Fin Tech Lending di Indonesia penyokong

FinTech Lending di Indonesia:
Penyokong Implementasi Ekonomi Digital di Indonesia
Endar Hartono
Magister Teknik Elektro, Universitas Mercu Buana,
endar.kek.2014@kek.ekon.go.id
Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA
Abstrak
Abstrak — Dunia finansial semakin berkembang dari tahun ke tahun, termasuk dengan teknologi yang
diaplikasikan di dalamnya. Teknologi tersebut membantu mempermudah segala transaksi finansial yang
dilakukan nasabah atau konsumen. Teknologi itu juga membuat proses inklusi dan literasi finansial menjadi
lebih mudah, terutama untuk suatu negara yang belum tinggi pemahaman masyarakatnya terhadap
finansial. Teknologi yang digunakan dalam bidang finansial secara khusus disebut financial technology
(fintech). Kemajuan fintech akan menentukan seberapa sophisticated-nya dunia finansial di masa depan.
Bahkan bisa saja ke depannya uang elektronik atau digital yang akan digunakan secara penuh untuk
bertransaksi.
Indonesia telah masuk ke dalam jajaran negara-negara mobile-first, dengan konsumsi data melalui ponsel pintar
(smart phone) dan perangkat selular lainnya melampaui data melalui broadband (wired network). Hal ini
mendorong gelombang start-up financial technology (fintech) yang mengembangkan situs-situs pembanding,
pengelolaan keuangan pribadi (personal financial management), aplikasi pinjaman dan investasi, pembayaran
peer-topeer (P2P) dan solusi korporat. Lembaga-lembaga keuangan pun membuka diri terhadap teknologi
digital dan mulai menawarkan produk dan layanan keuangan berbasis teknologi (Fintech)


Kata kunci — Finance Technology (Fintech), Elektronik, peer-topeer (P2P)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Informasi yang dinilai turut berkontribusi terhadap
Kegiatan pinjam meminjam uang secara
pembangunan dan perekonomian nasional.
langsung berdasarkan perjanjian baik tertulis maupun
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
tidak tertulis merupakan praktik yang telah berlangsung
Teknologi Informasi sangat membantu dalam
di tengah kehidupan masyarakat. Pinjam meminjam
meningkatkan akses masyarakat terhadapproduk jasa
secara langsung banyak diminati oleh pihak yang
keuangan secara online baik dengan berbagai pihak
membutuhkan dana cepat atau pihak yang karena
tanpa perlu saling mengenal. Keunggulan utama dari
sesuatu hal tidak dapat diberikan pendanaan oleh
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
industri jasa keuangan konvensional seperti Perbankan,

Informasi antara lain tersedianya dokumen perjanjian
Pasar Modal, atau Perusahaan Pembiayaan.
dalam bentuk elektronik secara online untuk
Segala manfaat ekonomi, kerugian yang
keperluan para pihak, tersedianya kuasa hukum untuk
ditimbulkan, serta dampak hukum dari kegiatan pinjam
mempermudah transaksi secara online, penilaian risiko
meminjam yang dilakukan secara langsung
terhadap para pihak secara online, pengiriman
sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak sesuai
informasi tagihan (collection) secara online,
dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Praktik
penyediaan informasi status pinjaman kepada para
dimaksud dinilai masih terdapat banyak kelemahan
pihak secara online, dan penyediaan escrow account
yang diantaranya seperti pelaksanaan kegiatan pinjam
dan virtual account di perbankan kepada para pihak,
meminjam dilakukan oleh para pihak yang sudah
sehingga seluruh pelaksanaan pembayaran dana
saling mengenal dan harus bertatap muka, subjektifitas

berlangsung dalam sistem perbankan. Atas hal ini,
terhadap penilaian risiko gagal bayar, kesulitan dalam
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
penagihan pembayaran, maupun tidak adanya
Informasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana
sistemasi pencatatan pelunasan pinjaman yang telah
tunai secara cepat, mudah, dan efisien, serta
dilakukan.
meningkatkan daya saing.
Dalam era perkembangan ekonomi digital,
Selain itu, Layanan Pinjam Meminjam Uang
masyarakat terus mengembangkan inovasi penyediaan
Berbasis Teknologi Informasi diharapkan dapat
layanan dalam kegiatan pinjam meminjam yang salah
menjadi salah satu solusi untuk membantu pelaku
satunya ditandai dengan adanya penyediaan Layanan
usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
Jasa Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

1


2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
Arti Fintech akan terus berkembang seiring
dengan kemajuan teknologi informasi. Era Fintech
akan membawa suatu kemungkinan pada hal-hal yang
sebelumnya kita anggap tidak mungkin. Hal
ini mungkin dapat terlihat ketika suatu koperasi,
yayasa, atau badan lainnya lebih dapat bersinergi
dengan pihak perbankan dalam melakukan penarikan
saldo nasabah untuk transaksi sehari-hari.
Semenjak awal tahun 2000-an, telah terjadi
fenomena fintech di dunia sebagai akibat dari
revolusi industri fase ke-4. Hal itu yang dimaknai
sebagai digital revolution. Pendorong utamanya adalah
teknologi. Revolusi digital itu terjadi pada semua
sektor bisnis, tapi jika ia diimplementasikan di
sektor finansial atau keuangan, maka disebut fintech,
yang merupakan akronim dari kata financial dan
technology.

Pada awalnya, istilah fintech digunakan untuk
teknologi yang dipakai pada back- end customer
dan/atau institusi finansial yang sudah mapan.
Namun, krisis keuangan tahun 2008, menyebabkan
timbulnya sebuah pasar luas bagi perusahaan kecil
(khususnya startup) untuk menciptakan sebuah
produk inovatif, yang menyediakan solusi big data
bagi institusi-institusi finansial yang telah ada. Jadi,
semenjak akhir dekade pertama abad 21, istilah
fintech sudah berkembang melingkupi inovasi
teknologi di sektor finansial, seperti inovasi di
literasi finansial, personal banking, commercial
banking, investasi dan sebagainya.
Di Indonesia, fintech merupakan suatu hal
terpopuler kedua setelah e-commerce. Malahan
menurut
prediksi
Menteri Komunikasi dan
Informatika Rudiantara, jika startup-startup fintech
tersebut menjadi semakin mapan di masa depan,

mereka yang akan turut merasakan keuntungan dari
transaksi e-commerce yang nilainya akan mencapai
US$135 miliar pada 2020. P e r u s a h a a n f i n t e c
h m e m b u a t produk-produk yang terbagi atas
beberapa kategori, antara lain uang elektronik (emoney), pinjaman/ kredit (loan based crowdfunding
atau lending), gadai (pledge), pembayaran (payment),
reward
dan
donation based
crowdfunding,
perencanaan keuangan (financial planning), pasar
modal (capital market), internet banking.

dalam memperoleh akses pendanaan. Sampai dengan
saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kegiatan bisnis layanan jasa
keuangan berbasis teknologi informasi. Kondisi
tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian
bagi Pengguna. Oleh karena itu, regulasi kegiatan
bisnis Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi dinilai sudah sangat mendesak.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kegiatan usaha
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi perlu diatur dan diawasi dalam rangka
perlindungan Pengguna, penyelenggaraan kegiatan
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi, dan perlindungan kepentingan nasional
dengan tetap memberikan ruang bertumbuh bagi
perusahaan perintis (start up company) dalam rangka
peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Peraturan
OJK ini antara lain berisi ketentuan untuk
meminimalisasi
risiko
kredit,
perlindungan
kepentingan Pengguna seperti penyalahgunaan dana
dan data Pengguna, dan perlindungan kepentingan
nasional seperti kegiatan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme, serta gangguan pada
stabilitas system keuangan.


B. Perkembangan Fintech di Indonesia
Fintech adalah sebuah pengembangan dari
teknologi keuangan pada sektor jasa keuangan yang
muncul pada abad ke-21. Awalnya, istilah FinTech
diterapkan untuk penerapan teknologi back-end ke
konsumen untuk transaksi keuangan. Sejak akhir
dekade pertama abad ke-21, istilah ini telah diperluas
untuk mencakup inovasi teknologi di sektor keuangan,
termasuk inovasi dalam literasi keuangan dan
pendidikan, perbankan ritel, investasi dan bahkan
kripto-mata uang seperti bitcoin.
Istilah teknologi keuangan bisa berlaku untuk
setiap inovasi dalam cara orang bertransaksi,
melakukan bisnis. Sejak revolusi internet dan revolusi
internet mobile, bagaimanapun, teknologi keuangan
telah tumbuh eksplosif, dan arti fintech, yang awalnya
disebut sebagai penerapan teknologi komputer lanjutan
pada back office bank atau perusahaan perdagangan,
sekarang memiliki peran lebih luas pada komersial

keuangan.
Cara-cara baru pada sektor keuangan terus
bermunculan.
Hal
tersebut
bertujuan
untuk
memberikan peningkatan layanan. Peningkatan
penggunaan teknologi dalam industri keuangan
(fintech) diyakini dapat meningkatkan jangkauan
layanan keuangan. Munculnya fintech telah
menciptakan cara bagi semua entitas untuk memiliki
akses ke semua alat dan jasa keuangan dengan biaya
yang terjangkau.
Kini, teknologi perbankan dan keuangan di
era tahun 2000an telah berakhir dan bertransformasi
menjadi Fintech. Saat ini di Indonesia telah bertebaran
135 perusahaan startup Fintech yang sudah terdaftar di
OJK. Perusahaan startup Fintech di Indonesia di atur
melalui

peraturan POJK-Nomor-77-POJK.01-

2

2) Cybersecurity. Para pelaku Fintech yang tidak
memiliki lapisan pengamanan untuk perlindungan
terhadap cyber-attack dapat mengalami kerugian
besar. Sebagai contoh, kelemahan keamanan lokal
dapat memungkinkan para hacker merusak jaringan
perbankan lokal pada tahun 2014. Society for
Worldwide
Interbank
Financial
Telecommunication (SWIFT), yang jasanya telah
digunakan di lebih dari 200 negara, melaporkan
bahwa beberapa bank pernah mengalami serangan
tersebut dan para hacker mampu mengirimkan
pesan tipuan yang isinya permintaan untuk transfer
dana melalui layanan pesan SWIFT. Serangan
tersebut masih terus terjadi. Pada tahun 2016,

SWIFT mengidentifikasi serangan malware di
Bangladesh, Ekuador, Filipina dan Vietnam,
dengan kerugian $101 juta di Bangladesh dan $12
juta di Ekuador. Bagi industri yang sudah maju
seperti industri system pembayaran, startup Fintech
dapat memenuhi standar global yang tersedia
seperti PCIDSS. Namun demikian, untuk bidangbidang Fintech lainnya yang masih berkembang,
terdapat keterbatasan panduan, baik di tingkat
nasional maupun global, dimana perusahaan perlu
menjamin sistem keamanannya.

Pada awalnya, istilah fintech digunakan
untuk teknologi yang dipakai pada back-end customer
dan/atau institusi finansial yang sudah mapan. Namun,
krisis keuangan tahun 2008 menjadikan bank-bank
menyalurkan sumber daya mereka pada kebijakan baru
untuk memuaskan para regulator, namun hal ini
membuat mereka tidak mempunyai sisa dana lagi
untuk inovasi.
Sehingga timbullah sebuah pasar luas bagi
perusahaan kecil (khususnya startup) untuk
menciptakan
sebuah
produk inovatif,
yang
menyediakan solusi big data bagi institusi-institusi
finansial yang telah ada. Jadi, semenjak akhir
dekade pertama abad 21, istilah fintech sudah
berkembang melingkupi inovasi teknologi di sektor
finansial, termasuk inovasi di literasi dan edukasi
finansial, retail atau personal banking, commercial
banking, investasi dan bahkan crypto-currency
seperti bitcoin diperkirakan akan terus naik hingga
US$6-US$8 miliar pada 2018. Otoritas
Jasa
Keuangan
(OJK)
Indonesia mengklasifikasikan
perusahaan fintech dalam dua kategori, yaitu fintech
2.0 yang mencakup institusi finansial yang telah ada,
seperti perbankan digital; dan FinTech 3.0 yang
mencakup perusahaan pemulai (startup) dalam bisnis
perdagangan elektronik secara digital (e-commerce)
yang belum tersentuh dalam FinTech 2.0.

3) Manajemen risiko. Berbagai model bisnis Fintech
menggunakan kriteria underwriting yang nonortodoks, mengakibatkan risiko investasi lebih
tinggi bagi konsumen. Pihak regulator dalam
konferensi tersebut menyebutkan bahwa mereka
perlu mengevaluasi langkah-langkah untuk
menjamin perlindungan konsumen. Sebagai contoh,
Entrepreneurial Finance Lab (EFL), berupaya
menangani asimetri informasi yang dihadapi
lembaga keuangan dalam proses screening terhadap
usaha-usaha
kecil.
Untuk
melakukannya,
perusahaan pun membangun perangkat aplikasi
kredit biaya rendah berdasarkan psikometrik
melalui riset di Harvard Center for International
Development.
Aplikasi
ini
mengandung
pertanyaan-pertanyaan psikometrik yang disusun
secara internal dan dilisensi oleh pihak ketiga,
terkait perilaku, keyakinan, integritas dan kinerja,
demikian pula pertanyaan-pertanyaan umum serta
pengumpulan metada, seperti bagaimana pemohon
aplikasi berinteraksi dengan perangkat tersebut.
Setelah mengidentifikasi pertanyaan yang dapat
memperkirakan potensi risiko kredit, EFL
mengembangkan aplikasi komersial berdasarkan
respon pada perangkat kredit psikometrik serta
perilaku
selanjutnya.
Melihat
kecepatan
pertumbuhan industri, regulator perlu mewaspadai
potensi risiko sistemik yang muncul seiring dengan
pencapaian industri tersebut. Pasar pemberi
pinjaman P2P internet di Cina, misalnya, mulai
meluncurkan platform P2P pertamanya, PPdai pada
tahun 2007 dan mulai merebak di tahun 2013.
Namun demikian, sejak pertengahan tahun 2015,
semakin banyak pula platform serupa yang mulai
berguguran. Sementara pinjaman P2P belum

C. Tantangan Spesifik Industri Fintech
Selain tantangan spesifik yang dihadapi
Indonesia, industri Fintech juga menghadapi hambatan
global. Pembicara IFFC juga membahas beberapa
tantangan-tantangan besar, dengan fokus utama pada
permasalahan keandalan data dan manajemen risiko:
1) Keandalan Data. Kami melihat beberapa kasus
manipulasi data oleh para pelaku Fintech di Cina,
yang menyebabkan integritas data patut untuk
dipertanyakan. Sebagai contoh, Ezubao, pemberi
pinjaman secara daring (online) yang dibentuk oleh
seorang pengusaha Cina, Ding Ning, pada tahun
2014, dan dengan pesat menjadi pemberi pinjaman
peer-to-peer terbesar di Cina. Perusahaan ini
menarik 50 miliar yuan ($7.6 miliar) dari hampir 1
juta investor dan nasabah platform peer-to-peer
Cina, yang relatif miskin dan tidak memiliki
pengalaman dengan lembaga keuangan. Perusahaan
yang dimulai sebagai bisnis menjanjikan ini
akhirnya berakhir tidak sesuai harapan. Risk
controller Ezubao, Yong Lei, mengungkapkan pada
tahun 2015 bahwa 95 persen dari proyek-proyek
perusahaan bukan merupakan proyek aktual.
Bahkan setelah menjanjikan return tahunan mulai
dari 9 persen hingga lebih dari 14 persen kepada
investor, Ding Ning menghabiskan dana lebih dari
1 miliar yuan untuk pengeluaran pribadi.
Pemerintah segera membekukan aset perusahaan
yang dinyatakan sebagai skema Ponzi (penipuan
investasi)— sangat disayangkan, padahal terbesar
di dunia dari segi jumlah depositor.

3

merupakan bagian signifikan dalam sistem
keuangan, kendali risiko tetap menjadi perhatian
khusus, Fintech seringkali kurang diposisikan
dengan baik dan tidak memiliki mekanisme, tim,
serta model risiko untuk membangun sistem
manajemen
risiko
yang
komperehensif
sebagaimana terdapat pada lembaga-lembaga
keuangan biasa.

seperti deposit, pinjaman, dan suntikan modal,
maka dana atau uang tersebut harus disimpan di
sistem perbankan umum, bukan di lembaga
keuangan nonbank,” tegasnya.
Salah satu hal terpenting juga adalah
tentang
meraih
kepercayaan
customer dan
menjaganya
dengan
baik.
Semuanya
harus
diinvestasikan
dalam
hubungannya
dengan
pengalaman customer, supaya mereka merasa bahagia
dan puas dengan adanya fintech, baik yang startup
berdiri sendiri maupun yang bekerja sama dengan
institusi finansial lainnya.

D. Peran Regulator untuk Perkembangan Fintech
Perkembangan
bisnis
fintech
sangat
dipengaruhi oleh faktor kepercayaan (trust). Jika
masyarakat tidak percaya, bisa dipastikan bahwa
bisnis mereka tidak akan berkembang. Sehingga, salah
satu faktor penting untuk meningkatkan kepercayaan
publik adalah adanya rezim pengaturan (regulatory
regime) untuk melindungi kepentingan umum di
satu sisi, namun tetap memperhatikan ruang
pengembangan bisnis bagi industri di sisi lainnya.
OJK, sebagai salah satu regulator fintech,
akan
membentuk
Satuan
Tugas
(Satgas)
Pengembangan Inovasi
Digital
Ekonomi dan
Keuangan. Kemudian, lembaga ini juga akan
menerbitkan Peraturan OJK (POJK) untuk pelaku
industri fintech, supaya nantinya tercipta lingkungan
yang lebih kondusif bagi perkembangannya di
Indonesia.
Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK
Muliaman D. Hadad mengharapkan, kegiatan fintech
bisa menjadi mainstream Untuk regulasi fintech,
OJK akan menerapkan pendekatan “regulatory
sandbox”. Dengan pendekatan ini, semua pelaku
fintech
diharapkan
bisa mempunyai
ruang
eksperimen yang cukup. Misalkan hanya ditawarkan
pada nasabah tertentu dan tenor terbatas, sebelum
ditawarkan secara lebih luas lagi. Ini untuk
menghindari terjadinya massive failure yang dapat
merugikan konsumen maupun stabilitas sektor jasa
keuangan.
“Pengembangan
industri
fintech
ke
depannya juga tidak akan berjalan baik tanpa
koordinasi dan sinergi dari berbagai pemangku
kepentingan. Yakni regulator, institusi finansial,
investor, startup, inkubator, asosiasi industri, serta
kalangan akademisi. Mulai dari penyediaan
infrastruktur regulasi, dukungan insentif bagi
pembiayaan usaha startup, hingga edukasi dan
pembinaan bagi para calon- calon pengusaha startup
fintech. Ini sebagai langkah menuju fase yang lebih
advance, yaitu fase banking anywhere,” ungkap
Muliaman.
Kemudian, BI menyatakan ada tiga hal
yang wajib dilakukan perusahaan fintech dalam
menjalankan
bisnisnya.
Gubernur BI,
Agus
Martowardojo, mengatakan bahwa layanan keuangan
berbasis teknologi tersebut harus mempunyai
institusi dan badan hukum di Indonesia; dan kalau
transaksinya di Indonesia harus menggunakan mata
uang rupiah. “Misalkan kegiatan bisnis fintech-nya

II. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan Penulisan ini bertujuan untuk melihat
bagaimana menciptakan sebuah konsep finansial
fintech yang menggunakan bantuan teknologi
informasi untuk menghadirkan layanan pinjam
meminjam uang dengan mudah.
III. BATASAN MASALAH
Pada Penulisan paper ini ruang lingkup dan batasan
masalah hanya dibatasi pada industri FinTech di
Indonesia dan system FinTech di Indonesia.

IV. METODOLOGI
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif
yang dikaitkan dengan tujuan penelitian mengenai
fintech di Indonesia.
A. Studi Pustaka
Serangkaian kajian studi pustaka telah dilakukan
yang dirangkum melalui jurnal, artikel, survei dan
halaman situs terkait teknologi FinTech dan
hubungannya dengan hukum dan peraturan.
1) Jurnal Artajasa edisi 65/Juli – Desember 2016
Infrastruktur teknologi informasi (TI)
di
Indonesia
seharusnya
semakin dikuatkan
dalam
rangka
mendukung perjalanan
perusahaan fintech di masa depan. Misalnya
harus disediakan sistem aplikasi yang andal
(mobile application, web application, artificial
intelligence, robotic, big data analytics), koneksi
jaringan yang baik (broadband internet, 4G,
Google Balloon), data center yang murah
dan mumpuni (co-location, managed service,
clouds computing), identitas penduduk yang
valid (KTP elektronik), dan teknik otentikasi
yang kuat (cryptography, digital signature,
digital
certificate,
one
time password,
biometric verification).
2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77
/POJK. 01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Menimbang 1). bahwa teknologi informasi
telah
digunakan
untuk mengembangkan
industri keuangan yang dapat mendorong

4

tumbuhnya
alternatif
pembiayaan
bagi
masyarakat; 2).bahwa
dalam
rangka
mendukung pertumbuhan Lembaga Jasa
Keuangan Berbasis Teknologi Informasi
sehingga dapat lebih berkontribusi terhadap
perekonomian nasional; 3). bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Jasa
Keuangan Berbasis Teknologi Informasi;

menyelenggarakan layanan. Terkait dengan data
center, Penyelenggara FinTech Lending wajib
menempatkan pusat data dan pusat pemulihan
bencana di Indonesia.
V. PEMBAHASAN
1. Sistem FinTech Lending
Peer to Peer Lending merupakan sebuah

konsep finansial yang menggunakan bantuan teknologi
informasi untuk menghadirkan layanan pinjam
meminjam uang dengan mudah. POJK atau Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan beberapa aturan
dalam pelaksanaan Peer to Peer Lending. Beberapa
aspek yang diatur oleh OJK termasuk kelembagaan,
penyelenggaraan fintech (financial technology),
produk, hingga penggunaan teknologi informasi.
Melalui artikel berikut, Finansialku akan menjabarkan

Pasal 5 Ayat (2) menyebutkan : Yang dimaksud
dengan “penyelenggara layanan jasa keuangan
berbasis teknologi informasi” antara lain
penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis
teknologi informasi di bidang
sistem pembayaran, perasuransian, dana
pensiun, lembaga keuangan mikro, pembiayaan,
modal ventura, pergadaian, atau penjaminan.

sistem Peer to Peer Lending dan Fintech Lending.
Peer to Peer Lending merupakan suatu sistem
yang memungkinkan pendana dan peminjam untuk
melakukan proses pinjam meminjam secara online.
Sistem ini disebut peer to peer karena dilakukan oleh
sesama pengguna awam, dan bukanlah oleh lembaga
resmi seperti bank atau koperasi. Peer to Peer
Lending merupakan wadah untuk bertransaksi baik jika
Anda ingin meminjam sejumlah dana untuk
mengembangkan bisnis, atau jika Anda ingin
berinvestasi dengan meminjamkan sejumlah dana dan
berperan
sebagai
investor. Peer
to
Peer
Lendingmerupakan sistem yang tepat jika Anda
menginginkan pinjaman pribadi yang cepat atau bagi
Anda yang memiliki dana berlebih dan masih bingung
kemana Anda ingin menginvestasikannya.

Dalam POJK 77/2016, layanan pinjam
meminjam berbasis teknologi informasi
didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan
jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi
pinjaman dengan penerima pinjaman dalam
rangka melakukan perjanjian meminjam dalam
mata uang rupiah secara langsung melalui
sistem elektronik dengan menggunakan
jaringan internet.
3) Artikel youngsters.id
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam situs
resminya menyatakan telah hadirnya Peraturan
Otoritas
Jasa
keuangan
Nomor
77
/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
dan diundangkan pada 29 Desember 2016.
Dalam aturan yang diunggah itu dinyatakan
Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasiadalah
badan hukum Indonesia yang menyediakan,
mengelola, dan mengoperasikan Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi. Sementara untuk kepemilikan saham
Penyelenggara oleh warga negara asing
dan/atau badan hukum asing baik secara
langsung maupun tidak langsung paling banyak
85% di FinTech LendingPenyelenggara
berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan
koperasi wajib memiliki modal disetor paling
sedikit Rp1 miliar pada saat pendaftaran.
Penyelenggara wajib memiliki modal disetor
paling sedikit Rp2,5 miliar pada saat
mengajukan permohonan perizinan. Sedangkan
batas maksimum pinjaman yang diberikan
adalah senilai Rp 2 miliar.
Pemain FinTech Lending wajib menggunakan
escrow account dan virtual account dalam

2. Regulasi Terkait Peraturan Peer to Peer Landing
Salah satu perusahaan yang menjalankan Peer
to Peer Lending yaitu KoinWorks, dimana perusahaan
ini menyediakan platform untuk mempertemukan
pendana
dan
peminjam.
Peer
to
Peer
Lending memungkinkan untuk memberi keuntungan
finansial kepada dua belah pihak, baik Anda sebagai
pendana ataupun sebagai peminjam. Namun, serupa
dengan kegiatan finansial lainnya, sistem ini juga
memiliki risiko sehingga Anda harus berhati-hati
dalam pelaksanaannya.
Sebelum dirilis secara resmi oleh OJK,
skema Peer to Peer Lending sudah lama digunakan
dan telah berkembang dengan sangat pesat. Peer to
Peer Lending sangat berpotensi dan berkontribusi
secara besar dalam peningkatan inklusi keuangan.
Namun, sebelumnya belum ada aturan yang membantu
menjembatani pendana dan peminjam dalam
bertransaksi menggunakan skema Peer to Peer
Lending. Dibutuhkan sejumlah aturan demi keamanan
perusahaan dan peminjam dalam transaksi yang
dilakukan, agar sistem ini dapat terus berkembang dan
tidak disalah gunakan oleh penggunanya. Oleh karena
itu, OJK kemudian merilis sejumlah aturan terkait Peer

5

to Peer Lending sesuai pernyataan dari Ketua Dewan
Komisioner OJK

dengan baik. Semuanya harus diinvestasikan dalam
hubungannya dengan pengalaman customer, supaya
mereka merasa bahagia dan puas dengan adanya
fintech, baik yang startup berdiri sendiri maupun yang
bekerja sama dengan institusi finansial lainnya.

3. Isu Isu yang Mendasari Peraturan Peer to Peer
Lending

Selain itu, infrastruktur teknologi informasi (TI) di
Indonesia seharusnya semakin dikuatkan dalam rangka
mendukung perjalanan perusahaan fintech di masa
depan. Misalnya harus disediakan sistem aplikasi yang
andal (mobile application, Manfaat Fintech untuk
Indonesia Pada negara berkembang seperti Indonesia,
dengan tingkat penetrasi keuangan, fintech dapat
berperan mempercepat perluasan jangkauan layanan
keuangan.

Menurut Dewan
Komisioner
OJK
peraturan Peer to Peer Lending didasari oleh beberapa
isu strategis sebagai berikut:
1.

2.

Ditujukan
untuk
mengupayakan
potensi Fintech (financial technology) dalam
meningkatkan akses masyarakat terhadap
produk jasa keuangan.
Fintech juga diupayakan agar dapat
membantu proses pembiayaan secara cepat,
mudah, dan efisien.

VII SARAN DAN MASUKAN

3.

Mengupayakan pengembangan bisnis pinjam
meminjam sehingga dapat menjadi salah satu
solusi utama bagi peminjam untuk
mengembangkan usahanya.
Peraturan Peer to Peer Lending diharapkan
dapat meningkatkan kepercayaan investor sehingga
mau berinvestasi pada Fintech Lending. Dengan tujuan
membantu pelaku UKM memperoleh dana untuk
mengembangkan usahanya. Skema yang dirancang
berupa proses peminjaman uang dimulai dari
peminjam yang akan mengajukan permintaan untuk
meminjam sejumlah uang dari pihak Fintech Lending.
Permohonan Anda bisa diterima atau pun
ditolak, tergantung dari beragam faktor. Jika pengajuan
Anda diterima, maka suku bunga pinjaman diterapkan
kemudian pengajuan pinjaman Anda akan dimasukkan
dalam marketplace yang tersedia agar semua pendana
bisa melihat pengajuan pinjaman Anda. Kemudian
akan dilanjutkan dengan verifikasi identitas oleh
pihak Fintech lending yang menjadi salah satu syarat
sebelum proses pencairan dana pinjaman dilakukan.
Langkah ini dianjurkan oleh OJK demi keamanan
kedua pihak dalam bertransaksi dalam marketplace
online, yang dalam kasus ini dibantu oleh Fintech
Lending seperti
KoinWorks.
Dengan
tujuan
mengurangi penyalahgunaan sistem ini agar sistem ini
terus berkembang dan tidak hilang ditelan teknologiteknologi baru.

Fintech memiliki prospek yang sangat luar biasa di
Indonesia dilihat dari tingginya komitmen dari
stakeholder dalam meningkatkan inklusi keuangan dan
berinovasi. Komitmen juga dirasakan dari partisipasi
tinggi para pejabat Pemerintah serta para pemangku
kepentingan industri terkait. Berikut saran dan
masukan penulis untuk kemajuan Fintech di Indonesia:
1) Menetapkan satu pintu untuk Fintech
Perusahaan-perusahaan Fintech beroperasi dan
berhubungan dengan berbagai regulator terkait
(misalnya OJK untuk jasa keuangan, Menkominfo
untuk TI/teknologi, dan BI untuk pembayaran –
bagi sebagian pelaku). Para pelaku industri
meyakini bahwa dengan keberadaan regulator
utama yang bertindak sebagai otoritas industri
terkait akan dapat memberikan arahan lebih jelas
dan memungkinkan mereka bertumbuh dengan
lebih cepat. Para pelaku industri juga mendukung
dan mendorong inisiatif peluncuran Inkubator
Fintech sebagaimana yang diumumkan oleh OJK
dan KADIN pada IFFC 2016. Beberapa negara lain
telah menerapkan pendekatan serupa. Di
Singapura, Monetary Authority of Singapore
(MAS) dan National Research Foundation (NRF)
membentuk FinTech Office bersama tahun 2016
sebagai suatu entitas virtual one-stop yang
melayani seluruh bidang terkait Fintech. Di Inggris,
Financial Conduct Authority (FCA) meluncurkan
Innovation Hub pada tahun 2014 sebagati pusat
panduan bagi para pelaku bisnis baru dan yang
telah ada (baik yang diatur maupun tidak) guna
membantu memahami kerangka regulasi serta
menyiapkan
dan
mengajukan
permohonan
otorisasi.

VI KESIMPULAN
Masalah regulasi atau peraturan terhadap
fintech juga harus diperhatikan oleh Pemerintah
Indonesia. Terutama jika ada uang masyarakat yang
jadi bagian di dalamnya. “Yang merupakan ultimate
source of fund (di masa depan) sebenarnya tetap bank
account, dan ini yang harus dijaga Pemerintah. Sebab,
kalau produk fintech yang berupa virtual money atau
e-wallet, bisa saja kan uangnya raib diambil, atau
malah mereka “mencetak” uang dan menambah
saldonya sendiri. Salah satu hal terpenting juga adalah
tentang meraih kepercayaan customer dan menjaganya

2) Penyelarasan proses perizinan dan pendaftaran
Para pelaku industri mengusulkan pembagian peran
yang jelas antara para regulator dalam mengelola
Fintech di Indonesia, untuk meminimalkan
tumpang tindih sekaligus memperoleh kejelasan.
Para pelaku Fintech yang ada saat ini beroperasi
dengan beragam izin usaha, mulai dari konsultan

6

manajemen, jasa portal internet, hingga broker
keuangan, dan masih banyak lagi. Di sisi lain,
model-model bisnis baru seperti pinjaman P2P,
agregasi rekening atau pembayaran dengan
blockchain, membutuhkan perizinan yang lebih
spesifik untuk memberi akses lebih luas terhadap
perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah
terhadap perusahaan, tingkat kenyamanan lebih
tinggi bagi para pemangku kepentingan, serta
peluang ekspansi lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA
K. Widiasri, “Regulasi Telekomunikasi Indonesia Dalam
Melindungi Konsumen Di Bidang Telekomunikasi
Menurut Hukum Positif Indonesia,” J. Ilm., 2014.

Jurnal Artajasa edisi 65/Juli – Desember 2016
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77
/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi

3) Mendorong eksperimentasi melalui regulatory
sandbox
Para pelaku industri mengharapkan kerangka
regulasi yang memungkinkan percobaan sekaligus
penawaran lapangan usaha bagi para pebisnis baru.
Sebagai referensi, Monetary Authority of Singapore
(MAS) menetapkan kerangka regulasi yang
memungkinkan
perusahaan
serta
lembaga
keuangan melakukan percobaan dengan solusi
Fintech, namun tetap pada lingkup dan durasi yang
ditetapkan dengan baik. Tetap mematuhi kerangka
regulasi yang ada, sebagai contoh, MAS sedikit
melonggarkan beberapa persyaratan khusus. Para
pelaku industri meyakini bahwa pendekatan serupa
juga dapat diterapkan di Indonesia untuk
menyeimbangkan kebutuhan atas inovasi dan
stabilitas keuangan; menerima kegagalan yang
mungin terjadi namun tetap dalam kendali.

Walter Pinem. 31 Desember 2016. Peraturan Peer to
Peer Lending Resmi Dirilis Oleh OJK.
Koinworks.com – https://goo.gl/Tj5ucu
Walter Pinem. 4 Oktober 2016. Semua yang Perlu
Anda Ketahui Tentang Peer to Peer Lending (P2P
Lending). Koinworks.com – https://goo.gl/lJkzEZ

4) Menambahkan Fintech dalam kerangka
perlindungan konsumen Indonesia
Di tengah proses pembelajaran konsumen yang
berkesinambungan tentang industri Fintech, diskusi
mengenai cyber security dan perlindungan data
menjadi sangat vital. Dengan pemahaman tersebut,
para pelaku industri pun menyarankan penyesuaian
regulasi
terkait
perlindungan
konsumen—
diantaranya dengan menambahkan Fintech ke
dalam kerangka kerja perlindungan konsumen
Indonesia serta memberi penegasan regulasi atas
hak konsumen dalam hubungan usaha dengan
perusahaan Fintech. Kerangka kerja tersebut perlu
menangani permasalahan-permasalahan utama
mulai dari kerahasiaan dan keamanan data yang
disampaikan konsumen hingga integritas dan
reliabilitas data yang disajikan perusahaan Fintech
kepada masyarakat.

7