Warna Warni Islam di Indonesia Menebar

Warna-Warni Islam di Indonesia:
Menebar Toleransi, Menolak Arogansi1
Azam Bahtiar 2
“Agar karenanya engkau segan mengafirkan beragam
sekte yang ada dan “panjang lidah” terhadap pemeluk
Islam lain betapapun paham mereka sangat beragam,
selama mereka berpegang pada kredo Lâ ilâha illa Allah,
Muhammad rasulullâh, dengan penuh kejujuran dan tanpa
perlawanan” (Imam al-Ghazâlî).
Islam di Indonesia itu unik. Selain menampilkan varian ekspresi keislaman yang berbedabeda, sebagai konsekwensi logis dari mazhab atau cara pandang yang berbeda dan terutama karena
kekayaan kulturalnya, keunikan tersebut dipercantik dengan absennya konflik internal yang tidak
perlu, kecuali “gesekan-gesekan” kecil yang muncul di tingkat grass-root (kelas akar rumput). Kondisi
semacam ini, yang menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi, tentu saja memancing banyak
perhatian, terutama karena Indonesia adalah negeri dengan jumlah komunitas Muslim terbesar di
dunia. Namun, kita tidak boleh berbangga diri dulu. Beberapa dekade terakhir ini, infiltrasi ajaranajaran keislaman dari negeri-negeri nun jauh di sana, sedikit banyak mulai menggoyah tingkat
toleransi yang telah berakar di masyarakat. Massifnya gerakan untuk “mengislamkan” Indonesia
dengan ekspresi atau baju keislaman ala Arab, merupakan fenomena sosial yang betul-betul dapat
kita nikmati dan hadir di sekitar kita. Fakta sosial semacam ini membuat kita harus bersikap dan
menata diri.
Pluralitas Wajah Islam di Indonesia
Karena kita meyakini Islam itu bersifat transenden, bersumber dari Tuhan, yang karenanya

bersifat sakral dan normatif, maka cara paling tepat untuk membaca Islam yang telah diekspresikan
di tingkat praksis adalah dengan membidik Islam yang telah menyejarah, Islam historis. Dalam
kerangka inilah, sebagai fenomena sosial, dapat kita ketahui bagaimana Islam diterjemahkan secara
praktis.
Secara historis, keragaman dan pluralitas wajah atau ekspresi keislaman di Indonesia sungguh
merupakan fakta sejarah yang tidak dapat kita pungkiri. Keragaman ini tertuang dalam berbagai

1

Disampaikan dalam MAPABA PMII dan Dialog Keorganisasian di STAI Darussalam Blok Agung, pada
Jumat 16 Novemver 2012.
2

Lulusan Magister Studi Islam, konsentrasi Ulumul Quran dan Tafsir (hermeneutika), Universitas Sains AlQuran, Jawa Tengah. Saat ini konsen di dunia kepenulisan dan penerjemahan. Dapat dihubungi via email di:
bahtiar19@gmail.com

1

domain, seperti domain pemikiran dan mazhab, domain kultural, domain pendidikan, domain
keorganisasian dan politik, dan lain sebagainya.

Dalam domain pemikiran dan mazhab, ormas besar seperti NU saja dalam Qanun Asasi yang
digariskan oleh Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy‟ari menjejer empat mazhab yang boleh diikuti
dan dinilai mujma‘ ‘alaih (generally accepted), yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali. Selain itu, secara
faktual di Indonesia sejak dulu telah ada penganut mazhab Syiah Imamiyah Itsna „Asyariah, yang
belakangan ini menjadi hot news karena munculnya konflik yang tidak sehat, seperti pasa kasus
Sampang beberapa waktu yang lalu. Belum lagi sejumlah kelompok yang mengaku tidak mau
mengikuti satu mazhab tertentu, seperti Ahmad Hasan dengan Persis-nya. Saat ini, yang menyebut
diri sebagai “salafi” juga sangat banyak, yang pada dasarnya merupakan kemasan baru dari mazhab
Hambali yang berporos pada pemikiran Ibn Taimiyyah. Belum lagi menjamurnya sejumlah jaringan
keislaman yang digelar oleh intelektual-intelektual muda dari berbagai latar historis, yang
memasarkan pemikiran bebas dan tanpa terjebak dalam kungkungan mazhab tertentu. Singkatnya,
pluralitas mazhab di Indonesia adalah fakta riil tak terbantahkan.
Di wilayah pemikiran keislaman, perseteruan antara kaum liberal vs fundamental, progresifmodernis vs tradisionalis—betapapun pemunculan terma-terma ini sangat bias dan tidak obyektif,
sangat rentan kritik—merupakan fakta sejarah yang dapat kita baca lewat opini-opini yang
duturunkan lewat media massa, baik koran-koran, debat di televisi, radio maupun dalam bentuknya
yang lebih ilmiah dan mapan, seperti dalam jurnal-jurnal keislaman ataupun simposium dan seminarseminar ilmiah yang digelar khusus untuk ini. Masing-masing kelompok turut mewarnai dan
mengambil peran. Tentu saja, kita tidak dapat menutup mata dari fakta rill semacam ini, yang harus
kita syukuri sebagai sarana mendewasakan tingkat keislaman kita.
Dalam domain kultural, ekspresi keislaman di Indonesia sungguh sangat berlipat. Kita
mengenal tahlilan sebagai wadah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, manggulan yang

diadakan sebelum selebrasi pernikahan atau urusan penting lainnya, perayaan tabut di Sulawesi untuk
mengenang tragedi dipenggalnya cucu Nabi saw. di Karbala, penentuan hari-hari tertentu untuk
memulai pembangunan rumah, pernikahan, wisata dan yang lain,3 istighatsah kolektif, mengenakan
pakaian koko sebagai simbol kultur Islam,4 bubur suro, dan beragam kultur lainnya yang dilestarikan
dan diekspresikan secara berlanjut oleh masyarakat Muslim Indonesia dari berbagai etnis.

Walau tetap harus saya ingatkan, beberapa penerapan “kalkulasi magis” semacam ini kadang terlalu berlebihan
dan kontradiktif dengan fundamen Islam. Misalnya, kalkulasi yang mengantarkan pada pembatalan pernikahan, kontrak
kerja atau yang lain, semata karena diasumsikan dapat berujung pada na’as atau sial.
3

4

Meskipun mulanya berasal dari kultur Cina, yaitu baju tui-khim. Ini juga berbeda dengan baju takwa, yang
merupakan modifikasi lebih lanjut dari pakaian tradisional Jawa, yaitu surjan. Lihat uraian Majalah Historia Online, “Baju
Koko Masuk Islam”, dalam http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-302-koko-masuk-islam.html

2

Di wilayah pendidikan, sistem edukasi untuk menanamkan nilai-nilai keislaman juga

menawarkan berbagai bentuk, yang paling menonjol adalah sistem tradisional dan modern, atau
perpaduan antarkeduanya. Model yang pertama masih banyak dipertahankan oleh pesantrenpesantren salaf (tradisional), sementara yang kedua telah mewarnai banyak instasi pendidikan Islam
di negeri ini. Untuk menuju ke arah yang lebih baik, tranformasi paradigmatik di segmen ini juga
bermunculan, di antaranya dengan memadukan dua tipe tersebut. Mengingat laju pertumbuhan
pesantren sangat signifikan, di mana statistik kurva naik melejit di luar dugaan,5 tidak berlebihan jika
Zamakhsyari Dhofier—antropolog Muslim dan pakar pesantren ternama—berpandangan bahwa
“masa depan peradaban Indonesia ada pada pesantren”.6 Alhasil, dalam segmen edukasi pun, instasi-instasi
pendidikan Islam menemukan heterogensi dan rivalitasnya.
Dalam domain keorganisasian dan politik, ada PMII, HMI, IMM, KAMMI, IPNU-IPPNU,
PII, dan yang lain, untuk sektor pelajar dan mahasiswa (ekstra kampus). Sementara di barisan politik,
parpol yang melabeli dirinya dengan embel-embel “islam”, cukup banyak, tanpa perlu disebutkan di
sini.
Pendek kata, pluralitas ekspresi keislaman di Indonesia di berbagai lini dan sektor kehidupan
merupakan fakta riil tak terbantahkan. Di tengah arus kenyataan ini, bagaimana kita bersikap?
Apakah dengan konfrontasi dan perlawanan face-to-face untuk saling menjegal dan pemenang terakhir
adalah yang tetap bertahan? Inikah jalan utuk memperteguh identitas? Ataukah dengan kompetisi
sehat, saling memberi kesempatan untuk menebar kemaslahatan bagi sesama?
Identitas Islam di Indonesia: Konflik Pusat vs Pinggiran?
Seperti disinggung sebelumnya, saat ini tengah massif gerakan untuk “memurnikan” Islam
dari praktek-praktek yang dinilai “tidak islami” oleh sekelompok orang. Kita tidak akan keberatan

sekiranya gerakan tersebut memang dilancarkan untuk memberangus praktek-praktek yang secara
substansial berlawanan dengan ajaran Islam, seperti gerakan Paderi di Sumatera Barat dulu yang
mengutuk praktek sabung ayam, berjudi, dan meminum alkohol.7 Namun, persoalannya menjadi lain
ketika yang terjadi adalah semacam “invasi kultural”, di mana sebagian kalangan memasarkan secara
5

Pada tahun 1998, jumlah lembaga pesantren sebanyak 7.536, namun 10 tahun kemudian, 2008, jumlahnya
menjadi 21.521. Lonjakan drastis muncul di tahun 2008, di mana selama 1 tahun jumlah pesantren baru mencapai 4.015.
lihat laporan Direktori Pondok Pesantren 2007/2008, Setditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama Republik
Indonesia. Dikutip dalam, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa (Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009), vol. 1, hal. 4. Saya belum sempat mempelajari data statistik pertumbuhan pesantren dari
tahun tersebut hingga tahun 2011, meskipun daftar nama-nama pesantren sudah dapat di-download di direktori pondok
pesantren pada situs resmi pdpontren.
6

Pernyataan ini sangat sering beliau utarakan dalam dialog non-formal dengan kami, mahasiswa PPKU Depag
2010-2011, di kediaman beliau di Wonosobo, Jawa Tengah, tiap Selasa-Kamis.
7

Lihat Yudian Wahyudi, Dinamika Politik Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah di Mesir, Maroko, dan Indonesia,

penj. Saifuddin Zuhri, cet. I (Yogyakarta: Nawesea Press, 2010), hal. 25.

3

massif kultur-kultur yang berbau Arab, seperti model pakaian, kalimat sapaan dan yang lain, seolah
kultur-kultur ini merepresentasikan budaya yang “islami”. Pertanyaannya, apakah Islam identik
dengan kultur Arab?
Saya akan memanfaatkan teori konflik pusat vs pinggiran (center versus periphery) untuk
membaca fenomena ini, bukan dari perspektif pergolakan politik global di dunia Islam, namun dari
perspektif teo-epistemologis sebagaimana pernah dikampanyekan oleh sekelompok orang. Dari sini
akan kita lihat, apakah kultur-kultur umat Islam Indonesia—yang secara geografis adalah pinggiran,
ditilik dari Madinah (Arabia) sebagai pusat Islam dan tempat perjuangan dakwah Nabi saw. di masa
dulu—dapat dikatakan tidak islami?
Tidak dapat dipungkiri bahwa Jazirah Arabia, atau secara lebih spesifik Makkah dan
Madinah, merupakan wadah kelahiran Islam. Nabi Islam adalah orang Arab, berujar dengan bahasa
Arab. Walaupun Islam lahir dalam lokalitas kultur Arab, namun sebagai risalah ilahiah, Islam
memproklamirkan ajarannya sebagai bersifat universal (Al-Anbiya‟ [21]: 107). Konsekwensinya, teks
pokok Islam, yakni al-Quran, akan menjadi sasaran target pemaknaan tiada henti. Dalam konteks
inilah, interaksi dialektikal antara teks dengan akal muncul tak terhindarkan, dalam teritori geografis
yang bahkan nun jauh dari pusat Islam historis. Artinya, pemeluk Islam di ruang dan waktu manapun,

di berbagai belahan dunia, akan terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses menafsirkan dan
mengaktualisasikan Kitab agung ini. Bukankah sikap kita semestinya, seperti saran Muhammad
Syahrûr, memandang al-Quran seolah diturunkan kepada kita dan Nabi saw. baru saja meninggal
kemarin?8 Demikianlah, al-Quran akan selalu menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering, yang
karenanya akan selalu kontekstual kapan dan di manapun. Tentunya, hal itu hanya akan tercapai
lewat pembacaan produktif terhadapnya, bukan sekedar pembacaan repetitif.9 Dari sini, kita dapat
memahami arti penting ungkapan Imam Ja„far al-Shâdiq—ulama besar yang selalu kita sebut dan
doakan dalam lantunan puisi Maulid al-Barzanjî—ketika beliau ditanya, “Mengapa al-Quran, meskipun
dipasarkan dan dikaji berulang kali, tidak bertambah melainkan semakin segar?!”. Beliau menjawab, “Karena
Allah tidak menjadikannya untuk satu masa tertentu dan membatasinya bagi generasi lain, tidak pula untuk
sekelompok manusia dengan mengesampingkan yang lain. Al-Quran untuk setiap masa akan selalu baru, dan bagi
setiap kaum akan tetap segar hingga hari kiamat”.10
Demikianlah, dalam posisinya yang berwatak universal, al-Quran akan mementahkan klaimklaim angkuh yang hendak memprioritaskan satu periode historis ataupun teritori geografis tertentu
8

Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân Qirâ’ah Mu‘âshirah (Damsyiq: Al-Ahâlî, ), hal. 44.

9

Nahsr Hâmid Abu Zaid, Naqd al-Khithâb al-Dînî, cet. II (Kairo: Sînâ lin-Nasyr, 1994),142-146.


10

Muhammad al-Raisyahrî, Muntakhab Mîzân al-Hikmah, diringkas oleh Sayyid Hamîd al-Husainî, cet. I (Qom:
Dâr al-Hadîts, 1422), hal. 327 (hadis no. 5168).

4

sebagai representasi tunggal dan absolut atas Islam. Dalam konteks ini, kita sepakat dengan Imam alSyâfi„î yang menolak “logika” Imam Mâlik yang memanfaatkan prinsip ‘amal ahl al-madînah (tradisi
penduduk Madinah) sebagai sarana penetapan hukum, dengan asumsi bahwa Madinah adalah kota
Nabi saw. dan tempat proses pewahyuan terjadi, yang karenanya merepresentasikan kontinuitas
ajaran Islam yang benar dari satu generasi ke generasi berikutnya.11 Pandangan ini bukan saja tidak
tepat, namun jelas mengabaikan peran hermeneutis dari para pakar dan pemerhati al-Quran lintas
generasi, baik dari kalangan sahabat, tabi‟in maupun generasi pasca mereka di Madinah—dalam
posisi mereka sebagai audiens historis dan reseptor wahyu. Gampangnya, logika Imam Mâlik ini
mengesampingkan heterogensi proses dialektis antara akal dan teks di Madinah untuk beberapa
kurun, yang tentu saja berbuntut pada penyunatan pluralitas capaian pemikiran hukum.
Dalam kerangka ini, universalitas Islam akan diterjemahkan secara kontekstual di berbagai
teritori geografis dan fragmen historis yang berbeda-beda, dengan satu pola yang sangat mungkin
tidak sama. Secara hermeneutis, wilayah-wilayah lain yang secara geografis adalah pinggiran, akan

memiliki peran yang sama dengan wilayah-wilayah Arabia yang nota bene adalah pusat Islam. Artinya,
pusat tidak memiliki superioritas dan hak istimewa atas pinggiran dalam proses mencapai kebenaran,
semata karena posisinya secara historis adalah pusat. Bahkan secara eksperimental hal ini dapat kita
saksikan dengan jelas. Bukankah sepanjang abad ilmu-ilmu keislaman lahir dan dikembangkan oleh
tokoh-tokoh yang justru terlahirkan di wilayah pinggiran, yang lumrahnya dikenal sebagai kelompok
mawâlî (ex-budak)?! Ini menunjukkan, secara eksperimental pusat tidak selalu lebih superior dari
pinggiran.
Lokalitas Islam di Indonesia
Singkat kata, Islam tidak selalu identik dengan Arab. Maka, kultur-kultur “islami” hasil
imporan dari negeri-negeri seberang tidak semestinya dijejalkan secara paksa di Indonesia.
Mengingat, “islam”12 ala Saudi bukanlah representasi “Islam”13 seutuhnya; islam ala Iran bukanlah
representasi Islam seutuhnya; islam ala Yaman bukanlah representasi Islam seutuhnya; demikian
seterusnya.
Karenanya, kultur Islam sebagaimana diekspresikan oleh warga Muslim di Indonesia, selama
tidak berseberangan dengan fundamen ajaran Islam, tidak dapat dinilai tidak islami. Maksudnya,
lokalitas Islam Indonesia adalah sejajar dengan lokalitas Islam Saudi, Iran, dan negeri-negeri lainnya

Baca uraian singkat tentang ‘amal ahl al-madînah dalam „Abdul Wahhâb Khallâf, Khulâshah Tarîkh al-Tasyrî‘ alIslâmî (Kuwait: Dâr al-Qalam al-Islâmî, tt.), hal. 88.
11


12

Dengan “i” kecil.

13

Dengan “I” besar.

5

yang seringkali memberi atribut dirinya dengan kata sandang “Islam”. Jadi, meskipun secara
geografis Indonesia adalah pinggiran dan bukan pusat Islam, tidak berarti kultur Islam yang muncul di
Indonesia tidak islami.
Karena itu pula, segala bentuk penilaian miring atas kelompok lain secara terburu-buru dan
seringkali berupa penghakiman in absentia (rajman bil-ghaib), seperti tudingan “kafir”, harus segera
dihentikan dan dihindari.
Iman dan Kufur: Problem Identitas
Untuk menunjukkan betapa tudingan “kafir” terhadap sesama pemeluk Islam itu tidak dapat
dilakukan secara sembrono dan serampangan, saya akan turunkan sedikit analisis atas persoalan ini.
Apa hakikat iman dan kufur? Apa bentuk hubungan antarkeduanya?

Dalam Faishal al-Tafriqah, Imam al-Ghazâlî mengatakan:
“Mungkin Anda berhasrat untuk tahu apa definisi kufur, setelah limit kaum
pembebek terlihat bertolak belakang di mata Anda. Ketauhilah, penjelasannya sangat
panjang, konsepnya terlalu samar. Namun, akan kutunjukkan padamu satu kategori
yang sahih, yang dengannya dapat kauukur dan nilai, biar menjadi acuan
pandanganmu, dan agar karenanya engkau segan mengafirkan beragam sekte yang
ada dan “panjang lidah” terhadap pemeluk Islam lain betapapun paham mereka
sangat beragam, selama mereka berpegang pada kredo Lâ ilâha illa Allah, Muhammad
rasulullâh, dengan penuh kejujuran dan tanpa perlawanan. Maka Aku katakan: kufur
adalah mendustakan Rasul as. dalam segala yang dibawanya, sedangkan iman adalah
membenarkan segala yang dibawanya”.
“Aktivitas pembenaran itu dapat tertuju pada berita (yang dibawa Rasul saw.),
malahan juga pada esensi berita (mukhbar), dan mengakui secara benar apa yang
disampaikannya. Hanya saja, wujud (eksistensi) itu memiliki lima tingkatan, namun
karena mengabaikan fakta ini tiap-tiap sekte menuduh lawannya sebagai
“mendustakan”. (Lima tingkatan) wujud itu adalah dzâtî (esensial), hissî (inderawi),
khayâlî (imajiner), ‘aqlî (rasional), dan syabahî (metaforik). Siapapun yang mengakui
eksistensi apapun yang dilaporkan oleh Nabi saw. dengan salah satu dari lima
kerangka ini, maka dia tidak dapat dinilai sebagai “mendustakan” secara mutlak”.14
Dalam narasi di atas, kita dapati Imam al-Ghazâlî mengajarkan, betapa iman dan kufur
bukanlah persoalan sederhana. Iman sebagai aktifitas pembenaran dalam kalbu, dengan pendustaan
sebagai sisi baliknya, tidak mudah untuk diafirmasi maupun dinegasikan dari seseorang. Pertama,
karena aktifitas pembenaran terhadap apa yang disampaikan Nabi saw.—baik dari al-Quran maupun
hadis—itu bergradasi, tidak dalam satu level. Jika kita mengamini pandangan Imam al-Ghazâlî,
gradasi tersebut terdiri dalam lima tingkatan. Maka, ketika mazhab Asy‟ariah, misalnya, menakwilkan
teks-teks bahwa Allah memiliki tangan sebagai kekuasaan, mereka tidak dapat dikafirkan. Sebab,
meskipun mazhab Asy‟ariah menolak pemahaman berdasarkan realitas dzâtî, namun faktanya mereka
Imam al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah, dimuat dalam Majmû‘ah Rasâ’il al-Imâm alGhazâlî, ed. Ibrahim Amîn Muhammad (Kairo: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah, tt.), h. 256-257.
14

6

membenarkan sesuai kerangka realitas ‘aqlî. Artinya, pemikiran mazhab Asy‟ariah sudah terkaver dalam
bingkai lima tingkatan eksistensi atau realitas di atas. Tolak ukur ini berlaku juga untuk menilai
perselisihan pendapat di antara para pakar. Kedua, fundamen akidah (ushûl al-îmân), yang mana
pembenaran maupun pendustaan terhadapnya berimplikasi pada keimanan dan kekufuran, terpusat pada
tiga prinsip, yaitu keimanan kepada Allah, rasul, dan hari akhir. Ini yang disebut persoalan primer
(ushûl al-qawâ‘id). Sementara hal-hal sekunder (al-furû‘) yang dapat berimplikasi pada iman dan kufur,
adalah pada apa yang sering diistilahkan dengan mâ ‘ulima min al-dîn bid-dharûrah, yakni ajaran-ajaran
dari Nabi saw. yang diketahui secara mutawatir dan pasti, seperti kewajiban shalat, haji, larangan
zina, dan lain sebagainya. Penolakan terhadap aspek kedua ini, meskipun tidak bertemalian dengan
akidah, dapat mengantarkan pada kekufuran.15 Singkatnya, pemberian atribut “kafir” jelas hanya
dapat diperkenankan pada isu-isu yang sangat krusial dan tidak serampangan.
Relasi Iman dan Kufur
Kemudian yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita mendudukkan problem relasi
antara iman dengan kufur. Kita tahu iman adalah oposisi kufur, namun bentuk oposisi seperti
apakah yang menghubungkan keduanya?
Dalam diskursus filsafat kita mengenal empat bentuk oposisi, yaitu tanâqudh (kontradiksi
mutlak atau oposisi biner negatif-afirmatif), tadhâdh (oposisi eksistensial-mandiri), tadhâyuf (oposisi
korelatif), dan taqâbul al-‘adam wa malakah (oposisi negasi dan habitus).16 Bentuk yang ketiga tidak
mungkin terjadi antara iman dan kufur, jadi hanya tersisa tiga bentuk lainnya.
Jika menganut bentuk pertama, yaitu tanâqudh, maka relasi antara iman dan kufur adalah
oposisi biner antara ada dan tidak ada. Iman sama dengan tidak kufur, sebaliknya kufur tidak sama
sengan iman. Keduanya bertolak belakang dan tidak dapat diketemukan. Hanya saja, relasi
kontradiktif ini hanya dapat berlaku dengan terpenuhinya delapan syarat, yaitu kesatuan dalam subjek
(maudhû‘), predikat (mahmûl), waktu (zamân), tempat (makân), relasi (idhâfah), universalitas dan
partikularitas (al-kull wa al-juzz), kondisi (syarth), dan potensiaitas dan aktualitas (al-quwwah wa al-fi‘l).17
Untuk bentuk kedua, yakni tadhâdh atau taqâbul al-dhiddain, bentuk ini mengasumsikan bahwa
masing-masing dari iman dan kufur adalah realitas independen yang berdiri secara terpisah satu sama
lain. Kufur bukanlah ketiadaan iman, bukan pula ketiadaan kemungkinan untuk beriman (habitus),
namun kufur adalah eksistensi yang mandiri di luar iman. Sederhananya, kufur adalah pengingkaran
15

Lihat lebih lanjut uraian Imam al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah, hal. 256-257.

16

Muhammad Jawâd Mughniyyah, Ma‘âlim al-Falsafah al-Islâmiyyah, cet. III (Beirut: Maktabah al-Hilâl, 1982),

hal. 49-50.
17

Tentang delapan syarat ini, lihat M. Jawâd Mughniyyah, Ma‘âlim al-Falsafah al-Islâmiyyah, hal. 50-51.

7

dan perlawanan terhadap iman. Di era kontemporer, pandangan semacam ini antara lain pernah
diutarakan oleh Murtadha Muthahhari, filsuf Muslim brilian kelahiran Persia.18
Dalam bentuk terakhir, taqâbul al-‘adam wa malakah, maka oposisi antara iman vs kufur
mewujud dalam bentuk oposisi antara negasi dengan habitus. Karenanya, iman mensyaratkan
terkumpulnya sejumlah sifat dalam diri, sehingga dengan itu seseorang sah disebut beriman. Malakah
atau habitus di sini dipahami sebagai karakter yang sedemikian berakar dalam jiwa (shifah râsikhah).
Artinya, selama jiwa tidak mengakomodir karakter atau sifat-sifat itu, selama jiwa tidak menghiasi
dirinya dengan sifat-sifat tersebut, ia tidak dapat disebut beriman. Pandangan semacam ini antara lain
pernah disuarakan oleh Syaikh Nawawî al-Jâwî, penafsir nusantara kelahiran Banten itu.19 Dengan
kerangka pemikiran semacam ini, misalnya, kita dapati Nawawî menafsirkan kata ulâ’ika dalam QS.
Al-Mu‟minûn [23]: 10 sebagai, “orang-orang beriman yang melakukan internalisasi sifat-sifat tersebut [ke
dalam dirinya]”.20 Maksdunya, orang-orang beriman yang mendapat kebahagiaan di akhirat kelak
adalah orang-orang yang telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat atau karakter yang disebutkan
dalam sembilan ayat sebelumnya, dari potensial menjadi aktual.

Takfîr dan Kesepakatan Paradigma
Analisis singkat di atas saya ajukan untuk menunjukkan betapa penilaian dan penetapan
status kufur atau tidaknya seseorang bukanlah perkara mudah.21 Perbedaan paradigma dalam
memandang bentuk relasi antara kufur dan iman, tak pelak lagi, jelas berimplikasi sangat jauh.22
Maka, takfîr (pengkafiran) hanya dapat dibenarkan, selain dengan tergenapinya ketentuan-ketentuan

lihat Murtadha Muthahhari, Al-‘Adl al-Ilâhî, terj. Muhammad „Abdul Mun„im al-Khâqânî, cet. III (Beirut: AlDâr al-Islâmiyyah, 1417 H/1997 M), h. 335-336. Buku ini sudah diindonesiakan dan terbit dengan judul Keadilan Ilahi,
terj. Agus Efendi, cet. I (Bandung: Mizan dan The Islamic College, 2009), edisi baru.
18

Abû „Abdil Mu„thî Muhammad Nawawî al-Jâwî, Kâsyifah al-Sajâ (Surabaya: Mahkota Surabaya, tt.), hal. 33.
Opini ini diakukan berasal dari al-Bâjûrî.
19

“Ulâ’ika ay al-mu’minûn al-muttashifûn bi-tilka al-shifât”. Lihat Nawawî al-Jâwî, Marâh Labîd li-Kasyf Ma’nâ alQur’ân al-Majîd, edisi Muhammad Amîn al-Dhinnâwî, cet. III (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2006), II: 83. Di sini
dengan jelas digunakan kata ittishâf, yang menunjukkan pada internalisasi habitus dalam jiwa. Demikian juga, kata ulâ’ika
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 5 ditafsirkan olehnya sebagai “ahlu hâdzihî al-shifah”. Nawawî al-Jâwî, Marâh Labîd, I: 9.
20

Uraian lebih serius dapat dibaca dalam dua tulisan saya, “Abu Thâlib Beriman: Pandangan Tafsir Syaikh
Nawawî al-Jâwî” dalam Bayan: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, vol. II, no. 1. Tahun 2012, terbitan Islamic Cultural Center
Jakarta, dan “Amal Baik non-Muslim: Tinjauan atas Kitab Al-Tafsîr al-Atsarî al-Jâmi‘ karya Muhammad Hâdî Ma„rifat”
(belum dipublikasikan).
21

22

Misalnya, dengan berpegang pada paradigma tadhâdh di atas, dapat saya katakan bahwa sosok semacam Rene
Descartes—filsuf Prancis penganut Kristen—adalah “Muslim fihtri” (Muslim bil-fithrah), berdasarkan sikap jiwanya yang
tak pernah ragu untuk menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana direkam dalam biografi dia.
Tentunya, jika semua itu dilakukan secara tulus dan tanpa pamrih. Pandangan semacam ini juga dianut oleh Muthahhari.
Tetapi, jika kita berpegang pada paradigma taqâbul al-‘adam wa malakah, maka sosok seperti Descartes tidak dapat disebut
Muslim. Ini contoh sederhana konsekwensi yang lahir dari perbedaan antara dua paradigma tersebut.

8

yang sangat ketat itu, juga dengan adanya kesepakatan paradigma dalam memandang hakikat iman dan
kufur dan relasi antarkeduanya. Sebab, bukankah absennya kesepakatan paradigma hanya akan
mengantarkan pada penilaian sepihak dan in absentia?23
Barangkali inilah alasan mengapa Nabi saw. sangat mewanti-wanti agar umatnya tidak
“panjang lidah” dan gemar menuding saudaranya sebagai kafir. Sabda beliau, “Jika seseorang
mengkafirkan saudaranya, maka (tudingan itu) akan kembali kepada salah satu dari keduanya”.24 Jika tudingan
itu benar adanya, maka pengkafiran adalah legal. Sebaliknya, jika tudingan itu galat, justru tudingan
itu berbalik kepada si penuding. Namun jangan lupa, iman adalah pembenaran yang terletak di lubuk
terdalam jiwa manusia, serumit jiwa manusia itu sendiri. Karenanya, penilaian yang hanya berasaskan
ekspresi luaran yang sarat akan tipuan dan kepalsuan, tidak dapat dibenarkan.
Epilog: Menyambut Keragaman
Pluralitas wajah Islam di Indonesia adalah keniscayaan realitas. Memberangusnya dengan
semangat untuk menyatukannya dalam satu wajah jelas merupakan tindakan konyol. Segala tindak
konfrontasi yang mendepak toleransi sejatinya malah mempertontonkan ketidakdewasaan pelakunya.
Cara terbaik dalam menyikapi realitas ini adalah dengan menganggapnya sebagai partner dalam
pentas akbar untuk kompetisi yang sehat dalam menabur dan menebar kebaikan. Pluralitas dan
diversitas itu harus kita sambut dengan hati terbuka. Jadi, membangun persatuan dalam keragaman.
Bukankah dengan bersatu dalam keragaman justru memperlihatkan kekuatan dan kemolekan Islam?
Bukankah perseteruan, sengketa, konflik tidak sehat, dan adu pentungan hanyalah tindak kekanakkanakan yang justru memudarkan aroma Islam yang semerbak wangi itu (Al-Anfal [8]: 46)?!
Jadi, mari kita syukuri keragaman ekspresi Islam yang ada di Indonesia ini, kita jadikan
perbedaan sebagai sarana mambangun kompetisi dalam kebaikan dan untuk meningkatkan
kedewasaan sikap keberagamaan kita. Sebagaimana langit tak lagi indah dengan satu warna, biarkan
warna-warni Islam di Indonesia menunjukkan kemilaunya di mata dunia.
Wa-Allahu a’lam. []

Dengan sangat cerdas, Imam al-Ghazâlî mengatakan: “ ‫ بأن يراه غالطا فيما يعت ده‬،‫ا ينبغى أن يكفر بعض م بعضا‬
‫ فإن م إذا لم يتف ا فى الميزان لم يمكن م رفع‬،‫ ليكن ل برهان بين قان ن مت ع يه يعترف ك به‬، ‫ فإن ذل ليس أمرا هينا س ل المدر‬،‫برهانا‬
‫”الخاف بال زن‬. Lihat Faishal al-Tafriqah, hal. 262.
23

24

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Nîsâbûrî, Shahîh Muslim (Kairo: Dâr Ibn al-Jauzî, 2010),
hal. 29 (no. 60).

9