JURUSAN DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA ARAB PR
JURUSAN DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Studi filsafat harus membatu orang-orang dalam membangun keyakinan keagamaan
berdasarkan kematangan intelektualitas. Filsafat dapat dapat mendukung kepercayaan
keagamaan seseorang, asal kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah
yang usang, sempit dan dogmatis.
Filsafat tidak hanya diketauhi, tetapi harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang
mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan yang
dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus
hidup sebagai manusia yang baik dan bahagia. Bisa digaris bawahi tujuan filsafat adalah
mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam hal logika (kebenaran berfikir), etika
(berperilaku), maupun meta fisik (hakikat keaslian)[1].
Pengetahuan yang di sempurnakan maka di sebutlah dengan ilmu, ilmu memiliki dua macam
objek material dan objek formal[2], sedangkan sejarah jika dipandang lebih sebagai khasanah
daripada sebagai kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra
sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya , bahkan oleh para
ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang
direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang
dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan kejujurannya[3].
Thomas Kuhn telah menggunakan sejarah sebagai dasar untuk menyusun gagasan
paradigmanya. Sejarah telah membantunya untuk menemukan konstelasi fakta, teori, dan
metode-metode yang tersimpan di dalam buku-buku teks sains. Dengan jalan begitu, Kuhn
menemukan suatu proses perkembangan teori yang kemudian disebutnya sebagai proses
perkembangan paradigma yang bersifat revolusioner.
Apa yang disebut dengan filsafat ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn The
Structure of Scientific Revolutions. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan
filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana
intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight
dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang
jarang dapat ditandingi. Banyak ilmuwan, kata Barbour, merasa at home dengan karya
tersebut, karena ia seringkali memberikan contoh konkrit dari sejarah sains dan tampaknya
mendeskripsikan sains sebagaimana mereka mengetahuinya, dan mengundang sikap kritis
terhadap disiplin ilmu yang ditekuni.
Dalam hal apa dan bagaimana karya Kuhn memberi pencerahan intelektual, secara
epistemologis menjadi penting untuk dijawab. Terlepas dari keterkaitannya dengan sainssains natural dan sains-sains behavioral, wilayah disiplin keilmuan tersebut yang
dikembangkan gagasannya oleh Kuhn[4].
Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model yang terdahulu adalah
perhatian besar terhadap sejarah ilmu, dan peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan
serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya
terjadi[5].
Untuk itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Thomas Kuhn khususnya
dalam hal revolusi sains.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan paradigma revolusi sains?
2. Apakah urgensi sejarah ilmu menurut pandangan Kuhn?
3. Bagaimanakah siklus paradigma revolusi sains?
4. Bagaimanakah kritik terhadap pemikiran Kuhn?
1. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian paradigma revolusi sains.
2. Mengetahui urgensi sejarah ilmu menurut pandangan Kuhn.
3. Mengetahui siklus paradigma revolusi sains.
4. Mengetahui kritik terhadap pemikiran Kuhn.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian paradigma revolusi sains
1)
Paradigma
Paradigma dimbil dari bahasa Inggris, paradigm. Dari bahasa Yunani, para deigma dari kata
para (di samping, di sebelah), dan dekynai ( memperlihatkan; yang berarti model, contoh,
arketipe, ideal)[6].
Bebarapa pengertian lain adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Dalam ilmu pengetahuan : Model, pola, ideal. Dari model- model ini, fenomena yang
dipandang , dijelaskan.
3. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.
Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah,
yang dalam konseptualisasi khun menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru[7].
Paradigma merupakan konsep sentral yang dibahas oleh Kuhn. Istilah ini tidak dijelaskan
secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti,
dalam hal ini Kuhn mengartikan paradigma dengan beberapa pengertian sebagai berikut:
Paradigma merupakan contoh praktek ilmiah nyata yang diterima yang mencakup
dalil, teori, penerapan dan instrumentasi yang dari padanya lahir tradisi-tradisi tertentu dan
riset ilmiah.
Paradigma adalah kerangka referessi yang mendasari sejumlah teori maupun praktek
ilmiah dalam periode tertentu[8].
Dalam pandangan Kuhn, kebenaran sains itu relatif dan sangat tergantung pada social factor
yag berupa masyarakat ilmuwan. Sains tidak bisa memberikan kebenaran sui-generis,
kebenaran objektif dan satu-satunya. Ia hanya memberikan kebenaran tentatif[9]. Dengan itu
Kuhn menyatakan bahwa ilmu tidak terlepas dari fakor ruang dan waktu[10].
Kuhn mengatakan paradigma yang dimaksudkan tidak sama dengan“model” atau “pola”,
melainkan lebih dari itu.Paradigma dalam pandangan Kuhndigunakan dalam dua arti.
Pertama, sebagai keseluruhan konstelasi, nilai danteknik, dan sebagainya yang dimiliki
bersama oleh anggota komunitas ilmiah tertentu. Kedua, sejenis unsur dalam konstelasi
tersebut, pemecahan teka-teki yangkonkret, yang digunakan sebagai model atau contoh, dapat
menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar teka-teki sains yang normal, yang
masih tersisa[11].
2)
Revolusi
Secara umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat- syarat
tersebut. Misalnya revolusi Perancis yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Sejarah
modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula revolusi Perancis, kemudian
revolusi Amerika. Namun, revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk
mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat
domestik seperti revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang
kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilih menjadi
dua : revolusi social dan revolusi nasional[12].
Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian
menggantinya dengan tatanan yang baru sama sekali.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, di mana paradigma lama
diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Transformasitransformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainya
melalui revolusi. Adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan
revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan[13].
Dalam pemilihan paradigma tidak adastandar yang lebih tinggi daripada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi,
tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika saja, tetapi juga tehnik-tehnik
argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang
membentuk masyarakat sains itu[14].
3)
Sains
Pengertian sains /ilmu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
Ashley Montagu menyebutkan bahwa “Science is a systemized knowledge services
form observation, study, and experiment carried on under determine the nature of principles
of what being studied.” (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu
system yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan
prinsip hal yang sedang dipelajari).
Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common sense
yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau
peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis).
Jadi Paradigma Revolusi Sains adalah Perubahan mendasar yang merupakan episode
perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh
paradigma baru yang ber-tentangan, karena adanya fakta-fakta ilmiah yang tidak sesuai
dengan kenyataan[15].
1. Urgensi Sejarah Ilmu Menurut Pandangan Kuhn
Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utamanya dalam menyoroti
permasalahan-permasalahan yang fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih
menjadi teka-teki. Dengan kejernihan pikiran, ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya
lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya.
Karena begitu antusiasnya kepada kesadaran akan pentingnya sejarah dan khususnya sejarah
ilmu, ia mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu yang baru.
Gagasan Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada filsafat
ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper menjungkir balikkan kenyataan dengan terlebih
dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan
upaya falsifikasi. Namun justru Popper menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai
contoh untuk menjustifikasi teorinya[16].
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah
ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa
semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Jika hal ini dilakukan
maka jelaslah bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang mendalam selama sejarah ilmu
justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori
atau sistem, melaikan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Dengan demikian Kuhn
beranggapan bahwa kemajuan itu pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara
kumulatif[17].
Dengan konsep pemikiran ini, Kuhn tidak hanya sekedar memberikan kontribusi besar dalam
sejarah dan filsafat ilmu saja, tetapi lebih dari itu, teori-teori yang digagasnya mempunyai
implikasi yang luas dalm ilmu-ilmu sosial, seni dan lain sebagainya.
1. Siklus Paradigma Revolusi Sains
Istilah paradigma menjadi begitu popular setelah diintroduksikan oleh ThomasKuhn melalui
bukunya The Structure of Scientific Revolution yang membicarakan tentang Filsafat Sains.
Khun menjelaskan bahwa siklus revolusi sains adalah: Paradigma awal, Normal Sains,
Anomali, Krisis, Revolusi Sains, Paradigma Baru.
1)
Paradigma Awal
Paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam
cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari
pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok ilmuwan
bahwa masalah-masalah itu rawan, maka ilmuwan dalam hal ini bersaing mengumpulkan
fakta tanpa menghiraukan kaidah-kaidah teoritisnya. Pada tahap ini terdapat sejumlah aliran
yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara
umum. Namun perlahan-lahan salah satu sistem yang teoritikal mulai memperoleh
penerimaan secara umum dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk, dan
dengan terbentuknya paradigma itu kegiatan ilmiah sebuah disiplin memasuki periode
Normal Sains.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak
dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks
dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn di
maksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima
(yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi)
menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah[18].
Atau ia dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun
praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan
berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan halhal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai
berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul
krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan
sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada caracara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu
paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika
yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah[19].
Beberapa contoh kasus paradigma awal diantaranya :
Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau
perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian
besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang
belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus
betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus[20]. Ptolemeus
mengatakan bahwa bumi tidak bergerak, matahari dan bintang-bintanglah yang bergerak
mengelilingi bumi. Saat itu para tokoh agama dan dosen-dosen universitas di seluruh Italia
mengganggap ajaran Aristoteles dan Ptolemeus adalah ajaran yang paling benar. Karena,
mereka salah menafsirkan sepenggal ayat yang tedapat dalam Kitab Suci. Sementara itu,
Galileo tetap mempertahankan teorinya dan mendukung teori Copernicus yang mengatakan
bahwa matahari adalah pusat tata surya. Akibatnya, ia ditangkap para tokoh agama, diadili,
dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah. Galileo meninggal pada usia 78 tahun di
Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642 karena demam. Namun, meskipun demikian teoriteorinya tetap dipakai seluruh orang di dunia hingga kini.
Pada bidang fisika, mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud
mekanis kuantum yang memperlihahatkan beberapa karasteristik gelombang dan partikel.
Teori ini menjadi landasan rist selanjutnya, yang hanya berumr setengah abad ketika muncul
teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus.
Teori ini sempat diterima oleh hampir semua pemraktik sains optika, namun kemudian
muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih unggul yang digagas oleh Young dan Fresnel
pada awal abad ke-19 yang selanjutnya dikemabngkan oleh Panck dan einsten, yaitu bahwa
cahaya adalah gerakan gelombang transversal.
Berbagai transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, sedangkan transisi yang
berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi adalah pola
perkembangan yang biasa dan sains yang telah matang.
2)
Normal Sains
Kuhn menyebut Normal Sains sebagai suatu kegiatan penelitian yang secara teguh
berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah di masa lalu yakni pencapaian-pencapaian
yang oleh komunitas ilmiah pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk
praktek selanjutnya[21]. Normal Sains memiliki dua esensi yakni:
(1) Pencapaian ilmiah itu cukup baru sehingga menarik para praktisi ilmu dari berbagai
aliran, menjalankan kegiatan ilmiah, maksudnya dihadapkan pada berbagai alternatif cara
menjalankan kegiatan ilmiah. Sebagian besar praktisi ilmu cenderung untuk memilih dan
mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan ilmiah mereka.
(2) Pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang
memeprlukan penyelesaian oleh praktisi ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian
itu. Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak
bersifat evolusioner atau kumulatif.
Normal Sains bekerja berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku, oleh karena itu
pada dasarnya penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar melainkan
hanya untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah Normal Sains hanya bertujuan
untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya paradigma
tersebut dapat diaplikasikan. Jadi Normal Sains adalah jenis kegiatan ilmiah yang sangat
restriktif dan keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian itu akan semakin
memberikan hasil yang mendalam. Para ilmuwan dalam Normal Sains biasanya bekerja
dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan
paradigm dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi
terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal adalah
seperti kegiatan memecahkan teka teki atau diistilahkan “puzzle solving”. Implikasinya
adalah bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih
mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang
bersangkutan atau metode yang digunakan.
3)
Anomali dan Munculnya Penemuan Baru.
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali
dengan kegiatana ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam kegiata ilmiah yaitu
puzzle solving dan penemuan paradigma baru.
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang
tujuannya memecahkan teka-teki bukan untuk mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak
dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan penting atau malah mengakibatkan
konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah
selanjutnya diarahkan pada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan bari ini berhasil
maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa terasing, melaikan episode-episode yang diperluas dengan
struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran adanya anomali,
yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara telah melanggar pengharapan yang
didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan
eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan itu hanya berakhir jika
teori atau paradgma itu telah disesuaikan, sehingga yang menyimpang itu menjadi yang
diharapkan. Jadi yang jelas dalam penemuan baru nharus ada penyesuaian antara fakta dan
teori yang baru. Kuhn membedakan antara istilah discovery dan invention. Discovery adalah
kebaruan faktual (penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan) yang
mana keduanya saling terjalin erat dalam penemuan ilmiah[22].
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru baik yang tidak sesuai dengan
skema yang ada (data anomali), adakalanya seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru itu dengan skema yang ia miliki. Pengalaman yang baru ini bisa jadi
sama sekali tidak cocok dengan paradigma yang ada. Dalam keadaan seperti ini orang
tersebut akan mengadakan akomodasi, yaitu membentuk skema baru yang dapat sesuai
dengan rangsangan yang baru, atau modifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan data
anomali itu. Inilah yang disebut revolusi skema[23].
4)
Krisis Sains.
Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus
konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif –
kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya
lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru . Kita asumsikan bahwa krisis
merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru.
Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan
alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka
kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti
meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.
Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok – bahwa
tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula
diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia.
Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk
menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan
perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain. Sains yang normal
berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada
kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji
atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan
menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada
kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat
diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan. Kadang-kadang
sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang membangkitkan krisis
meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai akhir dari suatu paradigma
yang ada.
Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul
dari tradisi baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan
artikulasi atau perluasan paradigma yang lama. antisipasi sebelumnya bisa membantu kita
mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama
karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas
munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya sebagai
embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah
banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan
ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang normal
kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini
ketimbang pada revolusi-revolusi.
5)
Revolusi Sains.
Kemudian revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah
dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma lama yang menjadi
referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang
lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan
yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini
terjadi, maka lahirlah revolusi sains.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama
diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang ber-tentangan. Transformasitransformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya
melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan
revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda ketika menggunakan
instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah
dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di
mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda,
berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima
paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah
dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka
aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.
Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di
dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang
bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa
hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima
paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan
legitimasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu
dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga
teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat
khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma
sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh
retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma
baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika
menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang
pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah
lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang
berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal
Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya,
dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat
dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya
merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali [24].
6)
Paradigma Baru.
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima
paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada
standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk
menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan
dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompokkelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu per-masalahan paradigma
sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh
retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh
mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang,
dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai pembimbing
kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan
dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam karena tidak sibuk dengan halhal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika
paradigma itu mewakili karya yang telah dilakukannya. Paradigma Baru memperoleh status
karena:
(a)
Berhasil memecahkan masalah-masalah dalam praktek
(b)
Memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta yang oleh paradigma diperlihatkan
sebagai pembuka pikiran
Jadi dengan menggunakan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk sejumlah contoh
praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui di lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan
model-model yang mendasarkan lahirnya tradisi ilmiah yang terpadu. Contoh praktek ini
mencakup dalil-dalil, teori penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan
yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama yang pada dasarnya terikat pada
aturan dan standar yang sama pula dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan
standar ini adalah prasyarat bagi adanya Normal Sains. Jadi secara umum dapat dikatakan
bahwa paradigma itu adalah gejala atau cara pandang atau kerangka berpikir yang
mendasarkan fakta atau gejala disinterpretasi dan dipahami. Hanya masalah yang memenuhi
kriteria yang diderifiasi dari paradigma saja yang dapat disebut masalah ilmiah yang layak
digarap oleh ilmuwan. Dengan demikian maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi
tradisi penelitian yang normal. Aturan penelitian diderivasi dari paradigma namun menurut
Kuhn, tanpa adanya aturan ini paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian.
Jadi ilmuwan normal sebenarnya,tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar
(yang disepakati oleh komunitas ilmiah.
1. Kritik Terhadap Pemikiran Kuhn
Pemikiran Kuhn yang bisa dibilang radikal itu, mendapat tanggapan yang luas dari banyak
kalangan. Sikap pro dan kontra bermunculan dari para ilmuan. Tim healy, misalnya, dari
Santa Clara mengakui bahwa teori “paradigm shift” Kuhn memang benar. Semua kehidupan,
keilmuan, sosial, agama, dll, terbukti mengalam “paradigm shift”. Bahkan menurut Healy,
teori paradigm shift dapat dipakai untuk memahami segala persoalan hidup.
Steven Hodas, membrikan komentar yang menarik. Menurutnya, pemikiran Kuhn
mengagetkan mayoritas masyarakat Amerika era 1960-an, yang meyakini keberhasilan sains
dalam mencapai kebenaran final. Kuhn menggagalkan semua keyakinan ini, dengan
menyatakan bahwa kebenaran sains tak lebih hanyalah a culture practice. Oleh karena itu,
kebenaran sains itu relatif. Komentar Hodas ini berdekatan dengaan Weinberg, menurutnya
yang menjadikan Kuhn tampak seprti seorang pahlawan bagi para filsuf, sejarawan, sosiolog,
dan budayawan antikemapanan adalah kesimpulannya yang skeptis-radikal tentang
kemampuan sains dalam menentukan kebenaran. Dengan demikian, sains tak ubahnya seerti
demokrasi atau permainan base ball, sebuah konsensus sosial. Weinberg mengkritik Kuhn
tentang incommensurable (dua paradigma yang tak bisa didamaikan) yang oleh karena itu
ilmuwan tak bisa menengok kembali paradigma lama. Menurut Weinberg, Kuhn keliru dalam
hal ini. Pada kenyataannya, pergeseran paradigma tidak otomatis mengakibatkan kita tak lagi
bisa memahami realitas ilmiah dengan paradigma lama.
Kuhn juga mendapat kritikan dari banyak kalangan, karena tidak memberikan definisi yang
tegas tentang istilah “paradigm” yang dia sebut berulang-ulang dalam bukunya. Di samping
itu, ia juga dikritik karena terlalu mendramatisir pertentangan sehingga menjadi “revolusi”
antara normal science lama dengan yang baru.
Kritik paling mendasar datang dari Imre Lakatos. Menurutnya, teori Kuhn tentang revolusi
sains memang menakjubkan. Tetapi, sayang ia miskin metodologi normatif. Atas kriteria apa
suatu paradigma bisa dianggap unggul dan berhak menjadi paradigma tunggal bagi normal
science? Kuhn ternyata hanya melemparkan persoalan ini pada centific community. Sebuah
eori yang tidak tuntas. Oleh karena iu, Laktos tampil kedepan untuk menjawab problem yang
disisakaan oleh Kuhn. Ia membangun teori baru melanjtkan kuhn dan menulis “Falsifcation
and The methodeloghy of Scientific Research Program”.
Lepas dari pro kontra terhadap teori Kuhn, kita tidak dapat memungkiri kebenaran teori ini
dalam berbagai disiplin ilmu dan kehidupan. Walaupun teori ini muncul dari lngkungan ilmuilmu kealaman, bidang yang ditekuni Kuhn tapi teori ini sudah sering dipakai, disadari atau
tidak, oleh para ilmuwan dalam wilayah Ilmu-ilmu sosial dan humaniora[25].
Apapun keberatan-keberatan orang terhadap Kuhn, tetapi Kuhn telah terlanjur menjadi sosok
ilmuwan sukses yang fenomenal. Bernard Cohen telah berupaya melacak bukti-bukti sejarah
tentang kebenaran teori Kuhn ini mulai abad XVII hingga XX. Hasilnya memang benar,
revolusi sains memang sungguh trjadi, terutama di lingkungan natural scinces.
BAB III
KESIMPULAN
Thomas Kuhn menjelaskan fakta, bahwa para filosof ilmu umumnya tidak menghiarukan
persoalan hermeneutik yang pokok seperti persoalan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
seorang ilmuwan. Mereka biasanya malah sibuk dengan urusan tentang kriteria manasaja
yang perlu agar ilmu dapat dianggap representasi murni realitas atau keyakinan yang telah
teruji.
Thomas Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu
yang sebetulnya sangat ambigu. Rasionalitas ilmiah itu akhirnya bukanlah semata-mata
perkara induksi atau deduksi atau juga rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada
representasi teoritis kenyataan obyektif, melainkan pada dasarnya lebih dari perkara
interpretasi dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif.
Oleh karena itu segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya erat
terkait pada paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang digunakan oleh
ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia sesuai dengan apa yang dilihatnya.
Paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan
karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang
terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Beni. Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, tanpa tahun.
Ayi,Sofyan .Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002.
Bagir, Zainal Abidin, Integrasi Ilmu dan Agama , Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
Bakhtiar, Amtsal .filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Berger,Peter L, Agama Islam Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3S, 1991.
Henry, D.Aiken, Abad ideologi ,Yogyakarta: Kembang Budaya, 2002.
Kuhn, Thomas. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: Rosdakarya,2008.
Kuhn,Thomas. The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago
Press, 1970
Muhajir, Noeng. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin,2001.
Muhyar, Fanani Pudarnya Pesona Ilmu Agama,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Soetomo, Greg Sains dan Problem Ketuhanan ,Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Verhaak dan Imam R. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakata: Gramedia, 1989.
Zubaedi. Filsafat Barat, Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi
[1]Zubaedi, Filsafat Barat, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2007), hlm. 12
[2] Amtsal Bakhtiar, filsafat Ilmu,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1
[3]Thomas Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, (Bandung: Rosdakarya,2008),
hlm 1
[4]Beni Ahmad, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, tanpa tahun), hlm. 14
[5]Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 12
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 2002) hlm. 779
[7] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rakesarasin,2001) hlm.177
[8] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 200-201
[9] Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm 22
[10] Sofyan Ayi, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) hlm. 158
[11] Zainal Abidin Bagir , Integrasi Ilmu dan Agama ,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005)hlm
54
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi diaksespada tanggal 22 Mei 2016
[13] Henry, D.Aiken, Abad ideologi (Yogyakarta: Kembang Budaya, 2002) hlm. 15
[14] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 205
[15] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 4
[16] Verhaak dan Imam R, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakata: Gramedia, 1989), hlm. 164
[17] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 200
[18] Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,(Chicago: The University of
Chicago Press, 1970), hlm.10
[19] Verhaak dan Imam R, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakata: Gramedia, 1989), hlm. 165
[20] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 202
[21]Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman (Bandung:
Rosdakarya, 2008), hlm.10
[22]Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 204
[23] Peter L Berger, Agama Islam Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3S, 1991) hlm. 53
[24] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 204-206
[25] Fanani Muhyar, Pudarnya Pesona Ilmu Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007).
Hal. 35
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Studi filsafat harus membatu orang-orang dalam membangun keyakinan keagamaan
berdasarkan kematangan intelektualitas. Filsafat dapat dapat mendukung kepercayaan
keagamaan seseorang, asal kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah
yang usang, sempit dan dogmatis.
Filsafat tidak hanya diketauhi, tetapi harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang
mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan yang
dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus
hidup sebagai manusia yang baik dan bahagia. Bisa digaris bawahi tujuan filsafat adalah
mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam hal logika (kebenaran berfikir), etika
(berperilaku), maupun meta fisik (hakikat keaslian)[1].
Pengetahuan yang di sempurnakan maka di sebutlah dengan ilmu, ilmu memiliki dua macam
objek material dan objek formal[2], sedangkan sejarah jika dipandang lebih sebagai khasanah
daripada sebagai kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra
sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya , bahkan oleh para
ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang
direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang
dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan kejujurannya[3].
Thomas Kuhn telah menggunakan sejarah sebagai dasar untuk menyusun gagasan
paradigmanya. Sejarah telah membantunya untuk menemukan konstelasi fakta, teori, dan
metode-metode yang tersimpan di dalam buku-buku teks sains. Dengan jalan begitu, Kuhn
menemukan suatu proses perkembangan teori yang kemudian disebutnya sebagai proses
perkembangan paradigma yang bersifat revolusioner.
Apa yang disebut dengan filsafat ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn The
Structure of Scientific Revolutions. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan
filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana
intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight
dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang
jarang dapat ditandingi. Banyak ilmuwan, kata Barbour, merasa at home dengan karya
tersebut, karena ia seringkali memberikan contoh konkrit dari sejarah sains dan tampaknya
mendeskripsikan sains sebagaimana mereka mengetahuinya, dan mengundang sikap kritis
terhadap disiplin ilmu yang ditekuni.
Dalam hal apa dan bagaimana karya Kuhn memberi pencerahan intelektual, secara
epistemologis menjadi penting untuk dijawab. Terlepas dari keterkaitannya dengan sainssains natural dan sains-sains behavioral, wilayah disiplin keilmuan tersebut yang
dikembangkan gagasannya oleh Kuhn[4].
Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model yang terdahulu adalah
perhatian besar terhadap sejarah ilmu, dan peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan
serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya
terjadi[5].
Untuk itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Thomas Kuhn khususnya
dalam hal revolusi sains.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan paradigma revolusi sains?
2. Apakah urgensi sejarah ilmu menurut pandangan Kuhn?
3. Bagaimanakah siklus paradigma revolusi sains?
4. Bagaimanakah kritik terhadap pemikiran Kuhn?
1. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian paradigma revolusi sains.
2. Mengetahui urgensi sejarah ilmu menurut pandangan Kuhn.
3. Mengetahui siklus paradigma revolusi sains.
4. Mengetahui kritik terhadap pemikiran Kuhn.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian paradigma revolusi sains
1)
Paradigma
Paradigma dimbil dari bahasa Inggris, paradigm. Dari bahasa Yunani, para deigma dari kata
para (di samping, di sebelah), dan dekynai ( memperlihatkan; yang berarti model, contoh,
arketipe, ideal)[6].
Bebarapa pengertian lain adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Dalam ilmu pengetahuan : Model, pola, ideal. Dari model- model ini, fenomena yang
dipandang , dijelaskan.
3. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.
Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah,
yang dalam konseptualisasi khun menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru[7].
Paradigma merupakan konsep sentral yang dibahas oleh Kuhn. Istilah ini tidak dijelaskan
secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti,
dalam hal ini Kuhn mengartikan paradigma dengan beberapa pengertian sebagai berikut:
Paradigma merupakan contoh praktek ilmiah nyata yang diterima yang mencakup
dalil, teori, penerapan dan instrumentasi yang dari padanya lahir tradisi-tradisi tertentu dan
riset ilmiah.
Paradigma adalah kerangka referessi yang mendasari sejumlah teori maupun praktek
ilmiah dalam periode tertentu[8].
Dalam pandangan Kuhn, kebenaran sains itu relatif dan sangat tergantung pada social factor
yag berupa masyarakat ilmuwan. Sains tidak bisa memberikan kebenaran sui-generis,
kebenaran objektif dan satu-satunya. Ia hanya memberikan kebenaran tentatif[9]. Dengan itu
Kuhn menyatakan bahwa ilmu tidak terlepas dari fakor ruang dan waktu[10].
Kuhn mengatakan paradigma yang dimaksudkan tidak sama dengan“model” atau “pola”,
melainkan lebih dari itu.Paradigma dalam pandangan Kuhndigunakan dalam dua arti.
Pertama, sebagai keseluruhan konstelasi, nilai danteknik, dan sebagainya yang dimiliki
bersama oleh anggota komunitas ilmiah tertentu. Kedua, sejenis unsur dalam konstelasi
tersebut, pemecahan teka-teki yangkonkret, yang digunakan sebagai model atau contoh, dapat
menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar teka-teki sains yang normal, yang
masih tersisa[11].
2)
Revolusi
Secara umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat- syarat
tersebut. Misalnya revolusi Perancis yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Sejarah
modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula revolusi Perancis, kemudian
revolusi Amerika. Namun, revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk
mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat
domestik seperti revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang
kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilih menjadi
dua : revolusi social dan revolusi nasional[12].
Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian
menggantinya dengan tatanan yang baru sama sekali.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, di mana paradigma lama
diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Transformasitransformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainya
melalui revolusi. Adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan
revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan[13].
Dalam pemilihan paradigma tidak adastandar yang lebih tinggi daripada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi,
tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika saja, tetapi juga tehnik-tehnik
argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang
membentuk masyarakat sains itu[14].
3)
Sains
Pengertian sains /ilmu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
Ashley Montagu menyebutkan bahwa “Science is a systemized knowledge services
form observation, study, and experiment carried on under determine the nature of principles
of what being studied.” (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu
system yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan
prinsip hal yang sedang dipelajari).
Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common sense
yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau
peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis).
Jadi Paradigma Revolusi Sains adalah Perubahan mendasar yang merupakan episode
perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh
paradigma baru yang ber-tentangan, karena adanya fakta-fakta ilmiah yang tidak sesuai
dengan kenyataan[15].
1. Urgensi Sejarah Ilmu Menurut Pandangan Kuhn
Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utamanya dalam menyoroti
permasalahan-permasalahan yang fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih
menjadi teka-teki. Dengan kejernihan pikiran, ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya
lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya.
Karena begitu antusiasnya kepada kesadaran akan pentingnya sejarah dan khususnya sejarah
ilmu, ia mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu yang baru.
Gagasan Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada filsafat
ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper menjungkir balikkan kenyataan dengan terlebih
dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan
upaya falsifikasi. Namun justru Popper menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai
contoh untuk menjustifikasi teorinya[16].
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah
ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa
semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Jika hal ini dilakukan
maka jelaslah bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang mendalam selama sejarah ilmu
justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori
atau sistem, melaikan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Dengan demikian Kuhn
beranggapan bahwa kemajuan itu pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara
kumulatif[17].
Dengan konsep pemikiran ini, Kuhn tidak hanya sekedar memberikan kontribusi besar dalam
sejarah dan filsafat ilmu saja, tetapi lebih dari itu, teori-teori yang digagasnya mempunyai
implikasi yang luas dalm ilmu-ilmu sosial, seni dan lain sebagainya.
1. Siklus Paradigma Revolusi Sains
Istilah paradigma menjadi begitu popular setelah diintroduksikan oleh ThomasKuhn melalui
bukunya The Structure of Scientific Revolution yang membicarakan tentang Filsafat Sains.
Khun menjelaskan bahwa siklus revolusi sains adalah: Paradigma awal, Normal Sains,
Anomali, Krisis, Revolusi Sains, Paradigma Baru.
1)
Paradigma Awal
Paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam
cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari
pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok ilmuwan
bahwa masalah-masalah itu rawan, maka ilmuwan dalam hal ini bersaing mengumpulkan
fakta tanpa menghiraukan kaidah-kaidah teoritisnya. Pada tahap ini terdapat sejumlah aliran
yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara
umum. Namun perlahan-lahan salah satu sistem yang teoritikal mulai memperoleh
penerimaan secara umum dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk, dan
dengan terbentuknya paradigma itu kegiatan ilmiah sebuah disiplin memasuki periode
Normal Sains.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak
dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks
dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn di
maksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima
(yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi)
menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah[18].
Atau ia dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun
praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan
berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan halhal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai
berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul
krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan
sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada caracara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu
paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika
yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah[19].
Beberapa contoh kasus paradigma awal diantaranya :
Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau
perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian
besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang
belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus
betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus[20]. Ptolemeus
mengatakan bahwa bumi tidak bergerak, matahari dan bintang-bintanglah yang bergerak
mengelilingi bumi. Saat itu para tokoh agama dan dosen-dosen universitas di seluruh Italia
mengganggap ajaran Aristoteles dan Ptolemeus adalah ajaran yang paling benar. Karena,
mereka salah menafsirkan sepenggal ayat yang tedapat dalam Kitab Suci. Sementara itu,
Galileo tetap mempertahankan teorinya dan mendukung teori Copernicus yang mengatakan
bahwa matahari adalah pusat tata surya. Akibatnya, ia ditangkap para tokoh agama, diadili,
dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah. Galileo meninggal pada usia 78 tahun di
Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642 karena demam. Namun, meskipun demikian teoriteorinya tetap dipakai seluruh orang di dunia hingga kini.
Pada bidang fisika, mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud
mekanis kuantum yang memperlihahatkan beberapa karasteristik gelombang dan partikel.
Teori ini menjadi landasan rist selanjutnya, yang hanya berumr setengah abad ketika muncul
teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus.
Teori ini sempat diterima oleh hampir semua pemraktik sains optika, namun kemudian
muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih unggul yang digagas oleh Young dan Fresnel
pada awal abad ke-19 yang selanjutnya dikemabngkan oleh Panck dan einsten, yaitu bahwa
cahaya adalah gerakan gelombang transversal.
Berbagai transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, sedangkan transisi yang
berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi adalah pola
perkembangan yang biasa dan sains yang telah matang.
2)
Normal Sains
Kuhn menyebut Normal Sains sebagai suatu kegiatan penelitian yang secara teguh
berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah di masa lalu yakni pencapaian-pencapaian
yang oleh komunitas ilmiah pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk
praktek selanjutnya[21]. Normal Sains memiliki dua esensi yakni:
(1) Pencapaian ilmiah itu cukup baru sehingga menarik para praktisi ilmu dari berbagai
aliran, menjalankan kegiatan ilmiah, maksudnya dihadapkan pada berbagai alternatif cara
menjalankan kegiatan ilmiah. Sebagian besar praktisi ilmu cenderung untuk memilih dan
mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan ilmiah mereka.
(2) Pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang
memeprlukan penyelesaian oleh praktisi ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian
itu. Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak
bersifat evolusioner atau kumulatif.
Normal Sains bekerja berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku, oleh karena itu
pada dasarnya penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar melainkan
hanya untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah Normal Sains hanya bertujuan
untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya paradigma
tersebut dapat diaplikasikan. Jadi Normal Sains adalah jenis kegiatan ilmiah yang sangat
restriktif dan keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian itu akan semakin
memberikan hasil yang mendalam. Para ilmuwan dalam Normal Sains biasanya bekerja
dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan
paradigm dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi
terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal adalah
seperti kegiatan memecahkan teka teki atau diistilahkan “puzzle solving”. Implikasinya
adalah bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih
mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang
bersangkutan atau metode yang digunakan.
3)
Anomali dan Munculnya Penemuan Baru.
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali
dengan kegiatana ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam kegiata ilmiah yaitu
puzzle solving dan penemuan paradigma baru.
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang
tujuannya memecahkan teka-teki bukan untuk mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak
dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan penting atau malah mengakibatkan
konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah
selanjutnya diarahkan pada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan bari ini berhasil
maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa terasing, melaikan episode-episode yang diperluas dengan
struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran adanya anomali,
yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara telah melanggar pengharapan yang
didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan
eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan itu hanya berakhir jika
teori atau paradgma itu telah disesuaikan, sehingga yang menyimpang itu menjadi yang
diharapkan. Jadi yang jelas dalam penemuan baru nharus ada penyesuaian antara fakta dan
teori yang baru. Kuhn membedakan antara istilah discovery dan invention. Discovery adalah
kebaruan faktual (penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan) yang
mana keduanya saling terjalin erat dalam penemuan ilmiah[22].
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru baik yang tidak sesuai dengan
skema yang ada (data anomali), adakalanya seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru itu dengan skema yang ia miliki. Pengalaman yang baru ini bisa jadi
sama sekali tidak cocok dengan paradigma yang ada. Dalam keadaan seperti ini orang
tersebut akan mengadakan akomodasi, yaitu membentuk skema baru yang dapat sesuai
dengan rangsangan yang baru, atau modifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan data
anomali itu. Inilah yang disebut revolusi skema[23].
4)
Krisis Sains.
Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus
konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif –
kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya
lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru . Kita asumsikan bahwa krisis
merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru.
Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan
alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka
kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti
meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.
Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok – bahwa
tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula
diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia.
Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk
menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan
perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain. Sains yang normal
berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada
kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji
atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan
menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada
kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat
diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan. Kadang-kadang
sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang membangkitkan krisis
meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai akhir dari suatu paradigma
yang ada.
Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul
dari tradisi baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan
artikulasi atau perluasan paradigma yang lama. antisipasi sebelumnya bisa membantu kita
mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama
karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas
munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya sebagai
embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah
banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan
ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang normal
kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini
ketimbang pada revolusi-revolusi.
5)
Revolusi Sains.
Kemudian revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah
dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma lama yang menjadi
referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang
lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan
yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini
terjadi, maka lahirlah revolusi sains.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama
diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang ber-tentangan. Transformasitransformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya
melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan
revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda ketika menggunakan
instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah
dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di
mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda,
berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima
paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah
dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka
aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.
Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di
dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang
bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa
hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima
paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan
legitimasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu
dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga
teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat
khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma
sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh
retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma
baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika
menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang
pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah
lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang
berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal
Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya,
dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat
dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya
merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali [24].
6)
Paradigma Baru.
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima
paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada
standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk
menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan
dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompokkelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu per-masalahan paradigma
sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh
retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh
mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang,
dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai pembimbing
kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan
dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam karena tidak sibuk dengan halhal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika
paradigma itu mewakili karya yang telah dilakukannya. Paradigma Baru memperoleh status
karena:
(a)
Berhasil memecahkan masalah-masalah dalam praktek
(b)
Memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta yang oleh paradigma diperlihatkan
sebagai pembuka pikiran
Jadi dengan menggunakan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk sejumlah contoh
praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui di lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan
model-model yang mendasarkan lahirnya tradisi ilmiah yang terpadu. Contoh praktek ini
mencakup dalil-dalil, teori penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan
yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama yang pada dasarnya terikat pada
aturan dan standar yang sama pula dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan
standar ini adalah prasyarat bagi adanya Normal Sains. Jadi secara umum dapat dikatakan
bahwa paradigma itu adalah gejala atau cara pandang atau kerangka berpikir yang
mendasarkan fakta atau gejala disinterpretasi dan dipahami. Hanya masalah yang memenuhi
kriteria yang diderifiasi dari paradigma saja yang dapat disebut masalah ilmiah yang layak
digarap oleh ilmuwan. Dengan demikian maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi
tradisi penelitian yang normal. Aturan penelitian diderivasi dari paradigma namun menurut
Kuhn, tanpa adanya aturan ini paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian.
Jadi ilmuwan normal sebenarnya,tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar
(yang disepakati oleh komunitas ilmiah.
1. Kritik Terhadap Pemikiran Kuhn
Pemikiran Kuhn yang bisa dibilang radikal itu, mendapat tanggapan yang luas dari banyak
kalangan. Sikap pro dan kontra bermunculan dari para ilmuan. Tim healy, misalnya, dari
Santa Clara mengakui bahwa teori “paradigm shift” Kuhn memang benar. Semua kehidupan,
keilmuan, sosial, agama, dll, terbukti mengalam “paradigm shift”. Bahkan menurut Healy,
teori paradigm shift dapat dipakai untuk memahami segala persoalan hidup.
Steven Hodas, membrikan komentar yang menarik. Menurutnya, pemikiran Kuhn
mengagetkan mayoritas masyarakat Amerika era 1960-an, yang meyakini keberhasilan sains
dalam mencapai kebenaran final. Kuhn menggagalkan semua keyakinan ini, dengan
menyatakan bahwa kebenaran sains tak lebih hanyalah a culture practice. Oleh karena itu,
kebenaran sains itu relatif. Komentar Hodas ini berdekatan dengaan Weinberg, menurutnya
yang menjadikan Kuhn tampak seprti seorang pahlawan bagi para filsuf, sejarawan, sosiolog,
dan budayawan antikemapanan adalah kesimpulannya yang skeptis-radikal tentang
kemampuan sains dalam menentukan kebenaran. Dengan demikian, sains tak ubahnya seerti
demokrasi atau permainan base ball, sebuah konsensus sosial. Weinberg mengkritik Kuhn
tentang incommensurable (dua paradigma yang tak bisa didamaikan) yang oleh karena itu
ilmuwan tak bisa menengok kembali paradigma lama. Menurut Weinberg, Kuhn keliru dalam
hal ini. Pada kenyataannya, pergeseran paradigma tidak otomatis mengakibatkan kita tak lagi
bisa memahami realitas ilmiah dengan paradigma lama.
Kuhn juga mendapat kritikan dari banyak kalangan, karena tidak memberikan definisi yang
tegas tentang istilah “paradigm” yang dia sebut berulang-ulang dalam bukunya. Di samping
itu, ia juga dikritik karena terlalu mendramatisir pertentangan sehingga menjadi “revolusi”
antara normal science lama dengan yang baru.
Kritik paling mendasar datang dari Imre Lakatos. Menurutnya, teori Kuhn tentang revolusi
sains memang menakjubkan. Tetapi, sayang ia miskin metodologi normatif. Atas kriteria apa
suatu paradigma bisa dianggap unggul dan berhak menjadi paradigma tunggal bagi normal
science? Kuhn ternyata hanya melemparkan persoalan ini pada centific community. Sebuah
eori yang tidak tuntas. Oleh karena iu, Laktos tampil kedepan untuk menjawab problem yang
disisakaan oleh Kuhn. Ia membangun teori baru melanjtkan kuhn dan menulis “Falsifcation
and The methodeloghy of Scientific Research Program”.
Lepas dari pro kontra terhadap teori Kuhn, kita tidak dapat memungkiri kebenaran teori ini
dalam berbagai disiplin ilmu dan kehidupan. Walaupun teori ini muncul dari lngkungan ilmuilmu kealaman, bidang yang ditekuni Kuhn tapi teori ini sudah sering dipakai, disadari atau
tidak, oleh para ilmuwan dalam wilayah Ilmu-ilmu sosial dan humaniora[25].
Apapun keberatan-keberatan orang terhadap Kuhn, tetapi Kuhn telah terlanjur menjadi sosok
ilmuwan sukses yang fenomenal. Bernard Cohen telah berupaya melacak bukti-bukti sejarah
tentang kebenaran teori Kuhn ini mulai abad XVII hingga XX. Hasilnya memang benar,
revolusi sains memang sungguh trjadi, terutama di lingkungan natural scinces.
BAB III
KESIMPULAN
Thomas Kuhn menjelaskan fakta, bahwa para filosof ilmu umumnya tidak menghiarukan
persoalan hermeneutik yang pokok seperti persoalan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
seorang ilmuwan. Mereka biasanya malah sibuk dengan urusan tentang kriteria manasaja
yang perlu agar ilmu dapat dianggap representasi murni realitas atau keyakinan yang telah
teruji.
Thomas Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu
yang sebetulnya sangat ambigu. Rasionalitas ilmiah itu akhirnya bukanlah semata-mata
perkara induksi atau deduksi atau juga rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada
representasi teoritis kenyataan obyektif, melainkan pada dasarnya lebih dari perkara
interpretasi dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif.
Oleh karena itu segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya erat
terkait pada paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang digunakan oleh
ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia sesuai dengan apa yang dilihatnya.
Paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan
karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang
terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Beni. Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, tanpa tahun.
Ayi,Sofyan .Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002.
Bagir, Zainal Abidin, Integrasi Ilmu dan Agama , Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
Bakhtiar, Amtsal .filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Berger,Peter L, Agama Islam Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3S, 1991.
Henry, D.Aiken, Abad ideologi ,Yogyakarta: Kembang Budaya, 2002.
Kuhn, Thomas. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: Rosdakarya,2008.
Kuhn,Thomas. The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago
Press, 1970
Muhajir, Noeng. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin,2001.
Muhyar, Fanani Pudarnya Pesona Ilmu Agama,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Soetomo, Greg Sains dan Problem Ketuhanan ,Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Verhaak dan Imam R. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakata: Gramedia, 1989.
Zubaedi. Filsafat Barat, Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi
[1]Zubaedi, Filsafat Barat, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2007), hlm. 12
[2] Amtsal Bakhtiar, filsafat Ilmu,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1
[3]Thomas Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, (Bandung: Rosdakarya,2008),
hlm 1
[4]Beni Ahmad, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, tanpa tahun), hlm. 14
[5]Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 12
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 2002) hlm. 779
[7] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rakesarasin,2001) hlm.177
[8] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 200-201
[9] Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm 22
[10] Sofyan Ayi, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) hlm. 158
[11] Zainal Abidin Bagir , Integrasi Ilmu dan Agama ,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005)hlm
54
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi diaksespada tanggal 22 Mei 2016
[13] Henry, D.Aiken, Abad ideologi (Yogyakarta: Kembang Budaya, 2002) hlm. 15
[14] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 205
[15] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 4
[16] Verhaak dan Imam R, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakata: Gramedia, 1989), hlm. 164
[17] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 200
[18] Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,(Chicago: The University of
Chicago Press, 1970), hlm.10
[19] Verhaak dan Imam R, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakata: Gramedia, 1989), hlm. 165
[20] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 202
[21]Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman (Bandung:
Rosdakarya, 2008), hlm.10
[22]Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 204
[23] Peter L Berger, Agama Islam Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3S, 1991) hlm. 53
[24] Zubaedi, Filsafat Barat... hlm. 204-206
[25] Fanani Muhyar, Pudarnya Pesona Ilmu Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007).
Hal. 35