Transformasi Arcade pada Ruko (Studi Kasus: Koridor Jalan Ahmad Yani Medan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini akan menjelaskan mengenai teori-teori yang digunakan dalam

  penelitian ini dan kesimpulan yang bisa diambil dari teori-teori tersebut. Adapun teori-teori tersebut yakni teori transformasi dan teori arcade. Teori-teori inilah yang kemudian dijadikan salah satu acuan untuk mengerjakan tahap penelitian yang selanjutnya.

2.1 Transformasi Budaya

2.1.1 Transformasi

  Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan (Antoniades dalam Wahid dan Alamsyah, 2013).

  Transformasi adalah salah salah satu insting dasar manusia yang dapat didefinisikan sebagai suatu transisi pada masyarakat dalam usahanya untuk mengadakan adaptasi dalam perubahan dunia (Loebis, 2002). Menurut Rapoport (dalam Loebis, 2002) arsitektur ditentukan berdasarkan budaya, dengan demikian transformasi arsitektural dan prosesnya juga ditentukan oleh budaya, akibatnya perubahan dan transformasi budaya akan berdampak pada arsitektur.

  2.1.2 Budaya

  Budaya adalah sekelompok orang yang memiliki nilai, kepercayaan dan pandangan hidup yang sama, dan suatu sistem simbol yang dipelajari dan disebarkan. Budaya menciptakan suatu sistem aturan dan kebiasaan, yang merefleksikan idealisme dan menciptakan gaya hidup, tata cara hidup, peran, kelakuan, makanan, bahkan suatu bentuk buatan misalnya arsitektur (dalam Loebis, 2002). Peraturan dalam suatu budaya berkaitan dengan gaya hidup dan lingkungan binaan. Selanjutnya, kodrat suatu peraturan menjadi perwujudan dalam suatu lingkungan telah membedakan lingkungan satu dengan lingkungan lainnya.

  2.1.3 Transformasi Budaya

  Transformasi budaya merupakan perubahan budaya yang relatif cepat dengan hasil yang besar. Transformasi ini khususnya pada perubahan susunan teknis dan moral mengacu pada organisasi perasaan manusia dalam menghakimi hal yang benar pada ikatan antar manusia daripada kategori konten dari kultur itu sendiri (Redfield dalam Loebis, 2002). Kemudian Redfield (dalam Loebis, 2002) menyatakan bahwa susunan teknis adalah susunan yang dihasilkan oleh pemaksaan yang disengaja, atau dari pemanfaatan dengan maksud yang sama.

  Misi dan tujuan budaya tertentu dapat diperoleh melalui suatu strategi yang merefleksikan materi budaya misalnya gaya arsitektur dan bentuk hunian.

  Karena arsitektur ditentukan berdasarkan budaya (Rapoport dalam Loebis, 2002) , maka transformasi arsitektural dan prosesnya juga ditentukan oleh budaya, akibatnya perubahan dan transformasi budaya akan berdampak pada arsitektur.

2.1.4 Asal Usul Perubahan

  Perubahan merupakan serangkaian kejadian dalam kurun waktu yang melahirkan suatu modifikasi atau pergantian suatu elemen dari pola budaya yang mengarah pada pergerakan pola dalam waktu dan ruang yang kemudian menghasilkan pola kultural lain (Loebis, 2002). Perubahan kultural berkaitan dengan waktu. Perubahan kultural ini bersifat historis dan berkaitan dengan urutan kejadian dan pergerakan antara ruang dan waktu. Oleh karena itu, perubahan kultural hanya bisa dipelajari melalui catatan historis.

  Struktur dan proses perubahan budaya adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian yang saling bergantung, setiap bagian ini memiliki fungsi masing-masing dan berperan dalam sistem (Durkheim dalam Loebis, 2002). Dalam teori ini, sistem adalah gerakan kekal, suatu titik keseimbangan dimana bagian dari sistem tersebut terus menerus menyesuaikan satu sama lain dan untuk merubah subsistem yang membentuk bagian baru. Maka dari itu, dalam suatu sistem terdapat penggerak untuk mencapai kondisi baru.

2.1.4.1 Adaptasi

  Sesuai dengan pandangan evolusionisme, adaptasi adalah suatu proses dan sistem yang menghubungkan sistem kebudayaan dan alam semesta. Proses ini terjadi apabila misi kultural tercapai, dengan demikian masyarakat menggerakkan sumber daya dan menjaga pola budayanya sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan. Maka dari itu, kondisi ini tidak dapat ditetapkan sebagai kondisi statis, hal ini dikarenakan sistem memiliki potensi yang tinggi untuk merangsang dan melaksanakan perubahan dan adaptasi, dalam menjaga tujuan misi kultural bagi masyarakat, oleh (Parson dan Shills dalam Loebis, 2002).

2.1.4.2 Kebutuhan Budaya

  Kebutuhan budaya tidak hanya merupakan kebutuhan fisik atau kebutuhan biologi yang diajukan oleh Malinowski dan Mallmann (dalam Loebis, 2002) tetapi juga keinginan, kebutuhan-kebutuhan sosial yang dinyatakan oleh Radcliffe Brown (dalam Loebis, 2002). Kebutuhan budaya adalah rangkaian interaksi dinamis material.

2.1.5 Mekanisme Transformasi

  Adapun mekanisme perubahan melalui pertukaran dapat dibedakan menjadi dua yakni pertukaran internal (evolusi) dan pertukaran external (difusi).

2.1.5.1 Pertukaran Internal (Evolutionisme)

  Dalam teori evolutionisme, proses perubahan budaya menunjukkan keteraturan dan gejala asli dalam setiap pola budaya untuk mengalami perubahan.

  Gejala ini dideskripsikan dalam teori dialektik Hegel yang menyatakan bahwa pendekatan dialektik menekankan kepentingan produk mental dan pikiran daripada material seperti yang diaplikasikan pada definisi sosial pada dunia fisik dan materi.

  Menurut Smith (dalam Loebis, 2002), perubahan disebabkan oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah kumpulan minat materi masyarakat, yang kedua adalah ideologi yang menanamkan pandangan hidup, dan yang ketiga adalah ketertarikan suatu kelompok budaya.

  Perubahan dalam evolutionism dipandang sebagai pertumbuhan, yang mungkin terganggu, namun selalu mencapai kemajuan dan terus naik, bertransformasi dari bentuk simpel ke bentuk yang lebih rumit dan fleksibel. Meskipun demikian hanya perubahan tertentu yang mengikuti pola ideal ini. Faktanya, hasil dari dampak faktor eksternal banyak yang berubah dan dalam keadaan tertentu keadaan pola kultural menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan penyaluran dampak eksternal.

  Kegagalan dalam evolutionism adalah ketidakmampuann paham ini untuk menyungguhi proses terputus yang radikal dan serangkaian kejadian yang diungkapkan dalam catatan sejarah.

2.1.5.2 Pertukaran External (Difusionisme)

  Difusi adalah respon dari sumber perubahan internal seperti yang diusulkan oleh teori evolusi. Difusi disini bisa diartikan sebagai perpindahan elemen budaya dari satu budaya ke budaya lainnya. Menurut Smith (dalam Loebis (2002) proses difusi tidak membedakan elemen perpindahan dari kultur penyumbang dan terjadi secara tidak sengaja dalam perpindahan elemen ke kultur penerima. Dari sisi kultur penyumbang, perubahan dapat diarahkan maupun tidak diarahkan tetapi elemen budaya asing tidak akan bisa menembus budaya lain kecuali elemen budaya tersebut disetujui oleh kultur penerima. Budaya penerima kemudian akan memodifikasi elemen budaya yang mereka terima dengan cara yang lebih kompleks, modifikasi budaya inilah yang nantinya akan menjadi bentuk hybrid. Perubahan dalam difusionisme memiliki relevansi dan atraksi yang besar dalam proses sejarah masa kini dibandingkan dengan masa lalu.

  Malinowski (dalam Loebis, 2002) sependapat dengan teori ini, Ia menyatakan bahwa dampak misi kultur penyumbang, pengaruhnya dan perantaranya bukanlah sekedar percampuran atau perpaduan, tetapi sesuatu yang berorientasi pada suatu hal dan dengan tujuan yang jelas.

  Paham difussionism meyakini bahwa perubahan terbesar berasal dari luar kultur penerima, dan tugas para peneliti adalah untuk mencari keanehan, terulang, yang tersalur dimana perubahan mendesak pengaruhnya pada kultur penerima. Perubahan dalam diffusionism memiliki relevansi dan atraksi yang besar dalam proses sejarah masa kini dibandingkan dengan masa lalu.

  Diffusionism pun memiliki kekurangan yaitu, yang pertama paham ini

  cenderung berasumsi bahwa semua perubahan bersifat kualitatif. Yang kedua

  diffusionism cenderung menolak peran seleksi aktif oleh individu dan kelompok

  yang ditemukan oleh Malinowski. Yang ketiga, paham ini gagal menyediakan kriteria untuk membedakan jenis rangkaian kejadian historis eksternal yang dapat menghasilkan perubahan yang signifikan.

2.1.5.3 Pertukaran Internal dan External

  Dalam paham diffusionism efek pertukaran internal dalam proses perubahan dan transformasi tidak diperhitungkan. Dalam Paham evolutionism perubahan yang dihasilkan akibat faktor eksternal diabaikan. Pertukaran kultur internal terjadi karena pertukaran elemen budaya dalam suatu kebudayaan (internal diffusionism), sedangkan pertukaran budaya eksternal terjadi karena pertukaran elemen budaya dengan budaya lain (external evolutionism) (Loebis, 2002).

2.2. Tinjauan Ruko

  Ruko merupakan salah satu jenis bangunan yang berasal dari kata rumah dan toko. Rumah yang berarti tempat berhuni dan toko yang berarti ruang untuk kegiatan usaha, jadi ruko dapat dikatakan sebagai sebuah bangunan yang menggabungkan fungsi hunian dan kerja dalam satu tempat. Hal ini menyebabkan perkembangan ruko menjadi sangat pesat (Harisdani dan Dolok , 2004).

Gambar 2.1 Gambaran Detail Ruko Sumber : www.wikipedia.com

  Setiap unit dasar ruko mempunyai lebar 3-6 meter dan panjang 5-8 kali lebar bangunan. Mayoritas ruko tidak memiliki ruang tamu. Di depan setiap unit ruko terdapat 1-3 meter teras/arcade yang berfungsi sebagai transisi ruko dan jalan umum (lihat Gambar 2.1). Kemudian teras ruko tersebut terhubung dengan teras tetangganya sehingga menciptakan jalan beratap menerus. Jalan ini mengikuti tipologi jalan berukuran lima kaki (five foot way) yang terkadang disebut sebagai

  "kaki lima". Jalan seperti ini dapat ditemukan di kota-kota permukiman selat yang dikembangkan Inggris contohnya di Penang, Malaka dan Singapura (Isthipraya dkk, 2009) (lihat Gambar 2.2).

Gambar 2.2 'five foot way', Magazine Road, George Town, Penang Sumber : www.wikipedia.com

  Dari penjabaran di atas, diambil kesimpulan bahwa dalam penelitian ini ruko yang dimaksud adalah bangunan yang memiliki fungsi ganda yaitu sebagai hunian (tempat tinggal) dan tempat usaha.Dan ruko disini memiliki teras/arcade yang terhubung dengan teras tetangganya sehingga menciptakan jalan beratap menerus sebagai pendukung fungsi ruko itu sendiri yakni sebagai tempat tinggal dan usaha (komersil).

2.3 Tinjauan Pertokoan Pinggir Jalan

  Pertokoan pinggir jalan merupakan pertokoan dengan kegiatan perdagangan eceran yang berupa toko-toko yang berderet di sepanjang satu atau dua sisi jalan atau suatu deretan pertokoan yang membentuk ruang terbuka di tengahnya (Attoe dan Logan dalam Sasmito, 1997).

Gambar 2.3 Gambaran Pertokoan Pinggir Jalan Sumber : www.wikipedia.com

  Pertokoan pinggir jalan memiliki fasade bangunan berupa deretan susunan blok bangunan yang berdiri sejajar dengan jalan. Deretan bangunan itu dilengkapi dengan deretan kolom penopang atap selasar bangunan yang berbentuk arcade, sehingga ruang yang terbentuk memiliki kesan yang menerus menyusuri sepanjang depan bangunan pertokoan (lihat Gambar 2.3).

  Dengan demikian, elemen pendukung yang dibutuhkan untuk penampilan fasade bangunan pertokoan pinggir jalan antara lain : Ruang selasar pertokoan membutuhkan adanya penerangan sinar matahari secara tidak langsung, yaitu dengan cara melalui adanya ruang terbuka dengan penutup atap (arcade). Pengunjung mendapat kenyamanan berjalan kaki maupun berbelanja. Kenyamanan pejalan kaki dipengaruhi oelh adanya keragaman jenis kegiatan di dalam pertokoan.

  Tipologi bentuk pertokoan dibangun dengan penekanan memiliki fungsi ganda yaitu kepentingan publik dan private. Kepentingan tersebut diperuntukkan kegiatan komersial dan kegiatan hunian. Selanjutnya, perkembangan pertokoan berkembang menjadi sebuah bangunan bertingkat di kawasan pusat perdagangan di pusat kota. Penampilan bangunan pertokoan itu sendiri dilengkapi dengan selasar bangunan yang dipergunakan untuk pejalan kaki. Pemakaian selasar bangunan tersebut merupakan keaslian dari bentuk rumah toko (ruko), yang pada awalnya berkembang pada abad ke-19 (Yeang dalam Sasmito, 1997). Pada abad ke-19 tersebut, bentuk karakteristik pertokoan di pusat kota banyak memakai selasar bangunan berupa arcade (Maitland dalam Sasmito, 1997).

2.4. Tinjauan Arcade pada Ruko

  Arcade merupakan bentuk pedestrian yang ditutup atap dengan dibatasi oleh deretan pertokoan yang berada disisinya. Arcade tersebut berfungsi sebagai jalur pejalan kaki (Sasmito, 1997). Arcade dapat diartikan juga sebagai bagian dari ruang luar ruko dan memiliki peran penting dalam hidupnya kawasan ruko.

  Elemen ini pada prinsipnya merupakan hasil adaptasi ruko terhadap kondisi iklim tropis, melindungi pejalan kaki dari cuaca panas dan hujan. Lebar arcade sesuai bagi sirkulasi dua orang pejalan kaki yaitu 5 kaki atau sekitar 1,5m (Kharismawan, 2006).

  Selain itu arcade juga berfungsi sebagai tempat tambahan untuk memajang barang dagangan, berteduh saat hujan dan tempat berinteraksinya berbagai kalangan masyarakat yang ada disana (Isthipraya dkk, 2009).

  Utermann (1984) juga mendefinisikan arcade sebagai selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding pembatas di salah satu sisinya. Sehingga bisa dipahami bahwa arcade juga berfungsi sebagai ruang untuk pejalan kaki untuk melakukan berbagai aktivitas.

  Arcade tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari sinar matahari dan curah hujan tropis tapi juga sebagai ruang transisi dari ruang luar sebelum memasuki bangunan (lihat Gambar 2.4) dan sekaligus berfungsi sebagai tempat sosial serta perluasan aktivitas ruko (Wahyono, 2005).

Gambar 2.4 Studi Arcade Sumber : Buku Komposisi Arsitektur

  Di depan setiap unit ruko terdapat 1-3 meter teras/arcade berfungsi sebagai transisi ruko dan jalan umum. Selain itu arcade berfungsi sebagai tempat tambahan untuk memajang barang dagangan, berteduh di saat hujan, dan tempat berinteraksinya berbagai kalangan masyarakat yang hadir di sana (Isthipraya dkk, 2009).

  Penampilan bangunan pertokoan dengan penggunaan arcade dapat memberikan kesan kesinambungan kegiatan antar ruang pertokoan. Sedangkan pertokoan mempunyai layanan barang yag dipamerkan guna menarik pengunjung melalui etalase di depan pertokoan. Dengan adanya keberadaan arcade tersebut dapat memberikan pengarahan pergerakan pengunjung dari satu tempat ke tempat lainnya dengan berjalan kaki (Sasmito, 1997).

  Selain itu, arcade juga berperan sebagai ruang koridor pembatas antara pertokoan dengan jalan raya. Padahal sesuai dengan perkembangan pusat kota yang berbanding lurus dengan peningkatan transportasi, maka dibutuhkan pemisahan jelas antara kawasan pedestrian dengan kendaraan bermotor untuk menjamin keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Namun arcade tidak hanya sekedar untuk pejalan kaki saja, tetapi muncul kegiatan dengan motivasi ekonomi yang mempunyai hubungan erat dengan jalur pengunjung (Sasmito, 1997).

  Dari penjabaran di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa arcade itu dibuat untuk memenuhi beberapa kebutuhan, seperti : Sebagai selasar untuk jalur pejalan kaki. Sebagai pelindung dari sinar matahari dan curah hujan tropis (iklim). Dapat memberikan pengarahan pergerakan pengunjung dari satu tempat pertokoan ke tempat lainnya dengan berjalan kaki.

  Sebagai tempat tambahan untuk memajang barang dagangan melalui etalase di depan pertokoan.

  Sebagai tempat sosial serta perluasan aktivitas ruko. Sebagai ruang koridor pembatas antara pertokoan dengan jalan raya.

2.4.1 Sejarah Perkembangan Arcade

  Arcade menjadi salah satu bentuk alternatif bentuk shopping street. Ide arcade ini sudah berkembang sejak Agora yang terkenal dengan nama Greek (lihat Gambar 2.5). Kawasan Agora tersebut sudah mengembangkan

  Market

  kawasan pedestrian sebagai pencapaian antar tempat dengan jalan kaki yang menjadi salah satu budaya sebelum adanya kendaraan. Kawasan ini berkembang menjadi pasar dan tempat pertemuan masyarakat untuk melakukan sosialisasi (Zucker, 1983 dan Rubenstein dalam Sasmito, 1997).

Gambar 2.5 Kawasan Agora di Bukit Acropolis, Yunani Sumber : Sasmito, 1997

  Perkembangan pasar pada abad pertengahan mulai dibutuhkan dengan kreasi ruang untuk yang digunakan untuk kegiatan komersial. Dengan pola pencapaian dengan jalan memutar bangunan disekitarnya yang semuanya memiliki oientasi menuju bangunan gereja, seperti bangunan Piazza Del Duomo.

  Elemen bangunan dilengkapi dengan arcade untuk menghubungkan elemen arsitektur.

  Pada kawasan Piazza Del Duomo tersebut arcade digunakan untuk mendukung suatu kesatuan ruang antara shopping centre dan meeting place.

  Arcade disini mengelilingi gereja dan terletak di tengah-tengah kawasan perdagangan tersebut. Fungsi lainnya adalah untuk perluasan ruang terbuka dengan struktur keruangan, yang mempunyai serial vision yaitu antara ruang terbuka yang berada ditengah dengan ruang-ruang yang mengelilinginya (Zucker dalam Sasmito, 1997). Dan perkembangan arcade tersebut menjadi dasar perkembangan penampilan bangunan secara keseluruhan, dan hal ini membuat penampilan fasade bangunan terdiri dari deretan arcade.

  Adapun perkembangan arcade pada zaman Renaissance, arcade digunakan untuk pusat-pusat keramaian, khususnya pusat-pusat kegiatan perdagangan. Pada saat itu, bentuk pusat perdagangan dibentuk oleh suatu deretan pertokoan dan pasar dengan dikelilingi barisan kolom penopang atap (colonnade) yang berbentuk arcade dengan ruang terbuka di tengahnya. Awalnya arcade digunakan sebagai elemen penghubung lingkungan perumahan, keidahan arsitektural dengan pengulangan irama motif dan sebagai ruang terbuka (Zucker dalam Sasmito, 1997).