BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Implikatur Percakapan Iklan Produk Kosmetik di Televisi: Tinjauan Pragmatik

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, 2007:558). Paparan konsep ini dapat bersumber dari para ahli, pengalaman peneliti, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan adanya konsep, peneliti akan semakin mudah mengembangkan ide dan gagasannya untuk memperjelas hasil penelitiannya.

2.1.1 Bahasa

  Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana ,1984: 19).

  Manusia dan bahasa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia sebagai mahkluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa ada manusia lain. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan bahasa untuk menjalin komunikasi dengan manusia lain sehingga terpenuhilah kewajiban moral manusia sebagai mahkluk sosial. Dalam hal ini, bahasa memainkan fungsinya sebagai alat komunikasi.

  Saat ini, berbagai media komunikasi berkembang begitu pesat. Tentu saja semua itu memberikan kemudahan bagi manusia untuk mengembangkan interaksi kepada sesama. Salah satu medianya adalah melalui iklan di berbagai media. Meski dengan wujud yang berbeda, tetapi tetap saja bahasa menjadi hal utama dalam penyampaiannya

2.1.2 Iklan

  Monle Lee dan Carla Johnson mendefinisikan iklan sebagai sebuah komunikasi komersil dan nonpersonal tentang sebuah organisasi dan produk- produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target melalui media bersifat massal seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail (pengeposan langsung), reklame luar ruang, atau kendaraan umum. Dengan demikian jelaslah bahwa iklan merupakan media komunikasi massa.

  Pemanfaatan bahasa dalam iklan tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan demi tercapainya maksud iklan itu sendiri. Secara khusus iklan di televisi lebih menekankan bahasa tutur dalam menyampaikan maksudnya kepada orang lain. Hal itu dapat diungkapkan oleh penutur dengan menggunakan kalimat imperatif, deklaratif, maupun interogatif. Semua tentu dengan satu tujuan yaitu tercapainya pesan.

  Menurut Rot Zoill melalui Rendra Widyatama (2005:147) menjabarkan fungsi iklan dalam empat fungsi. Keempat fungsi tersebut akan dijabarkan sebagai berikut: a.

  Fungsi Precipitation Iklan berfungsi untuk mempercepat berubahnya suatu kondisi dari keadaan yang semula tidak dapat mengambil keputusan menjadi dapat mengambil keputusan. Sebagai contoh adalah meningkatkan permintaan, menciptakan kesadaran dan pengetahuan tentang sebuah produk. b.

  Fungsi Persuasion Iklan berfungsi untuk membangkitkan khalayak sesuai pesan yang diiklankan. Hal ini meliputi daya tarik emosi, menyampaikan informasi tentang ciri suatu produk, dan membujuk konsumen untuk membeli.

  c.

  Fungsi Reinforcement (meneguhkan sikap) d.

  Fungsi Reminder Iklan mampu mengingatkan dan semakin meneguhkan terhadap produk yang diiklankan.

  Iklan di televisi memiliki kecenderungan menggunakan tindak tutur lisan yang berbeda antara iklan satu dengan yang lain. Jenis iklan yang sama pun memiliki tindak tutur yang berbeda pula. Berbagai iklan yang ditayangkan di televisi memiliki keragaman demi menjaring konsumennya dengan pengemasan bahasa yang menarik. Bahkan demi menjaring konsumen, setiap iklan menunjukkan keunggulan barang yang diiklankan. Selain itu, iklan kerap kali ditayangkan berulang-ulang sehingga akan semakin memberikan kesan yang dalam kepada konsumen terhadap produk yang ditawarkan. Hal ini mempunyai maksud agar konsumen selalu ingat dengan produk yang ditawarkan dan tidak mempedulikan produk yang lain.http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2018848-bahasa- iklan-dan-fungsinya/#ixzz2BuWyaFh9)

2.1.3 Kosmetik

  

Kosmetik berhubungan dengan kecantikan; bahan untuk mempercantik wajah, kulit,

rambut, dsb (Alwi, 2007:97).

  Kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 220/MenKes/Per/X/1976 tanggal 6 september 1976 yang menyatakan bahwa kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan ke dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan obat (Wasitaatmadja, 1997).

  Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, gigi, dan rongga mulut antara lain untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono, 2007).

  Penggolongan kosmetik berdasarkan kegunaan: 1)

  Kosmetik perawatan kulit wajah yang terdiri dari :

  a) Pembersih (Milk Cleanser)

  b) Penyegar (Toning)

  c) Pengelupasan sel tanduk (Chemical Peeling)

  d) Krim pengurut (Masage Cream)

  e) Masker f) Pelembab (Moistorizer)

  g) Krim Vitamin (Eye Cream, Night Cream)

  h) Krim pelindung (Sun Screen)

  (Setiyani M.G., 1996:28) 2)

  Kosmetik perawatan badan terdiri dari : Pembersih seperti sabun mandi, lulur, pembersih kuku, bubuk batu apung, anti septik.

  b) Pelembab kulit badan seperti:body lotion

  c) Krim pengurut

d) Penyegar seperti: deodorant sparay, body splash.

  (Nelly Hakim, 2001:26) Kosmetik dekoratif merupakan kosmetik yang dibuat dan digunakan untuk merias atau memperindah kulit. Biasanya dibuat dengan berbagai macam warna dan aroma. Kosmetika dekoratif pada umumnya terdiri dari :

  1) Bedak dasar (Foundation)

  2) Bedak (Face Powder )

  3) Cat bibir (lipstick)

  4) Pemerah pipi (blush on)

  5) Pembuat garis mata (eyeliner)

  6) Maskara

  7) Pensil alis (eye brow pencil)

  3) Kosmetik perawatan rambut

  a) Shampoo

  b) Conditioner

  c) Hair tonic

2.2 Landasan Teori

  Pragmatik menurut Yule adalah “cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna yang dikehendaki oleh penutur” (dalam Cahyono,1995:213).

  Menurut Leech (Wijana,1996:3) pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tata bahasa yang terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Di dalam bahasa, pragmatik terkadang juga memperhatikan suara dan struktur kalimat beserta makna kalimat tersebut.

  Pragmatik adalah penelitian di dalam bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan (tindak ujaran), dan struktur wacana (Levinson, 1983 dalam Siregar, 2011:23)

  Levinson (1983 dalam Rahardi, 2009:20) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak pernah dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

2.2.2 Konteks

  Konteks berasal dari bahasa Latin contexere yang berarti ‘menjalin bersama’. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang atau lingkungan yang berhubungan dengan diri yang menjalin bersamanya.

  Konteks adalah lingkungan di sekitar tuturan yang memungkinkan peserta kebahasaaan yang digunakan dalam interaksi itu dapat dimengerti.

  (http//:www.wikipedia.com) Konteks situasi tutur (speech situational contexts) di dalam bidang pragmatik itu menurut Wijana (1996 dalam Rahardi, 2009:22) dapat mencakup aspek-aspek seperti yang berikut ini: (1) penutur dan lawan tutur,(2) konteks tuturan,(3) tujuan tuturan,(4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.

  Ada empat pokok pandangan Firth mengenai konteks: a. Peserta tutur (participants) dalam situasi: orang-orang yang terlibat dalam peristiwa komunikasi.

  b.

  Tindakan peserta tutur: aktivitas yang dilakukan, baik berupa tindakan tutur (verbal action) maupun tindakan yang bukan tutur (non-verbal

  action ).

  c.

  Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan: benda-benda dan kejadian-kejadian sekitar, sepanjang hal itu memiliki hubungan tertentu dengan hal yang sedang berlangsung. d.

  Dampak-dampak tindakan tutur: bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh peserta tutur dalam peristiwa komunikasi

  Dalam penelitian di bidang etnografi komunikasi, Hymes mengajukan seperangkat konsep yang berkaitan dengan konteks ini dalam sebuah akronim

2.2.3 Peristiwa Tutur

  Dalam studi pragmatik terdapat pula peristiwa tutur. Peristiwa tutur merupakan faktor lain yang mempengaruhi bentuk makna dan makna wacana.

  Chaer (1995:61) mengatakan yang dimaksud dengan peristiwa tutur (Inggris:

  speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi lingustik dalam satu

  bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.

  Seorang pakar linguistik terkenal, Hymes (1972 dalam Chaer, 1995:62) mengatakan bahwa sesuatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wadhaugh 1990):

  

Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur

  berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi, tempat, dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai telah berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, tapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.

  Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

  pembicara dan pendengar, penyapa, dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Misal, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbicara terhadap teman-teman sebayanya.

  

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi

  di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan adil.

  

Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini

  berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

  Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan

  disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.

  

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur

  lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek ragam, atau register.

  Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan

  dalam berinteraksi. Misalnya berhubungan dengan cara interupsi, bertanya, dan

  

Genre , mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,

doa, dan sebagainya.

2.2.4 Pengertian Implikatur

  Menurut Grice istilah implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983: 31 dalam Rani, 2004: 170). Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (utterance) pada dasarnya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut adalah proposisi yang biasanya tersembunyi di balik tuturan yang diucapkan, dan bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Pada gejala demikian tuturan berbeda dengan implikasi (Wijana, 1996: 37). Adanya perbedaan antara tuturan dan implikasi kadang-kadang dapat menyulitkan mitra tutur untuk memahaminya, namun pada umumnya antara penutur dan mitra tutur sudah saling berbagi pengalaman dan pengetahuan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian, implikatur mengisyaratkan adanya perbedaan antara tuturan dengan maksud yang ingin disampaikan.

  Menurut Wijana (1996: 38), dengan tidak adanya keterkaitan semantik antara suatu tuturan dengan yang diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlahnya. Dalam contoh (1), (2), dan (3) berikut ini terlihat bahwa tuturan (+) Bambang datang memungkinkan memunculkan reaksi yang bermacam-macam masing reaksi itu memunculkan implikasi yang berbeda-beda.

  1. (a) + Bambang datang

  • Rokoknya disembunyikan (b) + Bambang datang
  • Aku akan pergi dulu (c) + Bambang datang
  • Kamarnya dibersihkan Jawaban (-) dalam (a) mungkin mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Merokok kalau ada yang memberi, dan tidak pernah memberi temannya, dan sebagainya. Jawaban (-) dalam (b) mungkin mengimplikasikan bahwa (-) tidak senang dengan Bambang. Akhirnya jawaban (-) dalam (c) mengimplikasikan bahwa Bambang adalah seorang pembersih. Ia akan marah-marah melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan dengan banyaknya kemungkinan implikasi yang melandasi kontribusi (-) dalam (a), (b), (c).
Menurut Levinson (Rani, 2004: 173) implikatur percakapan (conversational

  

implicature ) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena

  empat hal: 1) konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah.

  3) konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. 4) konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Contoh:

  2) A: Jam berapa sekarang? B: Korannya sudah datang.

  Kalimat (4A) dan (4B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun, pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikan sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan. Soemarmo (1988:172) menyatakan bahwa kebanyakan dari apa yang diucapkan seseorang dalam percakapan sehari-harinya mengandung implikatur. Sebagai contohnya adalah percakapan dua orang yang duduk sebangku dalam bus kota sebagai berikut:

  Hari itu sangat panas, apalagi dengan keadaan bus yang sesak. Salah satu orang diantara keduanya (peneliti andaikan sebagai B) mengeluarkan rokok dari sakunya dan merokok. Tidak lama kemudian muncullah percakapan seperti di bawah ini: 3)

  A: cuaca hari ini sangat panas B: maaf.

  Dengan mengerti implikatur yang ingin diungkapkan si A, si B memahami ini sangat panas”, melainkan sebuah permintaan agar ia tidak merokok, maka ia pun meminta maaf dan mematikan rokoknya.

  Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait (Grice,1975 dalam Chaer, 2010: 34-37). Prinsip kerjasama tersebut ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of conversation), yaitu:

  1)

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan

  kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya. Jadi, jangan berlebihan. Contoh:

4) A. Ayam saya telah bertelur.

  B. Ayam saya yang betina telah bertelur. Tuturan (B) tidak menaati maksim kuantitas karena adanya kata yang betina yang tidak perlu. Semua ayam yang bertelur sudah tentu ayam betina. Jadi, kata

  

yang betina pada tuturan itu memberi informasi yang tidak perlu. Sementara

  tuturan (A) sudah menaati maksim kuantitas karena informasi yang diberikan hanya secukupnya saja, tidak berlebihan.

  2)

Maksim kualitas menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal

  yang sebenarnya; hal yang sesuai dengan data dan fakta. Contoh: 5)

  A: Coba kamu Ahmad, kota Makasar ada di mana? B: Ada di Sulawesi Selatan, Pak.

  6)

  A: Deny, siapa presiden pertama Republik Indonesia? A: Bagus, kalau begitu Bung Karno adalah presiden kedua,ya.

  Pertuturan (8) sudah menaati maksim kualitas karena kata Makasar memang berada di Sulawesi Selatan. Namun, pada tuturan (9) A memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas dengan menyatakan Bung Karno adalah presiden kedua Republik Indonesia. Kontribusi A, yang melanggar maksim kualitas ini diberikan dengan reaksi terhadap B yang salah. Dengan kontribusi yang salah ini maka B kemudian secara cepat akan mencari jawaban mengapa A membuat pernyataan yang salah itu. Kata bagus yang diucapkan dengan nada mengejek menyadari B terhadap kesalahannya.

  3)

Maksim relevansi/ hubungan mengharuskan setiap peserta pertuturan

  memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Contoh:

  7)

  A: Bu, ada telepon untuk ibu! B: Ibu sedang di kamar mandi, Nak.

  Sepintas jawaban B pada pertuturan (10) tidak berhubungan. Namun, bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B pada pertuturan (10) mengimplikasikan atau menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi.

  4)

Maksim cara mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara

  langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut. Contoh:

A: Kamu datang ke sini mau apa? B: Mengambil hak saya.

  Penuturan (11) tidak menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak bisa mengacu pada hak sepatu bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya.

2.2.5 Jenis Implikatur

  

Grice (1975), seperti diungkap oleh Thomas (1995:57) menyebut dua macam

implikatur, yaitu:

2.2.5.1 Implikatur Konvensional

  Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004:14) dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Contoh:

9) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya.

  Contoh (9) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan.

  Menurut Grice (1975 dalam Rani, 2004:171) dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’. Contoh:

10) Dia orang Madura karena itu dia pemberani.

  Pada contoh (10) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Madura), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu orang Madura dan tidak

2.2.4.2 Implikatur Konversasional

  Implikatur Konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas, 1995:58). Contoh: 11)

  Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok.

  Contoh (11) di atas merupakan implikatur konversasional yang bermakna “tidak” dan merupakan jawaban atas pertanyaan Maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?. pragmatik. html)

  Implikatur konversasional disebut juga implikatur nonkonvensional merupakan suatu implikatur yang lebih mendasarkan maknanya pada suatu konteks yang melingkupi suatu percakapan. Menurut Grice (Mudjiono,1996 : 32- 33). Berikut ini merupakan contoh tuturan di dalam suatu percakapan yang mengandung suatu implikasi percakapan.

  12)

  A: “Hpmu baru ya? Mengapa tidak membeli N70 aja?”

  B: “Ah, harganya terlalu mahal.”

  Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa HP yang dibeli A murah sedangkan HP N70 harganya lebih mahal daripada HP yang dibeli A.

2.2.6 Tindak Tutur

  Teori tindak tutur dikemukakan oleh (J.L Austin ,1962 dalam Chaer, 2010:27- 29) merumuskan tindak tutur menjadi tiga kategori, yaitu: 1.

  Tindak Tutur Lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act Saying Something tindakan untuk menyatakan sesuatu. Contoh:

  13) Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura. Kalimat (13) di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu.

  2. Tindak Tutur Ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Oleh sebab itu, tindak tutur ilokusi ini disebut The Act of

  Doing Something (tindakan melakukan sesuatu). Contoh:

  14) Sudah hampir pukul tujuh. Kalimat (14) bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor; jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab mungkin seperti kalimat (15A) dan bukan kalimat (15B).

  15) A.Ya, Mas! Sebentar lagi sarapan siap.

  B. Ya, Mas! Jam di dapur malah sudah pukul tujuh lewat.

  3. Tindak Tutur Perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai The Act of Affective Someone (tindak yang memberi efek pada orang lain). Contoh:

16) Rumah saya jauh sih.

  jauh; tetapi juga bila dituturkan seorang guru kepada kepala sekolah dalam rapat penyusunan jadwal pelajaran pada awal tahun menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat datang tepat waktu pada jam pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si kepala sekolah akan memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama; melainkan pada jam-jam siang. Secara khusus, Searle (1975 dalam Chaer, 2010:29-30) mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima kategori, yaitu tindak tutur: 1)

  Representatif (disebut juga asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, menyebutkan, mengusulkan, mengeluh, membual, dan mengemukakan pendapat.

  2) Direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.

  Misalnya memesan, menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memberi nasihat, dan menantang.

  3) Ekspresif yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, mengecam, menuduh, mengucapkan bela sungkawa, mengkritik, dan mengelak. 4)

  Komisif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya menawarkan, berjanji, 5)

  Deklarasi yaitu tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.

  Misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengangkat (pegawai), mengucilkan atau membuang, memutuskan, membatalkan, melarang, memberi maaf, dan mengizinkan.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Tinjauan pustaka dilakukan untuk mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti, maka ada beberapa sumber yang relevan untuk membantu penelitian ini.

  Fitri (2009), skripsinya menjelaskan tentang penggunaan implikatur dan tindak tutur dalam bahasa iklan rokok Sampoerna a Mild pada papan iklan.

  Dalam skripsinya beliau menerapkan teori implikatur yang dikemukakan oleh Grice dengan menganalisis prinsip-prinsip percakapan (maxim of confersation), yaitu :1) prinsip kuantitas; 2) prinsip kualitas; 3) prinsip hubungan ; 4) prinsip cara dalam iklan rokok Sampoerna a Mild pada papan iklan. Skripsi beliau tidak hanya menganalisis implikatur tetapi juga membahas tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Dalam penelitiannya, beliau menggunakan metode simak untuk mengumpulkan data dan metode padan untuk menganalisis data. Tulisan ini memberi sumbangan bagi peneliti dalam memahami teori implikatur percakapan.

  Nasution (2009), dalam tesisnya membahas implikatur percakapan yang terjadi dalam acara debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta. Dalam implikatur percakapan yang diperoleh dari terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama. Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode deskriptif bersifat kualitatif. Untuk mengumpulkan data, beliau menggunakan metode simak dan data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Beliau menggunakan teori implikatur percakapan yang diungkapkan Grice dalam penelitiannya. Hasil tesis beliau adalah telah terjadi pelanggaran maksim percakapan yang dilakukan oleh para calon cagub dan cawagub yaitu maksim kualitas, maksim relevansi, maksim kuantitas dan maksim cara. Pelanggaran terjadi disebabkan tanggapan- tanggapan yang dikemukakan para kandidat tidaklah relevan terhadap pertanyaan panelis, tidak jelas, kurang memiliki bukti, dan memberikan informasi lebih dari yang ditanyakan. Tesis ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami prosedur penelitian deskriptif-kualitatif, mengetahui cara menganalisis data, dan menggunakan teori implikatur pada data yang akan dianalisis.

  Mono (2002), dalam tesisnya membahas bentuk slogan signatura iklan kosmetika dikaji dari segi pragmatik. Dalam penelitiannya, beliau mengidentifikasi bentuk slogan signatura iklan kosmetika, mendeskripsikan tujuan informatif dan komunikatif slogan iklan kosmetika, dan mendeskripsikan presumsi relevansi optimal dan interpretasi relevansi optimalnya. Penelitiannya menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data yang beliau lakukan adalah menggunakan metode rekam. Untuk menganalisis data, beliau menggunakan teori relevansi atau prinsip relevansi yang dikemukakan Sperber dan Wilson. Hasil dari tesis ini adalah bentuk slogan signatura iklan kosmetika kepada pemirsa bahwa komunikator memiliki seperangkat asumsi. Tujuan komunikatif adalah agar pemirsa dan komunikator saling mengerti tentang seperangkat asumsi yang terkandung dalam tujuan informatif slogan signatura iklan kosmetika. Tesis ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami bentuk bahasa iklan kosmetik dan memahami cara menganalisis data bahasa iklan kosmetik dengan teori pragmatik.

  Ardison (2011), dalam skripsinya membahas implikasi pada tuturan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas yang terjadi di kantin. Dalam penelitiannya beliau menjelaskan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam prinsip kerja sama pada tuturan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas.

  Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa implikasi pada tuturan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas yaitu: menolak, menyindir, mengejek, menyuruh pergi,

  menuduh, menolak , menjawab, meminta traktiran, dan mengolok-olok. Maksim-

  maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama pada tuturan mahasiswa tersebut, yaitu : maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Skripsi ini memberi sumbangan bagi peneliti mempelajari bentuk pelanggaran-pelanggaran prinsip kerja sama/maksim dalam teori implikatur percakapan

  Subekti (2011) dalam skripsinya membahas bentuk tuturan yang mengandung implikasi percakapan dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya pemakaian implikatur pada komentator sepak bola di ANTV. Semua percakapan yang dibahas dalam analisisnya mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan teori prinsip kerja sama yang dikemukakan Grice, yakni maksim kuantitas, maksim bagi peneliti dalam memahami penggunaan teori implikatur percakapan pada data percakapan di televisi.