Pola Konsumsi Starbucks dalam Perspektif

Makalah Ini Disusun untuk Pemenuhan Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Stratifikasi Sosial

Pola Konsumsi Starbucks dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik: Implikasi
pada Stratifikasi Sosial menurut Peter Blau

Disusun Oleh:
Eveline Ramadhini, 1306384914

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DESEMBER 2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pada dasarnya, manusia memiliki naluri alamiah untuk memenuhi kebutuhannya, seperti
sandang, pangan dan papan. Namun dapat kita lihat juga bahwa dalam pemenuhan unsur-unsur
tersebut terdapat faktor lain untuk memenuhi yang bukan hanya sekedar kebutuhan, melainkan

sebagai gaya hidup (life style) yang biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke atas
(Wulandari, tanpa tahun). Dengan kata lain, pola konsumsi tersebut diberlakukan dengan tujuantujuan tertentu yang berlaku sebagai perilaku sosial di dalam masyarakat secara umum. Salah satu
pola konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup kelas menengah ke atas adalah Gerai Kopi
Starbucks. Awal mula berdirinya Starbucks di Amerika sebagai pembuat kopi berkualitas yang
dikembangkan oleh Howard Schultz. Starbucks dibentuk dengan menggunakan strategi
pengembangan konsep secara agresif untuk pasar luar negeri dengan melakukan ekspansi global,
termasuk di Indonesia (Andreani, 2008: 19-20).
Di Indonesia, Starbucks mulai ada sejak 17 Mei 2002, muncul di kota-kota besar di Indonesia
seperti Bandung, Surabaya, Bali, dan beberapa kota besar lainnya. Visi utama bagi Starbucks ialah
menciptakan suatu lingkungan yang inklusif terhadap perbedaaan individu yang ada. Selain itu,
Starbuck juga mengutamakan pelayanan demi kenyamanan pelanggan dan menjadikan Starbucks
sebagai ”rumah ketiga” bagi pelanggan setelah rumah dan tempat kerja. Pemegang hak tunggal
untuk memasarkan Starbucks di Indonesia adalah PT Sari Coffee Indonesia dan jumlah gerai kopi
Starbucks di Indonesia sudah mencapai 152 gerai di 10 kota besar Indonesia (bisnis.tempo.co).
Logo yang dibawa oleh Starbucks pada dasarnya memiliki pengaruh terhadap persepsi khalayak
luas. Logo tersebut memiliki implikasi terhadap pelanggan Starbucks (Veronika, 2011). Simbol
yang dibawa dapat berpengaruh besar terhadap pola konsumsi Starbucks yang nantinya dapat
dianalisis menggunakan teori Stratifikasi sosial menurut Peter Blau, serta menggunakan perspektif
interaksionisme simbolik untuk melihat pola konsumsi tersebut sebagai simbol yang akan
berimplikasi pada struktur di dalam masyarakat. Perpustakaan Pusat UI merupakan tempat yang

sangat strategis untuk pemasaran kopi Starbucks, khususnya bagi kalangan mahasiswa. Maka dari
itu menarik untuk membahas ini karena belum ada penelitian yang menganalisis dan menjelaskan

implikasi sosiologis dari simbol Starbucks.
1.2.
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana pola konsumsi Starbucks dalam perspektif Interaksionisme simbolik?

1.3.

2. Bagaimana implikasi terhadap teori Stratifikasi sosial menurut Peter Blau?
Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan pola konsumsi Starbucks dalam perspektif interaksionisme simbolik
2. Untuk menganalisa implikasi terhadap teori Stratifikasi sosial menurut pandangan Peter Bla

BAB II
KERANGKA TEORITIK
2.1. Teori Stratifikasi Peter Blau
Peter Blau merupakan salah satu pendukung teori pertukaran yang pada dasarnya berfokus
dalam menjabarkn tentang struktur sosial yang mengatur hubungan antara individu dengan kelompok.

Dengan kata lain, Blau berpengang pada teori makro berbasiskan teori mikro. Dalam bukunya
Exchange and Power in Social Life (1964) mengatakan bahwa tujuan mempelajari interaksi sosial
adalah meletakkan pemahaman struktur yang terus berubah dan social force yang berkembang secara
dinamis (Blau dalam Ritzer, 2008: 458). Menurut Blau, teori pertukaran mengarahkan perilaku
manusia untuk mendasari hubungan antar individu atau antar kelompok. Maka, terdapat empat
tahapnya yaitu (1) Transaksi pertukaran antar orang (2) Diferensiasi status dan kekuasaan, (3)
Legitimasi daan organisasi, (4) Oposisi dan perubahan. Dalam teori ini, ikatan yang dibangun oleh
individu terdapat timbal balik berupa imbalan yang berupa (1) imbalan yang bersifat intrinsik seperti
cinta, kasih sayang, kehormatan, prestise dan (2) imbalan yang bersifat ekstrinsik seperti uang,
makanan. Artinya interaksi sosial dilakukan oleh individu terhadap kelompok sosial untuk
mendapatkan imbalan yang lebih.
Mengenai struktur sosial, Blau menjelaskan bahwa hal itu kompleks; dan struktur sosial
berbeda antara kelompok besar dan kelompok kecil yang cenderung lebih sederhana. Hal ini juga
berhubungan dengan struktur relasi sosial yang terjadi selama proses interaksi sosial berlangsung antar
anggotanya. Namun, Blau berargumen bahwa relasi sosial tidak berlangsung pada sebagian besar
anggota, sehingga harus ada mekanisme yang menjadi perantara dalam struktur sosial, yaitu norma
dan nilai atau konsensus nilai. Menurutnya, nilai dan norma yang disepakati bersama merupakan
media bagi kehidupan sosial dan juga menjadi mata rantai yang menghubungkan transaksi sosial.
Keduanya membuat pertukaran sosial terjadi serta dapat mengatur proses integrasi sosial serta
diferensiasi dalam struktur sosial di dalam masyarakat (Blau dalam Ritzer, 2008:461).


Blau mengatakan bahwa norma dapat menggiring ke level pertukaran antara individu dan
kelompok, tetapi konsep nilai dapat menggiring ke level masyarakat pada skala terbesar pada analisis
hubungan antar kelompok. Konsensus yang berkaitan dengan nilai sosial dapat menjadi dasar bagi
meluasnya transaksi sosial dalam berlangsungnya struktur sosial di luar usia manusia. Fakta sosial juga
merupakan unsur yang amat penting bagi studi analisis Blau yang menggunakan unit analisis berupa
kelompok, organisasi, kolektivitas, masyarakat, norma dan nilai—dalam artian ada pada skala besar.
Dengan kata lain, Blau berfokus pada proses sosial dalam level makro yang berkaitan dengan
fenomena struktural (Blau dalam Ritzer, 2008: 462-463).
2.2. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Salah satu penganut perspektif interaksionisme simbolik yang paling berpengaruh ialah George
Herbert Mead. Dalam bukunya Mind, Self and Society dapat dilihat bahwa gagasannya secara garis
besar mengarah pada psikologi sosial tradisional—dengan kata lain diawali dari penjelasan tingkah
laku kelompok sosial secara makro untuk melihat perilaku individu. Hal tersebut akan berdampak lebih
jauh lagi pada perilaku sosial (Mead dalam Ritzer, 2008: 378-379). Menurut Mead, perilaku individu
tidak mungkin ada sebelum adanya kelompok sosial. Terdapat kelompok sosial terlebih dahulu,
baru dapat menghasilkan perkembangan mental dan perbuatan individu.
Mead mengidentifikasi empat tahap dasar dalam perbuatan manusia, yaitu (1) Impuls,
merupakan tahap pertama yang melibatkan reaksi dan stimulasi atas kebutuhan untuk berbuat sesuatu,
contohnya rasa lapar, (2) Persepsi, merupakan tahap yang melibatkan stimulus secara inderawi yang di

dalamnya terdapat citra mental yang diciptakan (mental imagery), (3) Manipulasi, merupakan tahap
dimana diambil suatu tindakan yang terkait dengan objek yang dimaksud. Contohnya, manusia yang
lapar tidak langsung memakannya, melainkan dicicipi terlebih dahulu apakah enak atau tidak, (4)
Konsumasi, yaitu pertimbangan akan suatu respon yang akan dilakukan atau dengan kata lain
mengambil tindakan yang akan memuaskan impuls yang sudah tercipta. Perbuatan pada dasarnya
berbeda dengan perbuatan sosial. Perbuatan sosial cenderung melibatkan dua orang atau lebih,
sedangkan perbuatan bersifat individu.
Mead juga menyampaikan tentang Gesture, yaitu mekanisme dasar dalam membentuk perilaku
(perbuatan) sosial yang ada dalam proses sosial. Menurut Mead, kadang-kadang manusia terlibat dalam
percakapan gesture tanpa berpikir dan memang sudah ada secara naluriah. Dua jenis gesture adalah (1)
gesture vokal dan (2) gesture fisik. Menurut Mead, gesture vokal lebih mudah untuk dikontrol
dibandingkan dengan gesture fisik. Gesture pada dasarnya dapat menghasilkan simbol-simbol

signifikan. Fungsi simbol-simbol signifikan adalah dapat membentuk pikiran dan proses mental dalam
diri individu yang menjadi pemikiran sentral bagi Mead yang mencakup (1) Pikiran, (2) Diri, (3)
Masyarakat. Pikiran lebih ditekankan sebagai suatu proses percakapan batin seseorang dengan dirinyasendiri. Pikiran muncul dan juga berkembang pada proses sosial di dalam masyarakat. Sedangkan
konsep Diri menekankan pada kemampuan individu yang khas untuk menjadi objek sekaligus subjek.
Diri pada dasarnya mengalami proses sosial di mana terjadi komunikasi antar manusia yang mencakup
pengalaman sosial di dalamnya. Hal ini dapat memungkinkan individu untuk mempertimbangkan
sikap orang lain terhadap dirinya, sehingga individu dapat memodifikasi perbuatan sosialnya

sesuai dengan proses sosial yang ada dan berlaku (Mead dalam Ritzer, 2008: 385-386).
Masyarakat merupakan proses sosial yang terus-menerus berlangsung dan notabene mendahului
pikiran dan diri.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan banyak studi literatur untuk menganalisa lebih kompeherensif lagi
mengenai konsumsi Starbucks yang pada dasarnya sudah banyak diteliti oleh banyak pihak untuk
memperkuat asumsi peneliti dengan menjabarkan bukti-bukti yang telah ditemukan sebelumnya. Selain
itu, penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menjelaskan secara
deskriptif dan analitik mengenai kasus yang akan diteliti berupa Gerai Starbucks. Penelitian kualitatif
digunakan karena merupakan metode yang paling kompeherensif untuk mengetahui faktor-faktor
tertentu yang terjadi dalam pola konsumsi Starbucks itu sendiri. Selain itu, 3.2. Subjek Penelitian
Penelitian ini subjeknya adalah Mahasiswa Universitas Indonesia yang mengkonsumsi
minuman khususnya kopi di Starbucks. Mahasiswa UI dipilih sebagai subjek penelitian karena
menarik untuk dilihat dari pola konsumsinya yang dapat dibilang taraf gaya hidupnya cukup tinggi,
maka dari itu penting untuk melihat bagaimana pola konsumsinya yang nantinya akan berhubungan
dengan gaya hidup melalui simbol-simbol tertentu yang notabene merupakan konsumsi yang ’mewah’
bagi sebagian besar persepsi mahasiswa.
3.3. Lokasi Penelitian


Penelitian ini berlokasi di Gerai Starbucks Perpustakaan Universitas Indonesia. Lokasi ini
dipilih karena kebanyakan pengkonsumsi kopi di Starbucks adalah mahasiswa itu sendiri karena masih
berada dalam wilayah kampus, sehingga jaraknya terjangkau.
BAB IV
TEMUAN DATA
3.1. Studi Literatur
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri Wulandari tentang Pengaruh Gaya Hidup terhadap
Perilaku Pembelian pada Cafe Starbucks Coffee menjelaskan bahwa perilaku pembelian responden
Starbucks sebagian besar memiliki kepercayaan diri yang tinggi karena menggambarkan tingkat sosial
(Wulandari, tanpa tahun; hal. 8). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan
kuesioner terhadap responden. Penelitian ini pada dasarnya dapat menjelaskan mengenai kondisi
psikologis pelanggan Starbucks serta menggambarkan tingkat sosial, namun belum menjelaskan faktorfaktor penyebab konsumsi tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian yang dilakukan oleh Elly Herlyana (2005) tentang Fenomena Coffee Shop sebagai
Gejala Gaya Hidup Baru Kaum Muda menjelaskan bahwa gaya hidup kaum muda masa kini memiliki
gejala coffee shop yang disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor psikologis dan sosial. Pada segi
faktor psikologis, simbol status merupakan hal yang penting bagi remaja sebagai wujud eksistensi
dirinya di dalam masyarakat. Sedang pada segi faktor sosial yang mencakup pengaruh sosial dan
konformitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi gaya hidup remaja. Penelitian ini
menggunakan data sekunder atau studi literatur. Penelitian ini sudah dapat menjelaskan gejala umum

konsumsi kaum muda terhadap fenomena gerai kopi, namun belum dilakukan studi kualitatif dengan
studi kasus gerai kopi tertentu.
Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Rosita Veronika Sitohang (2012) tentang
Pengaruh Persepsi Khalayak tentang Logo Baru Starbucks 2011 pada Pembentukan Brand Image
Product dengan studi kasus Konsumen Starbucks Perpustakaan Pusat UI menjelaskan bahwa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan bersifat eksplanatif. Hasil penelitiannya adalah
terdapat pengaruh yang cukup kuat dan signifikan antara persepsi khalayak tentang logo baru terhadap
brand image product. Penelitian ini sangaat membantu peneliti dalam menguatkan asumsi bahwa
terdapat persepsi khalayak yang kuat terhadap logo yang diberlakukan. Namun studi kualitatif belum
diberlakukan untuk melihat faktor-faktor yang menjadi penyebabnya.

Gambar 1.1. Perubahan Logo Starbucks. Sumber: Penelitian oleh Rosita Veronika (2012)

Penelitian yang dilakukan oleh Cakra Rahmat Aditia mengenai Pengaruh Promosi Penjualan
terhadap Loyalitas Pelanggan: Studi pada Starbucks Coffee. menggunakan pendekatan kuantitatif
bersifat eksplanatif. Hasil penelitian ini adalah sebagain besar responden memiliki persepsi yang baik
dan sangat baik terhadap promosi penjualan di Starbucks. Terbukti bahwa promosi penjualan juga
memiliki pengaruh terhadap pembentukan loyalitas pelanggan Starbucks. Penelitian ini dapat
menjelaskan studi kasus pelanggan Starbucks dengan baik, namun penelitian mesti dilakukan lebih
lanjut untuk melihat implikasi sosiologis terhadap masyarakat.

3.2. Hasil Wawancara
Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam pola konsumsi yang diberlakukan pada kopi
Starbucks tidak hanya untuk menikmati cita rasa kopi, melainkan juga dikarenakan branding yang
dimiliki oleh Starbucks. Peneliti mewawancarai informan yang merupakan kalangan menengah ke atas.
Hali itu dapat dilihat dari latar pekerjaan orang tuanya yang berupa pegawai di BUMN. Informan
menyandang status mahasiswa jalur paralel yang notabene memiliki bayaran per semester yang mahal.
Informan juga tinggal di Apartemen Mares (Melati Resort) yang kualitasnya termasuk kalangan elit.
Berdasarkan penggalian wawancara, ditemui data bahwa informan mengkonsumsi kopi Starbucks
karena tempatnya nyaman untuk berlama-lama (nongkrong), baik itu bersama teman, orang tua maupun
sendirian. Selain itu, terdapat pula faktor lain berupa rasa kopi yang lebih nikmat dibandingkan kopikopi lainnya karena rasanya yang nikmat. Branding juga menjadi pertimbangan dalam konsumsi kopi,
karena ada perasaan prestise ketika mengkonsumsi Starbucks.

Peneliti juga menemukan data berdasarkan wawancara kedua yang hendak melihat perspektif
berdasarkan penyuka kopi yang tidak mengkonsumsi kopi Starbucks. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa informan berasal dari kalangan menengah dengan latar belakang pekerjaan orangtua sebagai
PNS (guru) dan mahasiswa jalur reguler. Informan mengatakan bahwa ia sering meminum kopi, tapi
sangat jarang minum di Starbucks. Kalaupun pernah, itu karena diajak oleh temannya. Selain itu, ada
alasan tertentu juga tidak minum kopi di Starbucks. Alasannya antara lain adalah harga kopinya terlalu
mahal jika dibandingkan dengan kopi pinggiran atau kopi warung; ada ketimpangan yang luas antara
kopi Starbucks dengan kopi warung. Selain itu, terlalu menjual kemewahan sehingga identik dengan

orang-orang kalangan menengah ke atas. Informan berpandangan bahwa banyak anak sekolah yang
bolos sekolah hanya untuk pergi ke Starbucks. Menurut informan, interpretasi terhadap Logo dan
branding Starbucks terlihat dari kata ”Star” yang bermakna bintang; simbol tersebut sudah menunjuk
ke kalangan atas atau sosialita.

BAB V
ANALISIS
4.1. Pola Konsumsi Starbucks dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam perspektif interaksionisme simbolik, pola konsumsi oleh mahasiswa dapat dilihat
sebagai simbol bagi perilaku sosial yang dipengaruhi dari kelompok sosial terlebih dahulu, sehingga
terjadi perkembangan mental dan perbuatan bagi individu ketika mengkonsumsi produk dari Starbucks.
Pola itu terjadi secara umum dan telah menjadi gejala konsumsi bagi kaum muda, khususnya kalangan
mahasiswa menengah ke atas. Empat tahap perbuatan yang diidentifikasi oleh Mead yakni impuls,
persepsi, manipulasi dan konsumasi. Keempat tahap tersebut dalam konteks penelitian pola konsumsi
Starbucks sampai pada tahap keempat yaitu konsumasi, yakni dengan mengambil tindakan untuk
memuaskan suatu impuls yang sudah tercipta. Namun peneliti hendak menambahkan sebagai analisis
bahwa konsumasi tersebut dilakukan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan atas impuls, tetapi
lebih daripada itu; berupa kebutuhan akan pengakuan (recognition) terhadap masyarakat umum atas
eksistensi dirinya melalui simbol konsumsi kopi Starbucks.
Simbol yang dimaksud terlihat dari branding/logo yang dimiliki oleh Starbucks adalah karena

kemewahan yang didapatkan dengan harga yang cenderung mahal sehingga ada perasaan prestise bagi
individu yang diaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat secara umum. Manifestasi simbol

tersebut dapat dilakukan di sosial media, seperti instgram, path, facebook dan lain sebagainya.
Aktivitas di media sosial tersebut juga dapat dikategorikan sebagai gesture fisik maupun gesture vokal
—hanya saja ini dilakukan di media sosial, bukan di dunia nyata. Gesture tersebut semakin membuat
signifikan simbol-simbol yang ada. Dalam konsep Mead, dalam membentuk proses mental seseorang
dapat mencakup tiga hal, yaitu pikiran, diri dan masyarakat. Hal yang menarik dalam konteks
pengkonsumsian Starbucks oleh mahasiswa, terjadi pada konsep pikiran, diri dan masyarakat, dimana
individu memodifikasi perbuatan sosialnya sesuai dengan proses sosial yang berlaku, yakni proses
berupa tren di kalangan anak muda untuk ’nongkrong’ di kedai kopi dan prestise yang didapatkannya
dari konsumsi kopi dengan produk kopi yang ’tidak biasa’ tersebut.
4.2. Implikasi pada Stratifikasi Sosial menurut Peter Blau
Stratifikasi sosial dapat dilihat implikasinya dengan menganalisis menggunakan teori
pertukaran yang nantinya akan berpengaruh pada struktur sosial di dalam masyarakat. Jika teori
pertukaran di konteks konsumsi Starbucks, pelanggan yang mengkonsumsi kopi Starbucks pada
dasarnya diinginkan suatu imbalan yang diharapkan, khususnya imbalan yang bersifat ekstrinsik.
Imbalan ekstrinsik yang dimaksud berupa prestise dari produk dari kemewahan (branding), lalu juga
kenikmatan dari cita rasa kopi yang diharapkan. Dari situ, individu dapat mengalami social force yang
membuat individu ’harus’ mengkonsumsi kopi Starbucks untuk eksistensi dirinya atau pengakuan
(recognize) dari masyarakat luas. Sehingga seringkali berdampak pada perilaku yang mementingkan
gaya hidup (life style) yang hedonisme.
Gaya hidup hedonisme ini dapat melebarkan kesenjangan yang terjadi di masyarakat, dengan
ketimpangan harga yang sangat jauh antara kopi Starbucks dengan kopi warung/kopi pinggiran. Dari
data yang ditemukan, kisaran kopi Starbucks berharga Rp. 48.000 sampai Rp. 50.000, sedangkan kopi
warung/kopi pinggiran harganya Rp. 3.000 sampai Rp. 5.000 rupiah. Dari harga tersebut dapat dilihat
bahwa terjadi ketimpangan yang sangat jauh antara kopi Starbucks dengan kopi pinggiran, yang
implikasinya dapat memperlebar kesenjangan sosial dan tidak menutup kemungkinan bahwa akan
terbentuk stratifikasi sosial, di mana orang yang minum kopi di Starbucks berada di strata atas,
sedangkan orang yang tidak meminum kopi di Starbucks atau hanya di pinggiran berada di strata
bawah karena dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah.
BAB VI
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dalam perspektif interaksionisme simbolik, pola konsumsi oleh mahasiswa dapat dilihat
sebagai simbol bagi perilaku sosial yang dipengaruhi dari kelompok sosial. Pola itu terjadi secara
umum dan telah menjadi gejala konsumsi atau tren bagi kaum muda, khususnya kalangan mahasiswa
menengah ke atas. Konsumsi tersebut dilakukan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan atas
impuls, tetapi lebih daripada itu; berupa kebutuhan akan pengakuan (recognition) terhadap masyarakat
umum atas eksistensi dirinya melalui simbol konsumsi kopi Starbucks. Simbol yang dimaksud terlihat
dari branding/logo yang dimiliki oleh Starbucks adalah karena kemewahan yang didapatkan dengan
harga yang cenderung mahal sehingga ada perasaan prestise bagi individu yang diaplikasikannya dalam
kehidupan masyarakat secara umum. Manifestasi simbol tersebut dapat dilakukan di sosial media,
seperti instagram, path, facebook dan lain sebagainya.
Pola konsumsi Starbucks dapat berimplikasi secara sosiologis terhadap stratifikasi sosial. Jika
teori pertukaran di konteks konsumsi Starbucks, pelanggan yang mengkonsumsi kopi Starbucks pada
dasarnya diinginkan suatu imbalan yang diharapkan, khususnya imbalan yang bersifat ekstrinsik berupa
a) prestise terhadap produk Starbucks dan b) kenikmatan cita rasa kopi. Gaya hidup hedonisme ini
dapat melebarkan kesenjangan yang terjadi di masyarakat, dengan ketimpangan harga yang sangat jauh
antara kopi Starbucks dengan kopi warung/kopi pinggiran. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan
sosial dan tidak menutup kemungkinan bahwa akan terbentuk stratifikasi sosial, di mana orang yang
minum kopi di Starbucks berada di strata atas, sedangkan yang minum kopi di pinggiran ada di strata
bawah.
5.2. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merekomendasikan cara untuk meminimalisir
kesenjangan sosial yang terjadi dengan mengajak masyarakat umum untuk lebih mencintai produk
Indonesia dengan membuat gerakan atau komunitas anti-hedonisme dengan kampanye agar kaum
muda tidak terbawa arus tren untuk ’nongkrong’ di tempat atau kafe untuk sekedar prestise yang akan
berimplikasi lebih jauh terhadap pembentukan stratifikasi masyarakat secara tidak langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Andreano, Fransisca. 2008. Kiat-Kiat Ekspansi Global Starbucks. Jurnal Manajemen
Pemasaran, Vol 3 No. 1, April, 19-25.
Herlyana, Elly. Fenomena Coffee Shop sebagai Gejala Gaya Hidup Baru Kaum Muda. Jurnal
Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, Juni 2012.
Pratama, Yuliansyah Agung. September 2013. Analisis Green Brand Awareness Starbucks
(Studi Persepsi Green Marketing). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Indonesia.
Rakhmat, Cakra Aditia. 2011. Pengaruh Promosi Penjualan terhadap Loyalitas Pelanggan:
Studi pada Starbucks Coffee. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Indonesia.
Sitohang, Rosita Veronika. 2012. Pengaruh Persepsi Khalayak tentang Logo Baru Starbucks
2011 pada Pembentukan Brand Image Product: Studi Kasus Konsumen Starbucks Perpustakaan Pusat
UI. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas C. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Teori Sosial Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Wulandari, Putri. Tanpa tahun. Life Style on Purchasing Behaviour on Starbucks Coffee. Faculty
of Economic: Gunadarma University.

LAMPIRAN
1.1.
Transkrip Wawancara
Wawancara 1
Pewawancara
: Eveline Ramadhini
Tema
Nara sumber
Nama
Waktu wawancara
Hari/tanggal
Jam
Durasi
Tempat wawancara

: Pandangan Bukan Pengkonsumsi Starbucks terhadap Produk
Starbucks
: Muarif Ambari (Mahasiswa Sosiologi, 2013)
: Jumat, 2 Desember 2015
: 10.50 WIB
: 8 menit
: FISIP Universitas Indonesia

No
1

Pertanyaan
Sudah suka mengopi sejak kapan?

Jawaban
Coding
Sejak SD setiap pagi, sudah Rutinitas minum kopi.
menjadi kebiasaan dari orang

2
3

Produk kopi yang dikonsumsi

tua.
Kopi ABC, dan Kopi Luwak Produk kopi yang

Sehari ngopi berapa kali sehari?

yang sasetan renceng.
Sehari dua kali.

dikonsumsi
Kalo Frekuensi minum kopi

kebanyakan juga gak baik
4

Pandangan terhadap yang

untuk kesehatan lambung.
Terlalu mahal. kemewahan Pandangan terhadap

mengkonsumsi Gerai Starbucks?

fasilitas lebih diunggulkan. gerai kopi Starbucks
Lagian

di

sana

Cuma

numpang Wi-Fi. banyak anak
sekolah yang bolos sekolah
5

Pernah ngopi di Starbucks?

cuma buat ke Starbucks.
Pernah sekali, itu juga karena Kunjungan ke
diajak teman. Sudah enam Starbucks

6

7

Menurut anda, siapa yang biasanya

bulan gak kesana.
Yang punya duit biasanya. Pihak yang minum kopi

ngopi di Starbucks?

Satu gelas kopi itu kurang di Starbucks

Bagaimana kualitas rasa kopinya

lebih 30.000-50.000 rupiah.
Dari rasa, kopinya emang Kualitas rasa kopi di

menurut anda?

pekat banget di lidah, emang Starbucks
rasanya juga nikmat, dalam
artian gak cuman branding
aja. Selain itu, kemasannya

8

Pandangan terhadap logo/branding

juga bagus.
Logo dan brandingnya dari Pandangan terhadap

starbucks?

bintangnya aja ”star” itu udah branding Starbucks
menjurus ke kalangan orang-

9

Tahu promo apa saja yang dilakukan

orang kaya.
Promonya emang

oleh Starbucks?

kadang ada hadiah tumblr, diketahui oleh informan

banyak, Promosi Starbuck yang

ada juga sampel kopi gratis,
10

Pandangan terhadap pengkonsumsi

biar kita ngopi gitu di sana.
Kebanyakan yang ngopi itu Keaktifan

Starbucks yang mengupload fotonya

kan kaum sosialita kan, yang pengkonsumsi

di instagram?

suka foto di instagram dll. Ya Starbucks di media
itu sih wajar kali ya, biar bisa sosial

11

Pandangan perbandingan antara kopi

eksis.
Coba bandingin aja sama perbandingan antara

Starbucks dengan kopi pinggiran?

kopi

pinggiran

jalan. kopi Starbucks dengan

Timpang banget kan itu, dari kopi pinggiran
harganya sama kualitasnya.
Kan banyak juga peniruan
yang dilakuin oleh gerai kopi
lainnya

dengan

simbol

hampir sama supaya laku di
12

Harapan terhadap gerai kopi di

pasaran.
Mungkin

Indonesia?

bisa

pemerintah

ngasih

pengusaha

juga Harapan terhadap gerai

modal
kopi

ke kopi di Indonesia.
yang

menengah

untuk

mengembangkan

usaha

mereka.

Jadi

timpang

gak

gitu,

terlalu
antara

Starbucks sama yang kopi
pinggiran

atau

usaha

menengah yang dirintis oleh
orang Indo.

Wawancara 2
Pewawancara

: Eveline Ramadhini

Tema

: Pandangan Pengkonsumsi Starbucks terhadap Produk Starbucks

Nara sumber
Nama
Waktu wawancara
Hari/tanggal
Jam

: Nadila Saraya (Mahasiswa ADM Niaga, 2012- Jalur Paralel)
: Jumat, 4 Desember 2015
: 14.05 WIB

Durasi
Tempat wawancara

: 10 menit
: FISIP Universitas Indonesia

No
1
2

Pertanyaan
Suka minum starbucks ya kak?
Seberapa sering minum di Starbucks?

Ya
Sebulan sekali sih paling

3

Biasanya sama siapa saja kalo minum di

minum
Sama temen pernah, ama orang Teman untuk

sana?

tua

4

Jawaban

pernh,

sendirian

Coding
Tingkat keseringan

juga minum di Starbucks

pernah
Kalo boleh tau, kenapa yaa kak minum di Soalnya tempatnya nyaman, Alasan minum di
Starbucks?

tempat nongkrong yang paling Starbucks
PW tuh di starbucks sih. Kalo
di tempat lain agak kurang

5

Kalo dari rasanya kira-kira gimana tuh

gitu.
Rasanyaa juga enak, beda kalo Pandangan

menurut kakak?

dibandingin samaa kopi yang terhadap kualitas
lain. Kalo di tempat lain kopi
kurang enak gitu.

6

Menurut kakak brand itu penting?

Sama brand juga sih.
Iya sih, brand itu buat gue Pandangan
ngaruh sih. Kalo beli tuh terhadap Branding
rasanya kaya gimana gitu.

7

Biasanya berapa lama kalo nongkrong di

Prestise gitu. Rasanya beda.
Tergantung. kalo misalnya gue Durasi nongkrong

saama

ngerjain tugas. gue pernah di Starbucks
karena nunggu sesuaatu, gue
Duduk doang nonton film
pernah. Biasanyaa gue sampe 3

8

jam.
Kalo fasilitas di saana kayak Wifi gimana Kalo
kak kira-kira?

wi-fi,

sebenernya Fasilitas yang

tergantung cabangnya juga sih. disediakan
pernah juga internetnya gaak Starbucks

9

Kalo minum di sana suka update di

jalan sama sekali
paling gue cuma main chat Keaktifan di media

medsos ngga?

pad, di instaagram sama path sosial
agak

jarang. Tapi

sesekali

pernah diupload, buat momen
10

Kalo dibandingin antara Starbucks ama

aja gitu sama temen.
Gue sih lebih ke starbucks, ya. Perbandingan

gerai kopi lainnya, misalnya kayak

soalnya

Coffee toffee gimana kak?

Toffee gak seenak di Starbucks Staarbucks dengan

kaalo

kaya

Coffe antara kopi

gitu. udah gitu, Starbuck lebih kopi ala Indonesia
banyak cabangnya jadi lebih
11

Kopi yang dipesan biasanyaa apa?

mudah dijangkau.
Aku
biasanya

cappucino Harga kopi

javachip. Harganya

48.000-

50.000. kalo ada duit biasanya
12

Pekerjaan orang tua apa kak kalo boleh

gue beli makan juga.
Mama aku kerja pegawai Status sosial

tahu?

BUMN, papa aku sih udah ekonomi orang tua
pensiun sekarang wiraswasta

13

Tinggalnya dimana kak?

aaja
Aku di sini tinggalnyaa di Tempat tinggal
apartemen Mares, cuman sabtu sekarang
minggu pulang ke Bogor.

1.2.Gambar Gerai Starbuck Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia

Gambar 1.2. Sumber: internet