Hompimpah Sebuah Kajian Etnolinguistik p

TUGAS AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH ETNOLINGUISTIK

Oleh:
Agnes Gita Cahyandari
11/318337/SA/15873
Antropologi Budaya

FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

Hompimpah: Sebuah Kajian Etnolinguistik pada Permainan Rakyat
oleh

Agnes Gita Cahyandari1

Pendahuluan

Pada semester pertama sebagai mahasiswa, saya pernah mengambil mata kuliah

yang ditawarkan pada “anak baru” di jurusan Antropologi Budaya, yaitu Folklore.
Folklore sendiri berasal dari kata folk, yang berarti komunitas (kelompok) dan lore, yang
berarti tradisi. James Danandjaja, seorang antropolog, mengatakan bahwa folklore adalah
sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun
diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik secara
lisan maupun gerakan. Folklore itu sendiri dibagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu folklore
lisan – seperti bahasa, teka-teki, puisi, cerita, dongeng, dan prosa rakyat; folklore
sebagian lisan – seperti ritual, teater, tarian, permainan rakyat, dsb; dan yang terakhir
yaitu folklore bukan lisan – seperti musik, arsitektur atau gaya bangunan, pakaian,
makanan, dsb (Danandjaja, 2007).
Permainan rakyat merupakan salah satu jenis atau bagian dari folklore yang
paling menarik buat saya. Mengapa? Alasannya sederhana, karena saya senang bermain.
Permainan sendiri, menurut pemikiran paling sederhana saya, adalah sesuatu hal yang
dilakukan dengan tujuan untuk mencapai kesenangan, kepuasan. Roger Caillois, seorang
sosiolog Prancis yang mengkaji tentang permainan, lantas mengatakan bahwa ada enam
(6) karakteristik dalam permainan, yaitu:
1. Bukan merupakan sebuah kewajiban
2. Terbatas dalam ruang dan waktu
3. Tidak bertujuan, selain hal-hal yang dapat dicapai dalam permainan itu
4. Tidak produktif, dalam arti tidak menghasilkan apa-apa secara materil


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1
 Mahasiswa semester VI jurusan Antropologi Budaya, FIB UGM, yang mengikuti kuliah
Etnolinguistik jurusan Sastra Indonesia, pada semester genap 2013/2014


5. Terikat dalam suatu peraturan tertentu, berbeda dengan aturan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari
6. Berurusan dengan realita lain.
Permainan ini tentunya juga memiliki fungsi. Menurut John W. Santrock, ada tiga (3)
fungsi permainan. Ketiga fungsi tersebut yaitu:
1. Permainan meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan,
meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan daya jelajah, dan memberi
tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya.
2. Permainan meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak akan berbicara dan
berinteraksi dengan satu sama lain.
3. Permainan sebagai wadah untuk mempraktikkan peran-peran yang mereka akan
laksanakan dalam hidup masa depannya.
Poin ketiga ini akan menjadi fokus utama dalam pembahasan tulisan ini, yaitu berkaitan
dengan praktek peran-peran serta apa yang akan dilakukan dalam masa depan. Secara
khusus melalui permainan rakyat atau permainan tradisional yang sangat popular
dimainkan oleh anak-anak di Indonesia, yaitu hompimpah.

Sebelum bermain, hompimpah dulu


Siapa yang tidak kenal kata hompimpah? “Hompimpah alaium gambreng!
Gaaaaambreng…. Gaaaaambreng!”. Begitulah kira-kira bunyi permainan (yang
dinyanyikan) hompimpah. Permainan ini banyak diadaptasi oleh anak-anak di berbagai
daerah di Indonesia, secara khusus pada masyarakat Betawi dan masyarakat Sunda. Pada
masyarakat Betawi, hompimpah dikenal dengan nyanyian sebagai berikut: “hompimpah
alaium gambreng! Mpok Ipah pakai baju rombeng”.
Sedangkan pada masyarakat Sunda, nyanyiannya yaitu Hompimpah alaium
gambreng. Pada masyarakat Sunda ini pula, (hampir) semua permainan rakyat diawali
dengan hompimpa. Bagaimana cara bermainnya? Lagu hompimpa dinyanyikan bersamasama oleh anak-anak yang hendak bermain. Kemudian mereka melakukan gerakan
menggoyang-goyangkan tangan. Ketika sampai pada bagian gambreng, masing-masing
anak akan menaruh tangan mereka; ada yang menaruh telapak tangan dan ada yang

menaruh punggung tangan. Biasanya, akan dicari satu anak yang berbeda; apakah ia
meletakkan punggung tangan, atau telapaknya? Apabila masih belum mendapat satu yang
berbeda, maka mereka akan terus melakukan gambreng. Ini sering digunakan untuk
mencari kelompok, atau dalam beberapa permainan – seperti petak umpet atau honghongan dalam bahasa Sunda, siapa yang akan menjaga ‘gawang’.
Gambreng bisa dilihat sebagai ajakan bermain; ia biasa dilakukan berulang-ulang
untuk menentukan siapa yang akan menjadi penjaga. Dalam permainan yang
berkelompok, gambreng juga akan dilakukan untuk menentukan siapa akan masuk
kedalam kelompok mana. Misalnya saja, akan dibagi menjadi dua kelompok. Siapa yang

meletakkan telapak tangan pada saat gambreng akan menjadi satu kelompok. Sama
halnya dengan yang meletakkan punggung tangan, maka ia juga akan menjadi satu
kelompok sendiri yang akan melawan kelompok yang satunya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, hampir semua permainan rakyat di
Sunda selalu diawali dengan hompimpah. Hompimpah ini memang dilakukan untuk
menentukan siapa yang akan menjadi penjaga dan siapa yang menjadi pemain. Atau bisa
juga digunakan untuk menentukan dan membagi anggota kelompok. Lantas, apa makna
dari permainan tersebut? Lalu mengapa hompimpah menjadi penting?

Hompipah: Sebuah Analisis

Permainan rakyat pada masyarakat Sunda (permainan tradisional), selain
merupakan sebuah hiburan dan sarana untuk bersenang-senang, rupanya memiliki makna
mendalam bagi kehidupan. Hompimpah alaium gambreng, apabila dikaji secara
etnomatematika, merupakan salah satu cara tradisional untuk belajar berhitung, yaitu
mengenai peluang. Namun, kalimat tersebut rupanya memiliki arti “Dari Tuhan kembali
ke Tuhan, mari bermain!”. Kata hom memiliki arti sebagai Tuhan. Sedangkan kata
gambreng, sebagai bagian akhir dari permainan (nyanyian) tersebut, bisa diartikan
sebagai ajakan untuk bermain, namun sebenarnya bermakna sebagai pengingat. Ini bisa
dilihat dari cara pengucapan gambreng yang diucapkan (dinyanyikan) secara lantang,

sambil meletakkan tangan sesuai dengan ‘posisi pilihan’; telapak atau punggung tangan.

Ada banyak sekali permainan 2 rakyat Sunda, yang tentu diawali dengan
hompimpah. Permainan-permainan

tersebut,

rupanya

juga

memiliki

arti

yang

mengandung nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat Sunda. Seperti petak umpet atau
hong-hongan, yang mengajarkan berpasrah diri. Sebelumnya, diawali dengan
hompimpah, untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga ‘gawang’, satu orang saja.

Dari hompimpah, para pemain sudah mengucapkan kata-kata yang mengingatkan bahwa
mereka berasal dari Tuhan, dan akan kembali dari Tuhan. Saya melihat bahwa
hompimpah yang mereka ucapkan sebelum bermain, menjadi sebuah pengingat – agar
mereka selalu ingat – bahwa mereka, manusia, berasal dari Tuhan, dan nantinya akan
kembali ke Tuhan. Mereka harus sadar, setelah itu barulah mereka bermain. Tujuannya,
menurut penafsiran saya, adalah sebagai pengingat, agar mereka tidak begitu ‘terlena’
dalam kesenangan, dan agar selalu ingat dengan Tuhan. Karena itulah sebelum mereka
bermain, mereka memulai dengan hompimpah.
Nilai-nilai mengenai permainan ini, dari tulisan “Media Informasi Permainan
Tradisional Sunda” 3 , rupanya terdapat didalam naskah Sanghyang Siksakandang
Karesian (SSK). Naskah tersebut adalah sebuah naskah Sunda Kuno, yang dibuat sekitar
tahun 1518 Masehi dengan aksara Sunda Kuno, dan telah diterjemahkan. Dalam naskah
ini, ada banyak sekali ungkapan-ungkapan atau ajaran, yang memiliki arti penting bagi
kehidupan masyarakat Sunda. Naskah ini bisa jadi merupakan ‘pedoman’ hidup orang
Sunda.
Seperti yang telah ditulis diatas, misalnya saja, permainan hong-hongan, yaitu
permainan yang mengajarkan kepasrahan diri kepada Tuhan. Dalam naskah SSK
tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai kehidupan bisa diajarkan bahkan dari permainan;
Dengan bermain petak-umpet atau hong-hongan, seseorang harus bisa untuk bagaimana
caranya bisa bersembunyi dan tidak ketahuan oleh si penjaga. Untuk bisa bersembunyi,

seseorang harus tenang, diam, tidak banyak bicara. Namun, yang paling penting adalah
berpasrah – berserah diri kepada Tuhan, karena kembali lagi ke makna hompimpah, dari
Tuhan kembali ke Tuhan. Apabila si penjaga mengetahui keberadaan kita, maka kita akan

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2
 http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/641/jbptunikompp-gdl-adisusanto-32016-10unikom_a-a.pdf diakses pada 24 Juni 2014
 
3
 masih dari sumber yang sama (http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/641/jbptunikomppgdl-adisusanto-32016-10-unikom_a-a.pdf)

berusaha supaya bisa berlalu ke ‘gawang’ lebih dulu, supaya tidak kalah. Lagi-lagi, orang
yang tenang, fokus, dan berpasrah diri akan lebih mudah karena tidak banyak pikiran
yang mengganggunya.
Demikian

halnya

dengan

permainan-permainan

lain,

yang

kebanyakan

mengajarkan (masyarakat Sunda) untuk bisa tenang dan berpasrah diri untuk mencapai
tujuannya. Inilah yang kemudian menjawab, mengapa hal itu menjadi penting untuk
masyarakat Sunda, yaitu agar mereka selalu ingat bahwa mereka berasal dari Tuhan, dan
nantinya akan kembali ke Tuhan. Sehingga, dalam melakukan pekerjaan, hingga ke
permainanpun, diharapkan mereka akan selalu ingat dan sadar bahwa mereka berasal dari
Tuhan dan akan kembali ke Tuhan.

Kesimpulan

“Dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita bermain!”. Sejenak terlihat sepele dan
klise, bahkan tidak nyambung; mengapa sebelum bermain harus ingat dari Tuhan kembali
ke Tuhan? Namun saya melihat bahwa ini merupakan sebuah bentuk kepasrahan,
ketakutan, serta ketundukan masyarakat Sunda akan Tuhan. Mereka selalu ingat dan
percaya dari mana mereka berasal, dan kemana mereka akan pergi suatu saat nanti.
Demikian halnya dengan makna falsafah Jawa, yaitu Jadilah seperti padi,
semakin berisi semakin merunduk. Artinya bukan bahwa manusia harus selalu merunduk
kebawah, namun manusia yang memiliki pengetahuan diharapkan tetap bersahaja; tidak
sombong dan tetap sederhana, ingat dimana ia berpijak. Begitulah kira-kira yang ingin
disampaikan. Sama halnya dengan hompimpah alaium gambreng, dari Tuhan, kembali ke
Tuhan, mari kita bermain!
Itulah makna dari kalimat tersebut, sekaligus menjelaskan mengapa hal tersebut
menjadi penting bagi kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Sunda, yang kemudian
telah diadaptasi oleh banyak kelompok masyarakat lain. Hompimpah alaium gambreng!

Referensi
Caillois, Roger
2006, The Definition of Play, The Classification of Games dalam The Game
Design Reader: A Rules of Play Anthology (eds Salie & Zimmerman), The MIT
Press, Massachusetts

Danandjaja, James
2007, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. PT. Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta

Danasasmita, Saleh, dkk
1987, Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak
630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan, Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat
Jendral Kebudayaan Depdikbud, Bandung
(Naskah Sangyang Siksakandang Karesian/SSK dibuat kurang lebih pada tahun
1518 M dengan aksara Sunda Kuno)

Santrock, John W
2002, Life-Span Development, Erlangga, Jakarta

Lain-lain
Bab

II:

Media

Informasi

Permainan

Tradisional

Sunda

dalam

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/641/jbptunikompp-gdl-adisusanto-32016-10unikom_a-a.pdf, diakses pada 24 Juni 2014

Naskah

Sanghyang

Siksakandang

Karesian

dalam

http://abasberbagi.blogspot.com/2014/01/naskah-sanghyang-siksakandang-karesian.html,
diakses pada 25 Juni 2014

Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksakandang Karesian (624): sebuah anomaly
pada pernaskahan Sunda Kuna dalam http://manuskripsunda.com/2013/07/31/naskahlontar-sunda-kuna-sanghyang-siksa-kandang-karesian-624-sebuah-anomali-padapernaskahan-sunda-kuna/, diakses pada 25 Juni 2014

Catatan pribadi selama mengikuti mata kuliah Etnolinguistik pada semester genap
2013/2014