BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Menular Seksual 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual - Pengetahuan dan Sikap Remaja Tentang Infeksi Menular Seksual Di SMA Negeri 7 Medan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Menular Seksual

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual

  Penyakit kelamin (veneral diseases) sudah lama dikenal dan beberapa di antaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexually transmitted disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS). (Hakim, 2009; Daili, 2009).

  Perubahan istilah tersebut memberi dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit kelamin (VD) yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinale juga termasuk uretritis non

  gonore (UNG) , kondiloma akuminata, herpes genitalis, kandidosis,

  trikomoniasis, bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis, dan lain-lain. Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita asimtomatik (Hakim, 2009; Daili, 2009).

  Infeksi menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara genito-genital saja, tetapi dapat juga secara oro-genital, atau ano genital sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit ini tidak terbatas pada daerah Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan kelamin, karena ada beberapa yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk, termometer, dan ada juga yang ditularkan dari ibu kepada bayinya yang ada di dalam kandungan. (Daili, 2007).

  Infeksi menular seksual di dapat akibat berhubungan seksual dengan orang yang terinfeksi sebelumnya. Setiap orang yang sudah melakukan hubungan seksual, mempunyai resiko untuk terkena infeksi menular seksual. Resiko akan semakin tinggi apabila seseorang berhubungan seksual dengan banyak pasangan yang berbeda pasangan atau pasangannya mempunyai banyak partner yang berbeda ataupun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. (Daili, 2007).

  Adapun 9 jenis penyakit menular seksual adalah : 1.

  AIDS (Acquired immune deficiency Syndrome), aids adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh faktor luar (bukan dibawa sejak lahir), aids disebabkan oleh virus yang nama ilmiahnya disebut human immunodeficiency virus.

  2. Gonore atau kencing nanah, Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum dan tenggorokan atau bagian putih mata (konjungtifa), gonore bisa menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian.

  Herpes vaginalis, penyakit menular seksual dengan gambaran khas berupa vesikel berkelompok pada dasar eritematosa, dan cenderung bersifat rekuren. Ada 2 jenis virus herpes yaitu HSV-1 dan HSV-2, HSV-2 biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan HSV-1 biasanya menginfeksi mulut, kedua jenis virus herpes tersebut bisa menginfeksi kelamin, kulit disekeliling rektum atau tangan (terutama bantalan kuku) dan bisa ditularkan ke bagian tubuh lainnya (misalnya permukaan mata).

  4. Klamidia trachomatis, penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis, klamidia dapat ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal, anal, atau oral, dan dapat mengakibatkan bayi tertular dari ibunya selama persalinan.

5. Kondiloma akuminata (Kutil kelamin), penyakit menular seksual ini

  disebabkan virus DNA golongan papovavirus yaitu human papilloma virus (HPV).

  6. Limfogranuloma venerum, suatu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis, penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan sub tropis dan merupakan bakteri yang hanya tumbuh di dalam sel.

  7. Sifilis, penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri spiroseta, treponema pallidum yang merupakan salah satu bakteri spirochaeta yang bersifat motile yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk ke dalam tubuh melalui celah dianta sel epitel, organisme ini juga dapat ditularkan kepada janin melalui jalur transplasental selama masa akhir kehamilan.

  Trichomonas vaginalis, penyakit menular seksual yang disebabkan suatu parasit protozoa, penderita yang terinfeksi banyak yang tidak menimbulkan gejala dan penyakit menular seksual ini menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan, sehingga infeksi ini tidak dapat diabaikan.

  9. Ulkus molle, penyakit menular seksual yang akut, ulseratif, dan biasanya teralokasi di genetalia atau anus dn biasanya disertai pembesaran kelenjar di daerah inguinal, ulkus mole merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan basil gram negatif haemophilus ducreyi yang merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerob dan membutuhkan hemin (faktor x) untuk bertumbuh.

  Selama dekade terakhir ini, insidens infeksi menular seksual cukup meningkat di berbagai negara di dunia. Banyak dilaporkan mengenai penyakit ini, tetapi angka-angka yang dilaporkan tidak menggambarkan anggka yang sesungguhnya. Hal tersebut disebabkan oleh :

  1. Banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena belum ada undang-undang yang mengharuskan melaporkan setiap kasus baru infeksi menular seksual ditemukan.

  2. Bila ada laporan, sistem pelaporan yang berlaku belum seragam.

  3. Fasilitas diagnostik yang ada sekarang ini kurang sempurna sehingga seringkali terjadi salah diagnosa dan penanganan.

  4. Banyak kasus yang asimtomtik (tanpa gejala yang khas) terutama pada banyak wanita.

  Pengontrolan terhadap infeksi menular seksual ini belum berjalan baik.

  (Daili, 2007).

  2.1.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual

  Menurut Handsfield (2001), Infeksi menular seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, yakni : a.

  Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidium, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, Salmonella sp, Shigellia sp, Campylobacter sp, Streptococussgroup B, Mobiloncus sp.

  b.

  Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya.

  c.

  Dari golongan virus, yakni Human immunodeficiency virus (tipe 1 dan 2), Herpes simplex virus (tipe 1 dan 2), Human papiloma virus (banyak tipe), Cytomegalovirus, Epstein barr virus, Molluscum contagiosum virus, dan virus – virus entric.

  d.

  Dari golongan ektoparasit, yakni Phithirus pubis dan Sarcoptes scabei.

  Sedangkan menuriut Daili (2007), selain disebabkan oleh agen – agen diatas, infeksi menular seksual juga disebabkan oleh jamur, yakni jamur Candida Albicanus.

2.1.3 Cara Penularan Infeksi Menular Seksual

  melalui beberapa cara, yakni bisa melalui hubungan seksual, berkaitan dengan prosedur medis (iatrogenik), dan bisa juga berasal dari infeksi endogen. Infeksi endogen adalah infeksi yang berasal dari pertumbuhan organisme yang berlebihan secara normal hidup di vagina dan juga ditularkan melalui hubungan seksual. Sedangkan infeksi menular seksual akibat iatrogenik disebabkan oleh prosedur-prosedur medis seperti pemasangan IUD (Intra

  

Uterine Device) , aborsi dan proses kelahiran bayi. Cara penularan infeksi

  menular seksual terutama melalui hubungan seksual tidak terlindungi , baik pervigal, anal, maupun oral. Cara penularannya yaitu :

  1. Perinatal yakni dari ibu ke bayinya, baik selama kehamilan, saat kelahiran, ataupun setelah lahir.

  2. Melalui transfusi darah ataupun kontak langsung dengan cairan darah atau produk darah.

  3. Saling tukat jarum suntikpada pemakaian narkoba.

  4. Penggunaan alat cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan menyisakan darah pada alat cukur).

  Infeksi menular seksual tidak ditularkan bila seorang duduk disamping orang yang terinfeksi, penggunaan kamar mandi umum, kolam renang umum, bersalaman, bersin- bersin dan keringat (Dinkes, 2009).

2.1.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Kesehatan

  Terkadang infeksi menular seksual tidak memberikan gejala, baik pada pria maupun pada wanita. Beberapa infeksi menular seksual baru menunjukkan terinfeksi (lestari, 2008). Mayoritas infeksi menular seksual tidak memberikan gejala (asimptomtik) pada perempuan (60-70 % dari terinfeksi gonore dan klamidia). Pada perempuan, konsekuensi infeksi menular seksual sangat serius dan kadang – kadang bersifat fatal (misal kanker serviks, kehamilan ektopik dan sepsis). Konsukuensi juga terjadi pada bayi yang dikandung jika perempuan terinfeksi pada saat hamil (bayi lahir mati, kebutaan). (Kesrepro, 2007).

  Gejala infeksi menular seksual bisa berupa gatal dan adanya sekret di sekitar alat kelamin, benjolan atau lecet di sekitar alat kelamin, bengkak di sekitar alat kelamin, buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh, kehilangan berat badan, diare, keringat malam, pada wanita bisa keluar darah di luar menstruasi, rasa panas seperti terbakar atau sakit saat buang air kecil, kemerahan di sekitar kelamin, rasa sakit di bawah perut pada wanita di luar menstruasi, dan bengkak dan bercak darah setelah berhubungan seksual (Lestari 2008; Murtuaristik, 2008).

  Diagnosa infeksi menular seksual dilakukan melalui proses anamnesa, diikuti pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium. Untuk menegakkan diagnosa infeksi menular seksual, diperlukan anamnesa yang akurat mengenai riwayat sosial dan seksual seseorang, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas, seperti penyalahgunaan obat-obatan.

  Infeksi menular seksual yang tidak ditangani dapat menyebabkan kemandulan, merusak penglihatan, otak dan hati, menyebabkan kanker leher rahim, menular pada bayi, rentan terhadap HIV, dan beberapa infeksi menular seksual dapat menyebabkan kematian (Dinkes Surabaya, 2009).

  Suatu studi epidemologi menggambarkan bahwa pasien dengan infeksi menular seksual lebih rentan terhadap HIV, infeksi menular seksual diimplikasikan sebagai faktor yang memfasilitasi penyebaran HIV (WHO, 2004).

2.1.6 Pencegahan Infeksi Menular Seksual

  Pencegahan termasuk pengenalan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang efektif terhadap infeksi menular seksual, akan mengurangi kemungkinan komplikasi pada masing-masing individu dan mencegah infeksi baru di masyarakat (Depkes RI, 2006: Dinkes Surabaya, 2009).

  Langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual (Depkes RI, 2006) adalah menghindari kontak langsung dengan cara berikut : a.

  Menunda kegiatan seksbagi remaja (absttinensia).

  b.

  Menghindari gonta ganti Pasangan dalam berhubungan seksual.

  c.

  Memakai kondom dengan benar dan konsisten.

  Selain pencegahan diatas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa kebersihannya dari mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati- hati dalam menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan darah segar, yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga meminimalisir penularan (ICA, 2009: Dinkes Surabaya, 2009).

2.1.7 Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual

  Penanganan infeksi menular seksual (Daili, 2007) secara komprehensif mencakup diagnosa yang tepat, pengobatan yang efektif, pemberian konseling kepada pasien dalam rangka memberikan K.I.E (Komunikasi, informasi, dan edukasi), dan penanganan pasangan seksualnya, konseling adalah suatu proses yang dapat membantu seseorang untuk mengetahui dan menyelesaikan masalah dengan baik, serta mampu memotivasi individu tersebut untuk merubah prilakunya. Dalam praktiknya, konseling perlu dibedakan dengan bimbingan , oleh karena itu infeksi menular seksual terdiri dari bermacam-macam penyakit dengan derajat kesakitan yang berbeda, maka konseling untuk setiap penyakitnya tidak akan sama.

  Menurut WHO penanganan pasien infeksi menular seksual terdiri dari dua cara, bisa dengan penanganan berdasarkan kasus (case management) atau penanganan berdasarkan sindrom (syndrome menegement). Penanganan berdasarkan kasus yang efektif tidak hanya berupa pemberian terapi antimikroba untuk menyembuhkan dan mengurangi infektifitas mikroba, tetapi juga diberikan perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Sedangkan penanganan berdasarkan sindrom didasarkan pada identifikasi dari sekelompok tanda dan gejala yang konsisten, dan penyediaan pengobatan untuk mikroba tertentu yang menimbulkan sindrom.

2.2.1 Pengetahuan

  Pengetahuan dari hasil tidak tahu, ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan pada suatu objek tertentu dan adanya stimulus. Penginderaan pada terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penciuman, penglihatan, pendengaran, perasaan dan perabaan. Sebagian besar pengindraan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2005). Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dan untuk merubah pengetahuan, sikap dan perilaku adalah dengan pendidikan dan latihan. Menurut Verner dan Davison yang dikutip oleh Notoadmodjo mengatakan bahwa usia mempengaruhi proses belajar, karena dengan bertambahnya usia, titik dekat penglihatan mulai bergerak makin jauh.

  Dengan bertambahnya usia, kemampuan menerima sesuatu makin berkurang sehingga pembicaraan orang lain terlalu cepat sukar ditangkapnya. Dengan kata lain, makin bertambahnya usia maka kemampuan menerima stimulus makin berkurang.

  Pengetahuan secara kognitif mempunyai 6 tingkatan menurut teori Blom (Notoadmodjo, 2005) yaitu : a.

  Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tau merupakan tingkat pengetahuan paling rendah.

  Memahami (comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginpresentasikan materi tersebut secara benar.

  c.

  Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

  d.

  Analisis (analysis) analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan suatu keseluruhan materi/ suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian- bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk formasi baru dan kaitannya satu sama lain.

  e.

  Sintesis (syntesis) merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

  f.

  Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu obyek atau materi.

  Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah pendidikan, umur, pengelaman, status sosial, ekonomi, budaya dan kondisi kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin bertambah, pengalaman seseorang akan menambah wacana dan meningkatkan pengetahuannya, semakin tinggi status sosial, ekonomi, budaya dan kondisi kesehatan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya. (Notoadmodjo, 2005).

2.2.2 Sikap

  terhadap suatu stimulasi atau obyek, manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan plaksana motif tertentu, dapat diartikan juga sikap adalah kecendrungan bertindak, berfikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai,. Sikap bukanlah prilaku, tetapi merupakan kecendrungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap. Sikap relatif menetap atau jarang mangalami perubahan.

  Menurut Allport (1954) dalam suekidjo (2007), sikap mempunyai 3 komponen pokok, yakni : a.

  Kepercayaan (keyakinan) ide, dan konsep terhadap suatu objek.

  b.

  Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

  c.

  Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

  Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

  

(total attitude) . Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

  keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan sikap teriri dari berbagai tingkatan, yakni :

  1. Menerima (receiving).

  Menerima diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  2. Merespon (responding). tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  3. Menghargai (valuing).

  Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalau suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  4. Bertanggung jawab (responsible).

  Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap paling tinggi.

  Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju) (Notoadmodjo, 2007).

2.3 Remaja

2.3.1 Defenisi Remaja

  Ada beberapa defenisi mengenai remaja. Menurut Hurlock (1993), masa remaja adalah masa yang penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat. Remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Darajad, 1990). Menurut Darajad dalam bukunya yang lain, mengidentifikasikan remaja sebagai tahap umur yang datang setelah masa pada tubuh remaja luar dan membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. Mengartikan remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanakak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju pembentukan tanggung jawab.

  Sebagai mana yang dikemukakan oleh Calon dalam Monks (2002), masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memiliki status dewasa tetapi tidak lagi dimiliki status anak-anak. Perkembangan fissik dan psikis menimbulkan kebingungan dikalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh orang barat sebagai periode strum unddrug dan akan membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja (Monks, 2002).

  Lebih jelas pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja secara lebih konsektual yakni remaja adalah suatu dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2001).

  Kaplan & sadock (2007) menyatakan bahwa fase remaja terdiri atas fase remaja awal (12-14 tahun), fase remaj pertengahan (14-16 tahun), dan fase remaja akhir (17-19 tahun).

2.3.2 Prilaku Seksual Remaja

  seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian peilaku seksual yang dilakukan sebelum waktunya justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah dan agresi (Reiss, 2006).

  Selama masa remaja, seksualitas dan masalah-masalah seksual diperkirakan sebagai masalah yang sangat penting bagi sebagian remaja, dan pada masa ini, banyak remaja yang sudah aktif secara seksual.