PENGARUS UTAMAAN PEMBANGUNAN SOSIAL DALA

PENGARUS UTAMAAN PEMBANGUNAN SOSIAL DALAM
PEMBANGUNAN HUTAN INDONESIA1
Dwi Kristianto2

Penganatar
Kenapa pengelolaan hutan Indonesia cenderung eksploitatif dan memingirkan kepentingan masyarakat
lokal?..... dalam makalah yang disusun, kami mencoba memberi gambaran bagaimana hal tersebut
terjadi. Mulai jaman pemerintahan Presiden Soeharto sampai saat ini pemerintah gagal
menterjemahkan konstitusi yaitu Pancasila dan UUD 1945 dalam konseptualisasi dan berdampak pada
tataran operasionalisasi yang jauh dari tujuan dan nilai-nilai dari tujuan pembangunan, yaitu
masyarakat yang adil dan sejahtera berdasar Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana hal tersebut terjadi
dan apa yang melatarbelakanginya?

Paradigma Pembangunan Nasional
Paradigma pembangunan Nasional yang dikembangkan mulai pemerintahan Presiden Soeharto
adalah pembangunan yang bertumpu pada pembangunan Ekonomi. Paradigma tersebut didasarkan
pada teori pertumbuhan yang di gagas oleh Rostow. Teorinya yang terkenal ialah teori “Lima
tahapan pertumbuhan Ekonomi” (Rostow, 1960). Kelima tahapan tersebut ialah:
1. Masyarakat tradisional: masyarakat belum banyak menggunakan tehnologi modern, tetapi
masih mengandalkan tenaga fisik. Sektor utamanya ialah berbasiskan pertanian (termasuk
perikanan, kehutanan, dan peternakan).

2. Persiapan menuju tinggal landas: masyarakat mulai banyak menggunakan ilmu dan tehnologi
modern untuk menuju negara industri.
3. Tinggal landas: pertumbuhan ekonomi meningkat dengan prioritas pembangunan di sektor
industri.
4. Masyarakat dewasa: menggunakan tehnologi modern untuk melakukan semua aktifitas
ekonominya. Pada fase ini, 10-20% pendapatan nasional diinvestasikan untuk pengembangan
ekonomi.
5. Masa tingginya konsumsi masyarakat: masyarakat memiliki tingkat konsumsi yang tinggi
untuk produksi barang dan jasa. Hal ini diasumsikan sebagai tanda kemakmuran masyarakat.

Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi

1 Disampikan dalam Diskusi Ulang Tahun Sylva Indonesia ke 51, Universitas Lampung. 30 Januari 2010 “Mewujudkan
Pengelolaan Hutan yang Lestari, Adil, dan Demokratis”.
2 Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Direktur Yayasan Farest Indonesia. Emeil
Kristianto_dw@yahoo.com Hp 081329783426

Kecenderungan konsep/model pembangunan di Indonesia masih mengunakan pendekatan Topdown approach. Selain itu ciri dasar pembangunan yang dijalankan selama ini adalah : Growth
strategy : Bertumpu pada pembangunan ekonomi. Padahal semestinya hal yang semestinya juga perlu
diperhatikan adalah Growth Wich Distribution: pembangunan ekonomi tidak hanya peningkatan GNP

dan pertumbuhan ekonomi, namun mencakup juga pengurangan kemiskinan, kesenjangan seiring
dengan pertumbuhan ekonomi.
Teori pembangunan ekonomi mengacu pada permasalahan kemiskinan dipecahkan dengan
membantu orang-orang kaya. Berdasarkan ideologi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan,
para pengusahalah yang harus didukung supaya pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Menurut
analisi teori ini, kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, orang-orang miskin pasti akan mendapatkan
bagian juga, melalui penetesan ke bawah (trickle down effect) karena itu, semakin miskin sebuah
masyarakat, semakin gencar upaya memberi fasilitas kepada pengusaha untuk memacu pertumbuhan
ekonomi. Salah satu resepnya adalah “peningkatan penghasilan perkapita melebihi pertumbuhan
penduduk, satu atau lebih sektor manufaktor berperan penting, institusi sosial dan politik diperketat
guna mengejar pertumbuhan ekonomi”.
Hal tersebut justru sangat mempersulit masyarakat kelas bawah/masyarakat miskin dampak
dari penerapan teori ini untuk masyarakat miskin adalah :
1. Produksi dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan
manifaktur, serta mengurangi porsi pertanian secara seimbang. Masyarakat dipaksa untuk
menjadi kuli, dengan gaji yang sangat rendah. Selain itu masyarakat tidak mampu bersaing
dangan pengusaha baik dari sisi produksi, modal, dan kualitas.
2. Keberhasilan paradigma ini dalam mencapai pertumbuhan seringkali harus dicapai melalui
pengorbanan (at the expense of) yang berupa deteriorasi ekologis, yang berwujud kerusakan
tanah (soil depletion), penyusutan sumber alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources), desertifikasi dsb. Dampaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan

proses produksi. Kerusakan lingkungan akibat limbah, kestabilan ekologi terganggu akibat
kerusakan hutan, dampak nyata adalah penyakit akibat limbah, banjir, dll yang selalu
berdampak negatif terhadap kesejateraan masyarakat.
3. Orang miskin dan penyandang masalah kesejateraan sosial adalah kelompok yang sering tidak
tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan
ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun
strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitamya,
terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil.
4. Sulitnya mendapat lapangan kerja serta minimnya penghasilan untuk dapat mencukupi
standar biaya kebutuhan hidup, akibat semakin tingginya harga barang-barang, serta tingginya
biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia pembangunan ekonomi nasional selama ini masih
belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya adalah tingginya
ketimpangan dan kemiskinan. Berdasar Studi BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset nasional
dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang
dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia

usaha. Ini menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang terlampau mengutamakan pada
pembangunan ekonomi merugikan masyarakat kecil.


Dampak Pembangunan yang bertumpu pada Pertumbuhan Ekonomi pada Pengelolaan Hutan
Indonesia.
Tindakan –tindakan sebagai akibat mengejar pertumbuhan ekonomi, secara khusus visi ini mendorong
orang untuk seolah-olah :









Sumberdaya fisik di Bumi secara praktis tidak bisa habis
Lingkungan hidup boleh dikatakan memiliki kemampuan tak terbatas untuk menyerap limbah
Kemiskinan hanya merupakan akibat dari pertumbuhan yang tidak memadai
Pasar-pasar internasional dimana sebuah negara ikut bersaing benar-benar persaingan bebas
tanpa ada subsisdi atau hambatan lain yang bisa menguntungkan pesaing-pesaing dari negara
tertentu
Pinjaman asing dipakai untuk penanaman modal yang produktif supaya bisa menghasilkan

devisa untuk membayar kembali hutang itu
Para pekerja dari perdesaan dipindahkan melalui penanaman modal yang meningkatkan
produktivitas akan siap diserap dalam lapangan kerja industri diperkotaan
Kekuatan pasar dengan sendirinya akan membagi-bagi keuntungan pembangunan

Hal tersebut yang mendasari kenapa eksplitasi suberdaya alam dilakukan demi mengejar pertumbuhan
ekonomi. Kondisi tersebut berdampak pada kehancuran sumberdaya alam, kerusakan lingkungan,
bencana alam dan kesenjangan sosial.

Paradigma Pembangunan Nasional
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mensejahterakan manusia walaupun dengan
paradigma proses yang berbeda ketika banyak kalangan membahasnya. Proses Pembangunan akan
diawali dengan menggali sumber-sumber daya yang ada kemudian dilanjutkan dengan penggolahan
sumber daya melalui perencanaan kebijakan pembangunan hingga sampai pada out put atau hasil yang
akan dicapai.
Todaro dan Smith Ekonomi edisi kesembilan hal 27-28 memberikan penjelasan bahwa “Tujuan
pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya
berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud
dalam berbagai manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. Untuk
itu kita bahas ketiganya secara mendalam satu demi satu.

1.

Kecukupan: Kemampuan untuk Memenuhi Kebutuhan-kebutuhan Dasar Semua orang pasti punya
kebutuhan dasar. Apa yang disebut sebagai kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang jika tidak
dipenuhi akan menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan, sandang,
papan, kesehatan, dan keamanan. Jika satu saja dari kebutuhan dasar ini tidak dipenuhi atau tidak
mencukupi, maka akan muncul kondisi "keterbelakangan absolut". Fungsi dasar dari semua
kegiatan ekonomi, pada hakikatnya, adalah untuk menyediakan sebanyak mungkin masyarakat

yang dilengkapi perangkat dan bekal guna menghindari segala kesengsaraan dan yang
diakibatkan oleh kekurangan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Atas dasar itulah,
kita bisa menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi merupakan prasyarat bagi
membaiknya kualitas kehidupan. Tanda adanya kemajuan ekonomi secara berkesinambungan,
maka realisasi potensi manusia, baik di tingkat individu maupun masyarakat, tidak mungkin
berlangsung. Setiap orang harus "memiliki kecukupan untuk meningkatkan dirinya". Dengan
demikian, kenaikan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan absolut, perluasan lapangan
kerja, dan pemerataan pendapatan, merupakan hal-hal yang harus ada (necessary conditions) bagi
pembangunan, tetapi hal-hal itu saja belum cukup (not sufficient conditions).
2.


Harga Diri: Menjadi Manusia Seutuhnya Komponen universal yang kedua dari kehidupan yang
serba lebih baik adalah adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri
sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan seterusnya.
Mungkin setiap orang punya istilah sendiri untuk itu, entah kepribadian, sosok utuh, identitas,
penghargaan, penghormatan, pengakuan, dan sebagainya... Sifat dan bentuk dari harga diri ini
berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari satu budaya ke budaya yang lain.
Akan tetapi, dengan adanya penyebaran "nilai-nilai modern" yang bersumber dari negara-negara
maju telah mengakibatkan kejutan dan kebingungan budaya di banyak negara berkembang.
Kontak dengan masyarakat lain yang secara ekonomis atau teknologis lebih maju acap kali
mengakibatkan definisi dan batasan mengenai baik-buruk atau benar-salah menjadi kabur. Ini
dikarenakan kesejahteraan nasional muncul sebagai berhala barn. Kemakmuran materiil lambat
laun dianggap sebagai suatu ukuran kelayakan yang universal, dan dinobatkan menjadi landasan
penilaian atas segala sesuatu. Derasnya serbuan nilai-nilai Barat yang mengagungkan materi telah
mengikis jati diri masyarakat di banyak negara berkembang. Banyak bangsa yang tiba-tiba saja
merasa dirinya kecil atau tidak berarti hanya karena mereka tidak memiliki kemajuan ekonomi
clan teknologi setinggi bangsa-bangsa lain. Selanjutnya, yang dianggap hebat adalah yang
memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi modern, sehingga masyarakat negara-negara Dunia
Ketiga pun berlomba-lomba mengejarnya, dan tanpa disadari mereka telah kehilangan jati dirinya.

3.


Kebebasan dari Sikap Menghamba: Kemampuan untuk memilih nilai universal yang ketiga dan
terakhir yang harus terkandung dalam makna pembangunan adalah konsep kemerdekaan manusia.
Kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk
berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan
ini. Sekali saja kita terjebak, maka kita akan terpuruk dan semakin lama kita akan terjerat semakin
dalam. Sekali saja kita menjadi budak materi, maka sederet kecenderungan negatif, mulai dari
sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, sikap mementingkan diri sendiri kalau perlu
dengan mengorbankan kepentingan orang lain, dan seterusnya, akan meracuni diri kita. Kebebasan
di sini juga harus diartikan sebagai kebebasan terhadap ajaran-ajaran yang dogmatis. Jika kita
memiliki kebebasan, itu berarti untuk selamanya kita mampu berpikir jernih dan menilai segala
sesuatu atas dasar keyakinan, pikiran sehat, dan hati nurani kita sendiri. Kebebasan juga meliputi
kemampuan individual atau masyarakat untuk memilih sate atau sebagian dari sekian banyak
pilihan yang tersedia. Dengan adanya kebebasan, kita tidak semata-mata dipilih, melainkan kitalah
yang akan memilih.

Pendapat serupa berasal dari Midgley (2005:139) tentang tujuan pembangunan, bahwa ”usaha
untuk mendefinisikan hasil akhir dari pembangunan sosial ini lebih pada bagaimana cara mencapai

sesuatu yang diinginkan yang bersifat “material” versus tujuan “idealis”... pada konsep paham

materialisme, kemajuan ke arah tercapainya tujuan-tujuan pembangunan sosial diukur dengan istilah
kuantitatif. Pada pendekatan ini, indikator sosial juga secara luas dipergunakan untuk menentukan
sejauh mana kebutuhan material dapat terpenuhi...pada sisi lain konsep ideasional tentang tujuan
pembangunan sosial jarang sekali didefinisikan dengan menggunakan indikator kuantitatif. Tetapi
tujuan ini digambarkan dengan istilah abstrak dan melibatkan penjelasan deskriptif dan normatif yang
melibatkan metode kualitatif tentang interaksi manusia, arti hidup dan partisipasi dalam pembuatan
putusan pembangunan.”
Lebih lanjut Todaro dan Smith edisi kesembilan hal 28-29 menyatakan bahwa “Apa pun
komponen spesifik atas "kehidupan yang serba lebih baik" itu, bertolak dari tiga nilai pokok di atas,
proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut:
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokokseperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan.
2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi
penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian
atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki
kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang
bersangkutan.
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan,
yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghambat dan ketergantungan, bukan
hanya terhadap orang atau negara-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang
berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Melengkapi konsep pembangunan nasional, pandangan dari Bryant dan White dalam Wahyu
(2005:74) bahwa pembangunan adalah upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk
mempengaruhi masa depannya, dengan lima implikasi yang timbul dari proses pendefinisian tersebut
yaitu:
a. Capacity. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu
maupun kelompok.
b. Equity. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan
kesejahteraan.
c. Empowerment. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun
dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam
bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan.
d. Sustainability. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara
mandiri.
e. Independence. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara
yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati.
Pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat melaluai Pemberdayaan

Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan
kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti
sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:

 Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat
keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
 Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan
keinginannya.
 Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu
forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
 Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranatapranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.
 Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan
kemasyarakatan.
 Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi,
dan pertukaran barang serta jasa.
 Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak,
pendidikan dan sosialisasi.
Pendekatan
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melaui penerapan pendekatan
pemberdayaan. Parsons, et al., (1994: 112-113) menyatakan, bahwa proses pemberdayaan umumnya
dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses
pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan-satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting
pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri
dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan.
Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam
beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada
gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan
sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan
dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro.
1. Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan,
konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau
melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai
Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
2. Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan
dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika
kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapinya.

3. Pendekatan Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system
strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan
kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat,
manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang
klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan
untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

Bagaimana Bentuk Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Indonesia
Salah satu kebijakan prioritas Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dalam periode
Kabinet Indonesia Bersatu baik jilid 1dan 2 adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Di Dalam
dan Sekitar Kawasan Hutan. Kebijakan ini bukan merupakan kebijakan baru, karena lama
sebelumnya Departemen Kehutanan telah melakukan hal yang sama sebagai cermin perhatian terhadap
kehidupan masyarakat yang hidup dan penghidupannya tergantung secara langsung kepada
sumberdaya hutan. Praktik-praktik pengelolaan hutan berbasis masyarakat di lapangan dipelajari
sebagai sumber pengetahuan dan informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan.
Perubahan paradigma ke arah pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Community
Based Forest Management). Semakin jelas sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap
kepentingan masyarakat . Melalui revisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 menjadi Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 Negara mengatur ruang-ruang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan
Indonesia. Pada penjelasan umum dari Undang-Undang baru tersebut secara eksplisit disebutkan
bahwa: “Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci
keberhasilan pengelolaaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaaan hutan yang hanya
berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah
menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada
pemberdayaan masyarakat”.
Penutup
Bagaimana dengan pengelolaan dan pembangunan hutan Indonesia?, Pengelolaan dan
pembangunan pembangunan hutan Indonesia pada hakekatnya adalah pengelolaan dan pembangunan
hutan untuk memenuhi kebutuhan baik sasial, spiritual maupun ekonomi sepenuhnya untuk
kepentingan masyarakat, dengan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana pengelolaan
sumberdaya alam terus didorang untuk maju dengan menjaga kestabilan ekosistem dan mengupayakan
kesejateraan rakyat.
Kehancuran hutan Indonesia diakibatkan oleh penterjemahan paradigma pembangunan yang
berumpu pada pertumbuhan ekonomi. Sehingga hutan sebagai sumberdaya alam yang paling mudah
untuk di ekspoitasi menjadi modal untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Meski pertumbuhan
ekonomi tersebut tercapai tapi hal tersebut harus dibayar mahal dengan kerusakan sumberdaya hutan
yang berakibat pada bencana alam, musnahnya species –species tertentu dan yang terbutuk adalah
masyarakat tetap hidup miskin.

Apakah konsep CBFM mampu menjawab kebutuhan pengelolaan hutan Indonesia yang adil
dan lestari. Masih perlu dipertanyakan faktanya saat ini masih terjadi pembabatan hutan baik legal
maupun illegal yang mengesampingkan kepentingan masyarakat disekitar hutan. Dimana peran
Mahasiswa kehutanan (Sylva Indonesia) dalam pengelolaan hutan Indonesia kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Cheyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave (1998). Social Policy in Aotearoa New
Zealand. Auckland: Oxford University Press
Donald E Chambers (2000), Social Policy and Social Programs: A Method for the Practical Public
Policy Analysis, Boston: Allyn and Bacon
Ministry of Health, Labour and Welfare of Japan (MHLW) (1999), Annual Report on Health and
Welfare, Tokyo: MHLW.
Pierson, Christopher (1991). Beyond the Welfare State? Cambridge: Polity Press
Sander, Cerstin (2000). Microinsurance: A New Instrument for Social Protection. Notes from the ILO
workshop on “Microinsurance: A New Instrument for Social Protection. Dar es Salaam. 11-13
July
Spicker, Paul (1995). Social Policy: Themes and Approaches. London: Prentice-Hall
Suharto, Edi (2002). Globalisation, Capitalism and Welfare State: Examining the Role of State in
Social Welfare Development. Journal of Social Welfare Research and Development. Vol.7.
No.4. December 2002. pp.1-9
Suharto, Edi (2003). Social Development in Developed and Developing Countries, Journal of Social
Welfare Research and Development. Vol.8. No.4. December 2003. pp.49-55.
Fakih Mansoer (2002) “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi” INSIST PRESS 2002
Halim, Muh. Abdul S.E. Jurnal Equilibrium – STIE Ahmad Dahlan Jakarta, Mengkaji Peran Negara
Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di Indonesia. September-Desember 2006