Kajian Pemanfaatan Ruang Jalan Sebagai Ruang Terbuka Publik dengan Studi Kasus: Car Free Day di Koridor Jalan M.H.Thamrin – Jend. Sudirman di Jakarta

(1)

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG JALAN SEBAGAI

RUANG TERBUKA PUBLIK

STUDI KASUS: “

CAR FREE DAY

” DI RUAS JALAN

M.H.THAMRIN & JEND.SUDIRMAN - JAKARTA

TESIS

OLEH

FRANSISKA WAHYUNI CATUR RINI

097020008/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG JALAN SEBAGAI

RUANG TERBUKA PUBLIK

STUDI KASUS: “

CAR FREE DAY

” DI RUAS JALAN

M.H.THAMRIN & JEND.SUDIRMAN - JAKARTA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik

Dalam Program Studi Teknik Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

FRANSISKA WAHYUNI CATUR RINI

097020008/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERNYATAAN

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG JALAN SEBAGAI

RUANG TERBUKA PUBLIK

STUDI KASUS: “

CAR FREE DAY

” DI RUAS JALAN

M.H.THAMRIN & JEND.SUDIRMAN - JAKARTA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2011


(4)

Judul Penelitian : KAJIAN PEMANFAATAN RUANG JALAN SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK

STUDI KASUS: “CAR FREE DAY” DI RUAS JALAN M.H.THAMRIN & JEND.SUDIRMAN - JAKARTA

Nama : FRANSISKA WAHYUNI CATUR RINI

Nomor Pokok : 097020008

Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR

Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD) Ketua

(Wahyuni Zahrah, ST, MS) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc)

Dekan,

(Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)


(5)

Telah diuji pada Tanggal: 21 Juli 2011

__________________________________________________________________

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc Anggota Komisi Penguji : 1. Wahyuni Zahrah, ST, MS

2. Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI 3. Imam Faisal Pane, ST, MT


(6)

ABSTRAK

Hampir semua kota besar, khususnya kota Jakarta mengalami “defisit” dalam hal penyediaan ruang terbuka publik, karena jumlah besaran/luas yang disediakan oleh pemerintah kota tidak mampu menampung kebutuhan beberapa aktivitas sosial yang semestinya merupakan hak dari warga kotanya. Namun hadirnya car free day sedikit banyak dapat memberi angin segar akan keberadaan ruang terbuka publik yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, yang dalam perkembangannya telah digunakan masyarakat sebagai wadah untuk olah raga, rekreasi, mengekspresikan kesenian dan kebudayaan, bahkan juga untuk melakukan akivitas ekonomi. Koridor jalan itu kemudian tidak hanya berfungsi sebagai jalur lalu lintas namun juga memiliki esensi sebagai ruang terbuka publik bagi warganya. Melalui penelitian ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisis kecenderungan pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik untuk mengetahui implikasi dari pola pemanfaatan ruang terbuka publik baik dari segi fisik, sosial, ekonomi, maupun ekologis.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan peristiwa dan fenomena yang terjadi di wilayah studi melalui hasil amatan terhadap tata guna lahan, jalur pedestrian, jalur sirkulasi dan parkir, aksesibilitas, signage serta jumlah dan jenis kegiatan di sepanjang koridor. Data – data fisik secara detail akan digambarkan dalam bentuk ilustrasi potongan jalan, peta dan foto dokumentasi, sedangkan data aktivitas pengunjung akan digambarkan dalam bentuk pemetaan perilaku (behaviour mapping) pada beberapa durasi waktu yang berbeda selama pelaksanaan car free day. Dan metode kualitatif rasionalistik diimplementasikan pada proses analisis dengan penekanan yang terletak pada ketajaman dan kepekaan berpikir peneliti dalam menganalisis suatu masalah atau kecenderungan yang terjadi di lapangan, seperti pola aktivitas yang terjadi di koridor tersebut. Bagaimana para pengunjung saling berinteraksi satu sama lain dalam ruang publik ini, dimana hal tersebut akan secara jelas terlihat dalam peta perilaku (behaviour map) dan juga dilengkapi dengan hasil kuesioner dan wawancara dengan para pengujung kemudian dianalisis untuk mendapatkan kecenderungan pola pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik.

Dari hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara umum car free day sebagai ruang terbuka publik telah menciptakan kehidupan publik yang cukup berhasil, baik ditinjau dari segi fisik, sosial, ekologis maupun ekonomi dengan indikator terpenuhinya unsur – unsur comfort, relaxation, passive engagement, active engagement, dan discovery dalam fungsinya sebagai ruang terbuka publik. Namun perlu juga dilakukan pembenahan oleh pihak penyelenggara dari segi pembagian jalur sirkulasi, penertiban pedagang kaki lima dan penambahan fasilitas umum guna menciptakan ruang terbuka publik yang lebih baik.


(7)

ABSTRACT

Almost all cities, especially Jakarta, experience a "deficit" in terms of providing public open space, as the space volume allotted by the city administration cannot accommodate the need of social activities to which the city residents are supposedly entitled. However, the present of car-free day somehow gives hope to the present

of

public open space as a response to the people's need, which has currently been utilized by people for sports, recreational, arts and culture, and even economic activities. The street corridors now do not only function as traffic lane but essentially also as public open space for the residents. In this research, the researcher attempts to study and to analyze the tendency to utilize the public street space as public open space in order to find out the implication of public open space utilization pattern in terms of physical, social, economical, and ecological aspects.

The research uses qualitative descriptive method in order to describe the events and the phenomena which occur in the study area through the results of observation of land use, sidewalk, circulation lane and parking lots, accessibility, signage, and a number of types of activities alongside the corridors. Physical data are described in details in the forms of road illustration, maps, and documentation photos; whereas the data of the visitor activities are described in the form of behavior mapping in several different durations during the car free day. The qualitative rationalistic method is implemented in the process of analysis with emphasis on the researcher's sharpness and the sensitivity of thinking in analyzing the problems and the tendency which occur in the field, such as the activity pattern which occurs in the corridors. How people interact to one another in the public space is evident in the behavior map and is completed with the results of the questionnaires and interviews with visitors and is analyzed in order to obtain the tendency of street space utilization pattern as public open space.

The results of the research and data analysis show that in general car-free day as public open space has created a quite successful public life from the physical, social, ecological and economical aspects with indications of the fulfillment of comfort, relaxation, passive engagement, active engagement, and discovery elements in functioning as public open space. However, several improvements are needed to be taken by even organizer in terms of distribution of circulation lane, better management of street vendors and addition of public facilities to create a better public open space.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Bapa Yang Maha Kasih atas segala berkat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian tesis mengenai “Kajian Pemanfaatan Ruang Jalan Sebagai Ruang Terbuka Publik dengan Studi Kasus: Car Free Day di Koridor Jalan M.H.Thamrin – Jend. Sudirman di Jakarta”, yang disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur pada Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

Dengan ini pula, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc; Bapak Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing I dan Ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, arahan serta ikut membantu dalam penyusunan hasil laporan penelitian hingga selesai pada waktu yang telah ditetapkan; bapak-bapak dan ibu-ibu para staf pengajar di Program Studi Magister Teknik Arsitektur Fakultas Teknik USU atas ilmu yang telah diberikan selama ini; kedua orang tuaku F.X.H. Djoko Purwantono dan M.C. Kamsijah beserta seluruh keluarga besarku atas doa dan dukungannya; suami terkasih Rudy Triswanto, my lovely little son E. Rafael Paska Ruri Putra dan my becoming princess yang selalu sabar mendampingi, dan memberikan support yang sangat luar biasa selama proses penyusunan laporan


(9)

penelitian; teman-teman seangkatan yang selalu membantu baik dalam proses pencarian data maupun dalam penulisan laporan ini hingga selesai; serta Novi Yanthi atas bantuannya selama ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan kiranya laporan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis sendiri, pembaca dan untuk kita semua.

Medan, Juli 2011 Penulis

Fransiska Wahyuni Catur Rini NIM. 097020008


(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Fransiska Wahyuni Catur Rini Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/15 Juni 1978

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Katolik

Alamat : Jl. Bukit Permata II Blok G17/14 Perum. Permata Pamulang - Tangerang Selatan

Golongan Darah : O

PEKERJAAN

Instansi Induk : Pemerintah Kota Tangerang Selatan Instansi Tempat Bekerja : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air

PENDIDIKAN

1996-2000 : Jurusan Arsitektur

Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Indonesia - Serpong, Tangerang

2009-2011 : Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota


(11)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Sistematika Pembahasan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 10

2.1 Ruang Jalan ... 10

2.2 Ruang Publik (Public Space) ... 12


(12)

2.3.2 Ruang publik ditinjau dari aspek sosial ……….. 33

2.3.2.1 Aktifitas aktif ... .35

2.3.2.2 Aktifitas pasif ... . 36

2.3.3 Ruang publik ditinjau dari aspek ekologis ... 37

2.3.4 Ruang publik ditinjau dari aspek ekonomi ... 40

BAB III METODE PENELITIAN... 47

3.1 Pendekatan Penelitian ... 47

3.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 47

3.3 Jenis Data ... 48

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.5 Teknik Sampling ... 50

3.6 Metode Analisis ... 51

BAB IV TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 54

4.1 Gambaran Umum Kota Jakarta... ... 54

4.2 Kondisi Umum Ruang Terbuka di Kota Jakarta ... 62

4.3 Gambaran Umum Lokasi Kajian ... 62

4.3.1 Data pengunjung ... 66

4.2.2 Fasilitas ... 71

BAB V ANALISIS... ... 75

5.1 Ruang Publik Ditinjau dari Aspek Fisik ... 75

5.1.1 Sistem keterkaitan ruang ... 75

5.1.2 Jalur pejalan kaki (pedestrian way) ... 84


(13)

5.1.4 Street furniture ... 92

5.2 Ruang Publik Ditinjau dari Aspek Sosial ... 96

5.3 Ruang Publik Ditinjau dari Aspek Ekologis ... 122

5.4 Ruang Publik Ditinjau dari Aspek Ekonomi ... 125

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...132

6.1 Kesimpulan ... 132

6.2 Saran ... 136


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal

2.1 Contoh signage berupa rambu-rambu lalu lintas ... 29

2.2 Contoh sculpture sekaligus menjadi node dari kawasan ...30

2.3 Contoh shelter berupa halte pemberhentian kendaraan ...32

2.4 Contoh design tempat sampah ...33

4.1 Peta DKI Jakarta Tanpa Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu ...55

4.2 Kawasan Kumuh dan Banjir yang Merupakan Salah Satu Masalah Berkepanjangan yang Terus Melanda Jakarta ...57

4.3 Peta Struktur Tata Ruang Wilayah ...58

4.4 Peta Arahan Pengembangan Kawasan Hijau ...59

4.5 Taman Kota: Taman Menteng, Taman Monas, Lapangan Banteng, dan Taman Suropati………. 60

4.6 Jalur Hijau ... ... ... 60

4.7 Taman Interaktif, Taman Partisipasi Masyarakat, dan Penghijauan ...61

4.8 Peta Koridor Thamrin – Sudirman dan Batas-batasnya ...63

4.9 Peta Guna Lahan Koridor Thamrin – Sudirman ...64

4.10 Kondisi Koridor Jalan di Saat Jam-jam Sibuk ...65

4.11 Diagram Jumlah Pengunjung Berdasarkan Jenis Kelamin ...67

4.12 Diagram Jumlah Pengunjung Berdasarkan Usia ...67

4.13 Diagram Jumlah Pengunjung Berdasarkan Pekerjaan ...67


(15)

4.15 Diagram Jenis Aktifitas ...68

4.16 Diagram Jenis Olah Raga yang Dilakukan ...68

4.17 Diagram Jumlah Pengunjung Berdasarkan Status Kependudukan……….69

4.18 Diagram Jumlah Pengunjung Berdasarkan Domisil ... 69

4.19 Diagram Jumlah Pengunjung Berdasarkan Moda Transportasi yang Digunakan ... 69

4.20 Diagram Jumlah Partisipan dan PKL Berdasarkan Status Kependudukan70 4.21 Diagram Jumlah Partisipan dan PKL Berdasarkan Jenis Kelamin……….70

4.22 Diagram Jumlah Partisipan dan PKL Berdasarkan Domisili ...71

4.23 Diagram Jumlah Partisipan dan PKL Berdasarkan Usia ...71

4.24 Diagram Jumlah Partisipan dan PKL Berdasarkan Pendidikan ...71

4.25 Lampu Jalan dan Lampu Taman ...72

4.26 Rambu-rambu Sebagai Proses Kelancaran Sirkulasi dan Lalu Lintas ...72

4.27 Halte...73

4.28 Jembatan Penyeberangan ...73

4.29 Tempat Sampah Disetiap Jalan ...73

4.30 Patung dan Air Mancur Sebagai Landmark...74

4.31 Toilet Umum ...74

5.1 Pembatas Antar Jalur Berupa Batu Canstine (Separator Busway) dan Rambu “Jalur Sepeda”………76

5.2 Potongan Ruas Jalan Thamrin – Sudirman ...77

5.3 Diagram Kepuasan Pengunjung Terhadap Kenyamanan Lalu Lintas/Sirkulasi ...78


(16)

5.5 Pengalihan Sirkulasi Kendaraan di Ruas Jalan Thamrin………79

5.6 Diagram Kepuasan Pengunjung terhadap Aksesibilitas ...80

5.7 Akses Masuk Area Car Free Day di Koridor Thamrin……… 81

5.8 Akses Masuk Area Car Free Day di Koridor Sudirman………81

5.9 Area Parkir di Koridor Thamrin……….82

5.10 Area Parkir di Koridor Sudirman………82

5.11 Diagram Kepuasan Pengunjung Terhadap Fasilitas Parkir………83

5.12 Kondisi Jalur Pedestrian yang Berada di Setiap Muka Bangunan……….84

5.13 Jalur Pedestrian Existing yang dipenuhi oleh PKL……….85

5.14 Jalur Pejalan Kaki yang Ditempatkan di Antara Jalur Busway dengan Jalur Sepeda………87

5.15 Salah Satu Partisipasi dari Provider Telekomunikasi yang Menyajikan Live Music………89

5.16 Atraksi Kebudayaan Oleh Budayawan Jalanan ...90

5.17 Pedagang Kaki Lima yang Menempati Badan Jalan………..91

5.18 Diagram Kepuasan Pengunjung Terhadap Keberadaan PKL …………..92

5.19 Diagram Kepuasan Pengunjung terhadap Keberadaan Sinage ...92

5.20 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 1 Durasi 06.00-08.00 WIB ...98

5.21 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 1 Durasi 08.00-10.00 WIB ...99

5.22 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 1 Durasi 10.00-12.00 WIB 100 5.23 Kerumunan Pengunjung di Depan Salah Satu Tenda Partisipan………. 101

5.24 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 2 Durasi 06.00-08.00 WIB...103


(17)

5.26 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 2 Durasi 10.00-12.00WIB ...105

5.27 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 3 Durasi 06.00-08.00 WIB...107

5.28 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 3 Durasi 08.00-10.00 WIB...108

5.29 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 3 Durasi 10.00-12.00 WIB..109

5.30 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 4 Durasi 06.00-08.00 WIB...111

5.31 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 4 Durasi 08.00-10.00 WIB...112

5.32 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 4 Durasi 10.00-12.00 WIB...113

5.33 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 5 Durasi 06.00-08.00 WIB...114

5.34 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 5 Durasi 08.00-10.00 WIB..115

5.35 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 5 Durasi 10.00-12.00 WIB...116

5.36 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 6 Durasi 06.00-08.00 WIB.. 117

5.37 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 6 Durasi 08.00-10.00 WIB..118

5.38 Pemetaan Perilaku Pengunjung di Segmen 6 Durasi 10.00-12.00 WIB..119

5.39 Diagram Durasi Aktifitas Pengunjung……….120

5.40 Diagram Kepuasan Pengunjung terhadap Variasi Aktifitas……….121

5.41 Diagram Kepuasan Pengunjung terhadap Fungsi Car Free Day Sebagai Ruang Sosial……… 121

5.42 Diagram Jumlah Omzet Pedagang Kaki Lima……… 131

6.1 Potongan Ruas Jalan Thamrin – Sudirman………. 137

6.2 Zonasi Untuk Partisipan dan PKL di Koridor Thamrin ……… 138


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal


(19)

ABSTRAK

Hampir semua kota besar, khususnya kota Jakarta mengalami “defisit” dalam hal penyediaan ruang terbuka publik, karena jumlah besaran/luas yang disediakan oleh pemerintah kota tidak mampu menampung kebutuhan beberapa aktivitas sosial yang semestinya merupakan hak dari warga kotanya. Namun hadirnya car free day sedikit banyak dapat memberi angin segar akan keberadaan ruang terbuka publik yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, yang dalam perkembangannya telah digunakan masyarakat sebagai wadah untuk olah raga, rekreasi, mengekspresikan kesenian dan kebudayaan, bahkan juga untuk melakukan akivitas ekonomi. Koridor jalan itu kemudian tidak hanya berfungsi sebagai jalur lalu lintas namun juga memiliki esensi sebagai ruang terbuka publik bagi warganya. Melalui penelitian ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisis kecenderungan pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik untuk mengetahui implikasi dari pola pemanfaatan ruang terbuka publik baik dari segi fisik, sosial, ekonomi, maupun ekologis.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan peristiwa dan fenomena yang terjadi di wilayah studi melalui hasil amatan terhadap tata guna lahan, jalur pedestrian, jalur sirkulasi dan parkir, aksesibilitas, signage serta jumlah dan jenis kegiatan di sepanjang koridor. Data – data fisik secara detail akan digambarkan dalam bentuk ilustrasi potongan jalan, peta dan foto dokumentasi, sedangkan data aktivitas pengunjung akan digambarkan dalam bentuk pemetaan perilaku (behaviour mapping) pada beberapa durasi waktu yang berbeda selama pelaksanaan car free day. Dan metode kualitatif rasionalistik diimplementasikan pada proses analisis dengan penekanan yang terletak pada ketajaman dan kepekaan berpikir peneliti dalam menganalisis suatu masalah atau kecenderungan yang terjadi di lapangan, seperti pola aktivitas yang terjadi di koridor tersebut. Bagaimana para pengunjung saling berinteraksi satu sama lain dalam ruang publik ini, dimana hal tersebut akan secara jelas terlihat dalam peta perilaku (behaviour map) dan juga dilengkapi dengan hasil kuesioner dan wawancara dengan para pengujung kemudian dianalisis untuk mendapatkan kecenderungan pola pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik.

Dari hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara umum car free day sebagai ruang terbuka publik telah menciptakan kehidupan publik yang cukup berhasil, baik ditinjau dari segi fisik, sosial, ekologis maupun ekonomi dengan indikator terpenuhinya unsur – unsur comfort, relaxation, passive engagement, active engagement, dan discovery dalam fungsinya sebagai ruang terbuka publik. Namun perlu juga dilakukan pembenahan oleh pihak penyelenggara dari segi pembagian jalur sirkulasi, penertiban pedagang kaki lima dan penambahan fasilitas umum guna menciptakan ruang terbuka publik yang lebih baik.


(20)

ABSTRACT

Almost all cities, especially Jakarta, experience a "deficit" in terms of providing public open space, as the space volume allotted by the city administration cannot accommodate the need of social activities to which the city residents are supposedly entitled. However, the present of car-free day somehow gives hope to the present

of

public open space as a response to the people's need, which has currently been utilized by people for sports, recreational, arts and culture, and even economic activities. The street corridors now do not only function as traffic lane but essentially also as public open space for the residents. In this research, the researcher attempts to study and to analyze the tendency to utilize the public street space as public open space in order to find out the implication of public open space utilization pattern in terms of physical, social, economical, and ecological aspects.

The research uses qualitative descriptive method in order to describe the events and the phenomena which occur in the study area through the results of observation of land use, sidewalk, circulation lane and parking lots, accessibility, signage, and a number of types of activities alongside the corridors. Physical data are described in details in the forms of road illustration, maps, and documentation photos; whereas the data of the visitor activities are described in the form of behavior mapping in several different durations during the car free day. The qualitative rationalistic method is implemented in the process of analysis with emphasis on the researcher's sharpness and the sensitivity of thinking in analyzing the problems and the tendency which occur in the field, such as the activity pattern which occurs in the corridors. How people interact to one another in the public space is evident in the behavior map and is completed with the results of the questionnaires and interviews with visitors and is analyzed in order to obtain the tendency of street space utilization pattern as public open space.

The results of the research and data analysis show that in general car-free day as public open space has created a quite successful public life from the physical, social, ecological and economical aspects with indications of the fulfillment of comfort, relaxation, passive engagement, active engagement, and discovery elements in functioning as public open space. However, several improvements are needed to be taken by even organizer in terms of distribution of circulation lane, better management of street vendors and addition of public facilities to create a better public open space.


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ruang terbuka publik adalah suatu tempat umum dimana masyarakat melakukan aktivitas rutin dan fungsional yang mengikat sebuah komunitas, baik dalam rutinitas normal dari kehidupan sehari-hari maupun dalam perayaan yang periodik (Carr, 1992). Seiring dengan perkembangan zaman, ruang terbuka publik kemudian berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan, maupun membangun pemerintahan.

Keberadaan ruang terbuka publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi lingkungan, masyarakat maupun kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak manfaat seperti fungsi olahraga, rekreasi dan RTH. Dalam pengembangan ruang terbuka publik dalam konteks perkotaan perlu memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh di dalamnya. Sebagai suatu ruang terbuka publik perlu diketahui karakteristik pemanfaatan ruangnya agar tercipta ruang luar yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Jika menilik dari fungsinya, ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi ruang sirkulasi kendaraan (jalan raya/freeway, jalan arteri, dll), ruang


(22)

terbuka publik di pusat komersial (area parkir, plaza, dan mall), ruang terbuka publik kawasan industri, dan ruang terbuka publik peringatan (Carr, 1992).

Ruang terbuka publik adalah ruang yang ditujukan untuk kepentingan publik. Ruang terbuka publik adalah salah satu jalan bagi anggota masyarakat menemukan kembali ruang kemanusiaannya. Namun pada kasus-kasus tertentu ruang terbuka publik cenderung diabaikan sebagai hasil dari rumitnya penataan ruang kota. Tidak seluruh kasus, strategi dan kenyataan dapat diurai penyebabnya. Hal ini terjadi bisa saja terjadi akibat dari penentuan faktor metode pendekatan yang keliru.

Ruang terbuka publik pada perkembangannya sering digunakan tidak sebagaimana mestinya dengan dilanggarnya aturan perundangan yang ada baik berupa undang-undang, peraturan daerah atau peraturan yang lain yang bersifat mengikat. Salah satu contohnya adalah adanya perubahan-perubahan fungsi taman kota menjadi fungsi bangunan yang tidak terkendali; perancangan ruang terbuka publik yang ada sering tidak mengacu pada kriteria desain tidak terukur yang melibatkan aspirasi atau keinginan masyarakat pengguna; desain ruang terbuka publik sering tidak memikirkan masalah pengelolaan dan perawatannya.

Dalam konteks penyediaan ruang-ruang terbuka publik di perkotaan, hampir semua kota besar mengalami “defisit” karena jumlah besaran/luas ruang publik yang disediakan oleh pemerintah tidak mampu menampung kebutuhan beberapa aktivitas sosial yang semestinya merupakan hak dari warga kotanya.


(23)

Hal yang sama terjadi juga di Jakarta dimana sebagai ibukota negara dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia luas ruang terbuka publik yang ada kurang lebih hanya mencapai 10% dari luas wilayah atau seluas kurang lebih 6.874,06 ha yang berarti Jakarta mengalami defisit jumlah besaran ruang terbuka sebesar 20%. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dicantumkan bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya untuk ruang terbuka. Sebagai contoh gejala ini dapat diamati dari aktivitas sosial di beberapa kota besar utama di Indonesia seperti di Jakarta. Defisit ruang publik yang berupa taman bermain dan lapangan olahraga terlihat dari gejala banyaknya anak-anak kita yang bermain sepak bola, bersepeda maupun layang-layang di median jalan, di bawah flyover atau di bantaran sungai. Hal ini dikarenakan kurangnya atau bahkan tidak tersedianya tempat bermain di lingkungan permukiman dimana mereka tinggal.

Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang terbuka publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Di Jakarta sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang terbuka publik untuk sekedar mengekspresikan diri harus dikorbankan. Akibatnya, anak-anak muda Jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan ”kelebihan energinya”. Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya ruang terbuka publik untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian


(24)

pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang terbuka publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya.

Hadirnya car free day yang pertama kali dilaksanakan di ruas jalan Thamrin-Sudirman pada tanggal 28 April 2008, sedikit banyak dapat memberi angin segar akan keberadaan ruang terbuka publik yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Car free day/Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) merupakan implementasi dari Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian dan Pencemaran Udara, dan menurut Ridwan Panjaitan, Kepala Bidang Penegakan Hukum Pengendalian Lingkungan DKI Jakarta “Tujuan jangka pendek car free day adalah untuk membiasakan warga berjalan kaki atau naik sepeda. Fenomena yang ada adalah masyarakat menggunakan mobil untuk menempuh jarak hanya 200 meter. Sedangkan tujuan jangka panjangnya, kita semua berharap makin banyak orang yang memakai kendaraan umum sehingga udara kita makin jauh dari polusi (..., LintasJakarta.com, 2009).

Pada hari pelaksanaan car free day, masyarakat dihimbau untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor pribadi, melainkan menggunakan kendaraan umum (busway, KRL, bus atau mikrolet) atau kendaraan tanpa motor, seperti sepeda. Pada pelaksanaannya, sepanjang jalan Thamrin-Sudirman akan ditutup sejak pk. 06.00-12.00 WIB bagi kendaraan bermotor, kecuali busway. Pada hari tersebut pengunjung dapat menikmati udara bersih, sesuatu yang amat langka di Jakarta.


(25)

Dalam perkembangannya, car free day kemudian digunakan masyarakat sebagai wadah untuk olah raga, rekreasi, mengekspresikan kesenian dan kebudayaan, bahkan juga untuk melakukan akivitas ekonomi. Ruas jalan itu kemudian tidak hanya berfungsi sebagai jalur lalu lintas namun juga memiliki esensi sebagai ruang terbuka publik bagi warganya. Artinya, jalan itu mendorong partisipasi warganya untuk berbicara, berinteraksi, dan berekspresi. Aspirasi masyarakat tertampung ketika ruas jalan Thamrin-Sudirman mampu ’’memproduksi’’ kegiatan-kegiatan di luar fungsi manifesnya (fungsi sirkulasi), maka jalan tersebut dinilai mampu membangun daya hidup bagi dirinya.

Berangkat dari fakta–fakta yang ada, dapat dilihat adanya suatu nilai positif dari aktivitas car free day terhadap keberlangsungan ruang terbuka publik kota, tentunya dengan penanganan yang tepat. Oleh karenanya peneliti akan mencoba mengurai secara rinci segala aspek yang mempengaruhinya baik secara fisik, sosial, ekologi maupun ekonomi juga implikasi apa saja yang menyertainya, agar nantinya diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota dalam menetapkan regulasi ataupun perencanaan dan penataan yang tepat bagi ruang terbuka publik kota, selain itu diharapkan juga dapat memberikan masukan studi dan memperkaya arahan dalam perencanaan ruang terbuka publik yang lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah

Car free day menjadi daya tarik yang kuat sehingga meningkatkan jumlah pelaku aktifitas di ruas jalan ini. Meningkatnya jumlah pelaku aktifitas berdampak


(26)

pula pada hadirnya permasalahan yang menyertai gejala alih fungsi ruang terbuka publik ini. Implikasi yang kemudian muncul dapat ditinjau dari beberapa aspek:

1. Aspek fisik. Bagaimana pembagian jalur sirkulasi antara busway, sepeda dengan pejalan kaki, apakah pola sirkulasi yang terbentuk sudah efektif dan memenuhi indikator sirkulasi yang aman dan nyaman bagi semua pengguna? Bagaimana akses masuk ke dalam ruas jalan, apakah cukup mudah pencapaiannya bagi semua pengunjung? Apakah fasilitas parkir yang ada cukup memenuhi kebutuhan pengunjung dan telah memenuhi syarat–syarat parkir yang baik bagi ruang terbuka? Apakah street furniture yang ada telah memenuhi kebutuhan pengunjung, apakah cukup membantu dalam proses kelancaran car free day?

2. Aspek sosial. Apakah car free day mampu menampung segala aktifitas pengunjung baik itu aktifitas aktif maupun aktifitas pasif? Sudahkah

car free day menjadi ruang terbuka publik yang mewadahi interaksi sosial para pengunjung yang hadir didalamnya?

3. Aspek ekonomi. Apakah car free day sebagai ruang terbuka publik telah dapat meningkatkan omzet penjualan para pelaku–pelaku ekonomi yang hadir di ruas jalan ini jika dibandingkan dengan pendapatan sehari–harinya? Apakah kehadiran para pelaku ekonomi ini turut menunjang aktifitas utama? Apakah pengunjung merasakan


(27)

manfaat positif atau bahkan negatif dari kehadiran para pelaku ekonomi ini?

4. Aspek ekologi. Apakah kualitas udara kota Jakarta mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah diberlakukannya car free day? Seberapa besar persentase penurunan kadar partikel–partikel udara yang mempengaruhi polusi udara?

1.3 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

Ruang lingkup dan batasan kajian dalam penelitian ini akan dilihat dari beberapa aspek yang mempengaruhinya, yaitu aspek fisik yang meliputi jalur sirkulasi, aksesibilitas, area parkir, jalur pedestrian, aktifitas penunjang dan keberadaan street furniture, aspek sosial dengan mengidentifikasikan segala aktifitas pengunjung baik itu aktifitas utama maupun aktifitas pilihan yang kemudian akan digambarkan dalam bentuk behaviour mapping, aspek ekologis dengan menganalisis data sekunder berupa tingkat kualitas udara kota Jakarta sejak dilaksanakannya car free day untuk mengetahui dampak penurunan polusi udara yang terjadi dan aspek ekonomi yang menitikberatkan pada dampak ekonomi yang dirasakan oleh para pelaku bisnis yang hadir disana terutama dari sisi peningkatan omzet penjualan.

1.4 Tujuan penelitian


(28)

1. Mengidentifikasi implikasi fisik, sosial, ekonomi, maupun ekologis pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik dalam kaitannya dengan kebijakan car free day.

2. Menganalisis implikasi tersebut dikaitkan dengan tingkat kesuksesan pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik dengan adanya kebijakan car free day.

1.5 Manfaat Penelitian

Ada pun manfaat dari penelitian ini, antara lain:

1. Manfaat praktis, memberi masukan bagi pemerintah kota dalam menetapkan regulasi ataupun perencanaan dan penataan yang dapat mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat/implikasi dari adanya aktivitas car free day tersebut.

2. Manfaat teoritis, memberikan masukan studi dan memperkaya arahan dalam perencanaan ruang terbuka publik yang lebih baik.

1.6 Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahan akan dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang kajian yang menjadi alasan pemilihan judul. Selanjutkan menjabarkan rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penyusunan penulisan.


(29)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Mendeskripsikan tentang teori ruang jalan dan ruang publik, fungsi dan keterkaitannya dengan pengguna dan lingkungan sekitar sesuai dengan standart yang ada serta segala aspek yang mempengaruhinya. Tinjauan pustaka ini nantinya akan menjadi dasar dari perumusan kerangka analisis.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan pendekatan penelitian dan teknik analisis yang akan dilakukan serta teknik pengambilan sampel sehingga akan mempermudah dalam proses analisis masalah yang dikaji.

BAB IV : TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Mendeskripsikan tentang wilayah kota Jakarta secara umum, kondisi umum ruang terbuka di kota Jakarta dan wilayah kajian, yaitu ruas jalan Thamrin–Sudirman secara khusus. Dalam bab ini dijelaskan pula data-data yang telah dihasilkan dari survey, wawancara dan kuesioner terhadap pengunjung yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

BAB V : ANALISA

Berisikan analisis terhadap data yang diperoleh dengan dasar tinjauan pustaka yang ada sehingga dapat menghasilkan suatu hasil


(30)

penelitian yang diinginkan sesuai dengan permasalahan yang dikaji.

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan kesimpulan dari seluruh tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dan juga berisi saran guna menciptakan fungsi ruang publik ke arah yang lebih baik.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruang Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyatakan manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

Ruang manfaat jalan hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan


(32)

Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang publik kota yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.

Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, dimana masing-masing memiliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari:

1. Ruang manfaat jalan

Adalah ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas (dengan atau tanpa jalur pemisah), bahu jalan dan jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak dibagian paling luar dari ruang manfaat jalan yang digunakan untuk mengamankan bangunan jalan.

2. Ruang milik jalan

Adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keleluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.

Menurut Moughtin (1992), jalan adalah garis komunikasi yang digunakan untuk melakukan perjalanan di antara dua tempat yang berbeda, baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. Jika disebut jalur, jalan adalah


(33)

cara untuk menuju akhir tujuan atau perjalanan. Jalan merupakan permukaan linier dimana pergerakan terjadi di antara dua tempat, sehingga dapat dikatakan fungsi jalan adalah menjadi penghubung antara dua bangunan, penghubung antara dua jalan dan penghubung antara dua kota. Pendapat ini diperkuat oleh Carr (1992), yang mengatakan bahwa jalan adalah komponen dari sistem komunikasi kota sebagai sarana pergerakan benda, masyarakat dan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain.

2.2 Ruang Publik (Public Space)

Pengertian ruang publik adalah suatu tempat umum dimana masyarakat melakukan aktivitas rutin dan fungsional yang mengikat sebuah komunitas, baik dalam rutinitas normal dari kehidupan sehari-hari, maupun dalam perayaan yang periodik (Carr, 1992). Seiring dengan perkembangan zaman, ruang publik baik pada zaman dahulu maupun pada saat sekarang tetap berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan maupun membangun pemerintahan.

Dalam tata guna lahan atau pemanfaatan ruang wilayah/area perkotaan, yang dimaksud dengan ruang publik adalah ruang terbuka (open space) yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh warga kota secara cuma-cuma sebagai bentuk pelayanan publik dari pemerintah kota yang bersangkutan demi keberlangsungan beberapa aktivitas sosial warganya.


(34)

jalur/jalan (the street). Ruang terbuka, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985).

Ruang publik yang berbentuk ruang terbuka dapat digunakan sebagai wahana rekreasi, paru-paru kota, memberikan unsur keindahan, penyeimbang kehidupan kota, memberikan arti suatu kota dan kesehatan bagi masyarakat kota. Ruang publik juga bermanfaat untuk melayani kebutuhan masyarakat sebagai sarana rekreatif maupun sebagai tempat untuk melakukan interaksi dan kontak sosial dalam kehidupan masyarakat. Demi untuk menjamin kepentingan sosial bagi semua golongan masyarakat maka semestinya semua ruang publik tersebut adalah milik pemerintah kota.

Keberadaan ruang publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi lingkungan, masyarakat maupun kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak manfaat. Dalam pengembangan ruang publik dalam konteks perkotaan perlu memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh didalamnya. Sebagai suatu ruang publik, perlu diketahui karakteristik pemanfaatan ruangnya agar tercipta ruang luar yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan tersebut selain berupa aktivitas juga mempertimbangkan karakteristik ruang dan ketersediaan sarana pendukungnya. Bagaimana ketiga faktor tersebut (aktivitas, karakteristik ruang


(35)

dan sarana pendukung) dapat saling mendukung agar terjadi kesesuaian pada tiap fungsi pemanfaatannya sehingga dapat dijadikan sebagai arahan pengembangan ruang publik pada umumnya.

Ruang publik sebagai ruang yang dapat diakses oleh setiap orang dan dengan sendirinya harus memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya pengendalian terhadap kebebasan tersebut. Pengendalian dalam penggunaan ruang publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.

2.3 Ruang Jalan sebagai Ruang Publik

Menurut Spurrier dalam Bishop (1989), jalan tidak dapat dipertimbangkan hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Dan Budiharjo (2005), mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn–Davies (2000), menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa yang dapat terjadi di jalan ini?”. Selanjutnya Lewelyn–Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari


(36)

Appleyard (1981), mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs (1993) bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan.

Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakat/publik.

Lebih lanjut Rapoport (1977) menjelaskan bahwa terjadinya aktifitas di suatu lingkungan termasuk ruang publik kota dapat dianalisa dalam empat komponen yaitu:

a. Aktifitas.sesungguhnya (makan, berbelanja, minum, berjalan);

b. Aktifitas spesifik untuk melakukannya (berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain); c. Aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi

bagian dari sistem aktivitas (berbelanja sambil bergosip, pacaran sambil jalan-jalan);

d. Aktifitas simbolik (berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok, memasak sebagai ritual, cara menegakkan identitas sosial).


(37)

Rapoport kemudian juga menyatakan bahwa aktifitas sesungguhnya (activity proper) dan aktifitas spesifik (specific activity) merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” sedangkan aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi (activity additional, adjacent and associationed) dan aktifitas simbolik (symbolic activity) merupakan perwujudan “fungsi laten”. Aktifitas tambahan, berdampingan atau terassosiasi dan aktifitas simbolik inilah yang membentuk “citra” suatu tempat.

Kegiatan di ruang terbuka publik di pusat kota merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” (ruang terbuka sebagai pusat interaksi sosial budaya masyarakat dan fungsi ekologis kota, pedestrian dan jalan sebagai linkage system) dan juga fungsi laten (ruang terbuka sebagai aktifitas ekonomi dan jalan/pedestrian sebagai tempat aktifitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat). Terjadinya aktifitas tersebut sebagai perwujudan fungsi manifestasi dan laten dalam ruang publik sehari-hari yang saling bercampur baur antara satu aktifitas dengan aktifitas lainnya dan saling mempengaruhi, yang dilakukan oleh sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk makna dan tujuan yang telah disepakati (Rapoport, 1977).

Jika dikaitkan dengan ruang jalan, maka jalan dengan fungsi manifestasinya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara dua tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif


(38)

maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.

2.3.1 Ruang publik ditinjau dari aspek fisik

Menurut Shirvani dalam urban design dikenal enam elemen fisik yang digunakan untuk membuat kebijakan, rencana, panduan design dan program. Namun dalam penelitian ini akan ditekankan pada empat elemen fisik yang paling berkaitan dengan subyek penelitian. Elemen fisik tersebut antara lain sistem keterkaitan ruang (sirkulasi, aksesibilitas dan parkir) Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), aktifitas penunjang (activity support), street furniture.

Salah satu fungsi urban space adalah sebagai sebagai simpul kegiatan. Fungsi ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pola sirkulasi transportasi kota. Oleh karenanya urban space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran), sekaligus memenuhi tuntutan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki pengguna jalan maupun urban space tersebut.

Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting bagi suatu kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota dan mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas perjalanan, sirkulasi di harapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui


(39)

(dalam konteks transportasi/lalu-lintas) memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan.

Sirkulasi dapat dikelompokkan sesuai dengan pelaku, sesuai dengan pembagian tempat/areanya maupun sesuai pola yang dibentuk sirkulasi itu sendiri. Sirkulasi menurut tempat/area dapat dibagi menjadi dua:

a. Sirkulasi outdoor yaitu sirkulasi yang terjadi pada ruang luar suatu bangunan atau sirkulasi di luar suatu bangunan.

b. Sirkulasi indoor yaitu sirkulasi yang terjadi di dalam bangunan itu sendiri.

Sirkulasi menurut pelakunya dibagi menjadi dua (Ashihara,1986) yaitu: a. Sirkulasi manusia yaitu sirkulasi yang dilakukan oleh manusia.

Sirkulasi yang dilakukan manusia dapat terjadi pada outdoor atau indoor.

b. Sirkulasi kendaraan yaitu sirkulasi dari kendaraan sebagai sarana transportasi. Umumnya sirkulasi kendaraan banyak melibatkan mengenai penataan ruang untuk parkir. Sirkulasi untuk parkir juga dapat terjadi di outdoor atau indoor.

Sirkulasi menurut polanya (Ching, 1990) dibagi menjadi:

a. Sirkulasi dengan pola terpusat, yaitu sirkulasi dengan pola menuju ke pusat sebagai tujuan utama.


(40)

b. Sirkulasi dengan pola linier, ysitu sirkulasi yang membentuk suatu garis yang menghubungkan tempat yang satu ke tempat lain.

c. Sirkulasi dengan pola radial, yang merupakan perkembangan dari sirkulasi linier.

d. Sirkulasi dengan pola cluster, yaitu sirkulasi dengan pola yang membentuk persamaan kriteria seperti sirkulasi dengan satu pintu masuk utama

e. Sirkulasi dengan pola grid, yaitu sirkulasi yang membentuk modul-modul tertentu.

Sedangkan perparkiran merupakan unsur pendukung sistem sirkulasi kota, yang menentukan hidup tidaknya suatu kawasan. Perencanaan tempat parkir harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di sekitarnya, mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungan.

b. Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing. Satu lokasi parkir dapat digunakan secara bergantian untuk beberapa lembaga. Misalnya, pagi untuk parkir karyawan perkantoran, pada malam hari atau pada waktu hari libur area parkir tersebut dapat digunakan oleh pengguna urban space.

c. Lokasi kantong parkir seyogyanya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejalan kaki. Sistem perletakan parkir


(41)

diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian.

Dan menurut PP No 41 tahun 1993 tentang Standar Angkutan Jalan, parkir yang disyaratkan adalah:

a. Ruang parkir mobil diasumsikan 4,8 x 2,3 m. b. Dilarang parkir dijarak 50 m dari penyeberangan.

c. Parkir tidak diperbolehkan di badan jalan kolektor dan lokal.

Area parkir seyogyanya membutuhkan ruang yang cukup sehingga kendaraan bermotor mempunyai ruang yang cukup untuk parkir dan keluar dari area parkir tanpa harus berdesakkan/terganggu dengan kendaraan lain yang juga akan parkir. Selain itu juga perlu diperhatikan ruang tambahan dari pintu bukaan mobil apabila pengguna kendaraan roda empat keluar dari mobilnya.

Tipe tata letak parkir, baik di tepi jalan, pada lahan parkir atau garasi dapat dibagi menjadi parkir sejajar, membentuk sudut serta parkir tegak lurus dengan tepi jalan atau dinding. Pilihan tergantung pada bentuk dan ukuran daerah yang tersedia, rencana sirkulasi serta jalan masuk keluar kendaraan.

Parkir sejajar dengan jalan umumnya diperuntukkan di tepi jalan raya. Ruang parkir sejajar paling sedikit 20 kaki, bila memungkinkan 22 kaki. Apabila waktu parkir cukup singkat, misalnya 15 menit, maka ruang parkir harus lebih panjang sehingga kegiatan datang dan pergi dapat dilakukan dalam satu gerakan.


(42)

Tata letak yang normal dan biasanya paling efisien untuk tempat parkir yang lebih besar adalah parkir secara tegak lurus dengan jalan. Hal ini memungkinkan masuk atau ke luar pada dua arah dan penggunaan ruang yang paling ekonomis, dengan tempat parkir selebar 8 kaki 6 inci dan jalan selebar 25 kaki maka tempat parkir dapat dimasuki oleh seorang pengendara dengan mudah tanpa memerlukan gerakan khusus.

Parkir yang membentuk sudut memberikan tempat parkir yang lebih sedikit dibandingkan dengan parkir tegak lurus dalam suatu satuan panjang tertentu, dan memerlukan jalan satu arah, akan tetapi tempat masuknya lebih memudahkan pengendara dan jalan antara biasa lebih sempit, sehingga memungkinkan penggunaan lahan yang terlalu sempit bagi parkir tegak lurus.

Dalam melakukan aktivitasnya, pejalan kaki membutuhkan suatu sarana berjalan kaki yang dikenal dengan sebutan jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini menurut Shirvani (1985) adalah elemen yang esensial dalam urban design, dan bukan hanya menjadi bagian dari program beutifikasi. Lebih dari itu, jalur pedestrian menjadi suatu sistem kenyamanan dan elemen pendukung bagi efektivitas retail dan vitalitas ruang–ruang kota. Selanjutnya, dikatakan bahwa jalur pedestrian adalah bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya berada di sepanjang sisi jalan, baik yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya, yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya.


(43)

Berjalan kaki masih merupakan cara bergerak yang paling sering bagi kebanyakan orang. Dengan demikian sistem jalur pedestrian merupakan penghubung penting yang menghubungkan aktivitas–aktivitas yang ada di kawasan suatu kota, elemen ini menjadi sebuah elemen penyusun (structuring element), pergerakan pejalan kaki akan mengikuti jalur yang paling mudah, menghindari halangan-halangan, jalan terdorong oleh daya tarik visual, perubahan ketinggian, tekstur pergerakan. Namun demikian, tetap menuntut pencapaian yang aman. Menurut Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3–4 km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Jarak 0,5 km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman (Uterman, 1984).

Utermann (1984) mendefinisikan berbagai macam jalur pejalan kaki (pedestrian) di ruang luar bangunan menurut fungsi dan bentuk. Menurut fungsinya, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum (sidewalk atau trotoar) biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan dengan jalur kendaraan umum sehingga diperlukan fasilitas yang aman terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan. Jalur pejalan kaki yang


(44)

digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi/menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu jalur penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk aktivitas ini diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway,

dan subway.

b. Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi waktu luang yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plaza pada taman kota.

c. Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan sekaligus berjalan sambil melihat etalase pertokoan yang biasa disebut mall.

d. Footpath atau jalan setapak, jalan khusus pejalan kaki yang cukup sempit dan hanya cukup untuk satu pejalan kaki.

e. Alleyways atau pathways (gang) adalah jalur yang relatif sempit dibelakang jalan utama, yang terbentuk oleh kepadatn bangunan, khusus pejalan kaki karena tidak dapat dimasuki kendaraan.

Sedangkan menurut bentuknya, jalur pejalan kaki dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


(45)

a. Arcade atau selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding pembatas di salah satu sisinya.

b. Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu. c. Jalan pejalan kaki tidak terlindungi/tidak beratap.

Sucher dalam Ekawati (2006) mengemukakan bahwa jalur pedestrian dapat berfungsi dengan baik bagi pejalan kaki dalam melakukan kegiatannya bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini:

a. Kontinuitas, umumnya pejalan kaki di segala usia lebih suka berjalan memutar dimana mereka dapat diketahui saat datang dan pergi. Namun yang terpenting adalah rutenya menerus dan dapat dilakukan sewaktu–waktu.

b. Jarak, jalur pedestrian tidak boleh terlalu panjang sehingga pejalan kaki dapat melaluinya bersama beberapa pejalan kaki lainnya. Pejalan kaki harus dapat membuat kontak mata dengan pejalan kaki lain agar terjadi kontak sosial.

c. Lebar, beberapa pejalan kaki menyukai berjalan–jalan bersama, jadi sangatlah ideal bila jalur pedestrian memiliki lebar yang cukup untuk dua orang berpapasan satu sama lainnya tanpa canggung untuk menyela suatu percakapan. Jalur pedestrian akan baik dan humanis bila terdapat elemen pendukung atau street furniture.


(46)

Dan menurut Utermann (1984), seyogyanya jalur pejalan kaki haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Keamanan (safety), pejalan kaki harus mudah bergerak atau berpindah dan berlindung dari kendaraan bermotor.

b. Menyenangkan (convenience), pejalan kaki harus memiliki rute sesingkat mungkin (jarak terpendek) yang bebas hambatan dari suatu lokasi ke lokasi tujuan lain.

c. Kenyamanan (comfort), pejalan kaki harus memiliki jalur yang mudah dilalui, seperti halnya kendaraan bermotor berjalan di jalan bebas hambatan.

d. Menarik (attractiveness), pada tempat tertentu diberikan elemen yang dapat menimbulkan daya tarik seperti elemen estetika, lampu penerang jalan, lansekap, dll.

Dimensi lebar ruang yang dibutuhkan jalur pedestrian di kawasan perdagangan untuk jalur berkapasitas dua orang minimal 150 cm, sedangkan jalur berkapasitas tiga orang minimal membutuhkan ruang 200 cm. Aktivitas pejalan kaki memiliki lingkup dan pergerakan yang lebih kompleks dari pada jenis transportasi lainnya terutama dikawasan perdagangan. Sehubungan hal tersebut, suatu jalur pedestrian harus berkualitas tinggi dan memberikan keleluasaan ruang gerak atau tempat luas, serta lingkungan yang bebas dari konflik dengan lalu lintas bagi aktivitas pejalan kaki. Keadaan


(47)

tersebut akan menciptakan pergerakan yang lancar, kegiatan sosialisasi, dan kenyamanan bagi pejalan kaki (Ekawati, 2006).

Selanjutnya adalah pertimbangan akan faktor penarik di sepanjang jalur pedestrian, dan yang terakhir adalah pertimbangan fasilitas publik (perabot jalan) dalam jalur pedestrian seperti bangku, pot tanaman, penerangan, dan lain – lain. Apek jalur pedestrian dapat dibagi dalam tiga kelompok fungsi dan kebutuhan, kenyamanan psikologis, dan kenyamanan fisik.

Dalam aspek teknis, perancangan jalur khusus untuk pejalan kaki harus memperhatikan:

a. Penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan kendaraan bermotor (jalur tersendiri).

b. Pedestrian harus didukung oleh tempat orientasi (point of interest). c. Kapasitas dan dimensi ruang mencukupi sehingga tidak terjadi kontak

fisik dengan pejalan kaki lain.

d. Peniadaan detail bangunan yang berbahaya, seperti lubang sanitasi, besi penanda, polisi tidur dan sebagainya.

e. Mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek. f. Didukung dengan pepohonan yang rindang.

Adapun fungsi utama activity support adalah menghubungkan dua atau lebih pusat–pusat kegiatan umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup, menerus dan ramai. Tujuannya adalah untuk


(48)

mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan sehari–hari kepada masyarakat kota, disamping memberikan pengalaman yang memperkaya

pemakaidan memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya budaya urban

melalui lingkungan binaan yang baik dan bersifat mendidik (Danisworo dalam Carolina, 2007).

Aktifitas penunjang mencakup segala penggunaan dan aktifitas yang dapat memperkuat urban public space, sebab antara aktifitas dan ruang fisik selalu saling melengkapi. Aktifitas cenderung untuk berada di tempat yang sesuai (cocok) dengan yang dibutuhkan oleh aktifitas tersebut. Saling bergantungan antara ruang dan fungsi adalah elemen penting dalam urban design.

Menurut Whyte (1980), aktifitas penunjang juga dapat meningkatkan elemen desain fisik, terutama ruang terbuka. Ia juga menyatakan pentingnya berjualan makanan (food services), hiburan, dan kegiatan pendorong yang lain sebagai obyek fisik dan obyek amatan.

Menurut Gehl-Gemzoe (1996), keberadaan aktifitas penunjang dalam ruang publik kota dapat dibagi dalam dua kategori, pertama meliputi kelompok informal dan event–event dalam skala kecil seperti musisi jalanan, pertunjukan jalanan, dll. Di lain sisi adalah event–event yang diselenggarakan dalam skala yang lebih besar, pertunjukan yang memerlukan persiapan seperti festival dan aktifitas–aktifitas kebudayaan yang menggunakan ruang publik sebagai wadah aktifitasnya.


(49)

Pertunjukan dan aktifitas kebudayaan tersebut adalah atraksi yang menarik untuk ruang publik kota dan akan menjadi magnet tersendiri sehingga mengundang pengunjung dalam jumlah yang sangat besar untuk menikmatinya. Aktifitas–aktifitas ini menjadikan ruang publik kota menarik, amusing dan tak terduga (Gehl-Gemzoe, 1996).

Street furniture menjadi istilah yang digunakan oleh para kalangan praktisi untuk memberikan sebutan bagi perabot jalan atau aksesoris jalan, dimana perletakannya selalu berada di sepanjang jalan raya atau jalan lingkungan yang fungsinya sebagai fasilitas pendukung aktivitas masyarakat di jalan raya. Perabot jalan atau street furniture ini cara perletakannya mempunyai kaidah – kaidah fungsi utama maupun seni.

a. Fungsi utama street furniture adalah sebagai petunjuk dan berfungsi sebagai pelayanan terhadap masyarakat pengguna, sehingga diharapkan dengan adanya street furniture, masyarakat dapat nyaman didalam melaksanakan aktivitasnya.

b. Fungsi seni, yaitu perletakan street furniture di sepanjang jalan raya mengikuti kaidah–kaidah seni, baik cara perletakan elemen– elemen itu sendiri maupun desain yang diharapkan mempunyai nilai seni tinggi, sekaligus mempunyai kualitas bahan yang baik.

Menurut Rubenstein (1969) dalam suatu ruang kota dibutuhkan elemen– elemen pendukung (street furniture) sebagai berikut:


(50)

a. Ground Cover, merupakan penutup tanah dan elemen utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan jalur pedestrian, menyangkut skala, pola, warna, tekstur, ketinggian dan material, dimana material ini dibedakan menjadi:

1. Hard material: paving, beton, batu bata, batu dan aspal. 2. Soft material: tanah liat (gravel) dan rumput.

Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang tepat akan mendukung suksesnya desain jalur pedestrian.

b. Lampu, dimana standar penerangan untuk skala jalur pedestrian secara umum adalah ketinggian maksimum 12 kaki dan penerangan maksimum 75 watt dengan jarak masing–masing penerangan 50 meter.

c. Signage, berupa tanda–tanda yang diperlukan untuk menunjukkan identitas jalur pedestrian, arah, rambu lalu lintas serta memberi informasi lokasi atau aktivitas (gambar 2.1). Dalam sudut pandang

urban design, ukuran dan kualitas desain dari papan iklan pribadi haruslah diatur agar tercipta keserasian, mengurangi dampak visual yang negatif, dan mengurangi rasa kebingunan dan kompetisi antara penandaan lalu lintas dengan penandaan publik. Desain penandaan yang baik dapat menghidupkan streetscape dan difungsikan untuk menginformasikan tentang barang dan layanan individu. Ukuran, bentuk dan warnanya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilihat


(51)

oleh sasaran penerima informasi. Sasaran ini bisa pejalan kaki atau pengendara kendaraan bermotor. Oleh karenanya desain harus memperhatikan skala pergerakannya, cepat atau lambat.

Gambar 2.1 Contoh Signage Berupa Rambu-rambu Lalu Lintas Sumber: Observasi 2010

d. Sculpture, berfungsi sebagai eyecatching, dibuat untuk mempercantik jalur pedestrian atau menarik perhatian mata (vocal point) pada sebuah ruang terbuka, juga dapat berfungsi sebagai sign/tanda.

Sculpture bisa berbentuk patung, air mancur dan abstrak (gambar 2.2).


(52)

Gambar 2.2 Contoh sculpture sekaligus menjadi node dari kawasan Sumber: Observasi 2010

e. Bollards, semacam balok–balok batu yang berfungsi sebagai barier atau pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur kendaraan yang biasanya terdapat pada pedestrian tipe semi mall.

f. Bangku, digunakan untuk mengantisipasi keinginan pejalan kaki untuk beristirahat atau menikmati suasana sekitarnya. Bangku dapat dibuat dari kayu, besi, beton atau batu. Bangku yang nyaman adalah yang memiliki tinggi sekitar 15-18 inch dari lantai dan memiliki sandaran. Bangku dapat dilengkapi dengan kisi–kisi sehingga angin dapat masuk melalui kisi–kisi tersebut. Bangku merupakan tempat duduk primer, sedangkan tempat duduk sekunder dapat berupa rerumputan, tangga, dan tembok pembatas tanaman/tanah. Ketersediaan tembok pembatas ini disarankan 50% dari bangku–bangku yang ada di ruang terbuka tersebut, dan agar dapat dipergunakan sebagai tempat duduk sekunder haruslah memiliki


(53)

tinggi 40-75 cm dan lebar 40-45 cm. Pengunjung akan lebih memilih bangku kayu, baru kemudian tangga dan pembatas tanaman/tanah. Bangku dengan ukuran 3x6 kaki akan sangat sesuai untuk ruang terbuka, baik digunakan saling berhadapan maupun saling membelakangi. Sedangkan pengunjung yang memilih untuk duduk di tangga dan tembok pembatas karena lebih sederhana. Tangga dan tembok pembatas yang ada haruslah memiliki banyak lekukan atau sudut.

Bentuk, ukuran dan pengaturan tempat duduk sangat berpengaruh terhadap pengunjung ruang terbuka. Orientasi duduk haruslah memungkinkan orang untuk memandang sekitarnya dengan leluasa. Dan perlu juga diperhatikan perlindungannya terhadap sinar matahari. Sedangkan pengelompokan tempat duduk akan memberikan lebih banyak variasi orientasi dan pengguna.

g. Kios, peneduh (shelter) dan kanopi, keberadaan kios dapat memberi petunjuk jalan dan menarik perhatian pejalan kaki sehingga mereka mau menggunakan jalur pedestrian dan menjadikan jalur tersebut hidup, tidak monoton. Shelter dapat dibangun berbentuk linier sebagai koridor atau sitting group yang fungsinya dapat berupa tempat untuk istirahat, berteduh dari panas terik atau hujan, maupun untuk halte pemberhentian jalur kendaraan umum (gambar 2.3). Sedangkan kanopi digunakan untuk


(54)

mempercantik wajah bangunan dan dapat memberi perlindungan terhadap cuaca.

Gambar 2.3 Contoh shelter berupa halte pemberhentian kendaaraan umum Sumber: Observasi 2010

h. Tanaman p eneduh, disamping untuk mempercantik kawasan dan menjadi pengarah, juga sebagai pembatas jalur pedestrian dengan jalur lalu lintas kendaraan atau parkir. Barier yang dapat mengurangi deru bising serta asap kendaraan bermotor serta peneduh disaat hujan dan mengurangi radiasi panas matahari. Adapun kriteria tanaman yang diperlukan untuk jalur pedestrian menurut Hakim (1993) adalah memiliki ketahanan terhadap pengaruh udara; bermassa daun padat; jenis dan bentuk pohon berupa ngsana, akasia besar, bougenville, dan teh-tehan pangkas; tanaman tidak menghalangi pandangan pejalan kaki maupun pengguna kendaraan.


(55)

i. Jam dan tempat sampah, dimana penempatan jam dapat menjadi fokus atau landmark, sedangkan tempat sampah perlu untuk menjaga kebersihan jalur pedestrian sehingga pejalan kaki merasa nyaman dan tidak terganggu (gambar 2.4).

Gambar 2.4 Contoh design tempat sampah Sumber: Observasi 2010

j. Elemen pendukung lain, adalah elemen yang memberikan kemudahan jalur pejalan kaki dalam mendukung aktivitas manusia yang melewatinya. Misalnya telepon umum, tempat sampah, kotak pos, bahkan di dekat sitting group sering ditempatkan mesin penjual minuman ringan dan koran.

Street furniture atau perabot jalan/taman merupakan perabot yang penting bagi kelangsungan aktifitas di jalan atau taman. Desain dan penataan street furniture akan membentuk kesan place dan mendukung identitas kawasan.

2.3.2 Ruang publik ditinjau dari aspek sosial


(56)

publik merupakan third place yang melengkapi first place yaitu rumah tinggal dan

second place yaitu tempat kerja.

Ruang publik dalam fungsinya sebagai area sosial dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul oleh berbagai macam golongan, dimana kegiatan yang terjadi dapat beragam seperti olah raga dan bermain dengan suasana yang nyaman dan teduh dari vegetasi yang cukup rindang (Nazaruddin, 1996). Selain itu, ruang publik yang dilengkapi dengan street furniture, vegetasi dan unsur pelengkap lainnya juga berfungsi sebagai area sosial karena dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan dapat memberikan keuntungan bagi pengembang kota karena akan mengurangi beban yang harus dikeluarkan untuk mengolah area baru yang berfungsi sebagai area berkumpul masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan.

Menurut Gehl-Gemzoe (1996), aktifitas yang dapat terekam dalam suatu ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi:

1. Aktifitas wajib adalah aktifitas yang wajib dilakukan, dan umumnya berjalan masuk dalam kategori ini.

2. Aktifitas pilihan adalah aktifitas yang dilakukan karena memang ingin dilakukan, seperti berdiri, duduk–duduk di bangku taman dan cafe, dan aktifitas rekreatif lain yang biasa ditemui dalam ruang terbuka publik termasuk dalam kategori ini. Pengunjung hanya terlibat dalam aktifitas pilihan ini jika tempat dan kondisinya memungkinkan, pada saat menghabiskan waktu dalam ruang terbuka publik menjadi sangat menyenangkan. Aktifitas ini merupakan aktifitas rekreatif yang wajib


(57)

diapresiasi dan ruang terbuka publik yang baik akan mampu menyuguhkan kesempatan bagi para pengunjung untuk terlibat dalam aktifitas santai dan menikmati waktu yang mereka habiskan di ruang publik tersebut.

Gehl-Gemzoe (1996) juga berpendapat bahwa salah satu cara untuk menilai kualitas suatu ruang kota bukan dari jumlah orang yang hadir didalamnya melainkan bagaimana mereka menghabiskan waktu di dalam ruang kota.

“One way to judge quality in a city is not to look at how many people are walking, but to observe whether they are spending time in the city, standing about, looking at something, or sitting just enjoying the city, the scenery and the other people.”

Berdasarkan Delianur (2000) jenis aktifitas rekreasi yang biasa terjadi pada ruang terbuka publik yang dilakukan seseorang atau kelompok antara lain aktifitas aktif dan aktifitas pasif. Aktifitas-aktifitas ini dapat mempengaruhi terbentuknya ruang terbuka publik yang dapat dipergunakan seluruh kalangan baik untuk aktifitas bergerak (aktif) maupun aktifiktas tidak bergerak seperti istirahat (pasif).

2.3.2.1 Aktifitas aktif

Suatu aktifitas yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan bergerak aktif di dalam ruang terbuka. Kegiatan yang tergolong dalam aktifitas ini adalah rekreasi (jalan-jalan), olah raga dan bermain (Simond, JO, 1976).

1. Olah raga, kegiatan ini biasa dilakukan di ruang terbuka di pusat kota karena merupakan kebutuhan masyarakat untuk menjaga


(58)

sarana olah raga di ruang terbuka tidak perlu mengikuti standart. Ada pun jenis olah raga yang biasa dilakukan di ruang terbuka, antara lain: a. Jogging, yaitu kegiatan lari santai yang umumnya dilakukan di

atas perkerasan yang nyaman dengan ukuran sesuai kebutuhan manusia. Umumnya lebar area yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ini berkisar antara 1,5–2 meter sehingga masih tersisa ruang untuk berpapasan dengan pengguna lainnya.

b. Senam, jenis olah raga yang satu ini memerlukan area yang lebih luas karena memerlukan kebebasan untuk bergerak.

c. Sepeda, umumnya dilakukan oleh anak–anak hingga orang dewasa dan sangat umum dilakukan di ruang terbuka.

2. Bermain, aktifitas ini dilakukan oleh anak–anak dan umumnya salah satu tujuan anak–anak untuk datang ke ruang terbuka adalah untuk bermain karena memiliki kebebasan yang lebih dibanding di rumah. Fasilitas bermain merupakan salah satu daya tarik yang umum digunakan bagi pengelola ruang terbuka untuk menarik minat anak– anak. Sedangkan alas dari area bermain pada ruang terbuka adalah pasir, tanah atau rumput.

Bentuk dari ruang terbuka yang dapat menampung aktifitas aktif ini dapat berupa plaza, lapangan olah raga, tempat bermain, penghijauan tepi sungai sebagai area rekreasi, dll.


(59)

2.3.2.2 Aktifitas pasif

Adalah aktifitas di yang dilakukan seseorang atau kelompok orang tanpa banyak berpindah tempat atau tanpa banyak bergerak aktif, seperti berhenti untuk beristirahat, atau duduk-duduk santai. Umumnya aktifitas seperti ini dilakukan di ruang terbuka berupa penghijauan/taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan.

Berikut adalah lima kategori orang yang duduk di ruang terbuka: a. Orang yang sedang menunggu.

b. Pengunjung yang duduk di tepi ruag terbuka publik hanya sekedar untuk melihat kendaraan dan orang yang melintas.

c. Orang yang duduk dan melihat ke dalam ruang terbuka publik, dan ketiga kategori ini umumnya dilakukan oleh perorangan.

d. Umumnya orang akan memilih untuk duduk tidak begitu dekat dengan jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki sehingga dapat terbentuk ruang untuk duduk berkelompok.

e. Sekelompok kecil pasangan yang mencari tempat yang cukup tertutup dan intim.

2.3.3 Ruang publik ditinjau dari aspek ekologis

Pencemaran udara, khususnya di kota-kota besar, sudah merupakan masalah yang perlu segera ditanggulangi. Hal ini akibat dari peningkatan aktifitas manusia, pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan


(60)

udara dirasakan pada tahun-tahun terakhir ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta serta pada pusat-pusat pertumbuhan industri.

Pemantauan terhadap parameter kualitas udara ambien seperti debu (partikulat), SO2 (sulfur dioksida), NOx (oksida nitrogen), CO (karbon monoksida), dan HC (hidrokarbon) di kota-kota tersebut menunjukkan keadaan yang cukup memprihatinkan. Zat pencemar udara lainnya yang cukup mendapat sorotan akhir-akhir ini adalah Pb (timbal) yang terdapat pada bahan aditif dalam bahan bakar bensin.

Berdasarkan sumbernya, pencemaran udara digolongkan menjadi sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Transportasi darat, khususnya kendaraan bermotor roda empat dan roda dua, merupakan sumber bergerak, sedangkan industri, domestik, komersial, serta kebakaran hutan dan lahan merupakan sumber tidak bergerak.

Berdasarkan jumlah beban pencemaran udara, emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber pencemar terbesar di kota-kota besar Indonesia. Kondisi itu diperburuk bila kendaraan yang beroperasi tidak berada dalam kondisi yang baik atau laik jalan.

Besarnya beban pencemar dari kendaraan bermotor diasumsikan sebanding dengan konsumsi bahan bakar. Berdasarkan data tahun 1992-2003, penjualan bahan bakar bensin di dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 6,89 persen dan bahan bakar solar rata-rata 5,87 persen per tahun.


(61)

Pencemaran udara memiliki dampak secara ekonomis berkaitan dengan penurunan kinerja sebagai akibat kenaikan tingkat kematian dan penderita sakit di kalangan masyarakat. Kasus gangguan pada pernapasan merupakan penyebab kematian ke-6 di Indonesia setelah kecelakaan, diare, penyakit jantung, TBC dan cacar, atau 6,2 persen dari seluruh penyebab kematian. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran udara yang ada. Salah satunya adalah dengan menyediakan paru-paru kota yang dapat berfungsi sebagai penetralisir dan memberi keseimbangan ekologi bagi lingkungan sekitarnya.

Keberadaan ruang terbuka yang dilengkapi dengan unsur-unsur vegetasi, sedikit banyak juga dapat memberikan andil dalam mengurangi dampak polusi udara ini. Bahkan menurut Catanese (1979), fungsi ruang terbuka dari segi ekologi akan memberikan keseimbangan ekologi untuk mencegah polusi udara di perkotaan melalui unsur vegetasi yang beragam. Sedangkan Hakim (2002) menjelaskan bahwa fungsi tanaman dalam ruang terbuka secara ekologi adalah sebagai pengendali iklim (climate control), dimana tanaman berfungsi sebagai pengendali iklim untuk kenyamanan manusia. Faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi sinar matahari, angin, kelembaban, suara dan aroma dan pencegah erosi (erosion control).

Penataan ruang terbuka secara tepat akan mampu berperan meningkatkan kualitas atmosfir kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu perkotaan, menurunkan kadar polusi udara dan meredam kebisingan.


(62)

Pemerintah kota DKI Jakarta juga tidak tinggal diam dalam upaya untuk menekan pencemaran kualitas udara kota Jakarta, selain melakukan pemantauan udara secara kontinyu, upaya lain yang telah dilakukan antara lain:

a. Melakukan sosialisasi SK Gubernur DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.

b. Percepatan pengadaan koridor busway koridor VII-X, upaya penerapan Elektronik Road Princing, Pembuatan Tol jalan kota, pembukaan lahan terbuka hijau, pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) yang tahap pertama akan membentang dari Lebak Bulus– Dukuh Atas sepanjang 14,3 Km dan Tahap ke kedua akan dilaksanakan dari Dukuh Atas–Kota yang pembebasan lahannya akan dilaksanakan pada tahun 2009 serta sosialisasi penerapan gedung hijau (Green Building) yang pada prinsipnya bukan hanya memperbanyak tanaman tetapi juga melakukan penghematan energi, material, air dan mengurangi pencemaran lingkungan yang pada tahun 2009 akan dilaksanakan di Kantor Balaikota Merdeka Selatan.

c. Melakukan kegiatan Car Free Day di lima wilayah kota secara bergiliran sebagai upaya membatasi pemakaian kendaraan bermotor dan pengurangan pencemaran di DKI Jakarta.


(63)

Dalam upaya pengelolaan ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas yang tidak monoton, maka didalamnya haruslah dapat menampung aktifitas-aktifitas berupa acara yang diselenggarakan secara terjadwal (rutin) maupun tidak terjadwal diantaranya berupa konser, pameran seni, pertunjukan teater, festival, pasar rakyat (bazaar), dan promosi dagang.

Kegiatan eceran yang hadir di ruang publik disebut oleh Shirvani (1985) sebagai salah satu elemen activity support yaitu aktivitas pendukung yang meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang membantu memperkuat ruang publik kota, karena aktiftas-aktifitas dan ruang fisik selalu menjadi pelengkap satu sama lain. Yang nampaknya menjadi masalah kritis dan penting dari aktifitas pendukung adalah bagaimana perilaku aktifitas pendukung dan kesempatan yang dikembangkan, dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam susunan fisik perkotaan yang ada.

Hadirnya generator aktifitas dalam ruang publik merupakan potensi pasar yang selalu didekati oleh pelaku ekonomi, termasuk di dalamnya Pedagang Kaki Lima (PKL). PKL memiliki karakter khusus yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan ketertiban umum. Karakter pejalan kaki yang ada di ruang publik memiliki korelasi yang tinggi terhadap karakter PKL yang muncul di kawasan tersebut, oleh karenanya penting dilakukan penataan dan pengaturan secara berkelanjutan terhadap aktifitas yang berkembang di area ruang publik.

Pedagang Kaki Lima menurut keputusan Memperindag No. 23/MPP/kep/1/1998 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, adalah


(1)

6.2 Saran

1.

Saran yang dapat disumbangkan dari hasil penelitian ini adalah:

2.

Pembagian jalur sirkulasi antara jalur sepeda dengan jalur pejalan kaki sebaiknya dirubah, dengan pertimbangan faktor keamanan dan kenyamanan penggunjung (gambar 6.1).

Pedagang kaki lima yang hadir wajib ditertibkan, keberadaannya jangan dihilangkan karena menjadi telah menjadi activity support pada event ini. Sebaiknya para pedagang kaki lima ini dilarang masuk ke area car free day tetapi ditempatkan diruas jalan jalan yang berbatasan langsung dengan ruas jalan

3.

Thamrin–Sudirman sehingga tidak mengganggu aktifitas pengunjung (gambar 6.2, dan 6.3).

Perlunya penambahan fasilitas ruas jalan

4.

seperti toilet umum dan street furniture (khususnya bangku-bangku taman.

Perlunya penanganan dan pengelolaan yang lebih serius dari pihak penyelenggara, karena kegiatan ini dapat menciptakan sektor pariwisata baru khususnya pariwisata domestik bagi kota Jakarta.

Sangat disarankan, pelaksanaannya diperluas ke seluruh wilayah kota Jakarta dan durasinya diperbanyak (misal, menjadi setiap minggu pelaksanaannya), karena dampak ekologis yang dihasilkan sangat positif dan terbukti dapat menurunkan kadar polusi udara dan suara di kota Jakarta, dan jika dilihat dampak jangka panjangnya tentu dapat menciptakan generasi dan lingkungan kota Jakarta yang lebih sehat dan humanis.


(2)

(3)

Gambar 6.2 Zonasi untuk Partisipan dan PKL diruas Jalan Thamrin

Gambar 6.3 Zonasi untuk Partisipan dan PKL diruas Jalan Sudirman Zona PKL


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Appleyard, Donald, with M.S. Gerson and M. Lintell (1981), Livable Street, University of California Press, Barkeley, California.

Ashihara, Yoshinobu (1986), Perancangan Eksterior dalam Arsitektur, Penerbit Abdi Widya, Bandung.

Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta 2010.

Bishop, Kirk R. (1989), Designing Urban Corridors, American Planning Association, Washington DC.

Budihardjo, Eko (2005), Tata Ruang Perkotaan, PT Alumni, Bandung.

Budihardjo, Eko (1991), Arsitektur dan Kota di Indonesia, Alumni 1991, Bandung. Budiharjo, Eko & Djoko Sujarto (1999), Kota Berkelanjutan, Alumni 1999, Bandung.

Carmona dkk. (2003), Public Space Urban Space: The Dimension of Urban Design, Architectural Press, London.

Carr, Stephen, Mark Franchis, Leane G. Rivlin and Andrew M. Store (1992), Public Space, Press Syndicate of University of Cambridge, Australia.

Catanese, Anthony J. (1979), Introduction to Urban Planning, Mc.Graw-Hill, Inc, USA.

Ching, Francis D.K. (1990), Pengantar Arsitektur, Erlangga, Jakarta

Danisworo, Muhammad (1989), Urban Landscape Sebagai Komponen Penentu Kualitas Linkungan Kota, Makalah Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UK. Petra,Surabaya.

Davies–Lewelyn (2000), Urban design Compendium 1, Housing Corporation, English Partnership.

Delianur, Achmad (2000), Tesis Perancangan Kawasan Lapangan Merdeka di Medan, Program Magister Arsitektur Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.


(5)

Ekawati (2006), Tesis Jalur Pedestrian di Pusat Kota Ditinjau dari Atribut Penggunanya, Studi kasus: Jalur Pedestrian di Kawasan Alun alun Kotamadya Magelang Jawa Tengah, UNDIP, Semarang.

Gehl, Jan and Lars Gemzoe (1996), Public Space – Public Life, Copenhagen 1996, Department of Urban Design School of Architecture Royal Danish Academy of Fine Arts, Denmark.

Hakim, Rustam (1993), Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bumi Aksara, Jakarta

Hakim, Rustam, Ir. MT. IALI dan Hardi Utomo, Ir. MS. IAI (2002), Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap (Prinsip Unsur dan Aplikasi Desain), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Jacobs, Allan B. (1993), Great Streets, MIT Press, Cambridge. Jakarta.go.id (2011).

……… (2009), Car Free Day Sudirman – Thamrin Tidak Benar-Benar Free, LintasJakarta.com, Jakarta.

Lynch, K. (1987), Good City Form, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts. Lynch K., dan Carr S. (1981), Open Space: Freedom and Control, The Smithsonian

Institution, London.

Moughtin, C. (1992), Urban Design, Street and Square, an imprint of butterworth Heineman ltd, Linacrehouse, Oxford.

Naupan, Limra (2007), Tesis: Peran Kualitas Visual untuk Mempertahankan Karakter Kawasan, Studi Kasus Penggal Jalan Ex. Perkantoran Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Nazaruddin (1996), Penghijauan Kota, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1993, Standart Angkutan Jalan, Jakarta.


(6)

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005, Pengendalian Pencemaran Udara, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006, Jalan, Jakarta. Peta Jalan & Index Jakarta Jabotabek Edisi 2004/05.

Prasetyo, Noverto Aji (2004), [sma1bks] FW: 26 Sept Jl. Sudirman - Thamrin ditutup - CAR FREE DAY, Jakarta.

Rapoport, Amos (1977), Human Aspects of Urban Form; Towards a Man Environment Approach to Urban Form and Design, Oxford, Pergamon Press.

Rubenstein, Harvey M. 1969), A Guide to Site and EnvironmentalPlanning. John Wiley & Sons Inc. New York

Shirvani, Hamid. (1985). Urban Design Process, Van Nistrand Reinhold Company, New York.

Simond, JO (1976), Garden Cities 21, Kingsport Press, America.

Spreiregen, Paul D. (1965), Urban Design: The Architecture of Towns and Cities, McGraw-Hill Book Company.

Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Utermann, RK. 1984), Acomodation the Pedestrian, Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Whyte H. W. (1980), The Social Life of Small Urban Space, The Conservation Foundation, Washington DC.

Wirosandjojo (1985), Urban Space,Mall,City Walk dan PKL,http/www.PKL.pdf. Wijayaningsih, Retno (2007), Tesis: Keterkaitan Pedagang Kaki Lima Terhadap

Kualitas dan Citra Ruang Publik di Koridor Kartini Semarang Pada Masa Pra Pembongkaran, UNDIP, Semarang.