BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Investasi - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham dengan Likuiditas sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan yang Terdaftar dalam Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Landasan Teori

2.1.1. Investasi
Lingkungan investasi meliputi berbagai jenis sekuritas (atau efek) yang
ada, tempat dan cara sekuritas itu diperjualbelikan. Menurut Sharpe et. al (2005),
investasi dalam arti luas berarti mengorbankan dolar sekarang untuk dolar masa
depan. Ada dua atribut berbeda yang melekat: waktu dan risiko. Pengorbanan
terjadi saat sekarang ini dan memiliki kepastian. Hasilnya baru akan diperoleh
kemudian dan besarnya tidak pasti.
Menurut Sharpe et. al (2005), investasi dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu: investasi nyata (real investment) dan investasi keuangan (financial
investment). Investasi nyata (real investment) secara umum melibatkan aset riil
(real asset), seperti tanah, mesin-mesin atau pabrik, bangunan yang digunakan
untuk memproduksi barang serta para pekerja yang keahliannya diperlukan untuk
memanfaatkan sumber daya tersebut. Investasi keuangan (financial investment)
melibatkan aset keuangan (financial assets), seperti saham dan obligasi. Aset ini,
secara terpisah tidak mencerminkan kekayaan masyarakat. Saham hanya

merupakan lembaran kertas atau mungkin, jurnal komputer, dan secara tidak
langsung memiliki kontribusi terhadap kapasitas produktif dalam suatu
perekonomian. Aset keuangan memiliki kontribusi terhadap kekayaan individu
dan perusahaan yang memilikinya. Karena aset keuangan merupakan klaim atas
laba yang dihasilkan aset riil atau klaim atas laba dari pemerintah. Pada

Universitas Sumatera Utara

perekonomian primitif, hampir semua investasi merupakan investasi nyata,
sedangkan di perekonomian modern, lebih banyak dilakukan investasi keuangan.
Proses investasi menunjukkan bagaimana pemodal seharusnya melakukan
investasi dalam sekuritas; yaitu sekuritas apa yang akan dipilih, seberapa banyak
investasi tersebut dan kapan investasi tersebut dilakukan. Menurut Husnan (2005),
untuk mengambil keputusan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
menentukan kebijakan investasi, analisis sekuritas, pembentukan portofolio,
melakukan revisi portofolio, dan evaluasi kinerja portofolio.
a.

Menentukan Kebijakan Investasi
Tujuan investasi harus dinyatakan baik dalam keuntungan maupun risiko.

Pemodal yang bersedia menanggung risiko lebih besar (dan karenanya
mengharapkan

memperoleh

keuntungan

yang

lebih

besar),

akan

mengalokasikan dananya pada sebagian besar sekuritas yang lebih berisiko.
b.

Analisis Sekuritas
Secara garis besar analisis sekuritas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

analisis teknikal dan analisis fundamental. Menurut Sharpe et. al (2005),
analisis teknikal meliputi studi harga pasar saham dalam upaya meramalkan
pergerakan harga masa depan untuk saham perusahaan tertentu. Menurut
Husnan (2005), analisis teknikal menggunakan data (perubahan) harga di
masa lalu sebagai upaya memperkirakan harga sekuritas di masa yang akan
datang. Sedangkan analisis fundamental berupaya mengidentifikasi prospek
perusahaan (lewat analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya)
untuk bisa memperkirakan harga saham di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

c.

Pembentukan Portofolio
Portofolio berarti sekumpulan investasi. Tahap ini menyangkut identifikasi
sekuritas. Sekuritas mana yang akan dipilih, dan berapa proporsi investasi
yang akan ditanamkan pada masing-masing sekuritas tersebut.

d.


Melakukan Revisi Portofolio
Tahap ini merupakan pengulangan terhadap tiga tahap sebelumnya, dengan
maksud kalau perlu melakukan perubahan terhadap portofolio yang telah
dimiliki. Kalau dirasa bahwa portofolio yang sekarang dimiliki tidak lagi
optimal, atau tidak sesuai dengan preferensi risiko pemodal, maka pemodal
dapat melakukan perubahan terhadap sekuritas-sekuritas yang membentuk
portofolio tersebut.

e.

Evaluasi Kinerja Portofolio
Dalam

tahap

ini

pemodal

melakukan


penilaian

terhadap

kinerja

(performance) portofolio, baik dalam aspek tingkat keuntungan yang
diperoleh maupun risiko yang ditanggung. Tidak benar kalau suatu portofolio
yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi mesti lebih baik dari
portofolio lainnya. Faktor risiko perlu dimasukkan, karena itu perlu dilakukan
standar pengukurannya.
2.1.2. Return Saham
Return (kembalian) adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh
pemodal atas suatu investasi yang dilakukan (Ang, 1997). Return merupakan hasil
yang diperoleh dari investasi, atau dapat dikatakan keuntungan yang dinikmati
investor atas investasi saham yang dilakukannya (Jogiyanto, 2009). Investasi
harus benar-benar menyadari bahwa di samping akan memperoleh keuntungan

Universitas Sumatera Utara


tidak menutup kemungkinan mereka akan mengalami kerugian. Keuntungan atau
kerugian tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan investor menganalisis
keadaan harga saham rnerupakan penilaian sesaat yang dipengaruhi oleh banyak
faktor termasuk di antaranya kondisi (performance) dari perusahaan, kendalakendala eksternal, kekuatan penawaran dan permintaan saham di pasar, serta
kemampuan investor dalam menganalisis investasi saham.
Return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return
ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan di masa mendatang. Return
realisasi merupakan return yang telah terjadi, dihitung berdasarkan data historis.
Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja
dari perusahaan. Return historis ini berguna sebagai dasar penentuan return
ekspektasi dan risiko di masa mendatang (Ang, 1997). Husnan (1994)
mengungkapkan teori keuangan yang membahas tentang analisis investasi yang
memiliki risiko tinggi, para investor mensyaratkan tingkat return yang semakin
tinggi pula. Return ekspektasi merupakan return yang belum terjadi tetapi yang
diharapkan di masa mendatang. Sebagai individu yang rasional, investor akan
mempertimbangkan return yang diharapkan akan diterima (expected return) dan
besaran risiko yang harus ditanggung sebagai konsekuensi logis dari keputusan
yang telah diambil.
Menurut Jogiyanto (2015), return total merupakan return keseluruhan dari

suatu investasi dalam suatu periode tertentu. Return total sering disebut sebagai
return saja. Return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield sebagai berikut
ini.
Return Total = Capital gain (loss) + yield

Universitas Sumatera Utara

Capital gain atau capital loss merupakan selisih dari harga investasi
sekarang relatif dengan harga periode yang lalu.
𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝑔𝑔𝐢𝐢𝐢𝐢𝑔𝑔 atau 𝑐𝑐𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝐢𝐢𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 =

Ptβˆ’Ptβˆ’1
Ptβˆ’1

Keterangan :
Pt = Harga saham periode sekarang
Pt-1 = Harga saham periode sebelumnya

Jika harga saham periode sekarang (Pt) lebih tinggi dari harga saham
periode lalu, ini berarti terjadi keuntungan modal (capital gain), sebaliknya jika

harga saham periode sekarang (Pt) lebih rendah dari harga saham periode lalu, ini
berarti terjadi kerugian modal (capital loss).
Yield merupakan persentase penerimaan kas periodik terhadap harga
investasi periode tertentu dari suatu investasi. Untuk saham, yield adalah
persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya.
2.1.3. Faktor-Faktor Fundamental dan Teknikal yang Mempengaruhi
Return Saham
Untuk melakukan analisis dan memilih saham terdapat dua pendekatan
dasar, yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. Menurut Husnan (2005),
analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang akan
datang dengan mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi
harga saham di masa yang akan datang, dan menerapkan hubungan variabelvariabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Sedangkan analisis
teknikal merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham (kondisi pasar)
dengan mengamati perubahan harga saham tersebut (kondisi pasar) di waktu yang
lalu. Berlainan dengan pendekatan fundamental, analisis teknikal tidak
memperhatikan faktor-faktor fundamental (seperti kebijaksanaan pemerintah,

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penjualan perusahaan, pertumbuhan laba,

perkembangan tingkat bunga, dan sebagainya), yang mungkin mempengaruhi
harga saham (kondisi pasar).
Menurut Samsul (2015), secara fundamental harga suatu jenis saham
dipengaruhi oleh ekspektasi kinerja perusahaan dan kemungkinan risiko yang
dihadapi perusahaan. Kinerja perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba
bersih per unit saham serta beberapa rasio keuangan yang dapat menggambarkan
kekuatan manajemen dalam mengelola perusahaan. Risiko perusahaan tercermin
dari daya tahan perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi maupun faktor
makroekonomi dan makro nonekonomi. Dengan kata lain kinerja perusahaan dan
risiko yang dihadapi dipengaruhi oleh faktor makroekonomi dan mikroekonomi.
Data keuangan masa lalu serta faktor makro dan mikro bisa dipakai untuk
memprediksi kinerja perusahaan di masa datang.
Faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi return saham menurut
Samsul (2015), terdiri atas faktor makroekonomi dan faktor mikroekonomi.
a.

Faktor Makroekonomi
Merupakan faktor yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai
pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Faktor makroekonomi secara langsung

dapat mempengaruhi kinerja saham maupun kinerja perusahaan, antara lain
tingkat bunga umum, tingkat inflasi, peraturan perpajakan, kebijakan
pemerintah, kurs valuta asing, tingkat bunga pinjaman luar negeri, ekonomi
internasional, siklus ekonomi, paham ekonomi, dan peredaran uang.
Perubahan dalam faktor makroekonomi akan mempengaruhi kinerja

Universitas Sumatera Utara

perusahaan walaupun tidak seketika, tetapi secara perlahan dalam jangka
panjang.
b.

Faktor Mikroekonomi
Kemajuan dan kemunduran kinerja perusahaan tercermin dari rasio-rasio
keuangan yang secara rutin diterbitkan oleh emiten. Banyak sekali rasio
keuangan yang dapat dianalisis, tetapi tidak semua rasio dibutuhkan oleh
investor. Sebagian rasio keuangan sangat penting bagi manajemen tetapi
kurang penting bagi investor. Faktor mikroekonomi yang mempunyai
pengaruh terhadap return saham suatu perusahaan berada di dalam
perusahaan itu sendiri antara lain adalah: (1) Laba bersih per saham; (2) Laba

usaha per saham; (3) Nilai buku per saham; (4) Rasio utang terhadap ekuitas;
(5) Rasio laba bersih terhadap ekuitas; (6) Cash flow per saham.
Menurut Husnan (2005), analisis teknikal dapat dilakukan untuk saham-

saham individual ataupun untuk kondisi pasar secara keseluruhan. Analisis
teknikal menggunakan grafik (charts) maupun berbagai indikator teknis.
Informasi tentang harga dan volume perdagangan merupakan alat utama untuk
analisis.
Beberapa indikator teknis yang sering dipergunakan dalam analisis
teknikal menurut Husnan (2005), terdiri atas moving average, new highs and lows,
volume perdagangan, dan short interest ratio.
a.

Moving Average
Merupakan pergerakan saham harian yang dihitung berdasarkan sejumlah
hari tertentu dan digambarkan dalam grafik. Apabila harga saham asli
berbeda di bawah harga moving average, harga tersebut kemudian naik

Universitas Sumatera Utara

memotong harga moving average dengan volume perdagangan yang cukup
tinggi, maka saham tersebut merupakan kandidat untuk dibeli. Sebaliknya,
apabila harga saham di atas moving average, dan harga saham tersebut turun
memotong moving average, maka saham tersebut merupakan kandidat untuk
dijual.
b.

New Highs and Lows
Merupakan harga saham tertinggi dan terendah selama periode tertentu.

c.

Volume Perdagangan
Kegiatan perdagangan dalam volume yang sangat tinggi di suatu bursa akan
ditafsirkan sebagai tanda pasar akan membaik (bullish).

d.

Short Interest Ratio
Short interest untuk suatu saham menunjukkan jumlah saham yang dilakukan
short selling tetapi belum dilakukan pembelian kembali. Rasio ini
menunjukkan berapa hari perdagangan yang diperlukan agar short selling
tersebut dapat diselesaikan.
Menurut Yunanto dan Medyawati (2009), faktor teknikal diukur dengan

beberapa indikator antara lain inflasi, nilai tukar mata uang, dan risiko pasar.
Saham perusahaan yang go public adalah komoditi investasi yang berisiko, karena
bersifat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan di
dalam negeri maupun perubahan dari luar negeri. Perubahan-perubahan ini
tentunya merupakan risiko bagi investor. Risiko investasi saham dapat berupa
penurunan kurs saham, gagal menerima dividen tunai, gagal menerima kembali
modal karena emiten saham dinyatakan bangkrut ataupun saham tidak laku dijual
karena emiten dikeluarkan dari pencatatan bursa efek.

Universitas Sumatera Utara

Untuk mengurangi risiko investasi, investor harus mengenal jenis risiko
investasi. Menurut Samsul (2015), jenis risiko dikelompokkan dalam dua
kelompok besar, yaitu risiko sistematis (systematic risk) atau undiversifiable risk
dan risiko tidak sistematis (unsystematic risk) atau spesific risk atau diversifiable
risk atau unique risk.
a.

Risiko Sistematis
Apabila risiko sistematis muncul dan terjadi maka semua jenis saham akan
terkena dampaknya, sehingga investasi pada suatu jenis saham ataupun lebih
tidak dapat mengurangi kerugian. Contoh risiko sistematis adalah tingkat
inflasi, tingkat bunga, kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, kurs valuta
asing dan siklus ekonomi.

b.

Risiko Tidak Sistematis
Risiko tidak sistematis hanya berdampak terhadap suatu saham atau sektor
tertentu, karena risiko tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan
diversifikasi produk. Contoh risiko tidak sistematis adalah peraturan
pemerintah mengenai larangan ekspor atau impor semen, yang akan
mempengaruhi harga saham emiten yang menghasilkan produk semen,
properti atau produk lain yang menggunakan bahan semen.

2.1.4. Earning per Share (EPS)
Earning per share merupakan perbandingan antara laba bersih setelah
pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Martono,
2009). Kenaikan earning per share berarti perusahaan sedang dalam tahap
pertumbuhan atau kondisi keuangannya sedang mengalami peningkatan dalam
penjualan dan laba, atau dengan kata lain semakin besar earning per share

Universitas Sumatera Utara

menandakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih
setiap lembar saham.
𝐸𝐸𝐢𝐢𝐸𝐸𝑔𝑔𝐢𝐢𝑔𝑔𝑔𝑔 𝐢𝐢𝑝𝑝𝐸𝐸 π‘†π‘†β„ŽπΆπΆπΈπΈπ‘π‘ (EPS) =

laba bersih setelah pajak
jumlah saham beredar

Earning per share adalah termasuk salah satu rasio pasar (Ang, 1997)
Rasio pasar pada dasarnya mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan
nilai pasar yang melampaui pengeluaran investasi. Rasio ini merupakan
pengukuran yang paling lengkap mengenai prestasi perusahaan dan berkaitan
langsung dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan dan kekayaan para
pemegang saham (Ang, 1997).
Semakin tinggi laba setelah pajak yang dihasilkan perusahaan maka
semakin besar earning per share perusahaan (Martono, 2009). Dalam jangka
pendek, rencana pembelian kembali saham mungkin dapat menutupi kondisi
perusahaan yang sebenarnya. Namun hal itu akan mengurangi kepercayaan
pemodal terhadap perusahaan, meskipun bagi pemodal pendapatannya sendiri dari
saham tersebut meningkat. Akibatnya permintaan akan saham tersebut menurun
dan harga saham juga mengalami penurunan (Ang, 1997). Menurut Weston dan
Brigham (1990), EPS akan tumbuh sebagai hasil penanaman kembali laba. Jika
laba perusahaan tidak semuanya dibayarkan sebagai dividen (artinya, sebagian
laba ditahan), maka jumlah uang yang diinvestasikan di balik setiap lembar saham
akan naik terus, yang akan mengakibatkan pertumbuhan laba dan dividen.
Pertumbuhan EPS memberikan informasi tentang perkembangan suatu
perusahaan. Kenaikan pada EPS menunjukan bahwa kinerja dari laba perusahaan
sangat baik sehingga hal tersebut dapat meningkatkan penghasilan dari pemegang
saham (investor). Apabila EPS perusahaan tinggi maka akan semakin banyak

Universitas Sumatera Utara

investor yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham
akan tinggi (Dharmastuti, 2004). Investor berpandangan bahwa EPS mengandung
informasi yang penting untuk melakukan prediksi mengenai besarnya dividen per
saham di kemudian hari, serta relevan untuk menilai efektivitas manajemen dalam
membuat kebijakan pembayaran dividen. Manajemen perusahaan pada pemegang
saham biasa dan calon pemegang saham sangat tertarik akan EPS, karena
menggambarkan yang akan diterima untuk setiap lembar saham. Hal ini
merupakan indikator keberhasilan suatu perusahaan.
Munawir (2004) menyebutkan bahwa earning per share (laba per lembar
saham) biasanya merupakan indikator laba yang diperhatikan oleh para investor.
Earning per share adalah salah satu indikator pendapatan sehingga berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pergerakan harga saham. Jadi dapat disimpulkan
bahwa Earning per Share (EPS) berpengaruh positif terhadap return saham.
2.1.5. Debt to Equity Ratio (DER)
Menurut Horne dan Wachowicz (2012), rasio utang (debt ratio)
merupakan rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh
hutang. Rasio utang terdiri dari rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio)
dan rasio utang terhadap total aset (debt to total assets ratio). Menurut Husnan
(2005), Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur tingkat leverage dalam menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban jangka panjang dimana DER menghubungkan antara total
debt dengan total ekuitas.
Menurut Horne dan Wachowicz (2012), DER digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban dalam membayar hutangnya

Universitas Sumatera Utara

dengan jaminan modal sendiri. DER dihitung dengan membagi total utang
perusahaan dengan ekuitas pemegang saham.
𝐷𝐷𝑝𝑝𝐷𝐷𝐢𝐢 𝐢𝐢𝑙𝑙 𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐢𝐢𝐢𝐢𝐸𝐸 𝑅𝑅𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝑙𝑙 (𝐷𝐷𝐸𝐸𝑅𝑅) =

total utang
ekuitas pemegang saham

Para kreditur secara umum akan lebih suka jika rasio ini lebih rendah.
Semakin rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang
disediakan oleh pemegang saham, dan semakin besar perlindungan bagi kreditur
jika terjadi penyusutan nilai aset atau kerugian besar. Dengan nilai debt to equity
ratio yang tinggi memunculkan indikasi atau kekhawatiran dari pemegang saham
karena semakin besar risiko manajemen perusahaan untuk tidak mampu
mengendalikan jumlah hutang dan kewajibannya kepada kreditur, sehingga para
pemegang saham sering mengesampingkan perusahaan yang memiliki nilai debt
to equity ratio yang tinggi (Nugraha dan Mertha, 2016). Demikian juga menurut
Ang (1997), semakin tinggi nilai DER menunjukkan semakin tinggi risiko yang
harus ditanggung perusahaan dengan menggunakan modal sendiri apabila
perusahaan mengalami kerugian.
Menurut Brigham dan Houston (2006), perusahaan dengan nilai DER yang
rendah akan memiliki risiko kerugian yang kecil ketika keadaan ekonomi
mengalami kemerosotan, namun ketika kondisi ekonomi membaik, kesempatan
dalam memperoleh laba juga rendah. Sebaliknya perusahaan dengan rasio
leverage yang tinggi memang menanggung risiko kerugian yang besar pula ketika
perekonomian sedang merosot, tetapi dalam keadaan baik, perusahaan ini
memiliki kesempatan memperoleh laba besar. Perusahaan dengan laba yang tinggi
akan mampu membayar dividen yang lebih tinggi, sehingga berkaitan dengan laba
per lembar saham yang akan naik karena tingkat utang yang lebih tinggi, maka

Universitas Sumatera Utara

leverage akan dapat menaikkan harga saham, yang pada akhirnya return saham
juga akan meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa DER berpengaruh positif
terhadap return saham.
2.1.6. Price to Book Value (PBV)
Price to Book Value (PBV) merupakan salah satu rasio pasar yang
digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya
(Ang, 1997). PBV ditunjukkan dengan perbandingan antara harga saham terhadap
nilai buku dihitung sebagai hasil bagi dari ekuitas pemegang saham dengan
jumlah saham yang beredar. Rasio ini menunjukkan seberapa jauh sebuah
perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan relative terhadap jumlah modal
yang diinvestasikan, sehingga semakin tinggi rasio PBV yang menunjukkan
semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham (Ang,
1997). PBV dihitung dengan rumus:
PBV =

harga pasar per saham
nilai buku per saham

Nilai buku per saham =

ekuitas biasa
jumlah saham beredar

Menurut Brigham dan Houston (2010), rasio harga pasar suatu saham
terhadap nilai bukunya atau PBV memberikan indikasi pandangan investor atas
perusahaan. Perusahaan yang dipandang baik oleh investor-yang artinya
perusahaan dengan laba dan arus kas yang aman serta terus mengalami
pertumbuhan-dijual dengan rasio nilai buku yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan dengan pengembalian yang rendah.
Masih menurut Brigham dan Houston (2010), rasio PBV pada umumnya
lebih besar dari 1, ini artinya investor bersedia membayar lebih besar daripada

Universitas Sumatera Utara

nilai buku akuntansinya. Situasi seperti ini terutama terjadi karena nilai aset
seperti yang dilaporkan oleh akuntan dalam neraca perusahaan tidak
mencerminkan baik itu inflasi maupun β€œgoodwill”. Jadi, aset yang dibeli beberapa
tahun lalu pada harga sebelum inflasi dicatat berdasarkan harga perolehan
awalnya meskipun inflasi telah menyebabkan nilai aset yang sebenarnya naik
secara signifikan.
Price to book value merupakan rasio yang penting sebagai salah satu
indikasi perusahaan dalam uapaya komitmen yang tinggi terhadap pasar. Upaya
peningkatan rasio PBV berarti merupakan upaya peningkatan nilai perusahaan
(Martono, 2009). Perusahaan yang dapat beroperasi dengan baik, umumnya
memiliki rasio PBV di atas satu, yang menunjukkan nilai pasar saham lebih tinggi
dari nilai bukunya. Semakin tinggi rasio PBV, maka semakin tinggi pula
perusahaan dinilai oleh investor. Apabila suatu perusahaan dinilai lebih tinggi
oleh investor, maka harga saham akan semakin meningkat di pasar, yang pada
akhirnya return saham tersebut akan meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa
PBV berpengaruh positif terhadap return saham.
2.1.7. Kebijakan Dividen
2.1.7.1. Pengertian Kebijakan Dividen
Menurut Horne dan Wachowicz (2013), kebijakan dividen adalah bagian
yang tidak terpisahkan dalam keputusan pendanaan perusahaan. Secara definisi,
kebijakan dividen menurut Syahyunan (2015), adalah keputusan apakah laba yang
diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham
dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna
pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Apabila perusahaan memutuskan

Universitas Sumatera Utara

akan membagi laba perusahaan sebagai dividen, maka akan mengurangi
kesempatan perusahaan dalam mendapatkan laba internal. Semakin tinggi dividen
yang dibagikan kepada pemegang saham akan mengurangi kesempatan
perusahaan dalam mendapatkan sumber dana internal dalam rangka mengadakan
reinvestasi, sehingga dalam jangka panjang akan mengurangi nilai perusahaan.
2.1.7.2. Teori-teori Kebijakan Dividen
Hal yang terpenting dari kebijakan dividen adalah apakah kebijakan
tersebut dapat mempengaruhi kekayaan pemegang saham dengan mengubah rasio
pembayaran dividen. Beberapa teori menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak
mempengaruhi harga saham, namun ada pula teori yang menyatakan kebijakan
dividen mempengaruhi harga saham. Kebijakan dividen yang optimal (optimal
dividend policy) ialah kebijakan dividen yang menciptakan keseimbangan diantara
dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang, sehingga memaksimumkan
harga saham perusahaan.
Beberapa teori kebijakan dividen yang dikemukakan oleh Sartono (2010)
antara lain:
1.

Irrelevant Dividend
Teori ini dikemukakan oleh Franco Modigliani dan Merton Miller.
Modigliani-Miller (MM) berpendapat bahwa kebijakan dividen tidak relevan,
berarti bahwa tidak ada kebijakan dividen yang optimal karena kebijakan
dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan ataupun harga saham. Menurut
MM nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya dividend
payout ratio (DPR), tetapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT)

Universitas Sumatera Utara

dan kelas risiko perusahaan. MM membuktikan pendapatnya secara
matematis dengan berbagai asumsi :
a.

Pasar modal yang sempurna dimana semua investor bersikap rasional.

b.

Tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan,

c.

Tidak ada biaya emisi (flotation cost) dan biaya transaksi.

d.

Kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap biaya modal sendiri
perusahaan.

e.

Informasi tersedia untuk setiap individu terutama yang menyangkut
tentang kesempatan investasi.
Beberapa ahli menentang pendapat Modigliani dan Miller mengenai

dividen tidak relevan dengan menunjukkan bahwa adanya: biaya emisi saham
baru akan mempengaruhi nilai perusahaan. Perusahaan lebih suka
menggunakan laba ditahan daripada menerbitkan saham baru. Ada
kemungkinan laba ditahan tidak cukup besar sehingga perusahaan harus
menerbitkan saham baru. Semakin besar target laba ditahan, semakin kecil
kemungkinan perusahaan menerbitkan saham baru. Karena biaya modal
sendiri ditentukan oleh besar-kecilnya laba ditahan yang ditentukan dividen.
2.

Bird-in-the Hand Theory
Teori ini dikemukakan oleh Myron J. Gordon dan John Lintner. GordonLintner mempunyai pendapat lain bahwa dividen lebih kecil risikonya
dibanding dengan capital gain, sehingga Gordon Lintner menyarankan
perusahaan untuk menentukan dividend payout ratio atau bagian laba setelah
pajak yang dibagikan dalam bentuk dividen yang tinggi dan menawarkan
dividend yield yang tinggi untuk meminimumkan biaya modal.

Universitas Sumatera Utara

3.

Tax Differential Theory
Teori ini dikemukakan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka
berpendapat bahwa karena dividen cenderung dikenakan pajak yang lebih
tinggi daripada capital gain, maka investor akan meminta tingkat keuntungan
yang lebih tinggi untuk saham dengan dividend yield yang tinggi. Kelompok
terakhir ini menyarankan bahwa perusahaan lebih baik menentukan dividend
payout ratio yang rendah atau bahkan tidak membagikan dividen sama sekali
untuk meminimumkan biaya modal dan memaksimumkan nilai perusahaan.

4.

Signaling Hypothesis Theory
Menyatakan bahwa, jika ada kenaikan dividen sering kali diikuti dengan
kenaikan harga saham. Demikian pula sebaliknya. Menurut Modigliani dan
Miller kenaikan dividen biasanya merupakan suatu signal (tanda) kepada para
investor, bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang
baik di masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan
dividen yang dibawah normal (dari biasanya) diyakini investor sebagai
pertanda bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang.
Dividend signaling theory pertama kali dicetuskan oleh Bhattacharya
(1979). Dividend signaling theory mendasari dugaan bahwa pengumuman
perubahan

cash

dividend

mempunyai

kandungan

informasi

yang

mengakibatkan munculnya reaksi harga saham. Teori ini menjelaskan bahwa
informasi tentang cash dividend yang dibayarkan dianggap investor sebagai
sinyal prospek perusahaan di masa mendatang. Adanya anggapan ini
disebabkan terjadinya asymetric information antara manajer dan investor,
sehingga para investor menggunakan kebijakan dividen sebagai sinyal

Universitas Sumatera Utara

tentang prospek perusahaan. Apabila terjadi peningkatan dividen akan
dianggap sebagai sinyal positif yang berarti perusahaan mempunyai prospek
yang baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang positif.
Sebaliknya, jika terjadi penurunan dividen akan dianggap sebagai sinyal
negatif yang berarti perusahaan mempunyai prospek yang tidak begitu baik,
sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang negatif (Pramastuti, 2007).
5.

Clientele Effect Theory
Kelompok (Clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki
preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok
pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih
menyukai suatu Dividend Payout Ratio (DPR) yang tinggi. Jika ada
perbedaan pajak bagi individu dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok
ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen yang kecil. Dengan
demikian, maka kelompok pemegang saham yang dikenakan pajak lebih
tinggi menyukai capital gain.

2.1.7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Pada saat perusahaan menetapkan kebijakan dividen, terdapat faktor-faktor
yang harus dipertimbangkan. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003), faktor-faktor
yang mempengaruhi dividen adalah sebagai berikut:
a.

Posisi likuiditas Perusahaan
Likuiditas

perusahaan

sangat

besar pengaruhnya terhadap

investasi

perusahaan dan kebijakan pemenuhan kebutuhan dana. Dividen bagi
perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi kas dan

Universitas Sumatera Utara

likuiditas perusahaan secara keseluruhan, akan semakin besar kemampuan
perusahaan untuk membayar deviden.
b.

Kebutuhan Dana untuk Membayar Hutang
Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk
mengganti jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua
pilihan, yaitu perusahaan membiayai hutang itu pada saat jatuh tempo atau
menggantikan dengan jenis surat berharga yang lain. Jika keputusannya
membayar hutang tesebut, maka biasanya perlu untuk menahan laba.

c.

Tingkat Ekspansi Aktiva
Semakin cepat suatu perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya
untuk membiayai ekspansi aktivanya, perusahaan cenderung untuk menahan
laba daripada membayarkannya dalam bentuk dividen.

d.

Stabilitas Laba
Suatu perusahaan

yang mempunyai laba stabil sering kali dapat

memperkirakan berapa besar laba dimasa yang akan datang. Perusahaan
seperti ini biasanya cenderung membayarkan DPR yang tinggi, daripada
perusahaan yang labanya berfluktuasi. Dividen yang lebih rendah akan lebih
mudah untuk dibayar apabila laba menurun pada masa yang akan datang.
2.1.7.4. Dividend Payout Ratio (DPR)
Menurut Sartono (2010), kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba
yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan sebagai laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa
yang akan datang. Keputusan pembagian laba sebagai dividen diukur melalui
rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio). Dividend payout ratio (DPR)

Universitas Sumatera Utara

menentukan jumlah saldo laba dalam perusahaan sebagai sumber pendanaan.
Rasio ini menunjukkan persentase laba perusahaan yang diberikan kepada para
pemegang saham secara tunai. Akan tetapi, dengan menahan laba saat ini dalam
jumlah yang lebih besar dalam perusahaan juga berarti lebih sedikit uang yang
akan tersedia bagi pembayaran dividen saat ini. Jadi, aspek utama dari kebijakan
dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran
dividen dengan penambahan saldo laba perusahaan. Rasio pembayaran dividen
(dividend payout ratio) dihitung dengan cara membagi dividen kas tahunan yang
dibagi dengan laba tahunan, atau dividen per lembar saham dibagi dengan laba per
lembar saham dengan rumus sebagai berikut:
dividen kas

DPR = laba neto setelah pajak atau

DPR =

dividen per lembar saham
laba per lembar saham

Menurut Horne dan Wachowicz (2013), konsep pemberian sinyal
keuangan (financial signaling) menyatakan bahwa dividen memiliki pengaruh
terhadap harga saham karena memberikan informasi atau sinyal mengenai
profitabilitas perusahaan. Dianggap perusahaan memiliki berita bagus mengenai
profitabilitas masa depannya akan berkeinginan untuk memberitahukan hal ini
kepada investor. Alih-alih membuat pengumuman sederhana, dividen mungkin
dapat dinaikkan nilainya untuk makin mempertegas pernyataan tersebut. Ketika
perusahaan memiliki rasio pembayaran dividen yang stabil sepanjang waktu, dan
perusahaan tersebut meningkatkan rasio ini, para investor akan yakin bahwa pihak
manajemen mengumumkan perubahan positif dalam profitabilitas masa depan
yang diharapkan untuk perusahaan tersebut.
Sinyal bagi investor adalah pihak manajemen dan dewan komisaris benarbenar yakin bahwa segala sesuatu lebih baik daripada yang dicerminkan oleh

Universitas Sumatera Utara

harga saham. Selanjutnya, harga saham akan bereaksi positif terhadap kenaikan
dividen ini. Pemikirannya adalah bahwa laba yang dilaporkan oleh perusahaan
mungkin bukan merupakan cermin yang tepat atas laba ekonomi perusahaan
tersebut. Sepanjang dividen memberikan informasi mengenai laba ekonomi yang
tidak disebutkan dalam laba yang dilaporkan, harga saham akan terpengaruh.
Dengan perkataan lain, dividen tunai lebih besar pengaruhnya daripada kata-kata.
Jadi, dividen dikatakan akan digunakan oleh para investor sebagai prediktor
kinerja perusahaan di masa depan. Dividen mengungkapkan harapan pihak
manajemen di masa yang akan datang.
2.1.8. Likuiditas
Menurut Sartono (2010), likuiditas perusahaan menunjukkan kemampuan
untuk membayar kewajiban finansial jangka pendek tepat pada waktunya.
Menurut Horne dan Wachowicz (2005), rasio likuiditas membandingkan
kewajiban jangka pendek dengan sumber daya jangka pendek (lancar) yang
tersedia untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dari rasio ini banyak pandangan ke
dalam yang bisa didapatkan mengenai kompensasi keuangan saat ini perusahaan
dan kemampuan perusahaan untuk tetap kompeten jika terjadi masalah. Rasio
likuiditas terdiri dari rasio lancar (current ratio) dan rasio cepat (quick ratio).
Menurut Horne dan Wachowicz (2012), rasio lancar (current ratio)
merupakan salah satu rasio likuiditas (liquidity ratio), yang menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk membayar liabilitas jangka pendeknya dengan
menggunakan aset lancarnya. Rasio lancar diperoleh dengan cara membagi aset
lancar dengan liabilitas jangka pendek dengan rumus sebagai berikut:
𝐢𝐢𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝑝𝑝𝑔𝑔𝐢𝐢 𝑅𝑅𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝑙𝑙 (𝐢𝐢𝑅𝑅) =

aset lancar
liabilitas jangka pendek

Universitas Sumatera Utara

Seharusnya, semakin tinggi rasio lancar, maka akan semakin besar
kemampuan perusahaan untuk membayar berbagai tagihannya; akan tetapi rasio
ini harus dianggap sebagai ukuran kasar karena tidak memperhitungkan likuiditas
(liquidity) dari setiap komponen aset lancar. Perusahaan yang memiliki aset lancar
sebagian besar terdiri atas kas dan piutang yang belum jatuh tempo, umumnya
akan dianggap sebagai lebih likuid daripada perusahaan dengan aset lancar
sebagian besar terdiri atas persediaan (Horne dan Wachowicz, 2012).
Rasio cepat (quick ratio) menurut Horne dan Wachowicz (2005),
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek
dengan aset yang paling likuid (cepat). Rasio cepat diperoleh dengan cara
membagi aset lancar dikurangi persediaan dengan kewajiban jangka pendek
dengan rumus sebagai berikut:
𝑄𝑄𝐸𝐸𝐢𝐢𝑐𝑐𝑄𝑄 𝑅𝑅𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝑙𝑙 =

aset lancar βˆ’ persediaan
liabilitas jangka pendek

Rasio ini berfungsi sebagai pelengkap rasio lancar dalam menganalisis
likuiditas. Rasio ini sama dengan rasio lancar, hanya saja rasio tersebut tidak
meliputi persediaan-yang diasumsikan bagian aset lancar yang paling tidak likuid–
sebagai angka yang dibagi. Rasio tersebut berkonsentrasi terutama hanya pada
aset lancar yang lebih likuid-kas, sekuritas yang dapat diperjualbelikan, dan
piutang-dan hubungannya dengan berbagai obligasi jangka pendek. Jadi, rasio ini
memberikan ukuran yang mendalam tentang likuiditas daripada rasio lancar.
Penelitian ini menggunakan rasio lancar atau current ratio sebagai proksi
dari likuiditas sebagai variabel moderating. Current ratio yang rendah akan
menyebabkan terjadi penurunan harga pasar dari harga saham yang bersangkutan.
Dengan kata lain, current ratio berpengaruh positif terhadap return saham.

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya current ratio terlalu tinggi juga belum tentu baik, karena pada kondisi
tertentu hal tersebut menunjukkan banyak dana perusahaan yang menganggur
(aktivitas sedikit) yang akhirnya dapat mengurangi kemampuan menghasilkan
laba perusahaan. Current ratio yang tinggi dapat disebabkan adanya piutang yang
tidak tertagih dan persediaan yang belum terjual, yang tentunya tidak dapat
digunakan secara cepat untuk membayar hutang (Nugraha dan Mertha, 2016).
Current ratio menunjukkan sejauh mana aktiva lancar menutupi
kewajiban-kewajiban lancar. Current ratio yang rendah biasanya dianggap
menunjukkan terjadinya masalah dalam likuiditas, sebaliknya current ratio yang
terlalu tinggi juga kurang bagus, karena menunjukkan banyaknya dana yang
menganggur pada akhirnya dapat mengurangi laba perusahaan (Sawir, 2009).
Semakin baik current ratio mencerminkan semakin likuid perusahaan tersebut,
sehingga kemampuan untuk memenuhi kemampuan jangka pendeknya semakin
tinggi, hal ini akan mampu meningkatkan kredibilitas perusahaan di mata investor
sehingga akan mampu meningkatkan return saham perusahaan. Hal ini telah
terbukti dari penelitian yang telah dilakukan Ulupui (2007) dan Shandy (2013)
yang mana current ratio berpengaruh positif terhadap return saham.
Menurut Nugraha dan Mertha (2016), perusahaan yang memiliki nilai
likuiditas yang baik atau likuid, yaitu perusahaan yang mampu membagikan
dividen yang tinggi kepada pemegang saham. Likuiditas perusahaan yang
berhubungan langsung atau memiliki pengaruh terhadap perusahaan dalam
memperoleh laba dan dibayarkan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.
Manajemen keuangan perusahaan akan menggunakan laba tersebut untuk
mendanai aktifitas operasional perusahaan atau membagikan dividen berupa

Universitas Sumatera Utara

return saham kepada pemegang saham. Jadi dapat disimpulkan bahwa rasio
likuiditas mampu memoderasi hubungan antara Dividend Payout Ratio (DPR)
dengan return saham.
Nilai Debt to equity ratio (DER) yang tinggi memunculkan indikasi atau
kekhawatiran dari pemegang saham karena semakin besar risiko manajemen
perusahaan untuk tidak mampu mengendalikan jumlah hutang dan kewajibannya
kepada kreditur, sehingga para pemegang saham sering mengesampingkan
perusahaan yang memiliki nilai DER yang tinggi. Namun apabila manajemen
perusahaan sangat disiplin untuk mengendalikan jumlah hutang dengan baik, atau
menjaga nilai likuiditas dengan baik untuk pengembangan aktifitas perusahaan
untuk meningkatkan laba maka hal itu akan menjadi sinyal positif bagi pemegang
saham. Dengan nilai DER yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan
melakukan perluasan usaha (ekspansi) untuk meningkatkan laba perusahaan
(Nugraha dan Mertha, 2016). Jadi dapat disimpulkan bahwa likuiditas mampu
memoderasi hubungan antara DER dengan return saham.
Samsul (2015), menyatakan bahwa banyak sekali rasio keuangan yang
dapat dianalisis, tetapi tidak semua rasio dibutuhkan oleh investor. Sebagian rasio
keuangan sangat penting bagi manajemen karena besar kecilnya keuntungan yang
diperoleh setiap bulan tergantung dari pengelolaan dana likuiditas dan
pengelolaan persediaan serta piutang. Investor lebih tertarik pada hasil
pengelolaan alih alih cara pengelolaan. Oleh karena itu, laba usaha per saham,
laba bersih per saham, dan nilai buku per saham lebih penting bagi investor. Jadi
dapat disimpulkan bahwa likuiditas mampu memoderasi hubungan antara laba

Universitas Sumatera Utara

bersih per saham (Earning per Share) dan Price to Book Value (PBV) dengan
return saham.
2.2.

Review Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan untuk menguji tentang

hal yang berkaitan dengan return saham. Beberapa penelitian tersebut antara lain:
Arista dan Astohar (2012); Carlo (2014); Kurniawan (2013); Kurniawati, dkk
(2012); Mohamad dan Nassir (1993); Muhammad (2014); Nathaniel (2008);
Nugraha dan Mertha (2016); Ulupui (2007) dan Verawati (2014).
Arista dan Astohar (2012) meneliti dengan judul β€œAnalisis Faktor – faktor
yang Mempengaruhi Return Saham (Kasus pada Perusahaan Manufaktur yang Go
Public di BEI Periode Tahun 2005 – 2009)”. Dalam penelitiannya menggunakan
empat faktor variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return
saham yaitu Return on Assets (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), Earnings per
Share (EPS), dan Price to Book Value (PBV). Hasil penelitiannya menemukan
bahwa Return on Assets (ROA) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
return saham. Debt to Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap return saham. Earnings per Share (EPS) tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap return saham. Price to Book Value (PBV) memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap return saham.
Carlo (2014) meneliti dengan judul β€œPengaruh Return on Equity, Dividend
Payout Ratio, dan Price to Earnings Ratio Pada Return Saham”. Dalam
penelitiannya menggunakan tiga variabel bebas yang diduga mempengaruhi
variabel terikat return saham yaitu Return on Equity, Dividend Payout Ratio, dan
Price to Earnings Ratio. Hasil penelitiannya menemukan bahwa ROE dan DPR

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh positif dan signifikan pada return saham, sedangkan variabel PER
tidak berpengaruh pada return saham.
Kurniawan (2013) meneliti dengan judul β€œAnalisis Pengaruh Earning per
Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Asset (ROA) dan Return on
Equity (ROE) Terhadap Return Saham (Studi Empirik pada Perusahaan Real
Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam
Pengamatan 2008-2012)”. Dalam penelitiannya menggunakan empat variabel
bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Earning per
Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Asset (ROA) dan Return on
Equity (ROE). Hasil penelitiannya menemukan bahwa Debt to Equity Ratio (DER)
tidak berpengaruh terhadap return saham, Return on Asset (ROA) berpengaruh
terhadap return saham, Return on Equity (ROE) berpengaruh terhadap return
saham dan Earning per Share (EPS) berpengaruh terhadap return saham.
Kurniawati, dkk (2012) meneliti dengan judul β€œFaktor Penentu Return
Saham dengan Price to Book Value Sebagai Variabel Moderasi di Bursa Efek
Indonesia”. Dalam penelitiannya menggunakan tiga variabel bebas yang diduga
mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Earning Growth Ratio,
Dividend Payout Ratio, dan Size, dan satu variabel moderating yaitu Price to
Book Value. Hasil penelitiannya menemukan bahwa Earning Growth Ratio
mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap return saham. Dividend Payout
Ratio mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap return saham dan Size yang
diproksikan dengan total aset mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap
return saham. Price to book Value tidak mampu secara signifikan memoderasi

Universitas Sumatera Utara

pengaruh antara variabel earning growth rate, dividend payoud ratio, dan ukuran
perusahaan terhadap return saham.
Mohamad dan Nassir (1993) meneliti dengan judul β€œFactors Associated
with Stock Price Volatility and Evaluation of Gordon's Share Valuation Model on
the Kuala Lumpur Stock Exchange”. Dalam penelitiannya menggunakan lima
variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu
Dividend Yield, Payout Ratio, Debts to Assets Ratio, Asset Growth and Firm Size.
Hasil penelitiannya menemukan bahwa dividend yield, payout ratio, debts to
assets ratio, asset growth and firm size variables explained 23 percent of the price
changes in the Kuala Lumpur market for the period 1975 to 1990. Only the asset
growth and debt usage variables were significant at 0.05 confidence level, and the
other three variables were not significant in the model fitted for the Kuala
Lumpur market.
Muhammad

(2014)

meneliti

dengan

judul

β€œStock

Returns

and

Fundamentals in the Australian Market”. Dalam penelitiannya menggunakan
sepuluh variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham
yaitu Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Earning per Share (EPS),
Free Cash Flows (FCF) and Pay-out Ratio (POR), Price Earnings Ratio (P/E),
Tobin’s Q (TBQ), Market to Book Ratio (M2B), Market Value Added (MVA),
Cash Flow Return on Investment (CFROI). Hasil penelitiannya menemukan
bahwa Price to earnings (P2E), Tobin Q (TQ), market to book (M2B) and
cashflow return on investment (CFROI) from market based financial measures
can better explain variance in stock prices. This makes a better group of

Universitas Sumatera Utara

performance evaluation measures over the rival approach where only return on
asset (ROA) and pay-out ratio (POR) can explain stock return.
Nathaniel (2008) meneliti dengan judul β€œAnalisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Return Saham (Studi pada Saham-Saham Real Estate and
Property di Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2006)”. Dalam penelitiannya
menggunakan empat faktor variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel
terikat return saham yaitu Debt to Equity Ratio (DER), Earning per Share (EPS),
Net Profit Margin (NPM) dan Price to Book Value (PBV). Hasil penelitiannya
menemukan bahwa hanya variabel Price to Book Value (PBV) yang berpengaruh
signifikan terhadap return saham, sedangkan Debt to Equity Ratio (DER),
Earning per Share (EPS) dan Net Profit Margin (NPM) berpengaruh tidak
signifikan terhadap return saham.
Nugraha dan Mertha (2016) meneliti dengan judul β€œLikuiditas sebagai
Pemoderasi Pengaruh Profitabilitas dan Struktur Modal pada Return Saham
Perusahaan Manufaktur”. Dalam penelitiannya menggunakan dua variabel bebas
yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu profitabilitas
(ROA) dan struktur modal (DER), dan satu variabel moderating yaitu likuiditas
(CR). Hasil penelitiannya menemukan bahwa profitabilitas (ROA) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap return saham, struktur modal (DER) tidak
berpengaruh pada return saham, dan likuiditas yang diproksikan dengan current
ratio (CR) tidak mampu memoderasi pengaruh profitabilitas pada return saham
dan juga tidak mampu memoderasi pengaruh struktur modal pada return saham.
Ulupui (2007) meneliti dengan judul β€œAnalisis Pengaruh Rasio Likuiditas,
Leverage, Aktivitas, dan Profitabilitas Terhadap Return Saham (Studi pada

Universitas Sumatera Utara

Perusahaan Makanan dan Minuman dengan Kategori Industri Barang dan
Konsumsi)”. Dalam penelitiannya menggunakan empat variabel bebas yang
diduga mempengaruhi variabel terikat return saham yaitu Rasio Likuiditas yang
diproksi dengan Current Ratio, Leverage yang diproksi dengan Debt to Equity
Ratio, Rasio Aktivitas yang diproksi dengan Total Asset Turn Over dan Rasio
Profitabilitas yang diproksi dengan Return on Asset. Hasil penelitiannya
menemukan bahwa variabel current ratio memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap return saham, debt to equity ratio menunjukkan hasil yang
positif tetapi tidak signifikan, total asset turn over menunjukkan hasil yang
negatif dan tidak signifikan terhadap return saham dan return on asset
berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham
Verawati (2014) meneliti dengan judul β€œFaktor-faktor Penentu yang
Mempengaruhi Return Saham Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) Periode 2008-2013”. Dalam penelitiannya menggunakan
empat variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat return saham
yaitu Earnings Per Share (EPS), Price Earnings Ratio (PER), Debt to Equity
Ratio (DER), dan Price to Book Value (PBV). Hasil penelitiannya menemukan
bahwa EPS berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, hal ini
ditunjukkan dengan nilai t statistik 2,7675 dan nilai signifikansi 0,0063. PER tidak
berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, hal ini ditunjukkan
dengan nilai t statistik -4,3344 dan nilai signifikansi 0,0000. DER berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap return saham, hal ini ditunjukkan dengan nilai t
statistik -2,9471 dan nilai signifikansi 0,0037. PBV berpengaruh positif dan
signifikan terhadap return saham, hal ini ditunjukkan dengan nilai t statistik

Universitas Sumatera Utara

3,0536 dan nilai signifikansi 0,0026. EPS, PER, DER, dan PBV secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap return saham, hal ini ditunjukkan dengan
nilai F statistik sebesar 3,7951 dengan probabilitas 0,0000.
Untuk lebih jelasnya review penelitian terdahulu sebagaimana diuraikan di
atas dirangkum dalam matrik penelitian pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Ikhtisar Review Penelitian Terdahulu
No

Nama Peneliti
dan Tahun

Judul Penelitian

Variabel
Penelitian
Dependen:
Return Saham

1

2

3

Arista dan
Astohar
(2012)

Analisis Faktor –
faktor
yang
Mempengaruhi
Return Saham (Kasus
pada
Perusahaan
Manufaktur yang Go
Public di BEI Periode
Tahun 2005 – 2009

Carlo
(2014)

Pengaruh Return on
Equity,
Dividend
Payout Ratio, dan
Price to Earnings
Ratio Pada Return
Saham

Kurniawan
(2013)

Analisis
Pengaruh
Earning per Share
(EPS), Debt to Equity
Ratio (DER), Return
on Asset (ROA) dan
Return on Equity
(ROE)
Terhadap
Return Saham (Studi
Empirik
pada
Perusahaan
Real
Estate dan Property
yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia
(BEI)
dalam
Pengamatan
20082012)

Independen:
Return on Assets
(ROA), Debt to
Equity
Ratio
(DER), Earnings
per Share (EPS),
and Price to
Book
Value
(PBV)

Dependen:
Return saham
Independen:
Return on Equity,
Dividend Payout
Ratio, dan Price
to Earnings Ratio

Dependen:
Return saham
Independen:
Earning
per
Share
(EPS),
Debt to Equity
Ratio
(DER),
Return on Asset
(ROA)
dan
Return on Equity
(ROE)

Hasil Penelitian
Return on Assets (ROA)
tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap
return saham. Debt to
Equity Ratio (DER)
memiliki pengaruh yang
signifikan
terhadap
return saham. Earnings
per Share (EPS) tidak
memiliki pengaruh yang
terhadap
signifikan
return saham. Price to
Book
Value
(PBV)
memiliki pengaruh yang
signifikan
terhadap
return saham.
ROE
dan
DPR
berpengaruh positif dan
signifikan pada return
saham,
sedangkan
variabel
PER
tidak
berpengaruh pada return
saham.

Earning per Share (EPS)
berpengaruh signifikan
terhadap return saham,
Debt to Equity Ratio
(DER) tidak berpengaruh
signifikan
terhadap
return saham, Return on
Asset (ROA) berpengaruh
signifikan
terhadap
return saham, dan Return
on
Equity
(RO