaan berlebihan terhadap pribadi ulama pendahulu melahirkan kepercayaan
bahwa pekerjaan menafsirkan dan mengembangkan ketentuan syari’ah secara
mendalam sudah selesai dan dirampungkan oleh ulama-ulama terdahulu yang
kemampuannya tidak akan tertandingi lagi.
Ijtihad pada Masa Modern (± Awal Abad XIV H –
Sekarang)
Yang dimaksud dengan masa modern di sisni ialah masa setelah terjadinya kontak
barat dan Islam pada abad XVIII M, ketika Napoleon berhasil menduduki Mesir pada tahun
1798 M sampai sekarang.
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1801 M. telah membuka mata
dunia Islam dan menyadarkan para pengusa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan
kekuatan Barat. Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan
pertimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan bagi umat
Islam itu. Kontak dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan faham
“pembaharuan” dan “modernism” di kalangan umat Islam.
Adapu tokoh-tokoh yang paling gigih dan berjasa dalam membangkitkan kembali
gerakan ijtihad ini, antara lain: Jamal al-Din al-Afghany (1839- 1897 M), Muhammad Abduh
(1849-1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Al-Thahthawy (1801-1873 M), dan lain-lain
di Mesir. Sedangkan Syah Waliullah (1703-1762 M), Syayyid Ahmad Khan (1817-1898 M),
Syayyid Amir Aly (1849-1928 M) dan lain-lain.
Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar mengkritik orang yang menutup ijtihad dan
yang melarang orang lain berijtihad. Sedang al-Tahthawy dal bukunya al-qoul al-Sadid alIjtihad wa al-Taqlid, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menjelaskan bahwa ijtihad perlu
diadakan untuk menghadapi proble-problem yang timbul di zaman modern.
Paper Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Perbandingan Mazhab
Dosen Pengampu: Drs. H. Rozihan, SH, M. Ag.
Disusun Oleh
Yahsyallah (31501301989)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
Ijtihad dalam Lintas Sejarah
Ijtihad pada Periode Nabi Muhammad SAW. (± 13 SH.11 H)
Menurut ajaran Islam, yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menetapkan hokum,
hanya Allah semata. Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah bertugas melaksanakan
dan menyampaikan perintah-perintah Allah SWT. kepada semua lapisan masyarakat. Dengan
demikian, semua ketentuan yang ersumber dari Allah SWT. yang disampaikan melalui
wahyunya, berfungsi sebagai peraturan uang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Selain mempunyai wewenang menerima dan menyampaikan hokum-hukum Allah,
Nabi Muhammmad SAW., juga berwenang memperjelas hokum-hukum Allah tersebut. Tugas
Nabi Muhammad SAW. Itu dijelaskan Allah dalam firmanNya:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl-44).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain berdasarkan wahyu, Nabi
Muhammad SAW. juga berbicara berdasarkan kepada pendapat dan pertimbangan akalnya
sendiri. Keputusan-keputusan yang diambil oleh beliau berdasarka akal (ra’yu) itulah yang
disebut “Ijtihad”.
Nash al-Qur’an yang telah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil
keputusan atau dalam menyelesaikan suatu masalah, tidak akan terjadi kecuali dengan cara
ijtihad. Walaupun ijtihad Rasulullah sebagiannya ada yang mendapat penyempurnaan dari
Allah, tetapi ia telah mempersiapkan suatu landasan hukumyang kuat dalam melaksanakan
ijtihad.
Ijtihad pada Periode Sahabat (± 11 H. -101 H)
Pada masa sahabat, wilayah kekuasaan Islam bertambah luas. Seiring dengan ini,
masalah social kemasyarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak pembauran etnis
dan berbagai macam kebudayaan. Dalam penyelesaian berbagai masalah yang kctual pada
saat itu, peranan ijtihad dirasa semakin penting, karena tanpa ijtihad akan banyak masalah
yang tidak diketahui setatus hukumnya, sementara wahyu dan hadits sudah terhenti.
Di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad sesudah Rasulullah wafat, ialah
Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Muaz bin Jabal, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.
Para ulama sepakatvtentang adanya ijtihad setelah Rasulullah wafat, bahkan pada
masa ini ijtihad merupakan suatu keharusan bagi sahabat yang mampu berijtihad, karena
tidak semua sahabat mampu melaksanakan ijtihad. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan,
bahwa tidak semua sahabat mampu untuk berfatwa dan tidak semua dapat dijadikan panutan
dalam agama.
Ijtihad sahabat itu sudah ada pada saat Rasulullah masih hidup, walaupun ijtihad
sahabat itu baru dianggap dalil atau hujjah setelah mendapat ketetapan dari Rasulullah.
Sebelum dikembangkan, ijtihad sahabat harus mendapat legalisasi dari Rasulullah. Karena itu
ada sebagian ijtihad sahabat yang dipandang sudah benar dan sesuai dengan jiwa nash,dan
ada pula yang dipandang belum atau tidak benar, karena etode yang mereka pakai tidak tepat.
Setelah Rasulullah wafat, hasil ijtihad sahabat itu setelah rasulullah wafat, langsung
diamalkan dan dikembangkan. Jadi, ijtihad Sahabat pada masa Rasulullah belum dianggap
sebagai “alat menggali” hokum, karena ketentuan akhir masih berada di tangan Rasulullah.
Tetapi setelah Rasulullah wafat sudah dapat dijadikan alat untuk menggali hokum, karena
tidak lagi menunggu ketetapan dari Rasulullah.
Ijtihad pada Periode Tabi’in dan Tabi’tabi’in (Imam-imam
Mazhab) ± Abad II H.- Pertengahan Abad IV H.
Setelah berakhir masa sahabat,muncul masa Tabi’in. Ijtihad para sahabat dijadikan
suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan
kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid sahabat yang
dikenal dengan Tabi’in. Menurut Abu Zahrah, nama itu berdasarkan nama yang diberikan
oleh al-Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surah al-Taubah: 100.
Dalam berijtihad, para Tabi’in mendasarkan pendidrian mereka kepada pendapat para
sahabat. Mereka pelihara Sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan mereka
berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan
dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain,
bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang
sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat
dengan Al-Qur’an dan Sunnah)
b. Mereka sendiri berijtihad.Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hokum
Islam, sesungguhnya secara professional dimulai para periode Tabi’in ini.
Pada masa Tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad semakin meningkat, tetapi prinsip
bermusyawarah dalam menetapkan hokum sudah mulai goyah, karena ulama sudah terpencar
ke berbagai kota, yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Pada masa ini
kedudukan ijtihad sebagai alat penggali hukukIslammendapat posisi yang kokoh. Para
sejarawan menyebut periode Tabi’in, dengan periode ijtihad masa keemasan fiqh Islam.
Daerah kekuasaan Islam semakin meluasa pada periode ini yang meliputi berbagai lapisan
umat dengan aneka macam adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing,
sehingga menimbulkan daerah-daerah loakal dan regional, yang pada gilirannya melahirkan
tokoh-tokoh besar dengan munculnya mzhab-mazhab.
Pada masa Tabi’in ada tiga pembagian geografis yang besar dala dunia Islam tempat
kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu: Irak, Hijaz, dan Syiria. Irakmemiliki dua mazhab,
yaitu Bashrah dan Kuffah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu
Madinah dan Makkah. Sementara mazhab Syiria kurang tercatat dalam literature hokum
Islam. Mesir tidak dimasukkan dalam peta mazhab, karena ia tidak mengembangkan
pemikiran hukumnya sendiri, mereka mengikuti mazhab Irak dan yang lainnya bermazhab
Madinah.
Setiap kota yang penting memiliki tokoh mujtahidin yang menjadi panutan dan
memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Tokoh di
Makkah yang terkenal yaitu: ‘Atho’ Ibnu Abi Rabah (W. 114 H) dan ‘Amr Ibnu Dinar (W.
126 H).
Di Madinah muncul tokoh-tokoh: Sa’ad Ibnu Musaiyyab (W. 94 H), ‘Urwah Ibnu
Zubair (W. 94 H), Abu Bakar Ibnu Abd Rahman (W. 95 H), Ubaidah Ibnu Abdullah (W. 98
H), Kharijah Ibnu Zaid (W. 99 H), Sulaiman Ibnu Yasar (W. 107 H), dan Al-qasim Ibnu
Muhammad (mereka dikenal dengan sebutan fuqoh’dan Sab’ah dan Madinah), Salim Ibnu
Abdillah Ibnu Umar (W. 107), Ibnu Syihab al-Zuhry (W. 124 H), Rabi’ah Ibnu Abd Rahman
(W. 136 H), Yahya Ibnu Sa’id (W.143 H), serta Malik (W. 179 H) dan lain-lain.
Di bashrah muncul tokoh-tokoh: Muslim Ibnu Yasar (W. 108 H), Al-Hasan Ibnu Yasar
(W. 110 H), dan Muhammad Ibnu Sirin (W. 110 H).
Di kuffah tampil: Alqamahn Ibnu Qaiys (W. 62 H), Masruq Ibnu Ajda’(W. 63 H), AlAswad Ibnu Yazid (W.75 H), Syuraih Ibnu Harits (W. 78 H), Ibrahim Al-Nakha’iy (w. 96 H),
Al-Sya’by (W. 103 H), Hammad Ibnu Abi Sulaiman Al-Asy’ary (W. 120 H), Abu Hanifah
(W. 150 H),dan lain-lain.
Di syiria tokoh yang terkenal adalah Qabisah Ibnu Zuwaib (W. 86 H), Umar Ibnu Abd
al-Aziz (W. 11 H), Makhul (W. 113 H), dan lain sebagainya.
Fuqoha (ahli-ahli hokum) yang berasal dari berbagai daerah atau negeri yang telah
disebutkan tadi, dalam berijtihad, biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para
sahabat yang tinggal di daerah mereka masing-masing. Fuqoha di Madinah cenderung
dipengaruhi oleh ijtihad Umar Ibnu al-Khaththab, ‘aisyah, dan Ibnu Umar, yang banyak
menggunakan al-Mashlahah. Fuqoha Kuffah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan
pertimbangan Ali ibnu Abi Thalib, dan Abdullah Ibnu Mas’ud, yang di dalam ijtihad pada
umumnya memakai metode qiyas.Di samping kecenderungan tersebut, setiap mazhab
mengutip pula pandangan sejumlah sahabat lainnya untuk mendukung ijtihad mereka.
Pada masa Tabi’in ini, umat Islam sudah terpecah kepada tiga kelompok, yaitu:
Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur.Setiap golongan betpegang teguh pada pendapat masingmasing dan pada umumnya merasa bang ga serta berusaha mempertahankannya. Hal ini
menimbulkan perbedaan pandangan dalam menetapkan hokum Islam. Golongan Khawarij
misalnya, mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir,
sementara golongan yang lainnya tidak berpendapat demikian. Demikian halnya golongan
Syi’ah dalam menetapkan hokum yang berbeda dengan golongan Khawarij: contoh dalam
masalah: Hadits dipegang golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum adalah hadits yang
diriwayatkan Ahlul al-Bait dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hokum, karena
qiyas didasarkan kepada pemikiran manusia.
Golongan Jumhur dalam menetapkan hokum terbagi kepada dua golongan:
a. Ahli Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hokum, mazhab ini pertamatama sangat terikat pada teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila dalam menetapkan
hokum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash al-Qur’an dan alSunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka
menggunakan ra’yu hanya dalam keadaan yang terpaksa. Namun dalam hal-hal yang
tidak ditemukan nashnya dan tidak ada pula pendapat serta praktek sahabat, mereka
sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tooktokoh aliran ini yang termashur adalah Sa’id Ibnu al-Musaiyyab al-Mahzumy. Ia
diikuti oleh al-Zuhry, al-Tsaury, Malik, Syafi’I, Ahmad Ibnu Hanbal dan Dawud alZahiry.
b. Ahl al-Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hokum, mazhab ini
banyak terpengaruh dengan cara berfikir ulam-ulama Irak. Mereka mengikuti pola
pikir ‘Umar Ibnu Khaththab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah
sahabat Nabi yang banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hokum. Pola pikir
mereka inilah yang dikembangkan oleh Alqamah Ibnu Qa’is, Al-Aswad Ibnu ‘Amr,
Syraikh Ibnu Harits, Harits al-A’war dan Abu Hanifah. Dalam menetapkan hokum,
mazhab ahli ra’yi ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar yaitu:
1. Nash-nash syari’ah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hkum selalu
baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan pada ra’yu sesuai dengan ucapan
Mu’adz bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke Yaman, bahwa beliau tidak
menemukan nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah, ia akan berijtihad dengan
ra’yunya.
2. Setipap hokum syara dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan
tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh sebab itu,
ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena
illatnya, atau membatalkan berlakunya satu hokum karena diduga tiada illatnya.
Dalam periode ini munculah tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam
perkembangan fiqih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam
mazhab, adalah: Imam Abu Hanifah, Ibnu Nu’man (80H/699 M s/d 150 H/767M), Imam
Malik Ibnu Anas (93 H/712 M s/d 179 H/795 M), Imam Muhammmad Ibnu Idris al-Syafi’iy
(150 H/767 M s/d 204 H/820 M), dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal (164 H/780 s/d 241 H/855
M). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan al-‘A’immah al-Arba’ah dari kalangan
mazhab Ahl Sunnah wal Jama’ah (mazhab Sunny).
Selain para mujtahid dari kalangan Sunny, juga muncul para mujtahid dari kalangan
Syi’ah, seperti: Imam Zaid Ibnu Aly Ibnu al-Husain (80 H-122 H), dan Imam Ja’far Shadiq
(80 H-146 H).
Ijtihad pada Generasi Setelah Para Imam Mazhab (±
Pertengahan Abad IV H. –Akhir Abad XIII H.)
Pada masa ini, kegiatan ijtihad mengalami kemunduran, akibatnya fiqih Islam pun
menjadi mundur dan lamban, bahkan dapat dikatakan beku. Semangat ijtihad para mujahid
lambat laun menjadi lesu, kualitas serta kuantitasnya pun semakin berkurang sebagaimana
digambarkan dalam berbagai kitab sejarah fiqh Islam.
Masa-masa kemunduran fiqh Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad IV
sampai abad XIII Hijriyah adalah masa-masa titik terendahnya yang dijuluki oleh sejarahwan
sebagai “Periode Taqlid” dan “Penutupan Pintu Ijtihad”. Disebut demikian, karena paham dan
sikapmengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid dianggap sebagai tindakan yang
tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqoha’ ada yang merasa tidak
keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kebekuan berijtihad pada
periode ini antara lain:
a. Pergolakan politik yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan peperangan di
kalangan umat Islam, sehingga perhatian terhadap kemajuan ilmu dan berijtihad
menjadi berkurang, bahkan nyaris hilang.
b. Munculnya mazhab-mazhab yang mempunyai metode dan cara berijtihad sendiri
diwilayah seorang mujtahid.
c. Pembukuan terhadap pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya menyebabkan orang
dengan mudah mencari jawaban terhadap permasalahan yang timbul. Akibatnya,
kurang atau tidak ada dorongan yang kuat untuk lebih maju dalam berijtihad.
d. Terjadinya penyimpangan dalam berijtihad. Orang yang tidak berhak pun ikut
mengeluarkan pendapat dengan dasar ijtihad, sehingga timbulah kekacauan dalam
masalah ijtihad dan menyatakan pendapat.
e. Melebar dan meluasnya lapangan ijma’ dan munculnya pandangan bahwa suatu
keputusan hokum berdasarkan ijma’ yang datang kemudian.
f. Penghargaan berlebihan terhadap pribadi ulama pendahulu melahirkan kepercayaan
bahwa pekerjaan menafsirkan dan mengembangkan ketentuan syari’ah secara
mendalam sudah selesai dan dirampungkan oleh ulama-ulama terdahulu yang
kemampuannya tidak akan tertandingi lagi.
Ijtihad pada Masa Modern (± Awal Abad XIV H –
Sekarang)
Yang dimaksud dengan masa modern di sisni ialah masa setelah terjadinya kontak
barat dan Islam pada abad XVIII M, ketika Napoleon berhasil menduduki Mesir pada tahun
1798 M sampai sekarang.
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1801 M. telah membuka mata
dunia Islam dan menyadarkan para pengusa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan
kekuatan Barat. Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan
pertimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan bagi umat
Islam itu. Kontak dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan faham
“pembaharuan” dan “modernism” di kalangan umat Islam.
Adapu tokoh-tokoh yang paling gigih dan berjasa dalam membangkitkan kembali
gerakan ijtihad ini, antara lain: Jamal al-Din al-Afghany (1839- 1897 M), Muhammad Abduh
(1849-1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Al-Thahthawy (1801-1873 M), dan lain-lain
di Mesir. Sedangkan Syah Waliullah (1703-1762 M), Syayyid Ahmad Khan (1817-1898 M),
Syayyid Amir Aly (1849-1928 M) dan lain-lain.
Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar mengkritik orang yang menutup ijtihad dan
yang melarang orang lain berijtihad. Sedang al-Tahthawy dal bukunya al-qoul al-Sadid alIjtihad wa al-Taqlid, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menjelaskan bahwa ijtihad perlu
diadakan untuk menghadapi proble-problem yang timbul di zaman modern.