Arus Konservatisme Islam di Indonesia

Arus Konservatisme Islam di Indonesia

Arus Konservatisme Islam di Indonesia
Wahyudi Akmaliah

Judul

Penulis

Penerbit
Tahun
Halaman

: Contemporary Developments in
Indonesian Islam, Explaining
the “ConservativeTurn”
: Martin Van Bruinessen (Editor),
Ahmad Najib Burhani, Moch
Nur ichwan, Mujiburrahman,
Muhammad Wildan,
: Institute of Southeast Asian

Studies (ASEAN), Singapore
: 2013
: 240

Pengantar
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh rejim Joko Widodo dan Jusuf Kalla
adalah warisan konflik dan kekerasan yang muncul pada rejim Susilo Bambang
Yudiono selama dua periode, yaitu maraknya kekerasan atas nama agama dan
adanya diskriminasi terhadap mereka yang dianggap berbeda seiring dengan
munculnya radikalisme dan konservatisme yang tumbuh dengan beragam
wajah Islam Indonesia. Tinjauan buku ini menjadi semacam pengingat kembali
untuk rejim yang berkuasa sekarang, khususnya bagaimana berhadapan dengan
kondisi konservatisme Islam yang muncul dan adanya imajinasi pengelolan
konflik yang lebih berpihak kepada korban dan keluarga korban di tengah
arus penguatan ideologi kebangsaan. Untuk memudahkan dalam menjelaskan
uraian pembahasan dalam tulisan ini, saya membagi tulisan ini menjadi empat

230

Wahyudi Akmaliah


pembahasan. Pertama, menyibak konservatisme dalam organisasi Islam di
Indonesia. Kedua, radikalisme Islam dan konservatisme di dua kota, yaitu
Solo dan Sulawesi Selatan. Ketiga, Islam Indonesia: struktur, tokoh, kategori,
dan konteks, yang berisi beberapa kritik dan saran terkait isi dalam buku ini.
Terakhir adalah penutup, menjelaskan tentang kegunaan buku ini bagi masingmasing pihak yang berkepentingan.

Menyibak Konservatisme dalam Organisasi Islam di Indonesia
Dalam bab pengantar, Martin memulai penjelasan mengenai jatuhnya rejim
Orde Baru dan munculnya wajah Islam intoleran dalam pelbagai bentuk.
Penjelasan ini tampaknya menjadi semacam interogasi dan gugatan Martin
terkait dengan munculnya kelompok Islam intoleran tersebut. Ini karena,
Islam justru menunjukkan wajah damai di bawah rejim presiden yang selalu
tersenyum, yaitu kurun waktu tahun 1970-1980-an. Apalagi, dalam kurun
waktu ini, gagasan modernisasi Islam dan pembangunan berjalan selaras seiring
dengan kehadiran dua tokoh moderat dan progresif, yaitu Nurcholis Majid dan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang cukup hegemonik dalam membentuk
ruang publik Islam. Jauh sebelum itu, pada tahun 1965-1966, Islam sebenarnya
memberikan kontribusi signifikan atas berdirinya pemerintah Orde Baru
melalui pembantaian massal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam

kepada mereka yang dianggap PKI dan di-PKI-kan. Dalam konteks ini, upaya
penegakan negara Islam tidak mendapatkan tempat.
Jatuhnya rejim Orde Baru merubah hal itu. Islam tidak lagi menjadi agama yang
ramah dan damai, melainkan tergantikan dengan wajah penuh amarah, ditandai
dengan kehadiran terorisme dan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang
dianggap berbeda. Kondisi ini diakibatkan karena terjadi perubahan lanskap
politik di Indonesia, khususnya mengenai perebutan dan perjuangan dalam
mendapatkan redistribusi ekonomi dan sumber-sumber otoritas politik. Di
tengah situasi, adanya dinamika transnasional Islam di tengah keberadaan dua
organisasi moderat NU dan Muhammadiyah, menambah arus wajah Islam yang
semakin ke kanan. Di antara arus tersebut adalah adanya konservatisme dalam
MUI, perda-perda Syariah di beberapa daerah, arabisasi di beberapa sekolahsekolah tinggi. Lebih mengherankan, arus konservatisme itu justru muncul
dalam tubuh Muhammadiyah yang selama ini dianggap moderat. Adanya danadana transnasional dari Arab Saudi dan Kuwait dalam memperkuat lembagalembaga Islam di Indonesia memperkuat arus kanan ini.

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

231

Arus Konservatisme Islam di Indonesia


Karena buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh ISEAS (Institute of
Southeast Asia) Singapura, dan tidak semua publik internasional mengerti
mengenai Islam Indonesia, tokoh-tokoh, dan organisasinya, dalam bab kedua,
Overview of Muslim Organisations, Associations, and Movement in Indonesia, Martin
memberikan gambaran cukup detail mengenai hal tersebut, baik itu organisasi
keagamaan, kemahasiswaan, lembaga dakwah, ataupun partai politik. Dalam
memberikan gambaran ini, ia tidak sekedar menjelaskan tapi juga memberikan
semacam peta kronologis terkait dengan munculnya organisasi-organisasi Islam
tersebut. Tentu saja, penjelasan ini tidak hanya memudahkan para pembaca
sebagai bekal untuk masuk ke dalam bagian-bagian bab tulisan selanjutnya,
lebih jauh, pembaca yang tak dan belum mengenal Islam di Indonesia dapat
menjadikan tulisan pengantar bagian pertama ini sebagai fondasi pengetahuan
untuk mengetahui perkembangan, dinamika dan relasi yang terbentuk
mengenai wajah Islam saat ini, baik dalam tahapan politik maupun organisasi
kemasyarakatan serta kaitannya dengan dunia internasional secara keseluruhan.
Dalam bab tiga, Moch Nur Ichwan mengangkat tema MUI dan politik ortodoksi
keagamaan. Dalam penjelasan yang mendalam dan runtut, ia membagi
dinamika hubungan MUI dan pemerintah. Era rejim Orde Baru, MUI dan
pemerintah memiliki hubungan patron-klien. Selain sebagai medium antara
masyarakat Islam dan negara, posisi MUI adalah sebagai corong pemerintah

dalam menjelaskan konsep-konsep dan kebijakan negara di tengah masyarakat
dengan latarbelakang pemahaman keislaman. Tidak terbatas itu, lembaga
yang didirikan pada tahun 1975 oleh Presiden Suharto ini diharapkan dapat
memberikan rekomendasi dan nasehat kepada pemerintah terkait kebijakan
dan pengelolaan kehidupan beragama di Indonesia. Institusi keagamaan yang
terdiri dari pelbagai ormas ini juga diharapkan dapat menjadi media bagi para
ulama di Indonesia untuk mendiskusikan persoalan-persoalan umat. Jatuhnya
rejim Orde Baru, khususnya di bawah pemerintahan Habibie, sedikit merubah
fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh MUI. Posisi MUI tidak hanya menjadi
pemberi nasehat dan rekomendasi, tetapi juga menjadi patron politik yang
berusaha membentengi Habibie dari lawan-lawan politiknya. Hal ini mengingat
posisi Habibie sebagai warisan rejim Orde Baru. Selain itu, sebagai patron
politik, MUI mendukung Habibie agar menjadi presiden kembali dalam pemilu
tahun 1999.
Alasan utama mengapa MUI mendukung BJ Habibie lebih didasarkan karena
alasan historis, yaitu Habibie-lah yang memiliki kedekatan dengan kelompok
Islam dan kemudian mengangkat Islam kembali ke ruang publik di tengah

232


MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Wahyudi Akmaliah

cengkeraman kekuasaan rejim Orde Baru. Ini ditandai dengan berdirinya ICMI
dan bank syariah pertama di Indonesia, Muamalat. Fungsi yang dimainkan
MUI pada rejim Orde Baru dan pasca rejim Suharto di bawah Habibie,
menurut Ichwan adalah menempatkan diri sebagai pelayan pemerintah (khadim alhukumah). Namun, alih-alih sebagai pelayan pemerintah, relasi yang terbangun
dalam era pemerintah Abdurahman Wahid (Gusdur) dan Megawati membuat
MUI berjarak dan menempatkan posisi diri sebagai pelayan umat (Khadim alummah). Maksudnya, MUI tidak lagi merepresentasikan dan menjadi medium
antara pemerintah dan masyarakat serta memberikan masukan/rekomendasi
apa yang terbaik untuk masyarakat Muslim Indonesia melalui pemerintah
melainkan lebih merepresentasikan suara umat. Meskipun pengeluaran
operasional organisasi MUI ini masih menyandarkan dana sepenuhnya kepada
pemerintah melalui APBN.
Menurut Ichwan, dari hasil wawancaranya kepada anggota MUI, umat yang
dimaksud ini memiliki dua makna. Pertama, dimaksudkan kepada masyarakat
Islam Indonesia secara keseluruhan, tanpa terkecuali kepada mereka yang
memiliki pemahaman liberal. Kedua, pemaknaan umat yang lebih spesifik, yaitu
menerima mereka yang berpahaman radikal dan konservatif serta menolak yang

berpaham liberal untuk menjadi bagian dari identitas Islam yang dipersepsikan
oleh MUI. Namun, alih-alih umat yang dimaksud di sini adalah kategori dari
makna yang pertama, realitas praktik yang terjadi justru lebih mengarah kepada
penjelasan yagn kedua, yaitu menolak liberal dan mendukung konservatisme.
Hal ini ditandai dengan adanya dukungan kepada beberapa isu dan keluarnya
fatwa untuk mengokohkan konservatisme Islam dan memarginalkan kelompok
Islam dan kelompok keyakinan yang lain, yaitu 1) adanya upaya purifikasi
makanan dan sertifikasi halal, di mana MUI menjadi pemain tunggal yang
memberikan sertifikasi; 2) purifikasi bank dan ekonomi Islam; 3) aksi purifikasi
publik moral untuk melawan porno aksi dan pornograpi; 4) Undang-Undang
tentang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003, khususnya kemestian
adanya pendidikan agama pada masing-masing lembaga pendidikan meskipun
dengan latarbelakang agama yang berbeda; 5) purifikasi gambaran Islam
mengenai pemaknaan jihad dan menolak mengenai aksi terorisme; purifikasi
Islam melalui fatwa terhadap pemahaman keagamaan yang bercorak pluralis,
liberal, dan sekular; 6) fatwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan bukan bagian
dari Islam. Bagi Ichwan, MUI berposisi sebagai channel dan mediator antara grup
yang menginginkan syariat Islam, pemerintah dan parlemen. Sementara itu,
adanya kecenderungan sikap konservatisme dalam tubuh MUI ini dikarenakan


MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

233

Arus Konservatisme Islam di Indonesia

masuknya tokoh-tokoh semacam Cholil Ridwan, Amin Djamaluddin, Adian
Husaini, beberapa tokoh dari MMI, DDII, dan HTI sejak tahun 2000. Memang,
jumlah mereka tidak banyak tapi cukup mempengaruhi dalam artikulasi suara
MUI di public nasional. Bahkan, kelompok-kelompok Islam moderat semacam
Masdar F Mas’udi dan Siti Musda Mulia yang masuk dalam kepengurusan
pusat MUI hingga tahun 2005 tidak memiliki suara suara signifikan, bahkan
tampaknya mereka tersingkir dalam arus konservatisme tersebut.
Di tengah kondisi itu, Ichwan tidak menganggap bahwa MUI bagian dari Islam
radikal ataupun konservatif sepenuhnya. Ia menyebutnya sebagai lembaga
“Islam moderat yang memiliki pemahaman puritan” (Puritanical Moderate
Islam). Ini karena tidak semua fatwa dan isu yang dikeluarkan oleh MUI dalam
menjawab realitas sosial yang terjadi di masyarakat, khususnya mengenai
persoalan keseharian umat Islam, itu mengajak pada upaya radikalisme.
Diakui karena fatwa yang mengundang radikalisme ini telah menyebabkan

pembunuhan, kekerasan, dan pelanggaran HAM kepada mereka yang dianggap
berbeda. Namun, pertimbangan utama menyebutnya sebagai Puritanical
Moderate Islam adalah MUI tidak mendukung berdirinya negara Islam, tidak
menyetuji terorisme atas nama Islam, dan adanya dukungan kepada ekonomi
dan bank Islam sebagai bentuk keberpihakan terhadap konsumen terkait
dengan asas keadilan. Di sisi lain, adanya fatwa untuk menjaga lingkungan dari
eksploitasi minyak adalah beberapa indikator penguat mengapa mereka juga
dapat dianggap memiliki sikap moderat.
Terkait dengan munculnya konservatisme dalam tubuh Muhammadiyah,
Ahmad Najib dalam bab empat, Liberal and conservative discourses in the
Muhammadiyah: the struggle for the face of reformist Islam in Indonesia, menjadikan
empat Muktamar Muhammadiyah sebagai studi kasus, yaitu Muktamar
Muhammadiyah ke-43, tahun 1995 di Banda Aceh, Muktamar ke-44, tahun
2000, di Jakarta, Muktamar ke-45, tahun 2005, di Malang, dan Muktamar
ke-46, tahun 2010, di Yogyakarta. Alasan utama mengapa momen tersebut
dijadikan barometer karena melalui Muktamar inilah kecenderungan arus
pemikiran Muhammadiyah terlihat jelas. Apalagi, dalam Muktamar tersebut
ada pembahasan dan rekomendasi yang diberikan dalam merespon situasi sosial
dan politik kekinian yang terjadi di Indonesia. Meskipun di bawah rejim Orde
Baru, Muktamar ke-45 adalah fase munculnya kelompok liberal dalam organisasi

Muhammadiyah. Ini ditandai dengan naiknya Amien Rais, Doktor Ilmu Politik
lulusan Universitas Chicago Amerika Serikat dan Profesor UGM, sebagai Ketua
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Amien Rais

234

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Wahyudi Akmaliah

ini sejumlah pembaharuan muncul dalam agenda dan program kerja organisasi
Muhammadiyah. Hal ini ditandai dengan adanya pembaharuan nama, yaitu
Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Melalui
Majelis Tarjih ini, Muhammadiyah menerbitkan buku Tafsir tematik mengenai alQur’an tentang hubungan sosial antar umat beragama dan mendeklarasikan bahwa
hukum seni dan berkesenian adalah mubah (dibolehkan), di mana sebelumnya
seni/berkesenian sebagai sesuatu yang dilarang. Ide-ide progresif ini berlanjut
dan bahkan tampak kental dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta,
dengan terpilihnya Syafi’i Maarif sebagai ketua PP Muhammadiyah, dan tokohtokoh sarjana Islam progresif dalam jajaran kepemimpinan di bawahnya, seperti
Amin Abdullah, Munir Mulkan, dan Dawam Rahardjo. Munculnya kelompok
liberal dan progresif serta program-program yang diusung ini meresahkan

kelompok konservatif dalam organisasi Muhammadiyah. Akibatnya, Muktamar
ke-45 tahun 2005 menjadi ajang pembersihan dari unsur-unsur yang berbau
liberal, ditandai dengan tidak masuknya Amien Abdullah dan Munir Mulkan
dalam jajaran 13 besar pimpinan Muhammadiyah. Kehadiran dan dominasi
kelompok konservatif ini ditandai dengan naiknya Dien Syamsudin sebagai
ketua PP Muhammadiyah.
Namun, dalam Muktamar ke-46 tahun 2010, meskipun kubu konservatif
masih mendominasi, ide-ide liberal mulai lunak untuk diterapkan. Hal
ini ditandai oleh dua hal; masuknya unsur kebudayaan lokal (Jawa) dalam
acara Muktamar dan terpilihnya Siti Noordjannah sebagai salah satu jajaran
pimpinan nasional di Muhammadiyah. Melunaknya kelompok konservatif
dan adanya titik temu dengan kelompok liberal ini lebih disebabkan adanya
intervensi baik internal maupun eksternal yang membuat mereka memiliki
kesamaan visi, yaitu munculnya Partai Matahari Bangsa (PMB) dari sayap anak
muda Muhammadiyah yang awalnya diharapkan menjadi bagian dari ekspresi
politik warga Muhammadiyah, meskipun sudah ada Partai Amanah Nasional
(PAN), serta adanya pengaruh PKS dan Hizbut Tahrir (HTI) yang mendominasi
dan mengambil alih aset-aset Muhammadiyah). Dualitas sikap dan komitmen
dalam bendera Islam dan politik dalam tubuh Muhammadiyah inilah
yang dikhawatirkan oleh kubu konservatif dan liberal dapat menggerogoti
independensi laku gerak amal usaha Muhammadiyah ke depan.

Radikalisme Islam dan Konservatisme di Dua Kota
Berbeda dengan dua pembahasan sebelumnya yang memfokuskan pada
organisasi Islam, yaitu MUI dan Muhammadiyah, dalam kedua bab yang akan
MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

235

Arus Konservatisme Islam di Indonesia

dijelaskan di bawah ini lebih memfokuskan kepada dua kota, yaitu Sulawesi
Selatan dan Solo. Dalam pembahasan ini, saya juga merangkum pembahasan
Martin sebagai bagian dari penutup pembahasan-pembahasan sebelumnya
dalam buku ini. Untuk pembahasan pertama ini, saya menjelaskan bab kelima
dari tulisan Mujiburrahman, the politic of shariah: the struggle of the KPPSI in South
Sulawesi. Sementara itu, untuk pembahasan kedua, saya mendeskripsikan bab
enam dari tulisan-nya Muhammad Wildan dalam judul Mapping Radical Islam:
A Study of the Proliferation of Radical Islam in Solo, Central Java.
Dengan observasi dan wawancara mendalam kepada tokoh-tokoh Islam dan
kelompok minoritas yang terdiri dari politik, cendikiawan, aktivis dan ulama,
Mujiburrahman menjadikan Komite Persiapan Penegakan Syaria’ah Islam
(KPPSI) sebagai studi kasus di Indonesia mengenai dinamika pasang surut
penerapan hukum Islam di Sulawesi Selatan pasca rejim Orde Baru. Menurutnya
kehadiran KPPSI ini terkait erat dengan irisan sejarah masa lalu, rejim Sukarno,
rejim Orde Baru, dan pasca rejim Orde Baru yang dialami oleh tokoh-tokoh
politik Islam dan generasi penerusnya. Ia mencatat bahwa pada era Sukarno,
penggunaan syariah sebagai politik ideologi sudah diterapkan oleh Darul
Islam yang dipimpin oleh Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Selain tidak
diikutkannya ia menjadi bagian dari faksi militer Indonesia, perjuangannya
untuk menerapkan syariah Islam ini karena adanya kesamaan visi dengan Darul
Islam yang dipimpin oleh Kartusuwiryo. Sebagai pemimpin Islam dan militer
Darul Islam, ia menjadi komandan divisi empat militer Islam Indonesia untuk
Sulawesi Selatan. Namun, berbeda dengan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo,
dalam penerapan syariah ini Kahar lebih menyesuaikan dengan interpretasinya
sendiri dan hasil konsultasi dari beberapa ulama. Di sini, ia menerapkan politik
ideologi sosialisme Islam, menekankan pada kesejahteraan ekonomi, egalitarian,
dan hukum Islam mengenai pembunuhan, perzinahan, dan pencurian.
Meskipun gerakan Islam Kahar Mudzakkar ini dapat dilumpuhkan oleh rejim
Soekarno, namun heroisme dan tingkat kesalehannya dalam memperjuangkan
penegakan ideologi Islam dengan memposisikan diri sebagai pemberontak bagi
negara Republik Indonesia menciptakan ingatan yang mendalam bagi sebagian
besar masyarakat Sulawesi Selatan.
Ingatan kolektif inilah yang dimainkan oleh kelompok Islam khususnya yang
memiliki irisan dengan keluarga Kahar Mudzakkar pasca rejim Orde Baru. Di
satu sisi, meskipun di tengah represi rejim Orde Baru yang tidak memungkinkan
mereka melakukan artikulasi ingatan ke ruang publik, tetapi arus penguatan
Islam melalui organisasi HMI MPO dan DIPO, KAMMI, dan masuknya tokoh-

236

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Wahyudi Akmaliah

tokoh Islam dalam partai Golkar sebagai kendaraan politik menguatkan kultur
ideologi Islam mereka. Jatuhnya rejim Orde Baru inilah yang memungkinkan
irisan jaringan keluarga Kahar Mudzakkar dan kelompok-kelompok Islam
dari beragam latarbelakang yang sudah menguat era rejim Orde Baru tersebut
bergabung untuk menginiasi ideologi politik Islam di bawah bendera KPPSI
untuk menerapkan syariah Islam. Namun, realitas politik dan tegangan dengan
beragam kelompok sekuler dan adanya kepentingan pribadi membuat citacita itu tampaknya susah untuk diterapkan di tengah sistem demokrasi yang
sebenarnya memungkinkan untuk merealisasikan cita-cita politik tersebut. Di
sini, menurut Mujiburrahman, alih-alih membendung upaya islamisasi dengan
adanya pengajuan penerapan Islam melalui beragam cara, adanya diskusi dan
debat terbuka akan menciptakan konsensus yang sehat mengenai keinginan
publik yang lebih besar, apakah menginginkan implementasi syariah atau
tidak. Nah, kasus KPPSI adalah contoh bagaimana dinamika internal dalam
kelompok-kelompok Islam di tengah sistem demokrasi prosedural ternyata
tidak dapat memperkuat cita-cita ideologi mereka.
Melalui riset investigasi layaknya inteligen, Muhammad Wildan memetakan
gerakan-gerakan radikal Islam di Solo dan irisan pertautan jaringan gerakan
tersebut, baik secara lokal, nasional, ataupun internasional. Menurutnya, cikal
bakal gerakan radikal Islam di Solo itu terinspirasi dari seruan Mohammad
Nasir, ketua dan pendiri Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), organisasi
dakwah sebagai pengganti dibubarkannya partai Masyumi pada era rejim
Sukarno dan tidak boleh dihidupkan kembali pada era rejim Suharto.
Seruan ini disampaikan oleh Natsir pada tahun 1960-an dalam pidatonya di
Solo, meminta kepada mantan anggota Masyumi untuk mendirikan pondokpondok pesantren dan rumah sakit di Solo. Selain merubah misi dari membawa
dakwah ke dalam politik menjadi membawa politik ke jalan dakwah, seruan itu
adalah upaya untuk menangkal kristenisasi. Adanya bantuan dana dari Timur
Tengah untuk lembaga-lembaga pendidikan yang di kelola oleh DDII ini, salah
satunya didistribusikan kepada pondok pesantren yang sudah berdiri yaitu
Pondok Ngruki. Kecuali Pondok Ngruki yang memang sudah berdiri sendiri
sebelumnya, aktivitas dakwah dan lembaga yang dikelola oleh DDII menurun
drastis seiring dengan wafatnya Natsir pada tahun 1993.
Di bawah kepemimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang sudah
memiliki jaringan masing-masing dengan organisasi Islam radikal sebelumnya
dalam level nasional, pondok pesantren Ngruki menjadi basis gerakan Islam
melawan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kaburnya dua

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

237

Arus Konservatisme Islam di Indonesia

tokoh ini ke Malaysia dalam kejaran rejim Suharto dengan menetap di pondok
pesantren Lukman al-Hakim di Johor Malaysia sebagai pengajar dan guru agama
membuat mereka membuat jaringan gerakan radikal baru. Salah satu gerakan
yang memiliki jaringan dengan mereka berdua adalah Jamaah Islamiyah (JI),
Noordin M Top yang merupakan lulusan dari pesantren Lukman al-Hakim.
Referensi dan irisan pengaruh mereka berdua inilah yang memiliki pertautan
dengan kehadiran Negara Islam Indonesia (NII), gerakan Usrah, FPI, dan MMI.
Namun demikian, pondok Ngruki dan pengaruh Abdullah Sungkar serta Abu
Bakar Ba’asyir bukanlah satu-satunya kelompok Islam radikal, ada banyak
kelompok radikal Islam yang muncul khususnya pasca kejatuhan rejim Orde
Baru. Di tengah kehadiran gerakan-gerakan Islam lokal yang memiliki jaringan
nasional dan internasional inilah yang secara langsung telah mengurangi
peranan NU dan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berwajah moderat.
Lebih jauh, hal menarik yang ditemukan oleh Wildan, walaupun adanya
gerakan radikal Islam tapi mereka tidak berambisi untuk menerapkan syariah
Islam seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Alasannya, selain mereka
adalah gerakan minoritas yang kecil secara jumlah, secara populasi keislaman
yang terbentuk di Solo adalah mereka yang memiliki kecenderungan abangan
dengan praktik sinkretisme-nya.
Sebagai bagian penutup, Martin mengisi kekosongan yang luput ditulis oleh
empat pembahas sebelumnya, yaitu pembahasan tokoh-tokoh dan lembaga/
NGO yang memunculkan dan menjaga Islam moderat/liberal. Saat rejim
Orde Baru berkuasa, Munawir Sadjali, Menteri Agama (1982-1992) adalah
tokoh utama yang membawa pemahaman liberal keagamaan ke dalam IAIN
dan STAIN di Indonesia, khususnya melalui program pembibitan dosen untuk
studi kajian Islam ke Amerika dan Eropa. Sementara itu, NU dengan tokohnya
Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan beberapa tokohnya
menjadi payung Islam moderat bagi anak-anak muda. Tidak ketinggalan adalah
kontribusi Nurcholis Madjid dan teman-temannya yang mendirikan Paramadina
untuk pembelajaran agama Islam yang dikhususkan untuk kelas menengah
Muslim Indonesia. Pasca rejim Orde Baru ini, gerakan Islam moderat/liberal
di bawah payung Muhammadiyah dan NU berkembang dengan pesat melalui
non organisasi pemerintah yang bercorak keagamaan dengan basis kultural. Di
antaranya, RAHIMA, LKiS, dan Wahid Institute dari sayap anak muda NU
dan Maarif Institute dari sayap anak muda Muhammadiyah. Sementara itu,
Jaringan Islam Liberal adalah ornop yang diisi oleh kebanyakan anak muda
NU dan beberapa organisasi ekstra keislaman yang lain. Di tengah kehadiran

238

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Wahyudi Akmaliah

mereka inilah, menurut Martin, Islam berwajah toleran dan progresif akan
memungkinkan tetap ada di Indonesia.

Islam Indonesia: Struktur, Tokoh, Kategori, dan Konteks
Berbeda dengan penjelasan di atas yang menelaah dan merangkum isi dan
konteks pembahasan dalam detail buku, dalam sub pembahasan ini, saya
mengkritisi beberapa hal secara umum yang mengganjal dalam pembahasan
buku tersebut. Pertama, persoalan struktur, baik tulisan atau pun gagasan
mengenai pembahasan peralihan dari rejim Suharto menuju pasca rejim
Orde Baru. Alih-alih membahas perubahan tersebut secara mendalam yang
memberikan dampak kepada wajah Islam yang tak ramah pasca rejim Orde
Baru, Martin dalam bab pengantar dan tinjauan pengantar menjelaskan kondisi
tersebut secara sederhana, yaitu karena ‘terjadinya perubahan lanskap politik di
Indonesia, khususnya mengenai perebutan dan perjuangan dalam mendapatkan
redistribusi ekonomi dan sumber-sumber otoritas politik’. Bagi saya hal itu
benar, tapi tidak cukup untuk menjelaskan perubahan wajah islam yang begitu
cepat, khususnya kontestasi antara Islamisasi ruang publik dan moderasi Islam
itu. Di sini setidaknya ada dua penyebab yang saling terkait. Adanya kekosongan
kekuasaan yang terjadi dalam pelbagai hal pasca rejim Orde Baru menyebabkan
setiap individu dan kelompok masyarakat dapat mengajukan ideologi yang
diyakininya. Nah, pada titik ini ideologi radikalisme dan konservatisme inilah
yang mendominasi memperebutkan ruang publik Islam dan Indonesia secara
keseluruhan, di mana gerakan ini sebelumnya sudah direpresi oleh rejim Orde
Baru (Heryanto, 2014: 208). Di satu sisi, desentralisasi sistem pemerintahan
melalui otonomi daerah, di mana memungkinkan setiap daerah dari anggota
masyarakat untuk mengelola daerahnya sendiri justru menciptakan raja-raja
kecil baru di daerah. Raja-raja kecil inilah yang memungkinkan melakukan
tindakan korupsi menjadi semakin marak dan otoritas kekuatan pengontrolan
dipegang kepada mereka yang kuat. Akibatnya ekspresi keagamaan mayoritas
dapat lebih memungkin tersalurkan sebagai bagian dari ekspresi publik, yang
berakibat pada terpinggirkannya kelompok-kelompok minoritas (lihat, Salim,
Kailani, & Azekiyah, 2011: 10).
Kedua, relasi Islam dan pemerintah dalam rejim Orde Baru. Dalam kata
pengantar Martin tidak membuat kategori secara jelas bagaimana hubungan
Islam dan rejim Orde Baru. Ia menganggap bahwa pada tahun 1970-1980-an
justru Islam bersahabat dengan rejim Orde Baru khususnya selaras dengan ideide pembangunan, yang ditandai dengan kehadiran Abdurrahman Wahid dan
MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

239

Arus Konservatisme Islam di Indonesia

Nurcholish Madjid. Ini karena, setidaknya ada tiga relasi yang dibangun oleh
rejim Orde Baru dalam menyikapi hubungannya dengan Islam; 1) menempatkan
kelompok Islam sebagai teman yang memberikan kontribusi signifikan naiknya
rejim Orde Baru dalam pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966
(1965-1970-an); 2) meletakkan Islam sebagai ancaman dan musuh (1970-1980an). Hal ini dilakukan rejim Orde Baru setelah mereka melakukan penguatan
secara struktur maupun kekuatan mesin politik. Peristiwa Tanjung Priok (1984)
dan Talang Sari (1989) adalah simbol ketertindasan umat Islam di bawah rejim
Orde Baru tersebut. Sementara yang terakhir adalah 3) pura-pura menjadi rejim
Islami (1990-1998), yang ditandai dengan kedekatan Suharto dengan kelompok
Islam, berdirinya bank Muamalat, dan ditambahkannya nama dirinya menjadi
Muhamad Suharto usai pergi haji ke Mekkah sebagai simbol keislamannya di
tengah dukungan sebagian faksi militer redup kepadanya (Akmaliah, 2014:
3-4). Kedekatan Islam dengan rejim Orde Baru perlu dibaca dalam tiga relasi
tersebut.
Ketiga, argumen Martin yang menempatkan tokoh Gus Dur dan Nurcholish
Madjid sebagai Muslim moderat yang mempengaruhi secara hegemonik
dalam membentuk moderasi Islam dalam rejim Orde Baru. Dengan melihat
kontribusi mereka dalam menempatkan gagasan Islam yang selaras dengan laju
modernisasi dan pembangunan rejim Orde Baru yang menghasilkan wajah
Islam moderat tampaknya bisa dikonfirmasi. Namun, melihat konteks politik
yang terjadi kurun waktu tahun 1970-an, di mana politik Islam begitu menguat
untuk membuat partai berbasiskan Islam, justru gagasan mereka berdua, yaitu
memisahkan antara Islam sebagai bagian dari praktek realisasi kehidupan seharihari dan tidak menempatkan Islam sebagai bagian dari politik serta menjadikan
Pancasila sebagai asas ideologi negara perspektif rejim Orde Baru, secara tidak
langsung mendukung gagasan pemerintah yang sedang mereorganisasi partai
politik ke dalam skema yang lebih sederhana (lihat. Mudzakkir, 2013). Dalam
konteks ini menempatkan mereka berdua sebagai tokoh moderasi bisa saja,
meskipun di satu sisi mesti menempatkan mereka sebagai tokoh penyokong tidak
langsung dalam mendukung gagasan rejim Orde Baru yang mendeligitimasi
Islam politik di ruang publik.
Keempat, penggunaan kategori konservatif, moderat, liberal, dan progresif.
Pemberian kategori untuk menyebutkan karakteristik satu individu atau
kelompok satu sisi memudahkan penulis dan pembaca dalam menggambarkan
subyek informan yang diteliti/ditulis. Namun, bila kategori itu tidak lakukan
secara hati-hati justru akan memunculkan pengkotakan dan stereotif kepada

240

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Wahyudi Akmaliah

subyek yang ditunjuk. Lebih jauh, pengkategorian tersebut bisa memunculkan
sikap esensialis yang dapat membekukan individu/kelompok yang disebut
sebagaimana yang diinginkan oleh penulis/penelitinya. Tidak adanya definisi
yang ketat dalam memberikan kategori inilah yang terjadi dari beberapa
pembahasan dalam buku ini. Misalnya, Ahmad Najib Burhani menggunakan
kategori liberal/progresif dan konservatif dalam menyebut tokoh dan kelompok
dalam dinamika politik yang terjadi dalam Muhammadiyah. Namun, ia tidak
mempertimbangkan konteks dan perspektif personal dalam memberikan kategori
tersebut. Ia menyebut bahwa Dien Syamsuddin adalah tokoh konservatif karena
sejumlah kebijakan dan responnya saat menjabat ketua PP Muhammadiyah.
Pertanyaannya, apakah benar itu bagian dari sikap ideologi Dien atau itu bagian
dari sikap pragmatisme politiknya di tengah arus konservatisme yang muncul
dalam tubuh Muhammadiyah. Apalagi, sebagaimana diketahui, Dien adalah
Doktor luar negeri lulusan UCLA Amerika Serikat, dengan bidang studi Kajian
Islam. Moderasi dan pemikiran liberal atas pendidikan yang dilalui di Amerika
selama menempuh S2 dan S3 sedikit banyak mempengaruhi pola berpikirnya.
Posisinya sebagai politikus Golkar dalam ring 1 di bawah kepemimpinan rejim
Orde Baru menambah jam terbang pengalamannya dalam berpolitik dan
berorganisasi. Di sisi lain, menempatkan kategori konservatif dan liberal kepada
individu tertentu di tengah aturan main yang dibuat oleh Muhammadiyah juga
harus menjadi pertimbangan. Sebagaimana diketahui, orang disebut sebagai
Muhammadiyah harus memiliki dampak administratif; memiliki kartu anggota
Muhammadiyah dan menjadi pengurus anggota Muhammadiyah. Nah, kategori
administratif tidak digunakan Najib dalam menyebutkan kategori tersebut. Di
sini, mengamati struktur dan konteks yang terbangun dan muncul saat itu serta
menelaah latarbelakang personal individu menjadi penting sebelum melakukan
kategorisasi.
Kelima, meskipun dibahas secara detail peta gerakan radikal Islam di Solo dan
membahas kelompok-kelompok sipil non Islam, dalam tulisan-nya Wildan tidak
membicarakan struktur masyarakat secara historis dengan adanya peristiwa
1965-1966. Sebagaimana dicatat oleh Hadiz (2012), pasca pembantaian massal
pada tahun-tahun gelap tersebut, banyak dari anggota dan simpatisan PKI dan
organisasi ikutannya menghindari penangkapan dan stigmatisasi. Salah satu cara
untuk selamat adalah hidup dalam persembunyian (living in hiding). Mereka yang
melakukan cara ini salah satunya adalah dengan menyebrang menjadi muslim
dan menjadi bagian dari arus gerakan Islam yang ada di Solo. Sementara sisanya
adalah orang-orang yang menerapkan tradisi dan praktik abangan. Karena itu,

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

241

Arus Konservatisme Islam di Indonesia

menambahkan sejarah dan narasi peristiwa 1965-1966 dapat menjadi penguat
argument yang dibangun oleh Wildan. Di sisi lain, dalam bab tersebut, ia tidak
membahas lebih jauh mengenai peranan NU dan Muhammadiyah, khususnya
mengenai aktivitas yang mereka lakukan. Kesimpulan yang dibuat Wildan
hanya berdasarkan dari pembahasan panjang lebar mengenai peta gerakangerakan Islam radikal yang dominan yang akhirnya dianggap menggerogoti
otoritas NU dan Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan moderat.
Sementara bagaimana kontestasi NU dan Muhammadiyah di tengah gerakan
dan organisasi Islam radikal di Solo tidak dibahas.

Penutup
Namun demikian, terlepas dari catatan tersebut, buku ini sangat
direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan. Bagi pemegang
kebijakan, khususnya pemerintah dan aparatusnya, seperti polisi dan militer,
buku ini dapat menjadi pegangan pengetahuan terkait dengan sejarah aksiaksi terorisme dan radikalisme yang muncul di Indonesia hingga kini. Bagi,
sarjana yang belajar mengenai Islam, ini adalah peta dasar dinamika politik
Islam di Indonesia dengan ragam organisasi yang dimilikinya. Sementara itu,
bagi peminat kajian Islam dan isu-isu sosial, ini adalah pelatuk studi mengenai
gerakan-gerakan Islam yang beragam wajah dan bentuk. Gerakan-gerakan
inilah yang selalu mengalami transformasi seiring dengan kecenderungan arus
isu global, nasional, dan organisasi internal itu sendiri dalam mendefinisikan
keislaman dan gerakannya. Khusus untuk organisasi-organisasi Islam di
Indonesia, buku ini adalah sebuah refleksi mengenai perjalanan organisasi
mereka sebagai media untuk memperjuangkan Islam yang mereka yakini,
di mana seringkali mengalami tantangan baik internal maupun eksternal.
Sungguh tantangan ini bukan sesuatu yang tak mudah, tetapi ini merupakan
ujian menuju pendewasaan dalam mengelola organisasi yang bernafaskan Islam
di tengah masyarakat yang semakin majemuk dan terus berubah serta di tengah
bandul konservatisme dan moderasi.



242

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Wahyudi Akmaliah

Daftar Pustaka
Akmaliah, Wahyudi. 2014. “Indonesian Muslim Killings: Revisiting the
Forgotten Talang Sari Tragedy (1989) and its Impact in Post Authoritarian
Regime”. Makalah tidak diterbitkan sebagai bagian dari proyek Asian
Public Intellectual (API) Nippon Foundation tentang kolaborasi riset
program dalam topik Hearing the Historical Voices : Oral History of Political
Violence in Southeast Asia Region, 2013-2014.
Bruinessen, Martin Van (Editor). 2013. Contemporary Developments in Indonesian
Islam, Explaining the “Conservative Turn”, Singapura: ISEAS.
Hadiz, Vedi R. 2012. “Islamis Yes, Communism No”, Inside Indonesia 107:
Januari-Maret 2012, dikutip dari http://www.insideindonesia.org/
weekly-articles/islamism-yes-communism-no, pada 4 Desember 2014.
Heryanto, Ariel. 2014. Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen
Culture. Singapore and Japan: Kyoto University Press and NUS Press.
Mudzakkir, Amin. 2013. “Islam dan Liberalisme di Indonesia Pasca-1965”, Makalah

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

243